You are on page 1of 15

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Skizofrenia berasal dari dua kata, yaitu schizo yang artinya retak atau pecah atau terbelah (split), dan phrenia yang artinya jiwa. Dengan demikian seseorang yang menderita skizofrenia adalah seseorang yang mengalami keretakan jiwa atau keretakan kepribadian. Skizofrenia merupakan suatu deskripsi sindrom dengan variasi penyebab (banyak bekum diketahui) dan perjalanan penyakit (tak selalu bersifat kronis atau deteriorating) yang luas, serta sejumlah akibat yang tergantung pada perimbangan pengaruh genetik, fisik, dan sosial budaya. Pada umumnya ditandai oleh penyimpangan yang fundamental dan karakteristik dari pikiran dan persepsi, serta oleh afek yang tidak wajar (inappropriate) atau tumpul (blunted). Kesadaran yang jernih (clear

consciousness) dan kemampuan intelektual biasanya tetap terpelihara, walaupun kemunduran kognitif tertentu dapat berkembang kemudian.

2.2 Epidemiologi Di Amerika Serikat prevalensi skizofrenia seumur hidup dilaporkan secara bervariasi terentang dari 1 sampai 1,5 persen; konsisten dengan rentang tersebut, penelitian Epidemiological Catchment Area (ECA) yang disponsori oleh National Institute of Mental Health (NIMH) melaporkan prevalensi seumur hidup sebesar 1,3 persen. Kira-kira 0,025 sampai 0,05 persen populasi total diobati untuk skizofrenia dalam satu tahun. Walaupun duapertiga dari pasien yang diobati tersebut membutuhkan perawatan di rumah sakit, hanya kira-kira setengah dari semua pasien skizofrenia mendapatkan pengobatan, tidak tergantung pada keparahan penyakit. Prevalensi skizoprenia di dunia sekitar 0,2 2 % populasi. Angka kejadian pada wanita sama dengan pria, tetapi onset pada pria umumnya lebih awal (: 15 24 th; : 25-35 th). Prevalensinya 8 x lebih besar pada tingkat sosial ekonomi

rendah. Dri penelitian, orang yang dilahirkan pada musim dingin atau awal musim semi lebih banyak daripada orang yang dilahirkan di akhir musim semi atau musim panas. Daerah perkotaan lebih tinggi 2x daripada daerah pedesaan. Skizofrenia merupakan 25% dari semua gangguan psikotik dan 50% dari semua penderita gangguan jiwa.

2.3 Etiologi Para peneliti percaya bahwa sejumlah faktor biologis dan lingkungan berperan dalam munculnya penyakit ini. Namun, para ilmuwan belum mengetahui etiologi pasti penyakit ini. Karena variasi gejala, banyak yang percaya bahwa skizofrenia merupakan sekelompok gangguan (group disorders), tidak seperti penyakit kronis lainnya. Meskipun asal skizofrenia belum diidentifikasi, para ilmuwan tahu bahwa ada beberapa dasar keturunan atau kecenderungan genetik untuk penyakit ini. 1. Model diatesis - stress Menurut teori ini skizofrenia timbul akibat faktor psikososial dan lingkungan. Model ini berpendapat bahwa seseorang yang memiliki kerentanan (diatesis) jika dikenai stresor akan lebih mudah menjadi skizofrenia. 2. Faktor Biologi Komplikasi kelahiran. Bayi laki laki yang mengalami komplikasi saat dilahirkan sering mengalami skizofrenia, hipoksia perinatal akan meningkatkan kerentanan seseorang terhadap skizofrenia. Infeksi. Perubahan anatomi pada susunan syaraf pusat akibat infeksi virus pernah dilaporkan pada orang orang dengan skizofrenia. Penelitian mengatakan bahwa terpapar infeksi virus pada trimester kedua kehamilan akan meningkatkan seseorang menjadi skizofrenia. Hipotesis Dopamin. Dopamin merupakan neurotransmiter pertama yang berkontribusi terhadap gejala skizofrenia. Hampir semua obat antipsikotik baik tipikal maupun antipikal menyekat reseptor dopamin D2, dengan terhalangnya transmisi sinyal di sistem dopaminergik maka gejala psikotik

diredakan.1 Berdasarkan pengamatan diatas dikemukakan bahwa gejala gejala skizofrenia disebabkan oleh hiperaktivitas sistem dopaminergik.57 Hipotesis Serotonin. Gaddum, wooley dan show tahun 1954

mengobservasi efek lysergic acid diethylamide (LSD) yaitu suatu zat yang bersifat campuran agonis/antagonis reseptor 5-HT. Temyata zatini menyebabkan keadaan psikosis berat pada orang normal. Kemungkinan serotonin berperan pada skizofrenia kembali mengemuka karena penetitian obat antipsikotik atipikal clozapine yang temyata mempunyai afinitas terhadap reseptor serotonin 5-HT~ lebih tinggi dibandingkan

reseptordopamin D2.57 Struktur Otak. Daerah otak yang mendapatkan banyak perhatian adalah sistem limbik dan ganglia basalis. Otak pada pendenta skizofrenia terlihat sedikit berbeda dengan orang normal, ventrikel teilihat melebar, penurunan massa abu abu dan beberapa area terjadi peningkatan maupun penurunan aktifitas metabolik. Pemenksaaninikroskopis dan jaringan otak ditemukan sedikit perubahan dalam distnbusi sel otak yang timbul pada masa prenatal karena tidak ditemukannya sel glia, biasa timbul pada trauma otak setelah lahir. 3. Genetik Risiko kejadian pada populasi umum berkisar 1%. Pada anak yang kedua orang tuanya menderita skizofrenia, resiko terjadinya skizofrenia mencapai 40%. Kembar monozigot lebih beresikountuk mengalami skizofrenia (40-50%) dibandingkan kembar dizigot (10%). Resiko terjadinya skizofrenia juga meningkat pada anggota keluarga biologis dari pasien skizofrenia, yaitu sebesar 10% pada anggota keluarga tingkat pertama. Cameron (2004) menyebutkan bahwa pada penelitian lainnya mengenai pola adopsi dalam hubungannya dengan faktor genetik, diketahui bahwa pengasuhan bayi yang jauh dari orang tuanya yang menderita skizofrenia dapat menahan peningkatan resiko bagi anak tersebut untuk mengalami skizofrenia di kemudian hari.

4. Perinatal Menurut Frankenburg (2007), banyak penelitian yang mengungkap hubungan antara kehamilan dan komplikasi kelahiran dengan skizofrenia. Resiko perinatal tersebut menunjukkan bahwa skizofrenia merupakan suatu gangguan neurodevelopmental. Sebagai contoh, para wanita hamil yang malnutrisi ataupun mengalami penyakit infeksi virus memiliki resiko yang lebih tinggi untuk melahirkan anak dengan bakat sikzofrenia yang kuat. Hal ini pernah terjadi pada pada banyak wanita Belanda selama Perang Dunia II (akibat malnutrisi), wanita-wanita di Jepang, Inggris, dan Skandinavia pada tahun 1957 yang wilayahnya merupakan epidemi penyakit flu akibat infeksi virus influenza A2, serta ibu-ibu hamil di California yang menderita flu pada trimester pertama (1959-1966). Selain kedua faktor tersebut, menurut Cameron (2004) kejadian skizofrenia juga berhubungan dengan faktor abnormalitas otak, yaitu: pembesaran ventrikel otak (berhubungan dengan dengan adanya gejala negatif pada pasien skizofrenia) ataupun penyusutan ukuran otak (terutama pada lobus temporal-frontal, hippocampus, amygdala, dan girus

parahippocampal). Abnormalitas otak ini diketahui melalui pemeriksaan neuroimaging otak pada pasien skizofrenia. Skizofrenia juga dihubungkan dengan abnormalitas neurotransmiter, yaitu akibat adanya aktivitas yang berlebihan (over activity) dari dopamin mesolimbik di dalam otak. Penyakit dan kondisi lain yang juga berhubungan dengan kejadian skizofrenia, yaitu: penyakit metabolik ( Wilson disease/degenerasi

hepatolenticular), penyakit endokrin (disfungsi tiroid, adrenal, paratiroid), penyakit infeksi (influenza, Lyme disease, hepatitis C, encephalitis, neurosyphilis), penyakit lain (multiple sclerosis, Huntington disease, ataupun paraneoplastic neurologic syndromes), obat-obatan yang

berhubungan dengan perubahan status mental (kortikosteroid, levodopa, beta blocker), serta defisiensi thiamine dan vitamin B-12.

2.4

Faktor Resiko Faktor risiko yang berperan dalam terjadinya skizofrenia antara lain: Riwayat skizofrenia dalam keluarga Perilaku premorbid yang ditandai dengan kecurigaan, eksentrik, penarikan diri, dan/atau impulsivitas. Stress lingkungan Kelahiran musim dingin. Status social ekonomi yang rendah Masalah saat kehamilan dan proses kelahiran Bentuk tubuh astenik. Penyalahgunaan obat-obatan. Usia ayah saat hamil di atas 60 tahun

2.5.

Patofisiologi Beberapa teori mengatakan skizoprenia terjadi berkaitan erat melibatkan sistem dopaminergik dan serotonergik pada sistem saraf pusat. Hipotesis/teori tentang patofisiologi skizoprenia : Pada pasien skizoprenia terjadi hiperreaktivitas sistem dopaminergik Hiperdopaminergia pada sistem mesolimbik berkaitan dengan gejala positif Hipodopaminergia pada sistem mesocortis dan nigrostriatal bertanggungjawab terhadap gejala negatif dan gejala ekstrapiramidal Reseptor dopamine yang terlibat adalah reseptor dopamine-2 (D2) dijumpai peningkatan densitas reseptor D2 pada jaringan otak pasien skizoprenia Peningkatan aktivitas serotonergik menurunkan aktivitas dopaminergik pada sistem mesocortis bertanggung-jawab terhadap gejala negatif

2.6

Penegakkan Diagnosis Terdapat berbagai kriteria diagnostik untuk skizofrenia, yaitu: 1. Kriteria Kurt Schneider 2. Kriteria Gabriel Langfeldt 3. Indeks Skizofrenia New Heaven 4. Sistem Fleksibel 5. Kriteria Diagnostik Riset 6. Kriteria St.Louis 7. Kriteria Taylor dan Abrams 8. Present State Examination 9. Kriteria Tsuang dan Winokur

Kriteria diagnostik resmi dari DSM-IV American Psychiatric Association untuk skizofrenia, yaitu: A. Gejala karakteristik: Dua (atau lebih) berikut, masing-masing ditemukan untuk bagian waktu yang bermakna selama periode 1 bulan (atau kurang jika diobati dengan berhasil) (1) waham (2) halusinasi (3) bicara terdisorganisasi (4) perilaku terdisorganisasi atau katatonik yang jelas (5) gejala negative, yaitu pendataran afektif, alogia, atau tidak ada kemauan (avolition) Catatan: hanya ada satu gejala kriteria A yang diperlukan jika waham adalah kacau atau halusinasi terdiri dari suara yang terus menerus mengomentari perilaku atau pikiran pasien, atau dua atau lebih suara yang saling bercakap satu D. Penyingkiran gangguan skizoafektif dan gangguan mood: gangguan skizoafektif dan gangguan mood dengan cirri psikotik telah disingkirkan karena: (1) tidak ada episode depresif berat, manik, atau campuran yang telah terjadi bersama-sama dengan gejala fase aktif; atau (2) jika episode mood telah terjadi selama gejala fase aktif, durasi totalnya adalah relative singkat

dibandingkan durasi periode aktif dan residual. E. Penyingkiran zat/kondisi medis umum: gangguan tidak disebabkan oleh efek

fisiologis langsung dari suatu zat (misalnya, obat yang disalahgunakan suatu medikasi) atau suatu kondisi umum.

sama lainnya. B. Disfungsi sosial/pekerjaan: untuk bagian waktu yang bermakna sejak onset gangguan, satu atau lebih fungsi utama, seperti pekerjaan, hubungan interpersonal, atau perawatan diri, adalah jelas di bawah tingkat yang dicapai sebelum onset (jika onset pada masa anak-anak atau remaja, kegagalan untuk mencapai tingkat pencapaian interpersonal, akademik, atau pekerjaan yang diharapkan).

F. Hubungan dengan gangguan perkembangan pervasiv: jika terdapat riwayat adanya gangguan autistik atau gangguan

perkembangan pervasiv lainnya, diagnosis skizofrenia dibuat hanya jika waham atau halusinasi yang menonjol juga ditemukan untuk sekurangnya satu bulan (atau kurang jika diobati secara berhasil). Klasifikasi longitudinal perjalanan (dapat diterapkan penyakit hanya

setelah sekurangnya 1 tahun lewat sejak onset awal gejala fase aktif): C. Durasi: tanda gangguan terus menerus menetap selama sekurangnya 6 bulan. Periode 6 bulan ini harus termasuk sekurangnya 1 bulan gejala (atau kurang jika diobati dengan berhasil) yang memenuhi kriteria A (yaitu,gejala fase aktif) dan mungkin termasuk periode gejala prodromal atau residual. Selama periode prodromal atau residual, tanda gangguan mungkin Episodik interepisode (episode didefinisikan oleh timbulnya kembali gejala psikotik yang menonjol); juga sebutkan jika: dengan gejala dengan gejala residual

negative yang menonjol Episodik tanpa gejala residual

interepisodik: Kontinu (gejala psikotik yang menonjol ditemukan di seluruh periode observasi); juga sebutkan jika: dengan gejala

dimanifestasikan hanya oleh gejala negative atau dua atau lebih gejala yang dituliskan dalam kriteria A dalam bentuk yang diperlemah (misalnya, keyakinan yang aneh, pengalaman persepsi yang tidak lazim).

negative yang menonjol Episode tunggal dalam remisi parsial; juga sebutkan jika: dengan gejala negative yang menonjol Episode tunggal dalam remisi penuh Pola lain atau tidak ditentukan

Menurut pedoman diagnostik dari PPDGJ-III mengenai skizofrenia,yaitu: Harus ada sedikitnya satu gejala berikut yang amat jelas (dua gejala atau lebih bila gejala-gejala kurang jelas): a. - thought echo = isi pikiran diri sendiri yang berulang/bergema dalam kepala. - thought insertion or withdrawal = isi pikiran yang asing dari luar masuk ke dalam pikirannya (insertion) atau isi pikirannya diambil keluar oleh sesuatu dari luar dirinya (withdrawal). - thought broadcasting = isi pikirannya tersiar keluar sehingga orang lain mengetahuinya. b. - delusion of control = waham tentang dirinya dikendalikan oleh suatu kekuatan dari luar - delusion of influence = waham tentang dirinya dipengaruhi oleh suatu kekuatan dari luar - delusion of passivity = waham tentang dirinya tidak berdaya dan pasrah terhadap suatu kekuatan dari luar - delusional perception = pengalaman inderawi yang tidak wajar, yang bermakna sangat khas bagi dirinya, biasanya bersifat mistik. c. Halusinasi auditorik: Suara halusinasi yang berkomentar teru-menerus terhadap perilaku pasien, atau Mendiskusikan perihal pasien, atau Suara halusinasi yang berasal dari salah satu bagian tubuh

d. Waham-waham menetap jenis lain yang menurut budaya setempat dianggap tidak wajar dan mustahil, misalnya perhial keyakinan agama atau politik tertentu, atau kekuatan dan kemampuan di atas manusia biasa (misalnya mampu mengendalikan cuaca, atau berkomunikasi dengan makhluk asing dari dunia lain). Atau paling sedikit dua gejala di bawah ini yang harus ada secara jelas: e. Halusinasi menetap dari panca indera apa saja, apabila disertai baik oleh waham yang mengambang maupun yang setengah berbentuk

tanpa kandungan afektif yang jelas, ataupun disertai ide-ide yang berlebihan (over-valued ideas) yang menetap (bila terjadi setiap hari selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan). f. Arus pikiran yang terputus (break) atau mengalami sisipan (interpolation), yang berakibat inkoherensi atau pembicaraan yang tidak relevan / neologisme g. Perilaku katatonik, seperti gaduh gelisah (excitement), posturing, atau fleksibilitas cerea, negativisme, mutisme, dan stupor. h. Gejala-gejala negative, seperti apatis, jarang bicara, dan respon emosional yang menumpul, mengakibatkan penarikan diridan menurunnya kinerja sosial. Adanya gejala tersebut di atas telah berlangsung selama satu bulan atau lebih.

2.7

Skizofrenia Paranoid DSM-IV (Diagnostic and Statistical Manual of mental Disorders ed.4) menyebutkan bahwa tipe paranoid ditandai oleh keasyikan (preokupasi) pada satu atau lebih waham atau halusinasi dengar yang sering, dan tidak ada perilaku spesifik lain yang mengarahkan pada tipe terdisorganisasi atau katatonik. Secara klasik, skizofrenia tipe paranoid ditandai terutama oleh adanya waham persekutorik (waham kejar) atau waham kebesaran. Pasien skizofrenia paranoid biasanya berumur lebih tua daripada pasien skizofrenia terdisorganisasi atau katatonik jika mereka mengalami episode pertama penyakitnya. Pasien yang sehat sampai akhir usia 20 atau 30 tahunan biasanya mencapai kehidupan sosial yang dapat membantu mereka melewati penyakitnya. Juga, kekuatan ego pasien paranoid cenderung lebih besar dari pasien katatonik dan terdisorganisasi. Pasien skizofrenia paranoid menunjukkan regresi yang lambat dari kemampuan mentalnya, respon emosional, dan perilakunya dibandingkan tipe lain pasien skizofrenia.

10

Pasien skizofrenia paranoid tipikal adalah tegang, pencuriga, berhati-hati, dan tak ramah. Mereka juga dapat bersikap bermusuhan atau agresif. Pasien skizofrenia paranoid kadang-kadang dapat menempatkan diri mereka sendiri secara adekuat di dalam situasi sosial. Kecerdasan mereka tidak dipengaruhi oleh kecenderungan psikosis mereka dan tetap intak. Kriteria diagnostik untuk skizofrenia tipe paranoid adalah: A. Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia. B. Preokupasi dengan satu atau lebih waham atau halusinasi yang menonjol.

a. Suara-suara halusinasi yang mengancam pasien atau memberi perintah, atau halusinasi auditorik tanpa bentuk verbal berupa bunyi pluit (whistling), mendengung (humming), atau bunyi tawa (laughing); b. Halusinasi pembauan atau pengecapan rasa, atau bersifat seksual, atau lain-lain perasaan tubuh; halusinasi visual mungkin ada tetapi jarang menonjol; c. Waham dapat berupa hampir setiap jenis, tetapi waham dikendalikan (delusion of control), dipengaruhi (delusion of influence), atau passivity (delusion of passivity), dan keyakinan dikejar-kejar yang beraneka ragam, adalah yang paling khas. C. Tidak ada dari berikut ini yang menonjol: bicara terdisorganisasi, perilaku terdisorganisasi atau katatonik, atau afek yang datar atau tidak sesuai.

2.8

Penatalaksanaan Penatalaksanaan skizofrenia terdiri dari terapi farmakologik dan non-farmakologik, sasaran terapinya bervariasi, berdasarkan fase dan keparahan penyakit

11

Pada fase akut : mengurangi atau menghilangkan gejala psikotik dan meningkatkan fungsi Pada fase stabilisasi: mengurangi resiko kekambuhan dan

meningkatkan adaptasi pasien terhadap kehidupan dalam masyarakat 1. Non-farmakologi Program rehabilitasi : living skills, social skills, basic education, work program,supported housing Psikoterapi : terapi tambahan, terutama jika pasien sudah berespon thd obat Family education Psikoterapi individual Terapi suportif Sosial skill training Terapi okupasi Terapi kognitif dan perilaku (CBT)

Psikoterapi kelompok Psikoterapi keluarga Manajemen kasus Assertive Community Treatment (ACT)

2. Farmakologi a. Terapi fase akut skizofrenia : Tujuan terapi 7 hari pertama : mengurangi agitasi, hostility, agresi, anxiety Jika seorang pasien terkena serangan psikotik akut, lebih baik diatasi dengan meng-imobilisasi pasien dulu dan

mengajaknya bicara, kemudian diberi benzodiazepine utk penenang dan atau suatu obat antipsikotik Benzodiazepine (exp: lorazepam 2 mg i.m setiap 30 menit) terbukti efektif mengurangi agitasi sehingga mengurangi

12

dosis antipsikotik yang dibutuhkan mengurangi efek samping Jika dibutuhkan antipsikosis untuk agitasi yang berat obat potensi tinggi bisa digunakan, seperti haloperidol 2-5 mg IM b. Terapi stabilisasi : Terapi minggu ke 2-3 digunakan terapi stabilisasi yang tujuannya untuk meningkatkan sosialisasi dan perbaikan kebiasaan(self-care habits) dan perasaan Mungkin perlu waktu 6-8 minggu utk mendapat respon yang diharapkan, pada pasien kronis mungkin butuh waktu 3-6 bulan Pengobatan : menggunakan antipsikotik atipikal, jika

menggunakan obat tipikal: dosis yang ekuivalen dengan klorpromasin 300-1000 mg dapat digunakan Terapi tidak bisa menyembuhkan, hanya mengurangi gejala

c. Terapi pemeliharaan mencegah kekambuhan Harus diberikan sedikitnya sampai setahun sejak sembuh dari episode akut, bahkan untuk bisa lebih berhasil, perlu terapi selama sedikitnya 5 tahun, lalu dosis pada diturunkan perlahanlahan Terapi pemeliharaan dapat diberikan dalam dosis setengah dari dosis akut Bagi pasien yang kepatuhannya rendah, ada obat yang dibuat dalam formulasi depot contoh : flufenazin dekanoat atau haloperidol dekanoat, dapat diberikan setiap 2 -4 minggu sekali secara i.m. tetapi formulasi depot ini hanya diberikan jika pasien telah memiliki dosis efektif p.o yang stabil

13

BAB III ANALISIS MASALAH

Dari anamnesis dan observasi yang dilakukan terhadap pasien yang bernama Tn. S, 52 tahun, yang beralamat di Kalidoni Palembang, didapatkan psikopatologi berupa keadaan umum yaitu kesadaran compos mentis terganggu, sikap kooperatif terhadap pemeriksa, perhatian adekuat, kontak mata, kontak fisik, dan kontak verbal ada, adanya ekspresi fasial yang tampak gelisah, verbalisasi jelas dan cara bicara lancar. Sedangkan pada keadaan spesifik didapatkan keadaan afek sesuai, mood distimik, hidup emosinya labil, dalam, tak terkendali, adekuat, echt, einfuhlung masih dapat dirabarasakan, skala diferensiasi melebar, arus emosi cepat. Keadaan dan fungsi intelektual os mempunyai daya ingat baik, daya konsentrasi baik, orientasi (waktu, tempat, orang) baik, luas pengetahuan sesuai taraf pendidikan, discriminative insight dan discriminative judgement terganggu, dugaan taraf intelegensia sesuai, dan tidak ada kemunduran intelektual. Pada keadaan sensasi dan persepsi terdapat halusinasi auditorik. Keadaan proses berpikir os mempunyai psikomotilitas cepat, asosiasi longgar ada, mutu proses berpikir jelas, waham grandiosa ada, waham curiga ada, dan pikiran autistik. Keadaan dorongan instinktual: terdapat vagabondage. Reality Testing Ability os terganggu dalam pikiran, perasaan dan perbuatan.

Dari

alloanamnesis

didapatkan

stressor

berupa

masalah

sosial

dilingkungan pekerjaan os. Os pernah menabrak orang hingga orang tersebut tewas. Diketahui pula bahwa os sangat merasa bersalah atas hal itu, terlebih lagi adanya tekanan dari orang-orang sekitar os di kantor atas masalah tersebut. Besar kemungkinannya bahwa dalam hal ini os merasa tertekan dan dikejar-kejar rasa bersalah, sehingga perilaku os mulai tampak berubah. Os telah 2 kali masuk rumah sakit Ernaldi Bahar karena gejala dan tanda yang sama, yaitu pada tahun 2009 dan 2011.

14

Dari data-data yang telah diperoleh diatas, dapat ditegakkan diagnosis pasien ini adalah skizofrenia paranoid episode berulang. Diagnosis ini ditegakkan menurut Kriteria Bleurer yaitu adanya gejala primer dan sekunder skizofrenia. Gejala primer yaitu gangguan asosiasi, gangguan afektif, autistik, dan ambivalensi, sedangkan gejala sekunder adanya waham yang menonjol yaitu waham curiga dan waham grandiose, serta ada halusinasi auditorik yang menyuruhnya keluar rumah dan membicarakan os. Atas dasar adanya kriteria Bleurer diatas dan kriteria PPDGJ III, diagnosis pasien ini termasuk skizofrenia. Dengan adanya waham curiga, waham grandiosa, dan halusinasi perintah merujuk pada skizofrenia subtype paranoid. Os pernah berobat dan sembuh sehingga perjalanan penyakitnya disebut skizofrenia paranoid episode berulang yang dalam PPDGJ III termasuk dalam kode F.20.03. Penatalaksanaan pasien ini meliputi terapi psikofarmaka dan psikoterapi. Psikofarmaka yang diberikan adalah antipsikotik .. dan psikoterapi berupa

Prognosis pasien ini adalah dubia

15

DAFTAR PUSTAKA

1. Kaplan, Harold I., Benyamin J.Sadock, Jack A.Grebb.2002. Sinopsis Psikiatri. Ilmu Pengetahuan Perilaku Psikiatri Klinis. Jilid 2. Tangerang: Binarupa Aksara. 2. Maslim, Rusdi. Diagnosis Gangguan Jiwa. PPDGJ-III.2001. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya. 3. Maramis WF, Skizofrenia, dalam : Catatan ilmu kedokteran jiwa, ed 7, Surabaya, 1998. 4. Surilena, lntervensi psikososial dalam manajemen skizofrenia, dalam : majalah psikiatri, Jakarta 2005

You might also like