You are on page 1of 19

UTANG MENGGURITA; MASIHKAH ADA HARAPAN

INDONESIA LEPAS DARI LILITAN UTANG


Oleh:
Moch. Rum Alim
E-mail: umualim@yahoo.com

Pendahuluan
Tahun 1984 Marzuki Usman dalam kapasitasnya sebagai
Ketua Ikatan Sarjana Ekonomi (ISE) DKI Jakarta memberikan
ceramah di hadapan civitas academica Universitas Nasional.
Dalam ceramah tersebut beliau antara lain menyatakan bahwa
“orang tua kita dahulu tidak akan nyenyak tidur kalau mereka
mempunyai utang. Tetapi orang sekarang tidak akan nyenyak
tidur bila tidak mempunyai utang. Kenapa? Karena orang yang
tidak punya utang tandanya dia tidak dipercaya”. Pernyataan ini
mungkin hanyalah gurauan. Namun secara telanjang kebenaran
pernyataan ini tergambar dari perilaku pemerintah Indonesia
ketika mereka memperoleh utang, baik berupa pinjaman
bilataral maupun multilateral via international financial
institutions (IFIs). Dengan bangga para pejabat tinggi negara
mengumumkan, baik langsung maupun tidak langsung, atas
keberhasilan mereka memperoleh utang luar negeri ini tanpa
nada khawatir sedikitpun. Bahkan dalam pernyaaan mereka itu
sering terselip kata: “keberhasilan ini merupakan bukti bahwa
kita masih dipercaya”. Perilaku yang serupa pun tergambar
pada sikap masyarakat, terutama yang berada di kota-kota.
Mereka akan bangga dan merasa telah menjadi masyarakat
dunia apabila membayar belanjaan mereka dengan
menggunakan credit card. Credit card telah dijadikan sebagai
lambang masyarakat berkelas, masyarakat modern.
Pernyataan Marzuki Usman sebagaimana diungkapkan di atas
disampaikan dengan nada ringan tanpa ada kekhawatir
sedikitpun. Mungkin ketika itu tidak terbayang dalam benaknya:
adanya bahaya utang, apalagi malapetaka yang menimpa
perekonomian negara ini gara-gara kebanyakan utang.
Saat ini Indonesia telah terbelit utang luar negeri pada tingkat
yang sangat menghawatirkan, namun tidak ada tanda-tanda
bahwa pemerintah akan berhenti meminjam. Utang luar negeri
kita bukannya semakin berkurang malah secara kumulatif terus
meningkat dari tahun ke tahun. Di tambah lagi dengan utang
domestik yang di create pemerintah untuk program bantuan
likuiditas serta program penjaminan dalam penyehatan
perbankan. Pembayaran kembali utang-utang dan bunganya
kini menjadi beban belanja negara, sehingga keuangan negara
terancam bankrut.
Makalah ini hendak menyoroti kondisi perbankan dan utang luar
negeri menjelang dan pada saat awal krisis ekonomi Indonesia
tahun 1998.
Utang dan Peranan Bank
Utang atau kredit (credit) adalah suatu istilah yang
menyatakan bahwa seseorang atau badan akan membayar
kembali dikemudian hari atas uang atau barang yang
diterimanya dari pihak lain. Pihak yang menerima uang/barang,
berjanji (dan terikat dengan janji itu) akan mengembalikan atau
membayar kembali di kemudian hari disebut pihak yang
berutang. Sebaliknya pihak yang menyerahkan uang atau
barang dan bersedia menerima pembayaran atau pengembalian
uang di kemudian hari disebut pihak yang memberi utang.
Seringkali pihak yang berutang disebut debitur dan pihak yang
memberi utang disebut kreditur (creditor). Pihak debitur
haruslah pihak yang dapat dipercaya dan untuk itu dia dituntut
memiliki “4C’s of credit”, yaitu: character, capacity, capital,
collateral. C yang pertama menyatakan bahwa pihak yang akan
menerima utang memiliki moral yang tinggi. Artinya ia
senantiasa menepati janji dan karenanya dapat dipercaya. C
yang kedua menyatakan bahwa pihak yang akan menerima
utang mempunyai kemampuan membayar. Kemampuan ini
dimiliki karena ia mempunyai usaha yang cukup
menguntungkan dan mempunyai peluang berkembang di masa
depan. C yang ketiga menyatakan bahwa pihak yang akan
menerima utang memiliki modal sendiri di dalam menjalankan
usahanya. Ini berarti bahwa utang yang akan diterima
merupakan tambahan atas modal sebagai penunjang,
sedangkan modal sendiri merupakan sumber pembiayaan
utama dalam operasi perusahaan. C yang keempat menyatakan
bahwa pihak yang akan menerima utang menyerahkan atau
menitipkan sesuatu kepada pemberi utang sebagai jaminan.
Apabila di kemudian hari pihak penerima utang tidak sanggup
membayar utangnya, maka barang jaminan ini dapat diuangkan
oleh pihak pemberi utang agar utangnya dapat diperoleh
kembali.
“4C’s of credit” ini merupakan suatu kesatuan yang haruslah
dimiliki oleh calon penerima utang secara utuh. Untuk itu pihak
pemberi utang (kredit) dituntut untuk melakukan penilaian dan
investigasi (investigation) secara cermat agar ia dapat
memperoleh kepercayaan yang teguh sebelum kredit diberikan.
Apabila penilaian dan investigasi telah dilakukan dengan cermat
dan ternyata calon penerima kredit memiliki semua syarat dari
“4C’s of credit”, maka utang (kredit) dapat diberikan. Dalam hal
pemberian kredit (utang) yang didasarkan atas hasil penilaian
dan investigasi secara cermat, dapatlah disebut bahwa
penerima kredit merupakan pihak yang telah mendapatkan
kepercayaan dari pihak pemberi kredit; dan jadilah ia sebagai
orang yang dipercaya. Dalam batas-batas (bingkai) inilah
pernyataan Marzuki Usman benar bahwa “orang yang banyak
utang adalah orang yang terpercaya”. Namun, apakah benar
kalau semua orang yang berutang itu adalah orang-orang yang
terpercaya?.
Investigasi dan penilaian atas “4C’s of credit” dari seorang
calon penerima kredit bukanlah pekerjaan mudah apabila
hendak dilakukan secara cermat dan hati-hati, terutama yang
berkaitan dengan character dan capacity. Character seseorang
tidak kasat mata. Sementara itu pihak yang akan memberi
kredit (calon kreditur) tidak mempunyai cukup waktu untuk
mengamati dari dekat character dari calon penerima kredit.
Jalan pintas yang dilakukan untuk mengatasi kesulitan ini adalah
referansi (reference) pihak ketiga yang telah terlebih dahulu
berpengalaman memberikan kredit kepada yang bersangkutan;
atau referensi pihak ketiga yang dipercaya oleh calon kreditur.
Capacity berkaitan dengan kemampuan membayar kembali
kredit yang akan diterima. Cara mudah untuk melakukan
penilaian atas capacity adalah dengan menganalisis Neraca
(balance sheet) dan Laporan Rugi/Laba perusahaan selama lima
atau tiga tahun terahir serta cash flow. Sementara itu capacity
yang sesungguhnya di masa depan tetap merupakan teka-teki
dan berada dalam ketidak pastian.
Penilaian capital relatif lebih mudah dibandingkan dengan
tiga C lainnya. Collateral berupa barang tidak bergerak atau
lainnya memerlukan taksiran nilai atas collateral tersebut di
masa depan. Hal ini tidak dapat dilakukan semua orang,
melainkan orang yang memiliki pengetahuan dan keahlian
khusus. Setelah nilai collateral diketahui barulah kredit diberikan
dalam jumlah yang lebih kecil dari nilai collateral.
Dalam perekonomian modern bank memainkan peranan
penting dalam memobilisasi dana masyarakat kemudian
meminjamkan kepada dunia usaha untuk membiayai kegiatan
produksi, baik yang sedang berjalan maupun yang akan
berjalan. Fungsi mediator dunia perbankan ini haruslah
terplihara dengan baik agar perekonomian suatu negara atau
suatu kawasan (region) dapat tumbuh dan berkembang pada
tigkat yang lebih maju. Bila tidak, maka perkonomian negara
atau region tersebut akan mengalami kemunduran, dan pada
gilirannya akan mengganggu kestabilan sektor lainnya.
Dalam melaksanakan fungsi mediator ini bank-bank haruslah
menjaga keseimbangan di antara tiga kepentingan secara
dinamis, yakni kepentingan masyarakat sebagai pemilik dana,
kepentingan pengusaha sebagai pengguna dana, dan
kepentingan perbankan sendiri sebagai mediator. Dari sudut
pandang ekonomi masyarakat pemilik dana menyimpan
uangnya di bank dengan maksud memperoleh bunga. Namun
tujuan memperoleh bunga bukanlah satu-satunya tujuan. Di
balik itu ada tujuan lain yang mungkin lebih esensial, yaitu
uangnya tersimpan aman dan dapat ditarik kembali sewaktu-
waktu apabila diperlukan.
Bank dalam perkembangannya merupakan suatu lembaga
ekonomi yang profit oriented. Uang yang disimpan masyarakat
(nasabah) oleh bank dipinjamkan kepada pihak ketiga
(perusahaan dan masyarakat) dengan mengenakan bunga yang
lebih tinggi dari yang dibayarkannya kepada para penyimpan
(nasabah). Marjin bunga yang diperoleh bank merupakan
penerimaan (revenue), yang setelah dipotong seluruh biaya
operasi, akan diperoleh profit. Operasi perbankan ini
dimungkinkan karena beberapa alasan, anatara lain: (1) uang
yang disimpan para nasban di suatu bank tertentu tidak diambil
sekaligus dan serempak pada suatu waktu, sehingga bank
memegang (menguasai sementara) uang cukup banyak; (2)
Bank berkewajiban membayar bunga kepada para nasabah; (3)
Pihak ketiga, dalam hal ini perusahaan, memerlukan dana
tambahan untuk ekspansi usaha.
Dalam ekonomi modern, bank (dan lembaga keuangan
lainnya) mempunyai peranan yang amat penting dalam proses
transfer dana yang diperlukan oleh unit-unit produksi dalam
sector-sektor ekonomi yang mengalami pertumbuhan pesat
untuk ekspansi. Secara umum, fungsi bank adalah:
1. Fungsi mobilisasi, yaitu: menghimpun dana kecil-kecil dan
tersebar dan menya-lurkannya ke dalam investasi yang
lebih besar
2. Fungsi likuditas, yaitu: mempunyai kemampuan untuk
memelihara likuiditas alat-alat finansial dan menjamin agar
alat-alat tersebut dapat dicairkan menjadi uang tunai.
Pencairan dana dapat dicairkan dengan segera tanpa
menunggu alat-alat tersebut jatuh tempo.
3. Fungsi penyatuan maturity, yaitu: mampu menyediakan
dana setiap saat, tanpa terikat pada jatuh temponya
portofolio alat-alat finansial.
Dalam melaksanakan fungsi menyalurkan dana kepada unit-
unit produksi, selayaknya bank bersikap hati-hati, dengan
memegang pinsip “4C’s of credit”. Namun di dalam
melaksanakan prinsip “4C’s of credit” terdapat trade-off dengan
kelancaran penyaluran dana. Bila bank beroperasi sesuai
dengan prinsip-prinsip perbankan dan melaksanakan secara
konsisten prinsip “4C’s of credit” maka akan tidak terjadi kredit
macet dan posisi bank pun akan menjadi aman. Namun, apabila
bank memegang prinsip “4C’s of credit” secara teguh dan
menerapkannya secara ketat, maka penyaluran kredit akan
mengalami hambatan, tidak lancar, yang pada gilirannya dunia
usaha tidak akan terdorong untuk mengembangkan usahanya.
Namun, apabila “4C’s of credit” dilonggarkan atau diabaikan
maka ancaman kredit macet akan menganga dan siap
menerkam sewaktu-waktu. Bila terjadi kredit macet pada suatu
bank, maka peluang operasi bank tersebut akan menyempit,
dan jika tidak segera diatasi akan terancam likuidasi.
Dalam kaitan ini diperlukan suatu kearifan, kecerdasan, dan
kecermatan para pengelola perbankan. Jika tidak, maka tidak
akan tersedia alternatif yang terbaik bagi kelancaran
penyaluran kredit dan trade-off yang disebutkan di atas akan
benar-benar terjadi.
Kelangkaan Manajer dan Kredit Macet

Sejak Pakto 1988 diluncurkan, ratusan bank-bank swasta


nasional (BSN) berdiri dengan cepat dan ribuan kantor di buka.
Ini berarti ribuan tenaga kerja professional perbankan
diperlukan. Tenaga profesional perbankan bukan hanya sekadar
teller, atau hanya mampu membaca dan menganalisis neraca
dan laporan rugi/laba. Tetapi tenaga yang mempunyai visi, yang
mampu mengenali berbagai karakteristik bidang usaha, mampu
menganalisis dan mengetahui bahwa peminat kredit memang
layak kredit. Sementara itu untuk menjadi seorang banker atau
manjer profesional perbankan, tidak cukup dengan pendidikan
formal sarjana saja, melainkan memerlukan pengalaman
(leanirning by doing) di bidang perbankan paling sedikit dalam
waktu lebih dari 10 tahun. Dalam keadaan yang demikian dapat
diperkirakan bahwa pada umumnya bank-bank yang baru
berdiri setelah Pakto ’88 dikelola oleh tenaga-tenaga yang
kurang professional. Jika kebanyak bank dikelola secara tidak
professional berarti bank-bank pada umumnya tidak
menjalankan fungsi-fungsi perbankan secara memadai. Keadaan
ini akan mengganggu system perbankan dan moneter, yang
dalam jangka panjang pasti akan membuat perekonomian
Indonesia menjadi macet bahkan collapse.
Bank-bank yang didirikan setelah Pakto ’88, tidak hanya
dikelola oleh manajer yang tidak professional, tetapi juga
didirikan oeh para konglomerat yang tidak paham apa itu bank,
fungsi dan peranannya dalam perekonomian. Dianggapnya bank
itu sama dengan perusahaan dagang. Akibatnya, teknik yang
digunakan di dalam mobilisasi dana masyarakat adalah teknok
pedagang kelontong, yakni menawarkan suku bunga tabungan
yang tinggi, terutama bunga deposito, dan berbagai hadiah
atau bonus yang fantastic. Selain itu, pemilik bank juga memiliki
puluhan bahkan ratusan perusahaan beraneka ragam, sehingga
dana-dana masyarakat yang berhasil dimobilisasi dipinjamkan
kepada perusahaan-perusahaan miliknya sendiri tanpa peduli
kepada kelayakan kredit dan kesehatan perusahaan. Praktek-
praktek perbankan semacam ini mendorong tingkat bunga
mikro menjadi tinggi dan bila tidak dikendalikan oleh otoritas
moneter maka suku bunga makro akan terseret naik dan pada
gilirannya akan memicu terjadinya inflasi tinggi; dan
menyuburkan peluang terjadinya kredit macet. Kalau kredit
macet terjadi dan tidak segera diatasi, maka dengan sendirinya
akan terjadi penggelembungan (bubble), yaitu suatu keadaan
dimana tidak ada dana yang disalurkan namun seolah-olah ada
kredit baru. “Kredit baru” akan menggelembung dengan sikap
dan perilaku burung unta. Perilaku yang menipu diri sendiri
dengan melakukan plafondering, yakni penumpukan bunga
terutang yang tetap saja tidak dibayar, namun bunga terutang
ini dikonversikan ke dalam kredit baru seolah-olah debitur
membayar bunganya.
Kebijakan lain dari pemerintahan Soeharto yang perlu
dikemukan dalam tulisan ini adalah membebaskan setiap bank
melakukan pinjaman komersial dari luar negeri. Sadar atau
tidak, sesungguhnya dengan pembebasan tersebut pemerintah
telah menciptakan gejala yang dikanal sebagai the fallacy of
composition, mengingat bank bukanlah perusahaan dagang
atau usaha lain pada umumnya.
Implikasi dari kebijakan ini adalah bank-bank berebut
memperoleh pinjaman luar negeri yang pada gilirannya
memperbesar jumlah uang beredar, bahkan ternyata kemudian
memberikan sumbangan yang berarti bagi krisis ekonomi
Indonesia pada medio 1997.
Krisis Perbankan
Sampai dengan semester pertama 1997, kegiatan perbankan
secara umum masih berkembang dengan kecepatan tinggi.
Mobilisasi dana masyarakat meningkat pesat dan ekspansi
kredit tetap kuat, terutama sector property. Ekspansi berlebih
juga telah menyebabkan kewajiban perbankan, khususnya bank
swasta nasional (BSN), dalam valuta asing meningkat tajam
seperti tercermin pada memburuknya posisi devisa netto dan
semakin besarnya rekening administratif dalam valuta asing
selama tiga tahun, 1995 s/d 1997 (Tabel 1). Di sisi lain kredit
non lancar pada beberapa bank nasional cenderung meningkat,
sedangkan efisiensi usaha memburuk.
Tabel 1
Beberapa Indikator Perbankan
(dalam miliar rupiah)
Indikator 1995/1996 1996/1997 1997 1997/1998
Dana Pihak Ketiga 214.764 281.718 357.613 452.937
Kredit 234.611 292.921 378.134 476.841
- Properti 42.793 58.797 68.318 70.112
- 25.310 35.579 9.769 39.061
Konsumsi 24.400 27.957 30.802 109.7801)
Kredit Non Lancar 57,7 42,9 50,5 22,2
Rasio AV/PV2) 76.213 121.853 478.813 174.574
Rekening 178.423 208.903 1.060.349 439.343
Administratif 0,92 0,92 0,95 1,01
- Tagihan
-
Kewajiban
BOPO
1) Berdasarkan ketentuan lama sebesar Rp. 62.558
milliar;
2) AV/PV = Aktiva valas/Pasiva valas
Sumber: Opposunggu, 1998

Perkembangan di atas menyebabkan perbankan nasional


sangat rentan (fragility) terhadap goncangan-goncangan yang
terjadi dalam perekonomian. Paling sedikit ada lima faktor yang
menyebabkan perbankan nasional menjadi rentan:
1. Adanya jaminan terselubung (implicit guarantee) dari bank
sentral atas kelangsungan hidup suatu bank untuk
mencegah kegagalan sistemik dalam industri perbankan.
Hal ini menimbulkan moral hazard di kalangan pengelola
dan pemilik bank. Jaminan yang ada praktis menggeser
risiko yang dihadapi bank-bank umum kepada bank
Indonesia, serta mendorong bank umum mengambil utang
berlebihan dan memberi kredit ke sector-sektor berisiko
tinggi. Kecenderungan ini mengakibatkan distorsi dalam
alokasi kredit dan meningkan risiko terjadinya krisis
perbankan;
2. Sistem pengawasan Bank Indonesia kurang efektif karena
belum sepenuhnya dapat mengimbangi pesatnya
perkembangan dan kompleksnya operasional perbankan.
Keadaan ini mendorong perbankan nasional mengabaikan
prinsip kehati-hatian di dsalam operasi mereka. Dengan
kata lain, lemahnya law enforcement dan kurangnya
kemadirian (independensi) menyebabkan langkah-langkah
koreksi tidak dapat dilakukan secara efektif;
3. Besarnya pemberian kredit dan jaminan langsung ataupun
tidak langsung kepada individu dan atau kelompok usaha
yang terkait dengan bank (connected lending) mendorong
terjadinya kredit macet;
4. Lemahnya kemampuan manajerial bank mengakibatkan
penurunan kualitas asset productive dan meningkatkan
risiko perbankan;
5. Kurangnya transpaansi mengenai kondisi perbankan,
mengakibatkan lemahnya akurasi analisis keuangan suatu
bank dan terciptanya disiplin pasar.
Dengan kondisi perbankan nasional yang rentan, gejolak nilai
tukar (kurs mata uang) rupiah telah mengakibat kebanyakan
BSN mengalami kesulitan likuiditas (mismatch) yang sangat
besar. Melemahnya nilai tukar rupiah mengakibatkan
tanggungan atas utang valuta asing naik tajam, sehingga
mempersulit kondisi likuditas perbankan. Hal ini diperburuk
dengan kondisi debitur yang juga mengalami kesulitan dalam
memenuhi kewajiban valuta asing kepada perbankan,
sehingga kredit bermasalah menjadi semakin menumpuk.
Besarnya kesulitan likuiditas pada ahirnya telah menimbulkan
krisis pada perbankan nasional.
Satu November 1997 gendang kematian 16 bank swasta
nasioan (BSN) ditabuh mengakibatkan masyarakat menjadi
panik. Kepanikan ini memberikan tekanan yang berat terhadap
posisi likuiditas perbankan, sehingga hampir seluruh BSN
menghadapi kesulitan likuiditas dalam jumlah yang besar.
Sebagian besar melanggar giro wajib minimum dan mengalami
saldo negatif atas rekening gironya di Bank Indonesia. Untuk
mencegah meluasnya penarikan masyarakat (rush) kepada
seluruh system perbankan, Bank Indnesia sebagai lender of the
last resort memberikan bantuan likuiditas perbankan. Namun,
jumlah bantuan likuiditas ini sedemikian besar sehingga
menimbulkan masalah baru berupa meningkatnya jumlah uang
beredar yang mendorong kenaikan harga-harga dan kegiatan
spekulasi pembelian valas.
Keadaan perbankan nasional yang sudah sedemikian tertekan
diperburuk pula oleh menurnnya peringkat (rating) yang
diberikan oleh lembaga pemeringkat internasional, sehingga
kredibilitas perbankan nasional di luar negeri menurun. Hal ini
tercermin dari penolakan bank-bank di berbagai negara
terhadap transaksi valas dan letter of credit (L/C) yang
diterbitkan oleh bank-bank nasional.
Krisis Utang Luar Negeri
Hampir tidak ada perusahaan yang berkembang cepat tanpa
utang. Demikian halnya dengan negara-negara pada umumnya.
Hampir semua negara membiayai pembangunnya dengan
utang. Namun demikian, yentunya ada perbedaan dalam
memperoleh pinjaman dan dalam pengelolaan utangnya antar
satu negara dengan negara lainnya. Ada negara yang
memanfaatkan pinjaman domestik dan mengelolanya dengan
hati-hati. Ada negara yang memanfaatkan pinjaman luar negeri
dengan proses peminjaman yang hati-hati dan mengelolanya
secara hati-hati pula. Dan ada negara yang melalukan pinjaman
luar negeri dengan ceroboh dan mengelolanya secara ceroboh
pula.
Pinjaman domestik ataupun pinjaman luar negeri, kedua-
duanya adalah utang yang harus dibayar kembali dan kedua-
duanya memiliki risiko, bahkan mengandung bahaya yang
tersembunyi. Peringatan George Washington seperti dikutip The
Economist, volume 22, Januari 2000, patut mendapat
perhatian serius. Katanya: “Tidak ada tindakan yang lebih
berbahaya daripada meminjam uang”. Nasehat tokoh besar ini
tidak salah, namun bila dilaksanakan secara lugas maka system
kapitalis akan bangkrut. Utang merupakan bagian yang tak
terpisahkan dari system kapitalisme yang saat ini dinilai paling
unggul. Eropa Barat dibangun dengan utang melalui apa yang
dikenal dengan Marshal Plan. Demikian juga dengan beberapa
negara yang pada waktu lalu dikategorikan sebagai “macan”
ekonomi Asia. Negara maju seperti Jepang dan Amerika Serikat
juga tak luput dari utang. Bedanya dengan Indonesia dan
negara-negara berkembang lainnya, utang ke dua negara maju
ini berasal dari utang domestik.
Negara-negara berkembang umumnya memperbesar
kapasitas ekonominya melalui capital inflows, baik dalam
bentuk bantuan program dan pinjaman pemerintah maupun
investasi langsung. Namun, dalam perkembangan keuangan
internasional nampaknya pasar keuangan internasional semakin
terintegrasi. Integrasi ini memudahkan akses ke pasar keuangan
internasional, capital inflows menjadi semakin beragam, dan
tidak hanya dilakukan oleh pemerintah tetapi juga swasta.
Pola utang luar negeri (ULN) dapat ditinjau dari dua sisi, yakni
dari sisi permintaan dan dari sisi penawaran. Dari sisi
permintaan terdapat dua pola utang luar negeri yang dilakukan
pemerintah di negara-negara berkembang. Pola pertama adalah
permintaan ULN yang betul-betul dilandasi oleh perhitungan
yang cermat dan proyek-proyek yang akan dibiayai dengan
utang luar negeri pun jelas. Proyek-proyek tersebut secara jelas
terkait dengan proses peningkatan kapasitas ekonomi nasional,
sehingga pola ini akan menimbulkan kemampuan membayar
kembali utang luar negeri. Pola kedua adalah permintaan ULN
yang ditentukan oleh fakor-faktor random. Faktor-faktor yang
random ini terkait erat dengan perilaku elit kekuasan yang
korup. Proyek-proyek yang dibiayai dengan utang luar negeri
pola ini tidak mempunyai kaitan dengan peningkatan produksi
nasional, sehingga tidak menimbulkan kapasitas membayar
kembali (repayment capacity). Kalaupun ada yang mempunyai
kaitan dengan peningkatan kapasitas produksi, skala utang luar
negeri yang digunakan untuk membiayai proyek-proyek yang
dimaksud melebihi keperluan yang realistis, sehingga rate of
return dana pinjaman berada jauh di bawah cost of borrowing.
Selain itu, ada lagi factor random lainnya, yaitu factor
kebutuhan untuk mempertahankan nilai tukar mata uang sendiri
pada tingkat yang relatif tinggi (overvalued currency). Nilai
tukar yang overvalued ini diperlukan untuk mempertahankan
cadangan devisa yang tinggi dan menjamin kemampuan impor
barang-barang yang diperlukan.
Berangkat dari Loan Pull Theory (Hallberg, 1986)
sebagaimana dikemukan di atas, nampaknya utang luar negeri
yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia lebih cenderung pada
pola kedua, sehingga Indonesia tidak memiliki repayment
capacity utang luar negerinya. Dua tahun berturut-turut
menjelang krisis nilai tukar rupiah, pemerintah Orba
menghadapi net transfer sebagai akibat adanya negative
inflows, yakni jumlah pinjaman luar negeri yang baru lebih kecil
dari jumlah cicilan pokok dan bunga ULN.
Utang luar negeri ditinjau dari sisi penawaran adalah utang luar
negeri terjadi karena adanya dorongan dari para kreditor.
Pendekatan ini didasarkan pada Loan Push Theory (Darity –
Horn, 1988; Ernest Mandel (1986). Dari sudut pandang teori ini,
terdapat dua pola utang yang ditimbulkan oleh para kreditor.
Pola pertama adalah process recycling of petro-dollars, yaitu
lembaga-lembaga keuangan ininternasional (IFIs) yang
menguasai surplus petro-dollars berupaya dengan berbagai cara
melempar surplus petro dollars ini ke negara-negara
berkembang karena permintaan di negara-negara maju semakin
berkurang. Dalam process recycling petro-dollars telah terjadi
kaloborasi antara loan pusher dengan pejabat-pejabat
pemerintah di negara-negara berkembang, sehingga melalui
mekanisme yang direkayasa oleh pihak loan pusher banyak
proyek-proyek yang dibiayai oleh pinjaman luar negeri tidak
memiliki kelayakan ekonomis. Akibatnya, kaitan antara
pinjaman LN dan peningkatan kapasitas produksi nasional
menjadi sangat lemah dan tidak jelas. Pola yang kedua adalah
ULN di negara-negara berkembang terjadi karena adanya
dorongan overheating of creadit yang terjadi di negara-negara
maju. Proses overheating of creadit dilakukan oleh negara-
negara maju untuk mencegah terjadinya krisis dalam system
kaitalisme di negara-negara ini setelah melihat adanya gejala-
gejala resesi yang berkepanjangan.
Ditinjau dari sisi penawaran kredit LN, nampak bahwa akses
pasar untuk memperoleh pinjaman LN cukup mudah, sehingga
tidak mengherankan apabila akumulasi ULN pihak swasta
meningkat dengan cepat dan melampaui ULN pemerintah pada
masa Orba.
Setelah Pakto ’88, telah terjadi capital inflows jangka pendek
dalam jumlah yang sangat fantastis. Pintu masuk utama capital
inflows melalui saluran pinjaman komersial perbankan yang
antara lain dirangsang oleh pemerintah Indonesia rezin
Soeharto melalui subsidi premi swap valuta asing (valas) dan
tingkat suku bunga domestik yang tinggi. Bunga pinjaman LN
mengambang (floating); demikian juga dengan kurs mata uang.
Ini berarti bahwa risiko perubahan tingkat suku bunga dan kurs
ditanggung sepenuhnya oleh peminjam. Pinjaman LN tersebut
digunakan untuk menutup defisit transaksi berjalan, memupuk
cadangan devisa, membelanjai pelarian modal (capital flight)
dan investasi nasional di luar negeri. Dalam kelompok
penggunaan yang pertama, termasuk impor barang modal milik
segelintir konglomerat nasional dan BUMN tertentu. Hal ini
berarti berbagai mega proyek yang sifat investasinya jangka
panjang dibiayai oleh pinjaman komersial jangka pendek. Pola
pembiayaan seperti ini akan mengganggu stabilitas ekonomi
nasional dan telah lama diperingatkan oleh para pengamat
sebelum terjadi krisis pada medio 1997.
Boediono (1997) mengemukakan bahwa opsi pertahanan yang
terbaik bagi suatu negara adalah mempertahankan secara terus
menerus mempertahankan kebijakan makroekonomi yang
benar. Opsi ini berarti bahwa suku bunga, kurs, laju inflasi,
defisit transaksi berjalan, dan utang jangka pnedek harus terus-
menerus dijaga jangan sampai keluar dari norma-norma yang
diterima dunia. Dalam kaitan ini nampak bahwa antara tahun
1993/1994 sampai tahun 1997/1998 utang LN Indonesia
berkembang dengan cepat sehingga pembayaran cicilan utang
pokok dan bunga meningkat tajam. Peningkatan pembayaran
cicilan pokok dan bunga pinjaman tidak dapat diimbangi oleh
kenaikan ekspor barang dan jasa sehingga terjadi defisit
transaksi berjalan. Rasio pembayaran hutang pokok dan bunga
pinjaman terhadap total ekspor (debt service ratio) meningkat
dari 31,8 persen pada tahun 1993/1994 menjadi 50,8 persen
pada tahun 1997/1998. Angka debt service ratio ini berada jauh
di atas batas aman (biasanya sebesar 20 persen).
Pengalaman diberbagai negara menunjukkan bahwa serangan
spekulan terhadap nilai tukar sering terjadi pada negara-negara
yang mempunyai utang LN, dimana pangsa ULN pihak swasta
lebih besar dari ULN pihak pemerintah dan dengan porsi utang
jangka pendek yang terus meningkat serta tidak di hedging.
Pemanfaatan utang LN secara tidak efisien sebagai akibat
lemahnya corporate govermance, baik dari pemerintah maupun
perusahaan swasta, juga mendorong timbulnya sentimen pasar
yang memberikan tekanan-tekanan terhadap nilai tukar.
Selanjutnya, dengan melemahnya nilai tukar menimbulkan
kepanikan para peminjam (debitur) dalam memenuhi kewajiban
utangnya yang segera jatuh tempo. Kepanikan para debitur
akan menekan nilai tukar mata uang setempat ke tingkat yang
lebih rendah, yang kemudian berakibat pada repayment
capacity para debitur menjadi semakin lemah. Demikian
seterusnya, sehingga terjadilah SPIRAL krisis utang LN dengan
krisis nilai tukar. Keadaan inilah yang terjadi di Indonesia pada
tahun 1997, yang berujung pada krisis ekonomi dan krisis
politik.
Sekarang ini ULN Indonesia berada pada kondisi yang tidak lebih
baik. Sementara itu belum juga ada tanda-tanda pemerintah
akan berhenti berhutang ke luar negeri, padahal repayment
capacity terus saja melemah. Perkembangan ULN pemerintah
dari tahun 1997 s/d 2001 berturut-turut sebagai berikut (dalam
jutaan $) : 53.865; 67.328; 75.863; 74.918; 74.416.

Beban APBN
Defisit anggaran pada tahun 2001 meningkat tajam dari tahun
sebelumnya, yakni dari 15 triliun rupiah pada tahun 2000 menjadi 54,3
triliun rupiah pada tahun 2001. Defisit anggaran sebesar ini dibiayai dari
dua sumber, yakni sumber pembiayaan dalam negeri dan pembiayaan luar
negeri. Sumber pembiayaan dalam negeri berasal dari privatisasi BUMN
dan penjualana asset BPPN sebesar
Tabel 2. Perkembangan Operasi Fiskal
Tahun Anggaran 1998/1999 – 2002 (dalam triliun rupiah)
Uraian 1998/1999 1999/2000 2000 2001 2002
A. Pendapatan Nagara & 156,5 187,8 205,0 286,0 289,4
Hibah 156,4 187,8 205,0 286,0 289,4
I Pendapatan Dalam Negeri 102,4 125,9 115,8 185,3 216,8
1. Penerimaan Pajak 95,5 61,9 89,2 100,7 72,6
2. Penerimaan Non 0,1 0,0 0,0 - -
Pajak 172,7 231,9 221,0 340,3 332,4
II Hibah 117,5 156,8 161,4 213,4 195,0
B. Belanja Negara 55,1 45,2 25,7 45,4 47,1
I Pengeluaran Rutin - 29,9 33,9 81,5 90,3
II Pengeluaran (16,2) (44,1) (15,0) (54,3) (43.0)
Pembangunan 16,2 44,1 15,0 54,3 43.0
III Dana Perimbangan (4,8) 14,7 5,4 34,4 25,4
C. Surplus/Defisit (6,4) (1,9) (13,5) - -
Anggaran Negara 1,6 16,6 18,9 34,4 25,4
D. Pembiayaan Anggaran 1,6 3,7 3,9 - -
I. Pembiayaan Dalam Negeri - 12,9 15,0 - -
1. Pembiayaan 21,0 29,4 9,6 19,9 17,6
Perbankan DN 51,0 49,6 17,2 40,1 59,1
2. Pembiayaan Non- (30,0) (20,2) (7,6) (20,2) (41,5)
Perbankan
a. Privatisasi
BUMN
b. Penjualan asset
BPPN
II. Pembiayaan Luar Negeri
1. Pinjaman LN
2. Amortisasi/Cicilan
Pokok ULN
Sumber: Nota Keuangan dan RAPBN RI,
Tahun 2002
34,4 triliun rupiah dan sumber pembiayaan luar negeri
sebesar 19,9 triliun rupiah. Sumber pembiayaan defisit
anggaran dari luar negeri sebesar 19,9 triliun rupiah tersebut
berasal dari pinjaman LN setelah dikurangi cicilan pokok ULN.
Sumber pembiayaan defisit anggaran dari dalam negeri,
sebagaimana disebutkan, terutama berasal dari privatisasi
BUMN dan penjualan asset BPPN. Hal ini berarti kekayaan
negara semakin berkurang, dan akan terus berkurang bila pola
pembiayaan defisit semacam ini terus berlangsung. Tidak
mustahil bila pada suatu saat kekayaan negara habis terkuras.
Bila tidak ada lagi asset BPPN yang bisa dijual, tidak ada lagi
BUMN yang bisa diprivatisasi, sementra penerimaan pajak
merangkak lambat, maka yang tinggal sebagai pembiayaan
defisit anggaran hanyalah sumber pimbiayaan luar negeri. Jika
ini terjadi, maka keuangan negara benar-benar dalam keadaan
bangkrut.
Penyelesaian Utang Luar Negeri
Langkah penyelesaian utang yang paling arif dan terhormat
adalah membayar atau melunasi utang tersebut tepat waktu
sesuai kesepakatan kedua belah pihak. Namun hal ini baru akan
terjadi apabila pihak yang berhutang (debitur) memiliki
kemampuan membayar (repayment capacity) dan berkemauan
membayar sesuai kesepakatan. Langkah yang tidak terhormat
dan tidak beradab adalah jika memiliki repayment capacity
namun tidak mau membayar. Pemerintah Indonesia mau
membayar kembali utang luar negerinya, namun tidak memiliki
atau setidak-tidaknya repayment capacity-nya lemah. Kondisi ini
tercermin dari debt service ratio (DSR), debt/export, dan
debt/GDP, yang semuanya berada di atas batas aman yang
ditetapkan Bank Dunia.
Penyelesaian utang luar negeri pihak pemerintah diupayakan
melalui Paris Club sedangkan untuk pihak swasta dibentuk Tim
Penyelesaian Utang Luar Negeri Swasta (TPULNS) dan kemudian
dibentuk Indonesian Debt Restructuring Agency (INDRA).
Namun hasil yang dicapai berjalan lambat. Penyelesaian utang
LN melalui Paris Club sebenarnya hanya memberikan keadaan
rileks sejenak tanpa mengurangi daya cengkramnya, yakni
penjadwalan ulang pinjaman bilateral. Sebenarnya, dari
pengalaman negara-negara yang pernah mengalami krisis
utang LN, terdapat berbagai alternatif yang dapat ditempuh:
1. Debt Relift atau Debt Forginess merupakan program pengurangan
beban utang LN untuk negara-negara yang berhak memperoleh fasilitas
Heavily Indebted Poor Countries (HIPC) Initiative. Namun, berdasarkan
indikator unsustainable debt Indonesia belum dapat dikategorikan ke
dalam HIPC Initiative. Selain itu, cara ini memerlukan proses yang cukup
panjang untuk meyakinkan kreditur sejauh mana debitur memiliki
persyaratan pengampunan utang, disamping penentuan jumlah atau
porsi utang yang perlu dikurangi merupakan hal yang sulit disepakati.
2. Debt for Natural Swap (DfNS) merupakan program pengalihan utang LN
menjadi dana penyelamatan lingkungan hidup. DfNS terbatas pada
jumlah utang yang relatif kecil jika dibandingkan dengan utang
pemerintah Indonesia, yakni antara $ 400,000 sampai $ 40,000,000 per
negara, namun paling tidak menghasilan pendanaan tambahan bagi
kegiatan pelestarian alam. Di samping itu, keberhasilan menerapkan
DfNS akan membuka peluang untuk memperoleh Debt for Development
Swap, Debt for Poverty Alleviation atau pengurangan kewajiban
pelunasan utang untuk kegiatan kemanusian yang lain. Dewasa ini
pemerintah sedang melakukan berbagai penjajakan dan negosiasi yang
berkaitan Debt Swap ini. Suatu terobosan terjadi di tahun 2001 ketika
pemerintah Indonesia melakukan pertukaran (swap) kewajiban
pembayaran utang ke KfW (Jerman) dengan pembayaran proyek-proyek
pelestarian lingkungan dan pendidikan dalam mata uang rupiah,
meskipun terjadi kelambatan dalam negosiasinya. Utang pemerintah
Indonesia sebesar US$21,820,981 (DM 50,000,000) kepada KfW
disepakati untuk ditukar dengan pendanaan proposal US$10,910,490
dalam mata uang rupiah, yang berarti Debt Swap ini dilakukan dengan
potongan harga (discount) sebesar 50% dari nilai utang sebesarnya.
Pembayaran kegiatan pelestarian lingkungan atau pendidikan dengan
dana Debt Swap ini harus diselesaikan sebelum 30 November 2008. Bila
sesuatu hal Indonesia berhalangan membayar komitment Debt Swap ini
sesuai kesepakatan, maka pemerintah Indonesia akan dikenakan sanksi
pembayaran keseluruhan utang dengan nilai seperti sebelum dikenakan
discount ditambah bunga berjalan.
3. Debt Equity Swap merupakan program penyelesaian utang luar negeri
dengan cara mengubah utang menjadi penyertaan modal pada
perusahaan debitur. Keuntungan dari skim ini adalah pengurangan
beban pembayaran perushaan , namun di sisi lain mengakibatkan
penguasaan asing atas industri dalam negeri menjadi semakin dominan
dan kemungkinan pengalihan keuntungan bebas pajak atas pinjaman LN
ke negara kreditur. Di samping itu, akan menghadapi kesulitan di dalam
penilaian asset perusahaan, yang biasanya akan menguntungkan pihak
kreditur. Dari beberapa survey menyebutkan bahwa debitur swasta
banyak melakukan penyelesaian utang LN dengan cara ini.
4. Moratorium atau Default merupakan program penghapusan utang (write
off) bagi negara yang perekonomiannya dinyatakan collapse oleh IFIs.
Sebenarnya bila Indonesia memperoleh Default atas utang LN nya maka
beberapa keuntungan bisa diperoleh, antara lain: tidak membebani
neraca berjalan, meningkatkan cadangan devisa, tidak ada lagi tekanan
dari IMF dan Bank Dunia terhadap kebijakan domesti Indonesia, nilai
tukar rupiah menjadi lebih kuat, dan kemungkinan peningkatan GDP
serta stabilisasi kondisi ekonomi. Namun demikian, betapapun,
Indonesia saat ini akan sulit memperoleh Default karena
perekonomiannya masih belum dapat dikategorikan ke dalam kondisi
collapse.
Rangkuman
1. Thesis Marzuki Usman bahwa orang yang nyenyak tidur
adalah orang yang banyak utang, terbukti tidak benar baik
dari pengalaman Indonesia, Mexico, maupun negara lainnya
termasuk Jepang.
2. Peringatan George Washington bahwa “Tidak ada tindakan
yang lebih berbahaya daripada meminjam uang” bila
dilaksanakan secara lugas akan mengancam kelangsungan
hidup system kapitalisme.
3. Pada masa pembangunan orde baru, Indonesia telah terjebak
ke dalam hutang luar negeri untuk membiayai pembangunan,
memelihara cadangan devisa, membiayai defisit transaksi
berjalan, dan mempertahankan nilai tukar rupiah yang
overvalued. Utang luar negeri ini terus meningkat dari tahun
ke tahun.
4. Utang luar negeri Indonesia semakin diperbesar oleh
pinjaman swasta. Pinjaman luar negeri pihak swasta ini
menjadi semakin marak karena semakin terintegrasinya
pasar uang global sehingga memudahkan akses untuk
memperoleh pinjaman, tingginya tingkat bunga domestik,
dan kebebasan yang diberikan pemerintah.
5. Pada saat utang luar negeri pihak swasta lebih besar dari
pemerintah dan didominasi oleh utang jangka pendek, maka
pada saat itu pihak spekulan (fund manager) akan
menyerang nilai tukar (kurs) mata uang setempat (domestik)
untuk memperoleh keuntungan dari selisih kurs.
6. Jatuhnya nilai tukar rupiah membuat beban utang luar negeri
pihak swasta dan pemerintah dalam rupiah menjadi semakin
berat, barang impor menjadi lebih mahal, dan ini semua
berdampak pada ekonomi nasional.
7. Bank swasta nasional juga terbelit utang luar negeri dan
meminjamkannya kepada perusahaan yang juga bermasalah,
sehingga banyak bank swasta nasional yang dilikuidasi.
Fungsi bank pun menjadi mandek pada masa krisis.
8. Restrukturisasi perbankan telah membuat pemerintah
terjebak dalam utang domestik yang cukup besar; dan
penyelesaian utang ini telah pula membebani APBN yang
dimasukkan ke dalam belanja rutin pemerintah.
9. Penyelesaian utang domestik dan pembayaran cicilan pokok
ULN plus bunga tidak hanya mengurangi kemampuan
pemerintah membiayai pembangunan, tetapi juga ikut
memperbesar defisit anggaran. Besarnya defisit anggaran ini
bila terus berlangsung dari tahun ke tahun maka keuangan
negara akan terancam bangkrut.
10. Belajar dari pengalaman negara-negara lain, tersedia
berbagai alternatif penyelesaian utang luar negeri, tetapi dari
berbagai alternatif tersebut tidak tersedia alternatif terbaik
bagi Indonesia untuk keluar dari tekanan utang luar negeri
apalagi terbebas sama sekali dari cengkeraman utang luar
negeri ini.
Kepustakaan
Agus Purnomo, 2002, Debt for Natural Swap di Indonesia, Makalah
disampaikan dalam Seminar tentang Debt Swap Sebagai Salah Satu
Alternatif untuk Mengurangi Utang Luar Negeri Pemerintah Indonesia,
diselenggarakan oleh DEPLU pada 30 Juli 2002, Hotel Mandarin Jakarta.
Arief, Sritua, 1998, Teori dan Kebijaksanaan Pembangunan, Cides,
Jakarta.
Bade, Parkinand. 1998. Modern Macroeconomics, Oxfor: Phillip Allan
Press.
Binhadi, 1997, Financial Sector Deregolation, Banking Development
and Monetery Policy. The Indonesia Experience, Institut Bankir
Indonesia, Jakarta.
Boediono, 1997, Globalisasi dan Kebijaksanaan Moneter Indonesia,
CSIS.
-----------, 1998, Merenung Kembali Mekanisme Transmisi Moneter di
Indonesia, dalam Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Bank
Indonesia.
-----------, 1998, Ekonomi Meneter, Edisi 3, Yogyakarta: BPFE.
Dornbush, Rudiger and Stanley Fisher, 1990, Macroeconomics, Fifth
Edition, McGrow Hill Publishing Company.
Mankiw, N. Gregory, 2000, Macroeconomics, Fourth Edition, Worth
Publisers, New York.
Mashkin F.S, 1995, The Economics of Money, Banking and Financial
Market, Harper Collins, USA.
Mansour Fakih, 2002, Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi,
Inssist Press, Yogyakarta.
McCallum, Bennett T, 1989, Monetary Economics Theory and Policy,
Macmillan Publishing Company, New York
Umar Basalim, M. Rum Alim, Helma Oesman, 2000, Perekonomian
Indonesia: Krisis dan Strategi Alternatif, Unas – Cidesindo, Jakarta.
Zoemrotin KS, 2002, Kemiskinan, Pemiskinan dan “Debt for Poverty
Swap”, Makalah disampaikan dalam Seminar tentang Debt Swap
Sebagai Salah Satu Alternatif untuk Mengurangi Utang Luar Negeri
Pemerintah Indonesia, diselenggarakan oleh DEPLU pada 30 Juli 2002,
Hotel Mandarin Jakarta.

You might also like