You are on page 1of 6

Jurnal Medika Edisi No 05 Vol XXXIX - 2013 - Kegiatan Terapi Kombinasi untuk Penanganan Gagal Jantung Akut dan

Kronik Terjadinya disfungsi ventrikel berupa gangguan pengisian atau kegagalan pompa ja ntung sehingga kebutuhan metabolisme tubuh tidak dapat terpenuhi akan menyebabkan sindrom klinik kompleks yang disebut gagal jantung. Berbagai klasifikasi gagal ja ntung antara lain gagal jantung akut (GJA) dan gagal jantung kronik (GJK). Dipre diksi meningkatnya prevalensi GJK akan sejalan dengan meningkatnya penyakit hipe rtensi, diabetes melitus, dan iskemi, terutama pada usia lanjut. Di samping itu , GJA telah menjadi masalah kesehatan di seluruh dunia, sekaligus penyebab signi fikan jumlah perawatan di rumah sakit dengan menghabiskan biaya yang tinggi. Peri stiwa penyakit gagal jantung makin meningkat sehubungan juga dengan meningkatnya usia harapan hidup pada masyarakat. Pemberian terapi Angiotensin Converting Enzim (ACE) inhibitor, ramipril misalnya, pada pasien gagal jantung telah terbukti mampu meningkatkan harapan hidup, memp erlambat perkembangan penyakit, dan menurunkan angka rawat inap di rumah sakit. Dosis harus ditentukan secara individual untuk memperbaiki kualitas hidup pasien tersebut. Jika pasien dikontraindikasikan untuk menggunakan ACE inhibitor maka o bat golongan penghambat reseptor angiotensin II atau kombinasi hidralazin dinitra t dan mononitrat dapat dijadikan alternatif. Pasien dengan disfungsi ventrikel kiri dan atau infark miokard juga harus menerima ACE inhibitor untuk mencegah timbuln ya gejala gagal jantung dan mortalitas. Beta-blocker seperti bisoprolol juga terbukti cukup efektif mampu memperpanjang k elangsungan hidup, menurunkan angka rawat inap di rumah sakit dan kebutuhan akan tra nsplantasi jantung, serta mampu memainkan mekanisme remodeling balik pada ventrike l kiri. Golongan obat ini harus diberikan pada semua pasien gagal jantung simptom atik, dimulai dengan dosis terendah dan dititrasi hingga diperoleh dosis efektif. Terapi dengan diuretik sering disertakan pada pasien gagal jantung, namun ini bu kan suatu keharusan, kecuali pada pasien gagal jantung dengan edema perifer dan atau kongesti paru. Pemberian loop diuretik intravena seperti furosemid menyebabka n venodilatasi dan akan memperbaiki gejala walaupun belum ada diuresis. Sejak 19 60 diuretik sudah digunakan sebagai terapi gagal jantung akut, tetapi masih dipe rtanyakan manfaat dan cara pemberian yang tepat untuk gagal jantung akut. Semua loop diuretik bekerja terutama dengan memblok Na+/K+/Cl- sebagai kotransporter pa da membran apikal dari loop Henle. Karena pada sisi ini berperan untuk mengonsen trasi dan dilusi urin, loop diuretik menyebabkan penurunan konsentrasi dan dilus i urin. Loop diuretik juga menyebabkan dilatasi dari sisi vena dan fase dilatasi ginjal yang dipengaruhi oleh prostaglandin. Komponen lain yang penting dalam terapi gagal jantung adalah dobutamin. Dobutamin merupakan analog isoprenalin yang bertindak sebagai obat simpatomimetik pada res eptor adrenergic b1 di jantung. Hasilnya menunjukkan terjadi peningkatan kontraktili tas dan cardiac output. Pada dasarnya, efek agonis b2 dan efek a1 dimiliki juga ol eh dobutamin, tetapi sangat lemah dibandingkan dengan efek b1 agonisnya. Dobutami n tidak berisiko tinggi menyebabkan hipertensi dibandingkan dopamin. Hal ini berkai tan dengan kerja dobutamin yang tidak merangsang reseptor dopamine maupun memicu pelepasan noreprinefrin. Dobutamin dipilih dalam terapi gagal jantung, khusunya GJA, karena memiliki spesifisitas kerja inotropik. Dalam upaya mengendurkan pembuluh darah, meningkatkan persediaan darah dan oksigen ke jantung diperlukan vasodilator. Isosorbide Dinitrat adalah jenis vasodilator yang dapat digunakan dalam rangkaian tata laksana gagal jantung. Senyawa ini bekerj a dengan jalan relaksasi otot polos vaskular sehingga memberi efek vasodilatasi pa da arteri dan vena perifer. Dilatasi pembuluh darah pasca-kapiler termasuk vena besar menyebabkan penumpukan darah di perifer sehingga menurunkan aliran balik vena ke jantung. Hal ini mengakibatkan turunnya tekanan akhir diastolik ventrikel kir

i (preload). Relaksasi arteriolar menyebabkan penurunan resistansi vaskular sistemik dan tekanan arteri (afterload). Dengan mekanisme seperti di atas maka kebutuhan o ksigen miokard menurun sehingga tercapai keseimbangan antara suplai dan kebutuha n oksigen. Isosorbide Dinitrat mudah diserap melalui mukosa (mulut, hidung, dan sa luran cerna) maupun kulit. Berpartisipasi dalam acara 22th Annual Scientific Meeting of Indonesian Heart As sociation (ASMIHA) pada 5-7 April di Hotel Ritz Carlton Jakarta, PT. Pharos Indo nesia menghadirkan solusi untuk terapi gagal jantung akut dan kronik. Produk-prod uk berkualitas yang dipamerkan berupa furosemide (Naclex) tersedia dalam bentuk i njeksi dan tablet; dobutamin (Cardiotone); norepinefrin (Arespin); isosorbide dini trate (Isorbid) yang tersedia juga dalam injeksi dan tablet sublingual; ramipril (A nexia); dan bisoprolol (Hapsen). (Wika)

Edisi No 04 Vol XXXIX - 2013 - Kegiatan Kombinasi Norepinefrin dan Dobutamin utuk Memperbaiki Hemodinamik Gagal jantung adalah suatu sindroma yang terjadi karena disfungsi jantung. Terdapa t dua jenis gagal jantung, yaitu gagal jantung akut (GJA) dan gagal jantung kron is (GJK). Pada workshop yang diadakan oleh Working Group on Acute Cardiovascular Care (WG ACC) PERKI bekerjasama dengan PT Pharos Indonesia pada Sabtu, 9 Maret 2013, yang lalu, topik yang dibahas adalah mengenai penatalaksanaan syok dan gag al jantung akut. Menurut dr. Isman Firdaus, SpJP (K), FIHA, pada gagal jantung ak ut, tanda dan gejala yang terjadi berlangsung cepat akibat disfungsi jantung yan g terjadi mendadak. Disfungsi jantung yang terjadi dapat berupa disfungsi sistolik maupun diastolik, abnormalitas irama jantung, atau ketidaksesuaian preload dan a fterload (preload and afterload mismatch). GJA dapat terjadi pada pasien dengan at au tanpa kelainan jantung sebelumnya. Berdasarkan gejala dan tanda klinisnya, GJA terbagi dalam 6 kategori:(1) Gagal ja ntung akut dekompensata. Pasien ini memiliki tanda dan gejala GJA yang ringan dan tidak memenuhi kriteria untuk syok kardiogenik, edema pulmoner, ataupun krisis hipertensi. (2) Sindrom koroner akut dan gagal jantung (de novo) atau serangan a kut dalam gagal jantung kronik.Pada pasien ini, terdapat riwayat gagal jantung se belumnya dan riwayat minum obat untuk gagal jantung; memiliki faktor pencetus se perti putus obat, peningkatan aktivitas, serta infeksi; dan biasanya pengobatan hanya memerlukan diuretik. (3) GJA hipertensif atau krisis hipertensi. Pada pasi en ini terdapat tanda dan gejala gagal jantung yang disebabkan oleh tekanan dara h yang tinggi. Tetapi, fungsi ventrikel kiri masih baik dan disertai dengan gamb aran edema pulmoner akut pada x-ray toraks. (4) Edema paru akut. Merupakan bentuk gagal jantung yang lebih berat yang disertai dengan distress pernapasan yang be rat, ronkhi kasar (Crackles) di seluruh lapang paru, ortopneu, serta nilai satur asi O2 <90% pada udara kamar sebelum terapi. Pada pasien ini terdapat gangguan o ksigenasi yang tidak disertai dengan gangguan perfusi jaringan (ditandai dengan akral yang hangat). Gangguan perfusi yang terjadi disebabkan oleh karena dekompe nsatio kordis. (5) Syok kardiogenik. Pada kondisi ini sudah terjadi gangguan oks igenisasi dan gangguan perfusi jaringan walaupun telah dilakukan koreksi preload. Kegagalan perfusi jaringan ini ditandai dengan suhu akral yang dingin dan penur unan tekanan darah, yaitu tekanan darah sistolik 30 mmHg dan/atau penurunan diuresi s (60 denyut per menit dengan atau tanpa bukti kongesti organ. (6) Gagal jantung kanan akut. Pada keadaan ini terjadi gangguan perfusi tanpa edema pulmoner, karen a darah gagal masuk ke dalam jantung, ditandai dengan peningkatan JVP, hepatomegal i, dan hipotensi. Pengobatan atau terapinya dilakukan berdasarkan profil hemodinamik. Berdasarkan pr ofil ini, GJA terbagi dalam 4 kelas. Demikian kata dr. Dafsah A. Juzar, SpJP (K) , FIHA. Kelas tersebut adalah kelas I (grup A), dengan profil hemodinamik yang ke

ring dan hangat; kelas II (grup B) yang basah dan hangat; kelas III (grup L) yan g kering dan dingin; serta kelompok IV (grup C) yang basah dan dingin. Yang dimak sud dengan hangat adalah pasien memiliki perfusi yang baik dan dingin adalah keti ka pasien memiliki perfusi yang buruk. Disebut kering ketika pasien tidak memiliki tanda-tanda kongesti pulmo dan basah adalah ketika pasien memiliki tanda-tanda ko ngesti pulmo. Untuk pasien dengan profil yang basah , pasien harus di kering kan. Maksudnya adalah dib erikan loop diuretics untuk mengeluarkan cairan dari dalam pulmo yang mengakibatk an edema. Contoh loop diuretics yang umum digunakan adalah furosemide, bumetanid, dan torasemid. Untuk pasien dengan profil yang dingin , pasien harus di hangat kan, ya itu diberikan obat untuk memperbaiki perfusi jaringan, baik dengan cara meningkat kan kekuatan kontraksi jantung dengan obat-obatan inotropik maupun dengan memperleba r pembuluh darah yang menyebabkan vasodilatasi atau menurunkan tahanan perifer de ngan obat golongan nitrat, dopamin, ACE-inhibitor, serta levosimendan. Contoh obat obatan inotropik adalah dobutamin dan inhibitor fosfodiesterase. Jika terjadi sy ok kardiogenik, pasien sebaiknya diberikan vasopresor seperti norepinefrin. PT Pharos Indonesia menyediakan preparat yang lengkap dan berkualitas untuk penanga nan kasus gagal jantung akut seperti Furosemide (Naclex Injection), dobutamin (Car diotone), norepinefrin (Arespin), isosorbide dinitrate (Isorbid Injection), dan pen anganan gagal jantung kronis seperti furosemide (Naclex tablet), ramipril (Anexia) d an bisoprolol (Hapsen) dan isosorbide dinitrate (Isorbid tablet sublingual). u (DI PN)

Edisi No 12 Vol XXXVIII - 2012 - Kegiatan Turunkan Tingkat Morbiditas dan Mortalitas Gagal Jantung dengan Bisoprolol Mengambil tema 3D in Cardiovascular: Accurate Diagnosis, Drugs, and Devices , penye lenggaraan 24th Weekend Course on Cardiology (WECOC) di Hotel Ritz-Carlton, 19-2 1 Oktober yang lalu mengangkat nyaris seluruh topik di bidang kardiovaskular. Da lam bidang gagal jantung, breakfast symposium di hari kedua seminar memfokuskan d iri pada peranan penyekat beta, dengan judul Beta Blocker in The Management of H eart Failure . Dipimpin oleh dr. Eko Antono, SpPD-SpJP(K), FIHA selaku moderator, s esi ini menghadirkan dua pembicara andal, yaitu Prof. Dr. dr. Dede Kusmana, SpJP, FACC dan Prof. Dr. dr. Rochmad Romdoni, SpPD, SpJP-K, FIHA. Gagal jantung telah menjadi masalah kesehatan dunia, termasuk di Indonesia, ungkap Dede dalam materi bertajuk Short but Spicy Diagnosis and Management of Heart Fail ure . Secara klinis, gagal jantung didefinisikan sebagai sindrom atau kumpulan gej ala tipikal, meliputi sesak, edema tungkai, dan fatigue serta tanda berupa penin gkatan tekanan vena jugularis, ronki pulmonal, dan perpindahan denyut apeks akib at abnormalitas struktur atau fungsi jantung. Gejala gagal jantung yang tidak kha s meliputi batuk nokturnal, mengi, peningkatan berat badan lebih dari 2 kg per mi nggu atau penurunan berat badan, kembung, tidak nafsu makan, depresi, palpitasi, dan sinkop. Tanda gagal jantung yang kurang spesifik di antaranya edema perifer, krepitasi pulmonal, efusi pleura, takikardia, denyut ireguler, takipnea, hepatomeg ali, asites, dan kakheksia. Diagnosis gagal jantung dapat dengan mudah ditegakkan, namun kadang menjadi suli t bila pasien menunjukkan gejala yang tidak khas atau temuan yang kurang spesifi k. Modalitas pencitraan non-invasif yang kini tersedia di antaranya ekokardiogra fi, resonansi magnetik kardiovaskular (CMR), SPECT, PET, dan MSCT. Ekokardiografi merupakan perangkat diagnostik standar untuk membedakan gagal jantung dengan fr aksi ejeksi yang normal dan yang menurun karena tingkat ketersediaan alat yang tin ggi, tanpa radiasi, bersifat portable, dan relatif tidak mahal, jelas Dede.

Panduan diagnosis dan manajemen gagal jantung diperkenalkan pada 1988 dan direvisi pada 2012. Panduan yang baru memperlihatkan beberapa perubahan, yaitu perluasan indi kasi antagonis reseptor aldosteron, indikasi baru untuk inhibitor nodus sinus, p erluasan indikasi untuk terapi resinkronisasi kardiak (CRT), peran revaskularisa si koroner, penggunaan ventricular assist device yang kian pesat, serta emergens i intervensi katup transkateter. Melanjutkan Dede, Romdoni membawakan materi mengenai Beta Blocker Therapy for Hea rt Failure: Focus on Bisoprolol . Di awal sesinya, Romdoni mengamini Dede bahwa gag al jantung masih menjadi masalah besar karena prevalensi dan tingkat mortalitasny a yang tinggi. Gagal jantung sering hanya diartikan sebagai gangguan hemodinamik, padahal terjadi pula aktivasi neurohormonal kronis. Aktivasi neurohormonal ini melibatkan angiotensin II, aldosteron, dan norepinefrin. Ketiganya menyebabkan hi pertrofi, apoptosis, iskemia, remodelling, dan aritmia. Angiotensin II dapat diham bat oleh ACE-i atau penyekat reseptor angiotensin II (ARB), aldosteron dapat diat asi dengan antagonis reseptor mineralokortikoid (MRA), dan norepinefrin dapat di atasi dengan penyekat beta (beta blocker), jelas Romdoni. Tren penggunaan beta blocker pun ikut mengalami perubahan signifikan. Pada era 1 960-1990, obat ini dikontraindikasikan pada kasus gagal jantung. Namun, sejak di ketahui adanya aktivasi neurohormonal pada akhir 1990, beta blocker mendapat tem pat dalam penanganan gagal jantung dan direkomendasikan oleh banyak panduan. Adapun manfaat beta blocker pada kasus gagal jantung adalah sebagai berikut. Oba t ini mampu mengurangi beban jantung dan memperpanjang waktu pengisian koroner d iastolik karena efek bradikardinya. Sebagai antiiskemik, beta blocker juga menurun kan kebutuhan oksigen dengan menurunkan frekuensi nadi, tekanan darah, serta kon traktilitas. Banyak studi juga sudah mengklaim risiko kematian mendadak yang lebih rendah pada penggunaan beta blocker karena mampu berperan sebagai antiaritmia. Selain itu, obat ini juga dapat menghambat nekrosis miokardial terinduksi kateko lamin melalui blokade beta-1. Obat ini juga dapat menghambat sistem renin-angiot ensin serta meningkatkan faktor natriuretik atrial. Dalam kasus gagal jantung, panduan European Society of Cardiology (ESC) 2012 mer ekomendasikan penggunaan beta blocker sebagai tambahan ACE-i (atau ARB bila ACEi tidak dapat ditoleransi) pada semua pasien dengan fraksi ejeksi < 40% untuk me ngurangi risiko kematian prematur dan rawat inap di rumah sakit. Namun, perlu dii ngat bahwa beta blocker tidak boleh diberikan pada gagal jantung kelas IV, blok atrioventrikuler derajat 2 dan 3, syok kardiogenik, bradikardia berat, serta pad a kondisi hipersensitivitas. Reseptor beta tersebar pada berbagai organ. Reseptor beta yang dominan di jantung adalah reseptor beta-1. Reseptor beta-2 terdapat pada traktus gastrointestinal, traktus bronkial, uterus, pembuluh darah, hepar, otot skelet, dan kelenjar tiroi d. Untuk meminimalisasi efek samping pada organ yang lain, gunakanlah beta block er yang selektif untuk reseptor beta-1 pada kasus gagal jantung. Salah satunya a dalah bisoprolol, ungkap Guru Besar Universitas Airlangga ini. Dalam studinya, Wellstein dan rekan menemukan bahwa bisoprolol (Beta-One-PT Kalbe ) memiliki selektivitas terhadap beta-1 yang lebih baik dibandingkan beta blocker selektif lainnya, termasuk metoprolol, atenolol, dan betaxolol. Hasil studi CIBI S III juga menunjukkan adanya penurunan risiko kematian kardiak mendadak sebanya k 46% pada pemberian bisoprolol. Dengan demikian, bisoprolol (Beta-One) terbukti bermanfaat dalam kasus gagal jant ung serta mampu menurunkan tingkat morbiditas dan mortalitas pasien gagal jantun g. (Olga)

Edisi No 09 Vol XXXVII - 2011 - Kegiatan

Permasalahan Sindrom Kardio-metabolik-renal pada Gagal Jantung: Fokus pada Penur unan Faktor Risiko dan Prognostik Menggunakan ACE-Inhibitor Ada banyak masalah klinis yang terkait dengan peristiwa gagal jantung. Permasala han ini dapat dirangkum di dalam istilah sindrom kardio-metabolik-renal yang meni ngkatkan morbiditas dan mortalitas pasien gagal jantung. Permasalahan gagal jantun g merupakan sesuatu yang sangat urgent bagi dunia saat ini karena memiliki prevale nsi sekitar 23 juta jiwa, papar dr. Nani Hersunarti, SpJP(K), FIHA, pengarah dan p embicara workshop Metabolic and cardio-renal syndrome in heart failure pada 20th An nual Scientific Meeting of Indonesia Heart Association di Hotel Ritz Carlton Jak arta, 26 Maret 2011, lalu. Nani yang merupakan satu di antara sedikit kardiolog s enior perempuan Indonesia, berkolaborasi dengan Prof. Dr. dr. Rully MA Roesli, S pPD, KGH dari Universitas Padjajaran Bandung dan Dr. dr. Aris Wibudi, SpPD, KEMD dari RSPAD Gatot Soebroto dalam workshop tersebut. Peran status metabolik pada pasien gagal jantung memang sangat penting. Beberapa kondisi yang termasuk di dalam risiko kardio-metabolik adalah adiposity (jaringan lemak), hipertensi, dislipidemia, dan disglikemia (glukosa darah). Semuanya menj adi faktor risiko sekaligus prognostik pada kejadian (outcome) gagal jantung. Sta tus kardio-metabolik yang buruk memiliki peran sangat penting pada patogenesis pen yakit jantung koroner, hipertensi, lalu gagal jantung, ungkap Nani. Kondisi gagal gin jal juga sangat terkait dengan risiko kardiovaskuler. Ada peningkatan dialisis dan t ransplantasi ginjal pada pasien yang memiliki penyakit kardiovaskuler, tambah Nan i. Memang, berbagai organ saling terkait melalui hubungan vaskularisasi. Adanya kegagalan pada pompa jantung akan mengurangi aliran darah ke organ target dan meny ebabkan iskemia berbagai jaringan, termasuk ginjal. Muncul lah penyakit ginjal kro nis, dapat sebagai komplikasi vaskuler dan retinopati akibat hipertensi maupun di abetes. Sindrom kardio-renal anemia cukup sering ditemukan pada pasien gagal jantung yang su dah berkomplikasi menjadi gangguan ginjal, ucap Nani. Sindrom ini sangat terkait dengan perburukan fungsi ginjal yang progresif selama perawatan akibat gagal jantu ng akut. Ada lagi kondisi yang disebut sebagai resistansi diuretik di mana adanya kongesti yang persisten (menetap) meskipun sudah mendapat pengobatan berupa furose mid (diuretik cepat) > 80 mg dalam 6 jam, atau > 240 mg dalam sehari, atau infus furosemid yang kontinyu, atau dengan berbagai kombinasi diuretik. Kondisi ini san gat membahayakan pasien karena edema pada berbagai jaringan tidak teratasi denga n baik, ucap Prof. Dr. dr. Rully MA Roesli, SpPD, KGH. Overload ini dapat ditangan i dengan berbagai modalitas ultrafiltrasi, sambung ahli ginjal dari Bandung ini. Belum banyak guidelines yang menyebut masalah pasien gagal jantung yang refrakter atau resistan terhadap diuretik, jelas Roesli. Beberapa modalitas ultrafiltrasi yang dikenal saat ini antara lain dialisis peritoneal, hemodialisis, hemofiltrasi , dan dialisis hybrid. Semuanya bisa dilakukan tergantung fasilitas yang disediak an pelayanan kesehatan, serta kompetensi yang dimiliki oleh tim dokter atau spesi alis yang ada di rumah sakit tersebut, ungkap Roesli. Permasalahan lain yang cukup pelik terkait urusan status metabolik pada pasien g agal jantung adalah kendali kadar glukosa darah. Menurut Aris Wibudi, pakar endo krinologi metabolisme dan diabetes dari RSPAD Gatot Soebroto, terdapat tujuh ele men penting yang harus mendapat perhatian pasien gagal jantung kongestif berhubun gan dengan kendali kadar glukosa darah, yaitu cara, pemantauan, target glukosa dar ah, waktu, dosis pemeliharaan, lama pengobatan, dan terapi jangka panjang. Modalitas insulin yang terpantau selama 24 jam dengan porsi 3-4 kali sehari dapat m enjadi pilihan. Melalui dosis pemeliharaan, diharapkan outcome kadar glukosa darah adalah 150-180 mg/dL dalam 24 jam. Memang pada kondisi akut, parameter kedua ata u A1c tidak sensitif terhadap perubahan status metabolik. Pengendalian kadar glukosa d arah adalah yang paling penting, sebut Aris berulang kali. Diharapkan kondisi gagal ja ntung stabil dulu. Bila sudah stabil, pada terapi jangka panjang, dapat kembali p

ada antidiabetik oral seperti metformin dan sulfonilurea. Jangan sampai pasien mengal ami komplikasi akut diabetes, nasihat Aris. Antidiabetik oral dapat diberikan bila keb utuhan insulin perhari tidak melebihi 45 unit, jelasnya. Angiotensin II berperan dalam kerusakan organ pada berbagai kondisi seperti stro ke, hipertensi, infark miokard, gagal ginjal, dan gagal jantung. Angiotensin II b ekerja pada reseptor angiotensin 1 menghasilkan efek berupa aterosklerosis, vasokonst riksi, hipertrofi vaskuler, disfungsi endotel, hipertrofi ventrikel kiri, fibrosis, re modeling jantung, dan apoptosis. Pada ginjal, aktivasi reseptor angiotensin 1 akan menurunkan laju filtrasi glomerulus, meningkatkan proteinuria, pelepasan aldosteron, d an sklerosis glomerulus. Pada kondisi-kondisi ini, pemberian ACE-inhibitor merup akan tata laksana yang rasional karena memiliki cara kerja yang efektif, serta m emiliki evidence (bukti ilmiah) yang sangat baik berdasarkan beberapa studi skala b esar, antara lain HOPE Study dan SECURE Study.

ACE-inhibitor memiliki beberapa daya kerja; segera, intermediet, dan efek jangka panja g. Efek segera adalah hemodinamik, preservasi bradikinin (pelindung endotel), menin gkatkan oksida nitrat (nitric oxide) atau vasodilator alamiah, dan menurunkan prod uksi superoksida (radikal bebas). Efek intermediet adalah fibrinolitik, menurunka n PAI-1 dan aktivasi trombosit, serta meningkatkan t-PA. Efek jangka panjang ada lah menurunkan migrasi sel dan proliferasi sel, dan menstabilisasi plak. Salah s atu ACE-inhibitor yang dikenal luas adalah ramipril. Pada HOPE Study, ramipril me nurunkan progresivitas aterosklerosis, dengan melihat pada ketebalan tunika intim a dan tunika media. Ramipril menurunkan risiko infark miokard fatal dan non-fatal, se rta menurunkan risiko pembesaran ventrikel kiri jantung. Sebagai kesimpulan, ACE inhibitor memiliki efek mencegah proses aterosklerosis da n penyakit jantung koroner. Ramipril 10 mg diindikasikan pada SECURE Study dapat menurunkan progresivitas hipertrofi vaskuler sebesar 37%. Secara lugas, HOPE Stud y menurunkan morbiditas dan mortalitas pasien berisiko kejadian kardiovaskuler d an gagal jantung. Pemberian obat ini juga menurunkan tekanan darah secara superi or. Dengan demikian, berbagai faktor risiko dan prognostik gagal jantung dapat d ikurangi. (a)

You might also like