You are on page 1of 65

SMF/Lab Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman

Tutorial Kasus

Demam Berdarah Dengue (Dengue Haemorrage Fever)

Disusun Oleh : Evyarosna Sinaga Dessy Vinoricka Andriyana Ratna Noor Mariati 0708015053 0808015022 0808015006

Pembimbing dr. Fatchul Wahab, Sp. A

Dibawakan Dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik Pada SMF/Lab Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman 2013
1

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Demam berdarah dengue (DBD) merupakan suatu penyakit demam akut yang disebabkan oleh virus genus Flavivirus, family Flaviviridae,mempunyai 4 jenis serotype yaitu den-1, den-2, den-3 dan den-4, melalui perantara nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus. Kedua jenis nyamuk ini terdapat hampir di seluruh pelosok Indonesia, kecuali di tempat-tempat ketinggian lebih dari 1000 meter di atas permukaan air laut. Keempat serotipe dengue terdapat di Indonesia, den-3 merupakan serotipe dominan dan banyak berhubungan dengan kasus berat, diikuti serotipe den-2. Demam berdarah dengue terjadi ketika seseorang terinfeksi jenis virus dengue yang berbeda setelah terinfeksi dengan jenis lain sebelumnya. Kekebalan terhadap jenis virus dengue yang berbeda memainkan peran penting dalam keparahan penyakit. Demam berdarah dengue memiliki potensi komplikasi kematian, pertama kali ditemukan pada tahun 1950 pada epidemi dengue di Filipina dan

Thailand. Sekitar 100 juta kasus demam dengue dan antara 250.000 dan 500.000 kasus dari demam berdarah dengue dilaporkan oleh WHO. Dengue dipercaya dapat menginfeksi 50 sampai 100 juta orang di seluruh dunia dalam satu tahun dengan 1/2 juta infeksi yang mengancam jiwa yang memerlukan rawat inap, menghasilkan sekitar 12.500 kematian. Insiden demam berdarah dengue meningkat 30 kali lipat antara tahun 1960 dan 2010. Peningkatan ini diyakini karena kombinasi urbanisasi, pertumbuhan penduduk, dan peningkatan perjalanan internasional. Di Amerika Serikat, tingkat infeksi dengue di antara mereka yang kembali dari daerah endemis dengan demam adalah 2,9-8,0%. Di Indonesia demam berdarah dengue pertama kali dicurigai di Surabaya pada tahun 1968, tetapi konfirmasi virologist baru diperoleh pada tahun 1970. Di Jakarta kasus pertama dilaporkan pada tahun 1969. Kemudian DBD berturut-turut dilaporkan di Bandung dan Yogyakarta pada tahun 1972. Epidemi pertama di luar jawa dilaporkan pada tahun 1972 di Sumatera Barat dan Lampung, disusul oleh

Riau, Sulawesi Utara dan Bali (1973). Pada tahun 1974 epidemi dilaporkan di Kalimantan Selatan dan Nusa Tenggara Barat. Pada tahun 1993 DBD telah menyebar ke seluruh propinsi di Indonesia. Kejadian luar biasa DBD terbesar terjadi pada tahun 1998, dengan Incidence Rate (IR) = 35,19 per 100.000 penduduk dan CFR = 2%. Pada tahun 1999 IR menurun tajam sebesar 10,17%, namun tahun-tahun berikutnya IR cenderung meningkat yaitu 15,99 (tahun 2000); 21,66 (tahun 2001); 19,24 (tahun 2002); dan 23,87 (tahun 2003). Sejak Januari sampai dengan 5 Maret tahun 2004 total kasus DBD di seluruh propinsi di Indonesia sudah mencapai 26.015, dengan jumlah kematian sebanyak 389 orang (CFR=1,53% ). Kasus tertinggi terdapat di Propinsi DKI Jakarta (11.534 orang) sedangkan CFR tertinggi terdapat di Propinsi NTT (3,96%). Kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kaltim periode Januari hingga akhir Pebruari 2004 di Kaltim mencapai 403 kejadian dan telah menelan korban jiwa 10 orang atau 2,48 persen. Penyakit DBD sering salah didiagnosis dengan penyakit lain seperti flu atau tipus. Hal ini disebabkan karena infeksi virus dengue yang menyebabkan DBD bisa bersifat asimtomatik atau tidak jelas gejalanya. Oleh karena itu diperlukan kejelian pemahaman tentang perjalanan penyakit infeksi virus dengue, patofisiologi, dan ketajaman pengamatan klinis. Dengan pemeriksaan klinis yang baik dan lengkap, diagnosis DBD serta pemeriksaan penunjang (laboratorium) dapat membantu terutama bila gejala klinis kurang memadai. 1.2 Tujuan Melatih mahasiswa dalam melaporkan dengan baik suatu kasus yang di dapat. Menambah ilmu dan pengetahuan mengenai penyakit yang dilaporkan. Membandingkan informasi yang terdapat pada literatur dengan kenyataan yang terdapat langsung pada kasus. Mendiagnosa dengan cepat dan menyusun rencana tatalaksana yang tepat kepada pasien.

BAB 2 LAPORAN KASUS

Identitas pasien Nama Jenis kelamin Umur Alamat Anak ke MRS : An. AF : Laki-laki : 4 bulan : Jl. Pattimura Mangkupalas : I dari I bersaudara : 11 Mei 2013

Identitas Orang Tua Nama Ibu Umur Alamat Pekerjaan : Burni : 29 tahun : Jl. Pattimura Mangkupalas : Ibu Rumah Tangga : SMP

Pendidikan Terakhir Ibu perkawinan ke : I

Riwayat kesehatan ibu : Baik

Anamnesa Keluhan Utama Demam Riwayat Penyakit Sekarang Demam sudah dialami pasien selama sejak kurang lebih 5 hari sebelum masuk rumah sakit, demam naik turun, demam dirasakan naik terutama pada malam hari, disertai mengigau dan menggigil. Mual dan muntah juga dialami sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit. Muntah terjadi jika pasien diberi makan dan minum. Muntah berisi makanan, tidak menyemprot. BAB 6 kali sehari saat satu hari sebelum masuk rumah sakit, tidak cair, tidak terdapat lendir, tanpa darah. BAK normal. Batuk dialami sejak 1 hari sebelum

masuk rumah sakit. Nafsu makan pasien menurun, namun tetap kuat minum. BAK pasien normal. Riwayat Penyakit Dahulu Empat hari sebelum masuk RS, pasien dibawa ke praktek dokter karena demam kemudian mendapatkan obat penurun panas dan antibiotik, namun keluhan belum hilang. Riwayat Penyakit Keluarga Tidak ada keluarga pasien yang mengalami keluhan serupa ataupun penyakit keganasan. Pertumbuhan dan Perkembangan Anak Berat badan lahir Panjang badan lahir Berat badan sekarang : 3000 gr : 48 cm : 11 kg

Tinggi badan sekarang : 88 cm Gigi keluar Miring Tengkurap Duduk Merangkak Berdiri Berjalan Berbicara 2 kata Makan dan Minum Anak ASI Dihentikan Susu formula/sapi Bubur nasi Makanan padat+lauk Pemeriksaan Prenatal Periksa di Penyakit kehamilan : Bidan praktek swasta : tidak ada : sejak lahir : sejak umur 1 tahun : diberikan sejak umur 1 tahun hingga sekarang : usia 6 bulan hingga sekarang : belum pernah diberikan : 1 tahun : tidak bisa : tdak bisa : tidak bisa : tidak bisa : tidak bisa : tidak bisa : tidak bisa

Obat-obat yang sering diminum : obat sakit kepala

Riwayat Kelahiran Lahir di Ditolong oleh : Rumah Sakit : Bidan

Usia dalam kandungan : 9 bulan Jenis partus Riwayat kelahiran : Spontan : Bayi tidak langsung menangis setelah lahir, tidak kuning Pemeliharaan Postnatal Periksa di Keadaan anak Keluarga Berencana Keluarga Berencana Jenis KB Riwayat Imunisasi Hanya mendapatkan imunisasi 4 kali, namun ibu pasien lupa kapan waktunya. Imunisasi Usia saat imunisasi I BCG Polio Campak DPT II //////////// III //////////// //////////// IV //////////// //////////// //////////// ////////// Booster I //////////// //////////// Booster II //////////// //////////// : Ya : Suntik 3 bulan : Puskesmas : terlihat lambat perkembangannya

Hepatitis B -

PEMERIKSAAN FISIK Dilakukan pada tanggal 13 Mei 2013 Kesan umum Kesadaran Tanda Vital - Frekuensi nadi - Tekanan darah - Frekuensi napas - Temperatur : 136 x/menit, reguler, kuat angkat : 80/60 mmHg : 34 x/menit : 39,6o C : tampak sakit sedang : Composmentis, GCS E4VxM6

Antropometri Berat badan Panjang Badan BMI Status Gizi : 11 kg : 88 cm : 14,2 : Gizi baik (kurva WHO 0 s/d -1 SD)

Kepala Rambut Mata : Warna hitam, tidak mudah dicabut, ubun-ubun cekung (-) : Konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik (-/-), pupil isokor diameter 3mm/3mm, mata cowong (-/-) Hidung Mulut : Sekret hidung (-), pernafasan cuping hidung (-) : Mukosa bibir tampak basah, sianosis (-), lidah bersih, faring hiperemis (-), pembesaran tosil (-) Leher : Kaku kuduk (-), pembesaran kelenjar getah bening (-)

Thoraks Inspeksi : Bentuk dada dan pergerakan napas simetris, retraksi (-), Iktus kordis tidak tampak Palpasi : Fremitus raba sulit dievaluasi, iktus kordis teraba di ICS V linea mid klavikula sinistra Perkusi Kanan Kiri Auskultasi Pulmo Cor : Sonor di semua lapangan paru, batas jantung normal : ICS III parasternal line dextra : ICS V midclavicula line Sinistra : : Vesikuler, Stridor (-/-), Rhonki (-/-), wheezing (-/-) : S1 S2 tunggal reguler, murmur(-), gallop(-)

Abdomen Inspeksi Palpasi : Flat : Soefl, nyeri tekan (-), hepatomegali (-), splenomegali (-), turgor kulit baik. Perkusi Auskultasi Ekstremitas : Timpani : Bising usus (+) kesan normal : Superior : Akral hangat, oedem (-/-), Rumple leed (+) Inferior : Akral hangat, oedem (-/-)

Status Neurologicus Meningeal Sign Kaku kuduk (-) Kernig sign (-) Laseque (-) Brudinzky I (-) Brudzinsky II (-) Pemeriksaan Saraf Kranialis
Pemeriksaan Saraf Kranialis Nilai Okulomotorius (III) Sela mata SDE Pergerakan mata kearah superior, medial, (+/+) inferior

Strabismus Refleks pupil terhadap sinar Troklearis (IV) Pergerakan mata torsi superior Trigeminus (V) Membuka mulut Mengunyah Menggigit Abdusens (VI) Pergerakan mata ke lateral Fasialis (VII) Menutup mata Memperlihatkan gigi Sudut bibir Vestibulokoklearis (VIII) Fungsi pendengaran (Subjektif) Vagus (X) Bicara Menelan Assesorius (XI) Memalingkan kepala Hipoglossus (XII) Pergerakan lidah

(-) (+/+) (+/+) (+) (+) (+) (+/+) SDE (+) Simetris SDE

SDE (+) SDE SDE

Anggota Gerak Atas


Anggota Gerak Atas Motorik 1. Pergerakan 2. Kekuatan Refleks fisiologis Biseps Triceps Refleks patologis Tromner Hoffman Kanan + SDE SDE SDE (-) (-) Kiri + SDE SDE SDE (-) (-)

Anggota Gerak Bawah


Anggota Gerak Bawah Motorik 1. Pergerakan 2. Kekuatan Refleks fisiologis Patella Achilles Refleks patologis Babinski Chaddock Kanan + SDE SDE SDE (-) (-) Kiri + SDE SDE SDE (-) (-)

Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan Laboratorium 11/05/13 20.00 Darah Lengkap Leukosit Hb Hct Plt 4.600 7,5 23 % 74.000 4.700 7,5 22% 59.000 6.500 8,2 25% 77.000 5.200 7,9 25% 96.000 5.700 7,9 24,3% 99.000 3.200 8,6 24,5% 39.000 3.100 9,8 31,0% 54.000 3.100 12,1 33,7% 160.000 3.200 12,0 32,9% 186.000 3.300 12,6 35,9% 228.000 4.500 12,9 37,0% 270.000 02.00 12/05/2013 09.00 15.00 24.00 13/05/13 09.00 21.00 14/05/13 09.00 21.00 15/05/13 09.00 21.00

Kimia Darah Lengkap Albumin Hbs Ag Ureum (-)negatif 20,1 2,5

Kreatinin 0,7 Elektrolit Na K Cl 134 4,5 100

10

11/05/13 Tes Widal Salmonella typhi - O Tes Serologi Dengue Ig M Dengue Ig G Hasil kultur Darah (+) 1/160

12/05/13

13/05/13

14/05/13

15/05/13

20/05/13

(+) positif (-) negatif

Tidak ada pertumbuhan bakteri

11

DIAGNOSIS Diagnosis Kerja Diagnosis Banding : Dengue Hemorragic Fever gr. III + Cerebral Palsy : Demam Typhoid

PENATALAKSANAAN: 1. Fase Syok: IFVD RL 20cc/ kgBB dalam 1 jam selang seling dengan HES 20 cc/ kgBB dalam 1 jam diulang sebanyak 3 kali dan lanjut IVFD RL 3 cc/ kgBB/ jam 33 cc/ jam 2. Paracetamol Injeksi 110 mg/ 8 jam/ IV (kalau demam) 3. Cefotaxime Injeksi 350 mg/ 8 jam/ IV 4. Puasakan sementara 5. O2 nasal kanul 2L/ menit 6. Transfusi PRC 100 cc sebanyak 2 kali

12

Follow Up Ruangan
Tanggal 11/05/13 H-1 S O Demam (+) hari ke V, BAB cair BB = 11 kg (-), muntah (-) Kesadaran = somnolen, GCS E24VxM4 TD= 80/50mmHg N= 100x/menit, kuat angkat RR= 30x/menit T=39,5oC Anemis (+/+), ikterik(-/-), bising usus kesan normal Akral hangat DL : Hb = 7,5 gr/dl Hct = 23% Leu = 4.600 Tromb = 74.000 12/05/13 Demam (+), tanda-tanda BB = 11 kg H-2 perdarahan (-) Kesadaran = somnolen, Pkl 12.10 GCS E2VxM4 TD= 80/50mmHg N= 124x/menit, kuat angkat RR= 36x/menit T=38,6oC Anemis (+/+), ikterik(-/-), bising usus kesan normal Akral dingin DL : A Obs. Febris ec. DHF gr. III + CP P IVFD RL 5cc/kgBB 15 tpm (makro) maintanance 3 cc /kgBB/24 jam Cek DL Serial per 6 jam Observasi tiap 2 jam

Obs. Febris ec. DHF gr. III + CP

Co, Sp. A : - Terapi lanjut

13

Hb = 7,5 gr/dl Hct = 23% Leu = 4.700 Tromb = 59.000 12/05/13 Demam (+) , BAB cair (-), Pasien post rehidrasi Pkl.19.20 muntah (-) Kesadaran = somnolen, GCS E2VxM4 TD= 80/50mmHg N= 118x/menit, lemah RR= 50x/menit, takipneu T=38,7oC Anemis (+/+), ikterik(-/-), bising usus kesan normal Akral dingin 12/05/13 Demam (+) Kesadaran = somnolen, Pkl.23.35 GCS E2VxM4 TD= 70/40mmHg N= 110x/menit, lemah RR= 48x/menit T=38,5oC Hb : 7,9 gr/dl Tromb : 96.000 Sa 02 : 100% 13/05/13 Demam (+) Kesadaran = somnolen, GCS E2VxM4 TD= 65/45mmHg N= 60x/menit, lemah RR= 40x/menit T=35,4C Hb : 8,6 gr/dl

Obs. Febris ec. DHF gr. III + CP

- Co Sp. A, advis : 1) Cek BGA, ada hasil langsung lapor 2) Farmadol 110 mg

Obs. Febris ec. DHF gr. III + CP

- Co Sp. A, advis : 1) Infus diganti HES 10 cc/kgBB/jam, coba dulu untuk 21 jam, bisa diulang 1 kali, selanjutnya tetesan maintanance

Obs. Febris ec. DHF gr. III + CP

- Co Sp. A, advis : 1) IVFD RL 20cc/kgBB 2) Diulang 2 kali bila masih syok 3) Cek KDL, CRP

14

14/05/13

15/05/13

Hct : 24,5 % Leukosit : 3.900 Tromb : 39.000 Ig M dengue (+) Ig G dengue (-) Demam (-), muntah (-) BB = 11 kg Keadaan umum : sakit berat Kesadaran = somnolen, GCS E2VxM4 N= 52-60x/menit, lemah RR= 46x/menit T=36,3C An (+/+), ikt (-/-), rhonki (+/+), wh (-/-) UT : 100cc/jam Hasil HDT 13 Mei 2013 Kesan : pansitopenia Advis : retikulosit, monitoring DL Demam (-), muntah (-), BAB BB : 10,9 kg cair (-) Keadaan umum : sakit berat Kesadaran = somnolen, GCS E2VxM4 N= 53-55x/menit, lemah RR= 39x/menit T=35,9C An (+/+), ikt (-/-), rhonki (+/+), wh (-/-)

Obs. Febris ec. DHF gr. III + CP

- Co Sp. A, advis : 1) IVFD HES 33cc/kgBB RL 33cc/KgBB/jam RL 3cc/kgBB/jam bila Tanda vital stabil

Obs. Febris ec. DHF gr. III + CP

- Co Sp. A, advis : 1) RL 33cc/ kgBB/ jam 2) Terapi lanjut

15

UT: 100cc/ jam kgBB/ jam

9cc/

16

BAB 3 TINJAUAN PUSTAKA

2.1

DEFINISI Demam Dengue adalah demam virus akut yang disertai sakit kepala, nyeri

otot, sendi, dan tulang, penurunan jumlah sel darah putih dan ruam-ruam. Demam berdarah dengue atau Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) adalah demam dengue yang disertai pembesaran hati dan manifestasi perdarahan (Sudoyo, 2006).. Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Dengue Haemorrhagic Fever (DHF) adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh virus Dengue Family Flaviviridae, dengan genusnya adalah Flavivirus. Virus mempunyai empat serotipe yang

dikenal dengan DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4. Selama ini secara klinik mempunyai tingkatan manifestasi yang berbeda tergantung dari serotipe virus dengue. Morbiditas penyakit DBD menyebar di negara-negara tropis dan sub tropis. Disetiap negara penyakit DBD mempunyai manifestasi klinik yang berbeda. (Sudoyo, 2006).

2.2. EPIDEMIOLOGI Di Indonesia, demam berdarah dengue (DBD) pertama kali dicurigai di Surabaya pada tahun 1968, tetapi konfirmasi virologis baru diperoleh pada tahun 1970. Di Jakarta, kasus pertama di laporkan pada tahun 1968. Sejak dilaporkannya kasus demam berdarah dengue (DBD) pada tahun 1968 terjadi kecenderungan peningkatan insiden. Sejak tahun 1994, seluruh propinsi di Indonesia telah melaporkan kasus DBD dan daerah tingkat II yang melaporkan kasus DBD juga meningkat, namun angka kematian menurun tajam dari 41,3% pada tahun 1968, menjadi 3% pada tahun 1984 dan menjadi <3% pada tahun 1991. (Soedarmo, 2012) Morbiditas dan mortalitas DBD yang dilaporkan berbagai negara bervariasi disebabkan beberapa faktor, antara lain status umur penduduk, kepadatan vektor, tingkat penyebaran virus dengue, prevalensi serotipe virus dengue dan kondisi meteorologis. Secara keseluruhan tidak terdapat perbedaan antara jenis kelamin,

17

tetapi kematian ditemukan lebih banyak terjadi pada anak perempuan daripada anak laki-laki. Pada awal terjadinya wabah di sebuah negara, pola distribusi umur memperlihatkan proporsi kasus terbanyak berasal dari golongan anak berumur <15 tahun (86-95%). Namun pada wabah selanjutnya, jumlah kasus golongan usia dewasa muda meningkat. Di Indonesia pengaruh musim terhadap DBD tidak begitu jelas, namun secara garis besar jumlah kasus meningkat antara September sampai Februari dengan mencapai puncaknya pada bulan Januari (Soedarmo, 2012)

Gambar 1.1 Negara dengan resiko transmisi dengue (WHO, 2011) Beberapa faktor resiko yang dikaitkan dengan demam dengue dan demam berdarah dengue antara lain : demografi dan perubahan sosial, suplai air, manejemen sampah padat, infrastruktur pengontrol nyamuk, consumerism, peningkatan aliran udara dan globalisasi, serta mikroevolusi virus. Indonesia berada di wilayah endemis untuk demam dengue dan demam berdarah dengue. Hal tersebut berdasarkan penelitian WHO yang menyimpulkan demam dengue dan demam berdarah dengue di Indonesia menjadi masalah kesehatan mayor, tingginya angka kematian anak, endemis yang sangat tinggi untuk keempat serotype, dan tersebar di seluruh area (WHO, 2011). Selama 5 tahun terakhir, insiden DBD meningkat setiap tahun. Insiden tertinggi pada tahun 2007 yakni 71,78 per 100.000 pddk, namun pada tahun 2008

18

menurun menjadi 59,02 per 100.000 penduduk. Walaupun angka kesakitan sudah dapat ditekan namun belum mencapai target yang diinginkan yakni <20 per 100.000 penduduk (Depkes, 2008).

Gambar 1.2 Angka kesakitan dan kematian demam berdarah dengue di Indonesia (Depkes, 2008)

2.3. ETIOLOGI Demam dengue dan demam berdarah dengue disebabkan oleh virus dengue, yang termasuk dalam group B arthropod borne virus (arbovirus) dan sekarang dikenal sebagai genus Flavivirus, famili Flaviviridae. Flavivirus merupakan virus dengan diameter 30 nm terdiri dari asam ribonukleat rantai tunggal dengan berat molekul 4x106 (Sudoyo, 2006; Soedarmo, 2012)

Gambar 1.3 Virus Dengue (Smith, 2002) Terdapat 4 serotipe virus yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4 yang semuanya dapat menyebabkan demam dengue atau demam berdarah dengue.

19

Keempat serotype ditemukan di Indonesia dengan DEN-3 merupakan serotype terbanyak. Infeksi dengan salah satu serotipe akan menimbulkan antibodi seumur hidup terhadap serotipe yang bersangkutan tetapi tidak ada perlindungnan terhadap serotipe yang lain. Seseorang yang tinggal di daerah endemis dengue dapat terinfeksi dengan 3 atau bahkan 4 serotipe selama hidupnya. Keempat jenis serotipe virus dengue dapat ditemukan di berbagai daerah di Indonesia (Sudoyo, 2006; Soedarmo, 2012). Virus Dengue dapat ditularkan oleh Nyamuk Aedes aegypti dan nyamuk Aedes albopictus. Nyamuk Aedes aegypti merupakan nyamuk yang paling sering ditemukan. Nyamuk Aedes aegypti hidup di daerah tropis, terutama hidup dan

berkembang biak di dalam rumah, yaitu tempat penampungan air jernih atau tempat penampungan air sekitar rumah. Nyamuk ini sepintas lalu tampak berlurik, berbintik bintik putih, biasanya menggigit pada siang hari, terutama pada pagi dan sore hari. Jarak terbang nyamuk ini 100 meter. Sedangkan nyamuk Aedes albopictus memiliki tempat habitat di tempat air jernih. Biasanya nyamuk ini berada di sekitar rumah dan pohon pohon, tempat menampung air hujan yang bersih, seperti pohon pisang, pandan, kaleng bekas. Nyamuk ini menggigit pada siang hari dan memiliki jarak terbang 50 meter (Rampengan, 2008)

Gambar 1.4 Distribusi nyamuk Aedes aegypti dan nyamuk Aedes albopictus (WHO, 2011) 2.4. PATOFISIOLOGI

20

Patogenesis dan patofisiologi, patogenesis DBD tidak sepenuhnya dipahami namun terdapat 2 perubahan patofisiologi yang dominan, yaitu meningkatnya permeabilitas kapiler yang mengakibatkan bocornya plasma, hipovolemia dan terjadinya syok. Pada DBD terdapat kejadian unik yaitu terjadinya kebocoran plasma kedalam rongga pleura dan rongga peritoneal. Kebocoran plasma terjadi singkat dalam 24-28 jam (Soedarmo, 2012). Beberapa kondisi yang ditemukan pada kasus DBD, sebagai berikut: a. Volume Plasma Fenomena patofisiologi utama yang menentukan derajat penyakit dan membedakan antara DD dengan DBD ialah peningkatan

permeabilitas dinding pembuluh darah, penurunan volume plasma, terjadinya hipotensi, trombositopenia, serta diatesis hemoragik.

Penyelidikan volume plasma pada kasus DBD dengan menggunakan 131 Iodine labelled human albumin sebagai indikator membuktikan bahwa plasma merembes selama perjalanan penyakit mulai dari permulaan masa demam dan mencapai puncaknya pada masa syok. Pada kasus berat, syok terjadi secara akut, nilai hematokrit meningkat bersamaan dengan menghilangnya plasma melalui endotel dinding pembuluh darah. Meningginya nilai hematokrit pada kasus syok menimbulkan dugaan bahwa syok terjadi sebagai akibat kebocoran plasma ke daerah ekstra vaskular (ruang interstisial dan rongga serosa) melalui kapiler yang

rusak. Bukti yang mendukung dugaan ini ialah meningkatnya berat badan, ditemukannya cairan yang tertimbun dalam rongga serosa yaitu rongga peritoneum, pleura, dan perikardium yang pada otopsi ternyata melebihi cairan yang diberikan melalui infus, dan terdapatnya edema (Soedarmo, 2012). Pada sebagian besar kasus, plasma yang menghilang dapat diganti secara efektif dengan memberikan plasma atau ekspander plasma. Pada masa dini dapat diberikan cairan yang mengandung elektrolit. Syok terjadi secara akut dan perbaikan klinis terjadi secara cepat dan drastis. Sedangkan pada otopsi tidak ditemukan kerusakan dinding pembuluh darah yang bersifat dekstruktif atau akibat radang, sehingga

21

menimbulkan dugaan bahwa perubahan fungsional dinding pembuluh darah agaknya disebabkan oleh mediator farmakologis yang bekerja secara cepat. Gambaran mikroskop elektron biopsi kulit pasien DBD pada masa akut memperlihatkan kerusakan sel endotel vaskular yang mirip dengan luka akibat anoksia atau luka bakar. Gambaran itu juga mirip dengan binatang yang diberi histamin atau serotonin atau dibuat keadaan trombositopenia (Soedarmo, 2012). b. Trombositopenia Trombositopenia merupakan kelainan hematologis yang

ditemukan pada sebagian besar kasus DBD. Nilai trombosit mulai menurun pada masa demam dan mencapai nilai terendah pada masa syok. Jumlah trombosit secara cepat meningkat pada masa konvalesens dan nilai normal biasanya tercapai 7-10 hari sejak permulaan sakit. Trombositopenia yang dihubungkan dengan meningkatnya megakariosit muda dalam sumsum tulang dan pendeknya masa hidup trombosit diduga akibat meningkatnya destruksi trombosit. Dugaan mekanisme lain trombositopenia ialah depresi fungsi megakariosit. Penyelidikan dengan radioisotop membuktikan bahwa penghancuran trombosit terjadi dalam sistem retikuloendotel, limpa dan hati. Penyebab peningkatan destruksi trombosit tidak diketahui, namun beberapa faktor dapat menjadi penyebab yaitu virus dengue, komponen aktif sistem komplemen, kerusakan sel endotel dan aktivasi sistem pembekuan darah secara bersamaan atau secara terpisah. Lebih lanjut fungsi trombosit pada DBD terbukti menurun mungkin disebabkan proses imunologis terbukti ditemui kompleks imun dalam peredaran darah. Trombositopenia dan gangguan fungsi trombosit dianggap sebagai penyebab utama terjadinya perdarahan pada DBD (Soedarmo, 2012). c. Sistem koagulasi dan fibrinolisis Kelainan sistem koagulasi juga berperan dalam perdarahan DBD. Masa perdarahan memanjang, masa pembekuan normal, masa

tromboplastin parsial yang teraktivasi memajang. Beberapa faktor pembekuan menurun, termasuk faktor II, V, VII, VIII, X dan fibrinogen.

22

Pada kasus DBD berat terjadi peningkatan Fibrinogen Degradation Products (FDP). Penelitian lebih lanjut faktor koagulasi membuktikan adanya penurunan aktivitas antitrombin III. Disamping itu juga dibuktikan bahwa menurunnya aktivitas faktor VII, faktor II, dan antitrombin III tidak sebanyak seperti fibrinogen da faktor VIII. Hal ini menimbulkan dugaan bahwa menurunnya kadar fibrinogen dan faktor VIII tidak hanya diakibatkan oleh konsumsi sistem koagulasi, tetapi juga oleh konsumsi sistem fibrinolisis. Kelainan fibrinolisis pada DBD dibuktikan dengan penurunan alpha 2 plasmin inhibitor dan penurunan aktivitas plasminogen. Seluruh penelitian di atas menunjukan bahwa (Soedarmo, 2012): 1. Pada DBD stadium akut telah terjadi proses koagulasi dan fibrinolisis 2. Diseminated intravaskular coagulation secara potensial dapat terjadi juga DBD tanpa syok. Pada masa dini DBD, peran DIC tidak menonjol dibandingkan dengan perubahan plasma tetapi apabila penyakit memburuk sehingga terjadi syok dan asidosis maka syok akan memperberat DIC sehingga perannya akan mencolok. Syok dan DIC saling mempengaruhi sehingga penyakit akan memasuki syok irreversible disertai perdarahan hebat, terlibatnya organ-organ vital yang biasanya diakhiri dengan kematian. 3. Perdarahan kulit pada umumnya disebabkan oleh faktor kapiler, gangguan fungsi trombosit dan trombositopeni, sedangkan perdarahan masif ialah akibat kelainan mekanisme yang lebih komplek seperti trombositopenia, gangguan faktor pembekuan, dan kemungkinan besar oleh faktor DIC, terutama pada kasus dengan syok lama yang tidak dapat diatasi disertai komplikasi asidosis metabolik. 4. Antitrombin III yang merupakan kofaktor heparin. Pada kasus dengan kekurangan antitrombin III, respon pemberian heparin akan berkurang (Soedarmo, 2012).

23

d. Sistem Komplemen Penelitian sistem komplemen pada DBD memperlihatkan penurunan kadar C3, C3 proaktivaktor, C4, dan C5 baik pada kasus yang disertai syok maupun tidak. Terdapat hubungan positif antara kadar serum komplemen dengan derajat penyakit. Penurunan ini menimbulkan perkiraan bahwa pada dengue, aktivasi komplemen terjadi baik melalui jalur klasik maupun jalur alternatif. Hasil penelitian radio isotop mendukung pendapat bahwa penurunan kadar serum komplemen disebabkan oleh aktivasi sistem komplemen dan bukan oleh karena produksi yang menurun atau ekstrapolasi komplemen. Aktivasi ini menghasilkan anafilatoksin C3a dan C5a yang mempunyai kemampuan stimulasi sel mast untuk melepaskan histamin dan merupakan mediator kuat untuk menimbulkan peningkatan permeabilitas kapiler, pengurangan plasma dan syok hipopolemik. Komplemen juga bereaksi dengan epitop virus pada sel endotel, permukaan trombosit dan limfosit T, yang menimbulkan waktu paruh trombosit memendek, kebocoran plasma, syok, dan perdarahan. Disamping itu komplemen juga merangsang monosit untuk memproduksi sitokin seperti tumor nekrosis faktor (TNF), interferon gama, interleukin (IL-2 dan IL-1) (Soedarmo, 2012). Bukti-bukti yang mendukung peran sistem komplemen pada penderita DBD ialah (1) ditemukannya kadar histamin yang meningkat dalam urin 24 jam, (2) adanya kompleks imun yang bersirkulasi (circulating immune complex) baik pada DBD derajat ringan maupun berat, (3) adanya korelasi antara kadar kuantitatif kompleks imun dengan derajat berat penyakit (Soedarmo, 2012). e. Respon Leukosit Pada perjalanan penyakit DBD, sejak demam hari ketiga terlihat peningkatan limfosit atopik yang berlangsung sampai hari ke delapan. Pemeriksaan limfosit plasma biru secara seri dari preparat hapus darah tepi memperlihatkan bahwa LPB pada infeksi dengue mencapai puncak pada hari ke enam. Selanjutnya dibuktikan pula bahwa diantara hari keempat sampai kedelapan demam terdapat perbedaan bermakna

24

proporsi LPB pada DBD dengan demam dengue. Dari penelitian imunologi disimpulkan bahwa LPB merupakan campuran antara limfosit B dan limfosit T. (Soedarmo, 2012) Hemostatis abnormal yang disebabkan oleh vaskulopati,

trombositopeni dan koagulopati, mendahului

terjadinya manifestasi

perdarahan. Aktivasi sistem komplemen selalu dijumpai pada pasien DBD kadar C3 dan C5 rendah, sedangkan C3a dan C5a meningkat. Mekanisme aktivasi komplemen tersebut belum diketahui. Adanya kompleks imun telah dilaporkan pada DBD. Namun demikian peran kompleks antigen-antibodi sebagai penyebab aktivasi komplemen pada DBD belum terbukti. Selama ini diduga bahwa derajat keparahan penyakit DBD dibandingkan dengan DD dijelaskan adanya pemacuan dari multiplikasi virus di dalam makrofag oleh antibodi heterotipik sebagai akibat infesi dengue sebelumnya. Namun demikian terdapat bukti bahwa faktor virus serta respon imun cell-mediated terlibat juga dalam patogenesis DBD.

2.5. PATOGENESIS Mekanisme sebenarnya tentang patofisiologi, hemodinamika, dan

biokimiawi demam berdarah dengue belum diketahui secara pasti karena kesukaran mendapatkan model binatang percobaan yang dapat

dipergunakan untuk menimbulkan gejala klinis DBD seperti pada manusia. Hingga kini sebagaian besar masih menganut the secondary heterologous infection hypothesis atau the sequential infection hypothesis yang menyatakan bahwa DBD dapat terjadi apabila seseorang telah terinfeksi virus dengue pertama kali mendapatkan infeksi kedua dengan virus serotype lain dalam jarak waktu 6 bulan sampai 5 tahun. (Soedarmo, 2012)

25

Gambar 1.5 Hipotesis secondary heterologus infections ( Soegijanto, 2006 )

Virus dengue masuk ke dalam tubuh manusia lewat gigitan nyamuk Aedes Aegypti atau Aedes Albopictus. Organ sasaran dari virus adalah organ RES meliputi sel kuffer hepar, endotel pembuluh darah, nodus limfaticus, sumsum tulang serta paru-paru. Data dari berbagai penelitian menunjukkan bahwa sel-sel monosit dan makrofag mempunyai peranan besar pada infeksi ini. Dalam peredaran darah, virus tersebut akan difagosit oleh sel monosit perifer (Soegijanto, 2006). Virus DEN mampu bertahan hidup dan mengadakan multifikasi di dalam sel tersebut. Infeksi virus dengue dimulai dengan menempelnya virus genomnya masuk ke dalam sel dengan bantuan organel-organel sel, genom virus membentuk komponen-komponennya, baik komponen perantara maupun komponen struktural virus. Setelah komponen struktural dirakit, virus dilepaskan dari dalam sel. Proses perkembangan biakan virus DEN terjadi di sitoplasma sel (Soegijanto, 2006) Antibodi yang terbentuk pada infeksi dengue terdiri dari Ig G yang

26

berfungsi menghambat replikasi virus dalam monosit, yaitu enhancing antibody dan neutralizing antibody. Pada saat ini dikenal 2 jenis tipe antibodi yang dibedakan berdasarkan adanya virion determinant spesificity, yaitu (Soedarmo, 2012): 1. Kelompok monoklonal reaktif yang tidak mempunyai sifat menetralisasi tetapi memacu replikasi virus 2. Antibodi yang dapat menetralisasi secara spesifik tanpa disertai daya memacu replikasi virus. Antibodi non neutralisasi yang terbentuk pada infeksi primer akan menyebabkan terbentuknya kompleks imun pada infeksi sekunder dengan akibat memacu replikasi virus. Teori ini pula yang mendasari pendapat bahwa infeksi virus dengue oleh serotipe dengue yang berbeda cenderung menimbulkan manifestasi berat. Dasar utama hipotesis adalah meningkatnya reaksi imunologis (the immunological enhancement hypothesis) yang berlangsung sebagai berikut (Soedarmo, 2012): a. Sel fagosit mononuklear yaitu monosit, makrofag, histiosit, dan sel kupffer merupakan tempat utama terjadinya infeksi virus pertama b. Antibodi non neutralisasi baik yang bebas dalam sirkulasi maupun yang melekat pada sel, bertindak sebagai reseptor spesifik untuk melekatnya virus dengue pada permukaan sel fagosit mononuklear. Mekanisme pertama ini disebut mekanisme aferen. c. Virus dengue kemudian akan bereplikasi dalam sel fagosit mononuklear yang telah terinfeksi d. Selanjutnya sel monosit yang mengandung kompleks imun akan menyebar ke usus, hati, lumpa, dan sumsum tulang. Mekanisme ini disebut mekanisme eferen. Parameter perbedaan terjadinya DBD dengan dan tanpa syok adalah jumlah sel yang terkena infeksi e. Sel monosit yang telah teraktivasi akan mengadakan interaksi dengan sistem humoral dan sistem komplemen dengan akibat dilepaskannya mediator yang mempengaruhi permeabilitas kapiler dan mengaktivasi sistem koagulasi. Mekanisme ini disebut mekanisme efektor. Limfosit T juga memegang peranan penting dalam patogenesis DBD.

27

Akibat rangsang monosit yang terinfeksi virus dengue, limfosit dapat mengeluarkan interferon dan . Pada infeksi sekunder oleh virus dengue, Limfosit T CD4 berproliferasi dan menghasilkan interferon . Interferon selanjutnya merangsang sel yang terinfeksi virus dengue dan mengakibatkan monosit memproduksi mediator. Oleh limfosit T CD4 dan CD8 spesifik virus dengue, monosit akan mengalami lisis dan mengeluarkan mediator yang akan menyebabkan kebocoran plasma dan perdarahan (Soedarmo, 2012). Semua flavivirus memiliki kelompok epitop pada selubung protein yang menimbulkan cross reaction atau reaksi silang pada uji serologis, hal ini menyebabkan diagnosis pasti dengan uji serologi sulit ditegakkan. Kesulitan ini dapat terjadi diantara ke empat serotipe virus DEN. Infeksi oleh satu serotip virus DEN menimbulkan imunitas protektif terhadap serotip virus tersebut, tetapi tidak ada cross protectif terhadap serotip virus yang lain (Soegijanto, 2006).

2.7. MANIFESTASI KLINIS Infeksi oleh virus dengue menimbulkan variasi gejala mulai sindroma virus nonspesifik sampai perdarahan yang fatal. Gejala demam dengue tergantung pada umur penderita, pada balita dan anak-anak kecil biasanya berupa demam, disertai ruam-ruam makulopapular. Pada anak-anak yang lebih besar dan dewasa, bisa dimulai dengan demam ringan, atau demam tinggi ( > 39 derajat C ) yang tiba-tiba dan berlangsung 2-7 hari, disertai sakit kepala hebat, nyeri di belakang mata, nyeri sendi dan otot, mual-muntah, dan ruam-ruam. Bintik-bintik pendarahan di kulit sering terjadi, kadang-kadang disertai bintik-bintik pendarahan dipharynx dan konjungtiva. Penderita juga sering mengeluh nyeri menelan, tidak enak di ulu hati, nyeri di tulang rusuk kanan ( costae dexter ), dan nyeri seluruh perut. Kadang-kadang demam mencapai 40-41 derajat C, dan terjadi kejang demam pada balita. DHF adalah komplikasi serius dengue yang dapat mengancam jiwa penderitanya, oleh :

28

1. Demam tinggi yang terjadi tiba-tiba 2. Manifestasi pendarahan 3. Nepatomegali atau pembesaran hati 4. Kadang-kadang terjadi shock manifestasi pendarahan pada DHF, dimulai dari test torniquet positif dan bintik-bintik pendarahan di kulit ( ptechiae ). Ptechiae ini bisa terjadi di seluruh anggota gerak, ketiak, wajah dan gusi, juga bisa terjadi pendarahan hidung, gusi, dan pendarahan dari saluran cerna, dan pendarahan dalam urine. Pada dasarnya ada empat sindrom klinis dengue yaitu (Pudjiadi, 2010): 1. Silent dengue atau Undifferentiated fever Pada bayi, anak, dan dewasa yang terinfeksi virus dengue untuk pertama kali mungkin akan berkembang gejala yang tidak bisa dibedakan dari infeksi virus lainnya. Bercak maculopapular biasanya mengiringi demam. Biasanya juga muncul gejala saluran pernafasan atas dan gejala gastrointestinal (WHO, 2011) 2. Demam dengue klasik Demam dengue atau disebut juga dengan demam dengue klasik lebih sering pada anak yang lebih tua, remaja, dan dewasa. Secara umum, manifestasi berupa demam akut, terkadang demam bifasik disertai dengan gejala nyeri kepala, mialgia, atralgia, rash, leukopenia, dan

trombositopenia. Adakalanya, secara tidak biasa muncul perdarahan gastrointestinal, hipermenorea, dan epistaksis masif. Pada daerah yang endemis, insidensi jarang muncul pada penduduk lokal (WHO, 2011). 3. Demam berdarah Dengue ( Dengue Hemorrhagic fever) Demam berdarah dengue lebih sering muncul pada anak usia kurang dari 15 tahun pada daerah yang hiperendemis. Hal ini dikaitkan dengan infeksi virus dengue berulang. Demam berdarah dengue memiliki karakteristik onset akut demam yang sangat tinggi, disertai dengan tanda dan gejala yang sama dengan demam dengue. Gejala perdarahan yang muncul dapat berupa tes torniquet yang positif, ptekie, perdarahan gastrointestinal yang masif. Saat akhir dari fase demam, ada tendensi untuk berkembang menjadi keadaan syok hipovolemik oleh karena adanya plasma leakage

29

(WHO, 2011). Terdapat tanda bahaya, antara lain : muntah persisten, nyeri abdomen, letargi, oligouria yang harus diketahui untuk mencegah syok. Kelainan hemostasis dan adanya plasma leakage merupakan tanda utama dari demam berdarah dengue. Trombositopenia dan peningkatan hematokrit harus segera ditemukan sebelum muncul adanya tanda syok. Demam berdarah dengue biasa terjadi pada anak dengan infeksi sekunder virus dengue yang mana sudah pernah terinfeksi oleh virus dengue DEN-1 dan DEN-3 (WHO, 2011) 4. Dengue Shock Syndrome (DSS) Manifestasi yang tidak lazim melibatakn berbagai organ misalnya hepar, ginjal, otak, dan jantung yang dikaitkan dengan infeksi dengue telah dilaporkan meningkat pada berbagai kasus yang tidak memiliki bukti terjadinya plasma leakage. Manifestasi tersebut dikaitkan dengan syok yang berkepanjangan (WHO, 2011).

Gambar 1.6 Manifestasi Klinis Infeksi Virus Dengue (Trihadi, 2012) Demam Dengue Masa inkubasi antara 4 6 hari (berkisar 3 14 hari) disertai gejala konstitusional dan nyeri kepala, nyeri punggung, dan malaise (WHO,2011). Awal penyakit biasanya mendadak dengan adanya trias yaitu demam tinggi, nyeri pada anggota badan dan ruam/rash (Soedarmo, 2012).

30

Demam : suhu tubuh biasanya mencapai 39oC sampai 40oC dan demam bersifat bifasik yang berlangsung sekitar 5-7 hari (WHO, 2011).

Ruam kulit : kemerahan atau bercak-bercak merah yang terdapat di dada, tubuh serta abdomen, menyebar ke anggota gerak dan muka. Ruam bersifat makulopapular yang menghilang pada tekanan. Ruam timbul pada 6-12 jam sebelum suhu naik pertama kali (hari sakit ke 3-5) dan berlangsung 3-4 hari (Soedarmo, 2012). Anoreksi dan obstipasi sering dilaporkan, di samping itu perasaan tidak

nyaman di daerah epigastrium disertai nyeri kolik dan perut lembek sering ditemukan. Gejala klinis lainnya meliputi fotofobia, berkeringat, batuk. Kelenjar limfa servikal dilaporkan membesar pada 67-77% kasus atau dikenal sebagai Castelanis sign yang patognomonik (Soedarmo, 2012). Kelainan darah tepi demam dengue adalah leukopeni selama periode pra demam dan demam, nutrofilia relatif dan limfopenia, disusul oleh neutropenia relatif dan limfositosis pada periode puncak penyakit dan pada masa konvalesens. Eusinofil menurun atau menghilang pada permulaan dan pada puncak penyakit, hitung jenis neutrofil bergeser ke kiri selama periode demam, sel plasma meningkat pada periode memuncaknya penyakit dengan terdapatnya

trombositopenia. Darah tepi menjadi normal kembali dalam waktu 1 minggu (Soedarmo, 2012). Pada daerah endemis, tes torniquet yang positif dan leukopenia ( < 5.000 cell/mm3) dapat membantu penegakan diagnosis dari infeksi dengue dengan angka prediksi 70 80 %. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan (WHO, 2011): Hitung sel darah putih biasanya normal saat permulaan demam kemudian leukopeni hingga periode demam berakhir Hitung trombosit normal, demikian pula komponen lain dalam mekanisme pembekuaan trombositopeni Serum biokimia/enzim biasanya normal, kadar enzim hati mungkin meningkat. darah. Pada beberapa epidemi biasanya terjadi

31

Peningkatan hematokrit ringan oleh karena akibat dari dehidrasi dikaitkan dengan demam yang tinggi, muntah, anoreksia, dan minimnya intake oral. Penggunaaan analgesik, antipiretik, antiemetik, dan antibiotik dapat mengintervensi peningkatan hasil laboratorium fungsi hepar dan pembekuan darah.

Demam Berdarah Dengue Pada awal perjalanan penyakit, DBD menyerupai kasus DD. Pada DBD terdapat perdarahan kulit, uji tornikuet positif, memar dan perdarahan pada tempat pengambilan darah vena. Petekia halus tersebar di anggota gerak, muka, aksila sering kali ditemukan pada masa dini demam. Epistaksis dan perdarahan gusi jarang dijumpai sedangkan perdarahan saluran pencernaan hebat lebih jarang lagi dan biasanya timbul setelah renjatan tidak dapat diatasi (Soedarmo, 2012). Hati biasanya teraba sejak awal fase demam, bervariasi mulai dari teraba 2-4 cm dibawah lengkung iga kanan. Derajat pembesaran hati tidak berhubungan dengan keparahan penyakit. Untuk menemukan pembesaran hati, harus dilakukan perabaan setiap hari. Nyeri tekan di daerah hati sering kali ditemukan dan pada sebagian kecil kasus dapat disertai ikterus. Nyeri tekan di daerah hati tampak jelas pada anak besar dan ini berhubungan dengan adanya perdarahan(Soedarmo, 2012) Pada pemeriksaan laboratorium dapat ditemukan adanya trombositopenia sedang hingga berat disertai hemokonsentrasi. Fenomena patofisiologis utama yang menentukan derajat penyakit dan membedakan DBD dari DD ialah peningkatan permeabilitas pembuluh darah, menurunnya volume plasma, trombositopenia, dan diatesis hemoragik (Soedarmo, 2012) Dengue Shock Syndrome Pada DSS dijumpai adanya manifestasi kegagalan sirkulasi yaitu nadi lemah dan cepat, tekanan nadi menurun (<20mmHg), hipotensi, kulit dingin dan lembab dan pasien tampak gelisah.

32

Gambar 1.7 Gambaran Skematis Kebocoran Plasma pada DBD

Gambar 1.8 Manifestasi Demam Dengue dan Demam Berdarah Dengue

2.8

DIAGNOSIS

Berdasarkan kriteria WHO 2011 untuk diagnosis Demam Berdarah Dengue: a. Kriteria Klinis 1. Demam Demam mendadak terus menerus 2-7 hari tanpa sebab yang jelas. Tipe demam bifasik (saddleback).

33

Gambar 1.9 Demam Bifasik pada Demam Berdarah Dengue 2. Manifestasi perdarahan, salah satu tergantung: a. Uji torniket (+) b. Petechie, ekhimosis ataupun purpura c. Perdarahan mukosa traktus gastrointestinal, epistaksis, perdarahan gusi d. Hematemesis dan melena 3. Hepatomegali 4. Kegagalan sirkulasi (tanda-tanda syok): ekstremitas dingin, nadi cepat dan lemah, sistolik kurang 90 mmHg, dan tekanan darah menurun sampai tidak terukur, kulit lembab, penyempitan tekanan nadi (< 20 mmHg), capillary refill time memanjang (>2 detik) dan pasien tampak gelisah. b. Kriteria Laboratoris 1. Trombositopenia (trombosit < 100.000 /ul) 2. Hemokonsentrasi ( Peningkatan Ht 20% atau penurunan Ht 20% setelah mendapat terapi cairan). Penegakan diagnosis Demam Berdarah Dengue berdasarkan atas 2 kriteria klinis ditambah trombositopenia dan hemokonsentrasi atau peningkatan hematokrit.

34

Pembagian derajat Demam Berdarah Dengue menurut WHO ialah : a. Derajat I Demam diikuti gejala tidak spesifik. Satu-satunya manifestasi perdarahan adalah tes torniquet yang positif atau mudah memar. b. Derajat II Gejala yang ada pada tingkat I ditambah dengan perdarahan

spontan. Perdarahan bisa terjadi di kulit atau di tempat lain. c. Derajat III Kegagalan sirkulasi ditandai oleh denyut nadi yang cepat dan lemah, tekanan nadi menurun (<20mmHg) atau hipotensi, suhu tubuh rendah, kulit lembab dan penderita gelisah. d. Derajat IV Syok berat dengan nadi yang tidak teraba dan tekanan darah tidak dapat diperiksa.

35

Tabel 1.1 Pembagian derajat Infeksi Virus Dengue DD/DBD Demam Dengue Grade Tanda dan Gejala Demam disertai 2 Laboratorium - Leukopenia ( < 5000 sel/mm3 ) - Trombositopenia ( < 150.000 sel/mm3 ) - Peningkatan Hematokrit ( 5 10 % ) - Tidak ditemukan kebocoran plasma

keadaan berikut : - Nyeri Kepala - Nyeri retro-orbita - Mialgia - Rash - Atralgia/Nyeri tulang - Manifestasi perdarahan - Tanpa disertai adanya plasma Leakage

DBD

Demam disertai manifestasi perdarahan (torniquet tes + ) dan adanya plasma leakage

Trombositopenia ( < 100.000 sel/mm3 ) Hematokrit Meningkat ( > 20 % ) Trombositopenia ( < 100.000 sel/mm3 ) Hematokrit Meningkat ( > 20 % )

DBD

II

Grade I ditambah perdarahan spontan

DBD (DSS)

III

Grade I atau II ditambah adanya kegagalan sirkulasi : pulsasi nadi yang lemah, hipotensi, perbedaan sistole dan diastole yang sempit kondisi umum gelisah

Trombositopenia ( < 100.000 sel/mm3 ) Hematokrit Meningkat ( > 20 % )

DBD (DSS)

IV

Grade III ditambah dengan syok berat serta nadi dan tekanan darah yang tidak terukur

Trombositopenia ( < 100.000 sel/mm3 ) Hematokrit Meningkat ( > 20 % )

36

2.9. PEMERIKSAAN PENUNJANG a. Pemeriksaan laboratorium Trombositopeni dan hemokonsentrasi merupakan kelainan yang selalu ditemukan pada DBD. Penurunan jumlah trombosit < 100.000/pl biasa ditemukan pada hari ke-3 sampai ke-8 sakit, sering terjadi sebelum atau bersamaan dengan perubahan nilai hematokrit. Hemokonsentrasi yang disebabkan oleh kebocoran plasma dinilai dari peningkatan nilai hematokrit. Penurunan nilai trombosit yang disertai atau segera disusul dengan peningkatan nilai hematokrit sangat unik untuk DBD, kedua hal tersebut biasanya terjadi pada saat suhu turun atau sebelum syok terjadi. Perlu diketahui bahwa nilai hematokrit dapat dipengaruhi oleh pemberian cairan atau oleh perdarahan. Jumlah leukosit bisa menurun (leukopenia) atau leukositosis, limfositosis relatif dengan limfosit atipik sering ditemukan pada saat sebelum suhu turun atau syok. Hipoproteinemi akibat kebocoran plasma biasa ditemukan. Adanya fibrinolisis dan ganggungan koagulasi tampak pada pengurangan fibrinogen, protrombin, faktor VIII, faktor XII, dan antitrombin III. PTT dan PT memanjang pada sepertiga sampai setengah kasus DBD. b. Pencitraan Pada pemeriksaan radiologi dan USG kasus DBD, terdapat beberapa kelainan yang dapat dideteksi yaitu, dilatasi pembuluh darah paru, efusi pleura, kardiomegali dan efusi perikard, hepatomegali, cairan dalam rongga peritoneum, penebalan dinding vesica felea. c. Pemeriksaan Rumple leed test Percobaan ini bermaksud menguji ketahanan kapiler darah dengan cara mengenakan pembendungan kepada vena-vena, sehingga darah menekan kepada dinding kapiler. Dinding kapiler yang oleh suatu sebab kurang kuat akan rusak oleh pembendungan itu, darah dari dalam kapiler itu keluar dari kapiler dan merembes ke dalam jaringan sekitarnya sehingga nampak sebagai bercak merah kecil pada permukaan kulit (petechiae).

37

Pemeriksaan dilakukan dengan memasang sfigmomanometer pada lengan atas dan pompalah sampai tekanan berada ditengah-tengah nilai sistolik dan diastolik. Pertahankan tekanan itu selama 10 menit, setelah itu lepaskan ikatan dan tunggulah sampai tanda-tanda stasis darah lenyap lagi. Stasis darah telah berhenti jika warna kulit pada lengan yang dibendung tadi mendapat lagi warna kulit lengan yang tidak dibendung. Lalu carilah petechiae yang timbul dalam lingkaran berdiameter 5 cm kira-kira 4 cm distal dari vena cubiti. Test dikatakan positif jika terdapat lebih dari dikatakan positif 10 petechiae dalam lingkaran tadi. d. Pemeriksaan lainnya : Ada beberapa pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk mengetahi infeksi virus dengue yaitu (WHO, 2011): Isolasi Virus Karakteristik serotypic/genotypic Deteksi Asam Nukleat Virus Dengan RT-PCR (Reverse Transcripterase Polymerase Chain Reaction) Deteksi Antigen Virus Deteksi antigen NS1. Pemeriksaan serologis yang meliputi : Haemagglutination-inhibition (HI), Complement Fixation (CF), Neutralization Test (NT), Ig M capture enzyme-linked immunosorbent assay (MAC-ELISA), danpemeriksaan Ig G ELISA indirect Viremia pada pasien dengan infeksi dengue sangatlah pendek, yaitu muncul pada 2 3 hari sebelum onset demam dan bertahan hingga 4 7 hari saat sakit. Selama periode ini, asam nukleat virus dan antigen virus dapat terdeteksi. Respon antibodi dapat dilihat dari 2 jenis imunoglobulin. Antibodi Ig M dapat terdeteksi pada 3 5 hari setelah onset, meningkat cepat selama 2 minggu, dan menurun hingga tidak terdeteksi pada 2 3 bulan. Antibodi Ig G terdeteksi rendah pada akhir minggu pertama, meningkat kemudian, dan menetap hingga bertahun tahun. Pada infeksi sekunder virus dengue, titer antibodi meningkat cepat. Antibodi Ig G terdeteksi pada level tinggi, pada saat

38

fase inisial, dan menetap hingga beberapa bulan. Antibodi Ig M biasanya lebih rendah pada infeksi dengue sekunder. Oleh karena itu, perbandingan Ig M/ Ig G digunakan untuk membedakan antara infeksi primer dan infeksi sekunder virus dengue. Disebut infeksi primer jika perbandingan Ig M / Ig G lebih dari 1,2, dan disebut infeksi sekunder jika perbandingan Ig M / Ig G kurang dari 1,2 (WHO, 2011).

Gambar 1.10 Deteksi jumlah Ig M dan Ig G pada Demam Berdarah Dengue

2.10 DIAGNOSIS BANDING Diagnosis banding Demam Dengue terdiri atas ( WHO, 2011) : a. b. Infeksi virus golongan Arbovirus : Chikungunya Penyakit virus lainnya Misalnya : Measles, Rubella, dan berbagai virus lainnya, seperti : Epstein barr virus, Enterovirus, Influenza, Hepatitis A, Hantavirus c. Penyakit bakterial Meningocuccaemia, Leptospirosis, Thypoid, Meliodosis, Rackettsial disease, Scarlet Fever d. Penyakit parasit : Malaria

39

Pada fase awal demam dari demam berdarah dengue, diagnosis banding meliputi infeksi spektrum luas oleh virus, bakteri, dan protozoa, sama halnya dengan diagnosis banding dari demam dengue. Adanya trombositopenia disertai dengan hemokonsentrasi membedakan demam berdarah dengue dengan penyakit yang lainnya. Hasil yang normal dari ESR (Erythrocyte Sedimentation Rate) dapat membedakan dengue dengan infeksi bakteri dan syok septik (WHO, 2011).

Gambar 1.11 Manifestasi DBD dibandingkan dengan Demam Chikungunya

2.11 PENATALAKSANAAN Pengobatan DBD bersifat suportif simptomatik dengan tujuan memperbaiki sirkulasi dan mencegah timbulnya renjatan dan timbulnya Koagulasi Intravaskuler Diseminata (KID). Perbedaan patofisiologik utama antara Demam Dengue/Demam Berdarah Dengue/Demam Syok sindrom dan penyakit lain, ialah adanya peningkatan permeabilitas kapiler yang menyebabkan perembesan plasma, dan gangguan hemostasis. Penatalaksanaan fase demam pada Demam Berdarah Dengue dan Demam Dengue tidak jauh berbeda, bersifat simptomatik dan suportif yaitu pemberian cairan oral untuk mencegah dehidrasi. Berikan nasihat kepada orang tua agar anak diberikan minum banyak seperti air teh, susu, sirup, oralit, jus buah, dan lain lain. Selain itu diberikan pula obat antipiretik golongan parasetamol. Penggunaan antipiretik golongan salisilat tidak dianjurkan pada penanganan

40

demam. Parasetamol direkomendasikan untuk mempertahankan suhu di bawah 39


0

C dengan dosis 10 15 mg/KgBB/kali. Rasa haus dan keadaan dehidrasi dapat timbul sebagai akibat demam tinggi,

anoreksia, dan muntah. Pasien perlu diberikan minum 50 ml/KgBB dalam 4 6 jam pertama. Setelah keadaan dehidrasi dapat teratasi, anak dapat diberikan cairan rumatan 80 100 ml/KgBB/hari dalam 24 jam berikutnya. Bayi yang masih minum ASI, tetap diberikan disamping larutan oralit. Bila terjadi kejang demam, disamping diberikan antipiretik, diberikan pula antikonvulsif selama masih demam. Masa kritis ialah pada atau setelah hari sakit yang ke 3 5 yang memperlihatkan penurunan tajam hitung trombosit dan peningkatan tajam hematokrit yang menunjukkan adanya kehilangan cairan, Observasi tanda vital, kadar hematokrit, trombosit dan jumlah urin 6 jam sekali (minimal 12 jam sekali) perlu dilakukan. Kunci keberhasilan pengobatan DBD ialah ketepatan volume replacement atau penggantian volume, sehingga dapat mencegah syok. Cairan intravena diperlukan apabila : 1. Anak terus muntah, tidak mau minum, demam tinggi sehingga tidak mungkin diberikan minum per oral 2. Nilai hematokrit cenderung meningkat pada pemeriksaan berkala Pada pasien DBD derajat II apabila dijumpai demam tinggi, terus menerus selama < 7 hari tanpa sebab yang jelas, disertai tanda perdarahan spontan, disertai penurunan jumlah trombosit, dan peningkatan kadar hematokrit. Pada saat pasien dating, berikan cairan kristaloid 7 ml/KgBB/jam. Monitor tanda vital dan kadar hematokrit serta trombosit tiap 6 ja,. Selanjutnya evaluasi 12 24 jam. Apabila selama observasi keadaan umum membaik, yaitu anak tampak tenang, tekanan nadi kuat, tekanan darah stabil, dan kadar PCV cenderung turun minimal dalam 2 kali pemeriksaan berturut turut, maka tetesan dikurangi menjadi 5 ml/KgBB/jam. Apabila dalam observasi selanjutnya tanda vital tetap stabil, tetesan dikurangi menjadi 3 ml/KgBB/jam dan akhirnya cairan dihentikan dalam 24 48 jam. Apabila keadaan klinis pasien tidak ada perbaikan, yaitu : anak tampak gelisah, nafas cepat, frekuensi nadi meningkat, deuresis kurang, tekanan nadi < 20 mmHg memburuk, serta peningkatan PCV, maka tetesan dinaikkan menjadi 10

41

ml/KgBB/jam. Apabila belum terjadi perbaikan setelah 12 jam, maka tetesan di naikkan menjadi 10 ml/KgBB/jam. Apabila belum terjadi perbaikan klinis setelah 12 jam, cairan dinaikkan menjadi 15 ml/KgBB/jam. Kemudian dievaluasi 12 jam lagi. Apabila tampak distress pernafasan menjadi lebih berat dan ht naik maka berikan koloid 10 20 ml/KgBB/jam, dengan jumlah maksimal 30 ml/KgBB. Namun bila Ht atau Hb turun, berikan tranfusi darah segar 10 ml/KgBB/jam. Bila terdapat asidosis, dari cairan total dikeluarkan dan diganti dengan larutan berisi 0,167 mol/liter Natrium bikarbonat (3/4 bagian berisi larutan NaCl 0,9 % + glukosa ditambah Natrium bikarbonat). Volume dan komposisi cairan yang diperlukan sesuai seperti cairan untuk dehidrasi pada diare ringan sampai sedang, yaitu cairan rumatan ditambah deficit 6 % (5 8 %) seperti tertera pada tabel dibawah ini. Tabel 1.2 Kebutuhan Cairan pada Dehidrasi Sedang ( Defisit Cairan 5 8 %) Berat Waktu Masuk (Kg) < 7 Kg 7 11 Kg 12 18 Kg > 18 Kg Jumlah Cairan tiap hari 220 ml/KgBB/hari 165 ml/KgBB/hari 132 ml/KgBB/hari 88 ml/KgBB/hari

Sindroma syok dengue adalah DBD dengan gejala gelisah, nafas cepat, nadi teraba kecil, lembut atau tak teraba, tekanan nadi menyempit, bibir biru, tangan dan kaki dingin, dan tidak ada produksi urin. Langkah yang harus dilakukan adalah segera berikan infus kristaloid 20 ml/KgBB secepatnya dalam 30 menit dan oksigen 2 liter/menit. Untuk DSS berat 20 ml/KgBB/jam diberikan bersama koloid 10 20 ml/KgBB/jam. Observasi tensi dan nadi tiap 15 menit, hematokrit dan trombosit tiap 4 6 jam, serta periksa pula elektrolit dan gula darah. Apabila dalam waktu 30 menit syok belum teratasi, tetesan kristaloid belum dilanjutkan 20 ml/KgBB, ditambah plasma atau koloid sebanyak 10 20 ml/KgBB maksimal 30 ml/KgBB. Koloid ini diberikan pada jalur infus yang sama dengan kristaloid, diberikan secepatnya. Observasi keadaan umum, tekanan darah, keadaan nadi tiap 15 menit, dan periksa hematokrit tiap 4 6 jam. Lakukan pula koreksi terhadap asidosis, elektrolit, dan gula darah. Apabila syok teratasi disertai penurunan kadar Hb/Ht, tekanan nadi > 20

42

mmHg, nadi kuat, maka tetesan cairan dikurangi menjadi 10 ml/KgBB/jam dan dipertahankan hingga 24 jam atau sampai klinis stabil dan Ht menurun < 40%. Selanjutnya cairan diturunkan menjadi 7 ml/KgBB sampai keadaan klinis dan Ht stabil, kemudian secara bertahap diturunkan menjadi 5 ml/Kg/BB/jam dan seterusnya 3 ml/Kg/BB/jam. Dianjurkan pemberian cairan tidak melebihi 48 jam setelah syok teratasi. Apabila syok belum teratasi, sedangkan Ht menurun tapi masih > 40%, berikan darah dalam volume kecil 10 ml/KgBB. Apabila tampak perdarahan massif, berikan darah segar 20 ml/KgBB dan lanjutkan cairan kristaloid 10 ml/Kg/BB/jam. Pemasangan CVP pada syok berat kadang diperlukan, sedangkan pemasangan sonde lambung tidak dianjurkan Bila pada syok DBD tidak berhasil diatasi selama 30 menit dengan resusitasi kristaloid maka cairan koloid harus diberikan sebanyak 10 20 ml/kgBB/jam. Cairan koloid tersebut antara lain : 1. Dekstan 2. Gelatin 3. Hydroxy Ethyl Starch (HES) 4. Fresh Frozen Plasma (FFP) Pemasangan CVP pada DBD tidak dianjurkan karena prosedur CVP bersifat traumatis untuk anak dengan trombositopenia, gangguan vaskular dan homeostasis sehingga mudah terjadi perdarahan dan infeksi, disamping prosedur pengerjaannya juga tidak mudah dan manfaatnya juga tidak banyak. Pemberian suspensi trombosit umumnya diperlukan dengan pertimbangan bila terjadi perdarahan secara klinis dan pada keadaan KID. Bila diperlukan suspensi trombosit maka pemberiannya diikuti dengan pemberian fresh frozen plasma (FFP) yang masih mengandung faktor-faktor pembekuan untuk mencegah agregasi trombosit yang lebih hebat. Bila kadar hemoglobin rendah dapat pula diberikan packed red cell (PRC). Setelah fase krisis terlampau, cairan ekstravaskular akan masuk kembali dalam intravaskular sehingga perlu dihentikan pemberian cairan intravena untuk mencegah terjadinya edem paru. Pada fase penyembuhan (setelah hari ketujuh) bila terdapat penurunan kadar hemoglobin, bukan berarti perdarahan tetapi terjadi hemodilusi sehingga kadar hemoglobin akan kembali ke awal seperti saat anak

43

masih sehat. Pada anak yang awalnya menderita anemia akan tampak kadar hemoglobin rendah, hati-hati tidak perlu diberikan transfusi. Penatalaksanaan DBD disesuaikan dengan derajat terlampir sebagai berikut:

44

Gambar 1.12. Tatalaksana infeksi virus Dengue pada kasus tersangka DBD

45

Gambar 1.13. Tatalaksana tersangka DBD (rawat inap) atau demam Dengue

46

Gambar 1.14 Tatalaksana kasus DBD derajat I dan II.

47

Gambar 1.15. Tatalaksana Kasus DBD derajat III dan IV atau DSS

48

Kriteria memulangkan pasien antara lain (Soedarmo, 2012) : 1. Tidak demam selama 24 jam tanpa antipiretik 2. Nafsu makan membaik 3. Tampak perbaikan secara klinis 4. Hematokrit stabil 5. Tiga hari setelah syok teratasi 6. Jumlah trombosit diatas 50.000/ml dan cenderung meningkat 7. Tidak dijumpai adanya distress pernafasan (akibat efusi pleura atau asidosis) Pencegahan yang dilakukan adalah dengan cara Pengendalian vector virus dengue. Pengendalian vektor bertujuan (Purnomo, 2010) : 1. Mengurangi populasi vektor serendah rendahnya sehingga tidak berarti lagi sebagai penular penyakit. 2. Menghindarkan terjadi kontak antara vektor dan manusia. Cara efektif untuk pengendalian vektor adalah dengan penatalaksanaan lingkungan yang termasuk perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan pemantauan aktivitas untuk modifikasi faktor-faktor lingkungan dengan suatu pandangan untuk mencegah perkembangan vektor dan kontak

manusia-vektor-patogen. Pengendalian vektor dapat berupa (Purnomo, 2010): 1. Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) a. Melakukan metode 4 M (menguras, Menutup dan Menyingkirkan, dan monitor tempat perindukan nyamuk) minimal 1 x seminggu bagi tiap keluarga, b. 100% tempat penampungan air sukar dikuras diberi abate tiap 3 bulan c. ABJ (angka bebas jentik) diharapkan mencapai 95% 2. Foging Focus dan Foging Masal a. Foging fokus dilakukan 2 siklus dengan radius 200 m dengan selang waktu 1 minggu b. Foging masal dilakukan 2 siklus diseluruh wilayah suspek KLB dalam jangka waktu 1 bulan c. Obat yang dipakai : Malation 96EC atau Fendona 30EC dengan menggunakan Swing Fog 3. Penyelidikan Epidemiologi

49

a. Dilakukan petugas puskesmas yang terlatih dalam waktu 3x24 jam setelah menerima laporan kasus b. Hasil dicatat sebagai dasar tindak lanjut penanggulangan kasus 4. Penyuluhan masyarakat. 5. Kemitraan untuk sosialisasi penanggulangan DBD. Kewajiban pelaporan kasus dalam tempo 24 jam ke Dinas Kesehatan tingkat II/Puskesmas tempat tinggal pasien merupakan keharusan yang sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan 560 tahun 1989 dengan tujuan kemungkinan terjadinya penularan lebih lanjut, penyakit DBD dapat dicegah dan ditanggulangi sedini mungkin. Dengan adanya laporan kasus pada Puskesmas/ Dinas Kesehatan tingkat II yang bersangkutan, dapat dengan segera melakukan penyelidika epidemiologi di sekitar tempat tinggal kasus untuk melihat kemungkinan resiko penularan (Soedarmo, 2012). Apabila dari hasil penyelidikan epidemiologi diperoleh data adanya resiko penularan DBD, maka pihak terkait akan melakukan langkah langkah upaya penanggulangan berupa : foging fokus dan abatisasi selektif. Tujuan abatisasi adalah membunuh larva dengan butir butir abate sand granule (SG) 1 % pada perorangan/kelompok untuk meningkatkan kesadaran

tempat penyimpanan air dengan dosis ppm (part per milion) yaitu : 10 gram meter 100 liter air. Selain itu dapat dilakukan dengan menggalakkan masyarakat untuk melakukan kerja bakti dalan pemberantasan sarang nyamuk (Soedarmo, 2012).

2.11 PROGNOSIS Bila tidak disertai renjatan dalam 24 36 jam, biasanya prognosis akan menjadi baik. Kalau lebih dari 36 jam belum ada tanda perbaikan, kemungkinan sembuh kecil dan prognosisnya menjadi buruk (Rampengan, 2008). Penyebab kematian Demam Berdarah Dengue cukup tinggi yaitu 41,5 %. (Soegijanto, 2001). Secara keseluruhan tidak terdapat perbedaan antara jenis kelamin penderita demam berdarah dengue, tetapi kematian lebih banyak ditemukan pada anak perempuan daripada laki laki. Penyebab kematian tersebut antara lain (Rampengan, 2008) : 1. Keterlambatan diagnosis

50

2. Keterlambatan diagnosis shock 3. Keterlambatan penanganan shock 4. Shock yang tidak teratasi 5. Kelebihan cairan 6. Kebocoran yang hebat 7. Pendarahan masif 8. Kegagalan banyak organ 9. Ensefalopati 10. Sepsis 11. Kegawatan karena tindakan

2.12 KOMPLIKASI DAN PENATALAKSANAAN KOMPLIKASI a. Ensefalopati dengue dapat terjadi pada DBD dengan maupun tanpa syok. Ensefalopati dengue dapat terjadi pada DBD dengan maupun tanpa syok, cenderung terjadi edema otak dan alkalosis, maka bila syok teratasi

cairan diganti dengan cairan yang tidak mengandung HCO3-, dan jumlah cairan harus segera dikurangi. Larutan laktar ringer dekstrosa segera ditukar dengan larutan Nacl (0,9%) : glukosa (5%) = 3:1. untuk mengurangi edema otak diberikan kortikosteroid, tetapi bila terdapat perdarahan saluran cerna sebaiknya kortikosteroid tidak diberikan. Bila terdapat disfungsi hati, maka diberikan vitamin K intravena 3-10 mg selama 3 hari, kadar gula darah diusahakan >60 mg/dl, mencegah terjadinya peningkatan tekanan intrakranial dengan mengurangi jumlah cairan (bila perlu diberikan diuretik), koreksi asidosis dan elektrolit. Perawatan jalan nafas dengan pemberiaan oksigen yang adekuat. Untuk mengurangi produksi amoniak dapat diberikan neomisin dan laktulosa. Pada DBD ensefalopati mudah terjadi infeksi bakteri sekunder, makaa untuk mencegah dapat diberikan antibiotik profilaksis (kombinasi ampisilin 100 mg/kgbb/hari + kloramfenikol 75 mg/kgbb/hari). Usahakan tidak memberikan obat-obat yang tidak diperlukan (misalnya antasid, anti muntah) untuk mengurangi beban detoksifikasi obat dalam hati.

51

b.

Kelainan Ginjal Kelainan ginjal akibat syok yang berkepanjangan dapat terjadi gagal ginjal akut. Dalam keadaan syok harus yakin benar bahwa penggantian volume intravascular telah benar-benar terpenuhi dengan baik. Apabila diuresis belum mencukupi 2 ml/kgbb/jam, sedangkan cairan yang diberikan sudah sesuai kebutuhan, maka selanjutnya furosemid 1 mg/kgbb dapat diberikan. Pemantauan tetap dilakukan untuk jumlah diuresis, kadar ureum, dan kreatinin. Tetapi apabila diuresis tetap belum mencukupi, pada umumnya syok juga belum dapat dikoreksi dengan baik, maka pemasangan CVP (central venous pressure) perlu dilakukan untuk pedoman pemberian cairan selanjutnya.

c.

Edema paru Edema paru adalah komplikasi yang mungkin terjadi sebagai akibat pemberian cairan yang berlebihan. Pemberian cairan pada hari sakit ketiga sampai kelima sesuai panduan yang diberikan, biasanya tidak akan menyebabkan edema paru

oleh karena perembesan plasma masih terjadi. Tetapi pada saat terjadi reabsorbsi plasma dari ruang ekstravaskular, apabila cairan diberikan berlebih (kesalahan terjadi bila hanya melihat penurunan hemoglobin dan hematokrit tanpa memperhatikan hari sakit), pasien akan mengalami distress pernafasan, disertai sembab pada kelopak mata, dan ditunjang dengan gambaran edem paru pada foto roentgen dada. Gambaran edem paru harus dibedakan dengan perdarahan paru.

52

BAB 4 PEMBAHASAN

4.1 Anamnesis Fakta Anamnesis Gejala awal: Teori Bentuk klasik dari DBD ditandai dengan demam tinggi mendadak 2-7 hari, disertai

Demam dirasakan 5 hari naik turun, dengan muka kemerahan. Keluhan seperti meningkat terutama pada malam hari Nafsu makan menurun BAB normal anoreksia, sakit kepala, nyeri otot, tulang, sendi, mual, dan muntah sering ditemukan. Beberapa penderita mengeluh nyeri menelan,

Muntah-muntah 2 hari sebelum MRS, namun jarang ditemukan batuk pilek. Biasanya juga ditemukan nyeri perut berisi makanan, tidak menyemprot Batuk berdahak, sehari sebelum MRS Mengigau dirasakan di epigastrium, dibawah tulang iga, dan nyeri abdominal generalisata. Bentuk perdarahan yang paling sering ditemukan adalah uji Tourniquet (Rumple leede) positif, kulit mudah memar dan perdarahan pada bekas suntikan intravena atau pada bekas pengambilan darah. Kebanyakan kasus petekie halus ditemukan tersebar didaerah ekstremitas, aksila, wajah, dan palatum mole yang biasanya ditemukan pada fase awal dari demam. Epistaksis dan perdarahan gusi lebih jarang ditemukan, perdarahan saluran cerna ringan dapat ditemukan pada fase demam.

Dari anamnesis, diperoleh beberapa gejala yang sesuai dengan teori, antara lain, demam 5 hari naik turun, meningkat terutama pada malam hari, nafsu makan menurun, muntah-muntah dua hari berisi makanan dan tidak menyemprot. Terdapat gejala lain berupa batuk berdahak.

53

Demam berdarah dengue didahului oleh demam mendadak disertai gejala klinik yang tidak spesifik seperti anoreksia, lemah, nyeri punggung, tulang, sendi dan kepala. Demam sebagai gejala utama terdapat pada semua kasus. Penyakit demam berdarah dengue didahului oleh. demam tinggi yang mendadak, terus menerus, berlangsung 2-7 hari, naik turun tidak mempan dengan obat antipiretik. Akhir fase demam merupakan fase kritis pada DBD. Pada saat fase demam mulai cenderung menurun dan pasien tampak seakan sembuh, hati-hati karena fase tersebut.dapat sebagai awal kejadian syok. Biasanya pada hari ketiga dari demam. Hari ke 3,4,5 adalah fase kritis yang harus dicermati pada hari ke 6 dapat terjadi syok. Kemungkinan terjadi perdarahan dan kadar trombosit sangat rendah (<20.000/l). Alasan mengapa orang tua membawa anaknya berobat oleh karena khawatir akan keadaan anak yang demam, menjadi gelisah dan teraba dingin pada kaki dan tangan, gejala-gejala ini sebenarnya mencerminkan keadaan pre-syok, atau oleh karena demam dan manifestasi di kulit menjadi nyata. Dalam kasus ini timbul gejala klinis berupa demam yang dialami sejak 6 hari sebelum masuk rumah sakit, demam mendadak tinggi, naik turun, pasien telah minum obat penurun panas tetapi tidak ada perubahan. Demam disertai dengan sakit kepala. Demam turun pada hari ke 5. Berdasarkan literatur, beberapa penderita demam berdarah dengue mengeluh nyeri menelan, namun jarang ditemukan batuk dan pilek. Biasanya juga ditemukan nyeri perut dirasakan diepigastrium, dibawah tulang iga, dan nyeri abdominal generalisata.9 Dalam kasus ini, sejak 4 hari sebelum masuk rumah sakit pasien mengalami batuk berdahak. Selain itu pasien mengeluhkan sakit pada perut kanan atas sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit. Muntah merupakan indikasi terhadap peradangan gastrointestinal akibat dari signal aferan vagal ke central patter generator yang dipicu oleh pelepasan lokal mediator inflamasi dari mukosa yang rusak dengan pelepasan sekunder neurotransmitters eksitasi yang paling penting adalah serotonin dari sel entrochromaffin mukosa. Muntah diawali dengan rangsangan pada pusat muntah (Vomiting Centre), suatu pusat kendali di medulla berdekatan dengan pusat pernapasan atau Chemoreceptor Trigger Zone (CTZ) di area postrema pada lantai ventrikel keempat Susunan Saraf. Koordinasi pusat muntah dapat dirangsang

54

melalui berbagai jaras. Muntah dapat pula terjadi karena tekanan psikologis melalui jaras yang kortek serebri dan system limbic menuju pusat muntah (VC). Pencegahan muntah mungkin dapat melalui mekanisme ini. Muntah terjadi jika pusat muntah terangsang melalui vestibular atau sistim vestibuloserebella dari labirint di dalam telinga. Rangsangan bahan kimia melalui darah atau cairan otak (LCS) akan terdeteksi oleh CTZ. Mekanisme ini menjadi target dari banyak obat anti emetik. Nervus vagal dan visceral merupakan jaras keempat yang dapat menstimulasi muntah melalui iritasi saluran cerna disertai saluran cerna dan pengosongan lambung yang lambat. Sekali pusat muntah terangsang maka cascade ini akan berjalan dan akan menyebabkan timbulnya muntah. Muntah merupakan perilaku yang komplek, dimana pada manusia muntah terdiri dari 3 aktivitas yang terkait, nausea (mual), retching dan pengeluaran isi lambung. Ada 2 regio anatomi di medulla yang mengontrol muntah, 1) chemoreceptor trigger zone (CTZ) dan 2) central vomiting centre(CVC). CTZ yang terletak di area postrema pada dasar ujung caudal ventrikel IV di luar blood brain barrier (sawar otak). Reseptor didaerah ini diaktivasi oleh bahan-bahan proemetik di dalam sirkulasi darah atau di cairan cerebrospinal (CSF). Eferen dari CTZ dikirim ke CVC selanjutnya terjadi serangkaian kejadian yang dimulai melalui vagal eferan spanchnic. CVC terletak di nukleus tractus solitarius dan disekitar formation retikularis medulla tepat dibawah CTZ. CTZ mengandung reseptor reseptor untuk bermacam-macam sinyal neuroaktif yang dapat menyebabkan muntah. Reseptor untuk dopamine titik tangkap kerja dari apomorphine acethylcholine, vasopressine, enkephalin, angiotensin, insulin, endhorphine, substance P, dan mediator-mediator yang lain. Mediator adenosine 3,5 cyclic monophosphate (cyclic AMP) mungkin terlibat dalam respon eksitasi untuk semua peptide. Stimulator oleh theophyline dapat menghambat aktivitas proemetik dari bahan neuropeptic tersebut. Batuk merupakan gejala klinis pada respirasi yang dapat muncul pada demam. Hal ini diakibatkan karena adanya endotoksin yang menempel pada reseptor sel endotel kapiler. Dimana adanya iritasi pada bronkus. Batuk ini bertujuan untuk membuang produk-produk radang keluar. Karena terlibatnya bronkus pada setiap penyakit tidak sama, mungkin saja batuk baru ada setelah penyakit berkembang berminggu-minggu sampai berbulan-bulan peradangan

55

dimulai. Sifat batuk dimulai dari batuk nonproduktif (kering) kemudian setelah timbul peradangan menjadi batuk produktif.

4.2 Pemeriksaan Fisik Fakta Pemeriksaan Fisik Suhu tinggi lebih dari 39oC Uji torniquet (rumple leede) positif Didapatkan syok, yaitu hipotensi nadi lemah dan akral dingin

Teori Suhu biasanya tinggi (>390C), kadang suhu mugkin setinggi 40-410C Perdarahan kulit seperti uji tourniquet (rumple leede) positif, petekie, purpura, ekimosis, dan perdarahan konjungtiva. Perdarahan lain epistaksis, perdarahan gusi, melena, dan hematemesis. Hepatomegali Syok ditandai nadi cepat dan lemah, hipotensi, kaki dan tangan dingin

4.3 Diagnosis Banding 1. Demam Tifoid 2. Malaria 3. Demam Berdarah Dengue

56

Demam Tifoid Gejala awal: Demam mulai perlahan-lahan dan meningkat secara bertahap Manifestasi Klinis Malaise Anoreksia Mialgia Nyeri kepala Nyeri perut Diare yang kemudian akan menjadi konstipasi -

Malaria Gejala klinis: Demam intermitten Anemia Splenomegali Periode prodormal: Demam tidak teratur Anoreksia Menggigil Artralgia Perut tidak enak (sebah) -

Demam Berdarah Dengue Demam 1-5 hari yang mulai mendadak dan langsung tinggi Faringitis Rhinitis Batuk ringan anoreksia Nyeri frontal/retro orbital Ruam sementara makular,menyeluruh, yang memucat pada penekanan selama 24-48 jam pertama demam Mialgia/artralgia Mual-muntah saat demam hari ke 2-6 Limfadenopati Ruam morbiliformis, makulopapular, meyeluruh muncul kembali 1-2 hari setelah demam turun Rumple Leed positif

Gejala minggu kedua: Demam tinggi Malaise

Diare ringan

4 stadium serangan

57

Anoreksia Batuk Gejala perut bertambah parah

primer: Menggigil Demam tinggi Berkeringat banyak Periode apiretik

Mengigau Sinkop

Tanda fisik: Bradikardi

Hepatomegali Splenomegali Meteorismus dengan nyeri difus

Ruam makula/makulopapular pada hari ke 7-10

Data Laboratorium

Leukopenia pada minggu pertama/kedua

Hapusan darah: Ditemukan parasit dalam eritrosit

Pansitopenia pada hari ke 3-4 sakit dengan leukopenia serendah 2000/mm3 dan trombosit jarang dibawah 100.000/mm3

Jika terjadi abses

58

bernanah menyebabkan leukositosis 20.000-25.000/mm3 Trombositopenia Gangguan fungsi hati Proteinuria Sering ditemukan leukosit dan eritrosit di feses Tes widal dengan titer antibody O dan H meningkat Serologis:

Uji torniket jarang positif Asidosis ringan Hemokonsentrasi Hipoproteinuria

Terdapat antibodi spesifik dan kenaikan kadar IgG yang menetap selama berbulan-bulan/bertahun -tahun selama serangan akut

Berdasarkan tipe demam yang dialami pasien, yaitu demam 5 hari naik turun dan meningkat terutama malam hari, dapat digolongkan dalam gejala dari demam tifoid, malaria dan demam dengue. Selain demam, pasien juga mengalami gejala lain yang masing-masing terdapat pada gejala dari 3 penyakit di atas antara lain Nafsu makan menurun, muntah-muntah berisi makanan dan tidak menyemprot 2 hari sebelum MRS, serta batuk berdahak sehari sebelum MRS. Jika diperhatikan dari tipe demamnya, pasien dapat disimpulkan mengalami demam tifoid. Akan tetapi diagnosis dapat lebih mudah ditegakkan jika dilakukan pemeriksaan penunjang yang sesuai dengan gejala yang dialami pasien agar pasien dapat segera ditangani lebih lanjut.

59

4.4 Pemeriksaan Penunjang Fakta Pemeriksaan Penunjang Leukopenia: 4.700 sel/ mm3 Trombositopenia: 55.000 sel/ mm3 Tes widal titer antibody O Teori Laboratorium Leukopenia pada minggu pertama/kedua Jika terjadi abses bernanah menyebabkan leukositosis 20.000-25.000/mm3 Trombositopenia Gangguan fungsi hati Proteinuria Sering ditemukan leukosit dan eritrosit di feses Tes widal dengan titer antibody O dan H meningkat

meningkat, yaitu positif 1/160

60

4.5 Diagnosis Teori Anamnesis, Pemeriksaan Fisik dan Lab Demam Demam mendadak terus menerus 2-7 hari tanpa sebab yang jelas. Tipe demam bifasik (saddleback). Manifestasi perdarahan, salah satu tergantung: - Uji torniket (+) - Petechie, ekhimosis ataupun purpura - Perdarahan mukosa traktus gastrointestinal, epistaksis, perdarahan gusi - Hematemesis dan melena Hepatomegali Kriteria Laboratoris - Trombositopenia (trombosit < 100.000 /ul) - Hemokonsentrasi ( Peningkatan Ht 20% atau penurunan Ht 20% setelah mendapat terapi cairan). Kasus Anamnesis Anak laki-laki Usia 1 tahun BB : 11 kg 1. Demam 4 hari, naik turun, mengingau (-) 2. Torniquet test (+) 3. Terjadi hemokonsentrasi dengan penurunan Hct >20% Hasil Lab: Leukosit : Leu :4.700 sel/ mm3 Hb : 7,5 g/dl Hct : 22% Tro: 55.000 sel/ mm3

61

4.6 Penatalaksanaan Teori

Kasus 1. Fase Syok: IFVD RL 20cc/ kgBB dalam 1 jam selang seling dengan HES 20 cc/ kgBB dalam 1 jam diulang sebanyak 3 kali dan lanjut IVFD RL 3 cc/ kgBB/ jam 33 cc/ jam 2. Paracetamol Injeksi 110 mg/ 8 jam/ IV (kalau demam) 3. Cefotaxime Injeksi 350 mg/ 8 jam/ IV 4. Puasakan sementara 5. O2 nasal kanul 2L/ menit 6. Transfusi PRC 100 cc

sebanyak 2 kali

62

BAB 5 PENUTUP

5.1 Kesimpulan Kasus demam berdarah dengue pada laporan kasus ini menunjukkan gejala-gejala yang tidak terlalu khas jika dibandingkan dengan literatur dan penelitian yang ada sebelumnya. Keluhan yang dialami pasien adalah panas 5 hari, Demam dirasakan 5 hari naik turun, meningkat terutama pada malam hari, nafsu makan menurun, muntah-muntah 2 hari sebelum MRS, berisi makanan, tidak menyemprot, dan batuk berdahak, sehari sebelum MRS. Selain itu ketika demam, pasien juga mengigau. Adapun hasil pemeriksaan fisik yang ditemukan adalah kesadaran komposmentis pada pasien setelah fase syok, nilai tekanan darah dan nadi yang sudah normal, tidak ditemukan adanya hepatomegali, dan akral yang hangat. Semua pasien dinyatakan positif menderita demam berdarah dengue setelah terpenuhi semua kriteria klinis dan laboratorium yaitu antara hari panas ke-4 sampai ke-7, dengan tes dengue blot positif pada sebagian besar pasien, sesuai dengan literatur yang ada. 5.2 Saran 1. Perlu dilakukannya tes Widal pada minggu kedua untuk memastikan ada tidaknya demam thphoid sebagai penyakit penyerta pada kasus ini. 2. Penanganan kasus DBD yang terutama adalah pemberian cairan dan perlunya diwaspadai terjadinya shock pada demam hari IV VI sesuai dengan perjalanan klinis pasien.

63

DAFTAR PUSTAKA

1.

Arifin Z. Pola leukemia limfoblastik akut di bagian Ilmu kesehatan anak FK USU/RS Pirngadi. Medan. e USU Repository : Universitas Sumatra utara, 2004.

2.

Anomim. Leukemia akut. (online), 2007. http: // www.scrib.com, diakses tanggal 11 november 2010.

3.

Permono B, dkk. Leukemia akut. (editor) Bambang permono. Buku ajar hematologi onkologi anak cetakan kedua. Jakarta : IDAI, 2006, hal 246 247.

4.

Rubnitz JE, Hon-pui C. Childhood acute lymphoblastic leukemia. The oncologist 1997; 2 :374 380.

5.

Fanning, Suzanne R, Sekeres, Mikkael A and Theil K. Leukemia. Cleveland Clinic, 2004

6.

Ricerca

MC,

et

al.

Acute

lymphoblastic

leukemia.

http

://

www.orpha.net/data/patho/GB/uk-ALL.pdf, December 2004, page. 1 13. 7. Emerianciano M, Koifman S, Pambo de-oliverira. Acute Leukemia in early childhood. Brazilian journal of mediacai and biological research, vol.40, no.6, 2007, page. 749 760. 8. Pui CH, Relling MD, Downing JR. Acute Lymphoblatic Leukemia. N ENGL J MED 350 ; 15, april 8, 2004, page. 1535 1548. 9. Pasquini, Marcelo and Rocha, Vanderson. Acute Myeloid Leukemia. [Online] 2005 http://home.ccr.cancer.gov/oncology/oncogenomics/WEBHemOncFiles/PPT %20and%20PDF%20etc%20to%20add/AML_2.pdf. 10. Bachir F, et al. Characterization of acute lymphoblastic leukemia subtypes in maroccan children. International journal of pediatrics, vol.2009, page 1 7. 11. Rubnitz JE, et al. Childhood acute lymphoblstic leukemia with MLL-ENL fusion and t (11;19) (q23;p13.3) translocation. J clin oncol 17, American society of clinical oncology, 1999. Page 191 196.

64

12.

Zorlu P, Ergor G, et al. Evaluation of risk factors in children with acute lymphoblastic leukemia. Turkish journal of cancer vol.32, no.1, 2002, page 5 11.

13.

Gaynon PS, et al. Survival after relapse in childhood acute lymphoblastic leukemia. CANCER April 1, 1998, vol.82, no.7, pp. 1387-1395. Stone RM, ODonnell M, Sekeres MA. Acute myeloid leukemia. American society of hematology, 2004, page 98 117.

14.

15.

Krance, RA. Leukemia myeloid acute. (Editor) Klieghman, AB. Ilmu kesehatan anak edisi 15, vol.13. Nelson. Jakarta : EGC, 2000.

16.

Mitchael, Kumar, Abbas,Fusto. Buku Saku Dasar Patologis Penyakit. Robbins & Cotran.Edisi 7. EGC, 2009.

17.

Society, The Leukemia & Lymphoma. Acute Myelogenous Leukemia. [Online] Cephalon Oncology, 2006.

http://www.leukemia-lymphoma.org/attachments/National/br_1200426633. pdf. 18. Karen, S. Acute Myelogenous Leukemia. New York : emedicine medscape, 2010. 19. Sanz MA, Lo loco F, Ribeiro RC. Acute Promielocytic Leukemia. American society of hematology, 2006. Page 147 155. 20. Pui CH, et al. Acute myeloid Leuekmia in children treated with epipodophyllotoxins for acute lymphoblastic leukemia. The new england journal of medicine,vol. 325, no. 24, december 12, 1991, page. 1682 7

65

You might also like