Professional Documents
Culture Documents
Pendahuluan
Tahun 1984 Marzuki Usman dalam kapasitasnya sebagai
Ketua Ikatan Sarjana Ekonomi (ISE) DKI Jakarta memberikan
ceramah di hadapan civitas academica Universitas Nasional.
Dalam ceramah tersebut beliau antara lain menyatakan bahwa
“orang tua kita dahulu tidak akan nyenyak tidur kalau mereka
mempunyai utang. Tetapi orang sekarang tidak akan nyenyak
tidur bila tidak mempunyai utang. Kenapa? Karena orang yang
tidak punya utang tandanya dia tidak dipercaya”. Pernyataan ini
mungkin hanyalah gurauan. Namun secara telanjang kebenaran
pernyataan ini tergambar dari perilaku pemerintah Indonesia
ketika mereka memperoleh utang, baik berupa pinjaman
bilataral maupun multilateral via international financial
institutions (IFIs). Dengan bangga para pejabat tinggi negara
mengumumkan, baik langsung maupun tidak langsung, atas
keberhasilan mereka memperoleh utang luar negeri ini tanpa
nada khawatir sedikitpun. Bahkan dalam pernyaaan mereka itu
sering terselip kata: “keberhasilan ini merupakan bukti bahwa
kita masih dipercaya”. Perilaku yang serupa pun tergambar
pada sikap masyarakat, terutama yang berada di kota-kota.
Mereka akan bangga dan merasa telah menjadi masyarakat
dunia apabila membayar belanjaan mereka dengan
menggunakan credit card. Credit card telah dijadikan sebagai
lambang masyarakat berkelas, masyarakat modern.
Pernyataan Marzuki Usman sebagaimana diungkapkan di atas
disampaikan dengan nada ringan tanpa ada kekhawatir
sedikitpun. Mungkin ketika itu tidak terbayang dalam benaknya:
adanya bahaya utang, apalagi malapetaka yang menimpa
perekonomian negara ini gara-gara kebanyakan utang.
Saat ini Indonesia telah terbelit utang luar negeri pada tingkat
yang sangat menghawatirkan, namun tidak ada tanda-tanda
bahwa pemerintah akan berhenti meminjam. Utang luar negeri
kita bukannya semakin berkurang malah secara kumulatif terus
meningkat dari tahun ke tahun. Di tambah lagi dengan utang
domestik yang di create pemerintah untuk program bantuan
likuiditas serta program penjaminan dalam penyehatan
perbankan. Pembayaran kembali utang-utang dan bunganya
kini menjadi beban belanja negara, sehingga keuangan negara
terancam bankrut.
Makalah ini hendak menyoroti kondisi perbankan dan utang luar
negeri menjelang dan pada saat awal krisis ekonomi Indonesia
tahun 1998.
Utang dan Peranan Bank
Utang atau kredit (credit) adalah suatu istilah yang
menyatakan bahwa seseorang atau badan akan membayar
kembali dikemudian hari atas uang atau barang yang
diterimanya dari pihak lain. Pihak yang menerima uang/barang,
berjanji (dan terikat dengan janji itu) akan mengembalikan atau
membayar kembali di kemudian hari disebut pihak yang
berutang. Sebaliknya pihak yang menyerahkan uang atau
barang dan bersedia menerima pembayaran atau pengembalian
uang di kemudian hari disebut pihak yang memberi utang.
Seringkali pihak yang berutang disebut debitur dan pihak yang
memberi utang disebut kreditur (creditor). Pihak debitur
haruslah pihak yang dapat dipercaya dan untuk itu dia dituntut
memiliki “4C’s of credit”, yaitu: character, capacity, capital,
collateral. C yang pertama menyatakan bahwa pihak yang akan
menerima utang memiliki moral yang tinggi. Artinya ia
senantiasa menepati janji dan karenanya dapat dipercaya. C
yang kedua menyatakan bahwa pihak yang akan menerima
utang mempunyai kemampuan membayar. Kemampuan ini
dimiliki karena ia mempunyai usaha yang cukup
menguntungkan dan mempunyai peluang berkembang di masa
depan. C yang ketiga menyatakan bahwa pihak yang akan
menerima utang memiliki modal sendiri di dalam menjalankan
usahanya. Ini berarti bahwa utang yang akan diterima
merupakan tambahan atas modal sebagai penunjang,
sedangkan modal sendiri merupakan sumber pembiayaan
utama dalam operasi perusahaan. C yang keempat menyatakan
bahwa pihak yang akan menerima utang menyerahkan atau
menitipkan sesuatu kepada pemberi utang sebagai jaminan.
Apabila di kemudian hari pihak penerima utang tidak sanggup
membayar utangnya, maka barang jaminan ini dapat diuangkan
oleh pihak pemberi utang agar utangnya dapat diperoleh
kembali.
“4C’s of credit” ini merupakan suatu kesatuan yang haruslah
dimiliki oleh calon penerima utang secara utuh. Untuk itu pihak
pemberi utang (kredit) dituntut untuk melakukan penilaian dan
investigasi (investigation) secara cermat agar ia dapat
memperoleh kepercayaan yang teguh sebelum kredit diberikan.
Apabila penilaian dan investigasi telah dilakukan dengan cermat
dan ternyata calon penerima kredit memiliki semua syarat dari
“4C’s of credit”, maka utang (kredit) dapat diberikan. Dalam hal
pemberian kredit (utang) yang didasarkan atas hasil penilaian
dan investigasi secara cermat, dapatlah disebut bahwa
penerima kredit merupakan pihak yang telah mendapatkan
kepercayaan dari pihak pemberi kredit; dan jadilah ia sebagai
orang yang dipercaya. Dalam batas-batas (bingkai) inilah
pernyataan Marzuki Usman benar bahwa “orang yang banyak
utang adalah orang yang terpercaya”. Namun, apakah benar
kalau semua orang yang berutang itu adalah orang-orang yang
terpercaya?.
Investigasi dan penilaian atas “4C’s of credit” dari seorang
calon penerima kredit bukanlah pekerjaan mudah apabila
hendak dilakukan secara cermat dan hati-hati, terutama yang
berkaitan dengan character dan capacity. Character seseorang
tidak kasat mata. Sementara itu pihak yang akan memberi
kredit (calon kreditur) tidak mempunyai cukup waktu untuk
mengamati dari dekat character dari calon penerima kredit.
Jalan pintas yang dilakukan untuk mengatasi kesulitan ini adalah
referansi (reference) pihak ketiga yang telah terlebih dahulu
berpengalaman memberikan kredit kepada yang bersangkutan;
atau referensi pihak ketiga yang dipercaya oleh calon kreditur.
Capacity berkaitan dengan kemampuan membayar kembali
kredit yang akan diterima. Cara mudah untuk melakukan
penilaian atas capacity adalah dengan menganalisis Neraca
(balance sheet) dan Laporan Rugi/Laba perusahaan selama lima
atau tiga tahun terahir serta cash flow. Sementara itu capacity
yang sesungguhnya di masa depan tetap merupakan teka-teki
dan berada dalam ketidak pastian.
Penilaian capital relatif lebih mudah dibandingkan dengan
tiga C lainnya. Collateral berupa barang tidak bergerak atau
lainnya memerlukan taksiran nilai atas collateral tersebut di
masa depan. Hal ini tidak dapat dilakukan semua orang,
melainkan orang yang memiliki pengetahuan dan keahlian
khusus. Setelah nilai collateral diketahui barulah kredit diberikan
dalam jumlah yang lebih kecil dari nilai collateral.
Dalam perekonomian modern bank memainkan peranan
penting dalam memobilisasi dana masyarakat kemudian
meminjamkan kepada dunia usaha untuk membiayai kegiatan
produksi, baik yang sedang berjalan maupun yang akan
berjalan. Fungsi mediator dunia perbankan ini haruslah
terplihara dengan baik agar perekonomian suatu negara atau
suatu kawasan (region) dapat tumbuh dan berkembang pada
tigkat yang lebih maju. Bila tidak, maka perkonomian negara
atau region tersebut akan mengalami kemunduran, dan pada
gilirannya akan mengganggu kestabilan sektor lainnya.
Dalam melaksanakan fungsi mediator ini bank-bank haruslah
menjaga keseimbangan di antara tiga kepentingan secara
dinamis, yakni kepentingan masyarakat sebagai pemilik dana,
kepentingan pengusaha sebagai pengguna dana, dan
kepentingan perbankan sendiri sebagai mediator. Dari sudut
pandang ekonomi masyarakat pemilik dana menyimpan
uangnya di bank dengan maksud memperoleh bunga. Namun
tujuan memperoleh bunga bukanlah satu-satunya tujuan. Di
balik itu ada tujuan lain yang mungkin lebih esensial, yaitu
uangnya tersimpan aman dan dapat ditarik kembali sewaktu-
waktu apabila diperlukan.
Bank dalam perkembangannya merupakan suatu lembaga
ekonomi yang profit oriented. Uang yang disimpan masyarakat
(nasabah) oleh bank dipinjamkan kepada pihak ketiga
(perusahaan dan masyarakat) dengan mengenakan bunga yang
lebih tinggi dari yang dibayarkannya kepada para penyimpan
(nasabah). Marjin bunga yang diperoleh bank merupakan
penerimaan (revenue), yang setelah dipotong seluruh biaya
operasi, akan diperoleh profit. Operasi perbankan ini
dimungkinkan karena beberapa alasan, anatara lain: (1) uang
yang disimpan para nasban di suatu bank tertentu tidak diambil
sekaligus dan serempak pada suatu waktu, sehingga bank
memegang (menguasai sementara) uang cukup banyak; (2)
Bank berkewajiban membayar bunga kepada para nasabah; (3)
Pihak ketiga, dalam hal ini perusahaan, memerlukan dana
tambahan untuk ekspansi usaha.
Dalam ekonomi modern, bank (dan lembaga keuangan
lainnya) mempunyai peranan yang amat penting dalam proses
transfer dana yang diperlukan oleh unit-unit produksi dalam
sector-sektor ekonomi yang mengalami pertumbuhan pesat
untuk ekspansi. Secara umum, fungsi bank adalah:
1. Fungsi mobilisasi, yaitu: menghimpun dana kecil-kecil dan
tersebar dan menya-lurkannya ke dalam investasi yang
lebih besar
2. Fungsi likuditas, yaitu: mempunyai kemampuan untuk
memelihara likuiditas alat-alat finansial dan menjamin agar
alat-alat tersebut dapat dicairkan menjadi uang tunai.
Pencairan dana dapat dicairkan dengan segera tanpa
menunggu alat-alat tersebut jatuh tempo.
3. Fungsi penyatuan maturity, yaitu: mampu menyediakan
dana setiap saat, tanpa terikat pada jatuh temponya
portofolio alat-alat finansial.
Dalam melaksanakan fungsi menyalurkan dana kepada unit-
unit produksi, selayaknya bank bersikap hati-hati, dengan
memegang pinsip “4C’s of credit”. Namun di dalam
melaksanakan prinsip “4C’s of credit” terdapat trade-off dengan
kelancaran penyaluran dana. Bila bank beroperasi sesuai
dengan prinsip-prinsip perbankan dan melaksanakan secara
konsisten prinsip “4C’s of credit” maka akan tidak terjadi kredit
macet dan posisi bank pun akan menjadi aman. Namun, apabila
bank memegang prinsip “4C’s of credit” secara teguh dan
menerapkannya secara ketat, maka penyaluran kredit akan
mengalami hambatan, tidak lancar, yang pada gilirannya dunia
usaha tidak akan terdorong untuk mengembangkan usahanya.
Namun, apabila “4C’s of credit” dilonggarkan atau diabaikan
maka ancaman kredit macet akan menganga dan siap
menerkam sewaktu-waktu. Bila terjadi kredit macet pada suatu
bank, maka peluang operasi bank tersebut akan menyempit,
dan jika tidak segera diatasi akan terancam likuidasi.
Dalam kaitan ini diperlukan suatu kearifan, kecerdasan, dan
kecermatan para pengelola perbankan. Jika tidak, maka tidak
akan tersedia alternatif yang terbaik bagi kelancaran
penyaluran kredit dan trade-off yang disebutkan di atas akan
benar-benar terjadi.
Kelangkaan Manajer dan Kredit Macet
Beban APBN
Defisit anggaran pada tahun 2001 meningkat tajam dari tahun
sebelumnya, yakni dari 15 triliun rupiah pada tahun 2000 menjadi 54,3
triliun rupiah pada tahun 2001. Defisit anggaran sebesar ini dibiayai dari
dua sumber, yakni sumber pembiayaan dalam negeri dan pembiayaan luar
negeri. Sumber pembiayaan dalam negeri berasal dari privatisasi BUMN
dan penjualana asset BPPN sebesar
Tabel 2. Perkembangan Operasi Fiskal
Tahun Anggaran 1998/1999 – 2002 (dalam triliun rupiah)
Uraian 1998/1999 1999/2000 2000 2001 2002
A. Pendapatan Nagara & 156,5 187,8 205,0 286,0 289,4
Hibah 156,4 187,8 205,0 286,0 289,4
I Pendapatan Dalam Negeri 102,4 125,9 115,8 185,3 216,8
1. Penerimaan Pajak 95,5 61,9 89,2 100,7 72,6
2. Penerimaan Non 0,1 0,0 0,0 - -
Pajak 172,7 231,9 221,0 340,3 332,4
II Hibah 117,5 156,8 161,4 213,4 195,0
B. Belanja Negara 55,1 45,2 25,7 45,4 47,1
I Pengeluaran Rutin - 29,9 33,9 81,5 90,3
II Pengeluaran (16,2) (44,1) (15,0) (54,3) (43.0)
Pembangunan 16,2 44,1 15,0 54,3 43.0
III Dana Perimbangan (4,8) 14,7 5,4 34,4 25,4
C. Surplus/Defisit (6,4) (1,9) (13,5) - -
Anggaran Negara 1,6 16,6 18,9 34,4 25,4
D. Pembiayaan Anggaran 1,6 3,7 3,9 - -
I. Pembiayaan Dalam Negeri - 12,9 15,0 - -
1. Pembiayaan 21,0 29,4 9,6 19,9 17,6
Perbankan DN 51,0 49,6 17,2 40,1 59,1
2. Pembiayaan Non- (30,0) (20,2) (7,6) (20,2) (41,5)
Perbankan
a. Privatisasi
BUMN
b. Penjualan asset
BPPN
II. Pembiayaan Luar Negeri
1. Pinjaman LN
2. Amortisasi/Cicilan
Pokok ULN
Sumber: Nota Keuangan dan RAPBN RI,
Tahun 2002
34,4 triliun rupiah dan sumber pembiayaan luar negeri
sebesar 19,9 triliun rupiah. Sumber pembiayaan defisit
anggaran dari luar negeri sebesar 19,9 triliun rupiah tersebut
berasal dari pinjaman LN setelah dikurangi cicilan pokok ULN.
Sumber pembiayaan defisit anggaran dari dalam negeri,
sebagaimana disebutkan, terutama berasal dari privatisasi
BUMN dan penjualan asset BPPN. Hal ini berarti kekayaan
negara semakin berkurang, dan akan terus berkurang bila pola
pembiayaan defisit semacam ini terus berlangsung. Tidak
mustahil bila pada suatu saat kekayaan negara habis terkuras.
Bila tidak ada lagi asset BPPN yang bisa dijual, tidak ada lagi
BUMN yang bisa diprivatisasi, sementra penerimaan pajak
merangkak lambat, maka yang tinggal sebagai pembiayaan
defisit anggaran hanyalah sumber pimbiayaan luar negeri. Jika
ini terjadi, maka keuangan negara benar-benar dalam keadaan
bangkrut.
Penyelesaian Utang Luar Negeri
Langkah penyelesaian utang yang paling arif dan terhormat
adalah membayar atau melunasi utang tersebut tepat waktu
sesuai kesepakatan kedua belah pihak. Namun hal ini baru akan
terjadi apabila pihak yang berhutang (debitur) memiliki
kemampuan membayar (repayment capacity) dan berkemauan
membayar sesuai kesepakatan. Langkah yang tidak terhormat
dan tidak beradab adalah jika memiliki repayment capacity
namun tidak mau membayar. Pemerintah Indonesia mau
membayar kembali utang luar negerinya, namun tidak memiliki
atau setidak-tidaknya repayment capacity-nya lemah. Kondisi ini
tercermin dari debt service ratio (DSR), debt/export, dan
debt/GDP, yang semuanya berada di atas batas aman yang
ditetapkan Bank Dunia.
Penyelesaian utang luar negeri pihak pemerintah diupayakan
melalui Paris Club sedangkan untuk pihak swasta dibentuk Tim
Penyelesaian Utang Luar Negeri Swasta (TPULNS) dan kemudian
dibentuk Indonesian Debt Restructuring Agency (INDRA).
Namun hasil yang dicapai berjalan lambat. Penyelesaian utang
LN melalui Paris Club sebenarnya hanya memberikan keadaan
rileks sejenak tanpa mengurangi daya cengkramnya, yakni
penjadwalan ulang pinjaman bilateral. Sebenarnya, dari
pengalaman negara-negara yang pernah mengalami krisis
utang LN, terdapat berbagai alternatif yang dapat ditempuh:
1. Debt Relift atau Debt Forginess merupakan program pengurangan
beban utang LN untuk negara-negara yang berhak memperoleh fasilitas
Heavily Indebted Poor Countries (HIPC) Initiative. Namun, berdasarkan
indikator unsustainable debt Indonesia belum dapat dikategorikan ke
dalam HIPC Initiative. Selain itu, cara ini memerlukan proses yang cukup
panjang untuk meyakinkan kreditur sejauh mana debitur memiliki
persyaratan pengampunan utang, disamping penentuan jumlah atau
porsi utang yang perlu dikurangi merupakan hal yang sulit disepakati.
2. Debt for Natural Swap (DfNS) merupakan program pengalihan utang LN
menjadi dana penyelamatan lingkungan hidup. DfNS terbatas pada
jumlah utang yang relatif kecil jika dibandingkan dengan utang
pemerintah Indonesia, yakni antara $ 400,000 sampai $ 40,000,000 per
negara, namun paling tidak menghasilan pendanaan tambahan bagi
kegiatan pelestarian alam. Di samping itu, keberhasilan menerapkan
DfNS akan membuka peluang untuk memperoleh Debt for Development
Swap, Debt for Poverty Alleviation atau pengurangan kewajiban
pelunasan utang untuk kegiatan kemanusian yang lain. Dewasa ini
pemerintah sedang melakukan berbagai penjajakan dan negosiasi yang
berkaitan Debt Swap ini. Suatu terobosan terjadi di tahun 2001 ketika
pemerintah Indonesia melakukan pertukaran (swap) kewajiban
pembayaran utang ke KfW (Jerman) dengan pembayaran proyek-proyek
pelestarian lingkungan dan pendidikan dalam mata uang rupiah,
meskipun terjadi kelambatan dalam negosiasinya. Utang pemerintah
Indonesia sebesar US$21,820,981 (DM 50,000,000) kepada KfW
disepakati untuk ditukar dengan pendanaan proposal US$10,910,490
dalam mata uang rupiah, yang berarti Debt Swap ini dilakukan dengan
potongan harga (discount) sebesar 50% dari nilai utang sebesarnya.
Pembayaran kegiatan pelestarian lingkungan atau pendidikan dengan
dana Debt Swap ini harus diselesaikan sebelum 30 November 2008. Bila
sesuatu hal Indonesia berhalangan membayar komitment Debt Swap ini
sesuai kesepakatan, maka pemerintah Indonesia akan dikenakan sanksi
pembayaran keseluruhan utang dengan nilai seperti sebelum dikenakan
discount ditambah bunga berjalan.
3. Debt Equity Swap merupakan program penyelesaian utang luar negeri
dengan cara mengubah utang menjadi penyertaan modal pada
perusahaan debitur. Keuntungan dari skim ini adalah pengurangan
beban pembayaran perushaan , namun di sisi lain mengakibatkan
penguasaan asing atas industri dalam negeri menjadi semakin dominan
dan kemungkinan pengalihan keuntungan bebas pajak atas pinjaman LN
ke negara kreditur. Di samping itu, akan menghadapi kesulitan di dalam
penilaian asset perusahaan, yang biasanya akan menguntungkan pihak
kreditur. Dari beberapa survey menyebutkan bahwa debitur swasta
banyak melakukan penyelesaian utang LN dengan cara ini.
4. Moratorium atau Default merupakan program penghapusan utang (write
off) bagi negara yang perekonomiannya dinyatakan collapse oleh IFIs.
Sebenarnya bila Indonesia memperoleh Default atas utang LN nya maka
beberapa keuntungan bisa diperoleh, antara lain: tidak membebani
neraca berjalan, meningkatkan cadangan devisa, tidak ada lagi tekanan
dari IMF dan Bank Dunia terhadap kebijakan domesti Indonesia, nilai
tukar rupiah menjadi lebih kuat, dan kemungkinan peningkatan GDP
serta stabilisasi kondisi ekonomi. Namun demikian, betapapun,
Indonesia saat ini akan sulit memperoleh Default karena
perekonomiannya masih belum dapat dikategorikan ke dalam kondisi
collapse.
Rangkuman
1. Thesis Marzuki Usman bahwa orang yang nyenyak tidur
adalah orang yang banyak utang, terbukti tidak benar baik
dari pengalaman Indonesia, Mexico, maupun negara lainnya
termasuk Jepang.
2. Peringatan George Washington bahwa “Tidak ada tindakan
yang lebih berbahaya daripada meminjam uang” bila
dilaksanakan secara lugas akan mengancam kelangsungan
hidup system kapitalisme.
3. Pada masa pembangunan orde baru, Indonesia telah terjebak
ke dalam hutang luar negeri untuk membiayai pembangunan,
memelihara cadangan devisa, membiayai defisit transaksi
berjalan, dan mempertahankan nilai tukar rupiah yang
overvalued. Utang luar negeri ini terus meningkat dari tahun
ke tahun.
4. Utang luar negeri Indonesia semakin diperbesar oleh
pinjaman swasta. Pinjaman luar negeri pihak swasta ini
menjadi semakin marak karena semakin terintegrasinya
pasar uang global sehingga memudahkan akses untuk
memperoleh pinjaman, tingginya tingkat bunga domestik,
dan kebebasan yang diberikan pemerintah.
5. Pada saat utang luar negeri pihak swasta lebih besar dari
pemerintah dan didominasi oleh utang jangka pendek, maka
pada saat itu pihak spekulan (fund manager) akan
menyerang nilai tukar (kurs) mata uang setempat (domestik)
untuk memperoleh keuntungan dari selisih kurs.
6. Jatuhnya nilai tukar rupiah membuat beban utang luar negeri
pihak swasta dan pemerintah dalam rupiah menjadi semakin
berat, barang impor menjadi lebih mahal, dan ini semua
berdampak pada ekonomi nasional.
7. Bank swasta nasional juga terbelit utang luar negeri dan
meminjamkannya kepada perusahaan yang juga bermasalah,
sehingga banyak bank swasta nasional yang dilikuidasi.
Fungsi bank pun menjadi mandek pada masa krisis.
8. Restrukturisasi perbankan telah membuat pemerintah
terjebak dalam utang domestik yang cukup besar; dan
penyelesaian utang ini telah pula membebani APBN yang
dimasukkan ke dalam belanja rutin pemerintah.
9. Penyelesaian utang domestik dan pembayaran cicilan pokok
ULN plus bunga tidak hanya mengurangi kemampuan
pemerintah membiayai pembangunan, tetapi juga ikut
memperbesar defisit anggaran. Besarnya defisit anggaran ini
bila terus berlangsung dari tahun ke tahun maka keuangan
negara akan terancam bangkrut.
10. Belajar dari pengalaman negara-negara lain, tersedia
berbagai alternatif penyelesaian utang luar negeri, tetapi dari
berbagai alternatif tersebut tidak tersedia alternatif terbaik
bagi Indonesia untuk keluar dari tekanan utang luar negeri
apalagi terbebas sama sekali dari cengkeraman utang luar
negeri ini.
Kepustakaan
Agus Purnomo, 2002, Debt for Natural Swap di Indonesia, Makalah
disampaikan dalam Seminar tentang Debt Swap Sebagai Salah Satu
Alternatif untuk Mengurangi Utang Luar Negeri Pemerintah Indonesia,
diselenggarakan oleh DEPLU pada 30 Juli 2002, Hotel Mandarin Jakarta.
Arief, Sritua, 1998, Teori dan Kebijaksanaan Pembangunan, Cides,
Jakarta.
Bade, Parkinand. 1998. Modern Macroeconomics, Oxfor: Phillip Allan
Press.
Binhadi, 1997, Financial Sector Deregolation, Banking Development
and Monetery Policy. The Indonesia Experience, Institut Bankir
Indonesia, Jakarta.
Boediono, 1997, Globalisasi dan Kebijaksanaan Moneter Indonesia,
CSIS.
-----------, 1998, Merenung Kembali Mekanisme Transmisi Moneter di
Indonesia, dalam Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Bank
Indonesia.
-----------, 1998, Ekonomi Meneter, Edisi 3, Yogyakarta: BPFE.
Dornbush, Rudiger and Stanley Fisher, 1990, Macroeconomics, Fifth
Edition, McGrow Hill Publishing Company.
Mankiw, N. Gregory, 2000, Macroeconomics, Fourth Edition, Worth
Publisers, New York.
Mashkin F.S, 1995, The Economics of Money, Banking and Financial
Market, Harper Collins, USA.
Mansour Fakih, 2002, Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi,
Inssist Press, Yogyakarta.
McCallum, Bennett T, 1989, Monetary Economics Theory and Policy,
Macmillan Publishing Company, New York
Umar Basalim, M. Rum Alim, Helma Oesman, 2000, Perekonomian
Indonesia: Krisis dan Strategi Alternatif, Unas – Cidesindo, Jakarta.
Zoemrotin KS, 2002, Kemiskinan, Pemiskinan dan “Debt for Poverty
Swap”, Makalah disampaikan dalam Seminar tentang Debt Swap
Sebagai Salah Satu Alternatif untuk Mengurangi Utang Luar Negeri
Pemerintah Indonesia, diselenggarakan oleh DEPLU pada 30 Juli 2002,
Hotel Mandarin Jakarta.