You are on page 1of 12

DAMPAK PEMBANGUNAN JEMBATAN SURAMADU TERHADAP MASYARAKAT MADURA: TINJAUAN DARI SISI PEREKONOMIAN DAN KESEJAHTERAAN

Taufiq Hidayat*)

Abstraction: Access ease from bridge Suramadu affect in area development industrial. Industrial by class pluralism looked at has Indonesia point of view as modern industrial state. In social thinking Indonesia policies, industrial as city intellectual reflection. Turned that, industry can be looked at as important reflection impact to be supervised because can make at one particular character reshuffle. one of the character that make possible can be felled or it to society that be shifted culture. There two sides from explanation prestige local culture and potential that is external side and the internal side. The external side, the materialized existence acknowledgement a custom or skill or ability planted in life society and the culture. The internal side extant harmony existence, coalitions, and unitary from a class with alive standard height, welfare, and peacefulness entire members. Hence, industrialization insight, must have base democracy economy. The fundamental reason : first, as maintenance justice principle and economy democracy. Second, the siding of, enable ness, and protection towards weak by all potential nation, especially government as according to the ability. Third, effort rivalry climate creation that well and market friendly intervention with generalization efforts walks along with efforts create competitive market to achieves optimal efficiency. Fourth, efforts moves rural district economy. Fifth, utilization and soil use and natural resources. Sixth, people economy development, in estate, husbandry, fishery, mining, industrial and goods trade and service of scale micro as the kernel. Keyword : impact, culture, system

Pendahuluan Jembatan Suramadu yang melintasi Selat Madura mempermudah akses Surabaya-Madura atau Madura-Surabaya. Kemudahan akses dari jembatan Suramadu berdampak pada pembangunan wilayah Madura sebagai pengembangan rencana program industrialisasi (disebutnya Madura sebagai Batam ke dua). Industri oleh Kaum pluralis yang dipandang memiliki visi Indonesia sebagai negara industri modern. Kelompok ini seperti yang ditulis David Bourchier dan Vedi R. Hadiz dalam Pemikiran Sosial dan Politik Indonesia (2003) meliputi intelektual kota. Sebagai intelektual kota dalam menciptakan sistem politik, mereka memegang teguh asas demokrasi. Pelaksanaan demokrasi di Indonesia, kita teringat pada salah satu lirik lagu

51

dari Ebit G. Ade tengoklah kedalam sebelum bicara singkirkan debu yang masih melekat . Inspirasi dari lirik lagu itu, yang jika dikaitkan dengan demokrasi dapat dimaknai sebagai konsekuensi adanya control dan pertentangan yang diharapkan dan yang tidak diharapkan oleh kekuatan kekuasan untuk kemudian bisa disingkirkan. Sebagai kelompok yang bertentangan, pada awal Soeharto berkuasa banyak bergelimpangan, tetapi kelompok dan kekuatan sosial lama bermunculan dalam wadah dan nuansa baru dengan modifikasi visi misi. Salah satu contoh modifikasi visi misi adalah kelompok berorientasi Islam yang dulu berkaitan sejarah dengan Masyumi (misalnya, Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia). Kelompok mahasiswa ini memiliki banyak persamaan dengan PSI dan berperan penting dalam proses politik Orde Baru. Almarhum ekonom Sarbini pernah menyebutkan yang paling kuat dan tidak berubah di dalam PSI adalah semangat sosialisme, semangat membela rakyat, serta memperjuangkan keadilan dan pemerataan. Semangat yang tidak berubah itu (yang dipandang menguntungkan rakyat) akan tetap dipertahankan sebagai dampak yang diharapkan masarakat dalam proses perjalanan bangsa dan pembangunannya. Di era yang disebut reformasi juga masih banyak pelaku intelektual yang bertentangan tersingkirkan (seperti, Aktivis HAM Munir, Mahasiswa atau orang-orang hilang karena memperjuangkan kepentingan rakyat, dan yang terbaru kriminalisasi KPK terhadap Bibit dan Chandra untuk dilemahkan keberadaannya). Fenomena semacam itu (tengoklah ke dalam sebelum bicara singkirkan debu yang masih melekat) juga terjadi pada fenomena industrialisasi dengan meminjam bahasa jurnalis dari koran ternama Kompas yang menyebutnya Awas Deindustrialisasi. Dimana, deindustrialisasi diungkapkan kepada public karena adanya pergeseran peran. Peran yang tergeser terjadi dalam perekonomian yang sebelum krisis 1997/1998 ditopang industry, kini bergeser ke sector jasa terutama jasa modern yang kurang menyerap tenaga kerja, akibatnya jumlah penganggur semakin besar. Pengamat ekonomi Faisal Basri mengemukakan gejala deindustrilalisasi itu dalam vinalisasi visi 2030 dan peta jalan (roadmap) 2015 pembangunan industri pengolahan di Jakarta, selasa (6/10). Faisal mengatakan, salah satu pemicu deindustrialisasi adalah rendahnya dukungan perbankan. Kredit ke sector industry secara nominal tetap tumbuh tetapi presentasenya makin rendah. Menurut Faisal, Tahun 1985 hampir 40% kredit perbankan ke sector industry pengolahan. Tahun 2008, industry manufaktur hanya memperoleh 15% kredit perbankan. Jadi perbankan lebih tertarik pada pembiayaan konsumsi dan pembangunan property. Penurunan volume kredit perbankan berarti kelangkaan pembiayaan investasi dan modal kerja bagi sektor industry. Ditambahkan oleh Amir Sambodo (Ketua Umum Asosiasi Industri Aromatik, Olefin, dan Plastik Indonesia bahwa perbankan lebih berkonsentrasi pada penyaluran kredit ke sector konsumsi dibandingkan industry. Kondisi ini diperparah dengan kebijakan pemerintah dalam harmonisasi tarif dan kebijakan infrastruktur pendukung pertumbuhan industri. (Kompas, Rabu, 7 Oktober 2009). Hampir senada dengan pendapat tersebut, Ambar mengatakan,

52

penguatan rupiah berpotensi menggerakkan importer produk yang sesungguhnya sudah diproduksi di dalam negeri. Ini akan menghancurkan isdustri domistik Padahal, industry kita masih rendah daya saingnya. Produk impor yang lebih murah cepat atau lambat akan menghancurkan industri domestic (dalam Kompas,14 Oktober 2009). Jika melihat sembilan tahun yang lalu, sektor industri pengolahan pada tahun 2000 mencatat pertumbuhan sebesar 6,2%. Walaupun pertumbuhan sektor ini lebih kecil dibandingkan sektor pengangkutan, listrik, dan bangunan, namun mengingat pangsa sektor industri pengolahan yang sangat besar dalam pembentukan PDB, maka dengan pertumbuhan tersebut menyebabkan kontribusi sektor ini menjadi yang terbesar. Berkembangnya industri pengolahan di Indonesia tentunya memiliki dampak yang positif terhadap sektor-sektor lain diantaranya sektor tenaga kerja dan ekspor. Contoh lainnya, perkembangan ekspor industri pengolahan untuk produk tekstil dari tahun 1992-1996 mengalami pertumbuhan rata-rata 1,60 % dan total pertumbuhan produk tekstil sebesar 8,82% pada tahun 1996-1997. Hal ini mencerminkan adanya perkembangan yang menggembirakan pada volume ekspor di pasar dunia. Karenanya, industri pemintalan, tekstil, pakaian, dan kulit merupakan produk unggulan yang menggunakan kandungan bahan baku dalam negeri sebesar 89,6%. Namun disadari atau tidak disadari, ciri lain industri yang tumbuh saat itu adalah rendah teknologi, sehingga tidak membutuhkan tenaga kerja yang berketerampilan. Hal yang demikian itu, dalam proses perkembangannya hingga tahun 2009, industrialisasi oleh sector perbankan dipandang lebih berpotensi kearah kemodorotan dari pada kemanfaatannya untuk masarakat yang masih rendah tingkat pendidikan, pengetahuan dan kemampuan dalam daya saing produktivitas, sehingga penyaluran kreditnya sebagai paparan Faisal, Sambodo dan Ambar lebih tertarik pada pembiayaan konsumsi dan pembangunan property. Lepas dari pandangan tersebut di atas, bidang pendidikan menerima ekses lanjutan dengan lemahnya perkembangan ilmu pengetahuan serta sistem pendidikan yang sangat minim dalam mengembangkan cara berpikir kritis. Lemahnya cara berpikir kritis menjadikan perkembangan tenaga produktif (teknologi dan sumber daya manusia), mengakibatkan rendahnya produktivitas serta penghasilan yang diterima buruh. Sebagai contoh, industri manufaktur menengah dan besar, hanya mempekerjakan empat juta tenaga kerja atau sekitar empat persen dari total 91 juta tenaga kerja. Perusahaan yang mempekerjakan 500 buruh ke atas mempekerjakaan sepertiga (kurang lebih 30 juta) tenaga kerja, memproduksi 80 persen dari nilai tambah manufaktur. Sementara dua pertiga (60 juta) tenaga kerja berada di perusahaan menengah dan kecil, yang mempekerjakan antara 5 sampai 99 buruh, serta industri rumah tangga yang mempekerjakan 1-4 buruh. Dua kategori yang disebut terakhir ini hanya menghasilkan nilai tambah manufaktur sebesar 5-6 persen. Sedangkan masalah penghasilan, menurut data Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, 85 persen buruh berpenghasilan di bawah 2 juta rupiah per bulan.

53

Memperhatikan pandangan diatas, tentang industrialisasi dari sisi dampak yang diharapkan dan yang tidak diharapkan, serta berbagai macam fenomena masalah yang berkembang, maka industrilalisasi dapat dikatakan mempunyai peranan penting. Pentingnya peranan industrialisasi, menjadikan masarakat di wilayah Jawa Timur sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari peranan industry dan bisnis dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Hal itu tercermin dari ajakan Gubernur pada masarakatnya melalui penyebaran bender yang di pasang di kantor-kantor pemerintah, yang bertuliskan Ayo Jadikan Industri dan Bisnis Pertanian Sebagai Jembatan Emas Menuju Jatim Yang Makmur dan Berahlak Mulia. Ajakan itu memberikan inspirasi dan arti strategis dalam menunjang pembangunan di wilayah Jawa Timur. Nilai inspirasinya adalah bahwa dengan pemberdayaan sector insdustri dan bisnis pertanian menjadikan masarakat lebih akomodatif mencapai cita dan harapan kemakmuran dalam kemuliaan. Sedangkan arti strategisnya adalah, dengan industry dan bisnis pertanian dapat memberikan capaian hasil kerja dan kinerja masarakat yang kreatif dan inovatif dalam daya saing produktivitas pemanfaatan sumber daya potensial alam yang dimiliki dan usaha ekonomi yang ditekuninya. Oleh karena itu, industrialisasi menjadi salah satu kebijakan program yang akan dijalankan dalam pengembangan pasca Suramadu. Pengembangan kebijakan program industrialiasi yang akan dilaksanakan di wilayah pengembangan Suramadu, tentu tidak akan terlepas dari pada kebijakan organisasi yang dibentuk dengan nama Badan Pengembangan Wilayah Suramadu (BPWS). Bentukan BPWS dari pusat dengan komposisi personalinya yang telah dilantik oleh Presiden pada hari Jumat (3/7). Keberadaan BPWS dalam perjalannya, juga tidak lepas dari masalah. Sumber masalah yang berkembang di wilayah Madura adalah (1) belum bekerjanya BPWS; (2) pembentukannya yang tidak melibatkan Ulama/Rakyat Madura; (3) BPWS sebagai sumber masalah baru karena belum tahu jalan keluarnya/kebijakan program untuk pengembangannya; (4) Tidak ada jaminan BPWS dan orang-orang yang ada di dalamnya, siap memperjuangkan budaya Islami Madura;(5) janji-janji pemerintah pusat dan provinsi kepada kalangan ulama Madura dalam setiap kebijakan yang diterapkan di Madura pasca pembangunan Jembatan Suramadu; (6) kajian dari pakar hukum dan tata ruang kota bahwa BPWS menyalahi aturan yang ada dan terus menuai kritik. Pengkritiknya adalah Bupati Bangkalan Fuad Amin dan LSM, Forum Ulama Bangkalan (FUB) dengan KH Badrus Sholeh sebagai juru bicara FUB; Pengasuh Ponpes Miftahud Tholibin, Kwanyar. Ancamannya, akan menutup paksa Jembatan Suramadu jika kebijakan BPWS tidak segera direvisi dan siap kehilangan Suramadu jika berdampak pada tatanan sosial budaya Madura yang Islami hilang. Bertitik tolak dari keberadaan BPWS yang dipermasalahkan adanya oleh sebagian tokoh atau ulama di Madura, maka penting juga kita pahami bahwa kemiskinan dari jutaan warga negara Indonesia masih hidup dalam kemelaratan (termasuk sebagian besar warga di Madura). Kalau kita menggunakan ukuran US$-PPP (purchasing power parity/keseimbangan

54

kemampuan daya beli)/kapita/hari yakni ukuran yang digunakan Bank Dunia, pada 2007 angka kemelaratan mencapai 105,3 juta jiwa (45,2%) atau lebih rendah dari angka pada 2006 yang mencapai 113,8 juta jiwa (49,6%). Yang menyedihkan, suara 105,3 juta jiwa itu tidak terartikulasikan di ruang publik, terutama di media massa, yang umumnya didominasi oleh artikulasi elite negara, pengusaha, politisi dan kelas menengah yang pongah. Kaum miskin itu, dalam kata-kata Gabriel Marquez, adalah kekuatan yang membisu. Di sisi lain, masyarakat diasumsikan memiliki sifat rasional dan selalu bereaksi terhadap insentif material setiap saat. Lalu yang menjadi pertanyaan, bagaimanakah dampak social ekonomi bagi masarakat lokal dalam kesejahteraan dengan adanya kebijakan industrialisasi pasca Suramadu? Atau dapatkah industrialisasi dan potensi sumbernya yang ada dapat dimanfaatkan oleh masarakat Madura? Apakah industrialisasi dapat bersinergi dengan budaya local dan karateristik potensinya? Atau dapatkah kebijakan industrialisasi pasca Suramadu mencapai yang diharapkan dalam kearifan lokal perekonomian dan kesejahteraan masarakat Madura? Pertanyaan ini sebagai paradigmatic kritis terhadap dampak ekonomi social dari kebijakan industrialisasi dalam pengembangan wilayah Suramadu. George Ritzer mengartikan paradigma sebagai apa yang harus dipelajari, persoalan-persoalan apa yang mesti dipelajari, bagaimana seharusnya menjawabnya, serta seperangkat aturan tafsir sosial dalam menjawab persoalan-persoalan tersebut. Secara sederhana paradigma diartikan sebagai How to see the word yakni semacam kaca mata untuk melihat, memaknai, menafsirkan masyarakat atau realitas sosial. Paradigma kritis penting dilakukan elaborasi antara paradigma pluralis dan paradigma konflik. Karena, paradigma pluralis memberikan dasar pada paradigma kritis terkait dengan asumsinya bahwa manusia merupakan sosok yang independent, bebas dan memiliki otoritas untuk menafsirkan realitas. Paradigma konflik mempertajam paradigma kritis dengan asumsinya tentang adanya pembongkaran atas dominasi satu kelompok pada kelompok yang lain. Jadi paradigma kritis adalah paradigma yang dalam melakukan tafsir sosial, ekonomi atau pembacaan terhadap realitas masyarakat bertumpu pada: (a). Analisis struktural : membaca format politik, format ekonomi dan politik hukum suatu masyarakat, untuk menelusuri nalar dan mekanisme sosialnya untuk membongkar pola dan relasi sosial yang hegemoni, dominatif, dan eksploitatif. (b). Analisis ekonomi untuk menemukan variabel ekonomi politik baik pada level nasional maupun internasional. (c). Analisis kritis yang membongkar the dominant ideology baik itu berakar pada agama, nilai-nilai adat, ilmu atau filsafat. Membongkar logika dan mekanisme formasi suatu wacana resmi dan pola-pola eksklusi antar wacana. (d). Psikoanalisis yang akan membongkar kesadaran palsu di masyarakat. (e). Analisis kesejarahan yang menelusuri dialektika antar tesis-tesis sejarah, ideologi, filsafat, aktor-aktor sejarah baik dalam level individual maupun sosial, kemajuan dan kemunduran suatu masyarakat.

55

Untuk kepentingan pokok bahasan dalam makalah ini, maka penulis focuskan pada analisis dampak kebijakan industrialisasi pasca jembatan Suramadu dalam structur format budaya, format ekonomi dan politik hukum suatu masarakat mencapai kemajuan dan kemunduran dalam kesejahteraan. Dampak Kebijakan Industrialisasi dalam Format Budaya, Ekonomi dan Politik Hukum Masyarakat Mencapai Kesejateraan Penulis sebagai pribadi setuju dengan kebijakan industrialisasi pasca Suramadu. Mengingat, untuk perkembangan industri ini modal domestik sudah memadai, salah satu kepemilikan yang disebut modal yang memadai adalah budaya yang dominan berdasarkan semangat Puritanisme (sejumlah ajaran yang dipakai oleh kaum puritan yang senantiasa berpegang teguh pada kemurnian perangkat norma/kaidah/nilai). Dimana semangat Puritanisme itu ada, dan dimiliki oleh masarakat Madura (seperti semangat gotong royong, sopan santun, harga diri/prinsip diri yang dikenal dengan slogan lebih baik putih tulang dari pada putih mata), serta kepatutan dan kepatuhan kepada Bepak-Bebuh-Guruh-Ratoh (artinya, bapak-ibu-guru-raja/penguasa telah membentuk, menjadikan dan menghasilkan masarakat Madura memiliki kearifan dalam bertindak atau mengambil keputusan dan semangat jiwa wiraswasta (misalnya, bekerja keras, merantau, produktif, hemat, dan hidup sederhana) dengan memegang teguh petuah dari orang yang dihormati, yang pada gilirannya telah menghasilkan semangat kapitalis. Karenanya, seruan budaya lokal dan potensinya yang dirasakan atau sesuai harapan masarakat, ada dan tidak tergeserkan oleh kebijakan industrialisasi pasca Suramadu, sehingga eksistensinya menjadi bermartabat. Setidaknya ada dua sisi dari pengertian memartabatkan budaya lokal dan potensinya bagi masarakat Madura, yakni sisi eksternal dan sisi internalnya. Sisi eksternal dari upaya memartabatkan budaya dan potensinya bagi masarakat Madura sebagai bagian yang akan berwujud diakuinya keberadaan (eksistensi suatu adat atau skill) dari nilai budaya atau kemampuan yang tertanam dalam kehidupan masarakat dan kebudayaannya dalam hidup berbangsa dan bernegara. Sedangkan sisi internalnya akan berwujud adanya kekompakan, persatuan, dan kesatuan dari suatu kaum serta tingginya taraf hidup, kesejahteraan, dan kedamaian seluruh warga Madura. Sebab sungguh tidak akan ada martabat suatu budaya Madura yang warganya hidup dalam keadaan terpecah belah, serta dalam kemiskinan, kebodohan, serta keterbelakangan. Bagaimanapun juga, pelaksanaan instrumen budaya nasional sebagai hak asasi manusia masih tetap tergantung pada komitmen serta kondisi lokal setiap warga dalam suatu negara, walaupun secara formal diakui bahwa hak asasi manusia itu bersifat universal, tidak dapat dibagi, dan tidak terpisahkan satu sama lain. Kata lain, prinsip pensakralan dan penyesuaian antara adat dengan Islam dalam masyarakat Madura, memiliki kaitan langsung dengan pelbagai amalan sistem kehidupan masarakat Madura dan juga perkembangan hukum Islam di tengah-tengah masyarakat industrialisasi kini pasca Suramadu. Seluruh masyarakat hukum adat di Indonesia beserta identitas kultural dan hak tradisionalnya, sejak tahun

56

2000 yang lalu telah mendapat perlindungan konstitusional yang sama berdasar Pasal 18 B ayat (2) dan Pasal 28 I ayat (3) amandemen kedua UndangUndang Dasar 1945. Hal yang demikian itu, sungguh amatlah arif untuk mengkaitkan upaya pemartabatan adat istiadat sebagai budaya khas lokal dengan konteks kenegaraan yang berwawasan industrialisasi. Dengan wawasan industrialisasi, mereka berusaha menangkap setiap kesempatan yang datang. Semua kesempatan yang datang dapat ditangkap dari kebijakan industrialisasi pasca Suramadu yang diharapkan telah dirancang dan harus memiliki/mempunyai basis/bercirikan ekonomi kerakyatan. Alasan mendasar: Pertama, ciri utama sistem ekonomi kerakyatan adalah penegakan prinsip keadilan dan demokrasi ekonomi, disertai kepedulian terhadap yang lemah. Sistem ekonomi tersebut harus memungkinkan seluruh potensi bangsa, baik sebagai konsumen, sebagai pengusaha maupun sebagai tenaga kerja, tanpa membedakan suku, agama, dan gender, mendapatkan kesempatan, perlindungan dan hak untuk memajukan kemampuannya dalam rangka meningkatkan taraf hidupnya dan partisipasinya secara aktif dalam berbagai kegiatan ekonomi, termasuk dalam memanfaatkan serta memelihara kekayaan alam dan lingkungan hidup. Di dalam melaksanakan kegiatan tersebut, semua pihak harus mengacu kepada peraturan yang berlaku. Kedua, sejalan dengan ciri pertama, adalah pemihakan, pemberdayaan, dan perlindungan terhadap yang lemah oleh semua potensi bangsa, terutama pemerintah sesuai dengan kemampuannya. Pemerintah melaksanakannya melalui langkah-langkah yang ramah pasar. Sedangkan, penanggulangan kemiskinan dan pemberdayaan usaha mikro, kecil, menengah dan koperasi (UKMK) termasuk petani dan nelayan kecil, merupakan prioritas utama dalam pengembangan sistem ekonomi kerakyatan. Ketiga, Penciptaan iklim persaingan usaha yang sehat dan intervensi yang ramah pasar serta upaya pemerataan berjalan seiring dengan upaya menciptakan pasar yang kompetitif untuk mencapai efisiensi optimal. Misalnya, hubungan kemitraan antara usaha besar UKMK harus berlandaskan kompetensi bukan belas kasihan. Untuk itu, prioritas dilakukan bagi penghapusan praktek-praktek dan perilaku-perilaku ekonomi diluar aturan permainan yang dianggap wajar dan adil oleh masyarakat seperti praktek monopoli, pengembangan sistem perpajakan progresif yang efektif dan deregulasi yang diarahkan untuk menghilangkan ekonomi beaya tinggi. Keempat, pemberdayaan ekonomi rakyat sangat terkait dengan upaya menggerakkan ekonomi pedesaan. Oleh karena itu, upaya mempercepat pembangunan pedesaan, termasuk di daerah terpencil, daerah minus, daerah kritis, daerah perbatasan dan daerah terbelakang lainnya harus merupakan prioritas, antara lain, dengan meningkatkan pembangunan prasarana pedesaan dalam mendukung pengembangan keterkaitan desa-kota sebagai bentuk jaringan produksi dan distribusi yang saling menguntungkan. Kelima, pemanfaatan dan penggunaan tanah dan sumber daya alam lainnya, seperti hutan, laut, air, udara dan mineral secara adil, transparan dan produktif dengan mengutamakan hak-hak rakyat setempat, termasuk hak masyarakat

57

adat dengan tetap menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup. Keenam, pembangunan ekonomi rakyat, antara lain pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan/pertambakan, pertambangan, industri dan perdagangan barang dan jasa yang berskala mikro dan kecil, merupakan inti dari pembangunan sistem ekonomi kerakyatan. Memperhatikan pandangan sistem ekonomi kerakyatan itu, penting kita renungkan dan pikirkan pertanyaan ini apakah reformasi ekonomi berbasis kepentingan rakyat kecil berjalan sesuai harapan mensejahterakan, terutama kesejahteraan bagi rakyat yang termajinalisasi atau penyandang masalah ekonomi-sosial? Sistem ekonomi kerakyatan menurut MPR RI Nomor IV/MPR/1999 Tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara Tahun 1999-2004 (Bab IV, B. Ekonomi), adalah sebagai berikut: 1. Sistem ekonomi kerakyatan dalam sistem ekonomi pasar: Mengembangkan sistem ekonomi kerakyatan yang bertumpu pada mekanisme pasar yang berkeadilan dengan prinsip persaingan sehat . 2. Mengakui ketidaksempurnaan pasar: Mengembangkan persaingan yang sehat dan adil serta menghindarkan terjadinya struktur monopolistik dan berbagai struktur pasar yang distortif, yang merugikan masyarakat. Berpijak pada pandangan teori system eknomi kerakyatan dan yang disemangati dengan keputusan MPR RI tersebut di atas, maka penting dipersiapkan dan tersedianya sumber daya manusia yang berkualitas, guna memenuhi berjalannya system dimaksud sesuai harapan. Dalam konteks dan kepentingan ini, maka pendidikan dan kesehatan ditanggung sepenuhnya oleh negara. Jaminan penyediaan gizi bagi masyarakat, tidak dipandang sebagai program belas kasihan untuk sebagian rakyat miskin (seperti program BLT atau raskin atau PKH yang dilakukan pemerintah saat ini). Kebutuhan yang sangat mendasar tersebut harus diberlakukan secara umum sehingga, dapat diakses oleh seluruh warga Madura. Pengecualian hanya berlaku bagi warga Madura yang memiliki kemampuan lebih sehingga, memilih akses terhadap pendidikan dan kesehatan di luar fasilitas yang disediakan oleh negara. Selain itu, penting juga memberikan perhatian terhadap industri kecil dan menengah melalui pengembangan sarana dan kemudahan akses terhadap kredit mikro, bahan baku produksi yang murah, serta jaminan ketersediaan pasar yang akomodatif. Kemudian, penting memantapkan kinerja dampak dari strategi pembangunan pertanian yang menitik beratkan pada pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi yang semata tanpa didukung oleh tujuan pemerataan melalui pendistribusian yang baik mengakibatkan kesenjangan dalam masyarakat. Keadaan tersebut juga ditengarai menjadi penyebab utama tingginya jumlah masyarakat miskin. Dengan memberdayakan asset ekonomi yang dimiliki masyarakat miskin merupakan bentuk pendistribusian yang bijaksana, dimana selama ini masyarakat miskin hanya mendapat pembagian (share) keuntungan terkecil dari kegiatan ekonomi yang ada. Campur tangan dan penetrasi pemerintah menjadi terlalu jauh dalam proses globalisasi yang hegemoni dalam memudahkan pelaksanaan kontrol global seringkali menyingkirkan norma dan nilai sosial lokal. Milton Friedman, ekonom

58

pemegang nobel, mengatakan bahwa globalisasi telah menjadi mungkin untuk menghasilkan produk dimanapun, menggunakan sumber daya dimanapun, oleh perusahaan yang berada dimanapun, dan untuk dijual dimanapun (dalam Yanuar Ikbar, 2006). Namun dibalik pandangan itu, para analis yang mengkritik pandangan globalisasi menggambarkan bahwa globalisasi perdagangan dan keuangan kontemporer sebagai penyebab utama dari tingginya pengangguran, penurunan dalam standar kerja, ketidakseimbangan, kemiskinan, krisis keuangan dan degradasi lingkungan dalam skala besar. Ini terjadi paling akhir dalam penghujung tahun 2005 di Hongkong dalam konfrensi WTO, sehingga sejumlah aksi menentang idea globalisasi ekonomi dan memberikan tekanan bagi Negara maju menghilangkan proteksi produkasi pertanian (idem). Hal ini ada kesamaan dengan strategi pemerataan pembangunan melalui trickle down effect yang dipandanag terbukti sulit diimplementasikan, dimana di satu sisi sumberdaya terkonsentrasi pada sebagian kecil masyarakat yang berkualitas dan berkuantitas ekonomi yang relatif mapan. Paham neoklasik yang dianut paradigma pembangunan pertanian, kurang berhasil mencapai pertumbuhan yang adil, bahkan menciptakan ketergantungan baik di tingkat lokal maupun nasional (dalam Korten dan Sjahrir ,1984). Di Indonesia pelaksanaan pemikiran neo-klasik telah baik penerapannya, namun karena model ini bersifat kontradiktif dan kurang memberikan ruang bagi proses demokrasi bagi tipe masyarakat yang bersifat demokratis, maka justru menghasilkan pemaksaan dan kesenjangan (dalam Budiman, 1991). Hal ini memunculkan maraknya isu reformasi, sehingga berkembang iklim politik yang kondusif maupun yang kurang kondusif terkait dengan makin maraknya isu reformasi dengan jargon-jargon kebebasan berpendapat, hak asasi manusia (HAM), dan perubahan struktur kekuasaan negara. Kondisi adanya seperti tersebut diatas, merupakan sebagai cerminan kepemilikan peran penting dalam membentuk kesadaran kaum petani terhadap hasil produksi dan memberikan pengaruh kuat terhadap gagasan partisipasi. Hal ini sebagaimana yang dialami Suroso. Suroso mewakili gambaran sebagian besar petani Indonesia, yang memiliki lahan garapan kurang dari 0,5 hektar. Petani seperti Suroso itulah yang kini harus berhadapan dengan isu-isu global. Seperti perdagangan bebas lengkap dengan beragam muslihat yang dikembangkan negara-negara maju melalui Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Menghadapimuslihat itu Suroso hanya bisa menerima.Yosing penting nandur sing apik. Payu kono ora payu kono. (Ya penting menanam dengan baik, laku dijual syukur, tidak laku dijual syukur, tidak laku ya tidak apa-apa), kata Suroso, yang memiliki 1.500 rumpun salak. Bagi Suroso, dan petani lainnya hidup urusan Tuhan. Mereka menyakini kepasrahan akan mendatangkan berkah, termasuk keberhasilan berproduksi (dalam Kompas,14 Oktober2009). Dengan kata lain You may not abandon yourself to despair. Keadaan ini juga mempengaruhi proses terbentuknya kelembagaan (organisasi) kaum petani sebagai wacana dan wadah penyampaian aspirasi mereka terhadap pemerintah untuk menyuarakan ketidakadilan dan

59

kemarjinalan yang dialami kaum petani. Pentingnya partisipasi masyarakat dalam program pembangunan berkelanjutan dapat dikaji melalui giatnya pelaksanaan Otonomi Daerah dengan UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerahyang diperbaharui dengan UU No. 32 tahun 2004, yang menegaskan daerah Kabupaten dan Kota yang berwenang mengatur dan berdasarkan aspirasi masyarakat guna makin terwujud dan meningkatnya kesejahteraan masyarakat. Pemerintah dan masyarakat dituntut agar mampu membina hubungan harmonis dan menjadikan pembangunan sebagai bagian yang sangat penting bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta mampu memberi ruang dan waktu untuk terciptanya masyarakat yang sejahtera dan maju. Hubungan harmonis tersebut dimaksudkan jika pemerintah dan masyarakat dapat berperan, baik sebagai pemerakarsa maupun sebagai partisipan. Pemerakarsa dan partisipasi pemerintah dan masyarakat petani sebagai bentuk perwujudan pemberdayaan masyarakat miskin di pedesaan. Perwujudannya sangat diharapkan demi terlaksana dan tercapainya tujuan dari program pemberdayaan bagi masarakat miskin di pedesaan. Fokus utama program pemberdayaan bagi masarakat miskin yang memungkinkan dapat dikembangkan adalah integrasi jagung-ternak, agar mampu memanfaatkan kotoran ternak sapi sebagai pupuk untuk memacu peningkatan unsur hara tanah sebagai sumber utama kesuburan lahan usaha tani, terutama untuk dapat meningkatkan produksi jagung mereka (jagung merupakan produk unggulan masarakat Madura). Aspek tujuan integrasi jagungternak lainnya adalah pemanfaatan limbah hijauan tanaman jagung sebagai sumber pakan ternak yang utama, di samping penggunaan pakan konsentrat yang dianjurkan, sebagai hasil sampingan dari produksi jagung yang dapat dimakan dan dijual. Selain itu, nilai tambah lain yang diperoleh petani adalah bertambahnya pendapatan petani yang diperoleh dari hasil penjualan kelebihan kotoran ternak tersebut kepada petani lain yang membutuhkannya sebagai pupuk tanaman mereka. Ini bertujuan untuk mengemukakan dengan lebih komprehensif pentingnya peran partisipasi masyarakat petani dalam pelaksanaan program integrasi jagung-ternak yang dapat dijadikan sebagai salah satu strategi pemberdayaan masarakat petani terhadap cengkeraman kemiskinan. Partisipasi mereka dalam program tersebut sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan produksi ternak dan usaha tani jagung mereka melalui pemanfaatan limbah hijauan dan kotoran ternak, dalam rangka meningkatkan pendapatan rumah tangga petani di pedesaan. Partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan dimulai dari perencanaan, pelaksanaan, sampai dengan monitoring dan evaluasi mencerminkan upaya mewujudkan kemandirian daerah yang transparan dan akuntukabel antara komponen pemerintah, masyarakat, dan swasta, yang dilandasi aturan kebijakan untuk berpartisipasi sesuai proporsi dan kompetensi yang dimiliki secara terukur dan berkelanjutan. Kondisi ini dapat berlangsung dengan mengedepankan prinsip-prinsip dasar pemerintahan yang baik (good governance), yaitu: 1) partisipatif; 2) tranparansi; 3) akuntabilitas. Partisipatif

60

dalam proses pembangunan diantaranya melalui berbagai program kebijakan pembangunan pertanian dimaksudkan agar dapat menjembatani antara aspirasi dan kebutuhan masyarakat petani di pedesaan. Sisi lain, makna partisipatif juga diharapkan dapat menggugah kesadaran publik bahwa terjadinya keberhasilan maupun kegagalan proses pembangunan pertanian di pedesaan bukan tanggung jawab pemerintah semata, melainkan sangat bergantung pada keberhasilan keterlibatan masyarakat petani dalam penyelenggaraan pembangunan tersebut, dari awal hingga akhir, yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat petani. Karenanya, sifat dan naluri partisipasi masyarakat dalam membentuk lembaga seperti kelompok tani, paguyuban, dan lainnya sebagai lembaga tradisional yang masih hidup dan bertahan terus diberdayakan, serta dimanfaatkan sebagai asset pembangunan yang perlu ditingkatkan tanpa menghancurkan inti budaya yang menjiwainya. Di samping itu, dapat menjadi salah satu potensi yang bisa dikembangkan menjadi lembaga, baik yang adopsi teknologi maupun yang berorientasi pasar, serta yang bermanfaat bagi wadah untuk menampung dan mengembangkan diri petani di pedesaan. Kelembagaan ini merupakan konstruksi sosial yang diterima dan disepakati sebagai bentuk penyesuaian masyarakat dengan lingkungan material dan non-material. Dengan demikian, masyarakat selanjutnya jadi semakin dapat memposisikan diri pada nilai dan kekuatan luar desa seperti pasar dan industri perkotaan yang bersifat ekonomi dan individualis. Dimana ukuran yang digunakan tidak lagi menyangkut kelestarian dan kebersamaan semata, melainkan eksploitasi dan sukses finansial semata. Jika masarakat tidak dapat mampu memposisikan diri pada nilai dan kekuatan luar, maka masyarakat desa sangat rapuh terhadap faktor yang berada di luar pengendaliannya. Implikasi lain adalah keterjaminan kehidupan social yang dapat diarahkan kepada peningkatan daya tahan, daya tarik dan daya saing yang berbasis market driven (memandu pasar) dan market driving (yang mengemudikan pasar) baik melalui inovasi teknologi tepat guna dan penyediaan, serta pengembangan infrastruktur yang terkait dan bantuan kredit lunak dengan prosedur yang disesuaikan dengan kondisi petani di lahan marginal tersebut. Hal yang demikian ini dapat terlaksana dengan dukungan aparat pemerintahan yang baik (good governance), demi tercapainya tujuan pembangunan pertanian di pedesaan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat petani yang umumnya miskin (secara ekonomi). Kemiskinan merupakan suatu kenyataan yang melekat pada mayoritas masyarakat petani di pedesaan, dan merupakan salah satu perwujudan dari keberagaman. Seperti diketahui bahwa diantara kesamaan yang dimiliki masyarakat, terdapat pula ketidaksamaan satu sama lain. Sebagian masyarakat mampu melakukan dan memperoleh penghasilan untuk dapat menghidupi diri sendiri dan keluarganya. Di sisi lain sebagian masyarakat secara ekonomi tidak mampu melakukannya tanpa bantuan orang lain.

61

Kesimpulan 1. Membangun masarakat Madura pasca Suramadu melalui industrialisasi dengan sistem ekonomi kerakyatan yang berbasis penegakan prinsip keadilan; demokrasi ekonomi yang disertai kepedulian terhadap yang lemah; pemihakan; pemberdayaan; perlindungan; penciptaan iklim persaingan usaha yang sehat; intervensi yang ramah pasar; upaya pemerataan dalam menciptakan pencitraan hubungan kemitraan antara usaha besar dengan usaha mikro, kecil, menengah dan koperasi (UKMK); pemberdayaan ekonomi rakyat dengan upaya mempercepat pembangunan pedesaan, termasuk di daerah terpencil, daerah minus, daerah kritis, daerah perbatasan dan daerah terbelakang lainnya sebagai prioritas (seperti, pembangunan prasarana pedesaan dalam mendukung pengembangan keterkaitan desa-kota dengan jejaringan produksi dan distribusi yang saling menguntungkan); pemanfaatan dan penggunaan tanah dan sumber daya alam secara adil, transparan dan produktif dengan mengutamakan hak-hak rakyat setempat, termasuk hak masyarakat adat dengan tetap menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup; serta pembangunan ekonomi rakyat berbasis pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan/pertambakan, pertambangan, industri dan perdagangan barang dan jasa yang berskala mikro dan kecil. 2. Membangun masarakat Madura pasca Suramadu melalui industrialisasi dengan pendistribusian asset ekonomi kepada masyarakat miskin yang berbasis campur tangan dan penetrasi pemerintah untuk memudahkan pelaksanaan kontrol global yang seringkali menyingkirkan norma dan nilai sosial lokal. Selain, itu juga adanya program industrialisasi penting memartabatkan nilai-nilai budaya local yang agamis. 3. Membangun masarakat Madura pasca Suramadu melalui industrialisasi bersama pemerintah dan masyarakat dalam membina hubungan peranan harmonis sebagai pemerakarsa dan partisipasi yang berfokus pada program pemberdayaan pengembangan integrasi jagung-ternak. Selain itu, adanya industrialisasi di Madura, penting memberdayakan pola pengolahan industry dalam pemanfaatan potensi sumber alam.

62

You might also like