You are on page 1of 25

PENGARUH GETAH JARAK PAGAR (JATROPHA CURCAS L.

) TERHADAP PROSES PENYEMBUHAN STOMATITIS AFTOSA REKUREN (SAR) MINOR A. Latar Belakang

Sariawan merupakan salah satu keadaan yang sering terjadi secara berulang pada mukosa mulut seseorang, dapat dikatakan bahwa setiap orang pasti pernah mengalami sariawan baik yang ringan maupun yang berat sampai sariawan tersebut mengganggu fungsi fisiologis. Gangguan ini dapat menyebabkan seseorang penderita mengalami gangguan bicara, mengunyah, menelan bahkan kelainan ini dapat mengakibatkan menurunnya kondisi tubuh bila terjadi dalam waktu yang lama dengan frekuensi kejadian yang sering (Fitriana dkk, 2005). Di kalangan masyarakat terdapat sekelompok orang yang hampir secara rutin mengalami sakit berupa luka-luka di dalam mulutnya. Kalangan masyarakat awam menyebutnya dengan nama sariawan atau panas dalam. Sedangkan dari kalangan medis penyakit ini dikenal dengan nama Stomatitis Aftosa Rekuren atau SAR (Haikal, 2009). SAR bukanlah suatu penyakit yang baru, akan tetapi merupakan penyakit mulut yang relatif sering terjadi di masyarakat. Sebenarnya penyakit ini relatif ringan, tidak membahayakan jiwa, namun dapat menurunkan kualitas hidup penderitanya, terutama pada penderita yang selalu berulang kejadiannya. Dari penelitian-penelitian epidemiologi menunjukkan pada umumnya prevalensi SAR berkisar 20-60% pada setiap jenis SAR, tetapi pada SAR tipe minor berkisar 70-90% dibandingkan SAR tipe lainnya (Haikal, 2009). Jarak pagar (Jatropha curcas L.) merupakan tanaman yang sudah lama dikenal oleh masyarakat Indonesia sebagai tanaman pembatas/pagar, tanaman obat dan penghasil minyak untuk lampu, bahkan sewaktu zaman penjajahan Jepang minyaknya diolah untuk bahan bakar pesawat terbang. Tanaman ini diduga berasal dari daerah tropis di Amerika Tengah dan saat ini telah menyebar diberbagai tempat di Afrika dan Asia. Jarak pagar merupakan tanaman serbaguna, tahan kering, dan tumbuh dengan cepat. Tanaman ini dapat digunakan untuk kayu bakar, mereklamasi lahan-lahan tererosi atau sebagai pagar hidup dipekarangan dan kebun (Ditjenbun, 2007).

Di sisi lain, jarak pagar juga penting bagi kesehatan. Secara tradisional getah jarak dipakai untuk obat sakit gigi. Selain itu, jarak pagar juga digunakan untuk obat malaria, rematik, dan nyeri otot. Sedangkan akar jarak dapat digunakan sebagai penawar racun ular (Anonim, 2010). Jika dilukai, setiap bagian tanaman mengeluarkan getah yang tempo dulu dimanfaatkan untuk mencuci. Getah ini mengandung alkaloid disebut jatrophine yang dimanfaatkan sebagai obat luka, sakit kulit, dan rematik. Getah jarak bersifat antimikroba dan dapat digunakan untuk mengatasi sakit gigi karena gigi berlubang (Hariyono dan Soenardi, 2005). Selain itu, getah jarak pagar juga dapat digunakan sebagai obat sariawan (Sudirga, 2008). Saat ini banyak beredar obat-obatan yang dipromosikan sebagai pencegahan maupun menyembuhkan sariawan (stomatitis) dengan cepat, sedangkan kita ketahui bahwa obat-obatan tersebut dijual dengan harga yang relatif' mahal, terutama bagi masyarakat golongan menengah ke bawah. Selain itu, penggunaan obat-obatan yang kurang hati-hati atau tidak sesuai dengan dosis yang dianjurkan dapat menimbulkan efek samping yang tidak diinginkan. Obat tradisional kembali populer dipilih sebagai obat untuk menyembuhkan berbagai penyakit karena disamping harganya terjangkau, tetapi juga khasiatnya cukup menjanjikan (Fitriana dkk, 2005). Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk mengetahui pengaruh getah jarak pagar (Jatropha curcas L.) terhadap proses penyembuhan Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR) Minor.

B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas dapat dibuat rumusan masalah sebagai berikut : Apakah getah jarak pagar (Jatropha curcas L.) berpengaruh terhadap proses penyembuhan Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR) Minor ?

C. Tujuan Adapun tujuan dari penulisan proposal skripsi ini adalah : 1. Untuk mengetahui pengaruh getah jarak pagar (Jatropha curcas L.) terhadap proses penyembuhan Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR) Minor. 2. Untuk mensosialisasikan bahwa ada obat tradisional yang mudah didapat dan murah, yang dapat digunakan untuk mengobati sariawan (stomatitis) khususnya Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR) Minor.

D. Manfaat Manfaat dari penulisan proposal skripsi ini adalah : 1. Dapat mengetahui pengaruh getah jarak pagar (Jatropha curcas L.) terhadap proses penyembuhan Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR) Minor. 2. Memberikan informasi dan pengetahuan kepada masyarakat mengenai penggunaan getah jarak pagar (Jatropha curcas L.) untuk penyembuhan sariawan (stomatitis) khususnya Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR) Minor, sehingga getah jarak pagar dapat dimanfaatkan secara maksimal.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR) Stomatitis Aftosa Rekuren atau yang di kalangan masyarakat awam disebut sariawan adalah luka yang terbatas pada jaringan lunak rongga mulut. Istilah rekuren digunakan karena memang lesi ini biasanya hilang timbul. Luka ini bukan infeksi, dan biasanya timbul soliter atau di beberapa bagian di rongga mulut seperti pipi, di sekitar bibir, lidah, atau mungkin juga terjadi di tenggorokan dan langit-langit mulut (Anonim, 2009). Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR) adalah salah satu kelainan mukosa rongga mulut yang paling sering terjadi dan menyerang kira-kira 15-20% populasi masyarakat. Stomatitis Aftosa Rekuren sering menimbulkan rasa sakit dan perasaan yang tidak nyaman (Plemons dkk, 1994). Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR) mengenai permukaan mukosa, baik mukosa berkeratin maupun mukosa yang tidak berkeratin. Berikut ini permukaan mukosa rongga mulut yang terlibat : mukosa labial dan bukal, unattached gingiva, palatum lunak, pipi, bibir, atap atau dasar rongga mulut, serta permukaan tengah dari lidah (Casiglia, 2006). Pasien penderita Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR) ini diklasifikasikan dalam 3 kategori. Kategori ini tergantung pada presentasi klinis dari lesinya, yaitu : ulser minor, ulser mayor, dan herpetiform ulser. Ulser minor sering terjadi pada mukosa labial dan bukal serta pada dasar mulut. Ulser ini memiliki diameter yang besarnya kurang dari 1

cm dan sembuh tanpa disertai pembentukan jaringan parut sekitar 7-10 hari (Mcbride, 2007). Ulser mayor biasanya terdapat pada mukosa faring, bibir, palatum lunak. Dimana diameter ulsernya berukuran lebih dari 1 cm dan akan membentuk jaringan parut setelah penyembuhannya (Schreiner dkk, 1995). Ulser herpetiform adalah yang paling jarang terjadi dan biasanya merupakan lesi berkelompok dan terdiri dari ulser berukuran kecil dengan jumlah banyak. Ulser herpetiform dianggap sebagai suatu gangguan klinis yang berbeda, yang bermanifestasi sebagai suatu kumpulan yang rekuren sebanyak berlusinlusin, dari ulser kecil yang timbuldi seluruh mukosa lunak rongga mulut (Greenberg, 1994).

1. Pengertian Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR) Minor Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR) Minor disebut juga dengan nama Mikulizs apthae yang terjadi sekitar 75-85% dari semua lesi Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR). Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR) Minor sering mengenai mukosa rongga mulut yang tidak mengalami keratinisasi seperti pada mukosa bibir, mukosa bukal, dan dasar mulut. Ulkus ini tidak lebih dari 8-10 mm, dilapisi membrane fibrous kekuningan dengan tepi eritematous, umumnya sembuh dalam 10-14 hari tanpa meninggalkan jaringan parut (Scully, 2007). Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR) Minor mempunyai kecenderungan untuk terjadi pada mukosa bergerak yang terletak pada jaringan kelenjar saliva minor. Seringkali terjadi pada mukosa bibir dan pipi, tetapi ulkus jarang terjadi pada mukosa berkeratin banyak seperti gusi dan palatum keras. Ulkus-ulkus biasanya terdapat disepanjang lipatan mukobukal dan seringkali tampak lebih memanjang, dimana rasa terbakar adalah keluhan awal dan diikuti dengan nyeri hebat selama beberapa hari (Langlais dan Miller, 2000). Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR) Minor bersifat kambuhan dan pola terjadinya bervariasi. Meskipun tidak ada pengobatan yang sukses sepenuhnya untuk Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR) Minor, namun pada beberapa kasus terbukti bahwa pemberian obat-obatan golongan antibiotik, koagulasi, obat-obat anti keradangan, mouth rinses yang mengandung enzim aktif dan terapi kombinasi dapat mengurangi rasa sakit, mempercepat penyembuhan serta menurunkan jumlah dan ukuran ulser (Fernandes dkk, 2007).

Gambar 1. Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR) Minor di bibir bawah

2. Etiologi Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR) Minor Walaupun penyebab yang pasti dari Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR) Minor belum diketahui, namun terdapat beberapa faktor pencetus yang diduga memegang peranan penting dalam timbulnya Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR) Minor. Faktor-faktor tersebut antara lain : faktor lokal, alergi, bakteri, imunologi, hematologi, hormonal, dan stres psikologis (Borrego dkk, 2002). a. Faktor Lokal Trauma rongga mulut dapat berpengaruh cepatnya perkembangan Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR) Minor. Pada studi yang dilakukan oleh Rees terhadap 128 pasien dimana 20 pasien terbukti mengalami trauma pada mukosa mulutnya yang berlanjut menjadi Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR) Minor. Trauma tersebut disebabkan karena tergigitnya mukosa rongga mulut, sikat gigi atau makanan yang tajam yang bisa menyebabkan luka pada mukosa rongga mulut (Rees dan Binnie, 2006). b. Alergi Bahan-bahan allergen yang diduga berhubungan dengan Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR) Minor adalah benzoic acid dan cinnamic aldehide yang sering dipakai sebagai penyedap rasa, kacang kenari, tomat, buah-buahan terutama strawberry, coklat, kacang tanah, sereal, kacang, keju, tepung terigu atau gandum yang mengandung gluten (Scully, 2007). c. Bakteri L-form streptococcal bakteria juga berperan dalam terjadinya Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR). Jenis bakteri yang juga berperan yaitu Streptococcus sanguis, Streptococcus mitis, dan Helicobacter pylori (Melamed, 2007). d. Imunologi Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR) Minor umumnya terjadi pada pasien dengan imunodefisiensi sel B dan 40% dari pasien-pasien Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR)

Minor mempunyai kompleks sirkulasi imun. Pengendapan imunoglobulin dan komponen-komponen komplemen dalam epitel dan atau respon umum seluler (cell mediated immune response) terhadap komponen-komponen imun merupakan peyebab terjadinya Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR) Minor (Lawler dkk, 2002). e. Hematologi Lebih dari 15-20% pasien Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR) Minor adalah penderita defisiensi zat besi, vitamin B12 atau folic acid dan mungkin juga terdapat pada penderita anemia. Penyembuhan Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR) Minor seringkali terjadi sesudah terapi untuk mengatasi defisiensi tersebut (Lawler dkk, 2002). f. Hormonal Diduga ada hubungan antara siklus menstruasi dan terjadinya Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR) Minor, yang berhubungan dengan kadar estrogen dan progesterone. Dimana perkiraan ada hubungan antara produksi estrogen yang rendah waktu premenstrual dengan kornifikasi mukosa mulut (Hidayanti dan Suyoso, 2006). g. Stres Psikologi Studi menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang cukup erat antara stress dan terjadinya Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR) Minor dalam 10-20% dari populasi masyarakat. Tetapi faktor stress dalam perkembangan Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR) Minor masih perlu diteliti lebih lanjut (Rees dan Binnie).

3. Patogenesis Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR) Minor a. Stadium Prodormal Terjadi pada 24-48 jam pertama, muncul perasaan geli pada tempat dimana lesi berkembang. Bisa disertai gejala demam, malaise, mialgia, athralgia, mual, muntah, sakit kepala, dan pembesaran kelenjar limfe. Stadium ini disertai dengan peningkatan rasa nyeri serta lesi berkembang menjadi edema popular lokal yang berhubungan dengan vakuolisasi keratinosit yang dikelilingi oleh lingkaran eritematus yang menggambarkan vaskulitis lokal dengan peningkatan infiltrasi sel mononuklear (Hidayati dan Suyoso, 2006).

b. Stadium Ulseratif Terjadi ulseratif yang nyeri dan ditutupi membran fibrous, dasar ulkus diinfiltrasi terutama oleh neutrofil, limfosit, dan sel plasma. Stadium ini terjadi dalam beberapa hari sampai beberapa minggu (Hidayati dan Suyoso, 2006).

c. Stadium Penyembuhan Terjadi regenerasi epitel yang mulai menutupi ulkus serta berkurangnya rasa nyeri yang ditimbulkan (Hidayati dan Suyoso, 2006). Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR) Minor biasanya sembuh dengan spontan tanpa pembentukan jaringan parut, dalam waktu 14 hari (Langlais dan Miller, 2000).

4. Diagnosis Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR) Minor Untuk dapat menegakkan diagnosa yang tepat dari SAR dapat dilakukan dengan cara melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Biasanya pada anamnesis pasien akan merasakan sakit pada mulutnya, tempat ulser sering berpindah-pindah dan biasanya kejadiannya selalu berulang-ulang. Pasien biasanya dalam keadaan demam ringan (Haikal, 2010). Diagnosa Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR) Minor dapat dilihat dengan adanya ulser rekuren yang simetris, bulat dan tidak terbatas pada mukosa mulut serta sembuh spontan dengan tidak disertai oleh tanda ataupun gejala-gejala lainnya (Greenberg, 1994). Selain pemeriksaan visual, pemeriksaan laboratoris diindikasikan bagi pasien yang menderita SAR di atas usia 25 tahun terutama dengan tipe mayor yang selalu hilang timbul, atau bila sariawan tidak kunjung sembuh, atau bila ada gejala dan keluhan lain yang berkaitan dengan faktor pemicu (Anonim, 2009). Pertimbangan adanya defisiensi hematologi, dan oleh karena itu penderita harus mengalami pemeriksaan hitung darah lengkap serta perkiraan kadar vitamin B12 (Lewis dan Lamey, 1998).

5. Pengobatan Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR) Minor SAR sebetulnya dapat sembuh sendiri, karena sifat dari kondisi ini adalah selflimiting. Obat-obatan untuk mengatasi SAR diberikan sesuai dengan tingkat keparahan lesi (Anonim, 2009). Banyak obat-obatan, termasuk vitamin, obat kumur antiseptik, steroid topikal dan imunomodulator sistemik untuk mengatasi Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR) Minor. Walaupun demikian hanya sebagian kecil yang secara ilmiah terbukti efisien. Kombinasi vitamin B1 (thiamin, 300 mg sehari) dan vitamin B6 (pyridoxine, 50 mg setiap 8 jam) diberikan selama 1 bulan dianjurkan sebagai penatalaksanaan empiris tahap awal. Penggunaan terapi anxiolytic atau rujukan hipnoterapi dapat membantu bagi

penderita yang diperkirakan memiliki faktor presipitasi berupa stress. Beberapa pasien memberikan respon yang baik terhadap obat kumur klorheksidin serta kortikosteroid topikal, seperti hidrokortison hemisuksinat (pellet, 2,5 mg dilarutkan dalam air dan digunakan sebagai obat kumur 3 kali sehari) (Lewis dan Lamey, 1998).

B. Jarak Pagar (Jatropha curcas L.) 1. Tinjauan Umum Jarak Pagar (Jatropha curcas L.) Jatropha Curcas L. adalah tanaman yang berasal dari daerah tropis di Meksiko, Amerika Tengah. Saat ini Jatropha Curcas L. telah menyebar diberbagai tempat di Afrika dan Asia (Anonim, 2006). Tanaman jarak pagar (Jatropha curcas L.) telah lama dikenal masyarakat Indonesia, yaitu semasa penjajahan oleh bangsa Jepang pada tahun 1942. Pada masa itu masyarakat diperintahkan untuk menanam jarak pagar di pekarangannya untuk dimanfaatkan sebagai bahan bakar kendaraan perang bangsa Jepang. Oleh karena itu tidak mustahil kalau tanaman jarak pagar memiliki beberapa nama daerah (lokal) antara lain jarak budeg, jarak gundul, jarak cina (Jawa); baklawah, nawaih (NAD); dulang (Batak); jarak kosta (Sunda); jarak kare (Timor); peleng kaliki (Bugis); kalekhe paghar (Madura); jarak pager (Bali); lulu mau, paku kase, jarak pageh (Nusa Tenggara); kuman nema (Alor); jarak kosta, jarak wolanda, bindalo, bintalo, tondo utomene (Sulawesi); dan ai huwa kamala, balacai, kadoto (Maluku) (Ditjenbun, 2007). Sejak Mei 2005, terjadi demam Jarak di Indonesia dan mulai muncul dikenal dengan sebutan Jarak Pagar karena lazim ditanam di Indoenesia sebagai pagar pembatas tanah lading, pagar batas desa, pagar kuburan, bahkan pengganti nisan (namaun juga tumbuh liar ditepi-tepi jalan). Digunakan sebagai pagar, karena daunnya tidak disukai hewan ternak (sapi, kambing) sehingga dapat melindungi tanaman didalam pagar (Ditjenbun, 2007). Jarak pagar dapat tumbuh pada semua jenis tanah. Tanaman ini tumbuh baik pada tanah-tanah ringan atau lahan-lahan dengan drainase dan aerasi tanah yang baik. Pada lahan-lahan yang subur dimana air tidak tergenang merupakan tempat yang cocok bagi tanaman ini untuk tumbuh dan berproduksi secara optimal (Heller, 1996). Tanaman Jarak pagar berbentuk pohon kecil maupun belukar besar yang tingginya mencapai lima meter. Cabang-cabang pohon ini bergetah dan dapat diperbanyak dengan biji, stek atau kultur jaringan dan mulai berbuah delapan bulan setelah ditanam (Ditjenbun, 2007).

Gambar 2. Jarak Pagar (Jatropha curcas L.)

2. Klasifikasi Jarak Pagar (Jatropha curcas L.) Tanaman jarak pagar termasuk famili Euphorbiaceae, satu famili dengan karet dan ubi kayu. Klasifikasi tanaman jarak pagar adalah sebagai berikut (Astuti, 2008) : Divisi : Spermatophyta Subdivisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledonae Ordo : Euphorbiales Famili : Euphorbiaceae Genus : Jatropha Spesies : Jatropha curcas L.

3. Morfologi Jarak Pagar (Jatropha curcas L.) Tanaman jarak pagar berupa perdu dengan tinggi 1-7 m, bercabang tidak teratur. Batangnya berkayu, silindris, dan bila terluka mengeluarkan getah (Hambali, 2006). Penggambaran umum morfologi tanaman jarak pagar adalah sebagai berikut (Hariyadi, 2005 ) : a. Daun Daunnya berupa daun tunggal, berlekuk, bersudut 3 atau 5, tulang daun menjari dengan 57 tulang utama, warna daun hijau (permukaan bagian bawah lebih pucat dibanding bagian atas). Panjang tangkai daun antara 415 cm. b. Bunga Bunga berwarna kuning kehijauan, berupa bunga majemuk berbentuk malai, berumah satu. Bunga jantan dan bunga betina tersusun dalam rangkaian berbentuk cawan, muncul di ujung batang atau ketiak daun.

c. Buah Buah berupa buah kotak berbentuk bulat telur, diameter 24 cm, berwarna hijau ketika masih muda dan kuning jika masak. Buah jarak terbagi 3 ruang yang masing masing ruang diisi 3 biji. d. Biji Biji berbentuk bulat lonjong, warna coklat kehitaman. Biji inilah yang banyak mengandung minyak dengan sekitar 30 40 % (Hariyadi, 2005 ).

4. Manfaat Jarak Pagar (Jatropha curcas L.) Dalam dunia kedokteran modern saat ini, banyak sekali mempelajari obat-obat tradisional yang dalam hal ini adalah tanaman-tanaman berkhasiat obat yang ditelaah dan dipelajari secara ilmiah (Furnawanthi, 2006). Secara tradisional getah jarak dipakai untuk obat sakit gigi. Selain itu, jarak pagar juga digunakan untuk obat malaria, rematik, dan nyeri otot. Sedangkan akar jarak dapat digunakan sebagai penawar racun ular (Anonim, 2010). Di daerah pedesaan, getah jarak pagar yang berwarna jernih keputihan sering digunakan sebagai obat tradisional untuk obat tetes pada telapak kaki yang terkena kutu air dan bercak. Getah batang atau daunnya dipakai sebagai obat luar, seperti obat kumur atau salep penyembuh luka, misalnya gigi lubang. Menurut Dr. A.P. Dharma bahwa air perasan daun jarak pagar yang kental dapat digunakan sebagai peluntur, obat kumur, sampai pencuci borok (Astuti, 2008). Ragam penyakit yang dapat ditaklukkan oleh biji tanaman asal Amerika Selatan ini cukup beragam, antara lain menyembuhkan gatal-gatal, koreng, jamur pada kaki, dan luka berdarah. Selain itu, tanaman yang diharapkan mampu menjadi penghasil bahan bakar nabati ini juga bisa dimanfaatkan untuk mengatasi bengkak akibat terpukul, terkilir, dan rematik. Dengan penggunaan yang hati-hati, daun jarak pagar bahkan dapat digunakan sebagai obat pencahar ringan (Purwantoro dan Enny, 2007).

5. Kandungan Jarak Pagar (Jatropha curcas L.) Jika dilukai, setiap bagian tanaman mengeluarkan getah yang tempo dulu dimanfaatkan untuk mencuci. Getah ini mengandung alkaloid disebut jatrophine yang dimanfaatkan sebagai obat luka (Hariyono dan Soenardi, 2005). Getah jarak pagar bersifat antimikroba sehingga dapat mengusir bakteri seperti jenis Staphylococcus, Streptococcus, dan Escherichia coli. Getah jarak pagar juga mengandung tannin (18%)

yang digunakan sebagai obat kumur dan gusi berdarah serta obat luka. (Ditjenbun, 2007).

BAB III HIPOTESIS

Jarak pagar (Jatropha curcas L.) dibudidayakan sebagai tanaman obat di negaranegara tropis dan subtropis. Isolasi lateksnya menghasilkan jatrophidin yang memiliki sifat antifungi (Carlasabandar, 2010). Getah jarak pagar (Jatropha curcas L.) mengandung alkaloid disebut jatrophine yang dimanfaatkan sebagai obat luka (Hariyono dan Soenardi, 2005). Getah jarak pagar mengandung tannin (18%) yang digunakan sebagai obat kumur dan gusi berdarah serta obat luka(Ditjenbun, 2007). Getah jarak pagar pun berkhasiat menghentikan perdarahan akibat luka. Getah jarak pagar bersifat antimikroba sehingga dapat mengusir bakteri seperti jenis Staphylococcus, Streptococcus, dan Escherichia coli (Purwantoro dan Enny, 2007). Berdasarkan beberapa pendapat diatas, maka dapat dirumuskan hipotesis yaitu getah jarak pagar (Jatropha curcas L.) berpengaruh terhadap proses penyembuhan Stomatitis Aftosa Rekuren (RAS) Minor.

BAB IV METODE PENELITIAN

4.1 Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah jenis penelitian eksperimental dengan pendekatan case control.

4.2 Identifikasi Variabel a. Variable pengaruh : Getah Jarak Pagar (Jatropha Curcas L.). b. Variabel terpengaruh : Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR) Minor.

4.3 Definisi Operasional a. Getah Jarak Pagar (Jatropha Curcas L.) adalah cairan bening atau agak jernih keputihan yang didapatkan

dengan cara melukai batang atau tangkai daun dari tanaman Jarak Pagar (Jatropha Curcas L.). b. Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR) Minor adalah suatu penyakit rongga mulut yang ditandai ulser dengan tepi eritematus, menimbulkan rasa sakit, timbul berulang-ulang, tanpa meninggalkan jaringan parut.

4.4 Populasi dan Sampel a. Populasi Populasi dari penelitian ini adalah masyarakat di Banjar Dangri Kangin Denpasar, dengan range umur 20-50 tahun.

b. Sampel 1. Besar Sampel Besar sampel penelitian sebanyak 100 orang dengan perincian sebagai berikut : - Yang mendapat perlakuan sebanyak : 50 orang - Yang tidak mendapat perlakuan sebanyak : 50 orang

2. Teknik Pengambilan Sampel Sampel diambil dengan cara quota random sampling, yaitu jumlah subyek yang akan dijadikan sampel penelitian telah dijatah sebanyak 100 orang yang kemudian diambil secara acak.

3. Kriteria Sampel Adapun kriteria dari orang-orang yang dijadikan sampel dalam penelitian ini yaitu : a. Kooperatif. b. Menderita Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR) Minor.

4.5 Lokasi Penelitian Lokasi dari Penelitian ini adalah di lingkungan Banjar Dangri Kangin Denpasar.

4.6 Alat dan Bahan a. Alat

Alat-alat yang digunakan pada saat melakukan penelitian antara lain : alat diagnosa (kaca mulut dan nerbeken), handscone, masker, cotton buds/kapas steril, gelas kecil, form penelitian, dan alat-alat tulis.

b. Bahan Bahan yang diperlukan pada saat melakukan penelitian adalah getah jarak pagar (Jatropha Curcas L.) dan alkohol 70%.

4.7 Jalannya Penelitian a. Persiapan alat dan bahan yang akan digunakan dalam penelitian. b. Melakukan kunjungan ke rumah masing-masing warga yang dijadikan sampel penelitian. c. Dilakukan pembersihan pada daerah ulser dari Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR) Minor dengan alkohol 70% menggunakan cotton buds/kapas steril pada kelompok kontrol dan kelompok perlakuan. d. Dilanjutkan dengan pengobatan terhadap Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR) Minor dengan cara mengoleskan getah jarak pagar (Jatropha Curcas L.) dengan menggunakan cotton buds pada kelompok perlakuan, sedangkan pada kelompok kontrol tidak dilakukan pengobatan atau dibiarkan. e. Pengobatan dengan getah jarak pagar (Jatropha Curcas L.) pada kelompok perlakuan dilakukan 2 kali sehari sampai Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR) Minor sembuh. f. Melakukan pengamatan setiap hari pada kelompok kontrol dan kelompok perlakuan hingga Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR) Minor sembuh dan kemudian dicatat lamanya waktu penyembuhan pada form penelitian. g. Data yang telah didapat kemudian diolah dan dianalisis dengan uji parametrik independent T-test.

DAFTAR PUSTAKA

Adriani, dkk. 2000. The Effectiveness and Acceptance of a Medical Device for the Treatment of Aphthous Stomatitis. Clinical Observation : Minerva Pediatric, hlm : 1-5.

Anonim, 2006. Pengembangan dan Pemanfaatan Jarak pagar ( Jatropha curcas L.). Pusat Penelitian dan Pengambangan Perkebunan. Bogor.

Anonim. 2009. Stomatitis Aphtous Reccurent/SAR (Sariawan). Available http://adulgopar.files.wordpress.com/2009/12/sariawan.pdf

Astuti, Yuni. 2008. BUDIDAYA DAN MANFAAT JARAK PAGAR ( Jatropha curcas L ). FMA-UMB, Available : http://research.mercubuana.ac.id/proceeding/BUDIDAYA-DANMANFAATJARAK-PAGAR.pdf

Borrego, P., dkk. 2002. Stomatitis Aftosa Recurrent. Rev Cubana Estomatol, Vol. 39, no. 2, hlm 39.

Casiglia, J. M. 2006. Stomatitis Aphthous Recurrent. Harvard School of Dental Medicine, hlm : 1-23.

Ditjenbun. 2007. Pedoman Budidaya Tanaman Jarak Pagar. Pusat Penelitian dan Pengambangan Perkebunan. Bogor.

Fernandes, dkk. 2007. The Best Treatment for Aphthous Ulcers. American Dental Journal, hlm : 1-7.

Greenberg, M. S. 1994. Burket : Ilmu Penyakit Mulut. Binarupa Aksara : Jakarta.

Hambali, E. 2006. Jarak Pagar, Tanaman Penghasil Biodiesel. Penebar Swadaya. Jakarta.

Heller, Joachim. 1996. Physic Nut (Jatropha curcas 1.). Promoting the conservation and use of underutilised and neglected crops. 1. Institute of Plant Genetics and Crop Plant Rescarch. Gatersleben/International Plant Genetic Resources Institute, Rome.

Hidayanti, A. N. dan Suyoso, S. 2006. Recurrent Aphthous Stomatitis (RAS). Berkala Penyakit Kulit dan Kelamin, Vol. 18, no. 2, hlm : 156-164.

Langlais, R. P., dan Miller, C. S. 2000. Atlas Berwarna : Kelainan Rongga Mulut yang Lazim. Hipokrates : Jakarta.

Lawler, dkk. 2002. Buku Pintar Patologi untuk Kedoktera Gigi. Penerbit Buku Kedokteran EGC : Jakarta.

Lewis, M. A. O. dan Lamey, P. J. 1998. Tinjaun Klinis Penyakit Mulut. Widya Medika : Jakarta.Mcbrige, D. R. 2007. Management of Aphthous Ulcers. Lynn Community Health Center, hlm : 40-48.

Melamed, F. 2007. Aphthous Stomatitis. UCLA Medical School Journal, hlm 1-5

Haikal, Mohammad. 2009. Aspek Imunologi Stomatitis Aftosa Rekuren. USU Available : http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/8273/1/10E00345.pdf

Plemons, J. M. 1994. Evaluation of Acemannan in the Treatment of Recurrent Aphthous Stomatitis. Baylor College of Dentistry, Vol. 6, no. 2, hlm : 40-45.

Rees dan Binnie. 2006. Cancer Sores (Recurrent Aphthous Stomatitis) Cause and Control. American Dental Journal, hlm : 1-8.

Scully, C. 2007. Aphthous Ulceration. American Dental Journal, hlm : 1-8.

Shcreiner, C. dan Quinn, F. B., dkk. 1995. Stomatitis. Dept. Otolaryngology, UMTB, hlm : 53-62. J Oral Maxillofac Pathol. 2011 Sep-Dec; 15(3): 252256. doi: 10.4103/0973-029X.86669 PMCID: PMC3227248 Recurrent aphthous stomatitis L Preeti, KT Magesh,1 K Rajkumar, and Raghavendhar Karthik Author information Copyright and License information This article has been cited by other articles in PMC. Go to: ABSTRACT Recurrent aphthous ulcers are common painful mucosal conditions affecting the oral cavity. Despite their high prevalence, etiopathogenesis remains unclear. This review article summarizes the clinical presentation, diagnostic criteria, and recent trends in the management of recurrent apthous stomatitis. Keywords: Diagnostic criteria, recurrent aphthous stomatitis, stress ulcers, ulcer activity index immunomodulation Go to: INTRODUCTION The term aphthous is derived from a Greek word aphtha which means ulceration. Recurrent aphthous stomatitis (RAS) is one of the most common painful oral mucosal conditions seen among patients. These present as recurrent, multiple, small, round, or ovoid ulcers, with circumscribed margins, having yellow or gray floors and are surrounded by erythematous haloes, present first in childhood or adolescence.[1] Go to: CLINICAL PRESENTATION

RAS is characterized by recurrent bouts of solitary or multiple shallow painful ulcers, at intervals of few months to few days in patients who are otherwise well.[2] RAS has been described under three different clinical variants as classified by Stanley in 1972.[3] Minor RAS is also known as Miculiz's aphthae or mild aphthous ulcers. It is the most common variant, constituting 80% of RAS. Ulcers vary from 8 to 10 mm in size. It is most commonly seen in the nonkeratinized mucosal surfaces like labial mucosa, buccal mucosa, and floor of the mouth. Ulcers heal within 1014 days without scarring. Major RAS is also known as periadenitis mucosa necrotica recurrens or Sutton's disease. It affects about 1015% of patients. Ulcers exceed 1 cm in diameter. Most common sites of involvement are lips, soft palate, and fauces. Masticatory mucosa like dorsum of tongue or gingiva may be occasionally involved.[4] The ulcers persist for up to 6 weeks and heal with scarring. Herpetiform ulceration is characterized by recurrent crops of multiple ulcers; may be up to 100 in number. These are small in size, measure 23 mm in diameter. Lesions may coalesce to form large irregular ulcers. These ulcers last for about 1014 days. Unlike herpetic ulcers, these are not preceded by vesicles and do not contain viral infected cells. These are more common in women and have a later age of onset than other clinical variants of RAS.[5] Predisposing factors Genetics A genetic predisposition for the development of apthous ulcer is strongly suggested as about 40% of patients have a family history and these individuals develop ulcers earlier and are of more severe nature.[2] Various associations with HLA antigens and RAS have been reported. These associations vary with specific racial and ethnic origins. Trauma Trauma to the oral mucosa due to local anesthetic injections, sharp tooth, dental treatments, and tooth brush injury may predispose to the development of recurrent aphthous ulceration (RAU).[1] Wray et al.[6] in 1981 proposed that mechanical injury may aid in identifying and studying patients prone to aphthous stomatitis. Tobacco Several studies reveal negative association between cigarette smoking, smokeless tobacco and RAS. Possible explanations given include increased mucosal keratinization; which serves as a mechanical and protective barrier against trauma and microbes.[79] Nicotine is considered to be the protective factor as it stimulates the production of

adrenal steroids by its action on the hypothalamic adrenal axis and reduces production of tumor necrosis factor alpha (TNF-) and interleukins 1 and 6 (IL-1 andIL-6).[10] Nicotine replacement therapy has been suggested as treatment for patients who develop RAU on cessation of smoking.[11] Drugs Certain drugs have been associated with development of RAU; these include angiotensin converting enzyme inhibitor captopril, gold salts, nicorandil, phenindione, phenobarbital, and sodium hypochloride. NSAIDS such as propionic acid, diclofenac, and piroxicam may also cause oral ulceration similar to RAS.[12] Hematinic deficiency Deficiencies of iron, vitamin B12, and folic acid predispose development of RAS. Deficiencies of these hematinics are twice more common in these individuals than controls. Contrary findings in various studies relating the association of hematinic deficiency and RAS have been explained as due to varying genetic backgrounds and dietary habits of the study population.[2,12] Gluten sensitive enteropathy/celiac disease, inflammatory bowel disease Gluten sensitive enteropathy (GSE) is an autoimmune inflammatory disease of small intestine that is precipitated by the ingestion of gluten, a wheat protein in susceptible individuals. It is characterized by severe malnutrition, anemia, abdominal pain, diarrhea, aphthous oral ulcers, glossitis, and stomatitis. RAS may be the sole manifestation of the disease. The use of gluten-free diet in the improvement of RAS is considered uncertain. It has been suggested that evaluation for celiac disease may be appropriate for RAS patients.[13] Inflammatory bowel diseases such as Crohn's disease and ulcerative colitis may present with apthous-like ulceration.[1] Sodium lauryl sulfate - containing toothpaste An increased frequency in the occurrence of RAS has been reported on using sodium lauryl sulfate (SLS)-containing tooth paste with some reduction in ulceration on use of SLS-free tooth paste. However, because of the widespread use of SLS-containing dentifrice, it has been proposed that this may not truly predispose to RAS.[1] Hormonal changes Conflicting reports exist regarding association of hormonal changes in women and RAU. Studies state association of oral ulceration with onset of menstruation or in the luteal phase of the menstrual cycle. Mc Cartan et al.[14] in 1992 established no

association between apthous stomatitis and premenstrual period, pregnancy, or menopause. Stress Stress has been emphasized as a causative factor in RAU. It has been proposed that stress may induce trauma to oral soft tissues by parafunctional habits such as lip or cheek biting and this trauma may predispose to ulceration. A more recent study shows lack of direct correlation between levels of stress and severity of RAS episodes and suggests that psychological stress may act as a triggering or modifying factor rather than etiological factor in susceptible RAS patients.[15] Micro organisms implicated in apthous ulcers Several micro organisms have been implicated in the pathogenesis of RAS. Several contrary findings have been reported in the various studies published. RAS and oral streptococci Oral streptococci have been considered as microbial agents in the pathogenesis of RAS. They have been implicated as microorganisms directly involved in the pathogenesis of these lesions or as agents which serve as antigenic stimuli, which in turn provoke antibody production that cross-react with oral mucosa. It has been suggested that L form of -hemolytic streptococci,Streptococcus sanguis; later identified as Streptococcus mitis was the causative agent of this disease. Hoover et al.[16] in 1986 demonstrated low levels of cross-reactivity of oral Streptococci and oral mucosal antigens and considered the reactivity to be non-specific and clinically insignificant. RAS and Helicobacter pylori H. pylori has been implicated as one of the organisms in the etiopathogenesis of RAS. H. pylori is a gram-negative, S-shaped bacterium that has been associated with gastritis and in chronically infected duodenal ulcers. H. pylori has been reported to be present in high density in dental plaque.[17] Porter et al.[18] in 1997 measured the levels of IgG antibodies againstH. pylori in patients with RAS and showed that no the frequency of anti-H. pylori seropositivity was not significantly elevated in patients with RAS and other ulcerative and non-ulcerative oral mucosal disorders. Viruses as etiologic agents in RAS Various viruses have been implicated in the etiopathogenesis of recurrent apthous stomatitis. There have been several suggestive, but as yet there exists inconclusive evidence toward a viral etiology. Characteristics of aphthous ulcers which are indicative of infectious etiology include recurrent ulceration, lymphocytic infiltration, perivascular

cuffing, presence of auto-antibodies, inclusion bodies in case of herpetiform ulcers and similarity of RAU to viral ulcerative diseases in animals.[19] Virtanen et al.[17] in 1995 demonstrated the presence of human cytomegalovirus DNA (HCMV) in biopsies of oral mucosal ulcers, but they were unable to rule out the presence of this virus which may have existed as a super infection or co infection from existing HCMV in saliva. Sun et al.[20] in 1996 demonstrated the presence of HCMV genomes by polymerase chain reaction in pre-ulcerative oral apthous tissues. They postulated that when viral infection occurs in oral epithelial cells expressing major histocompatibility complex class II molecules (MHC-II), an intense T-cell response is elicited against virus containing oral epithelial cells. They concluded that HCMV may play role in perpetuating local immune response in genetically predisposed individuals. Sun et al.[21] in 1998 demonstrated the presence of Epstein-barr virus (EBV) genomes by polymerase chain reaction in pre-ulcerative oral apthous tissues in RAU patients. They postulated a possible role of association of EBV in pre-ulcerative oral lesions in patients of RAU. Role of tumor necrosis factor alpha in RAS Tumor necrosis factor alpha (TNF-) is a pro-inflammatory cytokine and is one of the most important cytokine implied in the development of new apthous ulcers in patients. The association of TNF- in the development of RAS gains credence due to the fact that immunomodulatory drugs such as thalidomide and pentoxifylline have been found effective in the treatment of RAS. Thalidomide reduces activity of TNF- by degrading its messenger RNA and pentoxifylline inhibits TNF- production.[22,23] Antigenic stimulation of oral mucosal keratinocytes results in the production of pro-inflammatory cytokines such as IL-2 and TNF-. TNF- also causes expression of class I major histocompatability complex, subsequently these cells are targeted for attack by cytotoxic T cells.[1] Go to: INDEX FOR DETERMINING IMPACT OF ORAL ULCER ACTIVITY IN PATIENTS OF RAS Mumucu et al.[24] in 2009 proposed a composite index to monitor the clinical manifestations associated with oral ulcers in patients of RAS and Behcet's disease. They proposed that such indices serve to provide important information regarding prognosis of disease and therapeutic effect of medication.

The index evaluated the oral ulcer activity, ulcer-related pain, and functional disability. Oral ulcer activity was recorded as number of ulcers in the past 1 month. This was scored zero if there were no ulcers and as one, if the number of ulcer was greater or equal to than one. The pain status was evaluated on a visual analogue scale (VAS). This is a 100-mm line with extreme values at either end. The patients have to mark the intensity of pain on the line. Functional status evaluation This involved the evaluation of effects of oral ulcers on tasting, speaking, and eating/chewing/swallowing. This was evaluated by both Likert-type scale and VAS scale. Scoring is done as 0, when none of the time; 1, little of the time; 2, some of the time; 3, most of the time; 4, all of the time and VAS (0100 mm). Use of visual analog scale to evaluate the pain caused by ulcers is highly subjective and is ridden with interpersonal variation. This is a continuous scale with no discrete levels as would be suggested by grades such as none, mild, moderate, or severe. Further studies in different population and ethnic groups need to be carried out using this criteria to validate this index. Go to: HISTOPATHOLOGY OF RAS The microscopic picture of aphthous ulcer is non-specific, and diagnosis must be based on history and careful clinical examination. The mucous membrane of aphthous ulcer shows superficial tissue necrosis with a fibrinopurulent membrane covering the ulcerated area. The necrosis is covered by tissue debris and neutrophils. Epithelium is infiltrated by lymphocytes and few neutrophils. Intense inflammatory cell infiltration, predominantly neutrophils present immediately below the ulcer, mononuclear lymphocytes are seen in adjacent areas. Minor salivary glands commonly present in areas of aphthae exhibit focal periductal and perialveolar fibrosis and chronic inflammation.[12,25] Go to: DIAGNOSIS Diagnosis of RAS is based on history, clinical manifestations, and histopathology. Other causes of recurrent oral ulceration must be ruled out. Systemic diseases which present with recurrent oral ulcerations are summarized in Table 1. Diagnostic criteria for minor RAU were proposed by Natah et al.[12] in 2004. They proposed that a diagnosis of idiopathic RAU and secondary RAU (associated with systemic disease) is established

when four major and one minor criteria are fulfilled. The major and minor criteria for diagnosis of minor RAU are illustrated in Tables Tables22 and and33.

Table 1 Systemic diseases with recurrent oral ulceration (modified from reference 1)

Table 2 Major criteria for diagnosis of RAU minor (Natah et al.[12] 2004)

Table 3 Minor criteria for diagnosis of RAU minor Management There is no definitive curative treatment for RAS. Possible systemic association with RAS must be ruled out, especially in cases where there is sudden development of ulceration in adulthood.[2] Laboratory investigations such as complete blood counts, red cell folate, serum ferritin levels, and vitamin B12 recommended. Screening for GSE must be done in cases where associated systemic manifestations of GSE are present. Various topical and systemic agents used in treatment of RAS are summarized in Table 4.

Table 4 Topical and systemic agents used in treatment of RAS Go to: CONCLUSION Recurrent apthous stomatitis is a very common, recurrent painful ulceration occurring in the oral cavity. The etiopathogenesis of this disease is yet unclear. Treatment strategies must be directed toward providing symptomatic relief by reducing pain, increasing the duration of ulcer-free periods, and accelerating ulcer healing. Go to: FOOTNOTES Source of Support: Nil. Conflict of Interest: None declared. Go to: REFERENCES 1. Jurge S, Kuffer R, Scully C, Porter SR. Recurrent aphthous stomatitis. Oral Dis. 2006;12:121.[PubMed] 2. Scully C, Porter S. Oral mucosal disease: Recurrent aphthous stomatitis. Br J Oral Maxillofac Surg.2008;46:198206. [PubMed] 3. Stanley HR. Aphthous lesions. Oral Surg Oral Med Oral Pathol Oral Radiol Endod. 1972;30:40716. 4. Cawson RA, Odell EW. Cawson's Essentials of Oral Pathology and Oral Medicine. 8th ed. Philadelphia: Elseivier; 2008. 5. Scully C, Porter S. Recurrent aphthous stomatitis: Current concepts of etiology, pathogenesis and management. J Oral Pathol Med. 1989;18:217. [PubMed] 6. Wray D, Graykowski EA, Notkins AL. Role of mucosal injury in initiating recurrent aphthous stomatitis. Br Med J (Clin Res Ed) 1981;283:156970. [PMC free article] [PubMed]

7. Bookman R. Relief of Canker Sores on Resumption of Cigarette Smoking. Calif Med. 1960;93:2356.[PMC free article] [PubMed] 8. Shapiro S, Olson DL, Chellemi SJ. The association between smoking and aphthous ulcers. Oral Surg Oral Med Oral Pathol. 1970;30:62430. [PubMed] 9. Grady D, Ernster VL, Stillman L, Greenspan J. Smokeless tobacco use prevents aphthous stomatitis.Oral Surg Oral Med Oral Pathol. 1992;74:46365. [PubMed] 10. Floto RA, Smith KG. The vagus nerve, macrophages and nicotine. Lancet. 2003;361:106970.[PubMed] 11. Scheid P, Bohadana A, Martinet Y. Nicotine patches for aphthous ulcers due to Behcet's syndrome. N Engl J Med. 2000;343:181617. [PubMed] 12. Natah SS, Konttinen YT, Enattah NS, Ashammakhi N, Sharkey KA, HyrinenImmonen R. Recurrent aphthous ulcers today: A review of growing knowledge. Int J Oral Maxillofac Surg.2004;33:22134. [PubMed] 13. Shakeri R, Zamani F, Sotoudehmanesh R, Amiri A, Mohamadnejad M, Davatchi F, et al. Gluten sensitive enteropathy in patients with recurrent aphthous stomatitis. BMC Gastroenterol. 2009;9:44.[PMC free article] [PubMed] 14. McCartan BE, Sullivan A. The association of menstrual cycle, pregnancy and menopause with recurrent oral aphthous stomatitis: A review and critique. Obstet Gynecol. 1992;80:4558. [PubMed] 15. Gallo Cde B, Mimura MA, Sugaya NN. Pschological stress and recurrent aphthous stomatitis. Clinics (Sao Paulo) 2009;64:6458. [PMC free article] [PubMed] 16. Hoover CI, Olson JA, Greenspan JS. Humoral responses and cross reactivity to viridians streptococci in recurrent aphthous ulceration. J Dent Res. 1986;65:1101 4. [PubMed] 17. Leimola-Virtanen R, Happonen RP, Syrjnen S. Cytomegalovirus (CMV) and Helicobacter pyroli(HP) found in oral mucosal ulcers. J Oral Pathol Med. 1995;24:147. [PubMed] 18. Porter SR, Barker GR, Scully C, Macfarlane G, Bain L. Serum IgG antibodies to Helicobacter pyroliin patients with recurrent aphthous stomatitis and other oral disorders. Oral Surg Oral Med Oral Pathol Oral Radiol Endod. 1997;83:325 8. [PubMed] 19. Hooks JJ. Possibility of a viral etiology in recurrent aphthous ulcers and Behcet's syndrome. J Oral Pathol. 1978;7:35364. [PubMed]

20. Sun A, Chang JG, Kao CL, Liu BY, Wang JT, Chu CT, et al. Human cytomegalovirus as a potential etiologic agent in recurrent aphthous ulcers and Behcet, s disease. J Oral Pathol Med. 1996;25:2128.[PubMed] 21. Sun A, Chang JG, Chu CT, Liu BY, Yuan JH, Chiang CP. Preliminary evidence for an association of Epstein Barr virus with pre-ulcerative oral lesions in patients with recurrent aphthous ulcers or Behcet's disease. J Oral Pathol Med. 1998;27:168 75. [PubMed] 22. Jacobson JM, Greenspan JS, Spritzler J, Ketter N, Fahey JL, Jackson JB, et al. Thalidomide for the treatment of oral aphthous ulcers in patients with human immunodeficiency virus infection. National Institute of Allergy and Infectious Diseases AIDS Clinical Trials Group. N Engl J Med. 1997;336:148793. [PubMed] 23. Zabel P, Schade FU, Schlaak M. Inhibition of endogeneous TNF- formation by pentoxifylline.Immunobiology. 1993;187:44763. [PubMed] 24. Mumcu G, Sur H, Inanc N, Karacayli U, Cimilli H, Sisman N, et al. A composite index for determining the impact of oral ulcer activity in Behcet's disease and recurrent aphthous stomatitis. J Oral Pathol Med. 2009;38:78591. [PubMed] 25. Shafer, Hine, Levy . A Textbook of Oral Pathology. 4th ed. New Delhi: Saunders; 1997. 26. Zhou Y, Chen Q, Meng W, Jiang L, Wang Z, Liu J, et al. Evaluation of penicillin G potassium troches in the treatment of minor recurrent aphthous ulceration in a Chinese cohort: A randomized, double-blinded, placebo and no- treatment- controlled, multicenter clinical trial. Oral Surg Oral Med Oral Pathol Oral Radiol Endod. 2010;109:5616. [PubMed] 27. Nolan A, Baillie C, Badminton J, Rudralingam M, Seymonr RA. Efficacy of topical hyaluronic acid in the management of recurrent aphthous ulceration. J Oral Pathol Med. 2006;35:4615. [PubMed]

Articles from Journal of Oral and Maxillofacial Pathology : JOMFP are provided here courtesy of Medknow Publications

You might also like