You are on page 1of 105

i

SKRIPSI
FAKTOR-FAKTOR YANG BERPENGARUH TERHADAP INSIDEN POST OPERATIVE COGNITIVE DYSFUNCTION PADA LANSIA DI RUANG INSTALASI BEDAH SENTRAL RSUP SANGLAH DENPASAR

Oleh I Gusti Ngurah Putu NIM. 1102115010

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2013

ii

LEMBAR PERSETUJUAN SKRIPSI FAKTOR-FAKTOR YANG BERPENGARUH TERHADAP INSIDEN POST OPERATIVE COGNITIVE DYSFUNCTION PADA LANSIA DI RUANG INSTALASI BEDAH SENTRAL RSUP SANGLAH DENPASAR Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Keperawatan

Oleh I Gusti Ngurah Putu NIM. 1102115010

TELAH MENDAPATKAN PERSETUJUAN UNTUK DIUJI

Pembimbing Utama

Pembimbing Pendamping

Ns. Putu Oka Yuli Nurhesti, S.Kep., M.M.

Ns. Putu Artawan, S.Kep NIP. 19671231199031025

iii

HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI DENGAN JUDUL: FAKTOR-FAKTOR YANG BERPENGARUH TERHADAP INSIDEN POST OPERATIVE COGNITIVE DYSFUNCTION PADA LANSIA DI RUANG INSTALASI BEDAH SENTRAL RSUP SANGLAH DENPASAR Oleh: I Gusti Ngurah Putu NIM: 1102115010 TELAH DIUJIKAN DI HADAPAN TIM PENGUJI PADA HARI : SABTU TANGGAL: 9 FEBRUARI 2013 TIM PENGUJI: 1. Ns. Putu Oka Yuli Nurhesti, S.Kep., MM. 2. Ns. Putu Artawan, S.Kep. NIP. 19671231199031025 3. Ns. Ni Ketut Guruprapti, S.Kep., MNS. NIP. 197804172008122001 (Ketua) .....................

(Anggota) ..................... (Anggota) ..................

MENGETAHUI Fakultas Kedokteran Universitas Program Studi Ilmu Keperawatan Udayana Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Dekan Ketua

Prof. dr. Ketut Suastika Sp. PD-KEMD NIP. 1955 03 29 1980 12 1 001

NS. Ni Komang Ari Sawitri, S.Kep. MSc. NIP. 1982 06 28 2008 01 2 007

iv

KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan karunia-Nyalah sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul Faktor-Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Insiden Post Operative Cognitive Dysfunction (POCD) Pada Lansia di Ruang Instalasi Bedah Sentral RSUP Sanglah Denpasar. Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu menyelesaikan skripsi ini. Ucapan terima kasih, penulis berikan kepada : 1. Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp.PD-KEMD, sebagai Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Denpasar yang telah memberikan penulis kesempatan untuk menuntut ilmu di PSIK Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Denpasar. 2. Ketut Suardana, S.Kp., M.Kes, sebagai Ketua PSIK Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Denpasar atas segala fasilitas dan bimbingan dalam pembuatan skripsi ini. 3. Kepala RSUP Sanglah Denpasar yang telah memberikan kesempatan untuk mengambil data dan melakukan penelitian pada instansi yang dipimpin. 4. Ns. Putu Oka Yuli Nurhesti, S.Kep., MM., sebagai pembimbing utama yang telah banyak memberikan bimbingan dan petunjuk sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini tepat waktu. 5. Ns. Putu Artawan, S.Kep., selaku pembimbing pendamping yang telah

banyak memberikan masukan dan bimbingan dalam penyusunan skripsi ini.

6.

Isteri dan anak tercinta yang senantiasa memberikan motivasi dan kasih sayang yang tiada duanya di setiap saat terutama dalam penyusunan skripsi ini

7.

Seluruh keluarga yang telah memberikan semangat dan dukungan, pengertian dan kasih sayang selama ini.

8.

Teman temanku, mahasiswa PSIK-B Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Denpasar Angkatan 2011, atas saran, masukan dan bantuannya dalam pembuatan skripsi ini. Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini masih jauh dari sempurna,

oleh karena itu penulis membuka diri untuk menerima segala kritik dan saran yang membangun. Sebagai akhir kata, penulis berharap, semoga proposal ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Denpasar, Februari 2013 Penulis

vi

ABSTRAK Ngurah Putu, I Gusti. 2013. Faktor-Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Insiden Post Operative Cognitive Dysfunction Pada Lansia Di Ruang Instalasi Bedah Sentral RSUP Sanglah Denpasar. Tugas Akhir, Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana. Pembimbing (1) Ns. Putu Oka Yuli Nurhesti, S.Kep., M.M.(2) Ns. Putu Artawan, S.Kep Lanjut usia yang mengalami pembedahan diperkirakan 45% mengalami Post Operative Cognitive Dysfunction (POCD) pada 24 jam pertama. Dari hasil studi pendahuluan di RSUP Sanglah Denpasar, 20% lanjut usia mengalami POCD. Berbagai faktor diduga dapat menyebabkan terjadinya POCD pada lansia yang mengalami pembedahan. Berdasarkan hal tersebut perlu dilakukan penelitian tentang faktor-faktor risiko yang menyebabkan terjadinya POCD pada pasien lansia. Penelitian ini merupakan penelitian Analisis observasional dengan pendekatan cross sectional terhadap lansia yang dilakukan pembedahan di Ruang IBS RSUP Sanglah Denpasar. Penelitian dilaksanakan mulai bulan OktoberDesember 2012 dengan jumlah sampel sebanyak 70 orang dengan teknik purposive sampling. Pengumpulan data dilakukan dengan Short Portable Mental Status Questionnaire (SPMSQ). Untuk mengetahui pengaruh dari faktor-faktor resiko terhadap disfungsi kognitif dalam penelitian ini dilakukan dengan uji regresi logistik. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa kejadian POCD di Ruang Instalasi Bedah Sentral RSUP Sanglah Denpasar terjadi sebesar 41,4%. Dari beberapa faktor yang diteliti, faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian POCD adalah faktor lama anestesi (p=0,000), faktor tingkat pendidikan (p=0,000) dan faktor umur (p=0,001). Sedangkan faktor lainnya seperti jenis kelamin, jenis anastesi, prosedur pembedahan, dan status fisik ASA tidak berpengaruh terhadap kejadian POCD pada pasien lanjut usia post operasi (p>0,05). Dari hasil uji regresi logistic diperoleh persamaan sebagai berikut: Y=3,646 + 2,108 umur + 2,460 lama anestesi + 2,648 tingkat pendidikan. Dimana, probabilitas pasien untuk mengalami POCD tanpa pengaruh factor tersebut adalah sebesar 2,6%. Saran kepada pihak managemen/Direksi Rumah Sakit Sanglah agar dibuat standar prosedur tentang kebijakan pelayanan anestesi untuk pencegahan POCD. Diharapkan juga agar perawat ruang IBS lebih mengoptimalkan komunikasi, orientasi, dan pengawasan post operasi terutama pada pasien yang memiliki faktor yaitu lama anestesi lebih dari 2 jam, umur >70 tahun dan dengan tingkat pendidikan dibawah SMP. Kata Kunci : Gangguan Kognitif, Lanjut Usia, Disfungsi Kognitif Pasca Operasi.

vii

ABSTRACT Ngurah Putu, I Gusti, 2013. Influential Factors to POCD Incident in Elderly at IBS (Central Operating Theatre) Sanglah General Hospital Denpasar. Final Assignment, Nursing Program, Medical Faculty, Udayana University in Denpasar. Advisors (1) Ns. Putu Oka Yuli Nurhesti, S.Kep., M.M. (2) Ns. Putu Artawan, S.Kep. Elderly who have surgery, about 45% experienced POCD on the first 24 hours. Preface study at Sanglah hospital said that 20% of elderly experience POCD. There are many factors caused this situation. Based on that previous study. We need to do a research about what are the risk factors that cause POCD in elderly. This research is an observation analyze with cross sectional approach to elderly who get surgery at central operating theatre Sanglah general hospital. This research was held from October to December 2012 with 70 elder people whom are chosen with purposive sampling technique. Data collecting was done with short portable mental status questionnaire (SPMSQ). To see risk factors that influence cognitive disorder in this research, logistic regression test is used. Results show that POCD incident at central operating theatre Sanglah General Hospital occured in 41,4% samples. From this studied, risk factor that caused POCD are long anesthesia (p=0,000), education level (p=0,000) and age (p=0,001). Meanwhile, other factors such as gender, type of anesthesia, surgical procedure and ASA physical status didnt have any influence to POCD incident in elderly after surgery (p>0,05). From the logistic regression test, we got equality Y=-3,646 + 2,108 age + 2,460 anesthesia term + 2,648 education level, where patients probability experiencing POCD without that factors is 2,6%. With this research, we hope hospital management will make standard policy of anesthesia to prevent POCD incident. We also hope nurses in central operating theatre will optimize their communication, orientation, post operating observation to elderly patient especially if they have risk factors such as, long term anesthesia, over 70 years old and below junior high school education level. Keywords: Cognitive Disorder, Elderly, Post Operative Cognitive Dysfuction (POCD)

viii

DAFTAR ISI Halaman HALAMAN ........................................................................................... HALAMAN PERSETUJUAN ................................................................ KATA PENGANTAR ............................................................................ ABSTRAK .............................................................................................. ABSTRACT ............................................................................................ DAFTAR ISI ........................................................................................... DAFTAR TABEL ................................................................................... DAFTAR GAMBAR .............................................................................. DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................... BAB I PENDAHULUAN .................................................................. A Latar Belakang ................................................................... B Rumusan Masalah .............................................................. C Tujuan Penelitian ............................................................... D Manfaat Penelitian ............................................................. E Keaslian Penelitian ............................................................ BABII TINJAUAN PUSTAKA ......................................................... A Keperawatan Perioperatif .................................................. B Gangguan Kognitif............................................................. C Konsep Lanjut Usia............................................................ D Faktor-faktor yang Mempengaruhi Disfungsi Kognitf Paska operasi ...................................................................... BAB III KERANGKA KONSEP ......................................................... A Kerangka konsep .............................................................. B Variabel penelitian ............................................................ C Hipotesis penelitian ........................................................... BAB IV METODE PENELITIAN ....................................................... A Jenis Penelitian .................................................................. B Kerangka Kerja .................................................................. C Tempat Penelitian .............................................................. 39 43 43 45 47 49 49 50 51 i ii iii vi vii viii x xi xii 1 1 4 4 6 6 8 8 22 33

ix

D Populasi dan sampel penelitian .......................................... E Jenis dan Teknik Pengumpulan Data ................................ F Pengolahan dan Analisa Data ............................................ BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN .............................................. A Hasil Penelitian .................................................................. B Pembahasan........................................................................ BAB VI SIMPULAN DAN SARAN.................................................... A Simpulan ............................................................................ B Saran .................................................................................. DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN

51 52 54 58 58 64 71 71 73

DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1 Tabel 2 Tabel 3 Tabel 4 Definisi Operasional Variabel Penelitian Faktor Risiko Pembedahan . Hubungan Faktor Risiko dengan Kejadian POCD . Hasil Analisis Multivariat ... 46 59 61 62

xi

DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1 Gambar 2 Gambar 3 Rentang Respons Kognitif . Kerangka Kerja Penelitian . 26 50 Kerangka Konsep Penelitian .. 44

xii

DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1 Lampiran 2 Lampiran 3 Lampiran 4a Lampiran 4b Lampiran 5 Lampiran 6 Lampiran 7 Lampiran 8 Lampiran 9 Lampiran 10 Jadwal Kegiatan Penelitian Anggaran Biaya Penelitian Pernyataan Keaslian Tulisan Pengantar Kuesioner Prosedur Pelaksanaan penelitian Surat Persetujuan Menjadi Responden Lembar Kuesioner Pengumpulan Data Surat Ijin Penelitian Surat Ethical Clearance Master Tabel Pengumpulan Data Hasil Uji SPSS

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Menua adalah suatu proses secara perlahan-lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti diri dan mempertahankan struktur serta fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap jejas (termasuk infeksi) dan memperbaiki kerusakan yang diderita (Constantinides dalam Nugroho, 2008). Hal tersebut menyebabkan manusia memiliki kecenderungan untuk mengalami penyakit degeneratif yang akan menyebabkan terjadinya episode terminal yang dramatik seperti stroke, infark miokard, koma asidotik, metastase kanker, dan lain sebagainya. Manusia berupaya dengan segala macam cara agar sedapat mungkin menunda atau melambatkan jalannya jam waktu ini, sehingga demikian terjadi peningkatan usia harapan hidup (Mansjoer, 2007). Usia Harapan hidup penduduk merupakan salah satu tolok ukur kemajuan suatu bangsa. Indonesia sebagai suatu negara berkembang dengan perkembangan yang cukup baik, memiliki harapan hidup yang diproyeksikan dapat mencapai lebih dari 70 tahun. Menurut Depkes RI (2011), diperkirakan mulai tahun 2010 akan terjadi ledakan jumlah penduduk usia lanjut dari 9,77% menjadi 11,34% pada tahun 2020. Peningkatan usia harapan hidup akan berpengaruh terhadap banyaknya jumlah usia lanjut yang menjalani pembedahan atau operasi karena berbagai kasus bedah yang dialami. Pasien usia lanjut yang akan menjalani operasi mungkin berisiko mengalami hasil akhir yang kurang atau bahkan tidak baik sama sekali karena berkurangnya kemampuan untuk 1

memelihara atau mengembalikan homeostasis fisiologik saat menjalani operasi. Kondisi tersebut akan diperberat oleh adanya berbagai kormobiditas seperti penyakit jantung, paru-paru, diabetes mellitus dan sebagainya (Mansjoer, 2007). Setiap operasi agar berjalan optimal perlu dilakukan persiapan yang cermat dan matang. Perawatan perioperatif membutuhkan evaluasi secara medis, hati-hati dan observasi paska operasi yang paripurna agar dapat mengantisipasi komplikasi potensial yang terjadi. Diperkirakan 25-30% dari semua kematian perioperatif terkait dengan penyebab kardiak, sehingga pengkajian risiko praoperasi non kardiak difokuskan pada upaya untuk memperkirakan komplikasi kardiak tersebut (Masnjoer, 2007). Kemajuan dalam teknik bedah dan perawatan anestesi dapat menurunkan angka kematian perioperatif dan morbiditas pada pasien orang tua. Pasien dengan beberapa masalah medis saat ini dapat menjalani prosedur pembedahan yang relatif kompleks. Walaupun demikian, masih terdapat persentase yang signifikan dari pasien usia lanjut yang mengalami Post Operative Cognitive Dysfunction (POCD). POCD adalah kondisi yang ditandai oleh gangguan memori, konsentrasi, bahasa, pemahaman dan sosial integrasi (Bekker, 2003). Studi International

POCD (ISPOCD ) menunjukkan kejadian POCD sekitar 26% pada pasien yang diambil satu minggu setelah operasi. Mengingat insiden yang relatif lebih tinggi dari POCD pada pasien usia lanjut dalam satu sampai tiga hari paska operasi, maka diperkirakan bahwa kejadian POCD terdeteksi 45% pasien pada 24 jam pertama (Denise Rohan, et al 2004).

Disfungsi kognitif pasca operasi merupakan masalah perawatan yang sulit, dan sering kali bermanifestasi sebagai disorientasi, kelemahan, cemas, paranoia, perilaku agresif dan halusinasi visual (Martono, 2009). Tingginya kejadian POCD pada lansia dapat berpengaruh terhadap lamanya penyembuhan, peningkatan

Length of Stay (LOS), dan akhirnya menyebabkan tingginya biaya perawatan. Perkembangan POCD dapat menyebabkan terjadinya neuropsikiatri yang mengacu pada gangguan jiwa. Berbagai faktor diduga dapat menyebabkan terjadinya POCD pada lansia yang mengalami pembedahan. Penelitian oleh Canet, dkk, (2003), menemukan bahwa usia, jenis kelamin dan penggunaan alkohol merupakan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kejadian POCD pada pasien lansia yang mengalami operasi bedah minor. Sedangkan durasi anastesi, penggunaan volatil dan pendidikan tidak berpengaruh terhadap kejadian POCD. Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Wijoto dan Andriyanto (2009), yang menunjukkan bahwa variabel usia, tingkat pendidikan dan durasi operasi tidak berpengaruh terhadap disfungsi kognitif. Di RSUP Sanglah saat ini belum ada protap yang baku dan data yang memadai tentang disfungsi kognitif paska operasi khususnya pada pasien lansia. Jumlah pasien lansia yang mengalami pembedahan pada bulan Januari Maret 2012 di RSUP Sanglah Denpasar sebanyak 225 orang dengan rata-rata 75 orang perbulan. Dari hasil survei yang dilakukan peneliti dengan kuesioner Short Portable Mental State of Question (SPMSQ) pada bulan Mei Tahun 2012, terhadap 30

pasien lansia yang dilakukan pembedahan di Ruang IBS RSUP Sanglah Denpasar terdapat 6 orang (20%) mengalami POCD. Data yang diperoleh dari Instalasi Rekam Medik rata-rata Length Of Stay (LOS) pasien umum dari bulan JanuariMaret 2012 adalah 6,58 hari. Sedangkan rata-rata LOS pasien Lansia adalah 11,75 hari. Maka dapat disimpulkan rata-rata LOS pasien Lansia 78% lebih tinggi dari LOS pasien pada umumnya. Dilihat dari perbedaan hasil penelitian tersebut dan banyaknya kasus POCD pada lansia yang mengalami pembedahan maka peneliti tertarik untuk mengetahui faktor-faktor risiko yang menyebabkan terjadinya POCD pada pasien lansia yang menjalani pembedahan di Ruang Instalasi Bedah Sentral RSUP Sanglah Denpasar. B. Rumusan Masalah Uraian latar belakang di atas mendasari peneliti tertarik untuk membahas lebih lanjut dengan rumusan masalah sebagai berikut : Faktor risiko apa saja yang menyebabkan terjadinyaPost Operative Cognitive Dysfunction (POCD) pada Lansia di Ruang Instalasi Bedah Sentral RSUP Sanglah Denpasar? C. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Tujuan Umum Mengetahui faktor risiko penyebab terjadinya POCD pada pasien lansia di Ruang Instalasi Bedah Sentral RSUP Sanglah Denpasar Tahun 2012. 2. Tujuan Khusus

a. Mengidentifikasi kejadian POCD pada pasien lansia di Ruang Instalasi Bedah Sentral RSUP Sanglah Denpasar b. Mengidentifikasi usia pasien lansia yang mengalami POCD di Ruang Instalasi Bedah Sentral RSUP Sanglah Denpasar c. Mengidentifikasi lama anastesi pada pasien lansia yang mengalami POCD di Ruang Instalasi Bedah Sentral RSUP Sanglah Denpasar d. Mengidentifikasi penggunaan anastesi umum dan anastesi regional pada pasien lansia yang mengalami POCD di Ruang Instalasi Bedah Sentral RSUP Sanglah Denpasar e. Mengidentifikasi jenis kelamin pada pasien lansia yang mengalami POCD di Ruang Instalasi Bedah Sentral RSUP Sanglah Denpasar f. Mengidentifikasi tingkat pendidikan pada pasien lansia yang mengalami POCD di Ruang Instalasi Bedah Sentral RSUP Sanglah Denpasar g. Mengidentifikasi status fisik ASA pada pasien lansia yang mengalami POCD di Ruang Instalasi Bedah Sentral RSUP Sanglah Denpasar h. Mengidentifikasi prosedur pembedahan kardiak dan non kardiak pada pasien lansia yang mengalami POCD di Ruang Instalasi Bedah Sentral RSUP Sanglah Denpasar i. Menganalisis pengaruh faktor usia, lama anastesi, penggunaan anastesi umum dan anastesi regional, jenis kelamin, pendidikan, status fisik ASA dan

prosedur pembedahan pada pasien lansia terhadap kejadian POCD di Instalasi bedah Sentral RSUP Sanglah Denpasar.

D. Manfaat Penelitian Penelitian ini memiliki dua manfaat, yaitu manfaat praktis dan manfaat teoritis. 1. Manfaat Praktis Adapun manfaat praktis yang diperoleh dari penelitian ini adalah : a. Sebagai bahan masukan bagi perawat untuk meningkatkan mutu pelayanan keperawatan khususnya pada lansia yang akan mengalami pembedahan. b. Diharapkan penelitian ini dapat digunakan oleh praktisioner untuk melakukan modifikasi kondisi pasien lansia terutama pada faktor-faktor penyebab yang dapat meningkatkan risiko POCD, sehingga kejadian POCD dan komplikasi akibat pembedahan pada lansia dapat diminimalisir. 2. Manfaat Teoritis Adapun manfaat teoritis yang diperoleh dari penilitian ini adalah : a. Sebagai informasi ilmiah dalam bidang keperawatan khususnya Keperawatan Gerontik dalam Perawatan Perioperatif Lansia. b. Diharapkan hasil penelitian ini dapat menambah perbendaharaan pustaka terutama dalam bidang Perioperatif, serta sebagai bahan acuan bagi peneliti selanjutnya. E. Keaslian Penelitian Wijoto dan Andriyanto (2009), dengan judul Disfungsi Kognitif Pasca Operasi Pada Pasien Operasi Elektif di GBPT RSU Dr. Sutomo Surabaya. Penelitian ini dilakukan dengan melibatkan lima puluh orang sampel berusia 40 tahun atau lebih yang menjalani pembedahan > 2 jam. Dilakukan serangkaian

pemeriksaan fungsi kognitif pra operasi dan tujuh hari pasca operasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa setelah tujuh hari pasca operasi 30% sampel mengalami gangguan atensi, 36% sampel mengalami gangguan memori dan 52% sampel mengalami disfungsi kognitif pasca operasi. Berdasarkan hasil uji multivariat menunjukkan bahwa disfungsi kognitif tidak dipengaruhi oleh usia (p=0,798), tingkat pendidikan (p=0,921) dan durasi operasi (p=0,811). Namun bila dianalisa pada masing-masing kelompok usia tampak bahwa persentase pasien yang mengalami POCD lebih tinggi pada usia !50 tahun, tingkat

pendidikan " Sekolah Dasar dan durasi operasi !180 menit. Perbedaan dengan penelitian ini terletak pada lama penilaian POCD, uji analisis yang digunakan serta sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah pasien lansia yang berusia 60-80 tahun.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Keperawatan Perioperatif Keperawatan perioperatif merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan keragaman fungsi keperawatan yang berkaitan dengan pengalaman pembedahan pasien. Istilah perioperatif adalah suatu istilah gabungan yang mencakup tiga fase pengalaman pembedahan, yaitu fase preoperasi, intraoperasi, dan postoperasi. Masing- masing fase di mulai pada waktu tertentu dan berakhir pada waktu tertentu pula dengan urutan peristiwa yang membentuk pengalaman bedah dan masing-masing mencakup rentang perilaku dan aktivitas keperawatan yang luas dilakukan oleh perawat dengan menggunakan proses keperawatan dan standar praktik keperawatan. Disamping perawat kegiatan perioperatif ini juga memerlukan dukungan dari tim kesehatan lain yang berkompeten dalam perawatan pasien sehingga kepuasan pasien dapat tercapai sebagai suatu bentuk pelayanan prima (Mansjoer, 2007). Keperawatan perioperative terdiri dari preoperatif, intraoperatif dan postoperative yang dapat dijelaskan sebagai berikut. 1. a. Keperawatan Preoperatif Evaluasi Preoperatif Terdapat dua prinsip yang harus diingat pada saat melakukan evaluasi pre-operatif pasien geriatri. Pertama, pasien harus selalu dianggap mempunyai risiko tinggi menderita penyakit yang berhubungan dengan penuaan. Penyakit-penyakit biasa pada pasien dengan usia lanjut berpengaruh dalam 8

teknik penanganan anestesi dan memerlukan perawatan khusus serta diagnosis yang tepat. Penyakit kardiovaskuler dan diabetes umumnya sering ditemukan pada populasi ini. Komplikasi pulmoner mempunyai insidens sebesar 5,5% dan merupakan penyebab morbiditas ketiga tertinggi pada pasien usia lanjut yang akan menjalani pembedahan non cardiac. Diagnosis pulmoner dan optimisasi tidak dapat diperkirakan secara pre operatif (Smeltzer dan Bare, 2002). Kedua, harus dilakukan pemeriksaan derajat fungsional sistem organ yang spesifik dan pasien secara keseluruhan sebelum pembedahan. Pemeriksaan laboratorium dan diagnostik, riwayat, pemeriksaan fisik, dan determinasi kapasitas fungsional harus dilakukan untuk mengevaluasi fisiologis pasien. Pemeriksaan laboratorium harus disesuaikan dengan riwayat pasien, pemeriksaan fisik, dan prosedur pembedahan yang akan dilakukan, dan bukan hanya berdasarkan atas usia pasien saja. Penelitian prospektif abnormalitas laboratorium pada pasien lanjut usia tidak dapat menunjukkan nilai laboratorium spesifik sebagai prediksi hasil selanjutnya. Hanya status fisik ASA dan risiko pembedahan yang mempunyai hasil prediksi bermakna. Adanya ditemukan abnormalitas pada elektrokardiogram, tetapi pemeriksaan EKG ini juga tidak mampu untuk memprediksi komplikasi postoperatif jantung. Bukti-bukti yang ada menunjukkan bahwa risiko kardiovaskuler dapat dicegah dengan mencari ada tidaknya #-blockade perioperatif pada pasien dengan penyakit arteri koroner yang diketahui, terutama bila muncul beberapa

10

minggu terakhir sebelum operasi. Pada pasien usia lanjut yang menggunakan terapi #-blocker jangka panjang, tampaknya #-blocker long-acting akan lebih efektif dibandingkan dengan #-blocker short-acting dalam mengurangi resiko infark miokard perioperatif. Protokol yang menyertakan pemberian #-blocker pada pagi hari sebelum operasi dilakukan dan diteruskan selama operasi berhubungan dengan peningkatan insidens stroke dan semua penyebab mortalitas (Miller, 2010). b. Penanganan Anestesi 1) Farmakologi Klinis Faktor-faktor yang mempengaruhi respons farmakologi pasien berusia lanjut akan diterangkan secara mendalam dan termasuk perubahan pada (1) ikatan protein plasma, (2) tubuh, (3) metabolisme obat, dan (4)

farmakodinamik. Protein pengikat plasma yang utama untuk obat-obat yang bersifat asam adalah albumin dan untuk obat-obat dasar adalah $1-acid glikoprotein. Kadar sirkulasi albumin akan menurun sejalan dengan usia,

sedangkan kadar $1-acid glikoprotein meningkat. Dampak gangguan protein pengikat plasma terhadap efek obat tergantung pada protein tempat obat itu terikat, dan menyebabkan perubahan fraksi obat yang tidak terikat. Hubungan ini kompleks, dan umumnya perubahan kadar protein pengikat plasma bukanlah faktor predominan yang menentukan bagaimana farmakokinetik akan mengalami perubahan sesuai dengan usia (Miller, 2010). Perubahan komposisi tubuh terlihat dengan adanya penurunan massa tubuh, peningkatan lemak tubuh, dan penurunan air tubuh total. Penurunan air

11

tubuh total dapat menyebabkan mengecilnya kompartemen pusat dan peningkatan konsentrasi serum setelah pemberian obat secara bolus. Selanjutnya, peningkatan lemak tubuh dapat menyebabkan membesarnya volume distribusi, dengan potensial memanjangnya efek klinis obat yang diberikan. Gangguan hepar dan klirens ginjal, dapat terjadi sesuai dengan penambahan usia. Tergantung pada jalur degradasi, penurunan reversi hepar dan ginjal dapat mempengaruhi profil farmakokinetik obat. Respons klinis terhadap obat anestesi pada pasien usia lanjut mungkin disebabkan karena adanya gangguan sensitivitas pada target organ (farmakodinamik). Bentuk sediaan obat yang diberikan dan gangguan jumlah reseptor atau sensitivitas menentukan pengaruh gangguan farmakodinamik efek anestesi pada pasien usia lanjut. Umumnya, pasien berusia lanjut akan lebih sensitif terhadap obat anestesi. Jumlah obat yang diperlukan lebih sedikit dan efek obat yang diberikan bisa lebih lama. Respons hemodinamik terhadap anestesi intravena bisa menjadi berat karena adanya interaksi dengan jantung dan vaskuler yang telah mengalami penuaan. Kompensasi yang diharapkan sering tidak terjadi karena perubahan fisiologis berhubungan dengan proses penuaan normal dan penyakit yang berhubungan dengan usia (Miller, 2010). 2) Farmakologi Klinis Obat-obat Anestesi Spesifik a) Anestesi Inhalasi Konsentrasi alveolar minimum (The minimum alveolar concentration = MAC) mengalami penurunan kurang lebih 6% per dekade pada mayoritas

12

anestesi inhalasi. Pola yang serupa terlihat juga pada MAC-awake. Mekanisme kerja anestesi inhalasi berhubungan dengan gangguan pada aktivitas kanal ion neuronal terhadap nikotinik, asetilkolin,dan reseptor glutamat. Mungkin adanya gangguan karena penuaan pada kanal ion, aktivitas sinaptik, atau sensitivitas reseptor ikut bertanggung jawab terhadap perubahan

farmakodinamik tersebut (Miller, 2010). b) Anestesi intravena dan benzodiazepine Perubahan sensitivitas otak terhadap tiopental yang berhubungan dengan usia dinyatakan tidak ada, namun, dosis tiopental yang diperlukan untuk mencapai anestesia menurun sejalan dengan pertambahan usia. Penurunan dosis tiopental sehubungan dengan usia disebabkan karena penurunan volume distribusi inisial obat tersebut. Penurunan volume distribusi inisial terjadi pada kadar obat dalam serum yang lebih tinggi setelah pemberian tiopental dalam dosis tertentu pada pasien berusia lanjut. Sama seperti pada kasus etomidate, perubahan farmakokinetik sesuai usia (disebabkan karena penurunan klirens dan volume distribusi inisial), bukan gangguan responsif otak yang terganggu, bertanggung jawab terhadap penurunan dosis etomidate yang diperlukan pada pasien berusia lanjut. Otak menjadi lebih sensitif terhadap efek propofol, pada usia lanjut. Selain itu, klirens propofol juga mengalami penurunan. Efek penambahan ini berhubungan dengan peningkatan sensitivitas terhadap propofol sebesar 30-50% pada pasien dengan usia lanjut. Dosis yang diperlukan midazolam untuk menghasilkan efek sedasi selama endoskopi gastrointestinal atas mengalami penurunan sebesar 75% pada pasien

13

berusia lanjut. Perubahan ini berhubungan dengan peningkatan sensitivitas otak dan penurunan klirens obat (Miller, 2010). c) Opiat Usia merupakan prediktor penting perlu tidaknya penggunaan morfin post operatif, pasien berusia lanjut hanya memerlukan sedikit obat untuk

menghilangkan rasa nyeri. Morfin dan metabolitnya morphine-6-elucuronide mempunyai sifat analgetik. Klirens morfin akan menurun pada pasien berusia lanjut. Morphine-6-glueuronide tergantung pada eksresi renal. Pasien dengan insufisiensi ginjal mungkin menderita gangguan eliminasi morfin

glucuronides, dan hal ini bertanggung jawab terhadap peningkatan analgesia dari dosis morfin yang diberikan pada pasien berusia lanjut. Shafer (2009) melakukan tinjauan komperehensif terhadap farmakologi sufentanil, alfentanil, dan fentanil pada pasien berusia lanjut. Sufentanil, alfentanil, dan fentanil kurang lebih dua kali lebih poten pada pasien berusia lanjut. Penemuan ini berhubungan dengan peningkatan sensitivitas otak terhadap opioid sejalan dengan usia, bukan karena gangguan farmakokinetik. Penambahan usia berhubungan dengan perubahan farmakokinetik dan farmakodinamik dari remifentanil. Pada usia lanjut terjadi peningkatan sensitivitas otak terhadap remifentanil. Remifentanil kurang lebih dua kali lebih poten pada pasien usia lanjut, dan dosis yang diperlukan adalah satu setengah kali bolus. Akibat volume kompartemen pusat, dan penurunan klirens pada usia lanjut, maka diperlukan kurang lebih sepertiga jumlah infus (Miller, 2010).

14

d) Pelumpuh Otot Usia tidak mempengaruhi farmakodinamik pelumpuh otot dan durasi kerja obat mungkin akan memanjang jika diberikan pada lansia. Diperkirakan terjadi penurunan pancuronium pada pasien berusia lanjut, karena

ketergantungan pancuronium terhadap eksresi ginjal. Perubahan klirens pancuronium pada usia lanjut masih kontroversial. Atracurium bergantung pada sebagian kecil metabolisme hati dan ekskresi, dan waktu paruh eliminasinya akan memanjang pada pasien usia lanjut. Tidak terjadi perubahan klirens dengan bertambahnya usia, yang menunjukkan adanya jalur eliminasi alternatif (hidrolisis eter dan eliminasi Hoffmann) penting pada pasien berusia lanjut. Klirens vecuronium plasma lebih rendah pada pasien berusia lanjut. Durasi memanjang yang berhubungan dengan usia terhadap kerja vecuronium menggambarkan penurunan reversi ginjal atau hepar (Miller, 2010). e) Anestesia neuraksial dan blok saraf perifer Persentase obat anestesia tidak berdampak terhadap durasi blokade motorik dengan pemberian anestesi bupivacaine akhir. Waktu onset akan menurun, bagaimanapun juga penyebaran anestesi akan lebih baik dengan pemberian cairan bupivacaine hiperbarik. Dampak usia terhadap durasi anestesia epidural tidak terlihat pada pemberian bupivacaine 5%. Waktu onset akan memendek, dan kedalaman blok anestesia akan bertambah besar. Terlihat klirens plasma lokal anestesi yang menurun pada pasien berusia lanjut. Hal ini dapat menjadi faktor yang mengurangi penambahan dosis dan jumlah infus

15

selama pemberian dosis berulang dan teknik infus berkesinambungan (Bekker, 2003). 3) Teknik Anestesi a) Keuntungan Obat-Obat Spesifik pada pasien lanjut usia Data menunjukkan bahwa penyakit penyerta preoperatif merupakan determinan yang lebih besar terhadap komplikasi post operatif dibandingkan dengan penatalaksanaan anestesi. Beberapa pendapat menitikberatkan pada penatalaksanaan farmakologi dan fisiologi terhadap usia lanjut. Mungkin terdapat peranan anestesi yang bekerja singkat untuk pasien berusia lanjut. Metode titrasi opioid mungkin lebih baik menggunakan opioid dngan kerja singkat seperti remifentanil. Dengan menambahkan dosis bolus dan infus, variabilitas farmakokinetik remifentanil akan lebih rendah bila dibandingkan dengan opioid intravena lainnya. Sama halnya dengan pilihan menggunakan pelumpuh otot dengan kerja yang lebih singkat. Beberapa penelitian menunjukkan adanya peningkatan insidens komplikasi pulmoner dan blokresidual postoperatif pada pasien yang diberikan pancuronium bila dibandingkan dengan atracurium atau vecuronium. Penggunaan sugammadex sebagai obat reversal untuk rocuronium akan meningkatkan penggunaan pelumpuh ototpada pasien berusia lanjut. Bila dibandingkan dengan anestesi inhalasi, tidak ditemukan perbedaan yang bermakna pada pemulihan profil fungsi kognitif. Desflurane berhubungan dengan emergensi paling cepat (Bekker, 2003).

16

Tekanan darah optimal selama pembedahan akan mendukungkah penanganan fisiologis optimal sehinggga memberikan hasil pembedahan terbaik. Dipertanyakan selama tindakan bypass cardiopulmoner, pada tekanan berapakah tekanan perfusi yang paling baik. Menurut penelitian, pasien

dengan usia lanjut dapat menerima anestesia hipotensif dengan aman (tekanan darah arteri rata-rata adalah 45-55 mmHg) selama pembedahan ortopedik tanpa terjadi peningkatan risiko. Penggunaan kateter arteri pulmonal pada pasien berisiko tinggi juga dipertanyakan karena banyak penelitian

randomissasi prospektif yang menganalisis mortalitas selama perawatan dan tidak didapatkannya keuntungan dari terapi dengan memasukkan kateter arteri pada pasien usia lanjut berisiko tinggi yang memerlukan perawatan ICU (Miller, 2010). b) Anestesi regional berbanding anestesi umum Mayoritas bukti menunjukkan sedikit perbedaan hasil antara anestesi regional dan anestesi umum pada pasien berusia lanjut. Hasil ini telah dilaporkan pada berbagai jenis pembedahan, termasuk prosedur pembedahan vaskuler mayor dan ortopedik. Penggunaan anestesi regional tampaknya tidak menurunkan insidens disfungsi kognitif postopertaif bila dibandingkan dengan anestesi umum (Bekker, 2003). Efek spesifik anestesi regional memberikan beberapa keuntungan. Pertama, anestesi regional mempengaruhi system koagulasi dengan cara mencegah inhibisi fibrinolisis post operatif. Thrombosis vena dalam atau emboli paru dapat terjadi pada 2,5% pasien setelah menjalani beberapa

17

prosedur berisiko tinggi. Pada revaskularisasi ekstremitas bawah, anestesi regional berhubungan dengan penurunan insidens thrombosis graft bila dibandingkan dengan anestesi umum.Kedua, efek hemodinamik anestesi regional mungkin berhubungan dengan lebih sedikitnya jumlah darah yang hilang pada pembedahan pelvis dan ekstremitas bawah. Ketiga, anestesi regional tidak memerlukan instrumen alat bantu nafas dan pasien dapat mempertahankan jalan nafas dan fungsi parunya sendiri. Data menunjukkan bahwa pasien berusia lanjut lebih rentan terhadap episode hipoksia selama dalam ruang pemulihan. Pasien dengan anestesi regional mempunyai risiko hipoksemia yang lebih rendah.Komplikasi paru yang terjadi pada anestesi regional juga lebih sedikit (Miller, 2010). 2. Konsep Intraoperatif Fase intraoperatif dimulai saat pasien ditempatkan pada meja operasi dan berakhir saat pasien dibawa ke ruang pemulihan. Asuhan keperawatan pada fase ini difokuskan pada kesejahteraan emosional pasien dan faktor fisik seperti: keamanan, posisi, mempertahankan teknik asepsis dan memanajemen lingkungan pembedahan. Pada fase ini pasien mempunyai ketergantungan yang tinggi pada perawat untuk memenuhi kebutuhannya. Perawat merupakan advokat pasien sampai dengan tahap induksi untuk dilakukan anestesi. Pembedahan merupakan pengalaman yang membuat stress, pasien membutuhkan rasa aman dengan mengetahui bahwa ada orang yang memberikan perlindungan selama prosedur dan ketika dianestesi (Smeltzer dan Bare, 2002).

18

Pada fase intraoperatif perawat mempunyai tanggung jawab mereview status lengkap pasien, mengecek status pembedahan pasien sesuai dengan penyakitnya, menjaga keamanan dan kesejahteraan pasien, dan memberikan dukungan emosional khususnya pada pasien yang mengalami ketakutan dan kecemasan. Pasien yang rileks akan lebih mudah untuk dilakukan induksi anestesi daripada pasien dalam keadaan cemas sehingga ketakutan dan kecemasan pasien harus diatasi dahulu, bisa dengan memberikan penjelasan, dukungan sosial, dan sedasi. Bila pasien masih tetap cemas perawat dapat konsul ke ahli bedah atau anestesi (Smeltzer dan Bare, 2002). a. Anggota Tim Operasi Tim operasi adalah sekelompok individu yang telah dilatih dengan baik dan harus bersama-sama dalam kerjasama tim untuk kesejahteraan dan keamanan pasien selama pembedahan. Tim operasi terdiri dari: ahli bedah, ahli anestesi atau perawat anestesi, perawat sirkuler, perawat instrumen dan asisten (Smeltzer dan Bare, 2002). Ahli bedah adalah ketua tim operasi dan membuat keputusan utama terkait dengan pembedahan seperti: kapan mengambil organ atau jaringan, melakukan amputasi, atau melakukan perbaikan yang radikal atau extensive. Ahli bedah harus waspada setiap waktu terhadap perubahan-perubahan kebutuhan fisiologis pasien selama pembedahan (Smeltzer dan Bare, 2002). Ahli anestesi (dokter) dan perawat anestesi (dengan tambahan pendidikan khusus) mempunyai tugas untuk menurunkan nyeri pasien dan meningkatkan relaksasi dengan medikasi. Mereka harus dapat menjaga kepatenan jalan nafas,

19

kestabilan hemodinamik dan memberitahu operator atau tim operasi tentang komplikasi yang mungkin terjadi (Smeltzer dan Bare, 2002). Perawat sirkuler bertugas menjaga kelancaran jalan operasi dengan menyediakan alat-alat, obatobatan yang diperlukan di meja operasi, membantu pengelolaan bahan medis habis pakai, alat-alat tajam dan membantu perhitungan instrumen serta mengatur pembuangan spesimen atau hal-hal yang tidak diperlukan. Perawat instrumen atau scrub nurse adalah registered nurse atau ahli teknologi bedah, membantu operator selama prosedur dengan memberikan langsung instrumen yang dibutuhkan, benang bedah, dan alat lain yang dibutuhkan. Selama pembedahan perawat instrumen atau scrub melakukan perhitungan akurat alat, BMHP atau instrumen bedah dalam area steril (Smeltzer dan Bare, 2002). Asisten langsung operator biasanya adalah ahli bedah lain atau residen bedah. Registered nurse atau tenaga profesioanl yang punya pengalaman dalam bedah juga bertindak sebagai asisten berdasarkan instruksi ahli bedah. Tim kesehatan lain bisa merupakan bagian dari tim operasi jika

diperlukan perannya dalam prosedur pembedahan, misalnya ahli patologi yang diminta untuk mengidentifikasi proses patologi. Teknisi radiologi mungkin diperlukan untuk melakukan berbagai prosedur radiologi saat pasien di meja operasi. Ahli perfusi kardiopulmoner mungkin diperlukan untuk membantu selama pembedahan kardiotorak (Smeltzer dan Bare, 2002). 3. Keperawatan Postoperatif Pasien bedah umum berusia >65 tahun ke atas berisiko mengalami atelektasis (17%), bronkitis akut (12%), pneumonia (10%), gagal jantung atau

20

infark miokard (6%), delirium (6%), dan tanda-tanda neurologis fokal baru (1%). Pada prosedur dengan risiko yang lebih tinggi, seperti bedah vaskuler, insidens komplikasi pulmoner postoperatif adalah sebesar 15,2%. Berbagai prediktor komplikasi pulmoner post operatif pada pembedahan non jantung elektif telah berhasil diidentifikasi, dan risiko yang ada mengindikasikan

terjadinya perkembangan pneumonia post-operatif. Pasien berusia lanjut mempunyai risiko yang lebih tinggi mengalami aspirasi sekunder terhadap penurunan progresif pada diskriminasi sensorik laringofaringeal yang terjadi dengan penambahan usia. Selain itu disfungsi proses menelan juga merupakan predisposisi aspirasi pada pasien berusia lanjut. Setelah operasi jantung, disfungsi menelan terjadi pada 4% pasien dan lebih sering terjadi pada pasien usia lanjut. Disfungsi menelan setelah pembedahan jantung berhubungan erat dengan penggunaan echocardiography transesofageal intraoperatif dan menyebabkan 90% aspirasi pulmoner dan pneumonia (Miller, 2010). Penelitian klinis dan eksperimen mendukung adanya penurunan persepsi sakit sejalan dengan bertambahnya usia. Tetapi, tetap belum jelas apakah perubahan yang terjadi disebabkaan karena proses penuaan atau akibat dari efek penuaan lainnya, seperti adanya penyakit comorbid (penyerta). Masalah yang lebih besar terjadi pada pasien dengan gangguan kognitif. Buktibukti menunjukkan evaluasi nyeri, terutama pada individu dengan gangguan kognitif, sulit dilakukan. Prinsip dasar dari evaluasi nyeri pada pasien berusia lanjut sama dengan pada kelompok usia lainnya. Skala nyeri verbal merupakan

21

metode yang lebih baik dibandingkan dengan metode non verbal pada pasien usia lanjut. Penuaan mengganggu fungsi organ dan farmakokinetik. Kombinasi pemeriksaan nyeri dan dosis obat merupakan tantangan dalam penanganan nyeri postoperatif pada pasien berusia lanjut. Beberapa prinsip umum harus diingat saat menangani pasien usia lanjut yang rentan. Pertama, penting untuk mencoba membandingkan berbagai jenis analgetik, seperti analgetik yang diberikan intravena, dan blok saraf regional, untuk meningkatkan analgesia dan menurunkan toksisitas narkotik. Prinsip ini terutama pada pasien berusia lanjut yang rentan, dengan toleransi yang buruk terhadap narkotik sistemik. Kedua, penggunaan analgetik dengan daerah kerja spesifik akan sangat membantu, seperti pada ekstremitas atas untuk blok saraf lokal. Ketiga, bila mungkin harus digunakan obat anti inflamasi untuk memisahkan narkotik, analgetik, dan menurunkan mediator inflamasi. Kecuali terdapat kontra indikasi, atau kecenderungan terjadi hemostasis atau ulserasi peptikum, maka obat anti inflamasi non steroid harus diberikan. Penanganan nyeri post operatif dengan opioid dapat digunakan setelah dosisnya disesuaikan dengan usia (Miller, 2010). 4. Komplikasi Post Operatif Perubahan jangka pendek dalam kinerja tes kognitif selama hari pertama sampai beberapa minggu setelah operasi telah dicatat dengan baik dan biasanya mencakup beberapa kognitif seperti, perhatian, memori, dan kecepatan psikomotorik. Penurunan kognitif awal setelah pembedahan sebagian besar akan

22

membaik dalam waktu 3 bulan. Pembedahan jantung berhubungan dengan 36% insidens terjadinya penurunan kognitif dalam waktu 6 minggu setelah operasi. Insidens disfungsi kognitif setelah pembedahan non-jantung pada pasien dengan usia lebih dari 65 tahun adalah 26% pada minggu pertama dan 10% pada bulan ketiga. Disfungsi kognitif jangka pendek setelah pembedahan dapat disebabkan karena berbagai etiologi, termasuk mikroemboli (terutama pada pembedahan jantung), hipoperfusi, respons inflamasi sistemik (bypass kardiopulmoner), anestesia, depresi, dan faktor-faktor genetik (alel E4). Ada tidaknya kontribusi anestesi terhadap disfungsi kognitif

postoperatif jangka panjang masih kontroversi dan memerlukan penelitian yang intensif. Pada prosedur non-cardiac, anestesia mempunyai pengaruh

yang paling ringan terhadap terjadinya penurunan kognitif jangka panjang, walaupun efek ini mungkin akan meningkat sejalan dengan bertambahnya usia. Penurunan kognitif post-operatif setelah pembedahan non-cardiac akan kembali normal pada kebanyakan kasus, tetapi bisa juga menetap pada kurang lebih 1% pasien (Miller, 2010). B. Gangguan Kognitif 1. Pengertian Gangguan kognitif merupakan gangguan kemampuan berpikir dan memberi rasional, termasuk proses mengingat, menilai, orientasi, persepsi dan memperhatikan (Stuart dan Sundeen, 2002). Gangguan kognitif meliputi gangguan dalam pikiran atau ingatan yang menggambarkan perubahan nyata dari tingkat fungsi individu yang sebelumnya

23

(APA, 2000). Gangguan kognitif (Cognitive Disorder) disebabkan oleh kondisi fisik atau medis (misalnya, otak mengalami kerusakan, mengalami gangguan karena penyakit, luka-luka, atau stroke), dan penggunaan obat atau pemberhentian penggunaan obat-obatan secara tiba-tiba yang mempengaruhi fungsi dari otak. Faktor psikologis disini berperan sebagai penentu dampak dari simtom-simtom yang melumpuhkan. Misalnya, bagaimana cara individu akan mengatasi penurunan kemampuan kognitif dan fisiknya. Gangguan kognitif terjadi apabila otak mengalami kerusakan atau mengalami hendaya dalam kemampuannya untuk berfungsi akibat luka-luka, penyakit, keterpaparan terhadap racun-racun, atau penggunaan atau

penyalahgunaan obat-obatan psikoaktif.

Derajat dan lokasi kerusakan otak

banyak menentukan tingkat dan keparahan hendaya. Biasanya, semakin menyebar kerusakannya, semakin besar dan semakin parah hendaya dalam fungsi. Lokasi kerusakan juga sangat penting karena banyak struktur atau daerah otak yang menampilkan fungsi-fungsi khusus. Misalnya, kerusakan pada lobus temporal dihubungkan dengan kerusakan dalam ingatan dan perhatian, sedangkan kerusakan pada lobus oksipital mungkin menghasilkan defisit visual-spasial, seperti hilangnya kemampuan untuk mengenali wajah (APA, 2000).

2.

Jenis Gangguan Kognitif. Pada gangguan kognitif, diagnosa medis yang sering dihadapi adalah :

24

a.

Delirium Adalah fungsi kognitif yang kacau ditandai dengan kesadaran berkabut

yang dimanifestasikan oleh lama konsentrasi yang rendah, persepsi yang salah, gangguan pikir (Stuart dan Sundeen, 2002). b. Demensia Adalah gangguan kognitif yang ditandai oleh hilangnya fungsi intelektual yang berat (Stuart dan Sundeen, 2002). c. Gangguan Amnestik Menurut Dumark (2006 dalam Fitriani, 2012) menyatakan bahwa gangguan amnestik adalah kemunduran dalam kemampuan mentransfer informasi dari ingatan jangka pendek ke ingatan jangka panjang, tanpa adanya gejala-gejala demensia lain, sebagai akibat trauma kepala atau penyalahgunaan obat. Sedangkan menurut Nevid (2003) menyatakan bahwa gangguan amnestik adalah gangguan ingatan yang dihubungkan dengan ketidakmampuan untuk mempelajari materi baru atau mengingat kembali peristiwa - peristiwa masa lalu. Gangguan amnestik adalah perkembangan gangguan daya ingat yang ditandai oleh gangguan pada kemampuan untuk mempelajari informasi baru (amnesia anterograd) dan ketidakmampuan untuk mengingat pengetahuan yang sebelumnya diingat (amnesia retrograd). 3. a. Tanda dan Gejala Delirium : fluktuasi tingkat kesadaran, disorientasi proses pikir, kerusakan penilaian dan pengambilan keputusan, ilusi, labil, gelisah, agitasi. halusinasi penglihatan, afek

25

b.

Demensia : disorientasi kehilangan daya ingat, penurunan konsentrasi, kerusakan penilaian dan pengambilan keputusan, perilaku sosial yang tidak sesuai, afek labil, gelisah, agitasi, menolak perubahan.

c.

Gangguan Amnestik Gangguan amnestik ditandai terutama oleh gejala tunggal suatu gangguan

daya ingat yang menyebabkan gangguan bermakna dalam fungsi sosial atau pekerjaan. Diagnosis gangguan amnestik tidak dapat dibuat jika mempunyai tanda lain dari gangguan kognitif, seperti yang terlihat pada demensia, atau jika mempunyai gangguan perhatian (attention) atau kesadaran, seperti yang terlihat pada delirium. d. Gangguan Kognitif Ringan : daya ingat terganggu, disorientasi, koheren, sukar berpikir logis. 4. a. Etiologi Gangguan Kognitif Faktor Predisposisi Gangguan kognitif umumnya disebabkan oleh gangguan fungsi susunan saraf pusat (SSP). SSP memerlukan nutrisi untuk berfungsi, setiap gangguan pengiriman nutrisi mengakibatkan gangguan fungsi SSP. Faktor yang dapat menyebabkan adalah penyakit infeksi sistematik, gangguan peredaran darah, keracunan zat (Beck, Rawlins dan Williams, 2006). Banyak faktor lain yang menurut beberapa ahli dapat menimbulkan gangguan kognitif, seperti kekurangan vitamin, malnutrisi, gangguan jiwa fungsional.

26

b. Faktor Presipitasi Setiap kejadian diotak dapat berakibat gangguan kognitif. Hipoksia dapat berupa anemia Hipoksia, Hitoksik Hipoksia, Hipoksemia Hipoksia, atau Iskemik Hipoksia. Semua Keadaan ini mengakibatkan distribusi nutrisi ke otak berkurang. Gangguan metabolisme sering mengganggu fungsi mental, hipotiroidisme, hipoglikemia. Racun, virus dan virus menyerang otak mengakibatkan gangguan fungsi otak, misalnya sifilis. Perubahan struktur otak akibat trauma atau tumor juga mengubah fungsi otak. Stimulus yang kurang atau berlebihan dapat mengganggu fungsi kognitif. Misalnya ruang ICU dengan cahaya, bunyi yang konstan merangsang dapat mencetuskan disorientasi, delusi dan halusinasi, namun belum ada penelitian yang tepat. 5. Rentang Respons Gangguan Kognitif

Decisiveness Memori baik Orientasi penuh Persepsi akurat Perhatian terfokus Koheren - Berfikir logis

Respon Adaptif ------------------------------------

Periodic indecisiveness Tidak mampumembuat keputusan Pelupa Kadang-kadang bingung Ragu Mispersepsi Pikiran kacau Kadang-kadang pikiran jernih

Tidak mampu membuat keputusan Kerusakan memori Disorientasi - Mispersepsi Perhatian tidak terfokus Sulit memberikan alasan yang logis Kerusakan penilaian tidak

-------------Respon Maladaptif

27

Gambar 1 Rentang Respons Kognitif (Stuart dan Sundeen, 2002)

6. Mekanisme Gangguan Kognitif Mekanisme penyebab delirium masih belum dipahami secara seutuhnya. Delirium menyebabkan variasi yang luas terhadap gangguan struktural dan fisiologik. Neuropatologi dari delirium telah dipelajari pada pasien dengan hepatic encephalopathy dan pada pasien dengan putus alkohol. Hipotesis utama yaitu gangguan metabolisme oksidatif yang reversibel dan abnormalitas dari neurotransmitter (White, 2002). a. Asetilkolin Data studi mendukung hipotesis bahwa asetilkolin adalah salah satu dari neurotransmiter yang penting dari pathogenesis terjadinya delirium. Kadar asetilkolin yang redah menyebabkan munculnya gejala-gejala pada pasien delirium. Hal yang mendukung teori ini adalah bahwa obat antikolinergik diketahui sebagai penyebab keadaan bingung pada pasien dengan transmisi kolinergik yang terganggu juga muncul gejala ini. Pada pasien post operatif delirium serum antikolinergik juga meningkat (White, 2002). b. Dopamin Pada otak, hubungan muncul antara aktivitas kolinergik dan

dopaminergik. Pada delirium muncul aktivitas berlebih dari dopaminergik. Pengobatan simptomatis dengan pemberian obat antipsikosis seperti haloperidol dan obat penghambat dopamin.

28

c.

Neurotransmitter lainnya Serotonin ; terdapat peningkatan serotonin pada pasien dengan

encefalopati hepatikum (White, 2002). d. Mekanisme peradangan/inflamasi Studi terkini menyatakan bahwa peran sitokin, seperti interleukin-1 dan interleukin-6,dapat menyebabkan delirium. Mengikuti setelah terjadinya infeksi yang luas dan paparan toksik,bahan pirogen endogen seperti interleukin-1 dilepaskan dari sel. Trauma kepala dan iskemia, yang sering dihubungkan dengan delirium,terdapat hubungan respon otak yang dimediasi oleh interleukin-1 dan interleukin 6 (White, 2002). e. Mekanisme reaksi stress Stress psikososial dan gangguan tidur mempermudah terjadinya delirium (White, 2002). f. Mekanisme struktural Pada studi menggunakan MRI, terdapat data yang mendukung hipotesis bahwa jalur anatomi tertentu memainkan peranan yang penting dalam patofisiologi delirium. Formatio retikularis dan jalurnya memainkan peranan penting dari bangkitan delirium. Jalur tegmentum dorsal diproyeksikan dari formation retikularis mesensephalon ke tectum dan thalamus adalah struktur yang terlibat pada delirium. Adanya gangguan metabolik (hepatic encephalopathy) dan gangguan struktural (stroke, trauma kepala) yang mengganggu jalur anatomis tersebut dapat menyebabkan delirium (White, 2002).

29

Kerusakan

pada

sawar

darah

otak

juga

dapat

menyebabkan

delirium,mekanismenya karena dapat menyebabkan agen neuro toksik dan sel-sel peradangan (sitokin) untuk menembus otak (White, 2002).

7. a.

Domain Fungsi Kognitif Perhatian atau atensi Atensi adalah kemampuan untuk bereaksi atau memperhatikan satu

stimulus tertentu, dengan mampu mengabaikan stimulus lain yang tidak dibutuhkan. Atensi merupakan hasil hubungan antara batang otak, aktivitas limbic dan aktivitas korteks sehingga mampu untuk focus pada stimulus spesifik dan mengabaikan stimulus lain yang tidak relevan. Konsentrasi merupakan kemampuan untuk memperhatikan atensi dalam periode yang lebih lama. Gangguan atensi dan konsentrasi akan mempengaruhi fungsi kognitif lain seperti memori, bahasa, dan fungsi eksekutif. b. Bahasa Merupakan perangkat dasar komunikasi dan modalitas dasar yang membangun kemampuan fungsi kognitif. Jika terdapat gangguan bahasa, pemeriksaan kognitif seperti memori verbal, fungsi eksekutif akan mengalami kesulitan atau tidak dapat dilakukan. c. Memori Fungsi memori terdiri dari proses penerimaan dan penyandian informasi, proses penyimpanan serta proses mengingat. Semua hal yang berpengaruh dalam tiga proses tersebut akan mempengaruhi fungsi memori.

30

d.

Visuospasial Kemampuan visuospasial merupakan kemampuan konstruksional seperti

menggambar atau meniru berbagai macam gambar (missal : lingkaran, kubus) dan menyusun balok-balok. Semua lobus berperan dalam kemampuan konstruksi dan lobus parietal terutama hemisfer kanan berperan paling dominan. e. Fungsi eksekutif Fungsi eksekutif adalah kemampuan kognitif tinggi seperti cara berpikir dan kemampuan pemecahan masalah. Fungsi ini dimediasi oleh korteks prefrontal dorsolateral dan struktus subkortikal yang berhubungan dengan daerah tersebut. Fungsi eksekutif dapat terganggu bila sirkuit frontal subkortikal terputus. Lezack membagi fungsi eksekutif menjadi empat komponen yaitu volition (kemauan), planning (perencanaan), purposive action (bertujuan), effective performance (pelaksanaan yang efektif). Bila terjadi gangguan fungsi eksekutif maka gejala yang muncul sesuai dengan empat komponen di atas. Berdasarkan uraian anatomis fungsional fungsi kognitif di atas dapat dihubungkan lokasi lesi dengan masing-masing domain kognitif antara lain : 1) Atensi : girus cinguli anterior di lobus frontal. 2) Memori : sebagian besar temporal kanan (memori visual) dan temporal kiri (auditorik) antara lain hipokampus, forniks, girus dentatus, korteks entorhinal, dan lain-lain. 3) Bahasa : lobus frontal inferior (area brocca) dan lobus temporal (area wernicke) pada hemisfer dominan. 4) Visuospasial : lobus parietal.

31

5) Fungsi eksekutif : korteks prefrontal dorsolateral, dan struktur subkortikal yang berhubungan dengan daerah tersebut.

8.

Cara Pencegahan POCD Beberapa langkah penting dalam manajemen disfungsi kognitif atau

delirium adalah sebagai berikut (Bradley, 2004). a. b. Mencari penyebab dan mengobati kausa tersebut Perbaikan keseimbangan cairan dan elektrolit, status nutrisi dan penanganan awal infeksi. c. Intervensi melalui pendekatan lingkungan. Pasien perlu penentraman hati, dan reorientasi untuk mengurangi ansietas. Pada perawatan di rumah sakit pasien sebaiknya dirawat di ruangan yang tenang juga cukup cahaya agar pasien dapat tahu dimana dia berada, tetapi dengan penerangan yang tidak mengganggu tidur pasien. Hal lain yang perlu dilakukan dalam upaya

memberi ketenangan pada pasien yakni minimalisasi pergantian staf medis yang merawat pasien, minimalisasi stimulasi sensoris yang mengganggu

(contohnya suara yang bising), pemasangan musik yang lembut, serta pembatasan kedatangan dari orang asing yang belum dikenal pasien. Keluarga pasien perlu diberitahukan dan diterangkan secara jelas mengenai penyakit pasien agar mengurangi kecemasannya sehingga keluarga pasien dapat menolong pasien dalam perawatan sehingga pasien merasa lebih

tentram. Keluarga maupun teman perlu menemani dan menjenguk pasien.

32

d.

Pendekatan komunikasi dan dukungan yang tepat terhadap pasien delirium merupakan hal yang sangat penting dilakukan. Bila memungkinkan, semua hal harus dijelaskan kepada pasien dengan baik dan lengkap. Gangguan persepsi seperti halusinasi yang dialami pasien tidak seharusnya ditentang atau justru didukung. Pasien harus sesering mungkin diberikan dukungan emosional.

e.

Kewaspadaan terhadap faktor risiko juga penting dilakukan pada pasien. Strategi intervensi faktor risiko delirium mencakup manajemen enam faktor risiko kunci pada delirium (gangguan kognitif, gangguan tidur, imobilitas, gangguan visual, gangguan pendengaran dan dehidrasi) dapat mengurangi episode dan lama durasi MRS pada pasien tua yang mengalami delirium.

9. Cara Mengukur POCD Penyebab-penyebab fisiologis, psikologis, dan multiple dari kerusakan kognitif pada lansia, disertai dengan pandangan bahwa kerusakan mental adalah normal, proses berhubungan dengan usia, sering menimbulkan pengkajian tak lengkap terhadap masalah ini. Standarisasi tes pemeriksaan suatu variasi tentang fungsi kognitif, membantu mengidentifikasi deficit-defisit yang berdampak pada seluruh kemampuan fungsi. Tes formal dan sistemik dari status mental dapat membantu perawat menentukan prilaku mana terganggu dan memerlukan intervensi. Beberapa alat ukur untuk mengetahui adanya gangguan kognitif diantaranya adalah SPMSQ dan MMSE. a. Short Portable Mental Status Questionnaire (SPMSQ) SPMSQ digunakan untuk mendeteksi adanya dan tingkat kerusakan

33

intelektual, terdiri dari 10 hal yang mengetes orientasi, memori dalam hubungannya dengan kemampuan perawatan diri, memori jauh, dan kemampuan matematis (Pfeiffer dalam Lueckenotte, 1998). Metode penentuan skor sederhana merentangkan tingkat fungsi intelektual, yang membantu dalam membuat keputusan yang kusus mengenai kapasitas perawatan diri. Hasil dari penilaian SPMSQ dapat dikelompokkan menjadi : kesalahan 0-2 fungsi intelektual utuh, kesalahan 3-4 kerusakan intelektual ringan kesalahan 5-7 kerusakan intelektual sedang, kesalahan 8-10 kerusakan intelektual berat. b. Mini-Mental State Exam (MMSE) Mini-Mental State Exam (MMSE) menguji aspek kognitif dari fungsi mental: orientasi,regristrasi, perhatian dan kalkulasi, mengingat kembali, dan bahasa. Nilai kemungkinan adalah 30, dengan nilai 21 atau kurang biasanya indikasi adanya kerusakan kognitif yang memerlukan penyelidikan lanjut. Pemeriksaan ini memerlukan hanya beberapa menit untuk melengkapi dan dengan mudah dinilai, tetapi tidak dapat digunakan sendiri untuk tujuan diagnostik. Pemeriksaan mini mental mengukur beratnya kerusakan kognitif dan

mendemonstrasikan perubahan kognitif pada waktu dan dengan tindakan. Ini adalah suatu alat yang berguna untuk mengkaji kemajuan klien yang berhubungan dengan intervensi. Alat pengukur status afektif digunakan untuk membedakan jenis depresi serius yang mempengaruhi fungsi-fungsi dari suasana hati rendah, umumnya pada banyak orang (Kusumoputro dan Sidiarto, 2010).

34

C. Konsep Lanjut Usia 1. Pengertian Terdapat beberapa pendapat yang dikemukakan oleh para ahli tentang definisi lanjut usia , yaitu: a. Lanjut usia merupakan kelanjutan dari usia dewasa, terdiri dari fase prasenium yaitu lansia yang berusia antara 5565 tahun, dan fase senium yaitu lansia yang berusia lebih dari 65 tahun (Nugroho, 2008). b. Lanjut usia adalah orang tua yang berusia lebih dari 60 tahun (UU No.13 tahun 1998). Dilihat dari batasan lanjut usia di atas, dapat disimpulkan bahwa lanjut usia adalah seseorang yang telah berusia lebih dari 60 tahun. 2. Perubahan Fisiologis pada Lansia Perubahan yang terjadi pada lanjut usia adalah sebagai berikut : a. Sistem Kardiovaskular Kemampuan cadangan kardiovaskular menurun, sejalan dengan

pertambahan usia di atas 40 tahun. Penurunan kemampuan cadangan ini sering baru diketahui pada saat terjadi stres anestesia dan pembedahan. Akibat proses penuaan pada sistem kardiovaskular, yang tersering adalah hipertensi. Pada pasien manula hipertensi harus diturunkan secara perlahan-lahan sampai tekanan darah 140/90 mmHg. Pada lansia, tekanan sistolik sama pentingnya dengan tekanan diastolik. Tahanan pembuluh darah perif%r biasanya meningkat akibat penebalan serat elastis dan peningkatan kolagen serta kalsium di arteri-arteri besar. Kedua hal tersebut sering menurunkan isi cairan intra-vaskuler. Waktu sirkulasi

35

memanjang dari aktivitas baroreseptor menurun. Terjadi penurunan respon terhadap rangsangan simpatis, dan kemampuan adaptasi serta autoregulasi menurun. Perubahan pembuluh darah seperti di atas juga terjadi pada pembuluh koroner dengan derajat yang bervariasi, disertai penebalan dinding ventrikel. sistem konduksi jantung juga dipengaruhi oleh proses penuaan, sehingga sering terjadi LBBB, perlambatan konduksi intraventikular, perubahan-perubahan segmen ST dan gelombang T serta fibrilasi atrium. Semua hal di atas mengakibatkan penurunan kemampuan respon sistem kardiovaskuler dalam menghadapi stres. Pemulihan anestesi juga memanjang (Allison, 2009). b. Sistem Pernafasan Pada paru dan sistem pernafasan elastisitas jaringan paru berkurang, kontraktilitas dinding dada menurun, meningkatnya ketidakserasian antara ventilasi dan perfusi, sehingga mengganggu mekanisme ventilasi, dengan akibat menurunnya kapasitas vital dan cadangan paru, meningkatnya pernafasan diafragma, jalan nafas menyempit dan terjadilah hipoksemia. Menurunnya respons terhadap hiperkapnia, sehingga dapat terjadi gagal nafas. Proteksi jalan nafas yaitu batuk, pembersihan mucociliary berkurang, refleks laring dan faring juga menurun sehingga berisiko terjadi infeksi dan kemungkinan aspirasi isi lambung lebih besar (Allison, 2009). c. Sistem Ginjal Pada ginjal jumlah nefron berkurang, sehingga laju filtrasi glomerulus (LFG) menurun, dengan akibat mudah terjadi intoksikasi obat. Respons terhadap kekurangan Na menurun, sehingga berisiko terjadi dehidrasi.

36

Kemampuan mengeluarkan garam dan air berkurang, dapat terjadi overload cairan dan juga menyebabkan kadar hiponatremia. Ambang rangsang glukosuria meninggi, sehingga glukosa urin tidak dapat dipercaya. Produksi kreatinin menurun karena berkurangnya massa otot, sehingga meskipun kreatinin serum normal, tetapi LFG telah menurun. Perubahan-perubahan di atas menurunkan kemampuan cadangan ginjal, sehingga manula tidak dapat mentoleransi kekurangan cairan dan kelebihan beban zat terlarut. Pasien-pasien ini lebih mudah mengalami peningkatan kadar kalium dalam darahnya, apalagi bila diberikan larutan garam kalium secara intra vena. Kemampuan untuk mengekskresi obat menurun dan pasien manula ini lebih mudah jatuh ke dalam asidosis metabolik. Kemungkinan trerjadi gagal ginjal juga meningkat (Allison, 2009 ; Shafer, 2009). d. Sistem Hati dan Lambung Usus Pasien lansia mungkin sekali lebih mudah mengalami cedera hati akibat obat-obat, hipoksia dan transfusi darah. Terjadi pemanjangan waktu paruh obatobat yang diekskresi melalui hati. Akibat menurunnya fungsi persarafan sistem gastrointestinal, sfingter gastroesofageal tidak begitu baik lagi, disamping waktu pengosongan lambung yang memanjang sehingga mudah terjadi regurgitasi (Shafer, 2009). e. Sistem Saraf Pusat Pada sistem saraf pusat, terjadi perubahan-perubahan fungsi kognitif, sensoris, motoris, dan otonom. Kecepatan konduksi saraf sensoris berangsur menurun. Perfusi otak dan konsumsi oksigen otak menurun. Berat otak menurun

37

karena berkurangnya jumlah sel neuron, terutama di korteks otak maupun otak kecil. Berat otak pada orang dewasa muda rata-rata 1400 g, akan menurun menjadi 1150 g pada usia 80 tahun. Dikatakan, terdapat korelasi positif antara berat otak dan harapan hidup. Terdapat juga penurunan fungsi neurotransmiter. Perubahan-perubahan tersebut mengakibatkan manula lebih mudah dipengaruhi oleh efek samping obat terhadap sistem saraf. Dengan demikian konsentrasi alveolar minimum dari anestetika menurun dengan bertambahnya usia (Allison, 2009 ; Shafer, 2009).

3.

Kesehatan Lanjut Usia Faktor kesehatan meliputi kesehatan fisik dan keadaan psikis lanjut usia.

Faktor kesehatan fisik meliputi kondisi fisik lanjut usia dan daya tahan fisik terhadap serangan penyakit sedangkan faktor kesehatan psikis meliputi penyesuaian terhadap kondisi usia lanjut yang dapat dijelaskan sebagai berikut. a. Kesehatan fisik Keadaan fisik merupakanfaktor utama dari kegelisahan manusia. Kekuatan fisik, panca indera, potensi dan kapasitas intelektual mulai menurun pada tahaptahap tertentu (Nugroho, 2008). Kemunduran fisik ditandai dengan beberapa serangan penyakit seperti gangguan pada sirkulasi darah, persendian, sistem pernafasan, neurologik, metabolik, neoplasma dan mental. Sehingga keluhan yang sering terjadi adalah mudah letih, mudah lupa, gangguan saluran pencernaan, saluran kencing, fungsi indera, dan menurunnya konsentrasi.

38

b.

Kesehatan psikis Dengan menurunnya berbagai kondisi dalam diri orang lanjut usia secara

otomatis akan timbul kemunduran psikis. Salah satu penyebab menurunnya kesehatan psikis adalah menurunnya pendengaran. Dengan menurunnya fungsi dan kemampuan pendengaran bagi orang lanjut usia maka banyak dari mereka yang gagal dalam menangkap isi pembicaraan orang lain sehingga mudah menimbulkan perasaan tersinggung, tidak dihargai dan kurang percaya diri. 4. Kognitif Lanjut Usia Setiati, Harimurti dan Roosheroe (2006) menyebutkan adanya perubahan kognitif yang terjadi pada lansia, meliputi berkurangnya kemampuan

meningkatkan fungsi intelektual, berkurangnya efisiensi transmisi saraf di otak (menyebabkan proses informasi melambat dan banyak informasi hilang selama transmisi), berkurangnya kemampuan mengakumulasi informasi baru dan mengambil informasi dari memori, serta kemampuan mengingat kejadian masa lalu lebih baik dibandingkan kemampuan mengingat kejadian yang baru saja terjadi. Penurunan menyeluruh pada fungsi sistem saraf pusat dipercaya sebagai kontributor utama perubahan dalam kemampuan kognitif dan efisiensi dalam pemrosesan informasi (Papalia, Olds & Feldman, 2008). Penurunan terkait penuaan ditunjukkan dalam kecepatan, memori jangka pendek, memori kerja dan memori jangka panjang. Perubahan ini telah dihubungkan dengan perubahan pada struktur dan fungsi otak. Raz dan Rodrigue (dalam Myers, 2008) menyebutkan garis besar dari berbagai perubahan post mortem pada otak lanjut

39

usia, meliputi volume dan berat otak yang berkurang, pembesaran ventrikel dan pelebaran sulkus, hilangnya sel-sel saraf di neokorteks, hipokampus dan serebelum, penciutan saraf dan dismorfologi, pengurangan densitas sinaps, kerusakan mitokondria dan penurunan kemampuan perbaikan DNA. Raz dan Rodrigue (dalam Myers, 2008) juga menambahkan terjadinya hiperintensitas substansia alba, yang bukan hanya di lobus frontalis, tapi juga dapat menyebar hingga daerah posterior, akibat perfusi serebral yang berkurang (Myers, 2008). Buruknya lobus frontalis seiring dengan penuaan telah memunculkan hipotesis lobus frontalis, dengan asumsi penurunan fungsi kognitif lansia adalah sama dibandingkan dengan pasien dengan lesi lobus frontalis. Kedua populasi tersebut memperlihatkan gangguan pada memori kerja, atensi dan fungsi eksekutif (Rodriguez-Aranda & Sundet dalam Myers, 2008). D. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Disfungsi Kognitif Pasca Operasi pada Lansia Menurut Krenk, et al (2010), faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya Disfungsi Kognitif adalah sebagai berikut : 1. Faktor Post operatif POCD: respons inflamasi, nyeri post operasi, gangguan tidur akibat stress, opioids 2. Intervensi : Bedah invasive minimal/ Minimaly invasive surgery, kontrol nyeri non opiod, percepatan pulang (Early discharge), penggunaan sedatif, reduction in nighttimenoise 3. Faktor yang berhubungan dengan perawatan di rumah sakit : perubahan lingkungan, LOS (Length of hospital stay), perubahan waktu tidur,

40

4.

Faktor pre operasi (Penyakit penyerta, pendidikan yang rendah, gangguan fungsi kognitif). Selain faktor yang dikemukakan di atas, masih terdapat faktor demografi

lansia seperti hal berikut :


a. Status Kesehatan Salah satu faktor penyakit penting yang mempengaruhi penurunan kognitif lansia adalah hipertensi. Peningkatan tekanan darah kronis dapat meningkatkan efek penuaan pada struktur otak, meliputi reduksi substansia putih dan abu-abu di lobus prefrontal, penurunan hipokampus, meningkatkan hiperintensitas substansia putih di lobus frontalis. Angina pektoris, infark miokardium, penyakit jantung koroner dan penyakit vaskular lainnya juga dikaitkan dengan memburuknya fungsi kognitif (Briton &Marmot, 2003 dalam Myers, 2008).

b.

Faktor usia Suatu penelitian yang mengukur kognitif pada lansia menunjukkan skor di

bawah cut off skrining adalah sebesar 16% pada kelompok usia 65-69, 21% pada 70-74, 30% pada 75-79, dan 44% pada >80 tahun. Hasil penelitian tersebut menunjukkan adanya hubungan positif antara usia dan penurunan fungsi kognitif (Scanlan et al, 2007). Dengan meningkatnya usia dapat terjadi perubahan fungsi kognitif yang sesuai dengan perubahan neurokimiawi dan morfologi (proses degenerative). Usia lanjut juga menyebabkan otak lebih rentan terhadap efek primer atau sekunder anastesi sehingga efek terjadinya gangguan kognitif lebih besar.

41

Usia pasien menentukan untuk mengalami delirium yang merupakan salah satu POCD melalui perubahan farmakokinetik dan farmakodinamik, mengurangi kapasitas untuk homeostatik dan struktural penyakit otak dan proses-proses fisiologis terkait dengan penuaan. Beberapa penelitian telah menunjukkan korelasi yang tinggi antara kognisi dan pasca-operasi premorbid kebingungan, disorientasi, penurunan kesadaran, dan bahkan kematian (White, 2002). Menurut Canet et al (2003), lanjut usia >70 tahun memiliki risiko lebih tinggi daripada usia dibawah 70 tahun untuk mengalami disfungsi kognitif. c. Status Pendidikan Kelompok dengan pendidikan rendah tidak pernah lebih baik

dibandingkan kelompok dengan pendidikan lebih tinggi (Scanlan, 2007). Banyak studi menunjukkan bahwa pendidikan yang lebih tinggi, berisiko rendah menderita penyakit Alzheimer (Scanlan, 2007). Tingkat fungsi intelektual premorbid mempengaruhi kemungkinan penyembuhan fungsi kognitif dan respons terhadap rehabilitasi. d. Jenis Kelamin Wanita tampaknya lebih beresiko mengalami penurunan kognitif. Hal ini disebabkan adanya peranan level hormon seks endogen dalam perubahan fungsi kognitif. Reseptor estrogen telah ditemukan dalam area otak yang berperan dalam fungsi belajar dan memori, seperti hipokampus. Rendahnya level estradiol dalam tubuh telah dikaitkan dengan penurunan fungsi kognitif umum dan memori verbal. Estradiol diperkirakan bersifat neuroprotektif dan dapat membatasi

42

kerusakan akibat stress oksidatif serta terlihat sebagai protektor sel saraf dari toksisitas amiloid pada pasien Alzheimer (Yaffe dkk, 2007 dalam Myers, 2008). Menurut Canet et al (2003), wanita pada usia lanjut memiliki kecenderungn mengalami disfungsi kognitif lebih tinggi tinggi dibandingkan lakilaki.

43

BAB III KERANGKA KONSEP A. Kerangka Konsep Gangguan kognitif merupakan gangguan kemampuan berpikir dan memberi rasional, termasuk proses mengingat, menilai, orientasi, persepsi dan memperhatikan. Perubahan jangka pendek dalam kinerja tes kognitif selama hari pertama sampai beberapa minggu setelah operasi dicatat dengan baik dan biasanya mencakup beberapa kognitif seperti perhatian, memori, dan kecepatan psikomotorik. Penurunan kognitif awal setelah pembedahan sebagian besar akan membaik dalam waktu tiga bulan. Risiko-risiko terjadinya penurunan kognitif post operatif adalah usia, tingkat pendidikan yang rendah, gangguan kognitif preoperative, depresi, dan prosedur pembedahan. Disfungsi jangka pendek setelah pembedahan dapat disebabkan karena berbagai etiologi, termasuk mikroemboli (terutama pada pembedahan jantung), hipoperfusi, respons inflamasi sistemik (by pass kardiopulmoner), anastesi, depresi dan faktor-faktor genetik. Perawatan perioperatif membutuhkan evaluasi secara medis, hati-hati dan observasi paska operasi yang paripurna agar dapat mengantisipasi komplikasi potensial yang terjadi. Berdasarkan uraian di atas, adapun kerangka konsep dari penelitian ini diterangkan dengan skema yang tertera sebagai berikut :

43

44

Tindakan Pembedahan Penggunaan Anastesi

Faktor Internal a. Usia b. Jenis Kelamin c. Tingkat Pendidikan d. Status Fisik (ASA) e. f. g. h.

Faktor Eksternal a. Lama anestesi b. Jenis anastesi c. Prosedur pembedahan

Genetik d. Polifarmasi Respons inflamasi e. Penggunaan opioid IMT f. Perubahan lingkungan Riwayatgangguan kognitif

Komplikasi Pembedahan a. Atelektasis b. Bronkitis Akut c. Pneumonia d. Gagal jantung/infark miokard e. Disfungsi Kognitif 1) Atensi 2) Memori 3) 4) Bahasa VisuoSpasial 5) Eksekutif Keterangan : : Diteliti : Tidak diteliti
Gambar 2 Kerangka Konsep Penelitian

: Alur

B. Variabel Penelitian dan Definisi operasional Variabel. 1. Variabel penelitian Variabel penelitian adalah suatu ukuran atau ciri yang dimiliki oleh kelompok tersebut (Rafii dalam Nursalam, 2008). Menurut Sugiyono (2007), variabel penelitian adalah segala sesuatu yang berbentuk apa saja yang ditetapkan

45

oleh peneliti untuk dipelajari sehingga diperoleh informasi tentang hal tersebut, kemudian ditarik kesimpulannya. a. Variabel bebas (independent variable) Variabel bebas adalah variabel yang nilainya menentukan variabel lain (Nursalam, 2008). Variabel bebas adalah menjadi sebab timbulnya atau berubahnya variabel terikat (dependent variabel) sehingga variabel independent adalah variabel yang mempengaruhi (Sugiyono, 2007). Dalam penelitian ini yang menjadi variabel bebas adalah usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, status fisik (ASA), lama anastesia, jenis anastesi, dan prosedur pembedahan. b. Variabel terikat (dependent variable) Variabel terikat adalah variabel yang nilainya ditentukan oleh variabel lain (Nursalam, 2008). Variabel ini disebut variabel respons, output, kriteria dan konsekuen. Variabel ini merupakan akibat adanya variabel bebas (dependent variable) (Sugiyono, 2007). Dalam penelitian ini variabel terikat adalah disfungsi kognitif pada lanjut usia.

46

2. Definisi Operasional Definisi operasional adalah definisi berdasarkan karakteristik yang diamati dari sesuatu yang didefinisikan tersebut (Nursalam, 2008). Definisi operasional variabel penelitian ini dapat dilihat pada tabel sebagai berikut:
Tabel 1 Definisi Operasional Variabel Penelitian

No. 1 2

Variabel Usia Lama Anastesi

Definisi Operasional

Alat Ukur

Indikator 1. 60-69 tahun 2. !70 tahun 1.1-2 jam 2. >2 jam 1. Anastesi Umum 2. Anastesi Regional 1. Laki-laki 2. Perempuan 1. ASA 2 2. ASA 3

Jenis Anastesi

Jenis Kelamin

Usia responden yang terhitung Wawancara dari mulai saat dilahirkan sampai ulang tahun terakhir Lamanya penggunaan anastesi Studi saat dilakukannya operasi di dokumentasi Ruang Instalasi Bedah Sentral RSUP Sanglah Denpasar Jenis anastesi yang digunakan Studi selama responden dilakukan dokumentasi operasi atau tindakan bedah di Ruang IBS RSUP Sanglah Denpasar Jenis kelamin yang terdapat Wawancara pada KTP atau hasil wawancara

Skala Pengukuran Ordinal Ordinal

Ordinal

Nominal

Status (ASA)

fisik Keadaan internal pasien yang Studi ditinjau dari penyulit yang dokumentasi diprediksi dapat mempengaruhi kondisi pasien selama pembedahan Tingkat Pendidikan pasien secara formal Studi pendidikan yang diperoleh di bangku dokumentasi pendidikan baik tinggi (SD dan tidak sekolah), tinggi (SMP, SMA, PT) Prosedur Pembedahan yang dilakukan Studi pembedahan terhadap pasien selama dokumentasi menjalani operasi yang terdiri dari prosedur pembedahan yang melibatkan jantung dan bukan jantung Dependent Variable : Perubahan kognitif yang dialami oleh responden setelah Kuesioner

Ordinal

1. Tinggi 2. Rendah

Ordinal

1. Kardiak 2. Non Kardiak

Ordinal

1.Mengalami POCD

Ordinal

47

Kejadian Disfungsi Kognitif

mengalami pembedahan yang diukur berdasarkan fungsi memori, atensi dan bahasa pada 3-6 jam post operasi (Aldret score 8-10, Bromage score 0-1).

2.Tidak mengalami POCD

C. Hipotesis Hipotesa adalah jawaban sementara dari rumusan masalah atau pertanyaan penelitian (Nursalam, 2008). Hipotesis dalam penelitian ini adalah : 1. Usia berpengaruh terhadap terjadinya disfungsi kognitif paska operasi pada pasien lanjut usia di Ruang IBS RSUP Sanglah Denpasar. 2. Lama anastesi berpengaruh terhadap terjadinya disfungsi kognitif paska operasi pada pasien lanjut usia di Ruang IBS RSUP Sanglah Denpasar. 3. Penggunaan jenis anastesi berpengaruh terhadap terjadinya disfungsi kognitif paska operasi pada pasien lanjut usia di Ruang IBS RSUP Sanglah Denpasar. 4. Jenis kelamin berpengaruh terhadap terjadinya disfungsi kognitif paska operasi pada pasien lanjut usia di Ruang IBS RSUP Sanglah Denpasar. 5. Prosedur pembedahan berpengaruh terhadap terjadinya disfungsi kognitif paska operasi pada pasien lanjut usia di Ruang IBS RSUP Sanglah Denpasar. 6. Tingkat pendidikan berpengaruh terhadap terjadinya disfungsi kognitif paska operasi pada pasien lanjut usia di Ruang IBS RSUP Sanglah Denpasar. 7. Status fisik (ASA) berpengaruh terhadap terjadinya disfungsi kognitif paska operasi pada pasien lanjut usia di Ruang IBS RSUP Sanglah Denpasar. 8. Usia, lama anastesi, jenis anastesi, jenis kelamin, pendidikan dan status fisik ASA berpengaruh terhadap terjadinya disfungsi kognitif paska operasi pada pasien lanjut usia di Ruang IBS RSUP Sanglah Denpasar

48

BAB IV METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Dalam penelitian ini menggunakan jenis penelitian Analisis Observasional yaitu peneliti mencoba mencari hubungan atau korelasi antar variabel. Penelitian ini melakukan analisis terhadap data yang dikumpulkan, serta seberapa besar hubungan antar variabel yang ada. Oleh karena itu penelitian ini perlu hipotesis (Setiadi, 2007). Penelitian observasional adalah penelitian non eksperimental yang bertujuan untuk pengamatan (Setiadi, 2007). Jadi dapat disimpulkan bahwa penelitian Analisis Observasional adalah suatu penelitian yang hanya mengamati dan menganalisis hubungan antar variabel. Pendekatan yang digunakan adalah penelitian cross sectional yaitu variabel sebab dan akibat yang terjadi pada objek penelitian diukur dan dikumpulkan secara simultan, sesaat dalam satu kali waktu (dalam waktu yang bersamaan), pada studi ini tidak ada follow up (Setiadi, 2007).

48

49

B. Kerangka Kerja

Populasi Semua Lansia yang menjalani operasi di IBS RSUP Sanglah Denpasar Kriteria Inklusi Sampel Dilakukan dengan teknik purposive sampling Pengukuran disfungsi kognitif responden sebelum dilakukan operasi dan wawancara tentang karakteristik responden dan studi dokumentasi tentang lama operasi dan jenis anastesi yang digunakan Pengukuran Disfungsi Kognitif Responden setelah dilakukan operasi bedah Analisis Penelitian Pengujian hipotesis dengan uji analisis multivariat yaitu uji regresi logistic dengan tahap sebagai berikut : 1. Penyusunan model logistik untuk semua variabel 2. Uji Confounding 3. Penentuan uji logistik dan penentuan pengaruh variabel bebas dan terikat (Prevalence Rate dan Confidence Interval) Penyajian hasil penelitian Gambar 3 Kerangka Kerja Penelitian Kriteria Eksklusi

C. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian telah dilaksanakan di Ruang IBS RSUP Sanglah Denpasar pada tanggal 29 Oktober 29 Desember 2012. D. Populasi dan Sampel Penelitian 1. Populasi

50

Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek/subjek yang mempunyai kuantitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2007). Populasi dalam penelitian ini adalah semua lansia yang akan dilakukan pembedahan di Ruang IBS RSUP Sanglah Denpasar yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. 2. Sampel penelitian Sampel adalah bagian dari populasi yang dipilih dengan cara tertentu yang dianggap mewakili populasinya (Sugiyono, 2007). Dalam penelitian ini sampel yang digunakan adalah lansia yang akan dilakukan pembedahan di Ruang IBS RSUP Sanglah Denpasar. Sampel yang dipilih sesuai dengan kriteria sebagai berikut: a. Kriteria inklusi 1) Usia !60 tahun 2) Kooperatif dan bersedia menjadi responden 3) Mengalami operasi atau pembedahan 1-4 jam 4) Status fisik ASA II, III. b. Kriteria eksklusi 1) Lansia dengan gangguan kognitif 2) Riwayat mengalami disfungsi kognitif 3. Besar Sampel

51

Menurut Riyanto (2012), jumlah sampel pada penelitian dengan analisis multivariat dapat digunakan pedoman dengan menggunakan sampel pada setiap variabel minimal sebanyak 10 atau 15 responden. Dalam penelitian terdapat 7 variabel, sehingga variabel minimal adalah 70 responden (7 X 10). Jadi sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebanyak 70 orang. 4. Teknik Sampling Dalam menentukan jumlah sampel, teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah teknik non probability sampling yaitu dengan Purposive sampling. Purposive sampling adalah pengumpulan sampel didasarkan pada pertimbangan tertentu dan tujuan dari peneliti. E. Jenis dan cara pengumpulan data 1. Jenis data yang dikumpulkan Berdasarkan cara memperolehnya, data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer dalam penelitian ini adalah data yang secara langsung diperoleh dari obyek penelitian (Riwidikdo, 2007), yaitu hasil kuestioner terhadap skala disfungsi kognitif pada lansia yang mengalami pembedahan di Ruang IBS RSUP Sanglah Denpasar. Status fisik (ASA), jenis anestesi, lama anestesi adalah merupakan data sekunder yang diambil dari satus medik/lyst pasien. 2. Cara pengumpulan data Pengumpulan data merupakan kegiatan penelitian untuk mengumpulkan data (Hidayat, 2009).

52

Peneliti dalam penelitian ini melakukan langkah pengumpulan data sebagai berikut : a. Peneliti membawa surat ijin penelitian yang dipersiapkan oleh institusi kepada Kesbanglinmas Provinsi Bali, kemudian melakukan pengurusan ijin ke Litbang RSUP Sanglah Denpasar untuk memperoleh surat Ethical Clearance. b. Setelah surat ijin dikeluarkan oleh Kepala Kesbanglinmas, dan Direktur RSUP Sanglah Denpasar dan Kepala Litbang RSUP, maka dilakukan pendekatan terhadap tempat penelitian yaitu Kepala Ruang IBS RSUP Sanglah Denpasar c. Melakukan pendekatan terhadap sampel penelitian sesuai kriteria inklusi dengan daftar nama responden serta menentukan sampel sesuai dengan ketentuan. Setelah sampel diperoleh, dilakukan penyampaian maksud dan tujuan peneliti kepada responden untuk kesediannya secara sukarela menjadi responden dalam penelitian ini dengan menandatangani informed consent. d. Mengukur disfungsi kognitif responden sebelum dilakukan operasi

pembedahan dan melakukan wawancara tentang karakteristik responden di ruang persiapan atau penerimaan. e. Mengukur disfungsi kognitif responden setelah operasi di ruang recovery room (RR) atau di ruang perawatan. f. Peneliti mengumpulkan data yang telah didapat. g. Melakukan tabulasi dan analisis data.

53

3. Instrumen pengumpul data Instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan Short Portable Mental Status Questionnaire(SPMSQ). SPMSQ digunakan untuk mendeteksi adanya dan tingkat kerusakan intelektual, terdiri dari 10 hal yang mengetes orientasi, memori dalam hubungannya dengan kemampuan perawatan diri, memori jauh, dan kemampuan matematis (Pfeiffer, 1975 dalam White, 2002). Metode penentuan skors sederhana merentangkan tingkat fungsi intelektual, yang membantu dalam membuat keputusan yang kusus mengenai kapasitas perawatan diri. Hasil dari penilaian SPSMQ dapat dikelompokkan menjadi : kesalahan 0-2 fungsi intelektual utuh, kesalahan 3-4 kerusakan intelektual ringan kesalahan 5-7 kerusakan intelektual sedang, kesalahan 8-10 kerusakan intelektual berat. F. Pengolahan dan Analisa Data 1 Teknik pengolahan data Langkah-langkah dalam pengolahan data: a. Editing 1) Dengan memeriksa kelengkapan jawaban responden pada pedoman

wawancara, memperjelas, apabila ditemukan kejanggalan hasil wawancara akan dilakukan klarifikasi dan responden diminta untuk menjawab ulang. 2) Pengecekan logis

b. Scoring Hasil wawancara dilakukan penskoran sesuai dengan instrumen yang digunakan.

54

c. Entry Kegiatan memasukkan data ke dalam program komputer untuk mencegah risiko kehilangan data. Entry ini dilakukan dengan melakukan penyimpanan data ke dalam master tabel data dalam bentuk program sheet dan disimpan ke dalam hardisk internal komputer maupun eksternal. 2. Teknik analisa data Analisa data dilakukan setelah semua data terkumpul. Proses analisa data penelitian ini yaitu: a. Analisis Univariat Analisis univariat dilakukan melalui penghitungan masing-masing variabel yang akan diteliti yaitu usia responden, lama anastesi, jenis anastesi yang digunakan, jenis kelamin dan kejadian POCD yang disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi. b. Analisis Multivariat Untuk mengetahui pengaruh dari faktor-faktor resiko terhadap disfungsi kognitif dapat dilakukan dengan uji regresi logistik. Analisis Regresi dalam statistika adalah salah satu metode untuk menentukan hubungan sebab-akibat antara satu variabel dengan variabel-variabel yang lain. Variabel penyebab disebut dengan bermacam-macam istilah, diantaranya seperti variabel penjelas, variabel eksplanatorik, variabel independen, atau secara bebas, variabel X (karena seringkali digambarkan dalam grafik sebagai absis, atau sumbu X). Variabel terkena akibat dikenal sebagai variabel yang dipengaruhi, variabel dependen,

55

variabel terikat, atau variabel Y. Kedua variabel ini dapat merupakan variabel acak (random), namun variabel yang dipengaruhi harus selalu variabel acak. Menurut Yasril dan Kasjono (2009), adapun asumsi dari uji statistic ini adalah sebagai berikut : 1) Asumsi bivariat

a) Korelasi antara variabel dependen dan independen dapat dideteksi dengan uji chi square pada regresi logistic sederhana. Variabel yang mempunyai nilai p<0,25 merupakan kandidat model dalam penelitian ini. b) Korelasi antara variabel independen dapat dilihat dari nilai r>0,8, bila ada maka terdapat gejala kolinearitas 2) Asumsi multivariat Langkah-langkah uji regresi logistic untuk uji multivariat adalah sebagai berikut (Riyanto, 2012) : a) Menyusun model mencakup semua variabel Mengeluarkan variabel yang tidak berinteraksi (dengan syarat p>0,25) dimulai dari nilai yang terbesar sampai semua model sesuai (p<0,25). b) Uji confounding Uji confounding dilakukan dengan cara melihat perbedaan Odds Ratio (OR) untuk variabel utama dengan dikeluarkannya variabel kandidat

konfounding, bila perubahannya > 10% maka variabel tersebut dianggap variabel konfounding. Pengeluaran variabel dimulai dari variabel dengan nilai p value terbesar. c) Penentuan model akhir regresi logistik

56

Setelah dilakukan analisis konfounding, dapat disimpulkan hasil dari penelitian dengan melihat nilai OR yaitu menyimpulkan secara bivariat berapa kali faktor risiko mempengaruhi variabel terikat dan nilai confidence interval (CI) untuk menentukan kisaran nilai OR yang kemungkinan dicapai. Pada model regresi logistik dapat digunakan pada data yang dikumpulkan melalui rancangan cohort, case control maupun cross sectional. Karena dalam penelitian ini menggunakan uji cross sectional, maka untuk mengetahui pengaruh secara bivariat dari variabel bebas dengan variabel terikat dilakukan dengan menghitung prevalensi rate (PR) dan Confidence Interval (CI). Prevalensi rate digunakan untuk mengetahui sejauh mana (berapa kali) faktor risiko mempengaruhi terjadinya variabel terikat, misalnya : nilai nilai PR untuk variabel penggunaan opioid adalah 3,01 ini berarti bahwa pasien yang menggunakan opioid akan berisiko 3,01 kali mengalami POCD dibandingkan yang tidak menggunakan opioid.

57

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Penelitian ini dilakukan dari tanggal 29 Oktober sampai dengan 29 Desember 2012 di Instalasi Bedah Sentral RSUP Sanglah Denpasar terhadap pasien yang mengalami pembedahan yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Surat ijin rekomendasi penelitian dengan nomor LB.02.01/II.C5.D11/19568/2012 diperoleh dari Direktur SDM dan Pendidikan RSUP Sanglah Denpasar (Lampiran 7), serta Ethical Clearance dengan nomor 868/UN.14.2/Litbang/2012 dari Unit Penelitian dan Pengembangan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar (Lampiran 8). 1. Kondisi Lokasi Tempat Penelitian RSUP Sanglah Denpasar merupakan rumah sakit rujukan utama untuk wilayah Bali, NTB, dan NTT, memiliki visi menjadi rumah sakit unggulan dalam bidang pelayanan, pendidikan dan penelitian tingkat nasional maupun internasional. Dalam mewujudkan visi tersebut RSUP Sanglah berusaha dengan segala upaya memberi Pelayanan yang Prima, sehingga dapat memuaskan masyarakat yang membutuhkan pelayanan. Pelayanan pembedahan/operasi diselenggarakan dibeberapa tempat yaitu di IBS dengan 14 kamar operasi, di IRD dengan 3 kamar operasi dan di Paviliun Amertha dengan 2 kamar operasi. IBS RSUP Sanglah dibangun pada tahun 1959 dan pada tahun 2008 mengalami renovasi dengan jumlah kamar operasi menjadi 14 kamar. Kegiatan operasi yang dilaksanakan selain operasi elektif, juga dikerjakan operasi sore serta

57

58

one day care. IBS dipimpin oleh Kepala Instalasi dan Kepala Unit Pelayanan Perawatan. Tenaga medik keperawatan sebanyak 60 orang (S1 Keperawatan 4 orang, D4 Keperawatan 3 orang, dan D3 Keperawatan 53 orang). Tenaga nonmedik yang bertugas di Bagian Sekretariat, teknisi, dan Cleaning Service sebanyak 12 orang. Pelayanan pembedahan dilaksanakan pada 14 kamar bedah/operasi yang dimliki IBS. Klasifikasi ruang bedah ditentukan dari berbagai jenis pembedahan dengan spesialistiknya yang meliputi Bedah Umum, Bedah Orthopedi dan Traumatologi, Oncologi, Urologi, Digestive, Obstetri dan Gynecologi, Bedah Plastik, THT, Mata, Bedah Saraf, Bedah Thorak dan Kardiovaskuler, serta lain sebagainya. Dari bulan Oktober sampai Desember 2012 rata-rata pasien yang dikerjakan operasi lebih kurang 350-400 orang perbulannya.

2. a.

Hasil Pengamatan terhadap Subyek Penelitian sesuai Variabel Penelitian Hasil Pengamatan terhadap Variabel Penelitian
Tabel 2 Faktor Risiko Pembedahan

Faktor Risiko Pembedahan Umur Jenis Kelamin Pendidikan Jenis Anastesi Lama Anastesi 60-69 tahun ! 70 tahun Laki-laki Perempuan Tinggi Umum Regional Umum 1-2 jam >2 jam

F 49 21 42 28 26 44 32 38 22 48

% 70 30 60 40 37 73 45,7 54,3 31,4 68,6

59

Faktor Risiko Pembedahan Prosedur Pembedahan Status Fisik Kejadian POCD Kardiak Non Kadiak ASA II ASA III POCD Tidak POCD

F 1 69 53 17 29 41

% 1,4 98,6 75,7 24,3 41,4 58,6

Dilihat dari usia, responden dalam penelitian ini sebagian besar berusia 60-69 tahun yaitu sebanyak 49 orang (70%) dan sebagian lagi berusia >70 tahun yaitu sebanyak 21 orang (30%). Berdasarkan jenis kelamin sebagian besar responden dalam penelitian ini berjenis kelamin laki-laki yaitu sebanyak 42 orang (60%) dan sebagian lagi berjenis kelamin perempuan sebanyak 28 orang (40%). Dilihat dari karakteristik pendidikan sebagian besar responden tergolong pendidikan rendah yaitu sebanyak 44 orang (63%) dan berpendidikan tinggi sebanyak 26 orang (37%). Dilihat dari faktor risiko pembedahan terlihat bahwa dilihat dari anastesi sebagian besar responden memperoleh anastesi umum sebanyak 38 orang (54,3%), dengan lama anastesi sebagian besar >2 jam sebanyak 48 orang (68,6%), dengan prosedur pembedahan non kardiak sebanyak 69 orang (98,6%), dengan responden berstatus fisik ASA II sebanyak 53 orang (75,7%) dan yang mengalami kejadian POCD setelah anestesi sebanyak 29 orang (41,4%).

60

b.

Hubungan Deskriptif Variabel Faktor Risiko dengan Kejadian POCD (analisis bivariat)
Tabel 3 Hubungan Faktor Risiko dengan Kejadian POCD Kejadian POCD Faktor Risiko Jenis Kelamin Jenis Anastesi Lama Anastesi Prosedur Pembedahan Status Fisik Tingkat Pendidikan Usia Laki-laki Perempuan Regional Umum 1-2 jam >2 jam Kardiak Non Kadiak ASA II ASA III Rendah Tinggi >70 tahun 60-69 tahun POCD 18 11 15 14 13 16 0 29 20 9 26 3 15 14 Non POCD 24 17 23 18 35 6 1 40 33 8 18 23 6 35 Total 42 28 38 32 48 22 1 69 53 17 44 26 21 49 OR 0,863 1,193 7,179 1,025 1,856 11,074 6,25 CI 0,326-2,285 0,459-3,097 2,310-22,311 0,977-1,076 0,616-5,590 2,886-42,499 2,016-19,379 P 0,766 0,717 0,000 0,397 0,268 0,000 0,001

Dilihat dari tabel di atas yang menunjukkan hubungan dari faktor risiko POCD dengan uji bivariat, diperoleh bahwa dari beberapa faktor secara bivariat terlihat bahwa faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian POCD adalah faktor lama anestesi (p=0,000, p<0,05) dengan RR sebesar 7,179, faktor tingkat pendidikan (p=0,000, p<0,05) dengan RR sebesar 11,074 dan faktor usia (p=0,001, p<0,05) dengan RR sebesar 6,25. Sedangkan faktor lainnya seperti jenis kelamin, jenis anastesi, prosedur pembedahan dan status fisik ASA tidak berpengaruh terhadap kejadian POCD pada pasien lanjut usia post operasi. 3. Hasil Analisis Data Berdasarkan hasil uji bivariat seperti tampak pada tabel di atas, faktor risiko yang memiliki nilai p<0,25 adalah lama anestesi (p=0,000), pendidikan (p=0,000) dan tingkat pendidikan (0,001), sehingga faktor risiko tersebut dapat

61

dimasukkan ke dalam uji regresi logistik. Hasil uji regresi logistik menunjukkan hasil seperti tampak pada tabel di bawah ini.
Tabel 4 Hasil Analisis Multivariat No. 1 2 3 Variabel Usia Lama Anestesi Tingkat Pendidikan Konstanta Koefisien 2,108 2,460 2,648 -3,646 P 0,005 0,002 0,002 0,000 OR 8,231 11,704 14,119 IK 95% 1,864-36,345 2,514-54,477 2,743-72,668

Berdasarkan hasil uji regresi logistic, diperoleh bahwa ketiga factor tersebut yaitu usia, lama anastesi dan tingkat pendidikan berpengaruh secara bersama-sama dalam menentukan kejadian POCD pada pasien lanjut usia. Dari hasil uji multivariate diperoleh nilai OR terbesar adalah factor tingkat pendidikan yaitu sebesar 14,119, kemudian lama anestesi sebesar 11,704 dan paling kecil adalah 8,231 adalah factor usia. Hal tersebut berarti bahwa tingkat pendidikan rendah memiliki peluang 14 kali untuk mengalami POCD, selain itu pasien yang mengalami lama anestesi lebih dari 2 jam memiliki peluang 11 kali untuk mengalami POCD dan usia pasien >70 tahun memiliki peluang 8 kali untuk mengalami POCD. Berdasarkan hasil uji regresi logistic tersebut, maka usia, lama anestesi, tingkat pendidikan dan kejadian POCD dapat dirumuskan sebagai persamaan berikut : Y=-3,646 + 2,108 usia + 2,460 lama anestesi + 2,648 tingkat pendidikan Dari persamaan tersebut, usia responden memiliki nilai ketentuan 1 jika pasien berusia !70 tahun dan 0 jika berusia 60-69 tahun, lama anestesi bernilai 1 jika lama anastesi >2 jam dan 0 jika 1-2 jam sedangkan tingkat pendidikan

62

bernilai 1 jika pendidikan responden tidak sekolah atau SD dan 0 jika berpendidikan diatas SD. Berdasarkan persamaan tersebut, jika ketiga factor di atas tidak ada maka kejadian POCD dapat diramalkan seperti rumus berikut :

Keterangan : e = bilangan natural = 2,7 y = konstanta Berdasarkan hasil tersebut, dapat diperoleh bahwa tanpa ketiga factor di atas, probabilitas pasien untuk mengalami POCD adalah sebesar 2,6%. B. Pembahasan Hasil Penelitian Dalam penelitian ini, pada pasien lanjut usia yang dilakukan pembedahan ditemukan kejadian gangguan kognitif sebanyak 29 orang (41,4%). Kejadian POCD pada pasien lanjut usia seperti dikemukakan oleh Wijoto dan Andriyanto (2009), menunjukkan bahwa setelah tujuh hari pasca operasi 30% lansia mengalami gangguan atensi, 36% mengalami gangguan memori dan 52% sampel mengalami disfungsi kognitif pasca operasi. Menurut Setiati, Harimurti dan Roosheroe (2006) menyebutkan adanya perubahan kognitif yang terjadi pada

63

lansia, meliputi berkurangnya kemampuan meningkatkan fungsi intelektual, berkurangnya efisiensi transmisi saraf di otak (menyebabkan proses informasi melambat dan banyak informasi hilang selama transmisi), berkurangnya kemampuan mengakumulasi informasi baru dan mengambil informasi dari memori, serta kemampuan mengingat kejadian masa lalu lebih baik dibandingkan kemampuan mengingat kejadian yang baru saja terjadi. Gangguan kognitif merupakan gangguan kemampuan berpikir dan memberikan rasionalisasi, termasuk proses mengingat, menilai, orientasi, persepsi dan memperhatikan (Stuart dan Sundeen, 2002). Gangguan kognitif meliputi gangguan dalam pikiran atau ingatan yang menggambarkan perubahan nyata dari tingkat fungsi individu yang sebelumnya (APA, 2000). Gangguan kognitif (Cognitive Disorder) disebabkan oleh kondisi fisik atau medis (misalnya, otak mengalami kerusakan, mengalami gangguan karena penyakit, luka-luka, atau stroke), dan penggunaan obat atau pemberhentian penggunaan obat-obatan secara tiba-tiba yang mempengaruhi fungsi dari otak. Faktor psikologis di sini berperan sebagai penentu dampak dari simtom-simtom yang melumpuhkan. Misalnya, bagaimana cara individu akan mengatasi penurunan kemampuan kognitif dan fisiknya. Gangguan kognitif terjadi apabila otak mengalami kerusakan atau mengalami penurunan kemampuan untuk berfungsi akibat luka-luka, penyakit, keterpaparan terhadap racun-racun, atau penggunaan atau penyalahgunaan obatobatan psikoaktif. Derajat dan lokasi kerusakan otak banyak menentukan tingkat dan keparahan dari penurunan fungsi otak. Biasanya, semakin menyebar

64

kerusakannya, semakin besar dan semakin parah penurunan fungsi yang dialami. Lokasi kerusakan juga sangat penting karena banyak struktur atau daerah otak yang menampilkan fungsi-fungsi khusus. Misalnya, kerusakan pada lobus temporal dihubungkan dengan kerusakan dalam ingatan dan perhatian, sedangkan kerusakan pada lobus oksipital mungkin menghasilkan defisit visual-spasial, seperti hilangnya kemampuan untuk mengenali wajah (APA, 2000). Penurunan menyeluruh pada fungsi sistem saraf pusat dipercaya sebagai kontributor utama perubahan dalam kemampuan kognitif dan efisiensi dalam pemrosesan informasi (Papalia, Olds & Feldman, 2008). Penurunan terkait penuaan ditunjukkan dalam kecepatan, memori jangka pendek, memori kerja dan memori jangka panjang. Perubahan ini telah dihubungkan dengan perubahan pada struktur dan fungsi otak. Raz dan Rodrigue (dalam Myers, 2008) menyebutkan garis besar dari berbagai perubahan post mortem pada otak lanjut usia, meliputi volume dan berat otak yang berkurang, pembesaran ventrikel dan pelebaran sulkus, hilangnya sel-sel saraf di neokorteks, hipokampus dan serebelum, penciutan saraf dan dismorfologi, pengurangan densitas sinaps, kerusakan mitokondria dan penurunan kemampuan perbaikan DNA. Raz dan Rodrigue (dalam Myers, 2008) juga menambahkan terjadinya hiperintensitas substansia alba, yang bukan hanya di lobus frontalis, tapi juga dapat menyebar hingga daerah posterior, akibat perfusi serebral yang berkurang (Myers, 2008). Buruknya lobus frontalis seiring dengan penuaan telah memunculkan hipotesis lobus frontalis, dengan asumsi penurunan fungsi kognitif lansia adalah sama dibandingkan dengan pasien dengan lesi lobus frontalis. Kedua populasi tersebut

65

memperlihatkan gangguan pada memori kerja, atensi dan fungsi eksekutif (Rodriguez-Aranda & Sundet dalam Myers, 2008). Berdasarkan hasil analisis bivariat, diperoleh bahwa faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kejadian POCD pada pasien lanjut usia terdiri dari faktor lama anestesi (p=0,000), faktor tingkat pendidikan (p=0,000) dan faktor usia (p=0,001, p<0,05). Dilihat dari lama anastesi menunjukkan bahwa lama anastesi > 2 jam berisiko untuk mengalami POCD. Hal ini didukung oleh pendapat Mansjoer (2007), yang mengemukakan bahwa pasien yang dilakukan operasi dengan waktu 3-4 jam mempunyai risiko komplikasi pasca operasi lebih tinggi dibandingkan dengan waktu operasi kurang dari 2 jam dengan perbandingan 40% dan 8%. Dilihat dari pendidikan, terlihat bahwa pendidikan lebih rendah memiliki kecenderungan untuk mengalami POCD dibandingkan dengan yang

berpendidikan tinggi. Menurut Scanlan, et al (2007) fungsi kognitif kelompok dengan pendidikan rendah tidak pernah lebih baik dibandingkan kelompok dengan pendidikan lebih tinggi (Scanlan, 2007). Banyak studi menunjukkan bahwa pendidikan yang lebih tinggi, berisiko rendah menderita penyakit Alzheimer (Scanlan, 2007). Tingkat fungsi intelektual premorbid mempengaruhi kemungkinan penyembuhan fungsi kognitif dan respons terhadap rehabilitasi. Hasil ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Wijoto dan Andriyanto (2009) yang mengemukakan bahwa POCD tidak dipengaruhi oleh pendidikan (p=0,921).

66

Dilihat dari usia, hasil penelitian ini didukung oleh Scanlan, et al (2007), yang menyebutkan adanya hubungan positif antara usia dan penurunan fungsi kognitif dimana terjadi 16% pada kelompok usia 65-69, 21% pada 70-74, 30% pada 75-79, dan 44% pada >80 tahun. Dengan meningkatnya usia dapat terjadi perubahan fungsi kognitif yang sesuai dengan perubahan neurokimiawi dan morfologi (proses degenerative). Usia lanjut juga menyebabkan otak lebih rentan terhadap efek primer atau sekunder anastesi sehingga efek terjadinya gangguan kognitif lebih besar (Scanlan, et al, 2007). Korelasi yang tinggi antara kognisi dan pasca-operasi premorbid kebingungan, disorientasi, penurunan kesadaran, dan bahkan kematian (White, 2002). Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Canet et al (2003), yang mengemukakan bahwa usia lanjut usia >70 tahun memiliki risiko lebih tinggi daripada usia dibawah 70 tahun untuk mengalami disfungsi kognitif. Hasil ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Wijoto dan Andriyanto (2009), yang mengemukakan bahwa POCD tidak dipengaruhi oleh usia (p=0,798). Faktor faktor yang tidak berhubungan dengan kejadian POCD dalam penelitian ini adalah jenis kelamin, jenis anastesi, prosedur pembedahan dan status fisik ASA tidak berpengaruh terhadap kejadian POCD pada pasien lanjut usia post operasi. Dilihat dari jenis kelamin, hal ini berbeda dengan Myers (2008) yang mengungkapkan bahwa wanita lebih beresiko mengalami penurunan kognitif. Hal ini disebabkan adanya peranan level hormon seks endogen dalam perubahan fungsi kognitif. Menurut Canet et al (2003), wanita pada usia lanjut memiliki

67

kecenderungan mengalami disfungsi kognitif lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Tidak adanya perbedaan antara jenis kelamin wanita dan pria dalam penelitian ini kemungkinan disebabkan karena pengaruh factor lain yang lebih dominan seperti lama anastesi, usia dan pendidikan responden. Dilihat dari jenis anastesi, menunjukkan bahwa jenis anastesi tidak

berpengaruh terhadap kejadian POCD. Menurut Mansjoer (2007), data tidak menunjukkan apakah rata-rata komplikasi anastesi spinal atau epidural lebih rendah dibandingkan dengan anastesi umum. Menurut Yeager (dalam Mansjoer, 2007) menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan bermakna antara anestesi spinal atau anestesi umum pada operasi abdomen. Dilihat dari prosedur pembedahan, terlihat bahwa dalam penelitian ini tidak berpengaruh. Hal ini berbeda dengan pendapat yang dikemukakan oleh Mansjoer (2007) yang menyatakan bahwa 25-30% dari semua kematian perioperatif karena penyebab kardiak, sehingga operasi pada pasien lanjut usia dengan prosedur kardiak akan sangat berpengaruh terhadap kejadian POCD. Dalam penelitian ini, operasi kardiak hanya dilakukan pada 1 responden saja sehingga tidak mewakili variabel dalam penelitian ini.
Salah satu faktor penyakit penting yang mempengaruhi penurunan kognitif lansia adalah hipertensi. Peningkatan tekanan darah kronis dapat meningkatkan efek penuaan pada struktur otak, meliputi reduksi substansia putih dan abu-abu di lobus prefrontal, penurunan hipokampus, meningkatkan hiperintensitas substansia putih di lobus frontalis. Angina pektoris, infark miokardium, penyakit jantung koroner dan penyakit vaskular lainnya juga dikaitkan dengan memburuknya fungsi kognitif (Briton &Marmot, 2003 dalam Myers, 2008).

68

Salah satu langkah penting dalam manajemen disfungsi kognitif menurut Bradley (2004) dapat dilakukan dengan melakukan kewaspadaan terhadap faktor risiko yang dialami oleh pasien. Strategi intervensi faktor risiko gangguan kognitif mencakup manajemen enam faktor risiko kunci pada gangguan kognitif, gangguan tidur, imobilitas, gangguan visual, gangguan pendengaran dan dehidrasi dapat mengurangi episode dan lama durasi masuk rumah sakit pada pasien tua yang mengalami delirium gangguan kognitif. Dengan demikian, bagi petugas kesehatan terutama yang bertugas di ruang operasi perlu mengidentifikasi ketiga faktor tersebut untuk meminimalisir terjadinya POCD pada pasien lanjut usia yang mengalami pembedahan. C. Keterbatasan Penelitian Setiap penelitian memiliki berbagai keterbatasan, dalam penelitian ini pun terdapat beberapa keterbatasan diantaranya terdapat beberapa variabel faktor yang memiliki jumlah yang terbatas seperti jumlah responden yang mengalami pembedahan kardiak. Selain itu, dalam penelitian ini perlu dilakukan homogenitas sampel sehingga seluruh sampel yang diteliti dapat menggambarkan variabel yang diteliti.

69

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan Berdasarkan hasil dan pembahasan pada bahasan sebelumnya, maka dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Kejadian POCD di Ruang Instalasi Bedah Sentral RSUP Sanglah Denpasar terjadi sebesar 41,4% 2. Responden yang mengalami POCD di Ruang Instalasi Bedah Sentral RSUP Sanglah Denpasar sebagian yang berusia ! 70 tahun yaitu sebanyak 15 orang dan yang berusia 60-69 tahun sebanyak 14 orang. 3. Responden yang mengalami POCD dialami oleh responden dengan lama anastesi > 2 jam yaitu sebanyak 16 orang dan 1-2 jam sebanyak 13 orang 4. Responden yang mengalami POCD sebagian 14 orang dialami oleh responden yang menggunakan anastesi umum dan 15 orang menggunakan anastesi regional 5. Responden yang mengalami POCD sebagian besar dialami oleh laki-laki yaitu sebanyak 18 orang, sedangkan pada perempuan terjadi sebanyak 11 orang 6. Responden yang mengalami POCD sebagian besar dialami oleh responden yang berpendidikan rendah yaitu sebanyak 26 orang dan hanya 3 orang pada responden yang berpendidikan tinggi. 7. Responden yang mengalami POCD 20 orang terjadi pada pasien dengan ASA II dan 9 orang terjadi pada ASA III di Ruang Instalasi Bedah Sentral RSUP Sanglah Denpasar

69

70

8.

Responden yang mengalami POCD dialami 29 orang pasien yang mengalami pembedahan non kardiak, dan dari total pembedahan hanya 1 orang pasien yang mengalami pembedahan kardiak di Ruang Instalasi Bedah Sentral RSUP Sanglah Denpasar

9.

Dari beberapa faktor yang diteliti, secara bivariat terlihat bahwa faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian POCD adalah faktor lama anestesi (p=0,000), faktor tingkat pendidikan (p=0,000) dan faktor usia (p=0,001). Sedangkan faktor lainnya seperti jenis kelamin, jenis anastesi, prosedur pembedahan, dan status fisik ASA tidak berpengaruh terhadap kejadian POCD pada pasien lanjut usia post operasi (p>0,05). Dari hasil uji multivariate diperoleh nilai RR terbesar adalah faktor tingkat pendidikan yaitu sebesar 14,119, kemudian lama anestesi sebesar 11,704 dan paling kecil adalah 8,231 adalah faktor usia. Dari hasil uji regresi logistic diperoleh persamaan sebagai berikut: Y=-3,646 + 2,108 usia + 2,460 lama anestesi + 2,648 tingkat pendidikan. Dimana, probabilitas pasien untuk mengalami POCD tanpa pengaruh factor tersebut adalah sebesar 2,6%.

B. Saran 1. Kepada Direksi Rumah Sakit Sanglah Denpasar Mengingat hasil penelitian ini menunjukkan bahwa faktor yang berpengaruh dalam penelitian ini yang dapat dimodifikasi adalah lama anestesi untuk itu kepada Direksi Rumah Sakit Sanglah agar menekankan kebijaksanaan penggunaan anestesi yang tidak terlalu lama pada operasi pasien lansia.

71

2.

Kepada Kepala Ruang IBS Rumah Sakit Sanglah Denpasar Diharapkan kepada pasien lansia yang mengalami operasi agar pasien

dilakukan pemberian informasi tentang post operasi dan penatalaksanaan post operasi yang tepat untuk mencegah terjadinya POCD. 3. Kepada Perawat Ruang IBS Rumah Sakit Sanglah Denpasar Bagi perawat mengingat bahwa terdapat tiga faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya POCD pada pasien lansia, maka diharapkan agar perawat ruang IBS lebih mengoptimalkan komunikasi, orientasi, dan pengawasan post operasi terutama pada pasien yang memiliki faktor yaitu lama anestesi lebih dari 2 jam, usia >70 tahun dan dengan tingkat pendidikan dibawah SMP. 4. Kepada Peneliti Selanjutnya Mengingat bahwa jumlah sampel tiap variabel dalam penelitian ini tidak merata, untuk selanjutnya agar hasil penelitian lebih presentatif diharapkan agar penelitian dilakukan dengan sampel yang lebih homogen terutama dengan melakukan kontrol terhadap beberapa variabel yang tidak berhubungan dalam penelitian ini.

72

DAFTAR PUSTAKA Allison, dkk., 2009, Geriatric Anesthesia. In : World Journal of Anesthesiology, USA: Departemen of Anesthesiology National Naval Medical Centre. Bekker, 2003, Cognitive function after anaesthesia in the elderly, Best Practice & Research Clinical AnaesthesiologyVol. 17, No. 2, pp. 259272, 2003doi:10.1053/ybean.2003.284, Available at (Online) :www.elsevier.com/locate/jnlabr/ybean Beck, C.M., Rawlins, R.P., dan William, S.R.,2006, Mental Health Psychiatric Nursing: A Holisticlife-Cycleapproach. St.Louis: The CV. Mosby Company. Bradley, 2004, Neurology in clinical practice Principles of Diagnosis and Management. Principles of Diagnosisand Management. Philadelphia : Curchil Livingstone Elsevier. Canet, 2003, Cognitive dysfunction after minor surgery in the elderly, Acta Anaesthesiol Scand 2003; 47: 12041210. Available at (Online) : http://proquest.com/pqdweb (diakses tanggal 12 Juli 2012). Fitriani, 2012, Gangguan Amnestik, Available at (Online) : http://usurepository.or.id (diakses tanggal 12 Juli 2012). Hidayat, 2009, Metode Penelitian Keperawatan dan TekhnikAnalisis Data. Jakarta: Salemba Medika. Krenk, et al, 2010, New insights into the pathophysiology of postoperative cognitive dysfunction, Acta Anaesthesiol Scand 2010; 54: 951956, Available at (Online) : http://proquest.com/pqdweb. Kusumoputro, Sidiarto, 2010, Fungsi Luhur Otak : Higher Brain Function Neurobehavior, Jakarta : UI-PRESS. Lueckenotte, 1998, Pengkajian Gerontologi, Jakarta : EGC. Mansjoer, 2007, Kapita Selekta Kedokteran Jilid 1. Edisi Ketiga. Jakarta.: EGC. Martono, 2009, Buku Ajar Geriatri, Jakarta : Balai Penerbit FKUI. Miller, 2010,Millers Anesthesia Volume 2, Philadelphia : Curchil Livingstone Elsevier. Myers, 2008, Neuroscience and Behavior, Philadelphia : Curchil Livivingstone Elsevier. Nevid, dkk., 2003, Psikologi Abnormal jilid dua edisi kelima, Jakarta : Erlangga.

73

Nugroho, 2008, Keperawatan Gerontik dan Geriatri, Jakarta : EGC. Nursalam, 2008, Konsep dan Penerapan Metodologi Keperawatan, Jakarta : Salemba Medika. Penelitian Ilmu

Papalia Diane. E, Sally Wendkos Olds , Ruth Duskin Feldman. 2001. Human Development eighth edition. New York : Mc Graw Hill Riwidikdo, 2007,Statistik Kesehatan, Yogyakarta : Mitra Cendikia Press. Riyanto, 2012, Penerapan Analisis Multivariat dalam Penelitian Kesehatan, Jogyakarta : Nuha Medika. Rohan, 2004, Increased incidence of postoperative cognitive dysfunction 24 hr after minor surgery in the elderly, available at (Online) : http://proquest.com/pqdweb Saunders, 2005, Medical Nursing : A Nursing Procces Apporach, Philadelphia : WB. Saunders. Shafer, 2009, Taltered Thread, Anesthesia, Philadelphia : Curchil Livingstone Elsevier. Setiadi, 2007, Konsep penulisan riset keperawatan. Jogyakarta: Graha Ilmu Setiati, Harimurti dan Roosheroe, 2006, Geriatri: Demensia (dalam Sudoyo, Setiyohadi, dan Simadibrata) Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Smeltzer dan Bare, 2002, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 8. Jakarta : EGC. Stuart dan Sundeen, 2002, Buku Saku Keperawatan Jiwa, Jakarta : EGC. Sugiyono (2007) Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&B, Bandung : Alfabeta. Wijoto dan Andriyanto, 2009, Disfungsi Kognitif Pasca Operasi Pada Pasien Operasi Elektif diGBPT RSU Dr. Sutomo Surabaya, Surabaya : Universitas Airlangga (tidak dipublikasikan) White, 2002, The neuropathogenesis of delirium, Available at (Online) : http://proquest.com/pqdweb

74

Yasril dan Kasjono, 2009, Analisis Multivariat : Untuk Penelitian Kesehatan, Jogyakarta : Mitra Cendikia Press

75

Lampiran 1 JADWAL KEGIATAN PENELITIAN


Waktu No. Kegiatan 1 1 2 3 4 5 7 8 Penyusunan Proposal Seminar Proposal Revisi Proposal Pengumpulan data Pengolahan data Analisis data Penyusunan laporan dan konsultasi 9 10 11 Sidang hasil penelitian Revisi laporan Pengumpulan Skripsi Sept12 2 3 4 1 Okt12 2 3 4 1 Nop12 2 3 4 1 Des12 2 3 4 1 Jan13 2 3 4 1 Feb12 2 3 4

76

Lampiran 2 ANGGARAN BIAYA PENELITIAN Dana yang telah dihabiskan dalam penyusunan skripsi ini adalah sebagai berikut : No A Kegiatan Menyusun proposal 1. Pembelian buku sumber 2. Pengetikan, penjilidan, dan penggandaan 3. Seminar proposal 4. Perbaikan proposal B Pelaksanaan penelitian 1. Pengurusan ijin penelitian 2. Penyebaran kuesioner 3. Pengetikan, penjilidan, dan C penggandaan Pengakhiran Penelitian 1. Seminar KTI 2. Perbaikan laporan 3. Honor penguji Total Biaya Rp. Rp. Rp. 100.000 100.000 350.000 Rp. 150.000 Rp. Rp. 100.000 100.000 Rp. Rp. Rp. 100.000 200.000 150.000 Rp. 200.000 Realisasi Biaya

Rp. 1.550.000

77

Lampiran 3 PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN Saya yang bertanda tangan di bawah ini : Nama NIM Jurusan :I Gusti Ngurah Putu : 1102115010 : Keperawatan

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa Tugas Akhir yang saya tulis ini benar-benar hasil karya saya sendiri, bukan merupakan pengambilalihan tulisan atau pikiran orang lain yang saya akui sebagai tulisan atau pikiran saya sendiri. Apabila dikemudian hari dapat dibuktikan bahwa Tugas Akhir ini adalah hasil jiplakan, maka saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut.

Denpasar, September 2012 Yang membuat pernyataan,

(Penulis)

78

Lampiran 4a PENGANTAR KUESIONER Judul Penelitian : Faktor-Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Insiden Post Operative Cognitive Dysfunction (POCD) Pada Lansia Di Ruang Instalasi Bedah Sentral RSUP Sanglah Denpasar Peneliti : I Gusti Ngurah Putu Pembimbing I : Ns. Putu Oka Yuli Nurhesti, S.Kep., MM Pembimbing II :.Ns I Putu Artawan, S.Kep. Bapak/Ibu Yang Terhormat , Saya adalah mahasiswa Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Denpasar. Dalam rangka menyelesaikan Tugas Akhir, saya bermaksud mengadakan penelitian dengan judul "Faktor-Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Insiden Post Operative Cognitive Dysfunction (POCD) Pada Lansia Di Ruang Instalasi Bedah Sentral RSUP Sanglah Denpasar". Pengumpulan data menggunakan instrumen ini saat penelitian, agar tidak terjadi kesalahan mohon dibaca dengan seksama. Hasil penelitian ini sangat tergantung pada jawaban yang Bapak/Ibu berikan, oleh karena itu saya mohon diisi sesuai dengan yang saudara rasakan. Kerahasiaan identitas Bapak/Ibu akan dijaga dan tidak akan disebarluaskan. Penulisan identitas pada lembar instrumen penelitian cukup dengan inisial saudara, misalnya Nyoman Putra ditulis NP. Saya sangat menghargai kesediaan, perhatian serta perkenaan Bapak/Ibu. untuk itu saya sampaikan terima kasih. Semoga partisipasi Saudara dapat mendukung dalam pengembangan ilmu kepeawatan dan kinerja profesi di masa mendatang. Denpasar, September 2012 Peneliti

(I Gusti Ngurah Putu)

79

Lampiran 4b PROSEDUR PELAKSANAAN PENELITIAN Prosedur dalam penelitian ini dilakukan dengan pendekatan sebagai berikut : 1. Mengidentifikasi calon responden, untuk mengetahui apakah responden memenuhi kriteria inklusi melalui studi catatan medic pasien 2. Mencatat data demografi responden, dan laporan operasi sesuai dengan variabel sampai post operasi (tercatat dalam catatan medik pasien) 3. Melakukan wawancara kepada pasien dengan melibatkan perawat yang bertugas di Ruang IBS sebagai enumerator. Enumerator sebelumnya dilakukan penyamaan persepsi melalui penjelasan oleh peneliti dan peneliti melakukan evaluasi terhadap enumerator sampai terjadi persamaan persepsi dengan wawancara yang akan dilakukan (mengetahui data kemampuan kognitif pasien post operasi) 4. Teknik wawancara dilakukan berpedoman pada teknik-teknik sebagai berikut : a. Wawancara dilakukan kurang dari 10 menit, dimaksudkan untuk menghindari terjadinya stress pada responden atau kelelahan yang berlebih b. Wawancara dilakukan 3-6 jam setelah operasi c. Wawancara dilakukan dengan sopan dan menghargai privasi pasien dan perawat harus selalu menjaga privasi dan hak pasien d. Wawancara dilakukan dengan intonasi yang jelas dan menggunakan bahasa yang dimengerti responden.

80

e. Pewawancara sebelum melakukan wawancara memberikan perasaan yang nyaman dan membina hubungan saling percaya sehingga jawaban yang diberikan lebih tepat dan berdasarkan kemampuan responden yang sebenarnya. f. Pewawancara mencatat apa yang dijawab responden pada kuesioner yang diberikan dengan menuliskan jawaban responden pada kolom yang disediakan. Selain itu, kuesioner yang diberikan harus diisi dengan data yang lengkap sesuai dengan pasien yang diwawancarai. g. Memberikan salam dan terimakasih setelah wawancara selesai

81

Lampiran 5 SURAT PERSETUJUAN MENJADI RESPONDEN Saya telah mendapatkan penjelasan dengan baik mengenai tujuan dan manfaat penelitian yang berjudul Faktor-Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Insiden Post Operative Cognitive Dysfunction (POCD) Pada Lansia Di Ruang Instalasi Bedah Sentral RSUP Sanglah Denpasar Saya mengerti bahwa saya akan diminta untuk mengisi kuesioner kecemasan untuk mengetahui tingkat kecemasan saya saat ini. Saya mengerti bahwa catatan mengenai data penelitian ini akan dirahasiakan, dan kerahasiaan ini akan dijamin. Informasi mengenai identitas saya tidak akan ditulis pada instrumen penelitian. Saya mengerti bahwa saya berhak menolak untuk berperan serta dalam penelitian ini atau mengundurkan diri dari penelitian setiap saat tanpa adanya sanksi atau kehilangan hak-hak saya. Saya telah diberikan kesempatan untuk bertanya mengenai penelitian ini atau mengenai peran serta saya dalam penelitian ini dan telah dijawab serta dijelaskan secara memuaskan. Saya secara sukarela dan sadar bersedia berperan serta dalam penelitian ini dengan menandatangani surat persetujuan menjadi responden.

Denpasar, ...................2012

Peneliti,

Responden,

(I Gusti Ngurah Putu)

(.....................................)

82

Lampiran 6 Lembar Kuesioner Pengumpulan Data Isilah data dibawah ini sesuai dengan keadaan Pasien Saat Ini A. Data Demografi (diisi oleh perawat sesuai dengan hasil catatan medik pasien selama dan sesudah operasi) 1. Umur saat ini : 60-70 tahun >70 tahun 2. Jenis Kelamin : Laki-laki Perempuan 3. Jenis Anastesi yang digunakan : Regional Umum 4. Lama Anastesi 1-2 jam >2 jam 5. Prosedur pembedahan Non Kardiak Kardiak 6. Status Fisik ASA ASA II ASA III 7. Tingkat Pendidikan Dasar Menengah Tinggi

83

B. Data Kuesioner SHORT PORTABLE MENTAL STATUS QUESTIONNAIRE (SPMSQ)

Nama klien : . Tanggal : Jenis kelamin : L/P Umur : ..tahun Tahun Pendidikan Alamat Nama Pewawancara Skor B S No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Pertanyaan TB/BB : cm/ kg

: SD, SLTP, SLTA, ....PT : : .. Jawaban tgl th

Tanggal berapa hari ini ? Hari Hari apa sekarang ini ? Apa nama tempat ini ? Berapa nomor telepon Anda ? 4. a. Dimana alamat Anda : (tanyakan bila tidak memiliki telepon Berapa umur Anda ? Kapan Anda lahir ? Siapa presiden Indonesia sekarang ? Siapa presiden sebelumnya ? Siapa nama kecil ibu Anda ? Kurang 3 dari 20 dan tetap pengurangan 3 dari setiap angka baru, semua secara menurun ? Jumlah kesalahan total

Keterangan : 1. Kesalahan 0 2 2. Kesalahan 3 4 3. Kesalahan 5 7 Fungsi intelektual utuh Kerusakan Ringan Kerusakan Sedang

4. Kesalahan 8 10 Kerusakan Berat Bisa dimaklumi bila lebih dari satu kesalahan bila subyek hanya berpendidikan sekolah dasar. Bisa dimaklumi bila kurang dari satu kesalahan bila subyek mempunyai pendidikan di atas sekolah menengah atas.

84

Lampiran 10 Hasil Uji SPSS 1. Analisis Univariat

85

86

2. Analisis Bivariat a. Hubungan Umur dan kejadian POCD/DKPO

87

b. Hubungan Jenis Kelamin dan Kejadian POCD/DKPO

88

c. Hubungan Jenis Anastesi dengan gangguan POCD/DKPO

89

d. Hubungan Lama Anastesi dengan gangguan DKPO

90

e. Hubungan Prosedur Pembedahan dengan Gangguan DKPO

91

f. Hubungan Status Fisik ASA dengan Kejadian DKPO

92

g. Hubungan Tingkat Pendidikan dengan kejadian DKPO

93

3. Analisis Multivariat Memasukkan data hasil bivariat yang memiliki nilai p<0,25 ke dalam ujiregresi logistic sehingga diperoleh hasil yaitu sebagai berikut :

You might also like