You are on page 1of 11

Laporan Kasus HIRSCHSPRUNGS DISEASE

Oleh: Henny Novianti Trias Rukmana S I1A008018 I1A008016

Pembimbing dr. Heri Purwosantoso, Sp.B, Sp.BA

BAGIAN/SMF ILMU BEDAH FK UNLAM RSUD ULIN BANJARMASIN November, 2013

BAB I PENDAHULUAN

Hirschprung Disease adalah suatu penyakit

yang disebabkan oleh

kegagalan migrasi dari sel ganglion selama kehamilan. Penyakit hirschsprung pada umumnya mengenai kolon rektosigmoid tetapi dapat juga mengenai seluruh bagian kolon, dan jarang mengenai usus kecil. Gejala penyakit ini pada masa bayi biasanya kesulitan pergerakkan usus, nafsu makan yang menurun, penurunan berat badan, serta kembung pada perut. Diagnosis awal penting untuk mencegah terjadinya komplikasi. Dengan penatalaksanaan yang tepat, banyak pasien tidak akan mengalami efek samping dalam jangka waktu yang lama, serta dapat hidup secara normal.(5351) Insidens penyakit Hirschsprung adalah 1 dalam 5000 kelahiran hidup. Dengan jumlah penduduk Indonesia 200 juta dan tingkat kelahiran 35 permil, maka diprediksikan setiap tahun akan lahir 1400 bayi dengan penyakit Hirschprung. Kartono mencatat 20-40 pasien penyakit Hirschsprung yang dirujuk setiap tahunnya ke RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta dengan rasio lakilaki:perempuan adalah 4:1. Insidensi ini dipengaruhi oleh group etnnik, untuk Afrika dan Amerika adalah 2,1 dalam 10.000 kelahiran, Caucassian 1,5 dalam 10.000 kelahiran dan Asia 2,8 dalam 10.000 kelahiran.

(Holshneider,2005:Kartono,1993) Pada tahun 1949, Swenson menggambarkan prosedur definitive pertama konsisten untuk penyakit Hirschsprung , rectosigmoidectomy dengan anastomosis

coloanal. Sebagian besar kasus penyakit Hirschsprung harus dipertimbangkan dalam setiap bayi baru lahir yang gagal mengeluarkan mekonium dalam waktu 24-48 jam setelah lahir. Setelah diagnosis dikonfirmasi, pengobatan dasar adalah membuang usus aganglionik kurang berfungsi dan menciptakan anastomosis kepada rectum distal dengan usus diinervasi sehat (lee,2009) (Oka M,S. Triandi AP, Suwanda R, Hirschsprung . Bagian Bedah umum FK UNDIV UDAYANA) Gambaran Klinis Hirschsprung Disease dapat dibedakan berdasarkan usia yaitu periode neonatal dan periode anak. Secara garis besar, komplikasi pasca tindakan bedah pada penyakit Hirschsprung dapat digolongkan atas kebocoran anastomosis, stenosis,

enterokolitis, nekrotikans dan gangguan fungsi spingter. Faktor predisposisi terjadinya penyulit pasca operasi diantaranya usia muda saat operasi, kondisi umum penderita saat operasi, prosedur bedah yang digunakan, keterampilan dan pengalaman dokter bedah, jenis dan cara pemberian antibiotic serta perawatan pasca bedah. (Anonymous) Prognosisinya baik jika gejala obstruksi segera diatasi 90% pasien dengan penyakit Hirschsprung yang mendapat tindakan pembedahan mengalami penyembuhan dan hanya sekitar 10% pasien yang masih mempunyai masalah dengan saluran cernanya sehingga harus dilakukan kolostomi permanen. Anka kematian akibat komplikasi dari tindakan pembedahan pada bayi sekitar 20% Berikut ini akan dilaporkan kasus Hirschsprung Disease pada pasien yang dirawat di ruang Bedah Umum RSUD Ulin Banjarmasin.

BAB II LAPORAN KASUS

BAB III TINJAUAN PUSTAKA

BAB IV PEMBAHASAN

Telah dilaporkan sebuah kasus pada seorang bayi perempuan berusia 17 bulan dengan diagnosis Hirschsprung Disease. Diagnosis pasien tersebut ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang muntah bewarna kehijauan sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit, frekuensi 3- 4 kali/hari, jumlah 1/3-1/2 gelas per kali, tidak menyemprot. Demam tidak ada, sesak nafas, batuk pilek tidak ada Buang air kecil dan buang air besar jumlah, warna dan konsistensi biasa. Keluhan yang diceritakan ibu pasien sesuai dengan gejala pada pasien dengan Hirschsprung adalah muntah (95%). Pada mulanya dalam beberapa minggu muncul gejala seperti, obstruksi intestinal yaitu distensi abdomen, muntah hijau,konstipasi, dehidrasi, syok, asidosis; konstipasi kronis yaitu obstruksi intestinal parsial berulang,demam, sepsis. Diagnosis penyakit ini dapat dibuat berdasarkan adanya konstipasi pada neonates. Gejala yang sering ditemukan adalah terlambatnya mekonium untuk dikeluarkan dalam waktu 48 jam setelah lahir. Tetapi gejala ini biasanya ditemukan pada 6% atau 42% pasien. Hal lain yang harus diperhatikan adalah jika didapatkan periode konstipasi pada neonates yang diikuti periode diare yang massif kita harus mencurigai adanya enterokolitis, sedangkan pada kasus ini pasien tidak mengalami hal serupa seperti pada gejala enterokolitis. Pada bayi yang lebih tua penyakit Hirschsprung akan sulit dibedakan dengan kronik

konstipasi dan enkoperesis. Faktor genetic adalah factor yang harus diperhatikan pada semua kasus. Pemeriksaan barium enema akan sangat membantu dalam menegakkan diagnosis. Akan tetapi apabila barium enema dilakukan pada hari atau minggu awal kelahiran maka zone transisi akan sulit ditemukan. Penyakit Hirschsprung klasik ditandai dengan adanya gambaran spastic pada segmen distal intestinal dan dilatasi pada bagian proksimal intestinal. Pada bayi yang baru lahir, kebanyakan gejala muncul 24 jam pertama kehidupan. Dengan gejala yang timbul: distensi abdomen dan bilious emesis. Tidak keluarnya mekonium pada 24 jam pertama kehidupan merupakan tanda yang signifikan mengarah pada kasus Hirschsprung,sesuai dengan gejala yang dialami oleh pasien pada kasus ini, pada pasien ini diagnosis sudah ditemukan saat 24 jam kelahiran, tetapi karena keluarga menolak operasi sehingga pada usia 17 bulan pasien dibawa lagi ke rumah sakit untuk dilakukan tindakan pembedahan. Namun, bila diagnosis ditemukan pada anak yang lebih besar maka dapat ditemukan gejala seperti: kesulitan menelan, distensi abdomen yang kronis dan ada riwayat konstipasi. Diagnosis banding dari Hirschsprung harus meliputi kelainan dengan obstruksi pada distal usus kecil dan kolon, seperti: obstruksi mekanik dan obstruksi fungsional. Terapi terbaik pada bayi dan anak dengan Hirschsprung tergantung dari diagnosis yang tepat dan penanganan yang cepat. Keputusan untuk melakukan pull trough ketika diagnosis ditegakkan tergantung dari kondisi anak dan respon dari terapi awal. Dekompresi kolon dengan pipa besar, diikuti dengan washout

serial, dan meninggalkan kateter pada rectum harus dilakukan. Antibiotik spectrum luas diberikan, dan mengoreksi hemodinamik dengan cairan intravena. Pada anak dengan keadaan yang buruk perlu dilakukan colostomy. Diagnosis dari penyakit Hirschsprungpada semua kasus membutuhkan pembedahan klinik yang terdiri dari prosedur tingkat multiple. Hal ini termasuk kolostomi pada neonates, diikuti dengan operasi pull-through definitive setelah berat badan anak >5kg. Ada 3 pilihan yang dapat digunakan, untuk setiap prosedurnya, prinsip dari pengobatan termasuk menentukan lokasi dari usus di mana zona transisi antara usus ganglionik dan aganglionik, reseksi bagian yang aganglionik dari usus dan melakukan anastomosis dari daerah ganglionik ke anus atau bantalan mukosa rektum. Dewasa ini ditunjukkan bahwa prosedur pull-through primer dapat dilakukan secara aman bahkan pada periode neonatus. Pendekatan ini mengikuti prinsip terapi yang sama seperti pada prosedur bertingkat melindungi pasien dari prosedur pembedahan tambahan. Banyak dokter bedah melakukan diseksi intra abdominal menggunakan laparoskop. Cara ini terutama banyak pada periode neonatus yang dapat menyediakan visualisasi pelvis yang baik. Pada anak-anak dengan distensi usus yang signifikan adalah penting untuk dilakukannya periode dekompresi menggunakan rectal tube jika akan dilakukan single stage pullthrough. Pada anak-anak yang lebih tua dengan kolon hipertrofi, distensi ekstrim, kolostomi dilakukan dengan hati-hati sehingga usus dapat dekompresi sebelum dilakukan prosedur pull-through. Namun, harus ditekankan, tidak ada batas umur pada prosedur pull-through.

Dari ketiga prosedur pull-through yang dilakukan pada penyakit Hirschsprung yang pertama adalah prosedur Swenson. Pada operasi ini rektum aganglionik diseksi pada pelvis dan dipindahkan ke anus. Kolon ganglionik lalu dianastomosis ke anus melalui pendekatan perineal. Pada prosedur Duhamel, diseksi di luar rektum dibatasi terhadap ruang retrorektal dan kolon ganglionik dianastomosis secara posterior tepat di atas anus. Dinding anterior dari kolon ganglionik dan dinding posterior dari rektum aganglionik dianastomosis menggunakan stappler. Walaupun kedua prosedur ini sangat efektif, namun keterbatasannya adalah adanya kemungkinan kerusakan syaraf parasimpatis yang menempel pada rektum. Untuk mengatasi masalah ini, prosedur Soave menyertakan diseksi seluruhnya dari rektum. Mukosa rektum dipisahkan dari mukosa muskularis dan kolon yang ganglionik dibawa melewati mukosa dan dianastomosis ke anus. Operasi ini dapat dilakukan sepenuhnya dari bawah. Dalam banyak kasus, sangat penting untuk menentukan dimana terdapat usus yang ganglionik. Banyak ahli bedah mempercayai bahwa anastomosis dilakukan setidaknya 5 cm dari daerah yang sel ganglion terdeteksi. Dihindari dilakukannya pull-through pada zona transisi yang berhubungan dengan tingginya angka komplikasi karena tidak adekuatnya pengosongan segmen usus yang aganglionik. Sekitar 1/3 pasien yang di pull-through pada zona transisi akan membutuhkan reoperasi. Prognosisnya baik jika gejala obstruksi segera di atasi 90 % pasien dengan penyakit Hirschsprung yang mendapat tindakan pembedahan mengalami npenyembuhan dan hanya sekitar 10 % pasien yang masih mempunyai masalah

dengan saluran cernanya sehingga harus dilakukan kolostomi permanen. Angka kematian akibat komplikasi dari tindakan pembedahan pada bayi sekitar 20 %

BAB V PENUTUP

Telah dilaporkan sebuah kasus atas nama By. S umur 17 bulan, masuk rumah sakit pada tanggal 22 Juni 2013, datang dengan keluhan utama tidak bisa buang air besar Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, pasien didiagnosis dengan hirshcprung disease. Pasien kemudian masuk rumah sakit dan dilakukan kolostomi. Pasien kemudian dirawat di PICU dan dipindah ke ruang bedah umum setelah beberapa hari kemudian, karena keadaan anak mulai membaik.

You might also like