You are on page 1of 7

MENELAAH MAKNA TUTURAN

Oleh
Widiatmoko
e.: moko.geong@gmail.com
w.: http://mokogeong.multiply.com

Bahasa adalah alat komunikasi antarpenutur untuk menyampaikan ide atau informasi.
Di dalam kehidupan sehari-hari, manusia selalu menggunakan bahasa dalam
berinteraksi sosial. Blakemore mengatakan ‘We communicate our knowledge and our
ignorance, our anger and our pleasure, our needs and our intentions. Just as communication
serves a variety of purposes it assumes a variety of forms. We may communicate by writing a
book or making a speech, with a torrent of words or with one, with a grunt or with silence, by
waving our arms or by raising our eyebrows. In some cases the means is chosen with great
deliberation and care. In others the choice is spontaneous and virtually unconscious’ (1992).
Bahasa yang digunakan adalah bahasa yang berterima artinya betapapun
tuturan atau ujaran yang disampaikan secara gramatikal salah, namun ia bisa
dimengerti oleh pendengar atau lawan bicara. Namun sebaliknya, seorang pembelajar
bahasa asing, khususnya bahasa Inggris, penggunaan ungkapan ketika berinteraksi
sosial di masyarakat akan cenderung berbeda dari bahasa ibunya, bahasa yang
digunakan sehari-hari. Terkadang, seorang pembelajar bahasa Inggris akan mematuhi
aturan tata bahasa untuk berkomunikasi secara tidak formal sekalipun. Padahal,
manakala aspek keformalan yang digunakan secara ketat, sulit sekali dibedakan antara
bahasa yang digunakan di dalam forum-forum resmi dan bahasa yang digunakan di
dalam situasi takresmi. Memang, bahasa tidak hanya digunakan untuk menyatakan
sebuah proposisi yang relevan sebagaimana deskripsi dunianya, seperti dalam kalimat:
There is a snake in the grass. Pembicara kalimat tersebut memiliki klaim bahwa ‘ada seekor
ular’ atau ‘mengingatkan pendengar bahwa di sana ada seekor ular.’
Bahasa juga dapat digunakan untuk membuat perjanjian seperti pada kalimat I
promise that I will not smoke, untuk mempengaruhi tindakan, seperti pada kalimat Stop
smoking, dan untuk menjalin hubungan sosial, seperti pada kalimat I pronounce you man
and wife. Dengan kata lain, bahasa bisa digunakan tidak hanya untuk menggambarkan
suasana hati tetapi juga untuk mencipta hal-hal lain. Oleh karena itu, menurut teori
tindak tutur, komunikasi bukanlah suatu hal di mana maksud seseorang dapat
dimengerti melainkan hal di mana maksud seseorang digunakan untuk melakukan jenis
tindak tutur yang telah dikenal (Blakemore, 1992).
Demikian pula halnya, pengguna bahasa asing jarang atau boleh disebut tidak
mengetahui penggunaan ungkapan dalam konteks sosial di mana bahasa itu digunakan.
Misalnya, ungkapan Hello, sir, where are you going? adalah tidak lazim digunakan kepada
penutur asing ketika dimaksudkan sebagai sapaan. Ketidakmengertian penggunaan
ungkapan sebagai alat penyampai ide atau gagsan bisa disebabkan oleh berbagai hal.
Manakala mengacu pada deiksis, ungkapan tersebut merupakan deiksis spasial (spatial
deixis) sebab jawaban yang diharapkan bisa jadi menjadi salah dipahami oleh pendengar
atau lawan bicara. Apa yang dimaksud oleh pembicara adalah untuk sapaan, sedangkan
pendengar atau lawan bicara menganggap ungkapan tersebut merupakan ungkapan
deiksis spasial yang memerlukan jawaban lokasi. Semua ini tentu akan sangat
bergantung pada pembicara dan pendengar dalam interaksi berbicara semuka (face-to-
face spoken interaction) (Yule, 1996).
Deiksis spasial menekankan ‘hither’ (ke tempat ini) dan ‘thence’ (dari tempat itu).
Seorang pembicara dengan deiksis spasial mampu memproyeksikan dirinya ke lokasi
lain sebelum benar-benar berada di tempat tersebut (Yule, 1996). Manakala ungkapan
tersebut dilihat dari tindak tutur, ia mengandung tiga tindak: tindak lokusi (tindak
dasar tuturan yang menghasilkan ekspresi atau ungkapan linguistik bermakna), tindak
ilokusi (tuturan komunikatif sebagai tujuan pembicara dalam komunikasi), dan tindak
perlokusi (dampak yang dipahami oleh pendengar akibat komunikasi) (Yule, 1996).
Oleh karena itu, ungkapan di atas diuraikan sebagai ilokusi manakala pembicara
hendak mengungkapkan ‘sapaan’, perlokusi manakala pendengar menyimpulkan
ungkapan tersebut sebagai sesuatu yang memerlukan jawaban ‘lokasi’, dan lokusi
manakala ungkapan tersebut berbentuk pertanyaan.
Pembelajaran bahasa Inggris diharuskan untuk mengetahui aspek-aspek yang
mempertimbangkan kepada siapa pemakai bahasa berkomunikasi dan ragam bahasa
apa yang seharusnya digunakan. Hal ini tentu bisa dilakukan oleh setiap orang pemakai
bahasa Inggris sebagai bahasa internasional di mana pemahaman antarbudaya yang
terkandung di dalamnya turut berperanan dalam mempengaruhi komunikasi.
Komunikasi yang terjadi berkembang seiring dengan tindak tutur yang turut
berkembang pula. Clyne mengatakan ‘Moreover, because of the intercultural nature of the
communication, it is possible to focus on cultural variation (as well as gender variation and
variation between workplace) in the incidence of particular speech acts and the way in which they
are performed.’
Oleh karena itu, peranan seseorang bertutur dirasa begitu penting untuk
mempengaruhi pendengar agar secara timbal balik berkomunikasi secara interaktif,
terlebih di dalam bahasa Inggris sebagai bahasa asing.

Pragmatik dalam Komunikasi


Manakala ditilik ke belakang, di sana terjadi awal kajian bahasa yang kemudian
dinamai pragmatik, akan dijumpai penemuan yang dilakukan oleh Katz bersama
kawan-kawannya tentang bagaimana mengintegrasikan makna dalam teori linguistik.
Mulai tahun-tahun ini keberadaan semantik diperhitungkan oleh para ahli bahasa,
kemudian Lakoff dan Ross (1971) menandaskan bahwa sintaksis tidak dapat dipisahkan
dari kajian pemakaian bahasa (Kaswanti Purwo, 1990). Hal senada juga diungkapkan
oleh Leech, ‘So pragmatics was henceforth on the linguistic map. Its colonization was only the
last stage of a wave-by-wave expansion of linguistics from a narrow discipline dealing with the
physical data of speech to a broad discipline taking in form, meaning, and context’ (Leech, 1983).
Manakala makna telah diakui sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari bahasa,
sulit diingkari pentingnya konteks pemakaian bahasa karena makna itu selalu berubah-
ubah berdasarkan konteks pemakaian itu.
Ditilik bagaimana para ahli menempatkan makna sebagai hal yang penting,
Gilbert H. Harman (1971) menyebutkan tiga pendekatan yang digunakan, yakni: a)
kelompok Carnap, Ayer, Lewis, Firth, Hempel, Sellars, Quine yang memandang makna
bertalian dengan bukti dan inferensi, b) kelompok Morris, Stevenson, Grice, Katz yang
memandang makna sebagai suatu ide, gagasan, perasaan, atau gerakan sebuah
ungkapan bisa digunakan untuk berkomunikasi, c) kelompok Wittgenstein, Austin,
Hare, Nowell-Smith, Searle, Alston yang memandang makna sebagai sesuatu yang
bertalian dengan tindak tutur (Steinberg dan Jacobovits, 1971).
Teori yang pertama dipahami sebagai teori yang mengabdikan aspek sosial
bahasa. Dalam pandangannya, teori ini juga menerima bahasa privat di mana seseorang
akan mengungkapkan gagasannya tanpa harus mengkomunikasikannya dengan orang
lain. Namun ini sangat tidak argumentatif. Teori kedua memiliki dua sudut pandang.
Menurut Katz, seseorang memahami kata-kata yang diungkapkan seseorang dengan
men-decode kata-kata tersebut ke dalam gagasan yang bertalian. Sedangkan menurut
Grice, seseorang mengartikan ‘P’ dengan kata-kata dalam komunikasi manakala
seseorang menggunakannya ketika menarik perhatian seseorang untuk memikirkannya.
Teori ketiga adalah teori yang mendapat perhatian dari Chomsky. Dia berpendapat teori
ini mengabaikan aspek-aspek kreatif penggunaan bahasa. Bahasa ada disebabkan oleh
ungkapan untuk berpendapat secara bebas. Oleh karena itu, telaah pragmatik dapat
dibedakan atas pragmatik sebagai sesuatu yang diajarkan dan pragmatik sebagai
sesuatu yang mewarnai tindakan mengajar. Pragmatik sebagai sesuatu yang diajarkan
dibagi menjadi pragmatik sebagai bidang kajian linguistik dan pragmatik sebagai salah
satu segi di dalam bahasa (sebagai fungsi komunikatif) yang lazimnya disampaikan di
dalam pengajaran bahasa asing (Kaswanti Purwo, 1990).
Pragmatik menurut Charles Morris sebagaimana dikutip oleh Kaswanti Purwo
(1990) didefinisikan sebagai telaah mengenai hubungan di antara lambang dan
penafsirnya. Dia membuat pembatasan definisi untuk membuat penegasan antara
semantik dan pragmatik. Kaswanti Purwo (1990) memberi definisi yang tegas bahwa
pragmatik adalah telaah mengenai segala aspek makna yang tidak tercakup di dalam
teori semantik. Dia menekankan pada telaah makna tuturan (utterance) yang merupakan
pengujaran kalimat pada konteks yang sesungguhnya atau makna yang terikat konteks
(context-dependent) (Kaswanti Purwo, 1990).
Wijana memberi penjelasan pengertian antara semantik dan pragmatik sebagai
cabang-cabang ilmu bahasa yang menelaah makna-makna satuan lingual, hanya saja
semantik mempelajari makna secara eksternal (Wijana, 1996). Kata ‘bagus’ secara
eksternal bermakna ‘baik’ atau ‘tidak buruk’, dan kata ‘presiden’ secara internal
bermakna ‘kepala negara’, seperti terlihat dalam kalimat-kalimat di bawah ini.
(1) Prestasi kerjanya yang bagus membuat ia dapat diangkat untuk masa jabatan yang
kedua.
(2) Presiden itu sedang menuruni tangga pesawat.
Secara eksternal, bila dilihat dari penggunaannya, kata ‘bagus’ tidak selalu
bermakna ‘baik’ atau ‘tidak buruk’. Begitu pula ‘presiden’ tidak selalu bermakna ‘kepala
negara’, seperti terlihat dalam dialog berikut ini.
(3) Ayah: Bagaimana ujian matematikamu?
Ali: Wah, hanya dapat 45, Pak.
Ayah: Bagus, besok jangan belajar. Nonton terus saja.
(4) Awas presidennya datang!
Kata ‘bagus’ dalam (3) tidak bermakna ‘baik’ atau ‘tidak buruk’, tetapi sebaliknya.
Sementara itu, bila kalimat (4) digunakan untuk menyindir, kata ‘presiden’ tidak
bermakna ‘kepala negara’, tetapi bermakna ‘seseorang yang secara ironis pantas
mendapatkan sebutan itu’.
Dari uraian di atas terlihat bahwa makna yang ditelaah oleh semantik adalah
makna yang bebas konteks (context-independent), sedangkan makna yang dikaji oleh
pragmatik adalah makna yang terikat konteks (context-dependent).
Peccei (1999) mengadakan eksplorasi makna atas makna yang dibedakan antara
semantik dan pragmatik. Keduanya adalah dua wilayah kajian linguistik yang melihat
pada pengetahuan yang digunakan untuk menyimpulkan makna ketika seseorang
mendengar atau membaca, dan menyampaikan makna ketika seseorang berbicara atau
menulis. Semantik, menurutnya, menekankan pada makna yang berasal dari
pengetahuan linguistik secara murni, sedangkan pragmatik menekankan pada aspek-
aspek makna yang tidak bisa diramalkan dengan pengetahuan linguistik dan
mempertimbangkan pengetahuan tentang dunia fisik dan sosial (Peccei, 1999).
Kalimat It’s cold in here memiliki dua interpretasi yaitu makna semantik atau
lebih dikenal sebagai parafrase semantik dan makna pragmatik atau dikenal sebagai
parafrase pragmatik. Manakala konteks yang digunakan adalah Ali and Ani are in the
living room. Ali asks Ani whether she’d like to eat dinner in the living room or the kitchen. Ani
replies: It’s cold in here,’ makna semantiknya adalah The temperature in this place is frigid,
sedangkan makna pragmatiknya adalah Let’s eat in the kitchen.
Manakala konteks yang digunakan adalah The lecturer and her student, Ani, are in
the drawing room. The window is open. The lecturer says, ‘It’s cold in here,’ makna
semantiknya The temperature in this place is frigid, sedangkan makna pragmatiknya Ani,
shut the window.
Dari dua contoh konteks yang berbeda, diketahui bahwa penekanan analisis
pragmatik adalah pada makna tuturan pembicara daripada makna kata atau kalimat
sebagaimana dalam semantik. Perbedaan antara semantik dan pragmatik memang tidak
terlalu jelas. Namun, manakala ditelusuri lebih jauh, perbedaan keduanya adalah
sebagaimana diungkapkan oleh Leech. Menurutnya, semantik dan pragmatik sama-
sama membahas makna. Namun, makna dalam pragmatik bersifat relatif bagi pengguna
bahasa, sedangkan makna dalam semantik secara murni sebagai sesuatu yang dimiliki
dalam ungkapan pada suatu bahasa. Makna yang dikaji oleh semantik bersifat diadis.
Makna itu dapat dirumuskan dengan kalimat Apa makna X itu? Makna yang ditelaah
oleh pragmatik bersifat triadis. Makna itu dapat dirumuskan dengan kalimat Apakah
yang kamu maksud dengan berkata X itu? (Leech, 1983).
Yule mendefinisikan semantik sebagai studi yang membahas tentang hubungan
antara bentuk-bentuk dan entitas-entitas linguitsik di dunia yaitu bagaimana kata-kata
secara literal berhubungan dengan sesuatu. Sedangkan pragmatik membahas hubungan
antara bentuk-bentuk linguistik dan para pengguna bentuk-bentuk tersebut (Yule, 1996).
Dengan demikian, banyak sekali definisi tentang pragmatik. Yang jelas, simpul
pemahaman linguis satu dengan lainnya adalah serupa. Analisis pragmatik mencakupi
(1) suatu satuan lingual (atau kalimat) dapat dipakai untuk mengungkapkan sejumlah
fungsi di dalam komunikasi, dan (2) suatu fungsi komunikatif tertentu dapat
diungkapkan dengan sejumlah satuan lingual (Kaswanti Purwo, 1990). Untuk
memahami makna tersebut, seseorang akan memiliki interpretasi yang bergantung pada
pengetahuan linguistik dan pengetahuan nonlinguistik di mana terjadi pada konteks
sosial yang berbeda (Blakemore, 1992).
Pragmatik sebagaimana Recanati (1987) yang dinukil oleh Blakemore lebih
memiliki perbedaan terminologi dengan semantik. Keberterimaan suatu ujaran lebih
dipengaruhi oleh faktor-faktor di luar grammatical well-formedness sehingga suatu ujaran
bisa saja mengandung kalimat gramatikal tetapi belum berterima atau kalimat
takgramatikal bisa jadi sebagai penghasil ujaran yang berterima (Blakemore, 1992).
Yule juga mendefinisikan pragmatik sebagai studi makna sebagaimana
disampaikan oleh pembicara atau penulis dan dipahami oleh pendengar atau
pembacanya. Akibatnya, ini akan bertalian dengan analisis terhadap apa yang
dimaksudkan melalui tuturan-tuturan pembicara daripada kata-kata atau frasa-frasa
yang ada di dalam tuturan itu sendiri. Oleh karena itu, pragmatik disebut juga sebagai
kajian makna pembicara. Pragmatik di samping itu mengkaji interpretasi apa yang
dimaksudkan oleh seorang pembicara di dalam konteks tertentu dan bagaimana
konteks tersebut mempengaruhi apa yang hendak diungkapkan. Seorang pembicara
akan mempertimbangkan dengan siapa dia akan berbicara atau menyampaikan
maksudnya, di mana, kapan, dan keadaan seperti apa. Oleh karena itu, pragmatik
disebut sebagai studi yang mengkaji makna berdasarkan pada konteksnya. Pragmatik
pada sisi lain mengkaji bagaimana pendengar memahami apa yang dikatakan oleh
pembicara untuk selanjutnya menyimpulkannya. Kajian ini lebih menitikberatkan pada
berapa banyak apa yang tidak dikatakan bisa dikenali sebagai bagian apa yang
disampaikan oleh pembicara. Oleh karena itu, pragmatik merupakan bidang yang
mengkaji bagaimana mendapatkan apa yang disampaikan daripada apa yang dikatakan
(Yule, 1996).
Menurut Green, pragmatik adalah studi yang mengkaji pemahaman tindakan
intensional manusia yang melibatkan interpretasi tindakan yang diambil untuk
memenuhi tujuan (Green, 1989). Levinson membuat definisi tentang pragmatik sebagai
studi tentang bahasa dari perspektif fungsional yang berusaha menjelaskan aspek
linguistik dengan sebab-sebab dan pengaruh-pengaruh nonlinguistik (Levinson, 1983).
Namun, definisi ini tidak mampu membedakan pragmatik linguistik dengan disiplin
ilmu lain, seperti sosiolinguistik maupun psikolinguistik yang tertarik dengan
pendekatan fungsional terhadap bahasa.
Levinson sangat apresiatif terhadap pendapat Chomsky bahwa pragmatik
bertalian dengan prinsip-prinsip penggunaan bahasa dan tidak bertalian dengan
penggambaran struktur linguistik. Untuk membedakan kompetensi dan performansi,
Chomsky menambahkan definisi pragmatik sebagai suatu studi yang bertalian dengan
prinsip-prinsip kinarya (performance) dari penggunaan bahasa. Oleh karena itu, Katz dan
Fodor (1963) sebagaimana dikutip oleh Levinson (1983) mengatakan bahwa teori
pragmatik atau lazim disebut teori setting selection bertalian dengan penolakan
ketaksaan kalimat-kalimat pada konteksnya di mana mereka dituturkan (Levinson,
1983). Secara nyata bahwa konteks berfungsi lebih banyak daripada hanya memilah
sumber semantik suatu kalimat. Pada pendapat selanjutnya, Levinson membatasi
pengertian pragmatik pada suatu studi yang mengkaji aspek-aspek struktur linguistik
dan studi tentang aspek-aspek kegunaan bahasa yang tidak relevan secara gramatika
(Levinson, 1983). Lingkup pragmatik yang demikian ini mencakupi kajian tentang
deiksis yang terdiri atas honorifics dan sejenisnya, presupposition, dan speech acts
(Levinson, 1983).
Pragmatik sebagaimana Leech ungkapkan adalah pragmatik umum. Hal ini
untuk membedakan kajian tentang kondisi-kondisi umum tentang penggunaan (use)
bahasa secara komunikatif dan menanggalkan kondisi-kondisi ‘lokal’ yang lebih spesifik
tentang penggunaan (use) bahasa (Leech, 1983). Pragmatik umum ini mencakupi
sosiopragmatik yang mengkhususkan budaya (culture specific) dan bertalian dengan
cooperative principle dan politeness principle yang digunakan di dalam kultur dan
masyarakat pengguna bahasa yang berbeda dan pragmalinguistik yang mengkhususkan
bahasa (linguistic specific) (Leech, 1983). Bahasan tentang pragmatik umum ini pada
akhirnya bertalian dengan kajian tentang komunikasi linguistik terutama prinsip-
prinsip percakapan. Studi tentang pragmatik akan bertalian dengan situasi berbicara
yang menurut Leech mencakupi pengirim (addresser) atau penerima (addressee), konteks
tuturan (context of utterance), tujuan tuturan (goals of utterance), tuturan sebagai bentuk
kegiatan (utterance as a form of act or activity), dan tuturan sebagai produk tindak verbal
(utterance as a product of a verbal act) (Leech, 1983).

Simpulan
Komunikasi antarmanusia menggunakan bahasa. Bahasa yang digunakan adalah
bahasa yang berterima oleh pendengar. Begitupun seseorang ketika berkomunikasi
dalam bahasa asing dituntut untuk memahami pesan yang disampaikan oleh
pembicara. Ini memang tidak mudah, sebab diperlukan pemahaman makna yang ada
dalam pikiran pembicara untuk bisa dikomunikasikan kembali oleh pendengar kepada
pembicara sehingga terjadi interaksi sosial. Dengan menggunakan bahasa yang benar
dan berterima, seseorang bisa menyampaikan pesan-pesannya kepada pendengar.
Apapun konteks sosial yang ada, bahasa akan ada. Itu sebab, telaah makna adalah
bagian yang tidak terpisahkan dari linguistik. Pragmatik adalah salah satu wilayah
kajian yang menelaah makna tuturan dan bukan sebagaimana semantik bahas – telaah
makna kalimat.

Pustaka Acuan
Blakemore, Diane. 1992. Understanding Utterances. Oxford: Blackwell.
Clyne, Michael. 1994. Intercultural Communication at Work: Cultural Values in Discourse.
Cambridge: Cambridge University.
Green, George. 1989. Pragmatics and Natural Language Understanding. Lawrence Erlbaum.
Kaswanti Purwo, Bambang. 1990. Pragmatik dan Pengajaran Bahasa: Menyibak Kurikulum
1984. Yogyakarta: Kanisius.
Leech, Geoffrey N. 1983. Principles of Pragmatics. England: Longman.
Levinson, Stephen C. 1983. Pragmatics. Cambridge: Cambridge University.
Peccei, Jean Stilwell. 1999. Pragmatics. London: Routledge.
Steinberg, Danny D. dan Leon A. Jakobovits. 1971. Semantics: An interdisciplinary Reader
in Philosophy, Linguistics, and Psychology. Cambridge: Cambridge University.
Wijaya, I Dewa Putu. 1996. Dasar-dasar Pragmatik. Yogyakarta: Andi Offset.
Yule, George. 1996. Pragmatics. Oxford: Oxford University

You might also like