You are on page 1of 10

TUGAS

PATOLOGI Makalah Penyakit Botulisme

OLEH :

OKKY YACUB POAPA F1D2 11 070

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS HALU OLEO KENDARI 2013

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Botulisme sangat jarang terjadi namun penyakit ini tergolong gawat dan sangat darurat, terbukti dengan cukup tingginya disebabkan oleh penyakit ini, sekitar 50 70%. (4). Diagnosa dini dan tindakan preventif sangat dibutuhkan untuk angka kematian yang

menghindari infeksi botulisme, pengetahuan yang kurang akan botulisme malah akan memicu meningkatnya insiden penyakit ini. Pengobatan dan perawatan

yang intensif sangat dibutuhkan bagi penderita botulisme dalam mempertahankan hidupnya. 1.2. Rumusan Masalah Dari tulisan pada latar belakang membuat pembaca bertanya apa itu botulisme? Bagaimana cara pengobatannya? Dan yang sering ditanyakan adalah tentang mencoba kegawat daruratan penyakit ini. Dalam pembahasan berikut penulis menguraikan pertanyaan-pertanyaan tersebut.

BAB II PEMBAHASAN 2.1. Definisi Botulisme Toksin botulisme merupakan intoksikasi, seperti halnya dengan tetanus.

diproduksi

oleh Closytrodium serius.

botulinum. Botulisme penyakit paralisis

adalah penyakit langka tapi gawat yang disebabkan

sangat

Merupakan

oleh racun (toksin) yang menyerang saraf yang

diproduksi bakteri Clostridium Botulinum. Clostridium botulinum berkembang biak melalui pembentukan spora dan produksi toksin. Toksin tersebut dapat dihancurkan oleh suhu yang tinggi, karena itu botulisme sangat jarang sekali dijumpai di lingkungan atau masyarakat yang mempunyai kebiasaan memasak atau merebus sampai matang.

Ada 3 jenis utama botulisme 1.Foodborne Botulisme Disebabkan karena makanan yang mengandung toksin botulisme. 2.Wound Botulisme Disebabkan Botulinum. toksin dari luka yang terinfeksi oleh Clostridum

3.Infant Botulisme Disebabkan karena spora dari bakteri botulinum, yang kemudian berkembang dalam usus dan melepaskan toksin. (3)

Semua bentuk botulisme dapat fatal dan merupakan keadaan

darurat.

Foodborne botulisme mungkin merupakan jenis botulisme yang paling berbahaya karena banyak orang dapat tertular dengan mengkonsumsi tercemar. makanan yang

2.2. Insiden Di USA dilaporkan sekitar 110 kasus terjadi tiap tahunnya. Dan sekitar 25% nya foodborne botulisme, 72% infant botulisme dan sisanya adalah

wound botulisme. Foodborne botulisme biasanya karena mengkonsumsi makanan kaleng. Wound botulisme meningkat karena penggunaan heroin terutama di california. (3) 2.3. Etiologi Etiologi dari botulisme adalah Clostridium botulinum. Clostridium

botulinum merupakan kuman anaerob, gram positif, mempunyai spora yang tahan panas, dapat membentuk gas, serta menimbulkan rasa dan bau pada

makanan yang terkontaminasi. (8) 2.4. Patofisiologi Clostridium Botulinum berbiak melalui pembentukan spora dan produksi toksin. Racun botulisme diserap di dalam lambung, duodenum dan bagian pertama jejunum. Setelah diedarkan oleh aliran darah sistemik, maka racun tersebut melakukan blokade terhadap penghantaran serabut saraf kolinergik tanpa itu, pelepasan asetilkolin

mengganggu saraf adrenegik. Karena blokade

terhalang. Efek ini berbeda dengan efek kurare yang menghalang-halangi efek asetil kolin terhadap serabut otot lurik. Maka dari itu efek racun botulisme menyerupai khasiat atropin, sehingga manifetasi klinisnya terdiri dari kelumpuhan flacid yang menyeluruh dengan pupil yang lebar (tidak bereaksi terhadapt cahaya), lidah kering, takikardi dan perut yang mengembung. Kemudian otot penelan dan okular ikut terkena juga, sehingga kesukaran untuk menelan dan diplopia menjadi keluhan penderita. Akhirnya otot pernafasan dan

penghantaran

impuls jantung sangat terganggu, hingga penderita meninggal

karena apnoe dan cardiac arrest.

2.5 Diagnosa Kecurigaan akan botulisme sudah harus dipikirkan dari riwayat pasien dan pemeriksaan klinik. Bagaimanapun, baik anamnesa dan pemeriksaan fisik tidak cukup untuk menegakkan diagnosa karena penyakit lain yang merupakan diagnosa banding, seperti Guillain-Barre Syndrome, stroke dan myastenia gravis memberikan gambaran yang serupa. Dari diplopia, anamnesa didapatkan gejala klasik dari botulisme berupa menelan. Dari

penglihatan

kabur,

mulut kering,

kesulitan

pemeriksaan

fisik didapatkan kelemahan otot. Jika sudah lama, keluhan

bertambah dengan paralise lengan, tungkai sampai kesulitan nafas karena kelemahan otot-otot pernafasan. Pemeriksaan tambahan yang sangat menolong untuk menegakkan diagnosa botulisme adalah CT-Scan, pemeriksaan serebro spinalis, nerve conduction test seperti electromyography atau EMG, dan tensilon test untuk myastenia gravis. Diagnosa dapat ditegakkan dengan ditemukannya toksin botulisme di serum pasien juga dalam urin. Bakteri juga dapat diisolasi dari feses penderita dengan foodborne atau infant botulisme. (3,4,5) 2.6 Komplikasi Botulisme dapat menyebabkan kematian karena kegagalan nafas.

Dalam 50 tahun terakhir, banyak pasien dengan botulisme yang meninggal menurun dari 50% menjadi 8%. membutuhkan alat bantu Pasien dengan botulisme yang parah dan

pernafasan

sebagai

bentuk

pengobatan

perawatan yang intensif selama beberapa bulan. Pasien yang selamat dari racun botulisme dapat menjadi lemah dan nafas yang pendek selama beberapa tahun dan terapi jangka panjang dibutuhkan untuk proses pemulihan (2, 3) 2.7 Diagnosa Banding 1.Sindroma Guillain-Barre Sebelum kelumpuhan timbul terdapat anamnesa yang khas yaitu infeksi traktus respiratorius bagian atas. Di antara masa infeksi tersebut

sampai timbulnya kelumpuhan terdapat masa bebas gejala penyakit yang berkisar antara beberapa hari sampai 34 minggu. Kelumpuhan timbul pada keempat anggota gerak, pada umumnya bermula di bagian distal tungkai kemudian menjalar ke proksimal ke lengan, gangguan leher bahkan wajah serta otot penelan. Pada tahap permulaan miksi dan defekasi dapat menjadi ciri penyakit tersebut.

Kelumpuhan ini bersifat flacid dan bilateral simetris. Bila radiks dorsalis terserang terdapat parestesia pada daerah lesi, sering pada tangan dan kaki (gloves and stocking). Pemeriksaan cairan serebrospinalis terdapat kadar protein yang tinggi yaitu 1000mg/100ml (normal 15-45mg/ml) sedangkan jumlah sel (limfosit dan sel mononuclear) 3/mm dan tidak melebihi 5/mm. Keadaan ini dikenal dengan sebutan dissociation cytoalbuminigue yang merupakan ciri khas sindroma ini. Terjadi asidosis respiratorik bila otot-otot pernafasan terkena. Merupakan keadaan gawat darurat yang dapat menimbulkan koma bahkan membawa kematian. biasanya dalam keadaan normal 0-

2.Miastenia gravis Kelainan mulai dari otot-otot kelopak mata, otot pengunyah parese palatum mole/arkus faringeus/uvula/otot-otot faring dan lidah

(tahap awal). Pada tahap lanjut otot-otot leher dapat terkena sehingga kepala harus ditegakkan dengan tangan. Kemudian menyusul otot anggota gerak dan interkostal. Gejala yang khas yaitu pada pagi hari pasien merasa tidak terdapat gangguan, makin siang kelainan mulai dari kelopak mata yang setengah menutup (ptosis) dan badan terasa lemah. Bicara mulai parau, kesukaran menelan, merupakan keluhan bila sudah lama. (7)

2.8 Penatalaksanaan Para penderita botulisme dapat mengalami kesulitan bernafas (pada stadium lanjut) karena itu membutuhkan alat bantuan nafas atau ventilator selama berminggu-minggu (biasanya 4 minggu) atau sampai efek toksin habis, minggu,

ditambah perawatan dan pengobatan yang intensif. Setelah beberapa

paralisis secara bertahap muncul dan semakin jelas. Jika diagnosa bisa ditegakkan secara awal, foodborne dan wound botulisme dapat diobati dengan anti toksin yang dapat memblok aksi toksin dalam peredaran darah. Hal ini dapat

membantu agar keadaan pasien tidak memburuk, tapi proses pemulihan masih membutuhkan waktu selama berminggu-minggu. Mungkin diperlukan enema atau memancing agar penderita muntah untuk mengeluarkan makanan yang

mengandung toksin yang masih ada di dalam usus. Luka harus segera diobati, biasanya dengan operasi, untuk menyingkirkan sumber produksi dari toksin botulisme. Penggunaan anti toksin tidak untuk mengobati infant botulisme perlu dipikirkan lagi, sedangkan antibiotika tidak dibutuhkan, kecuali pada wound botulisme. 2.9 Prognosa Sementara, prognosis dari botulisme bervariasi, tergantung dari jenis botulisme yang menginfeksi dan kecepatan diagnosis dan pemberian obat. Makin awal diagnosis dapat ditegakkan atau makin cepat penderita berobat, makin baik prognosisnya.

BAB III PENUTUP

Kesimpulan Dari uraian diatas, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : 1.Botulisme adalah penyakit paralisis gawat yang disebabkan oleh racun (toksin) yang menyerang saraf yang

diproduksi bakteri Clostridium Botulinum. 2.Ada 3 jenis botulisme, yaitu : a.Foodborne botulisme b.Wound botulisme c.Infant botulisme 3. Gejala dari botulisme adalah diplopia, penglihatan kabur, mulut kering, kesulitan menelan, kelumpuhan flacid yang menyeluruh dengan pupil yang lebar (tidak perut yang bereaksi terhadap cahaya), lidah kering, takikardi dan mengembung. Otot pernafasan dan penghantaran impuls

jantung sangat terganggu, hingga penderita meninggal karena apnoe dan cardiac arrest. 4. Diagnosa fisik dari botulisme dibuat berdasarkan anamnesa, pemeriksaan berupa test CT-Scan, pemeriksaan

dan pemeriksaan tambahan nerve conduction

serebro spinalis,

seperti electromyography

atau EMG, dan tensilon test untuk myastenia gravis. 5.Pengobatan dan perawatan botulisme antara lain: Anti toksin pada diagnosa dini. Perawatan luka untuk Wound Botulisme.

Antibiotika untuk Wound Botulisme. Enema atau untuk memancing penderita muntah pada foodborne botulisme. Ventilator sebagai alat bantu napas pasien pada stadium lanjut.

DAFTAR PUSTAKA

1.http://www.who/nt/mediacentre/factsheets/who270/en 2.http://www.cdc.gov/ncidod/dbrnd/diseaseinfo/botulism9.htm 3.http://www.en.wikipdia.org/wiki/botulism 4.http://www.nhdirect.nhs.uk/he.asp?articleid=57&linkid =2343 5.Sidharta P, Neurologi klinis dasar, Dian Rakyat Jakarta, 1999,hal 160;168-170;183 6.Sidharta P, Mardjono M, Neurologi klinis dasar, Dian Rakyat Jakarta, 2003, hal 42-43 7.Harsono (Ed.), Kapita Selekta Neurologi, Gajah Mada University press, edisi 2, oktober 2003, hal 189;192;224 8. Chusip, J.G, Neuroanatomi Korelatif dan Neurologi Fungsional Bag.2, Gajah Mada University press, 1990, hal 589

10

You might also like