You are on page 1of 5

SEJARAH AGAMA BUDDHA Agama Buddha berasal dari India bagian utara diajarkan oleh Buddha Sakyamuni.

Beliau juga dikenal dengan sebutan Buddha Gautama, Bhagava, Tathagata, Sugata, dan sebagainya. Pada masa kecil, Beliau adalah seorang pangeran, bernama Siddharta. Pangeran Siddharta dilahirkan pada tahun 623 sebelum Masehi, jadi sekitar 2600 tahun yang lalu.

Di India dinegara Shakya di India Utara bernama kerajaan Kapilavastu, terletak di utara sungai Rapti (sungai rohini), di daerah dekat pegunungan Hilamaya, diperintah oleh seorang Raja bernama Suddhodana dengan permaisurinya Ratu Maya Dewi (Dewi Mahamaya). Setelah duapuluh tahun perkawinan, mereka belum juga dikaruniai seorang Putra. Pada suatu malam, Ratu Maya Dewi bermimpi aneh sekali. Dalam mimpi itu, Ratu Maya Dewi melihat seekor gajah putih turun dari langit memiliki enam gading dan sekuntum bunga teratai di mulutnya memasuki rahim Ratu Maya Dewi melalui tubuhnya sebelah kanan. Sejak mimpi itu Ratu Maya mengandung, Dia mengandung seorang bodhisattva dalam kandungannya selama sepuluh bulan. Selama ia mengandung bodhisattva banyak kejadian ajaib terjadi. Misalnya, di mana saja ia pergi di Kapilavastu didampingi suaminya, Raja Suddhodana, Singa duduk dengan jinaknya di depan gerbang-gerbang, gajah-gajah menghormati raja, burungburung diangkasa sangat bersuka cita mengiringi mereka. Ratu Maya dewi mendadak dapat mengobati orang sakit, banyak sekali orang sakit yang dapat diobati hingga sembuh. Dia sangat dermawan. Para dewa tidak menampakkan diri mendampingi permaisuri kemana dia pergi. Untuk tidak mengecewakan para dewa, Sang Bodhisattva membuat supaya Ratu Maya Dewi terlihat bersamaan di semua surga. Bila waktu malam, dia, memasuki ruang kamar tidurnya, tiga kamarnya mendapat pantulan cahaya dari tubuh permaisuri secara merata. Dan masih banyak lagi kejadian yang menakjubkan semua perbuatannya penuh welas asih. Ketika waktunya telah tiba untuk melahirkan, Ratu Maya pergi ke Taman Lumbini dengan para dayangnya. Ratu juga meminta suaminya, Raja Suddhodana, ikut. Sudah tentu dipenuhi dengan segala senang hati. Juga para dewa yang tidak menampakkan diri ikut mendampinginya. Di saat bulan purnama sidhi (menurut aliran Utara atau Mahayana, beliau lahir tanggal 8 bulan 4, lunar tahun 566 S.M.; menurut aliran Selatan atau Hinayana, tanggal 6 May, tahun 623 S.M.), di Taman Lumbini ini (dekat perbatasan India-Nepal), Ratu Maya melahirkan seorang bodhisattva tanpa kesulitan dan para dayang yang mendampingi Ratu, menyaksikan dengan penuh kesenangan. Begitu pula Raja Suddhodana dan para dewa dan dewi yang mendampingi ratu. Saat ia dilahirkan, bumi menjadi terang benderang, seberkas sinar sangat terang mengelilingi bodhisattva yang baru lahir itu. Sesaat ia dilahirkan, bodhisattva berjalan tujuh langkah dengan jari telunjuk tangan kanan

menunjuk ke langit, dan jari telunjuk tangan kiri menunjuk ke bumi, yang artinya Akulah teragung, pemimpin alam semesta, guru para dewa dan manusia. Para dewa yang mendampingi menjatuhkan bunga dan air suci untuk memandikannya. Pada saat ia akan menapakkan kakinya ke bumi, timbullah seketika itu tujuh kuntum bunga padma yang besar dibawah setiap langkahnya. Setiap ia melangkah ia menghadap ke sepuluh penjuru. Juga bersamaan waktu lahirnya, tumbuhlah pohon Bodhi. Hidup dalam keluarga istana, sang pangeran bergelimangan dengan kesenangan-kesenangan duniawi. Kehidupan dalam kebahagiaan duniawi sangat didambakan banyak orang. Kekayaan yang berlimpah, kekuasaan yang tinggi, istri yang cantik, dan segala kemewahan duniawi lainnya. Kehidupan yang serba berlebihan di mana segala keinginan dapat terpenuhi ternyata tidak membuat sang pangeran berbahagia. Setelah sekian lama menikmati kehidupan duniawi yang menyenangkan dalam istana, suatu perjalanan keluar istana yang untuk pertama kalinya dilakukan dalam masa hidupnya segera merubah seluruh jalan hidupnya. Suatu ketika ia keluar istana dan melihat kejadian yang belum pernah dilihatnya di dalam istana Seperti : Orang tua , Orang Sakit , Orang Mati , dan Pertapa . Demikianlah batinnya diliputi dengan segala pergolakan yang akhirnya puncak pergolakan pada usia 29 tahun di mana Beliau memutuskan untuk menjalani kehidupan suci, seperti halnya kejadian keempat yang telah dilihatnya: seorang pertapa suci yang sedang tenang bermeditasi. Beliau memutuskan untuk mengikuti jejaknya dalam menemukan jawaban atas semua hal yang menyebabkan penderitaan manusia. Beliau bertekad untuk menemukan obat penderitaan yang dapat membebaskan manusia dari penderitaan karena usia tua, sakit dan mati. Masa ini disebut sebagai Masa Pelepasan Agung. Pangeran Siddharta telah membuktikan bahwa kebahagiaan yang diperoleh dari kehidupan duniawi bukanlah kebahagiaan yang abadi. Kebahagiaan duniawi bersifat sementara. Setelah kebahagiaan lenyap, muncullah penderitaan. Demikianlah dalam hidup ini, suka dan duka datang silih berganti. Beliau yakin adanya suatu kebahagiaan yang bersifat abadi. Dalam usaha pencarian, Beliau mengembara dan berturut-turut berguru kepada beberapa orang guru meditasi. Pertapa Gautama, demikianlah kemudian Beliau dikenal, mempelajari berbagai ilmu meditasi. Dengan cepat, Beliau menyamai kepandaian gurunya. Demikianlah, Beliau berpindah dari satu guru ke guru lainnya dan dengan segera pula segala ilmu dari gurunya dapat dikuasainya. Namun, usaha Beliau menemukan obat penderitaan tetap belum berhasil. Dalam meditasi, Beliau berhasil menemukan adanya suatu bentuk kebahagiaan yang melebihi kebahagiaan duniawi. Kebahagiaan dalam meditasi ini adalah kebahagiaan spiritual. Kebahagiaan spiritual berbentuk lebih halus. Tetapi, Beliau menyadari bahwa kebahagiaan ini belumlah sempurna, masih bersifat sementara.

Akhirnya, Beliau mencoba menemukan sendiri Jalan Pembebasan tersebut, yang membebaskan manusia dari penderitaan. Beliau mulai mempraktekkan pertapaan dengan menyiksa diri. Setelah bertahun-tahun bertapa menyiksa diri membuat tubuh Beliau kurus kering. Hampir saja Beliau mati karena tubuhnya yang tinggal kulit pembalut tulang. Namun, Jalan Pembebasan tidak juga diperolehnya. Jawaban atas semua penderitaan tetap tidak didapatkannya. Hingga pada suatu saat, Beliau disadari oleh serombongan pemain kecapi yang sedang lewat sambil berbincang-bincang menasehati yang lain: "Jika tali senar ini dikencangkan, suaranya akan semakin tinggi. Jika terus dikencangkan, senarnya akan putus dan lenyaplah suaranya. Jika tali senar ini dikendorkan, suaranya akan melemah. Jika terus dikendorkan, lenyaplah suaranya." Pertapa Gautama akhirnya memutuskan untuk bangkit dari meditasinya. Beliau ingin mengakhiri cara bertapa menyiksa diri dan bergegas untuk mandi membersihkan tubuhnya. Namun, begitu Beliau bangkit, tubuhnya yang sedemikian lemahnya tak kuat menopang dirinya, yang membuatnya segera terjatuh pingsan. Saat itu, seorang pemuda gembala bernama Nanda sedang lewat dan segera menolongnya. Ia memberikannya semangkuk air tajin. Ketika Beliau sadar dari pingsannya, Beliau segera mencicipi air tajin tersebut, dan akhirnya secara perlahan kesehatannya pulih kembali. Pertapa Gautama pun akhirnya meninggalkan kehidupan menyiksa diri. Beliau telah membuktikan bahwa kehidupan menyiksa diri tidak akan membawa seseorang kepada kebahagiaan abadi, Jalan Pembebasan, Pencerahan Sempurna. Beliau kemudian memutuskan untuk bermeditasi di bawah pohon Bodhi sambil mengumandangkan kebulatan tekadnya dengan berprasetya: "Meskipun darahku mengering, dagingku membusuk, tulang belulangku jatuh berserakan, tetapi Aku tidak akan meninggalkan tempat ini sampai Aku mencapai Pencerahan Sempurna." Dikisahkan bahwa di dalam meditasinya, pertapa Gautama dihantui perasaan-perasaan bimbang dan ragu. Pikiran-pikiran seperti keinginan nafsu, keinginan jahat, ketakutan, keragu-raguan dan kemalasan mencoba menggagalkan usahanya dalam meraih Pengetahuan mengenai Pembebasan. Hampir saja Beliau dikalahkan oleh Mara, penggoda yang dahsyat itu. Namun dengan keteguhan hati Beliau yang membaja, akhirnya membuat-Nya berhasil menaklukkan Sang Mara. Pertapa Gotama telah mencapai Pencerahan Sempurna. Beliau telah menjadi Buddha. Peristiwa penting ini terjadi pada saat malam terang purnama di bulan Waisak ketika Beliau berusia 35 tahun. Sang Buddha pertama kali mengajarkan dhamma kepada lima orang pertapa di taman rusa Isipatana, Sarnath. Beliau membimbing mereka menuju Arahat. Arahat adalah gelar bagi mereka yang telah melatih diri dan berhasil mencapai tingkat kesucian tertinggi yang dapat dicapai manusia. Seorang Arahat telah terbebas dari kekotoran batin duniawi. Mereka telah bersih dari keserakahan, keinginan yang disebabkan keakuan, kebencian, dan ketidaktahuan akan Jalan Pembebasan.

Dengan sifat-sifat tanpa cela yang dimilikinya, seorang Arahat adalah pelestari dhamma terbaik untuk meneruskan dhamma Sang Buddha di kemudian hari. Setelah 45 Tahun berlalu Sang Buddha wafat / Parinibbana pada usia 80 tahun , peristiwa ini dikenal dengan nama Parinibbana Sutta Setelah Sang Buddha Parinibbana, para Arahat kemudian berkumpul untuk menghimpun ajaranajaran Beliau yang telah disampaikan kepada banyak orang yang berbeda, di waktu dan tempat yang berlainan. Akhirnya, terhimpunlah Kitab Suci Agama Buddha. Kitab suci berbahasa Pali dinamakan Tipitaka sedangkan kitab suci berbahasa Sansekerta dinamakan Tripitaka. Tipitaka atau Tripitaka berarti tiga keranjang. Nama ini digunakan karena kitab-kitab suci yang tersusun berhasil terkumpul sebanyak tiga keranjang. Secara kuantitas, kitab suci agama Buddha adalah kitab suci yang paling tebal di antara semua kitab suci yang ada di dunia. Secara keseluruhan, ajaran-ajaran Sang Buddha dan para siswa-Nya yang telah Arahat, jika telah dibukukan diperkirakan memiliki ketebalan berkisar antara puluhan hingga puluhan ribu kali lipat lebih tebal dari Kitab Injil yang telah dikenal umum.
Tripiaka (bahasa Pali: Tipiaka , bahasa Sansekerta: Tripiaka) merupakan istilah yang digunakan oleh berbagai sekte Buddhis untuk menggambarkan berbagai naskah kanon mereka.. Sesuai dengan makna istilah tersebut, Tripiaka pada mulanya mengandung tiga "keranjang" akan berbagai pengajaran: Stra Piaka (Sanskrit; Pali: Sutta Pitaka), Vinaya Piaka (Sanskrit & Pali) dan Abhidharma Piaka (Sanskrit; Pali: Abhidhamma Piaka). Inti Ajaran agama Buddha ada 4 : 1. Dukha Satya : Hidup merupakan penderitaan 2. Samudaya Satya : Penderitaan Karena Manusia Memilik Nafsu dan Keinginan 3. Nirodha Satya : Penderitaan Dapat Dihilangkan dan Semua orang dapat mencapai Nirvana dengan membuang nafsu keinginan 4. Marga Satya : Jalan Melenyapkan penderitaan sehingga dapat masuk Nirvana melalui 8 Jalan Utama

Hari Raya Agama Buddha :

1. Waisak 2. Kathina 3. Asadha 4. Maga Puja

You might also like