You are on page 1of 34

LAPORAN TUTORIAL

BLOK 4.2 LBM 1 Bus yang Malang

Oleh: KELOMPOK 4 : 1. Gladiola Risela Tamara 2. Darmiati 3. Dian Ambar Kusuma 4. Evi Komala Simamora 5. Kurniati Rachmat 6. Ardhani Latifa Hanum (13699) (13811) (13821) (13846) (13865) (13887)

7. Purnawibawa Rahmat S (13588) 8. Ana Permatasari (13919)

9. Devi Oktaviana Habsari (13912) 10. Irena Sandradewi 11. Wildanul Aly 12. Sofyan Aditya (13646) (13963) (14033)

PROGRAM STUDY ILMU KEPERAWATAN UNIVERSITAS GADJAH MADA 2013

Skenario 1 Pelaksanaan Tutorial Pertemuan 1 : Selasa Pertemuan 2 : Jumat Petugas : Ketua : Irena Sandradewi Sekretaris papan Sekretaris meja : Devi Oktaviana Habsari : Ana Permatasari

Bus yang Malang Ners A adalah seorang perawat yang bekerja di sebuah ruang gawat darurat RS. Pada suatu hari terjadi kecelakaan bus yang masuk ke jurang dengan korban 30 orang. Ners A adalah seorang perawat triase di RS tersebut. Ners A kemudian berangkat ke TKP. Selama perjalanan, Ners A melakukan komunikasi dengan polisi di tempat kejadian. EMS di kota tersebut sudah berjalan baik sehingga beberapa pasien sudah dilakukan transportasi dan stabilisasi di pre hospital. Di tempat kejadian ternyata ada banyak korban sehingga Ners A selain melakukan triase juga langsung melakukan initial assessment. Jumlah pasien yang banyak menyebabkan Ners A tidak sempat melakukan dokumentasi karena format dokumentasi dianggap terlalu banyak dan susah.

STEP 1 Triase adalah proses menempatkan pasien dalam pelayanan yang tepat serta penggolongan pasien untuk menentukan prioritas pasien mana yang harus didahulukan dilakukan tindakan. EMS (Emergency Medical Servise) adalah perawatan emergency dengan diagnosa apapun. Initial Assessment adalah beberapa proses mulai dari triase kemudian hospitalisasi ataupun perujukan hingga pemeriksan untuk

mengidentifikasi masalah pasien.

STEP 2 1. Apa saja komponen EMS? 2. Apakah tugas perawat triase dalam keadaan kegawat daruratan? 3. Apakah kesulitan melakukan triase dan bagaimana apabila jumlah pasien yang harus dilakukan triase dalam jumlah yang banyak? 4. Apa saja komponen atau isi dari initial assessment dan bagaimana perbedaan prosedur initial assessment pada anak-anak, dewasa dan lansia? 5. Siapa saja yang terlibat dalam EMS? 6. Bagaimana cara pendokumentasian yang benar dan efektif dalam keadaan kegawat daruratan? 7. Bagaimana landasan hukum EMS? 8. Apa saja tindakan yang terdapat dalam proses stabilisasi dan transportasi? 9. Bagaimana standarisasi EMS di Indonesia? 10. Bagaimana alur sistem komunikasi dalam keadaan kegawat daruratan? 11. Siapa saja yang berperan pada sistem triase dan apakah tugas dan wewenangnya? 12. Bagaimana tata cara atau prosedur komunikasi dalam keadaan kegawat daruratan sesuai dengan kasus? 13. Bagaimana klasifikasi triase di Indonesia dan di luar negeri? 14. Bagaimana standar ruang gawat darurat, tindakan perawatan di dalamnya dan alat-alat yang ada di ruang gawat darurat? 15. Apakah penanganan first aid oleh tenaga medis di Indonesia sudah baik untuk masyarakat? 16. Bagaimana prosedur triase?

STEP 3 1) Komponen EMS yaitu : o Personil o Training o Komunikasi o Transportasi o Care unit o Category fasilities (Category system) o Public savety

o Consumer partisipation o Akses terhadap layanan o Transfer pasien pre hospital o Dokumentasi o Pendidikan untuk public o Disaster linkage o Kebijakan pemerintah 2) Tugas perawat triase dalam keadaan kegawat daruratan: a. Melakukan initial assessment b. Melakukan triase c. Menyiapakan peralatan d. Crithical thinking e. Mengkaji ulang korban untuk mengetahui adanya perubahan keadaan 3) Kesulitan dalam melakukan triase : o Waktu o Jangkauan Area o Jumlah korban o Kompetensi tenaga kesehatan 4) Komponen initial assessment : a. Persiapan b. Triase (Survei primer) c. Stabilisasi d. Persiapan rujukan 5) Profesi atau orang yang terlibat dalam EMS diantaranya : o Dokter o Perawat o Paramedis yang lain o Polisi o Pemadam kebakaran o Masyarakat Atau hal ini dapat disederhanakan menjadi Organisasi kesehatan masyarakat (dokter, perawat, dan paramedis lain) dan Organisasi keamanan masyarakat (polisi dan pemadam kebakaran). 8) Tindakan yang dilakukan dalam proses stabilisasi dan transportasi yaitu :

a. Stabilisasi - Primary survey b. Transportasi - Chest pain control - Lakukan komunikasi ke rumah sakit 9) Standarisasi EMS di Indonesia berbeda beda di setiap daerah karena mengikuti perda. Namun sistemnya sudah terintegrasi. 10) Alur komunikasi pada pelayanan gawat darurat : Tempat kejadian Gawat Darurat 118 Dispatcher Unit penentuan personil

TIM gawat darurat

TIM darat dan udara. 11) Triase di Indonesia dilakukan oleh dokter. Sedangkan triase di luar negeri dilakukan oleh perawat 13) Triase di Indonesia menggunakan START (Simple Triage and Rapid Treatment) 15) Sudah, alat, sistem dan kemampuan penanganan first ais di Indonesia sudah berkembang. 16) Prosedur triase : 1. Pasien diterima. 2. Anamnesa singkat atau pemeriksaan singkat. 3. mengelompokan kegawatan sesuai warna (merah, kuning, hijau, hitam).

STEP 4

2) Tugas perawat triase : a. menentukan level atau kelompok triase sesuai dengan klasifikasi warna b. melakukan pengkajian ulang untuk menentukan perubahan level triase (retriase)

9) - Di Indonesia EMS masih menggunakan Perda (Peraturan Daerah) sehingga standarisasinya pun berbeda di setiap daerah. - Sedangkan di luar negeri, terdapat perbedaan antara sistem di Jerman dengan di Amerika.

a. Franco Germany Pada sistem ini organisasi yang mengurus EMS yaitu organisasi kesehatan masyarakat dimana sistem pelayanannya menggunakan sistem Emergency Doctor Treatmen, yaitu dokter yang akan mendatangi tempat kejadian dimana pasien berada. Dan ketika pasien masuk rumah sakit, pasien akan langsung ditempatkan di bangsal tanpa mmelalu departemen EMS terlebih dahulu b. Angio American Pada sistem ini organisasi yang mengurus EMS merupakan organisasi kesehatan. Pada sistem ini transfer pasen dilakukan seminimal mungkin dan penanganan sebisa mungkin dilakukan di rumah sakit dan perawat ikut terlibat dalam penanganan. Ketika pasien masuk rumah sakit, pasien harus melewati departemen EMS terlebih dahulu, barulah setelah itu mereka di masukan ke bangsal.

8) Hal-hal yang dilakukan dalam proses stabilisasi dan transportasi : Stabilisasi o Primary Survey : Menghentikan perdarahan, kontrol tanda-tanda vital, dan reassessment secara terus menerus. o Menjaga tingkat kesadaran o Menjaga agar tidak ada pergerakan luka o Menjaga kestabilan nafas Transportasi o Sistem transportasi diawali dengan mengangkat korban dengan hatihati, yang dilakukan oleh 3 orang. o Chest pain control o Transportasi dapat dilakukan melalui jalur udara menggunakan helikopter dan melalui jalur darat menggunakan ambulance atau mobil seadanya.

4) Perbedaan komponen initial assessment pada anak-anak dan dewasa yaitu : Dewasa Pada orang dewasa initial assessment dilakukan dengan mengkaji AMPLE

A = Alert (Kesadaran) M = Medication (Pengobatan atau obat yang dikonsumsi) P = Past Illness (Sakit yang diderita sebelumya) L = Last meal (Makanan terakhir yang dikonsumsi) E = Event (Lingkungan atau kejadian yang dialami yang berhubungan dengan keadaan sekarang) Anak-anak Initial assessment pada anak-anak dilakukan menggunakan metode SAVE A CHILD S = Skin A = Alert V = Ventilation E = Eye contact A = Abuse C = Cry H = Heat I = Imune L = Level consiousness D = Dehidrasi Landasan hukum

MIND MAPPING

EMS

Pre Hospital

Hospital

Initial Assessment

Transportasi Kesulitan

Regulasi & Komunikasi

Standarisasi

Perbedaan Triase Anak dewasa lansia

Prosedur Klasifikasi

STEP 5 Learning Object (LO) 1. Konsep gawat darurat : - Standar ruang gawat darurat, tindakan perawatan, dan alat alat yang ada di ruang gawat darurat. - Landasan hukum EMS

2. Sistem Komunikasi : - Tata cara dan prosedur komunkasi pelayanan gawat darurat sesuai kasus 3. Initial Assessment - Isi initial assessment dan perbedaannya antara anak-anak, dewasa dan lansia. - Cara pendokumentasian yang benar dan efektif dalam keadaan gawat darurat. 4. Triase - Prosedur triase - Yang berperan dalam proses triase dan tugas masing masing - Klasifikasi triase di Indonesia dan di Luar negeri 5. Sistem Transportasi dan Stabilisasi - Tindakan yang masuk dalam proses stabilisasi dan transportasi

STEP 6 (Pencarian literature)

STEP 7 1. Konsep gawat darurat : - Standar ruang gawat darurat, tindakan perawatan, dan alat alat yang ada di ruang gawat darurat. A. Klasifikasi terdiri dari 1. pelayanan : Instalasi Gawat Darurat

Pelayanan Instalasi Gawat Darurat Level IV sebagai standar minimal untuk Rumah Sakit Kelas A.

2.

Pelayanan Instalasi Gawat Darurat Level III sebagai standar minimal untuk Rumah Sakit Kelas B.

3. Pelayanan Instalasi Gawat Darurat Level II sebagai standar minimal untuk Rumah Sakit Kelas C. 4. Pelayanan Instalasi Gawat Darurat Level I sebagai standar minimal untuk Rumah Sakit Kelas D.

B. Jenis Pelayanan

C. Sumber Daya Manusia

D. Persyaratan Fisik Bangunan 1. Luas bangunan IGD disesuaikan dengan beban kerja RS dengan memperhitungkan kemungkinan penanganan korban massal / bencana. 2. Lokasi gedung harus berada dibagian depan RS, mudah dijangkau oleh masyarakat dengan tanda-tanda yang jelas dari dalam dan luar Rumah Sakit. 3. Harus mempunyai pintu masuk dan keluar yang berbeda dengan pintu utama (alur masuk kendaraan/pasien tidak sama dengan alur keluar) kecuali II. pada klasifikasi IGD level I dan

4. Ambulans/kendaraan yang membawa pasien harus dapat sampai di depan pintu yang areanya terlindung dari panas dan hujan (catatan: untuk lantai IGD yang tidak sama tinggi dengan jalan ambulans harus membuat ramp). 5. Pintu IGD harus dapat dilalui oleh brankar. 6. Memiliki area khusus parkir ambulans yang bisa menampung lebih dari 2 ambulans (sesuai dengan beban RS) 7. Susunan ruang harus sedemikian rupa sehingga arus pasien dapat lancar dan tidak ada cross infection , dapat menampung korban bencana sesuai dengan kemampuan RS, mudah dibersihkan dan memudahkan kontrol kegiatan oleh perawat kepala jaga. 8. Area dekontaminasi ditempatkan di depan/diluar IGD atau terpisah dengan IGD. 9. Ruang triase harus dapat memuat minimal 2 (dua) brankar. 10. Mempunyai ruang tunggu untuk keluarga pasien. 11. Apotik 24 jam tersedia dekat IGD. 12. Memiliki ruang untuk istirahat petugas (dokter dan perawat)

E. Persyaratan Sarana

F. Fasilitas/Prasarana Medis

- Landasan hukum EMS Salah satu contoh aspek legal dari EMS di Indonesia yaitu Peraturan Walikota Yogyakarta No. 45 Tahun 2008 tentang Pembentukan Emergency Medical Service System di Wilayah Kota Yogyakarta. Dalam Perwal Kota Yogykarta No.45 Tahun 2008, diatur mengenai pihak pelaksana layanan YES 118, operasional kegiatan, dan mekanisme pembiayaan. Dimana layanan YES 118 ini merupakan suatu sistem yang bertujuan memberikan pelayanan gawat darurat medis yang terjadi d wilayah kota Yogyakarta. Prosedur operasional kegiatan YES 118 selanjutnya diatur lebih lanjut dalam pedoman teknis berdasarkan Keputusan Kepala Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta sebagai panduan pihak pelaksana menjalankan tugasnya. Adapun mekanisme pembiayaan

dirinci dalam Standar Operasional Prosedur (SOP) yang juga diaur melalui Keputusan Kepala Dinas Kota Yogyakarta.

2. Sistem Komunikasi : Tata cara dan prosedur komunikasi pelayanan gawat darurat sesuai kasus

Dan ketika transport pasien dilakukan, komunikasi antar petugas kesehatan atau TIM gawat darurat harus tetap berjalan, berikut hal hal yang harus diperhatikan mengenai komunikasi pada saat tranportasi dilakukan : 1. Dokter pengirim menentukan dan menghubungi dokter penerima pada RS tujuan untuk menerima pasien dan memastikan sebelum mengirim bahwa sumber yang lebih memadai tersedia. 2. Dokter penerima diberikan keterangan lengkap keadaan pasien. Pada saat tsb, anjuran dapat dimintakan terkait tindakan dan stabilisasi sebelum transport. 3. Kelayakan pemindahan pasien dari / ke rawat inap (ICU - UGD) pada RS penerima harus diketahui benar. 4. Bila dokter tidak menyertai pasien saat transport, dokter yang merujuk dan menerima harus memastikan ada dokter pemberi komando bagi tim transport yang bertanggung-jawab atas tindakan medis dikala transport. Ia juga mungkin layak untuk menerima Laporan Medik sebelum tim berangkat.

5. Dalam keadaan tertentu, bila RS penerima mengirimkan tim transport, dokter penerima mungkin menentukan jenis transport. Namun jenis transport, darat atau udara, biasanya ditentukan dokter pengirim dengan berkonsultasi dengan dokter penerima berdasar urgensi kondisi medis pasien (stabilitas pasien), perkiraan penyingkatan waktu dengan tansport udara, cuaca, intervensi medis yang diperlukan untuk dukungan hidup saat transport, dan ketersediaan tenaga dan alat. 6. Penyedia ambulans lalu dihubungi untuk memastikan kemampuannya, untuk menyiapkan perkiraan kebutuhan pasien saat transport, dan koordinasi waktu keberangkatan. 7. Laporan antar perawat diberikan oleh fasilitas pengirim pada unit perawat yang terkait di RS penerima. Pilihan lain, laporan dapat diberikan oleh anggota tim transport pada saat kedatangan. 8. Kopi Rekam Medik, termasuk resume tindakan pada pasien dan semua pemeriksaan laboratorium dan radiografik, dilampirkan bersama pasien. 9. Penyiapan Rekam Medik tidak boleh memperlambat tranport pasien karena dapat dikirim terpisah melalui kurir atau fak-simili dll, ketika dan bila urgensi transfer merubah keputusan sebelumnya. Pada keadaan ini, informasi paling kritis dikomunikasikan secara verbal. Sangat dianjurkan bahwa kebijaksanaan ditentukan oleh masing-masing institusi dengan memperhatikan isi dokumentasi dan komunikasi antara petugas yang bertugas saat transfer.

Petugas yang Terkait. 1. Dianjurkan minimal dua petugas disamping operator ambulans bertugas saat trasport pa-sien sakit kritis antar RS. Bila mentransport pasien tidak stabil, ketua tim transport harus dokter atau nurse, terbaik yang sudah pelatihan kedokteran transport. Untuk pasien kritis yang stabil, ketua tim boleh paramedik. 2. Petugas tersebut memiliki kemampuan esensial dalam pengelolaan jalan nafas lanjut, terapi intravena, interpretasi dan tindakan disritmia, serta bantuan hidup kardiak dasar dan lan-jut. Bekerja sesuai SOP AGD sambil tetap meminta persetujuan Koordinator Medik.

3. Bila tidak ada dokter dalam tim dan tindakan diluar SOP, laksanakan mekanisme lain yaitu tim transport harus berkomunikasi dengan dokter komando di Pusat Rujukan. 4. Bila komunikasi jenis ini tidak mungkin, tim harus memiliki wewenang yang diberikan oleh pimpinan untuk melakukan intervensi penyelamat hidup akut. 5. Bila tidak ada tim transport eksternal yang siap, tim transport dan ambulans harus dise-diakan secara lokal oleh masing-masing instansi. 6. Pengembangan kebijakan dan prosedur untuk setiap kegawatan harus dibuat.

3. Initial Assessment - Isi initial assessment dan perbedaannya antara anak-anak, dewasa dan lansia. Initial assessment terdiri dari : 1. Mengevaluasi keadequatan jalan nafas atau airway 2. Mengevaluasi keadequatan pernapasan 3. Mengevaluasi luas perdarahan eksternal 4. Menentukan level kesadaran 5. Menentukan kapan suatu luka sudah tidak dapat lagi diselamatkan 6. Menetapkan prioritas kegawatan 7. Melakukan triase untuk beberapa pasien 8. Mengetahui pasien yang beresiko dan mempersiapkan transport.

- Cara pendokumentasian yang benar dan efektif dalam keadaan gawat darurat. Proses dokumentasi triase dilakukan dengan menggunakan sistem SOAPIE, sebagai berikut : 1. S 2. O 3. A 4. P 5. I = data subjektif = data objektif = analisa data yang mendasari penentuan diagnosa keperawatan = rencana keperawatan = implementasi, termasuk di dalamnya tes diagnostic

6. E

= evaluasi / pengkajian kembali keadaan / respon pasien

terhadap pengobatan dan perawatan yang diberikan. Elemen Dokumentasi Triage 1. Tanggal dan waktu kedatangan ke bagian emergency 2. Umur pasien 3. Waktu diadakan triage 4. Alergi 5. Pengobatan yang sedang dikonsumsi 6. Tingkat keparahan triage 7. Vital sign 8. Pemberian pertolongan pertama 9. Reassessment 10. Pengkajian nyeri 11. Keluhan utama 12. Riwayat keluhan saat ini 13. Data subjektif dan obyektif 14. Riwayat medis 15. Periode menstruasi terakhir 16. Riwayat imunisasi tetanus 17. Test diagnostik 18. Pengobatan yang diberikan saat ditriase 19. Tanda tangan dari registered nurse

Menurut International Classification of External Causes of injury (55) dan WHO Injury Surveillance Guidelines, pendokumentasian pada keadaan gawat darurat dapat dilakukan dengan menggunakan metode berikut: Who What = siapa yang terluka dan siapa yang menyediakan perawatan? = apa penyebab injury dan apa yang sudah dilakukan untuk menanganinya When Where How = Kapan injury terjadi = Dimana injury terjadi = Bagaimana respon pasien terhadap treatment yang telah dilakukan

1. Who Informasi yang harus dikaji yaitu mengenai identitas pasien yang meliputi nama, umur, jenis kelamin, dan aktifitas pada saat injury terjadi. 2. What Data yang harus didokumentasikan yaitu meliputi deskripsi dari kejadian penyebabkan injury pada pasien, tanda dan gejala dari injury yang dilaporkan oleh penolong pertama, deskripsi dari injury (seperti bagian tubuh yang terluka), deskripsi klinik mengenai luka, dan juga apakah pasien dicurigai mengonsumsi obat-obatan atau alkohol, nadi dan pernapasan, serta tekanan darah sistolik dan Glasgow Coma Score. Penolong juga harus mendokumentasikan alat keamanan diri yang digunakan pasien saat injury terjadi (seperti airbags, sabuk pengaman, helm, kaca mata debu dan lain-lain). 3. When Tanggal dan jam kecelakaan atau insiden terjadi harus

didokumentasikan dan juga waktu saat petugas kesehatan atau penolong pertama datang ke tempat kejadian serta waktu pada saat pasien tiba di fasilitas pelayanan kesehatan. 4. Where Pendokumentasian meliputi alamat dimana insiden terjadi (seperti di rumah, tempat kerja atau dijalan) 5. How Data yang harus dikumpulkan yaitu meliputi fasilitias kesehatan tujuan, status pasien ketika tiba di fasilitas pelayanan kesehatan, dan kondisi pasien saat keluar dari rumah sakit atau fasilitas pelayanan kesehatan.

4. Triase - Prosedur dan Klasifikasi triase di Indonesia dan di Luar negeri Prosedur dan Klasifikasi triase di Indonesia Di Indonesia, klasifikasi triase dilakukan menggunakan metode S.T.A.R.T yaitu pengklasifikasian dengan menggunakan warna sebagai penanda. a. Merah (Prioritas 1): untuk pasien yang membutuhkan pertolongan segera atau memili cedera yang mengancam dan memiliki kemungkinan hidup apabila ditolong segera, seperti pada kasus tension pneumthoraks, perdarahan internal, distres pernapasan (RR < 30 kali/menit). b. Kuning (Prioritas 2): pasien yang dikategorikan pada kelompok ini merupakan pasien pasien yang masih dapat menunggu untuk dilakukan penanganan. Perlu tindakan definitif namun tidak ada ancaman jiwa segera. Misalnya pada kasus perdarahan laserasi terkontrol, fraktur tertutup di extremitas dengan perdarahan terkontrol, dan luka bakar < 25% luas permukaan tubuh. c. Hijau (Prioritas 3): pasien dengan cedera minimal, dapat berjalan dan mencari pertolongan, lecet, memar, serta luka bakar superficial. d. Hitam : pasien yang masuk dalam kelompok ini merupakan kelompok pasien yang mengalami cedera mematikan dan akan meninggal meski mendapat pertolongan, misalnya luka bakar derajat 3 hampir seluruh tubuh, kerusakan organ vital, dan lainlain. Pada keadaan bencana alam atau musibah yang menyebabkan jumlah korban atau pasien yang banyak, metode ini dapat digunakan yaitu dengan cara memanggil atau maminta pasien yang dapat berjalan untuk mendatangi tenaga kesehatan, misalnya dengan berteriak mengatakan, Jika anda dapat bangun dan berjalan, silakan datang ke arah saya. Metode ini digunakan untuk menentukan kelompok pasien yang berada di kategori hijau. Dan untuk pasien yang lain, petugas kesehatan dapat langsung memulai melakukan triase yaitu dengan mengkaji RPM (Respirations/pernapasan, Perfusi, dan Status Mental).

Pengkajian Pernapasan o Jika tidak ada, buka jalan nafas Jika nafas kembali, beri tanda merah Jika nafas tidak kembali, beri tanda hitam

o Jika pernafas ada, kaji kecepatannya Jika lebih besar dari 30 kali/menit, beri tanda merah Jika lebih kecil dari 30 kali, kaji perfusi

Pengkajian Perfusi o Kaji nadi radial Jika tidak ada, beri tanda merah Jika ada, kaji kapilari refill

o Kaji kapilari refill Jika lebih dari 2 detik, beri tanda merah Jika kurang dari 2 detik, kaji status mental

Pengkajian Status Mental o Jika pasien tidak dapat mengikuti perintah sederhana, beri tanda merah o Jika pasien dapat mengikuti perintah sederhana, beri warna kuning

Prosedur dan Klasifikasi triase di luar negeri Prosedur dan klasifikasi diluar negeri sebenarnya juga sama seperti yang digunakan di Indonesia, yaitu dengan menggunakan metode S.T.A.R.T. Namun beberapa reverensi juga menyebutkan di luar negeri juga menggunakan Emergency Severity Index untuk klasifikasi triase. Metode pengklasifikassian ini lebih tepat digunakan untuk pasien yang tidak dalam jumlah yang besar atau dalam peristiwa bencana alam.

ESI Triage Research Team, 2004.

Keterangan

ESI Triage Research Team, 2004 (Refer to teaching materials for further clarification

Di Indonesia sendiri sebenarnya sudah ada beberapa beberapa rumah sakit yang menggunakan metode ini untuk klasifiasi triase di Unit Gawat Darurat (UGD), salah satunya RSUP DR SARDJITO. Metode triase untuk anak anak Metode triase untuk anak anak yaitu menggunakan metode JUMPSTART. Metode ini dikhusus kan hanya digunakan untuk setting

bencana alam tidak untuk penanganan sehari hari di unit gawat darurat. Berikut adalah diagram dari metode ini

- Yang berperan dalam proses triase dan tugas masing masing Menurut Rustenberg (2009) triase harus dilakukan perencanaan yang bersifat kolaboratif. Tugas perawat yaitu : Dengan seksama menyelediki keadaan pasien. Mengidentifikasi faktor-faktor kunci yang penting Mengembangkan rencana perawatan yang diterima pasien. Negosiasi dengan tim dan pasien. Mengidentifikasi sumber daya untuk mengangkut atau melakukan transportasi pada pasien. Bila keadaan pasien tidak membaik, harus dilakukan penilaian kembali, mengkonfirmasi diagnosa urgen, merevisi rencana

keperawatan jika diperlukan, merencanakan dan mengevaluasi lagi hingga perawat yakin bahwa pasien akan kembali atau menerima perawatan yang tepat jika kondisi memburuk. Tugas dokter yaitu menentukan tindakan medis yang tepat.

5. Sistem Transportasi dan Stabilisasi - Tindakan yang masuk dalam proses stabilisasi dan transportasi A. Proses stabilisasi Sebelum melakukan transport pada pasien, pastikan terlebih dahulu bahwa pasien dalam keadaan stabil. Hal-hal yang harus diperhatikan diantaranya : 1. Pertahankan jalan nafas Lakukan chin lift dan atau jaw thrust dengan kontrol servikal in-line immobilisasi. Bersihkan airway dari benda asinf bila perlu suctioning dengan alat yang rigid. Pasang ppa nasofaringeal atau orofaringeal. Pasang airway difinitif sesuai indikasi.

2. Pernapasan Tentukan laju dan dalamnya pernapasan.

Inspeksi dan palpasi leher dan thoraks untuk mengenali kemungkinan terdapat deviasi trakhea, ekspansi thoraks simetris atau tidak, pemakaian otot-otot tambahan dan tanda-tanda cedera lainnya.

Pemberian oksigen sesuai dengan keadaan atau kebutuhan pasien. Menghilangkan tension pneumothoraks dan menutup open

pneumothoraks apabila ada. 3. Sirkulasi Mengetahui sumber perdarahan yang fatal. Mengetahui sumber perdarahan internal. Periksa nadi : kecepatan, kualitas, dan keteraturan. Periksa warna kulit, kenali tanda-tanda sianosis. Periksa tekanan darah Lakukan penekanan langsung pada sumber perdarahan eksternal. Pasang IV 2 jalur ukuran besar sekaligus mengambil sample darah untuk pemeriksaan. Beri cairan kristaloid yang sudah dihangatkan dengan tetesan cepat.

4. Perlindungan terhadap trauma lebih lanjut Penderita yang diduga mengalami cedera tulang belakang harus dilindungi terhadap trauma lebih lanjut. Perlindungan ini meliputi, pemasangan kolar servikal semi rigid dan long board, melakukan modifikasi teknik log roll untuk mempertahankan kesegarisan bagi sumsum tulang belakang, dan melepaskan long spine board secepatnya. Imobilisasi dengan long board pada penderita yang mengalami paralisis akan meningkatkan resiko terjadinya dekubitasi pada titik penekanan. Karenanya, long spine board harus dilepaskan secepatnya setelah diagnosa cedera tulang belakang ditegakkan, contoh dalam waktu 2 jam. 5. Resusitasi Cairan dan Monitoring a. Monitoring CVP b. Kateter urin Pemasangan kateter dilakukan pada primary survey dan resusitasi, untuk memonitor output urin dan mencegah terjadinya distensi kandung kencing. c. Kateter lambung

Kateter lambunf dipasang pada seluruh penderita dengan paraplegia dan kuadriplegia, untuk mencegah distensi gaster dan aspirasi. 6. Penggunaan Steroid Penggunaan kortikosteroid, bila kemungkinan dipergunakan bagi penderita denga cedera neurologist yang disebabkan bukan akrena luka tembus kurang dari 8 jam paska trauma.

B. Proses Transportasi Memindahkan pasien ke ambulans 1. Pada saat ambulans datang penolong harus mampu menjangkau paisen sakit atau cedera tanpa kesulitan, memeriksa kondisinya, melakukan prosedur penanganan emergency ditempat pasien terbaring, dan kemudian memindahkannya ke ambulans. 2. Pada beberapa kasus tertentu, misalnya pada keadaan lokasi yang berbahay pasien yang memerlukan prioritas tinggi maka proses pemindahan pasien harus didahulukan sebelum menyelesaikan proses pemeriksaan dan penanganan emergensi diselesaikan. 3. Jika dicurigai adanya cedera spinal, kepala harus distabilkan, penyangga leher (cervical collar) harus dipasang dan pasien harus diimobilisasikan di atas spinal board. 4. Pemindahan pasien ke ambulans dilakukan dalam 4 tahap berikut: a. Pemilihan alat yang digunakan untuk mengusung pasien b. Stabilisasi pasien untuk dipindahkan c. Memindahkan pasien ke ambulans d. Memasukan pasien ke dalam ambulans 5. Pasien sakit atau cedera harus distabilkan agar kondisinya tidak memburuk. 6. Perawatan luka dan cedera lain yang diperlukan harus segera diselesaikan, yang menusuk harus difiksasi, dan seluruh balut serta bidai harus diperiksa sebelum diletakkan di alat angkut pasien. 7. Jangan menghabiskan banyak waktu untuk merawat pasien dengan cedera sangat buruk atau korban yang telag meninggal. Pada prinsipnya, kapanpun pasien dikategorikan dalam prioritas tinggi, segera transport dengan cepat.

8. Penyelimutan pasien membantu menjaga suhu tubuh, mencegah paparan cuaca, dan menjaga privasi. 9. Alat angkut (carrying device) pasien harus memiliki 3 tali pengikat untuk menjaga posisi pasien tetap aman. 10. Jika penderita/korban tidak mungkin diangkut dengan tandu misalnya pada penggunaan spinalboard dan hanya bisa diletakkan diatas tandu/usungan ambulans, maka disyaratkan untuk menggunakan tali kekang yang dapat mencegah tergelincir ke depan jika ambulans berhenti mendadak. Mempersiapkan Pasien untuk Transportasi 1. Lakukan pemeriksaan menyeluruh. Pastikan bahwa pasien yang sadar bisa bernafas tanpa kesulitan setelah diletakan di atas usungan. Jika pasien tidak sadar dan menggunakan alat bantu jalan nafas (airway), pastikan bahwa pasien mendapat pertukaran aliran yang cukup saat diletakkan di atas usungan. 2. Amankan posisi tandu di dalam ambulans. Pastikan selalu bahwa pasien dalam posisi aman selama perjalanan ke rumah sakit. Tandu pasien dilengkapi dengan alat pengunci yang mencegah roda usungan bergerak saat ambulans tengah melaju. 3. Posisikan dan amankan pasien. Pada pasien tak sadar yang tidak memiliki potensi cedera spinal, ubah posisi ke posisi recovery (miring ke sisi) untuk menjaga terbukanya jalan nafas dan drainage cairan. Pada pasien dengan kesulitan bernafas dan tidak ada kemungkinan cedera spinal akan lebih nyaman bila ditransport dngan posisi duduk. Pasien syok dapat ditransport dengan tungkai dinaikkan 8-12 inci. Pasien dengan potensi cedera spinal harus tetap dimobilisaskan dengan spinal board dan posisi pasien harus diikat erat ke usungan. 4. Pastikan pasien terikat dengan bai dengan tandu. 5. Persiapkan jika timbul komplikasi ernafasan dan jantung. Jika kondisi pasien cenderung berkembang ke arah henti jantung, letakkan spinal board pendek atau papan RJP di bawah matras sebelum ambulans dijalankan. Ini dilakukan agar tidak perlu membuang banya waktu untuk meletakkan dan memposisikan papan seandainya jika benar terjadi henti jantung.

6. Melonggarkan pakaian yang ketat. Pakaian dapat mempengaruhi sirkulasi pernafasan. 7. Periksa perbannya. Perban yang telah dipasang dengan baik pun dapat melonggar ketika pasien dipindahkan ke ambulans. 8. Periksa bidainya 9. Naikkan keluarga atau teman dekat yang harus menemani pasien. 10. Tenangkan pasien 11. Ketika pasien dirasa sudah siap dan ambulans telah siap diberangkatkan, beri kode kepada pengemudi untuk memulai perjalanan.

Perawatan Pasien selama Perjalanan 1. Lnjutkan perawatan medis emergensi selama dibutuhkan 2. Gabungkan informasi tambahan pasien. Jika pasien sadar dan penolong memeprtimbangka bahwa perawatan emergensi selanjutnyay tidak akan terganggu, penolong dapat mulai mencari informasi baru dari pasien. 3. Lakukan pemeriksaan menyeluruh dan monitor terus vital sign. 4. Beritahu fasilitas medis yang menjadi tujuan. Informasikan hasil pemeriksaan yang telah dilakukan dan penanganan yang telah dilakukan, dan beritahu perwaktu kedatangan ambulans atau tenaga kesehatan. 5. Periksa ulang perban dan bidai. 6. Bicaralah dengan pasien, tapi tetap kendalikan emosi. Bercakap-cakap berguna untuk menenangkan pasien yang ketakutan. 7. Jika terdapat tanda tanda henti jantung, minta pengemudi untuk menghentikan ambulans dan lakukan resusitasi dan memeberikan AED (defibrilator).

Memindahkan Pasien Ke Unit Gawat Darurat 1. Dampingi staf UGD bila dibutuhkan dan berikan laporan lisan atas kondisi pasien. Beritahu setiap perubahan kondisi pasien. 2. Segera setelah tidak menangani pasien, siapkan laporan perawatan rumah sakit. 3. Serahkan barang-barang pribadi pasien ke pihak rumah sakit.

You might also like