You are on page 1of 17

BAB I PENDAHULUAN

Oedem merupakan suatu kondisi yang diawali oleh peningkatan tekanan hidrostatik vena, peningkatan permeabilitas kapiler, atau peningkatam tekanan osmotik interstisial, obstruksi saluran limfe, dan menurunnya kadar protein plasma. Oedem ditandai dengan adanya pengumpulan cairan dalam ruang interstisial dan rongga serosa tubuh. Oedem dibagi menurut lokasi pengumpulan cairan, yakni oedem anasarca (di seluruh tubuh), hydrothorax (di rongga pleura), hidropericardium (di pericardium), dan ascites (di peritoneum). Dilihat dari kadar protein dalam ruang interstisial, oedem dibedakan menjadi transudat dan eksudat. Sindroma nefrotik merupakan salah satu manifestasi klinik glomerulonefritis dengan ditandai proteinuria (paling khas), hipoalbuminemia, oedem, dan

hiperlipidemia. Terjadi pengeluaran protein >3,5 gram atau lebih melalui urine per hari, di mana seharusnya hampir tidak ada protein yang ditemukan dalam urine pada kondisi normal. Akibat pengeluaran protein, kadar protein plasma menurun sehingga menyebabkan oedem anasarca. Sindroma nefrotik ini secara perlahan dapat berkembang menjadi gagal ginjal.

BAB II LAPORAN KASUS


Pasien diantar anak lelakinya menuju ke bagian penyakit dalam Unit Gawat Darurat RS Trisakti Idaman. I. Identitas Pasien Nama Usia Alamat Pekerjaan Agama Status perkawinan Tanggal masuk Tanggal keluar : Tn. A : 46 tahun ::::::-

II.

Anamnesa Keluhan utama Riwayat penyakit sekarang Riwayat penyakit dahulu Riwayat penyakit keluarga : bengkak seluruh tubuh :::-

III.

Pemeriksaan Fisik Keadaan umum Kesadaran Kesan Tekanan darah Respirasi : somnolen : tampak sakit berat, posisi duduk : 120/80 mmHg (normal) : 40 x/menit, sesak nafas dan dangkal

Status Generalis Kepala Paru : inspeksi : perkusi auskultasi Jantung : auskultasi : kelopak mata bengkak : redup : ronchi basah menyeluruh : tidak jelas terdengar 2

Abdomen

: inspeksi palpasi

: perut membuncit : hepar dan limpa tidak teraba : seluruh kaki bengkak : pitting oedem +/+

Ekstremitas

: inspeksi palpasi

IV.

Pemeriksaan Laboratorium Penunjang Pemeriksaan Darah Hb Leukosit Hitung jenis LED Trombosit : 8 g% : 8.000/l : -/3/8/45/40/4 : 120 mm/jam (N < 10mm/jam) : 200.000/l (N 150.000 450.000/l)

Pemeriksaan Urinalisa Albumin Glukosa Tes Esbach Sedimen : +++ (N= negatif) :: 12 g/l urine 24 jam (normal < 0,5 g/l urin 24 jam) : eritrosit 1/lpb, leukosit 8-10/lpb, silinder granula kasar. Banyak ditemukan (per LPK)

Gambar sedimen urine

Hasil foto thorax Deskripsi : Tampak bercak di paracardial dan parahiler, simetris membentuk gambaran batwing Kesimpulan : Pembendungan di paru ( Edema paru )

Kimia Klinik Gula darah puasa Total protein Albumin Cholesterol HDL LDL Trigliserida Ureum Kreatinin Asam urat : 80 mg% (N: 70 110 mg%) : 4 g/dl (N: 6-8 g/dk) : 1,2 g/dl (3,5 5 g/dl) : 400 mg/dl (N < 200 mg/dl) : 20 mg/dl (N 30-50 mg/dl) :180 mg/dl (< 150 mg/dl) : 200 mg/dl (N< 150 mg/dl) : 20 mg/dl (N: 20 40 mg/dl) : 1 mg/dl (N 0,6 - 1,2mg/dl) : 5,6 g/dl (N: 3,5 7 g/dl)

BAB III PEMBAHASAN A. Anamnesis


Dokter perlu menambahkan beberapa anamnesa, antara lain: 1. Apa keluhan pasien pertama kali? 2. Bagian tubuh mana yang pertama kali mengalami pembengkakan? 3. Berapa banyak frekuensi berkemih pasien dalam sehari? Bagaimana konstituennya?

B.

Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik, sesak nafas, pernapasan 40/menit (N: 12-20x/menit),

dangkal, perkusi paru-paru redup dan auskultasi paru-paru ronchi basah menyeluruh, serta jantung tidak jelas terdengar merupakan tanda-tanda dari pleural effusion. Pleural effusion merupakan penumpukan cairan diantara lapisan jaringan yang memenuhi rongga paru dan dada. Penumpukan cairan ini dibedakan menjadi dua tipe, yaitu: transudative pleural effusion dan exudative pleural effusion. Transudative pleural effusion disebabkan oleh kebocoran cairan ke dalam rongga pleura. Sedangkan exudative pleural effusion disebabkan oleh penyumbatan pada pembuluh darah atau pembuluh limfe, inflamasi, luka pada paru, dan tumor. Hubungan antara pleural effusion dan hasil pemeriksaan fisik dapat dijelaskan sebagai berikut. Sesak nafas yang dialami pasien disebabkan oleh karena paru-paru terisi oleh cairan sehingga pernapasan menjadi terganggu dan paru-paru tidak dapat bekerja maksimal. Pernapasan 40/menit disebabkan karena paru-paru pasien terjepit cairan, yang menyebabkan paru-paru bekerja ekstra sehingga pernapasan menjadi lebih cepat (normal 12 20x/menit). Kemudian napas yang dangkal disebabkan oleh paru-paru terisi cairan sehingga tidak dapat mengembang dengan sempurna. Pada pemeriksaan auskultasi di dapatkan ronchi basah menyeluruh karena cairan yang terdapat di sekitar paru. Se dangkan pada pemeriksaan jantung tidak terdengar dengan jelas karena jantung tertutup oleh paru-paru yang berisi cairan, sehingga suara jantung tidak dapat terdengar dengan jelas. Namun, 5

disamping

itu

pasien

tidak

mengeluhkan

adanya

kelainan

pada

jantungnya. Hal ini menandakan bahwa jantu ng pasien dalam keadaan normal. Selanjutnya, posisi duduk pada saat pemeriksaan fisik memiliki maksud yang cukup berarti karena pada pasien penderita oedem anasarka akan merasa tidak nyaman jika pemeriksaan dilakukan dengan berbaring dikarenakan oleh cairan yang menumpuk pada jaringan tubuhnya. Kemudian, kelopak mata yang bengkak dikarenakan pasien sebelumnya berada dalam posisi berbaring cukup lama, misalnya pada saat tidur di malam hari sehingga terjadi penumpukan cairan dalam kelopak mata di pagi hari. Selain itu, perut yang membuncit juga dikarenakan perut berisi cairan. Begitu pula dengan seluruh kaki yang bengkak karena pasien sedang dalam keadaan berdiri ataupun duduk sehingga terjadi penumpukan cairan di bagian kaki. Kesadaran somnolen adalah ting kat kesadaran yang keinginannya tidur saja. Dapat dibangunkan dengan rangsang nyeri, tetapi kemudian jatuh tertidur lagi. Pada pemeriksaan abdomen, hepar/limpa tidak teraba dikarenakan perut pasien yang membuncit ole h cairan. Edema khusus di daerah peritoneum disebut ascites . Pada skrotum(genital) dan

ekstremitas pasien ini juga terdapat pitting oedem. Pitting oedem dapat didemonstrasikan dengan menekan bagian yang membengkak karena cairan. Jika bekas tekanan menimbulkan cekungan yang membutuhkan waktu untuk kembali seperti semula, maka dapat dipastikan daerah tersebut terkena pitting oedem.

C.

Pemeriksaan Laboratorium
1. Pemeriksaan Darah

Pemeriksaan Hb Leukosit Trombosit LED Hitung jenis

Nilai Normal 13-18 g/dl 5000-10.000 150.000-450.000 <10 mm/jam


Basofil : 0-1 % Eosinofil: 1-3 % Batang: 2-6 % Segmen: 50-70 % Limfosit: 20-40 % Monosit : 2 8 %

Pasien 8 g/dl 8000 200.000 120 mm/jam 0/3/8/45/40/4

Keterangan Di bawah normal Normal Normal Di atas normal Neutrofil batang di atas normal Neutrofil segmen di bawah normal

2. Pemeriksaan Urinalisa Pemeriksaan Albumin Glukosa Sedimen a. Leukosit b. Eritrosit c. Silinder bergranula kasar 3. Pemeriksaan Kimia Klinik Pemeriksaan Gula darah puasa Protein Albumin HDL Trigliserida LDL Kolesterol Asam Urat Ureum Kreatinin Nilai Normal 10-110 mg% 6-8 g/dl 3,5-5 g/dl 30-50 <150 mg/dl <150 mg/dl <200 mg/dl 3,5-7 g/dl 20-40 mg/dl 0,6 1,2 mg/dl Pasien 80 mg% 4 g/dl 1,2 g/dl 20 200 mg/dl 180 mg/dl 400 mg/dl 5.6 mg/dl 20 mg/dl 1 mg/dl Keterangan Normal Di bawah normal Di bawah normal Di atas normal Di atas normal Di bawah normal Di atas normal Normal Normal Normal Nilai Normal <1,0 gram/hari 0 0-5/LPB 0-1/LPB 0/LPK Pasien +++ 0 8-10/LPB 1/LPB Banyak ditemukan Keterangan Di atas normal Normal Di atas normal Normal Tidak normal

Pada pemeriksaan darah, pasien mengalami kekurangan Hb dan laju endap darah tinggi. Pada pemeriksaan urinalisa diperoleh pasien mengalami albuminuria, yakni ditemukannya albumin dalam urine. Albuminuria menandai sindrom nefrotik 7

atau gangguan fungsi ginjal. Sindrom nefrotik terjadi akibat kebocoran membran filtrasi glomerulus. Protein albumin seharusnya tidak dapat melewati membran filtrasi karena ukuran molekul yang besar. Dugaan ini diperkuat dengan ditemukannya silinder bergranula kasar pada urine pasien yang seharusnya tidak ada dalam kondisi normal.

4. Tes Esbach Uji Esbach merupakan pemeriksaan untuk menilai kadar protein dalam urin. Pengukuran protein penting dilakukan dalam mendiagnosis kelainan ginjal maupun untuk mengetahui respon pengobatan. Tes Esbach yang disebut juga dengan metode dipstik ini merupakan pemeriksaan kuantitatif dengan nilai 0-4 (+). Pemeriksaan ini sensitif terhadap 60mg/l albumin, tetapi kurang sensitif terhadap protein Bence Jones dan protein lain yang berat molekulnya rendah misal 2-mikroglobulin Uji ini dilakukan dengan menggunakan sampel urine 24 jam, di mana pasien diharuskan menampung semua urinnya selama 24 jam mulai dari setelah berkemih pertama kali di pagi hari sampai pasien berkemih pertama kali pada pagi hari berikutnya. Pengumpulan urine dengan cara ini tidak praktis sebab pasien diharuskan membawa tempat penampung urine ke mana-mana dan tidak jarang pasien lupa harus menampung urine. Untuk itu digunakan metode pengumpulan urine semalam yang akurasinya sama. Pemeriksaan kuantitatif albumin dalam urine menggunakan campuran urine dengan larutan asam pikrat 1 % dalam air dan larutan asam sitrat 2% dalam air. Asam sitrat ini hanya bertujuan menjaga keasaman cairan. Isi tabung Esbach dengan urine sampai garis betanda U. Tambahkan reagent Esbach pada sampel tersebut hingga garis bertanda R. Tutup lalu bolak-balikan tabung 12 kali (jangan dikocok). Letakkan tabung pada rak dalam posisi tegak dan biarkan selama 18-24 jam. Tinggi kekeruhan dibaca dan menunjukkan banyaknya gram protein per liter urine. Hasil ini dibagi dengan sepuluh untuk menghasilkan presentase seperti yang ditunjukkan pada tabel di bawah.

Interpretasi
Samar +1 +2 +3 +4

Hasil Tes Esbach


10-30 mg% 30 mg% 100 mg% 500mg% >2000 mg% 8

Pada tes esbach false positif dapat terjadi bila urin sampel sifatnya terlalu basa atau terlalu encer. Selain itu bila dari hasil pemeriksaan didapatkan positif harus diperiksa dengan asam salisilsulfonat atau dengan tes pendidihan karena mungkin positif palsu yang dihasilkan oleh urin alkali yang berbufer kuat. Salah satu kelemahan uji esbach ini sulit dilakukan pada anak-anak yang tidak bisa mengendalikan buang air kecil karena hal ini dapat mempersulit pengumpulan urine 24 jam atau pun urine semalam, sehingga sering terjadi kesalahan dalam perhitungan waktu dan saat mengakomodasi urine, hasil yang diperoleh menjadi tidak akurat. Cara Esbach sebagai penetapan kuantitatif protein dalam urine sudah amat tua dan sebenarnya tidak sesuai, baik ketelitian maupun ketepatannya sangat rendah, sehingga hasilnya merupakan pendekatan belaka. Jika menghendaki pendekatan yang lebih baik, dipakai cara pengendapan protein secara sempurna misalnya dengan menggunakan asam triklorasetat kemudian direaksikan dengan reagent biuret dan mengukur absorbansi larutan dengan spektrofotometer.

D. Patofisiologi Oedem
Oedem ditandai dengan adanya pengumpulan cairan dalam ruang interstisial dan rongga serosa tubuh. Oedem dibagi menurut lokasi pengumpulan cairan, yakni oedem anasarca (di seluruh tubuh), hydrothorax (di rongga pleura), hidropericardium (di pericardium), dan ascites (di peritoneum). Dilihat dari kadar protein dalam ruang interstisial, oedem dibedakan menjadi transudat (kadar protein rendah) dan eksudat (kadar protein tinggi).

1.

Penyebab Umum Oedem

a. Meningkatnya permeabilitas dinding kapiler Ini memungkinkan lebih banyak air dan protein yang keluar dari plasma ke cairan interstisial. Sebagai contoh: melalui pelebaran kapiler yang dipicu oleh histamin waktu cedera jaringan atau reaksi alergik. Penurunan tekanan osmotik koloid plasma yang terjadi menurunkan tekanan masuk efektif, sementara peningkatan tekana koloid cairan 9

interstisium yang terjadi akibat peningkatan protein di cairan interstisium meningkatkan gaya keluar efektif. Penurunan tekanan masuk utama ini menyebabkan kelebihan cairan yang keluar sementara cairan yang direabsobsi lebih sedikit daripada normal, karena itu kelebihan cairan tersebut tetap berada di ruang interstisium. Edema dapat disebabkan oleh penurunan kensentrasi protein plasma melalui beberapa cara berbeda, (1) pengeluaran berlebihan protein plasma melalui urin akibat penyakit ginjal, (2) penurunan sintesis protein plasma, akibat penyakit hati, (3) makanan yang kurang mengandung protein, atau (4) pengeluaran bermakna protein plasma akibat luka bakar yang luas.

b. Meningkatnya tekanan hidrostatik vena Ketika darah terbendung di vena terjadi peningkatan tekanan darah kapiler karena kapiler mengalirkan isinya ke vena. Peningkatan tekanan keluar kapiler ini berperan besar menyebabkan edema pada gagal jantung kongesif. Edema regional juga dapat terjadi akibat restriksi lokal aliran balik vena. Contonya adalah pembengkakan yang sering terjadi di tungkai dan kaki selam kehamilan. Uterus yang membesar menekan vena-vena besar yang menyalurkan darah dari ekstremitas bawah sewaktu pembuluh-pembuluh tersebut masuk ke rongga abdomen. Bendungan darah di vena ini mengakibatkan tekanan darah di kapiler tungkai dan kaki, mendorong edema regional tungkai bawah. c. Sumbatan pembuluh limfe Filtrasi tertahan di cairan interstisium dan tidak dapat dikembalikan ke darah melalui pembuluh limfe. Akumulasi cairan protein di cairan interstisium memperparah masalah melalui efek

10

osmotiknya. Sumbatan pembuluh limfe lokal dapat terjadi, sebagai contoh di lengan wanita yang saluran-saluran drainase limfe utamanya di lengan telah tersumbat akibat pengangkatan kelenjar limfe pada pembedahan karena kanker payudara. Penyumbatan pembuluh limfe yang lebih luas terjadi pada filariasis, suatu penyakit parasit yang di tularkan melalui nyamuk yang terutama ditemukan di daerah pantai tropis. Pada penyakit ini, cacing filaria yang halus mirip benang menginfeksi pembuluh limfe dan menyumbat drainase limfe. Bagian tubuh yag terkena, terutama skrotum dan ekstremitas, mengalami edema berat. Penyakit ini sering dinamai elephantiasis karena kaki yang bengkak tampak seperti kaki gajah.

2. Patofisiologi Penyakit yang Mendasari Oedem Anasarca a. Sindrom Nefrotik Kelainan glomerulus dengan karakteristik albuminuria,

hipoalbuminemia, edema dan hiperlipidemia. Pasien sindrom nefrotik juga mengalami volume plasma yang meningkat

sehubungan dengan defek intrinsik ekskresi natrium dan air. Hipoalbuminemia pada sindrom nefrotik berhubungan dengan kehilangan protein sehingga terjadi penurunan tekanan osmotik menyebabkan perpindahan cairan intravaskular ke interstitium dan memperberat pembentukan edema. Pada kondisi tertentu,

kehilangan protein dan hipoalbuminemia sangat berat sehingga volume plasma menjadi berkurang dan menyebabkan penurunan perfusi ginjal yang juga merangsang retensi natrium dan air.

b. Sirosis Hati Pada penderita sirosis hati sintesis protein akan terganggu, tekanan hidrostatik vena meningkat, serta jumlah hormon aldosteron 11

bertambah. Sintesis protein yang terganggu mengakibatkan kadar protein plasma menjadi berkurang. Terjadi ketidakseimbangan antara protein plasma dengan protein jaringan. Tekanan osmotik koloid dalam darah menurun sehingga terjadi perpindahan air dari pembuluh darah menuju ruang interstitiel yang kemudian dapat menyebabkan terjadinya edema. Biasanya edema akan timbul apabila kadar albumin lebih rendah dari 2,5 gram/100 ml. Kemudian tekanan hidrostatik dalam vena porta yang meningkat melebihi tekanan osmotiknya juga mengakibatkan pertambahan cairan dalam rongga peritoneum (ascites). Bertambahnya hormon aldosteron dapat menyebabkan retensi natrium sehingga konsentrasi natrium meninggi dan akan mengakibatkan terjadinya hipertoni. Hipertoni menyebabkan air ditahan, sehingga jumlah air ekstraseluler baik yang intravaskuler maupun yang interstitiel bertambah sehingga terjadi edema.

12

c.

Gagal Jantung Kongesif Saat jantung mulai gagal memompa darah, darah akan

terbendung pada sistem vena. Pada saat yang bersamaan volume darah pada arteri berkurang. Pengurangan pengisian arteri ini akan direspon oleh reseptor volume pada pembuluh darah arteri yang memicu aktivasi sistem saraf simpatis yang mengakibatkan vasokontriksi sebagai usaha untuk mempertahankan curah jantung yang memadai. Akibat

vasokontriksi maka suplai darah akan diutamakan ke pembuluh darah otak, jantung dan paru, sementara ginjal dan organ lain akan kekurangan aliran darah. Akibatnya VDAE akan berkurang, ginjal akan menahan natrium dan air. Pada kondisi gagal jantung yang sangat berat juga akan terjadi hiponatremi, ini terjadi karena ginjal lebih banyak menahan air dibanding dengan natrium. Pada keadaan ini ADH akan meningkat dengan cepat dan akan terjadi pemekatan urin. Keadaan ini diperberat oleh tubulus proksimal yang juga menahan air dan natrium secara berlebihan sehingga produksi urin akan sangat berkurang. Di lain pihak, ADH juga merangsang pusat rasa haus, menyebabkan peningkatan masukan air.

13

3. Diagnosis
Pasien ini mengalami sindrom nefrotik primer, di mana etiologi tidak diketahui dan secara primer terjadi akibat kelainan glomerulus itu sendiri. Penyakit ini ditandai dengan serangkaian gejala trias sindrom nefrotik, yakni: a. Albuminuria Albuminuria merupakan penyebab utama sindrom nefrotik yang dapat diidentifikasi dari uji urinalisa, di mana ditemukan protein albumin di dalam urine pasien. Hal ini diakibatkan oleh peningkatan permeabilitas membran kapiler glomerulus yang menyebabkan gangguan filtrasi sehingga protein yang seharusnya diserap akan dikeluarkan bersama urine.

b. Hipoalbuminemia Plasma terutama terdiri dari protein jenis albumin dengan berat molekul 69.000. Dalam kondisi albuminuria, kadar protein plasma akan menurun. Pada gangguan renal maupun non renal yang menyebabkan tubuh kehilangan banyak protein, hepar bisa mengkompensasi dengan meningkatkan sintesis protein. Namun apabila kompensasi tersebut tidak adekuat, di samping cukup banyak protein yang dikeluarkan dan konsumsi protein kurang, protein plasma akan menurun dan terjadi hipoalbuminemia.

c. Hiperlipidemia Hiperlipidemia muncul sebagai akibat penurunan tekanan onkotik disertai penurunan aktivitas degradasi lemak karena penurunan kadar protein yang merangsang enzim lipase.

4. Pemeriksaan Anjuran
a. Tes fungsi hati Bilirubin: jika kadar naik berarti ada kelainan karena sumbatan saluran empedu

14

SGPT & SGOT: kalau kadar naik berarti ada kelainan, karena enzim baru keluar jika hati dalam keadaan rusak AVP: memeriksa keganasan hati b. Tes fungsi ginjal c. BUN (Blood Urea Nitrogen): Untuk melihat fungsi ginjal dan mengukur kadar nitrogen yang disaring oleh ginjal yang dibuang oleh urin d. Biopsi ginjal: dilakukan sebagai pilihan terakhir (mahal, diagnose pasti, biasanya untuk anak umur 5-6 tahun) e. MRI: menggambarkan pembuluh darah ginjal f. USG: struktur anatomi ginjal

5. Penatalaksanaan a. Diet tinggi protein 3-5 g/kg BB/hari, diet rendah lemak dan garam b. Bila perlu lakukan transfusi plasma atau albumin untuk meningkatkan
kadar albumin dalam tubuh

c. Atasi infeksi
d. Berikan terapi suportif: tirah baring, diuretik intra vena flurosemid (4080 mg) dapat diulangi atau dosis ditinggikan setelah 4 jam, obat penurun lemak golongan statin seperti simvastatin; pravastatin; dan novastatin e. Lakukan work up untuk diagnostik dan untuk mencari komplikasi f. Terapi prednisone

6. Prognosis
Prognosis untuk kehidupan (quo ad Vitam): dubia ad bonam, karena tidak adanya kegawatan selama pasien berada di Rumah Sakit. Prognosis terhadap kesembuhan (quo ad sanationam) dan fungsi tubuh (quo ad fungsionam) adalah dubia ad bonam.

15

BAB IV KESIMPULAN

Pasien ini mengalami gejala edema anasarca dari penyakit sindrom nefrotik yang dideritanya. Diagnosa diperkuat dengan pemeriksaan laboratorium penunjang dan hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa pasien mengalami trias sindrom nefrotik. Beberapa hal yang harus diperhatikan yakni perbaikan konsumsi pasien dan terapi menggunakan prednison. Prognosis untuk kehidupan (quo ad Vitam) adalah ad bonam, karena tidak adanya kegawatan selama pasien berada di Rumah Sakit. Prognosis terhadap kesembuhan (quo ad sanam) dan fungsi tubuh (quo ad fungsionam) adalah ad bonam.

16

DAFTAR PUSTAKA

1. Price, S.A. dan Wilson, L.M., 2003. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. 6th ed. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2. Mubin, A.H., 2006. Panduan Praktis Ilmu Penyakit Dalam: Diagnosis dan Terapi. 2nd ed. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 3. Sutedjo, A.Y., 2012. Buku Saku: Mengenali Penyakit Melalui Hasil Pemeriksaan Laboratorium. Yogyakarta: Penerbit Amara Books. 4. Dugdale, David. 2012. Pleural Effusion. Available: www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmedhealth/PMH0001150 (diakses tanggal 21 Maret 2013) 5. Braunwald, Eugene, Kurt J. Isselbacher, Robert G. Petersdorf (Ed.). 1987. Harrison's Principles of Internal Medicine. 11th ed. USA: McGraw-Hill. 6. 7. Editor Sudoyo,W.Aru dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.Ed.5Jakarta; Internal Publishing. 2009 8. Lauralee Sherwood. Fisiologi Manusia. alih bahasa indonesia, Brahmn U. Pendit; editor edisi bahasa indonesia. Nella Yesdelita.Ed.6.Jakarta; EGC,2011. 9. Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2006 10. Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Panduan Pelayanan Medik. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2006

17

You might also like