You are on page 1of 16

MASALAH PADA KEHAMILAN DENGAN SINDROM DOWN

DISUSUN OLEH:
PANDE KOMANG GEDE BAYU WIKRAMA YAHAZIEL YASON WIJAYA A. A. NGURAH WISNU NAYAKA PUTRA ANAK AGUNG PARAMA SWARI KHRISNA PANDE AGUNG MAHARISKI DEWA AYU INDAH GITASWARI I PUTU INDRA ARDHIYANA PUTRA LUH PUTU VENNY CEMPAKA SARI IDA AYU IDE NANDA DIVYANI AGHA BHARGAH PUTU BAGUS REDIKA JANASUTA YOSEPH LOUIS HELMI RUMKABU SGD A7 1202005130 1202005133 1202005135 1202005136 1202005139 1202005140 1202005141 1202005142 1202005143 1202005145 1202005146 1202005204

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA 2013

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rahmatnya sehingga makalah yang berjudul Penderita Sindrom Down Juga Makhluk Insani dapat diselesaikan tepat waktunya, tanpa suatu rintangan yang berarti. Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas student project Block Medical Professionalism yang diberikan di semester dua (genap) periode 2013 - 2014, program studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.

Adapun tulisan ini dapat diselesaikan berkat bantuan berbagai pihak untuk hal tersebut penulis mengucapkan terima kasih. Seperti kata pepatah tiada gading yang tak retak, maka atas kekurangan penulisan ini bagi para pembaca diharapkan kritik dan saran yang bersifar konstruktif demi mencapai hasil yang lebih baik. Semoga makalah ini dapat bermanfaat dan dapat menumbuhkan sikap professional pada semua dokter di Indonesia demi terwujudnya pelayanan masyarakat Indonesia yang adil dan berhati nurani.

Denpasar, 23 Maret 2013 Hormat Kami,

Penulis

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................... ii DAFTAR ISI ............................................................................................................ iii BAB I : PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ...................................................................................................... 1 1.2. Rumusan Masalah ................................................................................................. 3 1.3. Tujuan ................................................................................................................... 3 BAB II : ISI DAN PEMBAHASAN 2.1. Definisi dan Manifestasi Klinis Sindrom Down .................................................. 4 2.2. Pengaruh Sindrom Down Terhadap Keluarga ..................................................... 5 2.3. Terminasi pada Kehamilan dengan Sindrom Down ............................................ 7 2.3.1. Hubungsn Aborsi dengan Nilai Agama ...................................................... 7 2.3.2. Hubungan Aborsi dengan Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia .. 8 2.3.3. Hubungan Aborsi dengan Sumpah Kedokteran ......................................... 10 2.3.4. Hubungan Aborsi dengan Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI) .. 10 BAB III : PENUTUP 3.1. Simpulan ............................................................................................................. 11 3.2. Saran .................................................................................................................... 11 REFERENSI

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Setiap mahluk insani memiliki hak yang sama untuk hidup dan merasakan kehidupan. Semua itu merupakan rahmat dari Tuhan Yang Maha Esa yang bisa dinikmati sebagai suatu hak asasi manusia. Hak asasi ini sesungguhnya telah diperoleh sejak dari dalam kandungan hingga saat meninggal nantinya. Selama proses mengandung seorang ibu akan selalu menjaga kehamilannya.

Suatu kehamilan merupakan suatu proses fisiologis yang secara normal terjadi pada manusia (Andriaansz, 2008) sebagai insting untuk mempertahankan keturunannya di bumi. Oleh karenanya kehamilan sebagai tanda akan hadirnya anggota keluarga baru dan penerus keturunan yang pada umumnya akan disambut dengan gembira. Bahkan ada keyakinan dari sudut pandang agama yang menganggap suatu kehamilan akan membantu leluhur dari keluarga itu untuk terlahir kembali. Kegembiraan itu sendiri yang sering menutupi resiko yang dihadapi oleh perempuan hamil.

Kehamilan tidak hanya mempengaruhi kesehatan namun juga mengancam jiwa seorang ibu (Bristow, 2008). Selain itu tidak semua kehamilan akan disambut dengan kegembiraan oleh orang tua dan beberapa kehamilan justru tidak diinginkan. Walaupun disatu sisi terdapat keluarga yang memiliki anak yang sehat dan normal, adapula yang sulit untuk mendapatkan seorang anak, bahkan terdapat pula keluarga yang tidak menginginkan suatu kehamilan itu (Giubilini dkk, 2012), namun perkembangan teknologi yang semakin maju membuat teknologi pendukung ilmu medis pun ikut berkembang sehingga alat medis bisa digunakan untuk meramalkan apa yang akan terjadi pada kandungan ibu hamil (Emory, 2008).

Semakin berkembangnya teknologi pendukung ilmu medis yang dapat meramalkan keadaan yang akan terjadi memberi dampak positif dan negatif. Sisi positif hal tersebut yaitu dapat dilakukan intervensi pada proses kehamilan, sehingga dapat dilakukan persiapan yang terbaik untuk masa depan dari janin tersebut saat kelahiran (Emory, 2008). Sisi negatif saat diketahui adanya kecacatan atau ketidaksempurnaan pada janin membuat orang tua merasa malu apabila janin tersebut dilahirkan sehingga seringkali orang tua berpikiran untuk menggurkan kandungannya agar mereka terhindar dari masalah yang akan terjadi ke depannya, baik itu masalah finansial maupun sosial (Ein, 2007) Untuk mengatasi masalah kehamilan yang tidak diinginkan tersebut mereka berusaha menempuh cara yang menurut mereka instant yaitu dengan jalan aborsi. Meskipun cara ini penuh resiko dan tidak semudah yang dibayangkan (Giubilini dkk, 2012). Kata aborsi identik dengan pembunuhan bagi umat manusia karena janin yang tidak berdosa dikeluarkan secara paksa dan menjadi korban.

Sindrom down merupakan salah satu ketidaksempurnaan yang sering terjadi pada janin, dan seringkali karena ketidaksempurnaan tersebut orang tua memutuskan untuk melakukan aborsi pada janin mereka (Giubilini dkk, 2012), padahal aborsi merupakan hal yang bertentangan dengan norma agama, selain itu janin yang masih berkembang di dalam kandungan juga merupakan makhluk insani yang merupakan titipan dari Tuhan yang Maha Esa, meskipun janin tersebut memiliki kecacatan dan ketidaksempurnaan baik fisik maupun mental seperti sindrom down. Pada akhirnya makhluk insani merupakan makhluk yang juga memiliki haknya untuk hidup, haknya untuk mendapat perlakuan yang sama dengan sesamanya jadi penderita sindrom down seharusnya juga diberikan hak yang sama dengan orang normal sekitarnya, mereka berhak untuk dilahirkan di dunia ini bukannya dikucilkan ataupun direndahkan martabatnya bahkan dirampas haknya untuk hidup (Buckley dkk, 2002).

1.2 Rumusan Masalah 1. 2. 3. Apakah definisi dan manifestasi klinis dari sindrom down? Bagaimanakah pengaruh sindrom down dalam kehidupan keluarga? Apakah dibutuhkan terminasi pada kehamilan dengan sindrom down?

1.3 Tujuan 1. 2. 3. Mengetahui definisi dan manifestasi klinis dari sindrom down Mengetahui pengaruh sindrom down terrhadap keluarga Mengetahui aspek yang berpengaruh terhadap tindakan terminasi pada kehamilan dengan sindrom down

BAB II PEMBAHASAN

2.1. Definisi dan Manifestasi Klinis Sindrom Down Sindrom Down merupakan suatu kelainan yang dapat dikenali dari ciri-ciri khas yang terlihat seperti kelopak mata sipit ke atas, lipatan epikantus (lipatan kulit tambahan sudut medial mata), wajah datar dan lebar, bibir bawah beralur, tangan yang gemuk dengan satu alur transversal (simian crease) telinga kecil, cacat jantung kongenital, gangguan pertumbuhan dan retardasi mental. Secara genetik sindrom down terjadi karena trisomi (kelebihan satu kromosom) pada pasangan kromosom nomor 21 atau dikenal dengan trisomi 21 (Soetjiningsih, 1995). Menurut WHO perkiraan angka kejadian Sindrom Down terjadi pada 1 dari 1000-1100 kelahiran. Setiap tahun 3000-5000 anak di seluruh dunia lahir dengan kelainan kromosom ini (WHO, 2013).

Anak dengan sindrom down terlahir dengan keadaan yang tidak sempurna, karena secara fisik, psikologis, kognitif atau sosial terhambat dalam mencapai tujuan-tujuan atau kebutuhan dan potensi secara maksimum. Anak yang mengalami sindrom down mengalami masalah perkembangan belajar,

mengalami keterbelakangan perkembangan dan kelemahan akal (Ein 2007). Pada peringkat awal perkembangan, mereka mengalami masalah lambat dalam semua aspek perkembangan yaitu lambat untuk berjalan, perkembangan motorik halus dan bercakap (Soetjiningsih, 1995). Keterbatasan fisik yang bersumber dari otot yang lemah menyebabkan mereka menjadi lemah dan menghadapi masalah dalam perkembangan motorik kasar.

Gangguan yang terlihat antara lain gangguan berbicara dan gangguan pengelihatan yang disebabkan oleh beberapa hal seperti kelainan mata menjadi sipit dengan sudut bagian tengah membentuk lipatan ( epicanthal folds) 80%,
4

white brushfield spots di sekililing lingkaran sekitar iris mata (60%), medial epicanthal folds, keratokonus, strabismus, katarak (2%), dan retinal detachment. (Sadler, 2006) Gangguan penglihatan karena adanya perubahan pada lensa dan kornea. Beberapa karakteristik ini dapat menghambat anak dengan sindrom down untuk berkembang secara optimal dan dapat menimbulkan permasalahan sosial serta emosional dalam perkembangan mereka di berbagai aspek kehidupan (Salmiah, 2010).

Walaupun mampu bertahan hidup dan melewati masa sulit pasca kelahiran dan pada masa kanak-kanak, pada usia dewasa anak dengan sindrom down memiliki masalah dalam dirinya. Pada usia 30 tahun seseorang yang mengalami sindrom down akan menderita demensia (hilang ingatan, penurunan kecerdasan dan perubahan kepribadian). Sekitar 44 % sindrom down hidup sampai 60 tahun dan hanya 14 % hidup sampai 68 tahun. Kematian pada anak dengan sindrom down disebabkan oleh kelainan jantung dengan prevalensi 80% dari seluruh kematian pada anak sindrom down (Darmawan dkk., 2012).

2.2. Pengaruh Sindrom Down Terhadap Keluarga Untuk melakukan pemeriksaan status janin dan pemeriksaan terhadap penyakit genetik seperti sindrom down dapat dilakukan paling dini sejak janin berumur 10 minggu. Chorionic Villus Sampling (CVS) adalah suatu pemeriksaan status janin yang berumur 10-12 minggu. Pemeriksaan ini dilakukan dengan menggunakan jarum yang dimasukkan melalui abdomen dan dinding rahim menuju korion yang dipandu dengan menggunakan ultrasonography (USG). CVS digunakan untuk menganalisis kromosom dari janin melalui korion. CVS memiliki risiko kehilangan janin dengan rasio 1% dari seluruh pemeriksaan. dengan cara ini (Sadler, 2006).

Selain CVS, terdapat prosedur lain untuk menentukan status janin seperti Amniosintesis. Amniosintesis adalah prosedur yang digunakan untuk

menganalisis kromosom janin dengan cara mengambil cairan amnion (Emory, 2008). Sebuah jarum dimasukkan melalui abdomen dan dinding rahim menggunakan USG untuk memandu jarum menuju cairan amnion. Komponen dalam amnion diambil untuk analisis kromosom. Amniosintesis dilakukan pada umur kehamilan 14 hingga 18 minggu dan merupakan metode pemeriksaan yang umum untuk melakukan pemeriksaan terhadap penyakit genetik seperti sindrom down. Amniosintesis memiliki resiko yang lebih kecil terhadap kehilangan janin dibandingkan dengan CVS sehingga amniosintesis lebih umum digunakan dalam mendeteksi kelainan genetik seperti sindrom down (Sadler, 2006).

Pasangan suami istri yang menjadi calon orang tua terhadap janin yang memiliki indikasi sindrom down bertanggung jawab terhadap perkembangan dan kelangsungan hidup janin tersebut dan tetap bertanggung jawab dengan memberikan asuhan yang sesuai selayaknya anak normal pada umumnya. Dalam kehidupan modern seperti saat ini tidak jarang pasangan suami istri menolak untuk melanjutkan perkembangan dan pertumbuhan janin yang memiliki indikasi menderita kelainan genetik seperti sindrom down setelah melakukan

pemeriksaan prenatal untuk menentukan status janin tersebut (Emory, 2008). Bentuk penolakan yang dilakukan terhadap janin tersebut adalah tindakan terminasi atau penghilangan janin yang dikenal sebagai aborsi (Giubilini dkk, 2012)

Berbagai kesulitan yang berkaitan dengan anak yang menderita sindrom down tidak hanya menjadi masalah bagi anak itu sendiri, melainkan orang tua sebagai pihak yang paling dekat dengan kehidupan anak yang terlibat dalam masalah tersebut (Ein, 2007). Kesulitan penyesuaian diri orang tua terhadap anak dengan sindrom down dimulai dari sejak kelahiran dan terus berlanjut ketika orang tua harus membesarkan anak. Anak dengan sindrom down bukan berarti

tidak akan dewasa, namun dewasa dengan keadaan retardasi mental. (Alem, 2002). Berbeda dengan anak normal lainnya yang mampu mengembangkan kemampuan hidup dan beradaptasi untuk menjadi anak yang mandiri dan mampu memperhatikan kebutuhan mereka sendiri, anak dengan sindrom down memiliki ketergantungan dengan orang tuanya dan hal ini menjadi alasan bagi beberapa orang tua yang memiliki calon anak atau janin yang diindikasikan sindrom down untuk melakukan terminasi terhadap anak tersebut (Bristow, 2008)

2.3. Terminasi pada Kehamilan dengan Sindrom Down Kehamilan yang tidak diinginkan pada zaman modern saat ini dapat dilakukan terminasi apabila memenuhi syarat-syarat yang diberlakukan di Indonesia. Namun, walaupun terdapat beberapa kondisi yang memperbolehkan suatu tindakan aborsi, di Indonesia aborsi dipandang sebagai tindakan yang membunuh atau menghilangkan nyawa. Pasangan suami istri yang memiliki calon anak (janin) yang diindikasikan memiliki kelaninan genetik seperti sindrom down tidak memiliki kesematan atau kewenangan untuk melakukan tindakan aborsi karena terdapat aspek-aspek yang berpengaruh dan berhubungan terhadap tindakan tersebut seperti undang-undang kesehatan, peraturan perundang-undangan tentang aborsi, sumpah dokter, kode etik kedokteran hingga aspek agama.

2.1.1. Hubungan Aborsi dengan Nilai Agama Aborsi dalam Teologi Hinduisme tergolong pada perbuatan yang disebut Himsa karma yakni salah satu perbuatan dosa yang disejajarkan dengan membunuh, meyakiti, dan menyiksa. Oleh karena itulah perbuatan aborsi disetarakan dengan menghilangkan nyawa, maka aborsi dalam Agama Hindu tidak dikenal dan tidak dibenarkan. Majelis Ulama Indonesia memfatwakan bahwa aborsi haram hukumnya sejak terjadinya implantasi blastosis pada dinding rahim ibu (nidasi) dan dibolehkan karena adanya uzur, baik yang bersifat darurat ataupun hajat. Keadaan darurat yang

berkaitan dengan kehamilan yang memperbolehkan aborsi antara lain (Dwija, 2008): 1) Perempuan hamil menderita sakit fisik berat seperti kanker stadium lanjut, TBC dengan cavern dan penyakit-penyakit fisik berat lainnya yang harus ditetapkan oleh tim dokter. 2) Dalam keadaan ketika kehamilan mengancam nyawa ibu. Keadaan hajat yang berkaitan dengan kehamilan yang dapat memperbolehkan aborsi adalah : a. Janin yang dikandung dideteksi menderita cacat genetik yang jika lahir kelak sulit disembuhkan. b. Kehamilan akibat perkosaan yang ditetapkan oleh tim yang berwenang yang di dalamnya terdapat antara lain keluarga korban, dokter, dan ulama. c. Aborsi diperbolehkan sebagaimana dimaksud dalam poin 2) harus dilakukan sebelum janin berusia 40 hari.

2.1.2. Hubungan Aborsi dengan Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia Ditinjau dari segi hukum khususnya undang-undang kesehatan no 36 tahun 2009, terdapat beberapa aturan yang menyatakan tentang aborsi. Pada pasal 75 ayat (1) menyatakan bahwa setiap orang dilarang melakukan tindakan aborsi. Pada ayat (2) diperjelas bahwa terdapat pengecualian untuk melakukan aborsi dalam beberapa keadaan. Pasal 75 ayat (2) berbunyi (Kemenkes, 2009): a) Indikasi kedaruratan medis yang di deteksi sejak usia kehamilan, baik yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan; atau b) Kehamilan akibat perkosaan yang dapa menyebabkan trauma psikologis bagi korbanperkosaan

Syarat-syarat dalam melakukan aborsi dijelaskan dai dalam pasal 76 dengan penjabaran sebagai berikut : a) Sebelum kehamilan berumur 6 (enam) minggu dihitung dari hari pertama haid terakhir, kecuali dalam hal kedaruratan medis b) Oleh tenaga kesehatan yang memiliki keterampilan dan kewenangan yang memiliki sertifikat yang ditetapkan oleh menteri; c) Dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan; d) Dengan izin suami, kecuali korban perkosaan; dan e) Penyedia layanan kesehatan yang memenuhi syarat yang ditetapkan oleh Menteri.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menjelaskan aturan tentang tindakan aborsi yang dijabarkan sebagai berikut (KUHP, 1981): 1. Pasal 299 Ayat (1) Barangsiapa dengan sengaja mengobati seorang wanita atau menyuruh supaya diobati, dengan memberitahukan atau menimbulkan harapan bahwa dengan pengobatan itu kandungannya dapat

digugurkan, diancam pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak empat puluh lima ribu rupiah 2. Pasal 348 1) Barangsiapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita dengan persetujuan wanita itu, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan 2) Bila perbuatan itu mengakibatkan wanita itu meninggal, ia diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun

Berdasarkan penjabaran pasal-pasal pada KUHP menjelaskan bahwa aborsi dilarang walaupun terdapat persetujuan atau hak otonomi dari wanita yang mengandung anak tersebut.

2.1.3. Hubungan Aborsi dengan Sumpah Kedokteran Pada poin 1 yang terdapat dalam Sumpah Dokter Indonesia berbunyi: Saya akan membaktikan hidup saya guna kepentingan perikemanusian Dari sumpah tersebut apabila seorang dokter menyetujui dan membantu suatu proses aborsi maka dokter tersebut tidak menjunjung tinggi sumpah yang telah diucapkan dan tidak mencerminkan tindakan yang

berprikemanusiaan. Pada poin 6 yang ada dalam Sumpah Dokter Indonesia berbunyi: Saya akan menghormati setiap hidup insani mulai dari saat pembuahan Walaupun suatu janin memiliki indikasi memiliki kelainan genetik seperti sindrom down, sebagai seorang dokter harus tetap menghormati dan menilai bahwa janin tersebut merupakan makhluk insani. Tindak aborsi bertentangan dengan sumpah dokter karena tidak menghargai janin sebagai insani yang memiliki hak untuk hidup.

2.1.4. Hubungan Aborsi dengan Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI) Pasal 7d KODEKI yang berbunyi (MKEK, 2004): Setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindngi hidup mahluk insani, menegaskan bahwa setiap dokter

berkewajiban untuk melindungi hidup mahluk insani. Tindak aborsi bertentangan dengan tindakan untuk melindungi setiap insani. Dari berbagai segi Hukum, KODEKI, dan Sumpah Dokter Indonesia, pelaksanaan tindak aborsi tidak dibenarkan oleh seorang dokter termasuk dalam menyetujui dan melakukan suatu proses aborsi seseorang tanpa adanya suatu keadaan khusus. Hal tersebut disebabkan oleh adanya peraturan perundang-undangan dan aspek agama yang mengatur tindakan aborsi.

10

BAB III PENUTUP

3.1 Simpulan 1. Sindrom down merupakan suatu penyakit kelainan genetik yang terjadi akibat trisomi kromosom 21. 2. Setiap makhluk insani memiliki hak untuk hidup, bahkan anak dengan sindrom down sekalipun. 3. Tindakan aborsi tidak dapat dibenarkan baik dari segi hukum, Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI, Sumpah Dokter Indonesia, dan aspek agama).

3.2 Saran 1. Setiap dokter hendaknya selalu memegang teguh sumpah dokter yang telah diucapkan sehingga tetap berada pada kaidah-kaidah, moral, budi pekerti, dan etika yang berlaku. 2. Sebelum melakukan tindakan aborsi sebaiknya didasarkan atas indikasi medis yang jelas oleh tenaga medis yang kompeten di bidangnya. 3. Perlunya batasan dalam undang-undang yang lebih jelas mengenai legalitas dan pro-kontra terhadap hukum aborsi di Indonesia.

11

REFERENSI

Alem, Sri. 2002. Penataan Lingkungan Sosial bagi Penderita Dimensia (Pikun) dan RTA (Retardasi Mental). Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatra Utara Andriaansz, George. 2008. Asuhan Antenatal. Jaringan Nasional Pelatihan Klinik Kesehatan Reproduksi Bristow, Jennie. 2008. Prenatal Testing and Abortion for Fetal Abnormality : Technical Advances and Political Prejudices. Buckley, Sue., Bird, Gillian. 2002. Meeting The Educational Needs of Children With Down Syndrome : Key to Successfulinclusion Darmawan, A., Bolang, D., Laisondong, M., Anafiah, Y. 2012. Anak Dengan Down Syndrom. Fakultas Psikologi Universitas Esa Unggul. Dwija, Bhagawan. 2008. Aborsi Dalam Theology Hinduisme. Situs : http://singaraja.wordpress.com/2008/02/04/mengenal-agama-hindu-edisi-4/ Diakses : 20 Maret 2013 Ein, Hurul. 2007. Kesehatan Mental Pada Orang Tua Yang Memiliki Anak Retardasi Mental. Universitas Gunadarma Emory. 2008. About Amniocentesis. Department of Human Genetics Division of Medical Genetics Emory University School of Medicine Giubilini. Alberto., Minerva, Francesca. 2012. After-birth abortion: why should the baby live?. University of Melbourne Australia Kemenkes (Kementrian Kesehatan Republik Indonesia). 2009. Undang-Undang republic Indonesaia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan. Pusat Komunikasi Publik.

KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana). Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981. MKEK (Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Indonesia). 2004. Kode Etik Kedokteran Indonesia dan Pedoman Pelaksanaan Kode Etik Kedokteran Indonesia . Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Sadler, T.W. 2006. Langman : Embriologi Kedokteran Edisi 10. EGC. Salmiah, Siti. 2010. Retardasi Mental. Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatra Utara. Soetjiningsih. 1995. Tumbuh Kembang Anak. EGC. WHO : Genes and Humand Disease Down Syndrome Situs : www.who.int/genomics/public/geneticdisease/en/index1.html Diakses : 20 Maret 2013

You might also like