You are on page 1of 30

Penatalaksanaan Angina Pectoris

Angina pectoris atau disebut juga Angin Duduk adalah keadaan penderita Penyakit Jantung Koroner yang di tandai nyeri hebat yang berasal dari jantung dan terjadi sebagai respon terhadap suplai oksigen yang tidak adekuat ke sel-sel miokardium dibandingkan kebutuhan mereka akan oksigen, dan bila kebutuhan oksigen tersebut dari sel sel miokardium itu terpenuhi, maka keluhan nyeri dada tersebut akan hilang. Nyeri angina dapat menyebar ke legan kiri, kepunggung, ke rahang atau ke daerah abdomen. Angina pektoris adalah kumpulan gejala klinis berupa serangan nyeri dada yang khas, yaitu seperti ditekan atau terasa berat di dada yang sering menjalar ke lengan kiri. Angina pectoris atau angina ditandai dengan nyeri di tengah dada yang mungkin menjalar juga ke leher, rahang, dan lengan (terutama di sebelah kiri, di mana jantung terletak). Nyeri angina biasanya digambarkan sebagai rasa nyeri berat yang mencengkeram. Angina umumnya terjadi saat melakukan aktivitas fisik berat tetapi dapat dipicu juga oleh kondisi emosi, mencerna makanan berat, atau keluar rumah dalam angin dingin. Rencana penatalaksanaan ada enam bagian, yaitu :

* Menenangkan Harus mengusahakan agar pasien menyadari bahwa ada kemungkinan hidup lama dan berguna. Bahkan meskipun mengidap angina pectoris. Biasanya tidak baik menyarankan statistik tapi cerita riwayat kasus orang-orang dapat sangat berharga. * Tindakan umum Tak ada bukti nyata pada manusia bahwa terosklerosis koroner dapat diusahakan segresinya, tetapi ekstrapdasinya dari eksperimen-eksperimen binatang membuat hal ini tampak ada kemungkinannya. * Penentuan protokol aktivitas jantung

Terapi khusus bergantung pada eliminasi pertentangan antara kebutuhan oksigen. Otot jantung dan kemampuan sirkulasi koroner untuk menutupi kebutuhan ini, kebanyakan dapat dibuat mengerti konsep fundamental ini dapat dipakai dalam program aktifiotas nasional.

* Eliminasi kemungkinan penyakit dapat menyebabkan eksorbasi Angina Pectoris. Sejumlah penyakit tidak primer kardian, sifratnya dapat meningkatkan kebutuhan oksigen dari atau penurunan suplai oksigen ke myokardium. Kondisi ini dapat mengaksorbasi angina pectoris dan harus diperhatikan. * Penyusunan program terapi obat Nitrat-nitrat adalah obat yang paling berharga dalkam angina pectoris, yang berganyung pada absorpsi lewat membran-membran kulit yang lebih bagus dari pada ditelan. * Penentuan titik-titik akhir yang merupakan indikasi-indikasi untuk pertimbangan bedah bypass koroner Banyaknya prosedur bedah telah dilaksanakan untuk pengobatan penyakit ini, tetapi prosedur satu-satunya yang saat ini ada anthuisme adalah aortosoronarybypass graft. Seksi dari vena dipakai untuk membuat koneksi antara aorta dan arteri coronaria distal terhadap obstruksi.

Penatalaksanaan Jantung Koroner

Arteri koroner adalah pembuluh darah di jantung yang berfungsi menyuplai makanan bagi sel-sel jantung. Penyakit jantung koroner terjadi bila pembuluh arteri koroner tersebut tersumbat atau menyempit karena endapan lemak, yang secara bertahap menumpuk di dinding arteri. Proses penumpukan itu disebut aterosklerosis, dan bisa terjadi di pembuluh arteri lainnya, tidak hanya pada arteri koroner.

Kurangnya pasokan darah karena penyempitan arteri koroner mengakibatkan nyeri dada yang disebut angina, yang biasanya terjadi saat beraktivitas fisik atau mengalami stress. Bila darah tidak mengalir sama sekali karena arteri koroner tersumbat, penderita dapat mengalami serangan jantung yang mematikan. Serangan jantung tersebut dapat terjadi kapan saja, bahkan ketika Anda sedang beristirahat. Penyakit jantung koroner juga dapat menyebabkan daya pompa jantung melemah sehingga darah tidak beredar sempurna ke seluruh tubuh (gagal jantung). Penderita gagal jantung akan sulit bernafas karena paru-parunya dipenuhi cairan, merasa sangat lelah, dan bengkak-bengkak di kaki dan persendian. Penatalaksanaan merupakan realisasi dari rencana tindakan keperawatan. Dalam fase pelaksanaan terdiri dari beberapa kegiatan validasi (penyerahan) rencana keperawatan, menulis dan mendokumentsikan rencana keperawatan, memberi asuhan keperawatan dan pengumpulan data. Penatalaksanaan secara umum meliputi: * Penjelasan mengenai penyakitnya Px biasanya merasa tertekan,khawatir terutama untuk melakukan aktifitas.Oleh karena itu perlu sekali diberikan penjelasan mengenai penyakitnya,dibesarkan hatinya bahwa penyakitnya sendiri masih bisa dikendalikan. * Pengendalian faktor resiko

Penting sekali mengontrol faktor resiko karena mereka mempercepat proses ateroskerosis. Hipertensi,DM dan hiperglikemia harus diobati. Pengendalian hiperlipedemia sampai kolesterol dibawah 200 mg % mislnya: bukan saja menekan laju penyakit tapi terbukti juga mengurangi stenosis arteri koronaria. * Pencegahan Pencegahan yang dimaksud adalah sekunder,sudah terjadi aterosklerosis pada beberapa pembuluh darahyang akan berlangsung terus. Obat-obat pencegahan diberikan untuk menghambat proses mengenai tempat-tempat lainnya memperberat yang ada. * Penunjang Penunjang yang dimaksud adalah untuk mengatasi iaskemia akut agar tidak terjadi iskemia yang kebih berat sampai IJA.

Sindrom koroner akut II.1 Definisi Sindrom koroner akut (SKA) adalah suatu keadaan gawat darurat jantung dengan manifestasi klinis berupa perasaan tidak enak di dada atau gejala-gejala lain sebagai akibat iskemia miokard. Sindrom koroner akut mencakup:2 1. 2. 3. ST elevation myocard infarct (STEMI) Non-ST elevation myocard infarct (NSTEMI) Unstable angina pectoris (UAP)

Gambar 1. Rentang SKA mulai dari UAP tanpa nekrosis miokard sampai infark miokard ektensif (dikutip dari Fox Heart. 2004;90:698-706)

II.2

Epidemiologi

Penyakit jantung koroner yang bermanifestasi klinis akut sebagai SKA sampai saat ini masih merupakan penyebab kematian utama di berbagai benua mulai dari Amerika, Eropa dan Asia yang meliputi juga Indonesia.3 Di Amerika Serikat, lebih dari 13 juta pasien menderita penyakit arteri koroner dan setiap tahunnya lebih dari 1,1 juta pasien menderita IMA. Selanjutnya, 150.000 pasien didiagnosa setiap tahunnya dengan UAP. Kematian karena aterosklerotik arteri koroner terhitung hampir 50 % dari seluruh kematian jantung, dan 50% dari kematian karena aterosklerotik arteri koroner terjadi secara tiba-tiba. Takada et al menguji individual dengan infark miokard lama yang meninggal secara tiba-tiba selama periode 1998-2001. Hasil dari analisis patologi yang mereka lakukan menyatakan bahwa kematian tiba-tiba yang disebabkan SKA adalah 55 %, aritmia fatal 24 %, kegagalan pompa jantung 14 %, dan penyebab lain adalah 6 % kasus. Penemuan-penemuan ini ditandai dengan plak arteri koroner yang ruptur pada infark lama adalah penyebab utama kematian jantung secara tiba-tiba dengan infark miokard yang lama. Berdasarkan laporan Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC/NCHS), 879.000 pasien dengan diagnosa SKA pada tahun 2003 di Amerika Serikat (767.00 IMA dan 112.000 UAP), dan berdasarkan

laporan National Heart, Lung, and Blood Institute/Framingham Heart Study (NHLBI/FHS), penyakit jantung koroner terdiri lebih dari setengah kejadian kardiovaskuler pada pria dan wanita dibawah umur 75 tahun. Investigasi data dari 7.733 partisipan di Framingham Heart Study,Lyoyd-Jones et al mendemonstrasikan bahwa risiko seumur hidup dari kejadian koroner setelah umur 40 tahun adalah 49% pada pria dan 32% pada wanita. Studi NHLBI ARIC (Atherosclerotic Risks in Communities) juga menyatakan bahwa umur rata-rata disesuaikan dengan laju insiden penyakit jantung koroner per 1000 orang/tahun adalah 12,5 pada pria kulit putih dan 10,6 pada pria kulit hitam, 4,0 pada wanita kulit putih, dan 5,1 pada wanita kulit hitam.3 Di Indonesia, data lengkap mengenai penyakit jantung koroner belum ada. Pada survei kesehatan rumah tangga (SKRT) tahun 1992, kematian akibat penyakit kardiovaskuler menempati urutan pertama (16%) untuk umur di atas 40 tahun. SKRT pada tahun 1995 di Pulau Jawa dan Pulau Bali didapatkan kematian akibat penyakit kardiovaskuler tetap menempati urutan pertama dan persentasenya semakin meningkat (25%) dibandingkan dengan SKRT tahun 1992. Di Makassar, didasari data yang dikumpulkan oleh Alkatiri di empat rumah sakit selama 5 tahun (1985 sampai 1989), ternyata penyakit kardiovaskuler menempati urutan ke 5 sampai 6 dengan persentase berkisar antara 7,5 sampai 8,6%. Penyakit jantung koroner terus-menerus menempati urutan pertama di antara jenis penyakit jantung lainnya. dan angka kesakitannya berkisar antara 30 sampai 36,1%.1

II.3

Patofisiologi

II.3.1 Sirkulasi Koroner Arteri coronaria kanan dan kiri adalah arteri yang memperdarahi jantung. Arteri coronaria kanan berasal dari sinus anterior aortae dan berjalan ke depan antara truncus pulmonalis dan auricula kanan memberikan cabang-cabang ke atrium kanan dan ventrikel kanan. Pada pinggir inferior jantung pembuluh ini melanjutkan diri ke posterior sepanjang atrioventricularis untuk beranastomosis dengan a.coronaria kiri. Ia mempercabangkan r.marginalis, yang memperdarahi ventrikel kanan, dan r.interventricularis posterior, yang memperdarahi kedua ventrikel. Ramus interventricularis posterior beranastomosis dengan r.interventricularis anterior yang merupakan cabang a.coronaria kiri pada sulcus interventricularis posterior.8 Arteri coronaria kiri, yang lebih besar dibandingkan dengan a.coronaria kanan, berasal dari sinus posterior aortae kiri dan berjalan ke depan antara truncus pulmonalis dan auricula kiri. Kemudian pembuluh ini masuk ke sulcus atrioventricularis dan bercabang menjadi r.interventricularis anterior dan r.circumflexus. Ramus intervetricularis anterior berjalan ke bawah menuju apeks jantung dalam sulcus interventricularis anterior. Kemudian pembuluh ini berjalan sekitar apeks untuk beranastomosis dengan r.interventricularis posterior yang merupakan cabang a.coronaria

kanan. Ramus interventricularis anterior memperdarahi ventrikel kanan dan kiri dan septum interventricularis.8 Ramus circumflexus mengikuti sulcus atrioventricularis, mengitari pinggir kiri jantung, dan berakhir dengan anastomosis dengan a.coronaria kanan. Ramus circumflexus memperdarahi atrium kiri dan ventrikel kiri.8

Gambar 2. Sirkulasi Koroner

II.3.2 Patogenesis a. Ruptur plak Ruptur plak ateroslerotik merupakan salah satu penyebab terjadinya SKA, yang diakibatkan oklusi subtotal atau total dari arteri koroner yang sebelumnya mempunyai penyempitan yang minimal. Plak aterosklerotik terdiri dari inti yang mengandung banyak lemak dan pelindung jaringan fibrotik. Plak yang tidak stabil terdiri dari inti yang banyak mengandung lemak dan adanya infiltrasi sel makrofag. Biasanya ruptur terjadi pada tepi plak yang berdekatan dengan intima yang normal atau pada bahu dari timbunan lemak. Kadang-kadang keretakan timbul pada dinding plak yang paling lemah karena adanya

enzim protease yang dihasilkan makrofag dan secara enzimatik melemahkan dinding plak.4 Terjadinya ruptur menyebabkan aktivasi, adhesi dan agregasi platelet dan menyebabkan aktivasi terbentuknya trombus. Bila trombus menutup pembuluh darah 100% akan terjadi STEMI, sedangkan bila trombus tidak menyumbat 100%, dan hanya menimbulkan stenosis yang berat akan terjadi UAP.4

Gambar 3. Atherosclerosis

b. Trombosis dengan Agregasi Trombosit Terjadinya trombosis setelah plak terganggu disebabkan karena interaksi yang terjadi antar lemak, sel otot polos, makrofag, dan kolagen. Inti lemak merupakan bahan terpenting dalam pembentukan trombus yang kaya trombosit, sedangkan sel otot polos dan sel busa yang ada dalam plak tak stabil. Setelah berhubungan darah, faktor jaringan berintinteraksi dengan faktor VIIa untuk memulai kaskade reaksi enzimatik yang menghasilkan pembentukan trombin dan fibrin.4 Sebagai reaksi terhadap gangguan faal endotel, terjadi agregasi platelet dan platelet melepaskan isi granulasi sehingga memicu agregasi yang lebih luas, vasokonstriksi dan pembentukan trombus. Faktor sistemik dan inflamasi ikut berperan dalam perubahan terjadinya hemostase dan koagulasi dan berperan dalam memulai trombosis yang intermiten.4

Gambar 4. Pembentukan trombus (dikutip dari: Brouwer, et al. Heart. 2004;90:5818) c. Vasospasme Terjadinya vasokonstriksi juga mempunyai peran penting terhadap terjadinya SKA. Diperkirakan adanya disfungsi endotel dan bahan vasoaktif yang diproduksi oleh platelet berperan dalam perubahan pada tonus pembuluh darah dan menyebabkan spasme. Adanya spasme sering kali terjadi pada plak yang tak stabil dan mempunyai peran dalam pembentukan trombus.4

d. Erosi pada Plak tanpa Ruptur Terjadinya penyempitan juga dapat disebabkan karena terjadinya proliferasi dan migrasi dari otot polos sebagai reaksi terhadap kerusakan endotel. Adanya perubahan bentuk dan lesi karena bertambahnya sel otot polos dapat menimbulkan penyempitan pembuluh dengan cepat dan keluhan iskemia.4

II.4

Diagnosis

II.4.1 Anamnesis Bila dijumpai pasien dengan nyeri dada akut perlu dipastikan secara cepat dan tepat apakah pasien menderita infark miokard atau tidak. Diagnosis yang terlambat atau salah, dalam jangka panjang dapat menyebabkan konsekuensi yang berat. Nyeri dada tipikal (angina) merupakan gejala kardinal pasien infark miokard. Seorang dokter harus mampu mengenal nyeri dada angina dan mampu membedakan dengan nyeri dada lainnya, karena gejala ini merupakan petanda awal dalam pengelolaan pasien infark miokard. Sifat nyeri dada angina sebagai berikut:5 - lokasi: substernal, retrosternal, dan perikordial.

- sifat nyeri: rasa sakit, seperti ditekan, rasa terbakar, ditindih benda berat, seperti ditusuk, rasa diperas, dan dipelintir. penjalaran: biasanya ke lengan kiri, dapat juga ke leher, rahang bawah, gigi, punggung/interskapula, perut, dan dapat juga ke lengan kanan.

- nyeri membaik atau hilang dengan istirahat, atau obat nitrat. - faktor pencetus: latihan fisik, stress emosi, udara dingin, dan sesudah makan. - durasi: lebih dari 30 menit. - onset: tiba tiba. - baru pertama kali atau sudah berulang.

II.4.2 Pemeriksaan Fisik Sebagian besar pasien cemas dan tidak bisa tenang (gelisah). Seringkali ekstremitas pucat disertai keringat dingin. Kombinasi nyeri dada substernal >30 menit dan banyak keringat dicurigai kuat adanya SKA. Sekitar seperempat pasien infark anterior mempunyai manifestasi hiperaktivitas saraf simpatis (takikardia dan/atau hipotensi). Tanda fisis lain pada disfungsi ventrikular adalah S4 dan S3 gallop, penurunan intesitas bunyi jantung pertama dan split paradoksikal bunyi jantung kedua. Dapat ditemukan murmur midsistolik atau late sistolik apikal yang bersifat sementara karena disfungsi aparatus katup mitral dan pericardial friction rub. Peningkatan suhu sampai 380C dapat dijumpai dalam minggu pertama pasca STEMI.5

II.4.3 Elektrokardiogram a. STEMI Sebagian besar pasien dengan presentasi awal elevasi segmen ST mengalami evolusi menjadi gelombang Q pada EKG yang akhirnya didiagnosa infark miokard gelombang Q sebagian kecil menetap menjadi infark miokard gelombang non Q. Jika obstruksi trombus tidak total, obstruksi bersifat sementara atau ditemukan banyak kolateral, biasanya tidak ditemukan elevasi segmen ST. Pasien tersebut biasanya mengalami UAP atau NSTEMI. Pada sebagian pasien tanpa elevasi ST berkembang tanpa menunjukkan gelombang Q disebut infark non Q. Sebelumnya, istilah infark transmural digunakan jika EKG menunjukkan gelombang Q atau hilangnya gelombang R dan infark miokard non transmural jika EKG hanya menunjukkan perubahan sementara segmen ST dan

gelombang T, namun ternyata tidak selalu ada korelasi gambaran patologis EKG dengan lokasi infark (mural/transmural) sehingga terminologi infark miokard gelombang Q dan non Q menggantikan infark miokard mural/transmural.5

Gambar 5. EKG menunjukkan STEMI anterior ekstensif

b. NSTEMI Gambaran EKG, secara spesifik berupa deviasi segmen ST merupakan hal penting yang menentukan risiko pada pasien. Pada Trombolysis in MyocardialInfarction (TIMI) III Registry; adanya depresi segmen ST baru sebanyak 0,05 mV merupakan prediktor outcome yang buruk. Kaul et al, menunjukkan peningkatan risiko outcome yang buruk meningkat secara progresif dengan memberatnya depresi segmen ST, dan baik depresi segmen ST maupun perubahan troponin T, keduanya memberikan tambahan informasi prognosis pasienpasien dengan NSTEMI.6

c. UAP Pemeriksaan EKG sangat penting baik untuk diagnosis maupun stratifikasi risiko pasien UAP. Adanya depresi segmen ST yang baru menunjukkan kemungkinan adanya iskemia akut. Gelombang T negatif juga salah satu tanda iskemia atau NSTEMI. Perubahan gelombang ST dan T yang nonspesifik seperti depresi segmen ST kurang dari 0,05 mm dan gelombang T negatif kurang dari 2 mm, tidak spesifik untuk iskemia, dan dapat disebabkan karena hal lain. Pada UAP, sebanyak 4% mempunyai EKG yang normal, dan pada NSTEMI, sebanyak 1-6% EKG juga normal.4

Tabel 1. Letak Infark Berdasarkan Temuan EKG

Letak infark

EKG

A.Koronaria

Cab A.Koronaria

Anterior ektensif I, aVL, V1-6 Anteroseptal Anterolateral Inferior Posterior murni V 1-3 I, aVL, V4-6 II, III, aVF V 1-2 (resiprok)

Kiri, LAM Kiri Kiri 80% kanan, 20% kiri Bervariasi kiri dan kanan

LAD, LCx LAD LCx PDA LCx, PLA

LAM = left main artery, LAD = left anterior descending, LCX = left circumflex, PDA= posterior descending artery, PLA = posteriolateral artery Diadapsi dari: Zimetbaum PJ, Josephson ME. Use of the electrocardiogram in acute myocardial infarction. N Engl J Med 2003; 348: 934-935.

Gambar 5. Skematik Arteri Koronaria

II.4.4 Biomarker Kerusakan Jantung Berdasarkan kriteria ESC/ACC tahun 2000 yang kemudian diperbarui pada tahun 2002 dan 2006, bila didapatkan kenaikan kadar troponin maka didiagnosis sebagai miokard infark, sedangkan bila tidak ada kenaikan kadar troponin maka diagnosis IMA disingkirkan. Pada pasien dengan sangkaan UAP/STEMI maka risiko tinggi bila kadar troponin meningkat (cTnT >0,1 ng/ml), risiko sedang (intermediate) bila kadar troponin maningkat ringan (cTnT antara 0,01 0,1 ng/ml) dan risiko rendah bila kadar troponin normal (cTnT <0,01 ng/ml). Dengan demikian maka ada cukup banyak kasus yang semula didiagnosis sebagai UAP berdasarkan kriteria WHO maka dengan

kriteria European Society of Cardiology(ESC) dan ACC menjadi NSTEMI. Pada gambar 6 dapat dilihat langkah-langkah diagnosis pada SKA .7

Presentasi DX kerja

Ischemic Discomfort Sindrom Koroner Akut

Elevation

ECG ST Elevation

No ST

Biomarker

UAP

NSTEMI

DX akhir

UAP

NQMI

QwMI

Gambar 6. Penggolongan Sindrom Koroner Akut (dikutip dari Antman, et al)

Terdapat pula laporan adanya kenaikan kadar troponin tanpa adanya kelainan arteri koroner. Berdasarkan pendapat para ahli disimpulkan bahwa setiap kenaikan kadar troponin harus dianggap sebagai suatu hal klinis yang dikaitkan dengan kejadian yang tidak diinginkan dan karenanya perlu diwaspadai. Diajukan pula keraguan mengenai pengaruh fungsi ginjal terhadap kadar troponin namun telah dibuktikan bahwa pengaruh troponin tidak tergantung pada fungsi ginjal.7 Masih ada keluhan terhadap troponin melihat cukup sering terjadi lambatnya dapat dideteksi setelah serangan IMA, tidak dapat menjelaskan penyebab nekrosis, tidak dapat mendeteksi infark ulangan/susulan, masih ada interferensi oleh zat lain, dan masalah pembakuan metodik. Oleh karena itu, untuk meningkatkan kepekaan diagnostik masih ada tempat bagi penanda jantung lain yaitu CKMB dan mioglobin.7

a. STEMI Pemeriksaan yang dianjurkan adalah creatinin kinase CKMB dan cardiac specifik troponin (cTn)T atau cTn I dan dilakukan secara serial. cTn harus digunakan sebagai petanda optimal untuk pasien STEMI yang disertai kerusakan otot skeletal, karena pada keadaan ini juga akan diikuti peningkatan CKMB. Pada pasien dengan elevasi ST dan gejala infark miokard, terapi reperfusi diberikan segera mungkin dan tidak tergantung pada pemeriksaan biomarker.5 Peningkatan nilai enzim di atas 2 kali nilai batas atas normal menunjukkan ada nekrosis jantung (infark miokard).5

CKMB: meningkat setelah 3 jam bila ada infark miokard dan mencapai puncak dalam 10-24 jam dan kembali normal dalam 2-4 hari. Operasi jantung, miokarditis dan kardioversi elektrik dapat meningkatkan CKMB. cTn: ada 2 jenis yaitu cTn T dan cTn I. Enzim ini meningkat setelah 2 jam bila ada infark miokard dan mencapai puncak dalam 10-24 jam dan cTn T masih dapat dideteksi setelah 5-14 hari, sedangkan cTn I setelah 5-10 hari

Mioglobin: dapat dideteksi satu jam setelah infark dan mencapai puncak dalam 4-8

jam.

Creatinin kinase (CK): meningkat setelah 3-8 jam bila ada infark miokard dan mencapai puncak dalam 10-36 jam dan kembali normal dalam 3-4 hari. Lactic dehydrogenase (LDH): meningkat setelah 24-48 jam bila ada infark miokard, mencapai puncak 3-6 hari dan kembali normal dalam 8-14 hari.

Gambar 7. Biomarker jantung pada STEMI (dikutip dari Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam)

b. NSTEMI Troponin T atau troponin I merupakan petanda nekrosis miokard yang lebih disukai, karena lebih spesifik dari pada enzim jantung tradisional seperti CK dan CKMB. Pada pasien dengan infark miokard, peningkatan awal troponin pada darah perifer setelah 3-4 jam dan dapat menetap sampai 2 minggu.6

c. UAP Pemeriksaan troponin T atau I dan pemeriksaan CKMB telah diterima sebagai petanda paling penting dalam diagnosa SKA. Menurut ESC dan ACC dianggap ada mionekrosis bila troponin T atau I positif dalam 24 jam. Troponin tetap positif dalam 2 minggu. Risiko kematian bertambah dengan tingkat kenaikan troponin.4 CKMB kurang spesifik untuk diagnosa karena juga diketemukan di otot skeletal, tapi berguna untuk diagnosa infark akut dan akan meningkat dalam beberapa jam dan kembali normal dalam 48 jam.4 Kenaikan CRP dalam SKA berhubungan dengan mortalitas jangka panjang. Marker yang lain seperti aminoid A, interleukin-6 belum secara rutin dipakai dalam diagnosa SKA.4

II.5

Penatalaksanaan

Tatalaksana SKA terus berkembang pesat dengan banyaknya penelitian(randomized clinical trial) dengan menggunakan terapi antitrombotik baru atau intervensi koroner perkutan, namun laju mortalitas di RS pada pasien STEMI masih cukup tinggi berkisar antara 5 sampai 7%, dan setelah 6 bulan laju mortalitas berkisar 12 sampai 13%.7 ESC pada tahun 2008 telah mengupdate guideline untuk tatalaksana infark miokard akut pada pasien STEMI. Pada guideline tatalaksana STEMI, sasaran padagudeline tersebut dibandingkan dengan guideline sebelumnya tetap sama yang mencakup diagnosis dini, terapi reperfusi segera dan pencegahan sekunder yang optimal, metode yang digunakan untuk mencapai sasaran tersebut telah dimodifikasi berdasarkan informasi clinical trial terbaru. Berikut ini akan dijelaskan mengenai tatalaksana STEMI dan non-ST elevation acute coronary syndromes (NSTE-ACS) yang terdiri dari NSTEMI dan UAP.7

II.5.1 Penatalaksanaan STEMI II.5.1.1 Tatalaksana Awal 1. Tatalaksana prarumah sakit Prognosis STEMI sebagian besar tergantung adanya 2 kelompok komplikasi umum yaitu: komplikasi elektrikal (aritmia) dan komplikasi mekanik (pump failure). Sebagian besar kematian di luar rumah sakit pada STEMI disebabkan adanya fibrilasi ventrikel mendadak, yang sebagian besar terjadi dalam 24 jam pertama onset gejala. Dan lebih dari separuhnya terjadi pada jam pertama. Sehingga elemen utama tatalaksana prahospital pada pasien yang dicurigai STEMI antara lain:5

pengenalan gejala oleh pasien dan segera mencari pertolongan medis

segera memanggil tim medis mengenai yang dapat melakukan tindakan resusitasi transportasi pasien ke rumah sakit yang mempunyai fasilitas ICCU/ICU serta staf medis dokter dan perawat yamg terlatih melakukan terapi reperfusi Keterlambatan terbanyak yang terjadi pada penanganan pasien biasanya bukan selama transportasi ke rumah sakit, namun karena lama waktu mulai onset nyeri dada sampai keputusan pasien untuk meminta pertolongan. Hal ini bisa ditanggulangi dengan cara edukasi kepada masyarakat oleh tenaga profesional kesehatan mengenai pentingnya tatalaksana dini.5

Pemberian fibrinolitik prahospital hanya bisa dikerjakan jika ada paramedis di ambulans yang sudah terlatih untuk menginterpretasi EKG dan talaksana STEMI dan kendali komando medis online yang bertanggung jawab pada pemberian terapi. Di Indonesia saat ini, pemberian trombolitik prahospital ini belum bisa dilakukan.5

2. Tatalaksana di ruang emergensi Tujuan tatalaksana di IGD pada pasien yang dicurigai STEMI mencakup: mengurangi/menghilangkan nyeri dada, identifikasi cepat pasien yang merupakan kandidat terapi reperfusi segera, triase pasien risiko rendah ke ruangan yang tepat di rumah sakit dan menghindari pemulangan cepat pasien dengan STEMI.5

Gambar 8. Sindrom Koroner Akut (Dikutip dari Antman, et al)

a. Oksigen Suplemen oksigen harus diberikan pada pasien dengan saturasi oksigen arteri <90%. Pada semua pasien STEMI tanpa komplikasi dapat diberikan oksigen selama 6 jam pertama. 5

b. Nitrogliserin (NTG) Nitrogliserin sublingual dapat diberikan dengan aman dengan dosis 0,4 mg dan dapat diberikan sampai 3 dosis dengan interval 5 menit. Selain mengurangi nyeri dada, NTG juga dapat menurunkan kebutuhan oksigen miokard dengan menurunkan preload dan meningkatkan suplai oksigen miokard dengan cara dilatasi pembuluh darah koroner yang terkena infark atau pembuluh kolateral. Jika nyeri dada terus berlangsung dapat

diberikan NTG intravena. NTG intravena juga diberikan untuk mengendalikan hipertensi atau edema paru.5 Terapi nitrat harus dihindari pada pasien dengan tekanan darah sistolik <90 mmHg atau pasien yang dicurigai menderita infark ventrikel kanan (infark inferior pada EKG, JVP meningkat, paru bersih dan hipotensi). Nitrat juga harus dihindari pada pasien yang menggunakan phosphodiesterase-5 inhibitor sildenafil dalam 24 jam sebelumnya karena dapat memicu efek hipotensi nitrat.5

c. Morfin Morfin sangat efektif mengurangi nyeri dada dan merupakan analgesik pilihan dalam tatalaksana nyeri dada pada STEMI. Morfin diberikan dengan dosis 2-4 mg dan dapat diulang dengan interval 5-15 menit sampai dosis total 20 mg. Efek samping yang perlu diwaspadai pada pemberian morfin adalah konstriksi vena dan arteriolar melalui penurunan simpatis, sehingga terjadi pooling vena yang akan mengurangi curah jantung dan tekanan arteri. Efek hemodinamik ini dapat diatasi dengan elevasi tungkai dan pada kondisi tertentu diperlukan penambahan cairan IV dengan NaCl 0,9%. Morfin juga dapat menyebabkan efek vagotonik yang menyebabkan bradikardia atau blok jantung derajat tinggi, terutama pasien dengan infark posterior. Efek ini biasanya dapat diatasi dengan pemberian atropin 0,5 mg IV. 5

d. Acetyl salicyc acid (ASA) ASA merupakan tatalaksana dasar pada pasien yang dicurigai STEMI dan efektif pada spektrum SKA. Inhibisi cepat siklooksigenase trombosit yang dilanjutkan reduksi kadar tromboksan A2 dicapai dengan absorpsi aspirin bukal dengan dosis 160-325 mg di ruang emergensi. Selanjutnya aspirin diberikan oral dengan dosis 76-162 mg.5

II.5.1.2 Terapi Reperfusi Pasien STEMI dengan onset nyeri dada <12 jam dan dengan elevasi segmen ST menetap atau diduga blok cabang berkas kiri baru harus menjalani reperfusi mekanis Percutaneous Coronary Intervention (PCI) atau farmakologis. Reperfusi dini akan memperpendek lama oklusi koroner, meminimalkan derajat disfungsi dan dilatasi ventrikel dan mengurangi kemungkinan pasien STEMI berkembang menjadi pump failure dan takiaritmia ventrikular yang maligna.5

Kriteria Seleksi PCI Primer dan Terapi Farmakologis Penelitian menunjukkan bahwa outcome klinis akan memburuk jika terjadi keterlambatan tindakan PCI primer. Sehingga, seleksi strategi PCI primer dan reperfusi farmakologis tergantung pada lama waktu antara mulai gejala dan kontak medis pertama (KMP), waktu dari KMP sampai ke laboratorium kateterisasi, waktu dari KMP ke insersi sheath dan waktu mulai KMP ke inflasi balon.7 PCI primer harus dikerjakan dalam 2 jam setelah KMP, dan walaupun belum ada penelitian spesifik yang sudah dilakukan, keterlambatan waktu maksimal 90 menit setelah KMP tampaknya menjadi rekomendasi yang reasonablepada pasien dengan presentasi dini dengan infark luas dan risiko perdarahan rendah. PCI primer juga diindikasikan pada pasien syok dan terdapat kontraindikasi terhadap terapi fibrinolitik. Rescue PCI harus dipertimbangkan setelah kegagalan terapi fibrinolisis berdasarkan tanda klinis dan bukti infark luas, jika tindakan dapat dikerjakan dalam waktu 12 jam setelah onset gejala.7

PCI Primer Intervensi koroner perkutan, biasanya angioplasti dan/atau stenting tanpa didahului fibrinolisis disebut PCI primer. PCI ini efektif dalam mengembalikan perfusi pada STEMI jika dilakukan dalam beberapa jam pertama IMA. PCI primer lebih efektif dari fibrinolisis dalam membuka arteri koroner yang tersumbat dan dikaitkan dengan outcome klinis jangka pendek dan jangka panjang yang lebih baik. Dibandingkan trombolisis, PCI primer lebih dipilih jika terdapat syok kardiogenik (terutama pasien <75 tahun), risiko perdarahan meningkat, atau gejala sudah ada sekurang-kurangnya 2 atau 3 jam jika bekuan darah lebih matur dan kurang mudah hancur dengan obat fibrinolisis. Namun demikian PCI lebih mahal dalam hal personil dan fasilitas, dan aplikasinya terbatas berdasarkan tersedianya sarana, hanya di beberapa rumah sakit.5 PCI primer adalah memasukkan kateter (melalui arteri femoral) ke dalam arteri koroner. Visualisasi dilakukan dengan sinar-X dengan bantuan injeksi medium kontras radioopaque melalui kateter. Ketika pembuluh darah koroner sudah dapat dilihat, identifikasi definitif arteri yang trombosis dapat dilakukan dan arteri dapat dibuka

menggunakan balon pada ujung kateter sehingga terjadi reperfusi miokard yang mengalami infark. Stent kemudian disisipkan untuk menjaga patensi pembuluh darah. Teknik ini memungkinkan pembukaan arteri yang dikehendaki dengan lebih tepat, tidak seperti jika digunakan obat trombolisis sistemik. Sebelum dilakukan PCI primer platelet harus dihambat sepenuhnya, dimaksudkan untuk mengurangi resiko trombosis periprosedur yang disebabkan oleh lepasnya plak atau trombosis pada stent. Hal ini dapat dicapai dengan pemberian clopidogrel (300-600 mg) bersama dengan terapi standard aspirin. Pemberian harus dilakukan secepatnya, sebelum PCI. Penghambatan platelet periprosedural tambahan dapat dilakukan dengan abciximab (inhibitor glikoprotein IIb/IIIa) atau bivalirudin (inhibitor langsung trombin). PCI primer merupakan pilihan yang lebih baik untuk pasien MI akut yang dapat dilakukan dalam waktu 90 menit sejak kontak medik pertama (door to balloon time kurang dari 90 menit). Jika lebih dari 90 menit, PCI primer masih merupakan terapi pilihan apabila terapi trombolisis dikontraindikasikan atau jika pasien berisiko tinggi mengalami perdarahan, syok kardiogenik atau dengan faktor risiko tinggi lainnya. Lebih dari 90% pasien yang mendapat PCI kembali normal secara angiografi, dibanding dengan 60% pasien yang mendapat trombolisis (dimana arteri yang tersumbat berhasil dialiri kembali).10 Keuntungan lain PCI: Tidak ada efek samping serius (misalnya hemoragik intrakranial) Waktu tinggal rawat inap lebih pendek Resiko reinfark berkurang. Jika pasien alergi terhadap medium kontras yang digunakan untuk angiografi, maka trombolisis merupakan pilihan terapi satu-satunya.10

Reperfusi Farmakologis Jika tidak ada kontraindikasi, terapi fibrinolisis idealnya diberikan dalam 30 menit sejak masuk. Tujuan utama fibrinolisis adalah restorasi cepat patensi arteri koroner. Terdapat beberapa macam obat fibrinolitik antara lain: tissue plasminogen activator (tPA), streptokinase, tenekteplase (TNK) dan reteplase (rPA). Semua obat ini bekerja dengan cara memicu konversi plasminogen menjadi plasmin, yang selanjutnya melisiskan trombus fibrin. Terdapat 2 kelompok yaitu: golongan spesifik fibrin seperti tPA dan nonspesifik fibrin seperti streptokinase.5 Jika dinilai secara angiografi, aliran di dalam arteri koroner yang terlibat digambarkan dengan skala kualitatif sederhana disebut thrombolysis in myocardial infarction (TIMI) grading system:5

Grade 0 menunjukkan oklusi total pada arteri yang terkena infark.

Grade 1 menunjukkan penetrasi sebagian materi kontras melewati titik obstruksi tetapi tanpa perfusi vaskular distal. Grade 2 menunjukkan perfusi pembuluh yang mengalami infark ke bagian distal tetapi dengan aliran yang melambat dibandingkan arteri normal. Grade 3 menunjukkan perfusi penuh pembuluh yang mengalami infark dengan aliran normal. Target terapi reperfusi adalah aliran TIMI grade 3, karena perfusi penuh pada arteri koroner yang terkena infark menunjukkan hasil yang lebih baik dalam membatasi luasnya infark, mempertahankan fungsi ventrikel kiri dan menurunkan laju mortalitas jangka pendek dan jangka panjang.5 Terapi fibrinolitik dapat menurunkan risiko relatif kematian di rumah sakit sampai 50% jika diberikan dalam jam pertama onset gejala STEMI, dan manfaat ini dipertahankan sampai 10 tahun. Setiap hitungan menit dan pasien yang mendapat terapi dalam 1-3 jam onset gejala akan mendapat manfaat yang terbaik. Walaupun laju mortalitas lebih tinggi jika dibandingkan terapi dalam 1-3 jam, terapi masih tetap bermanfaat pada banyak pasien 3-6 jam setelah onset infark, dan beberapa manfaat tampaknya masih ada sampai 12 jam, terutama jika nyeri dada masih ada dan segmen ST masih tetap elevasi pada sandapan EKG yang belum menunjukkan gelombang Q yang baru. Jika dibandingkan dengan PCI pada STEMI (PCI primer), fibrinolisis secara umum merupakan strategi reperfusi yang lebih disukai pada pasien pada jam pertama gejala, jika perhatian terhadap masalah logistik seperti transportasi pasien ke pusat PCI yang baik, atau ada antisipasi keterlambatan sekurang-kurangnya 1 jam antara waktu trombolisis dapat dimulai dibandingkan implementasi PCI.5 a. Streptokinase (SK) Merupakan fibrinolitik nonspesifik fibrin. Pasien yang pernah terpajan dengan SK tidak boleh diberikan pajanan selanjutnya karena terbentuknya antibodi. Reaksi alergi tidak jarang ditemukan. Manfaat mencakup harganya yang murah dan insiden perdarahan intrakranial yang rendah. b. Tissue Plasminogen Activator (tPA) Global use of strategies to open coronary arteries-1 (GUSTO-1) trialmenunjukkan penurunan mortalitas 30 hari sebesar 15% pada pasien yang mendapat tPA dibandingkan SK. Namun tPA harganya lebih mahal daripada SK dan risiko perdarahan intrakranial sedikit lebih tinggi. c. Reteplase (rPA) INJECT trial menunjukkan efikasi dan keamanan sebanding SK dan sebanding tPA pada GUSTO III trial, dengan dosis bolus lebih mudah karena waktu paruh yang lebih panjang. d. Tenekteplase (TNK)

Keuntungannya mencakup memperbaiki spesifisitas fibrin dan resistensi tinggi terhadap Plasminogen activator inhibitor (PAI-1). Laporan awal dari TIMI 10 B menunjukkan TNK mempunyai TIMI 3 flow dan komplikasi perdarahan yang sama dibandingkan tPA.

Angiografi Pasca Terapi Fibrinolitik Rekomendasi baru pada guideline ESC 2008 adalah perlunya angiografi segera, jika terdapat bukti fibrinolisis gagal atau tidak jelas akan keberhasilan terapi litik. Angiografi segera, juga direkomendasikan jika terdapat iskemia berulang atau reoklusi setelah fibrinolisis awal yang sukses. Jika terdapat bukti fibrinolisis yang sukses, angiografi diindikasikan dalam 3-24 jam setelah mulai terapi fibrinolisis berdasarkan data dari beberapa penelitian yang menunjukkan penurunan bermakna kejadian iskemik dengan strategi invasif dibandingkan dengan konservatif.7

II.5.1.3 Terapi Sekunder STEMI Pedoman NICE menyatakan bahwa semua pasien yang pernah MI akut harus mendapat kombinasi aspirin, beta blocker, statin dan ACEi.11 1. Terapi Antiplatelet Terapi platelet esensial untuk semua pasien kardiovaskular untuk mengurangi risiko trombosis koroner. Aspirin 75 mg harus diberikan terus selama hidup. Pasca PCI primer, terapi antiplatelet ganda dengan clopidogrel diberikan minimum selama 2 bulan. Terapi antiplatelet ganda esensial untuk pascapemasangan stent karena tingginya insiden trombosis in-stent (~20%). Untuk pasien berisiko tinggi (pasien muda dengan riwayat iskemik jantung), atau jika lesi berada pada pembuluh darah dengan risiko tinggi (misalnya, left main stem), diberikan terapi antiplatelet ganda seumur hidup untuk mencegah trombosis in-stent. Untuk pasien yang sudah mendapat terapi ganda antiplatelet dan trombolisis, terapi gandanya hanya diperlukan selama4 minggu (rekomendasi COMMIT). Setelah empat minggu, cukup diberikanaspirin saja seumur hidup. Jika pasien tidak tahan terhadap aspirin,clopidogrel seumur hidup merupakan alternatif. Jika aspirin dan klopidogrel juga tidak tahan, maka diberikan warfarin (dengan target INR 2-3) sampai selama 4 tahun. Efek samping terapi antiplatelet yang paling sering adalah ganggunan saluran cerna dan bronkhospasme (aspirin). Inhibitor pompa proton (proton

pump inhibitor, PPI) misalnya omeprazol 20 mg/hari dapat diresepkan untuk pasien yang mengalami efek samping gastrointestinal.11

2. Beta Blocker Beta blocker mulai diberikan segera setelah keadaan pasien stabil. Studi ISIS-1 menunjukkan pemberian dini beta blocker bermanfaat menurunkan 15% mortalitas dalam 36 jam setelah MI, dengan cara menurunkan kebutuhan oksigen, membatasi ukuran infark. Juga mengurangi resiko pecahnya pembuluh darah jantung dengan menurunkan tekanan darah, juga mengurangi resiko ventrikular dan aritmia supraventrikular yang disebabkan aktivasi simpatetik. Jika tidak ada kontraindikasi, pasien diberi beta blockerkardioselektif misalnya metoprolol atau atenolol. Heart rate dan tekanan darah harus terus rutin di.monitor setelah keluar dari rumah sakit. Kontraindikasi terapi beta blocker adalah: Hipotensi dengan tekanan darah sistolik <100 mmHg Bradikardi <50 denyut/menit. Adanya heart block. Riwayat penyakit saluran nafas yang reversibel. Beta blocker harus dititrasi sampai dosis maksimum yang dapat ditoleransi. Jika terdapat left ventricular systolic dysfunction (LVSD, disfungsi sistolik ventrikel kiri), beta blocker yang dilisensikan untuk gagal jantung harus diberikan (misalnya bisoprolol atau carvedilol). Pemberian dimulai dengan dosis terkecil dan dititrasi naik sesuai dengan interval yang disarankan sampai tercapai dosis maksimum yang dapat ditoleransi.11

3. Terapi Penurun Kadar Lipid Manfaat HMG Co-A reductase inhibitor (statin) jelas ditunjukkan pada beberapa studi termasuk Heart Protection Study, yaitu dengan simvastatin 40 mg/hari, terjadi perbaikan outcome dan penurunan angka kematian untuk semua pasien kardiovaskuler. Manfaat ini tidak tergantung pada kadar awal kolesterol/LDL.11

4. ACE Inhibitor Pada ~20% pasien MI akut akan berkembang LVSD. Mortalitas pada pasien demikian meningkat secara signifikan. Studi AIRE menunjukkan bahwa pemberian ACEi pasca-MI

menguntungkan. Pemberian ramipril pada gagal jantung menurunkan 27% mortalitas dalam 15 bulan. Bukti ini dikonfirmasi juga oleh studi HOPE (ramipril), EUROPA (perindopril), keduanya juga menunjukkan adanya manfaat ACEi untuk jantung koroner dengan atau tanpa gagal jantung atau hipertensi. Setelah infark, miokard akan tertarik dan menipis sehingga terjadi dilasi ventrikel. Miokard yang masih berfungsi kemudian akan mengkompensasi dengan hipertropi, Remodelling ini merupakan indikator peningkatan mortalitas. Angitensin II juga dapat bersifat sebagai growth factor, yang memacu hipertropi. Inhibisi angiotensin II akan menghambat proses ini. ACEi mulai diberikan dalam 24-48 jam pasca-MI pada pasien yang telah stabil, dengan atau tanpa gejala gagal jantung. ACEi menurunkan afterload ventrikel kiri karena inhibisi sistem renin-angiotensin, menurunkan dilatasi ventrikel. ACEi harus dimulai dengan dosis rendah dan dititrasi naik sampai dosis tertinggi yang dapat ditoleransi. Kontraindikasinya hipotensi, gangguan ginjal, stenosis arteri ginjal bilateral, dan alergi ACEi. Elektrolit serum, fungsi ginjal dan tekanan darah harus dicek sebelum mulai terapi dan setelah 2 minggu.11

5. Antagonis Aldosteron Pedoman NICE menyatakan untuk pasien dengan gejala gagal jantung dan LVSD antagonis aldosteron (eplerenone) dilisensikan sebagai terapi pasca-MI yang dimulai dalam 3-14 hari MI, lebih disukai setelah terapi ACEi. Studi EPHESUS menunjukkan penurunan 43% resiko 30 hari untuk semua mortalitas. Setelah maksimum terapi eplerenone 12 bulan, pasien LVSD dapat diterapi dengan spironolakton sesuai dengan pedoman NICE untuk gagal jantung. Kadar potasium/kalium dan fungsi ginjal harus dimonitor.11

6. Suplemen Diet Pasien dianjurkan untuk meningkatkan konsumsi minyak ikanpolyunsaturated dan makan dengan pola diet Mediteranian. NICE menyarankan untuk menkonsumsi paling sedikit omega 3 acid ethyl ester7g/minggu. Ini bisa diperoleh dari 2-4 porsi ikan (oily fish) atau 1g/hari suplementasi peroral.11

II.5.2 Penatalaksanaan UAP/NSTEMI Sasaran tatalaksana NSTE-ACS adalah memperbaiki iskemia miokard dalam waktu segera dan mencegah terjadinya severe adverse outcomes seperti kematian atau reinfark. Dalam jangka pendek, hal ini meliputi pemberian obat antiiskemik dan

antitrombotik. Penggunaan prosedur invasif adalah opsional tergantung status medis pasien.7

Tabel 2. TIMI Risk Score untuk UAP/NSTEMI

Strategi Tatalaksana UAP/NSTEMI Tipe strategi terapi dan kebutuhan serta waktu strategi invasif, mempengaruhi pilihan dan dosis regimen obat antikoagulan. Beberapa parameter penilaian risiko dapat membantu dokter dalam memilih strategi terapi yang paling adekuat.7 Strategi konservatif umumnya direkomendasikan untuk pasien risiko rendah, sedangkan strategi invasif dianjurkan pada pasien risiko tinggi. GuidelineESC membedakan antara urgent invasive strategy yang harus dikerjakan dalam 2 jam onset gejala dan early invasive strategy yang dikerjakan dalam waktu 72 jam onset gejala, tergantung status medis pasien.7 Guideline ACC/AHA membedakan invasive strategy dari initial conservative strategy atau selective invasive management. Pada kasus terakhir evaluasi invasif dianjurkan hanya pada pasien yang gagal dengan terapi medis atau jika terdapat bukti iskemia.7

Tabel 3. Strategi manajemen pasien dengan NSTE-ACS berdasarkan guidelines ESC dan ACC/AHA ESC Strategi invasif segeraa Angina persisten atau rekuren dengan/tanpa perubahan ST (>2mm) atau gelombang T negatif yang dalam; resisten terhadap pengobatan antiangina; gejala klinik gagal jantung atau instabilitas hemodinamik; aritmia yang mengancam nyawa (fibrilasi/ takikardia ventrikel) Strategi invasif ACC/AHA

Strategi invasif dinic

Angina atau iskemi rekuren saat istirahat atau aktivitas ringan walaupun (initial or terapi medis intensif; early invasive kenaikan biomarker strategyb) jantung; new or presumably new STsegment depression; tanda atau gejala gagal jantung atau perburukan regurgitasi mitral; high risk findings from noninvasive testing; instabilitas hemodinamik; sustained ventricular Kenaikan troponin; tachycardia;PCI dalam 6 perubahan gelombang T bulan; riwayat CABG; atau ST; diabetes skor risiko tinggi; mellitus; penurunan penurunan fungsi fungsi ginjal (GFR <60 ventrikel kiri ml/menit/1,73 m2); penurunan fungsi ventrikel kiri; angina pasca infark; PCI dalam 6 bulan; riwayat CABG; risiko sedang sampai tinggi sesuai skor risiko Tidak terdapat nyeri dada berulang; tidak ada tanda gagal jantung; tidak ada perubahan EKG; tidak ada

Skor risiko rendah;patient

kenaikan troponin Strategi konservatif

of physician preference in the absence of high risk features Strategi konservatif

dalam 2 jam berdasarkan ESC guidelines dalam 48 jam berdasarkan ACC/AHA guidelines

b c

dalam 72 jam berdasarkan ESC guidelines

Pasien NSTE-ACS harus istirahat di tempat tidur dengan pemantauan EKG untuk deviasi segmen ST dan irama jantung. Empat komponen utama terapi harus dipertimbangkan, yaitu:9

Terapi antiiskemia Terapi antikoagulan Terapi antiplatelet Revaskularisasi koroner

Terapi Antiiskemia Untuk menghilangkan nyeri dada dan mencegah nyeri dada berulang, dapat diberikan terapi awal mencakup nitrat dan penyekat beta. Terapi antiiskemia terdiri dari NTG sublingual dan dapat dilanjutkan dengan intravena, dan penyekat beta oral (pada keadaan tertentu dapat diberikan intravena). Antagonis kalsium nondihidropiridin diberikan pada pasien dengan iskemia refrakter atau yang tidak toleran dengan penyekat beta.6 a. Nitrat Nitrat pertama kali harus diberikan sublingual atau spray bukal jika pasien mengalami nyeri dada iskemia. Jika nyeri menetap setelah diberikan nitrat sublingual 3 kali dengan interval 5 menit, direkomendasikan pemberian NTG intravena (mulai 5-10 ug/menit). Laju infus dapat ditingkatkan 10 ug/menit tiap 3-5 menit sampai keluhan menghilang atau tekanan darah sistolik <100 mmHg. Setelah nyeri dada hilang dapat digantikan dengan nitrat oral atau dapat menggantikan NTG intravena jika pasien sudah bebas nyeri selama 12-24 jam. Kontraindikasi absolut adalah hipotensi atau penggunaan sildenafil atau obat sekelasnya dalam 24 jam sebelumnya. b. Penyekat Beta

Penyekat Beta oral diberikan dengan target frekuensi jantung 50-60 kali/menit. Antagonis kalsium yang mengurangi frekuensi jantung seperti verapamil dan diltiazem direkomendasikan pada pasien dengan nyeri dada persisten atau rekuren setelah terapi nitrat dosis penuh dan penyekat beta dan pada pasien dengan kontraindikasi penyekat beta. Jika nyeri dada menetap walaupun dengan pemberian NTG intavena, morfin sulfat dengan dosis 1-5 mg dapat diberikan tiap 5-30 menit sampai dosis total 20 mg.

Terapi Antikoagulan Beberapa rekomendasi antikoagulan berdasarkan ESC guideline antara lain:9

antikoagulan direkomendasikan pada semua pasien sebagai tambahan terapi antiplatelet. Tersedia beberapa antikoagulan antara lain: unfaractionated heparin (UFH), low molecular weight heparin (LMWH), fondaparinux, dan bivalirudin. Pilihan tergantung strategi awal (invasif segera, invasif dini atau konservatif). Pada strategi infasif segera, UFH, enoksaparin atau bivalirudin harus segera diberikan. Pada kondisi tidak segera, sepanjang keputusan untuk strategi invasif dini atau strategi konservatif masih belum ditetapkan: - Fondaparinux direkomendasikan berdasarkan profil efikasi/keamanan yang paling disukai - Enoksaparin dengan profil efikasi/keamanan kurang disukai daripada fondaparinux digunakan hanya jika risiko perdarahan rendah - Sehubungan profil efikasi/keamanan LMWH (selain enoksaparin) atau UFH relatif terhadap fondaparinux tidak diketahui, antikoagulan tersebut tidak direkomendasikan melebihi fondaparinux - Pada prosedur PCI, antikoagulan awal harus dilanjutkan (maintain) selama prosedur, tanpa melihat apakah terapinya dengan UFH, enoksaparin atau bivalirudin, dimana penambahan UFH dengan dosis standar (50-100 IU/kg bolus) diperlukan pada kasus yang mendapat fondaparinux - Antikoagulan dapat dihentikan dalam 24 jam setelah prosedur invasif.

Pada strategi konservatif, fondaparinux, enoksaparin atau LMWH lain dapat dilanjutkan (maintain) sampai pasien ke luar rumah sakit.

Terapi Antiplatelet a. ASA Peran penting ASA adalah menghambat siklooksigenase-1 yang telah dibuktikan pada penelitian klinis multiple dan beberapa meta-analisis, sehingga ASA menjadi tulang punggung dalam pelaksanaan UAP/NSTEMI.6 ASA direkomendasikan pada semua pasien UAP/NSTEMI tanpa kontraindikasi dengan dosis loading awal 160-325 mg (nonenteric) dan dengan dosis pemeliharaan 75-100 mg jangka panjang.9 b. Klopidogrel Thienopyridine ini memblok reseptor adenosine diphospate P2Y12 pada permukaan platelet dan dengan demikian menginhibisi aktivasi platelet. Penggunaannya pada UAP/NSTEMI terutama berdasarkan penelitianClopidigrel in Unstable Angina to Prevent Recurrent Ischemic Events (CURE) dan Clopidogrel for The Reduction of Events during Observation (CREDO). Berdasarkan penelitian-penelitian tersebut, maka klopidogrel direkomendasikan sebagai obat lini pertama pada UAP dan NSTEMI dan ditambahkan ASA kecuali mereka dengan risiko tinggi perdarahan dan pasien yang memerlukan coronary artery bypass graft (CABG) segera. Klopidogrel sebaiknya diberikan pada pasien dengan UAP/NSTEMI pada pasien-pasien:6

Yang direncanakan untuk mendapatkan pendekatan non invasif dini Yang diketahui tidak merupakan kandidat operasi koroner segera berdasarkan pengetahuan sebelumnya tentang anatomi koroner/segera memiliki kontraindikasi untuk operasi Kateterisasi ditunda/ditangguhkan selama >24-36 jam Pada semua pasien, direkomendasikan klopidogrel dosis loading 30 mg sehari, dilanjutkan klopidogrel 75 mg sehari. Klopidogrel harus dilanjutkan sampai 12 bulan kecuali ada risiko perdarahan hebat.9 c. Antagonis Glikoprotein IIb/IIIa Antagonis reseptor GP IIb/IIIa, misalnya tirofiban atau eptifibatide merupakan inhibitor kuat agregasi platelet. Obat-obat tersebut menghambat pembentukan fibrinogen pada platelet. Walaupun antagonis reseptor GP IIb/IIIa menghambat pembentukan thrombus, uji klinik menunjukkan bahwa mereka hanya efektif untuk pasien NSTEMI resiko tinggi, atau untuk pasien yang potensial mendapat PCI yang ditunda, jika digunakan bersama dengan aspirin dan heparin/LMWH.

Revaskularisasi Koroner Pada kondisi tidak ditemukan kontraindikasi spesifik, strategi invasif saat ini direkomendasikan pada pasien UAP/NSTEMI dengan risiko tinggi/sedang. Pasien ini sebaiknya mendapatkan aspirin dan heparin atau mungkin enoksaparin. Sebagaimana disebutkan di atas, klopidogrel sebaiknya dimulai segera, jika kateterisasi diundur >24-36 jam, dan angiogram awal menyingkirkan indikasi untuk CABG segera.

Gambar 9. Strategi Revaskularisasi pada UAP/NSTEMI BAB III KESIMPULAN

Sindrom koroner akut (SKA) merupakan keadaan darurat jantung dengan manifestasi klinis rasa tidak enak di dada atau gejala lain sebagai akibat iskemia miokardium. SKA terdiri atas angina pektoris tidak stabil, infark miokard akut (IMA) yang disertai elevasi segmen ST, dan IMA tanpa elevasi segmen ST. Ketiga penyakit tersebut mempunyai mekanisme patofisiologi yang sama, yaitu disebabkan oleh terlepasnya plak yang merangsang terjadinya agregasi trombosit dan trombosis, sehingga pada akhirnya akan menimbulkan stenosis berat atau oklusi pada arteri koroner dengan atau tanpa emboli. Sedangkan letak perbedaan antara angina tak stabil, infark Non-elevasi ST dan dengan elevasi ST adalah dari jenis trombus yang menyertainya. Angina tak stabil

dengan trombus mural, Non-elevasi ST dengan thrombus inkomplit/nonklusif, sedangkan pada elevasi ST adalah trobus komplet/oklusif. Diagnosis sindrom koroner akut didapatkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan penunjang berupa elektrokardiogram dan biomarker jantung. Penatalaksanaan pasien dengan sindrom koroner akut dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu penatalaksanaan STEMI dan NSTE-ACS (UAP & NSTEMI). Pada pasien STEMI, PCI primer merupakan terapi reperfusi yang lebih dianjurkan dibanding fibrinolisis sepanjang keterlambatan dari onset gejala 90-120 menit. Selain itu, terdapat juga terapi awal seperti pemberian oksigen, NTG, beta blocker, morfin, dan ASA, serta terapi sekunder berupa terapi platelet, beta blocker, terapi penurun kadar lipid, ACE inhibitor, antagonis aldosteron, dan suplemen diet. Angiografi koroner direkomendasikan pada semua pasien setelah terapi fibrinolitik dan pada pasien yang tidak mendapat terapi reperfusi. Sedangkan pada pasien NSTE-ACS, terdapat empat kategori terapi, yaitu antiiskemik, antikoagulan, antiplatelet dan revaskularisasi koroner.

You might also like