You are on page 1of 5

I. PENGKAJIAN Riwayat kesehatan diambil untuk menentukan adanya gatal, rasa terbakar, dan nyeri beserta karakteristiknya.

Apakah ini terjadi selama defekasi? Berapa lama ini berakhir? Adakah nyeri abdomen dihubungkan dengan hal itu? Apakah terdapat perdarahan dari rektum? Seberapa banyak? Seberapa sering? Apa warnanya? Adakah rabas lain seperti mukus atau pus? Pertanyaan lain berhubungan dengan pola eliminasi dan penggunaan laksatif; riwayat diet, termasuk masukan serat; jumlah latihan; tingkat aktivitas; dan pekerjaan (khususnya bila mengharuskan duduk atau berdiri lama). Pengkajian objektif mencakup menginspeksi feses akan adanya darah atau mukus, dan area perianal akan adanya hemoroid, fisura, iritasi, atau pus. II. DIAGNOSA KEPERAWATAN 1. Konstipasi b/d mengabaikan dorongan untuk defekasi akibat nyeri selama eliminasi. 2. Ansietas b/d rencana pembedahan dan rasa malu. 3. Nyeri b/d iritasi, tekanan, dan sensitivitas pada area rektal/anal sekunder akibat penyakit anorektal dan spasme sfingter pada pascaoperatif. 4. Perubahan eliminasi urinarius b/d rasa takut nyeri pada pascaoperatif. III. INTERVENSI 1. Konstipasi b/d mengabaikan dorongan untuk defekasi akibat nyeri selama eliminasi. Menghilangkan konstipasi. Masukan cairan sedikitnya 2 liter sehari dianjurkan untuk memberikan hidrasi adekuat. Makanan tinggi serat dianjurkan untuk

meningkatkan bulk dalam feses dan membuatnya lebih mudah dikeluarkan. Laksatif bulk seperti Metamucil dan pelunak feses diberikan sesuai resep. Pasien dianjurkan untuk miring guna merangsang usus dan merangsang keinginan defekasi sebisa mungkin. Menganjurkan pasien untuk relaksasi sebelum defekasi akan membantu merilekskan otot-otot perineal abdomen yang kemungkinan berkonstriksi atau mengalami spasme. Berikan analgesik sebelum pergerakan usus benar-benar terjadi. 2. Ansietas b/d rencana pembedahan dan rasa malu. Menurunkan ansietas. Pasien yang menghadapi pembedahan rektal dapat merasa kacau dan peka akibat ketidaknyamanan, nyeri, dan malu. Kebutuhan psikososial khusus dan rencana asuhan yang bersifat individu diidentifikasi. Privasi diberikan dengan membatasi pengunjung bila pasien menginginkannya. Privasi pasien dipertahankan pada saat memberikan perawatan. Balutan kotor dibuang dari ruangan dengan segera untuk mencegah bau tidak enak. Pengharum ruangan dapat diberikan bila balutan berbau menyengat. 3. Nyeri b/d iritasi, tekanan, dan sensitivitas pada area rektal/anal sekunder akibat penyakit anorektal dan spasme sfingter pada pascaoperatif. Menghilangkan nyeri. Selama 24 jam pertama setelah pembedahan rektal, dapat terjadi spasme yang menimbulkan nyeri pada sfingter dan otot perineal. Kontrol terhadap nyeri adalah pertimbangan utama. Pasien didorong untuk memilih posisi nyaman. Bantalan flotasi dibawah bokong pada saat duduk akan membantu menurunkan nyeri, demikian juga dengan pemberian es dan salep analgesik. Kompres hangat dapat meningkatkan sirkulasi dan meringankan jaringan teriritasi.

Rendam duduk, tiga atau empat kali sehari, akan menghilangkan rasa sakit dan nyeri dengan merelakskan spasme sfingter. 24 jam setelah pembedahan, agens anestetik topikal dapat membantu dalam menghilangkan iritasi lokal dan rasa sakit. Obat-obatan dapat mencakup supositoria yang mengandung anestetik. Astringen, antiseptik, tranquilizer, dan antiemetik. Pasien akan lebih patuh dan bebas dari rasa takut bila nyeri dapat diatasi.

Balutan basah yang jenuh oleh air dingin dan witch hazel dapat membantu menghilangkan edema. Apabila kompres basah digunakan secara kontinu, petroleum harus diberikan disekitar area anal untuk mencegah maserasi kulit. Pasien diinstruksikan untuk melakukan posisi telungkup dengan interval tertentu, karena posisi ini meningkatkan drainase dependen cairan edema. 4. Perubahan eliminasi urinarius b/d rasa takut nyeri pada pascaoperatif. Meningkatkan eliminasi urinarius. Berkemih dapat menjadi masalah pada periode pascaoperatif, akibat spasme refleks sfingter pada jalan keluar kandung kemih dan sejumlah tertentu otot pelindung dari rasa takut dan nyeri. Semua metode untuk mendorong berkemih spontan (meningkatkan masukan cairan, mendengar aliran air, meneteskan air di atas meatus urinarius) harus dicoba sebelum memasukkan kateter. Setelah pembedahan rektal, haluaran urin harus dipantau dengan cermat.

IV. EVALUASI Hasil yang diharapkan: 1. Mendapatkan pola eliminasi normal.

a. Menyusun waktu untuk defekasi, biasanya setelah makan atau pada waktu tidur. b. Berespons terhadap dorongan untuk defekasi dan menyediakan waktu untuk duduk di toilet dan mencoba untuk defekasi. c. Menggunakan latihan relaksasi sesuai kebutuhan. d. Menambahkan makanan tinggi serat pada diet. e. Meningkatkan masukan cairan sampai 2 liter/24 jam. f. Melaporkan pasase feses lunak dan berbentuk. g. Melaporkan penurunan ketidaknyamanan pada abdomen. 2. Ansietas berkurang. 3. Nyeri teratasi atau berkurang. a. Mengubah posisi tubuh dan aktivitas untuk meminimalkan nyeri dan ketidaknyamanan. b. Menerapkan kompres hangat/dingin pada area rektal/anal. c. Melakukan rendam duduk empat kali sehari. 4. Mentaati program terapeutik. a. Mempertahankan area perianal kering. b. Makan makanan pembentuk bulk. c. Mengalami feses lunak dan berbentuk secara teratur. 5. Bebas dari masalah perdarahan. a. Insisi bersih. b. Menunjukkan tanda vital normal. c. Menunjukkan tidak ada tanda hemoragi.

Brunner dan Suddarth. 2001. Keperawatan Medikal Bedah Ed. 8 Vol 2. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.

You might also like