You are on page 1of 17

Catur Asrama dalam agama Hindu

02/26/2011 Ketut Supeksa

5 Votes

A. Pengertian catur asrama Dilihat dari asal katanya catur asrama terdiri dari kata catur yang berarti empat ( 4 ) dan asrama yang berarti jenjang kehidupan, tempat / lapangan. Jadi catur asrama artinya empat jenjang yang dilalui dalam kehidupan yang berdasarkan tuntunan rohani.

B. Pembagian catur asrama 1. Brahmacari 2. Grahasta 3. Wanaprasta 4. Biksuka ( sanyasin ) C. Penjelasan / pengertian masing-masing catur asrama 1. Brahmacari Brahmacari berasal dari 2 kata , brahma dan cari . Brahma artinya ilmu pengetahuan suci dan Cari ( car ) yang artinya bergerak. Jadr brahmacari artinya bergerak di dalam kehidupan menuntut ilmu pengetahuan ( masa menuntut ilmu pengetahuan ). Dalam kitab Nitisastra II, 1 masa menuntut ilmu pengetahuan adalah maksimal 20 tahun, dan seterusnya hendanya kawin untuk mempertahankan keturunan dan generasi berikutnya. Brahmacari juga dikenal dengan istilah Asewaka guru / aguron-guron yang artinya guru membimbing siswanya dengan petunjuk kerohanian untuk memupuk ketajaman otak yang

disebut dengan Oya sakti . Dalam masa brahmacari ini siswa dilarang mengumbar hawa nafsu sex ,karena akan mempengaruhi ketajaman otak. Untuk masa menuntut ilmu, tidak ada batasnya umur, mengingat ilmu terus berkembang mengikuti waktu dan zaman . Maka pendidikan dilakukan seumur hidup. Dalam kitab Silakrama , pendidikan seumur hidup dapat dibedakan menurut perilaku seksual dengan masa brahmacari. Dengan brahmacari dapat dibedakan menjadi 3 bagian, antara lain : a. Sukla brahmacari artinya tidak kawin selama hidupnya . Contoh orang yang melaksanakan sukla brahmacari . Laksmana dalam cerita ramayana, bhisma dalam mahabarata, jarat karu dalam cerita adi parwa. b. Sewala brahmacari artinya kawin hanya rekali dalam hidupnya walau apapun yang terjadi. c. Tresna ( kresna brahmacari ) artinya kawin yang lebih dari satu kali , maksimal empat kali. Perkawinan ini diperbolehkan apabila istri tidak melahirkan - istri tidak bisa melaksanakan tugas sebagai mana mestinya. adapun syarat tresna brahmacari adalah : - mendapat persetujuan dari irtri pertama - suami harus bersikap adil terhadap irtri-istrinya - sebagai ayah harus adil terhadap anak dari istri-istrinya. 2. Grahasta asrama Merupakan jenjang yang kedua yaitu kehidupan pada waktu membina rumah tangga ( dari mulai kawin ). Kata grahasta berasal dari dua kata. Grha artinya rumah, stha artinya berdiri. Jadi grahasta artinya berdiri membentuk rumah tangga. Dalam berumah tangga ini harus mampu seiring dan sejalan untuk membina hubungan atas darar saling cinta mencintai dan ketulusan. syarat-syarat perkawinan adalah - sehat jarmani dan rohani - hidup sudah mapan - saling cinta mencintai - mendapat persetujuan dari kedua pihak baik keluarga dan orang tua. Sejak itu jenjang kehidupan baru masuk ke dalam anggota keluarga / anggota masyarakat. Menurut kitab Nitisastra. Masa grahasta yaitu 20 tahun. adapun tujuan grahasta adalah : - melanjutkan keturunan - membina rumah tangga ( saling tolong menolong, sifat remaja dihilangkan, jangan bertengkar

apalagi di depan anak-anak karena akan mempengaruhi perkembangan psikologis anak ) - melaksanakan panca yadnya ( sebagai seorang hindu ) 3. Wanaprasta Wanaprasta terdiri dari dua kata yaitu wana yang artinya pohon, kayu, hutan, semak belukar dan prasta yang artinya berjalan, berdoa. Jadi wanaprasta artinya hidup menghasingkan diri ke dalam hutan. Mulai mengurangi hawa nafsu bahkan melepaskan diri dari ikatan duniawi. Manfaat menjalani jenjang wanaprasta dalam kehidupan ini antara lain : a. Untuk mencapai ketenangan rohani. adapun filsafat tentang itu : - orang menang, tidak pernah mengalahkan - orang yang kaya karena tidak pernah merasa miskin b. Manfaatkan sisi hidup di dunia untuk mengabdi kepada masyarakat. c. Melepaskan segala keterikatan duniawi Menurut kitab Nitisastra masa wanaprasta kurang lebih 50 60 tahun. 4. Biksuka ( sanyasin ) Kata biksuka berasal dari kata biksu yang merupakan sebutan pendeta Buda. Biksu artinya meminta-minta. Masa biksuka ialah tingkat kehidupan yang dilepaskan terutama ikatan duniawi, hanya mengabdikan diri kepada Tuhan ( Ida Sang Hyang Widhi Wasa ). Ciri-ciri seorang biksuka : a. Selalu melakukan tingkah laku yang baik dan bijaksana b. Selalu memancarkan sifat-sifat yang menyebabkan orang lain bahagia. c. Dapat menundukkan musuh-musuh nya seperti sadripu - kama = nafsu - loba = tamak / rakus - kroda = marah - moha = bingung

- mada = mabuk - matsyarya = iri hati Itulah catatan kecil mengenai catur asrama jika ada kesalahan dan kekurangan mohon dimaklumi . Thanks dah berkunjung di blogini Hadiah untuk para pengunjung karena telah membuka blog ini maka akan saya berikan alamat website yang dikunjungi paling banyak dan mungkin sangat berguna, klik nomor disamping1 2

Catur Purusartha Via Catur Asrama


Oleh : mdsutriani.

Catur Asrama. Catur Asrama berarti empat fase/tahapan hidup atau empat macam tingkatan hidup dalam hubungannya mencapai tujuan agama berlandaskan petunjuk agama. Catur Asrama dapat dibagi menjadi empat bagian, yaitu : (1) Brahmacari adalah suatu tingkatan masa hidup berguru untuk mendapatkan ilmu pengetahuan, jenjang ini merupakan tingkatan pertama yang ditempuh oleh manusia. Dalam kitab Dharmasastra disebutkan bahwa umur untuk mulai belajar adalah semasa anak-anak, yaitu umur 5 tahun dan selambat-lambatnya umur 8 tahun. (2) Grhastha adalah tingkat hidup kedua yaitu masa berumah tangga. Pada masa membangun rumah tangga, manusia harus sudah bekerja dan bisa hidup mandiri. Tingkatan hidup Grhastha diawali dengan upacara perkawinan. Didalam Nitisastra disebutkan seseorang boleh memeasuki Grhasta (masa berumah tangga) setelah berumur 20 tahun. (3) Wanaprastha adalah tingkat hidup manusia pada masa persiapan untuk melepaskan diri dari ikatan keduniawiaan. Masa ini dimasuki setelah orang telah menunaikan kewajiban dalam keluarga dan masyarakat. Pada masa ini orang akan mulai sedikit demi sedikit melepaskan diri dari ikatan keduniawian dan lebih mendekatkan diri kepada tuhan untuk mencapai Moksa. (4) Bhiksuka atau Sanyasin adalah tingkatan hidup pada masa yang telah lepas sama sekali dari ikatan keduniawian (Moksa) dan hanya mengabdikan diri kepada Tuhan (Ida Sang Hyang Widhi). Catur Purusartha. Catur artinya empat, purusa artinya jiwa manusia, dan artha artinya tujuan hidup. Jadi, Catur Purusa Artha artinya empat tujuan hidup manusia. Catur Purusa artha ini juga disebut Catur Warga yang artinya empat tujuan hidup manusia yang terjalin erat dengan yang lainnya. Catur Purusa Artha terdiri dari :
1. Dharma, berasal dari bahasa Sansekerta dari urat kata Dhr artinya: menjinjing, memangku, memelihara dan mengatur. Dalam arti luas dharma juga berarti hukum, kodrat, kewajiban, agama, kebenaran. Dharma merupakan dasar dari segala tingkah laku manusia. Dalam kitab suci disebutkan manfaat Dharma : a) alat untuk mencapai surga dan Moksa, b) menghilangkan segala macam penderitaan, c)

sumber datangnya kebaikan bagi yang melaksanakannya, d) melebur dosa-dosa, e) harta kekayaan yang tidak bisa dicuri dan dirampas, f) landasan untuk mendapatkan Artha dan Kama. 2. Artha artinya: tujuan, harta benda (kekayaan). Harta yang didapat dan digunakan sesuai dengan Dharma akan menimbulkan kebahagiaan. Artha atau kekayaan itu hendaknya dibagi tiga: a) Untuk mencapai Dharma (melaksanakan kegiatan keagamaan), b) Sarana untuk memenuhi Kama (memenuhi keperluan hidup), c) Sarana melakukan usaha / bisnis (usaha dan tabungan). 3. Kama artinya keinginan, kasih sayang, cinta kasih, kesenangan dan kenikmatan. Keinginan dapat memberi kenikmatan dan tujuan hidup. Kenikmatan ini akan memberikan kepuasan. Kama adalah suatu kebahagiaan dan kenikmatan yang didapat melalui indria. 4. Moksa artinya bebas dari ikatan keduniawian, bebas dari hukum karma phala, bebas dari samsara/ kelahiran. Moksa adalah ketenangan dan kebahagiaan spiritual yang abadi (suka tan pawali dukha). Setiap orang wajib berusaha untuk mencapainya. Salah satu jalan untuk mencapai tujuan adalah dengan Catur Marga.

Catur Purusartha Via Catur Asrama. Dalam implementasinya, Catur Asrama adalah empat jenjang kehidupan manusia yang dipolakan untuk mencapai empat tujuan hidup manusia yang disebut Catur Purusa Artha. Masing-masing fase didalam Catur Asrama mempunyai tujuan hidup yang berbeda-beda menurut Catur Purusa Artha. Hubungan bagian-bagian Catur Asrama dengan bagian-bagian Catur Purusa Artha adalah sebagai berikut :
1. Pada masa Brahmacari tujuan utama manusia adalah tercapainya Dharma dan Artha. Karena seseorang belajar adalah untuk memahami dharma dan dapat mencari nafkah di masa depan. Dharma merupakan dasar dan bekal mengarungi kehidupan berikutnya. 2. Pada masa Grhastha, tujuan hidup / utama manusia adalah mendapatkan Artha dan kama yang dilandasi oleh dharma. Mencari harta benda untuk memenuhi kebutuhan hidup (kama) yang berdasarkan kebenaran (Dharma). Seorang Grhastha memiliki kewajiban-kewajiban : bekerja mencari harta berdasarkan dharma, menjadi pemimpin rumah tangga, menjadi anggota masyarakat yang baik dan melaksanakan yadnya, yang semuanya itu memerlukan dana 3. Pada masa Wanaprastha orang akan mulai sedikit demi sedikit melepaskan diri dari ikatan keduniawian (Artha dan Kama hendaknya mulai dikurangi), berkonsentrasi dalam bidang spiritual, mencari ketenangan batin dan lebih mendekatkan diri kepada tuhan untuk mencapai Moksa. Tujuan hidup pada masa ini adalah persiapan mental dan fisik untuk dapat menyatu dengan Tuhan (Sang Hyang Widhi). Pada masa ini tujuan hidup yang diprioritaskan adalah Kama dan Moksa. 4. Pada masa Bhiksuka/sanyasin, manusia adalah pada situasi dimana benar-benar mampu melepaskan diri dari ikatan duniawi dan kehidupannya sepenuhnya diabdikan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa dengan jalan menyebarkan ajaran agama. Pada masa ini orang tidak merasa memiliki apa-apa dan tidak terikat sama sekali oleh materi dan selalu berusaha mendekatkan diri kepada Tuhan. Pada masa ini, yang menjadi tujuan utama adalah Moksa.

5. Dharma Wacana 6. Catur Asrama 7. I. Pendahuluan 8. Om Swastyastu

pertama-tama saya ingin mengucapkan terimakasih atas kesempatan yang telah diberikan kepada saya untuk memaparkan sebuah Dharma wacana 10. Yang terhormat bapak kelian adat dan kelian dinas banjar kembangsari desa Blahkiuh 11. Demikian pula sekaa truna yang sangat saya cintai dan banggakan 12. Pertama-tama ijinkanlah saya mengaturkan puja-puji syukur karena atas Asung Kerta Wara Nugraha beliau kita dapat berkumpul disini dan pada saat yang berbahagia ini saya mendapat kesempatan untuk menyampaikan Dharma wacana yang bertemakan Catur Asrama karena sangat berguna sekali untuk menata kehidupan ini yang menurut Hindu ada empat jenjang, yang nantinya dapat tercapainya kebahagiaan yang sejati. Mengapa ada jenjang kehidupan? 13. II. Isi 14. Umat sedharma yang berbahagia 15. Manusia diciptakan di dunia ini memang untuk membayar karma, Jadi tujuannya disamping melaksanakan jenjang-jenjang kehidupan menurut Hindu yang dibagi menjadi empat jenis yakni: 16. 1. Brahmacari 17. 2. Grahasta 18. 3. Wanaprasta 19. 4. Biksuka 20. 1. Brahmacari kata bramacari berasal dari bahasa sansekerta yang terdiri dari dua kata yakni brahma dan cari brahma yang artinya ilmu pengetahuan suci dan cari (car) yang atinya bergerak. Jadi brahmacari artinya bergerak dalam hal menuntut ilmu pengetahuan. Ini adalah jenjang pertama yang harus ditempuh dalam kehidupan karena agar ada bekal ilmu pengetahuan sehingga dalam hal mencari pekerjaan sangat gampang yakni untuk menempuh ke jenjang pernikahan. Dalam kitab Nitisastra II, 1 masa menuntut ilmu pengetahuan adalah maksimal 20 tahun, dan seterusnya hendanya kawin untuk mempertahankan keturunan dan generasi berikutnya, namun untuk masa menuntut ilmu, tidak ada batasnya umur, mengingat ilmu terus berkembang mengikuti waktu dan zaman . Maka pendidikan dilakukan seumur hidup. Brahmacari juga dikenal dengan istilah Asewaka guru / aguron-guron yang artinya guru membimbing siswanya dengan petunjuk kerohanian untuk memupuk ketajaman otak yang disebut dengan Oya sakti . Dalam masa brahmacari ini siswa dilarang mengumbar hawa nafsu sex ,karena akan mempengaruhi ketajaman otak.
9.

21. Dalam kitab Silakrama , pendidikan seumur hidup dapat dibedakan menurut

perilaku seksual dengan masa brahmacari. Dengan brahmacari dapat dibedakan menjadi 3 bagian, antara lain : 22. a. Sukla brahmacari artinya tidak kawin selama hidupnya . Contoh orang yang melaksanakan sukla brahmacari . Laksmana dalam cerita ramayana, bhisma dalam mahabarata, jarat karu dalam cerita adi parwa. B. Sewala brahmacari artinya kawin hanya rekali dalam hidupnya walau apapun yang terjadi. 23. c. Tresna ( kresna brahmacari ) artinya kawin yang lebih dari satu kali , maksimal empat kali. Perkawinan ini diperbolehkan apabila istri tidak melahirkan - istri tidak bisa melaksanakan tugas sebagai mana mestinya. 24. adapun syarat tresna brahmacari adalah : 25. - mendapat persetujuan dari irtri pertama 26. - suami harus bersikap adil terhadap istri-istrinya 27. - sebagai ayah harus adil terhadap anak dari istri-istrinya. 28. 2.Grahasta adalah masa untuk mencari pendamping hidup karena dianggap sudah matang umur , merupakan jenjang yang kedua yaitu kehidupan pada waktu membina rumah tangga ( dari mulai kawin ). Kata grahasta berasal dari dua kata. Grha artinya rumah, stha artinya berdiri. Jadi grahasta artinya berdiri membentuk rumah tangga. Dalam berumah tangga ini harus mampu seiring dan sejalan untuk membina hubungan atas darar saling cinta mencintai dan ketulusan.syarat-syarat perkawinan adalah : 29. - sehat jasmani dan rohani - hidup sudah mapan - saling cinta mencintai - mendapat persetujuan dari kedua pihak baik keluarga dan orang tua. 30. Sejak itu jenjang kehidupan baru masuk ke dalam anggota keluarga / anggota masyarakat. Menurut kitab Nitisastra. Masa grahasta yaitu 20 tahun. adapun tujuan grahasta adalah : 31. - melanjutkan keturunan - membina rumah tangga ( saling tolong menolong, sifat remaja dihilangkan, jangan bertengkar apalagi di depan anak-anak karena akan mempengaruhi perkembangan psikologis anak ) - melaksanakan panca yadnya ( sebagai seorang hindu ) 32. 3. Wanaprasta terdiri dari dua kata yaitu wana yang artinya pohon, kayu, hutan, semak belukar dan prasta yang artinya berjalan, be rdoa. Jadi wanaprasta artinya hidup menghasingkan diri ke dalam hutan. Mulai mengurangi hawa nafsu bahkan melepaskan diri dari ikatan duniawi. Menurut kitab Nitisastra masa wanaprasta kurang lebih 50 60 tahun.

33. Manfaat menjalani jenjang wanaprasta dalam kehidupan ini antara lain : 34. a. Untuk mencapai ketenangan rohani. 35. adapun filsafat tentang itu : 36. - orang menang, tidak pernah mengalahkan

- orang yang kaya karena tidak pernah merasa miskin 37. b. Manfaatkan sisi hidup di dunia untuk mengabdi kepada masyarakat. 38. c. Melepaskan segala keterikatan duniawi 39. 4. Biksuka ( sanyasin ) 40. Kata biksuka berasal dari kata biksu yang merupakan sebutan pendeta Buda. Biksu artinya meminta-minta. Masa biksuka ialah tingkat kehidupan yang dilepaskan terutama ikatan duniawi, hanya mengabdikan diri kepada Tuhan ( Ida Sang Hyang Widhi Wasa ). 41. Ciri-ciri seorang biksuka : 42. a. Selalu melakukan tingkah laku yang baik dan bijaksana 43. b. Selalu memancarkan sifat-sifat yang menyebabkan orang lain bahagia. 44. c. Dapat menundukkan musuh-musuh nya seperti sadripu 45. - kama = nafsu 46. - loba = tamak / rakus 47. - kroda = marah 48. - moha = bingung 49. - mada = mabuk 50. - matsyarya = iri hati 51. III. Kesimpulan 52. Jadi manusia hidup di dunia ini ada tahapan-tahapan yang hendak dicapai agar jenjang kehidupan menjadi tertata, catur asrama ini juga berguna untuk menerapkan manusia agar melaksanakan swadharma menurut umur jadi dari umur 0 20th tahun hendaknya digunakan untuk belajar, umur 20 th keatas baru kemudian menginjak ke jenjang menikah dengan mencari pasangan hidup agar mendapatkan keturunan yakni untuk meneruskan generasi agar tidak putus. Kemudian pada umur 50-60th setelah matang dalam belajar kemudian menikah tentu saja banyak memiliki ilmu-ilmu atau pengalaman yang dapat diterapkan dalam masyarakat atau mengabdi pada masyarakat. Kemudian jenjang yang terakhir adalah biksuka atau sanyasin dari umur 60 th keatas hendaknya sudah menyerahkan diri dengan Tuhan tidak terikat lagi dengan nafsu-nafsu yang ada dalam diri apalagi itu nafsu sad ripu. Seorang sanyasin hendaknya selalu berbuat yang baik dan bijaksana dan tidak banyak memiliki keinginan-keinginan menyerahkan diri dengan Tuhan dan pasrah. 53. Umat sedharma yang berbahagia

54. Demikianlah dharma wacana tentang catur asrama semoga bermanfaat bagi

kita semua dan saya mohon maaf apabila ad salah kata baik yang disengaja atau tidak, dan akhir kata saya tutup dengan parama santih 55. Om Santih, Santih, Santih Om

Warna (Hindu)
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas Belum Diperiksa Langsung ke: navigasi, cari
Artikel ini adalah bagian dari seri

Agama Hindu

Topik Mitologi Kosmologi Dewa-Dewi Sejarah Sejarah agama Hindu Sejarah agama Hindu di Nusantara Lima keyakinan dasar Brahman Atman Karmaphala Samsara Moksa Filsafat Samkhya Yoga Mimamsa Nyaya Waisiseka Wedanta Susastra Weda Samhita Brhmana

Aranyaka Upanisad Hari Raya Galungan Kuningan Saraswati Pagerwesi Nyepi Siwaratri

Kumpulan artikel tentang Hindu


lihat bicara sunting

Dalam agama Hindu, istilah Kasta disebut dengan Warna (Sanskerta: ; vara). Akar kata Warna berasal dari bahasa Sanskerta vrn yang berarti "memilih (sebuah kelompok)". Dalam ajaran agama Hindu, status seseorang didapat sesuai dengan pekerjaannya. Dalam konsep tersebut diuraikan bahwa meskipun seseorang lahir dalam keluarga Sudra (budak) ataupun Waisya (pedagang), apabila ia menekuni bidang kerohanian sehingga menjadi pendeta, maka ia berhak menyandang status Brahmana (rohaniwan). Jadi, status seseorang tidak didapat semenjak dia lahir melainkan didapat setelah ia menekuni suatu profesi atau ahli dalam suatu bidang tertentu[1]. Dalam tradisi Hindu, Jika seseorang ahli dalam bidang kerohanian maka ia menyandang status Brhmana. Jika seseorang ahli atau menekuni bidang administrasi pemerintahan ataupun menyandang gelar sebagai pegawai atau prajurit negara, maka ia menyandang status Ksatriya. Apabila seseorang ahli dalam perdagangan, pertanian, serta profesi lainnya yang berhubungan dengan niaga, uang dan harta benda, maka ia menyandang status Waisya. Apabila seseorang menekuni profesi sebagai pembantu dari ketiga status tersebut (Brahmana, Ksatriya, Waisya), maka ia menyandang gelar sebagai Sudra.

Daftar isi

1 Warna yang utama o 1.1 Brahmana o 1.2 Ksatriya o 1.3 Waisya

o 1.4 Sudra 2 Sistem kerja 3 Penyimpangan 4 Catatan 5 Referensi

Warna yang utama


Brahmana

Brahmana merupakan golongan pendeta dan rohaniwan dalam suatu masyarakat, sehingga golongan tersebut merupakan golongan yang paling dihormati. Dalam ajaran Warna, Seseorang dikatakan menyandang gelar Brahmana karena keahliannya dalam bidang pengetahuan keagamaan. Jadi, status sebagai Brahmana tidak dapat diperoleh sejak lahir. Status Brahmana diperoleh dengan menekuni ajaran agama sampai seseorang layak dan diakui sebagai rohaniwan.
Ksatriya

Ksatriya merupakan golongan para bangsawan yang menekuni bidang pemerintahan atau administrasi negara. Ksatriya juga merupakan golongan para kesatria ataupun para Raja yang ahli dalam bidang militer dan mahir menggunakan senjata. Kewajiban golongan Ksatriya adalah melindungi golongan Brahmana, Waisya, dan Sudra. Apabila golongan Ksatriya melakukan kewajibannya dengan baik, maka mereka mendapat balas jasa secara tidak langsung dari golongan Brhmana, Waisya, dan Sudra.
Waisya

Waisya merupakan golongan para pedagang, petani, nelayan, dan profesi lainnya yang termasuk bidang perniagaan atau pekerjaan yang menangani segala sesuatu yang bersifat material, seperti misalnya makanan, pakaian, harta benda, dan sebagainya. Kewajiban mereka adalah memenuhi kebutuhan pokok (sandang, pangan, papan) golongan Brahmana, Ksatriya, dan Sudra.
Sudra

Sudra merupakan golongan para pelayan yang membantu golongan Brhmana, Kshatriya, dan Waisya agar pekerjaan mereka dapat terpenuhi. Dalam filsafat Hindu, tanpa adanya golongan Sudra, maka kewajiban ketiga kasta tidak dapat terwujud. Jadi dengan adanya golongan Sudra, maka ketiga kasta dapat melaksanakan kewajibannya secara seimbang dan saling memberikan kontribusi.

Sistem kerja
Caturwarna menekan seseorang agar melaksanakan kewajibannya dengan sebaik-baiknya. Golongan Brahmana diwajibkan untuk memberi pengetahuan rohani kepada golongan Ksatriya, Waisya, dan Sudra. Golongan Ksatriya diwajibkan agar melindungi golongan Brahmana,

Waisya, dan Sudra. Golongan Waisya diwajibkan untuk memenuhi kebutuhan material golongan Brahmana, Ksatriya, dan Sudra. Sedangkan golongan Sudra diwajibkan untuk membantu golongan Brahmana, Ksatriya, dan Waisya agar kewajiban mereka dapat dipenuhi dengan lebih baik. Keempat golongan tersebut (Brahmana, Ksatriya, Waisya, Sudra) saling membantu dan saling memenuhi jika mereka mampu melaksanakan kewajibannya dengan baik. Dalam sistem Caturwarna, ketentuan mengenai hak tidak diuraikan karena hak diperoleh secara otomatis. Hak tidak akan dapat diperoleh apabila keempat golongan tidak dapat bekerja sama. Keempat golongan sangat dianjurkan untuk saling membantu agar mereka dapat memperoleh hak. Dalam sistem Caturwarna terjadi suatu siklus "memberi dan diberi" jika keempat golongan saling memenuhi kewajibannya. Karena status seseorang tidak didapat semenjak lahir, maka statusnya dapat diubah. Hal tersebut terjadi jika seseorang tidak dapat melaksanakan kewajiban sebagaimana status yang disandangnya. Seseorang yang lahir dalam keluarga Brhmana dapat menjadi seorang Sudra jika orang tersebut tidak memiliki wawasan rohani yang luas, dan juga tidak layak sebagai seorang pendeta. Begitu pula seseorang yang lahir dalam golongan Sudra dapat menjadi seorang Brhmana karena memiliki pengetahuan luas di bidang kerohanian dan layak untuk menjadi seorang pendeta.

Penyimpangan
Banyak orang yang menganggap Caturwarna sama dengan Kasta yang memberikan seseorang sebuah status dalam masyarakat semenjak ia lahir. Namun dalam kenyataannya, status dalam sistem Warna didapat setelah seseorang menekuni suatu bidang/profesi tertentu. Sistem Warna juga dianggap membeda-bedakan kedudukan seseorang. Namun dalam ajarannya, sistem Warna menginginkan agar seseorang melaksanakan kewajiban sebaik-baiknya. Kadangkala seseorang lahir dalam keluarga yang memiliki status sosial yang tinggi dan membuat anaknya lebih bangga dengan status sosial daripada pelaksanaan kewajibannya. Sistem Warna mengajarkan seseorang agar tidak membanggakan ataupun memikirkan status sosialnya, melainkan diharapkan mereka melakukan kewajiban sesuai dengan status yang disandang karena status tersebut tidak didapat sejak lahir, melainkan berdasarkan keahlian mereka. Jadi, mereka dituntut untuk lebih bertanggung jawab dengan status yang disandang daripada membanggakannya. Di Indonesia (khususnya di Bali) sendiri pun terjadi kesalahpahaman terhadap sistem Catur Warna. Catur Warna harus secara tegas dipisahkan dari pengertian kasta. Pandangan tersebut dikemukakan oleh Drs. I Gusti Agung Gde Putera, waktu itu Dekan Fakultas Agama dan Kebudayaan Institut Hindu Dharma Denpasar pada rapat Desa Adat se-kabupaten Badung tahun 1974. Gde Putera yang kini Dirjen Bimas Hindu dan Buddha Departemen Agama mengemukakan[2]:

Kasta-kasta dengan segala macam titel-nya yang kita jumpai sekarang di Bali adalah suatu anugerah kehormatan yang diberikan oleh Dalem (Penguasa daerah Bali), oleh karena jasa-jasa dan kedudukannya dalam bidang pemerintahan atau negara maupun di masyarakat. Dan hal ini diwarisi secara turun temurun oleh anak cucunya yang dianggap sebagai hak, walaupun ia tidak lagi memegang jabatan itu. Marilah jangan dicampur-adukkan soal titel ini dengan agama, karena titel ini adalah persoalan masyarakat, persoalan jasa, persoalan jabatan yang dianugerahkan oleh raja pada zaman dahulu. Dalam agama, bukan kasta yang dikenal, melainkan "warna" dimana ada empat warna atau Caturwarna yang membagi manusia atas tugas-tugas (fungsi) yang sesuai dengan bakatnya. Pembagian empat warna ini ada sepanjang zaman.

Menurut I Gusti Agung Gede Putera, kebanggaan terhadap sebuah gelar walaupun jabatan tersebut sudah tidak dipegang lagi merupakan kesalahpahaman masyarakat Bali turun-temurun. Menurutnya, agama Hindu tidak pernah mengajarkan sistem kasta melainkan yang dipakai adalah sistem Warna.

Catur Warna Di Bali berlaku sistem Catur Varna (Warna), yang mana kata Catur Warna berasal dari bahasa Sanskerta yang terdiri dari kata Catur berarti empat dan kata warna yang berasal dari urat kata Wr (baca: wri) artinya memilih. Catur Warna berarti empat pilihan hidup atau empat pembagian dalam kehidupan berdasarkan atas bakat (guna) dan ketrampilan (karma) seseorang, serta kwalitas kerja yang dimiliki sebagai akibat pendidikan, pengembangan bakat yang tumbuh dari dalam dirinya dan ditopang oleh ketangguhan mentalnya dalam menghadapi suatu pekerjaan. Empat golongan yang kemudian terkenal dengan istilah Catur Warna itu ialah: Brahmana, Ksatria, Waisya, dan Sudra. Warna Brahmana: Disimbulkan dengan warna putih, adalah golongan fungsional di dalam masyarakat yang setiap orangnya menitikberatkan pengabdian dalam swadharmanya di bidang kerohanian keagamaan. Warna Ksatrya: Disimbulkan dengan warna merah adalah golongan fungsional di dalam masyarakat yang setiap orangnya menitikberatkan pengabdian dalam swadharmanya di bidang kepemimpinan, keperwiraan dan pertahanan keamanan negara. Warna Wesya: Disimbulkan dengan warna kuning adalah golongan fungsional di dalam masyarakat yang setiap orangnya menitikberatkan pengabdiannya di bidang kesejahteraan masyarakat (perekonomian, perindustrian, dan lain- lain).

Warna Sudra: Disimbulkan dengan warna hitam adalah golongan fungsional di dalam masyarakat yang setiap orangnya menitikberatkan pengabdiannya di bidang ketenagakerjaan. Dalam perjalanan kehidupan di masyarakat dari masa ke masa pelaksanaan sistem Catur Warna cenderung membaur mengarah kepada sistem yang tertutup yang disebut Catur Wangsa atau Turunan darah. Padahal Catur Warna menunjukkan pengertian golongan fungsional, sedangkan Catur Wangsa menunjukkan Turunan darah. mplementasi Filosofi Catur Warna Sebagai Hakekat Manusia Hindu (Sebuah Opini Praktis)

Om Swastiastu Om Anobadrah Kratevo Yantu Visvatah

Di suatu ketika, seorang sahabat baik saya yang berbeda keyakinan dengan saya bertanya satu hal, Putu, kamu itu orang yang berkasta apa sih ?. Apa reaksi saya ketika mendapat pertanyaan seperti itu ? saya dengan polosnya menjawab, wah, saya tidak tahu, lalu dia berkata, lho..? kok bisa begitu ? dan saya pun menjawab, iya, karena saya sudah hampir 9 tahun menimba ilmu di sebuah Pasraman, tapi saya tidak pernah mendapat ajaran mengenai kasta, tetapi yang saya dapat adalah Catur Warna. Mendengar pernyataan saya tersebut dia kembali bertanya, oh begitu ? apa kamu bisa jelaskan kepada saya seperti apa Catur Warna itu ?. Mendengar permintaan sahabat saya itu, saya sungguh tertarik untuk menjelaskan, namun apa yang saya jelaskan kepadanya itu hanya sebuah OPINI saya tanpa menghilangkan esensi ajaran Catur Warna itu sendiri. Ketika membicarakan sebuah opini, maka pastinya belum tentu berlaku bagi pemikiran orang lain, namun itulah indahnya kehidupan yang penuh dengan perbedaan.

Secara umum pengertian Catur Warna itu sendiri adalah penggolongan masyarakat berdasarkan pekerjaannya. Empat golongan yang dimaksud antara lain: Brahmana: yaitu golongan rohaniawan, seperti pendeta, guru agama ataupun pemuka agama. Ksatria: yaitu golongan masyarakat yang menggerakkan roda pemerintahan, pelindung masyarakat seperti pejabat negara, birokrat, gubernur, bupati, polisi ataupun tentara. Waisya: yaitu golongan masyarakat yang menggerakkan roda perekonomian, seperti pedagang, pengusaha (wirausahawan) dan sebagainya. Sudra: yaitu golongan masyarakat yang membantu/melayani ketiga golongan di atas. Secara umum, memang seperti itulah pengertian Catur Warna yang telah diajarkan dalam agama Hindu. Akan tetapi, apabila dilihat secara logika sesungguhnya ajaran Catur Warna memiliki filosofi yang sangat

luhur. Filosofi tersebut hendaknya menjadi suatu hakikat bagi manusia hindu. Dengan kata lain, filosofi Catur Warna merupakan wujud keluhuran agama Hindu. Seperti apakah filosofinya? sebagai manusia Hindu, hendaknya kita menjadikan ajaran Catur Warna sebagai bagian dari diri kita. Maksudnya adalah keempat unsur Catur Warna itu hendaknya selalu ada di dalam diri setiap manusia. Hal ini dikarenakan agar terciptanya keseimbangan bagi kehidupan manusia. Dengan tidak adanya batasan antar keempat unsur tersebut, maka itulah hakikat manusia Hindu yang luhur. Dalam hal menjelaskan filosofi ini, dapat dilihat dalam contoh kasus seharihari. Contoh yang paling sederhana adalah peran seorang Ayah. Untuk menjalankan roda rumah tangga agar terus dapat berputar dengan baik, filosofi Catur Warna hendaknya selalu ditanamkan oleh seorang ayah. Pertama, seorang ayah harus mampu membangkitkan peran Brahmana di dalam dirinya yaitu dengan cara memberikan contoh kepada istri dan anak-anaknya dalam hal Sembahyang. Selain itu pula seorang ayah juga harus, mampu mengajarkan anak-anaknya untuk sembahyang serta menjelaskan berbagai ajaran agama kepada anak-anaknya. Mengapa demikian? karena peran tersebut tidak hanya dilakukan oleh para guru agama, melainkan seorang ayah juga harus mampu menjalankan peran tersebut. Kedua, seorang ayah juga harus mampu menjalankan peran Ksatria. Seorang ayah harus mampu menjadi pemimpin yang baik dalam keluarga. Sebuah keluarga tentunya memiliki tujuan yang baik, yaitu menjadi keluarga yang berbahagia, maka di sinilah jiwa kepemimpinan sang ayah harus terus dibangkitkan agar roda rumah tangga terus berputar di jalan Dharma. Ketiga, seorang ayah juga harus menjalankan peran Waisya dengan cara mengatur roda perekonomian keluarga sebaik-baiknya. Seorang ayah harus bijaksana dalam mengatur keuangan keluarga, agar perekonomian keluarga tidak akan terputus sehingga mempu menjadikan keluarga yang sejahtera. Keempat, peran terakhir adalah Sudra di mana seorang ayah harus juga mampu melayani berbagai kebutuhan atau kepentingan istri dan anakanaknya. Umumnya, orang-orang awam menganggap rendah warna Sudra, tapi justru peran Sudra sangatlah vital bagi diri seseorang. Warna sudra akan menjadikan seseorang jauh dari rasa egois atau mementingkan diri sendiri. Peran Sudra sebenarnya secara filosofi adalah bentuk lain dari kalimat manusia adalah makhluk sosial, tidak dapat hidup sendiri dan saling membutuhkan. Dari contoh sederhana di atas, sebenarnya kita dapat menyimpulkan secara global filosofi ajaran Catur Warna yang seharusnya diterapkan sebagai hakikat manusia Hindu. Sebagai manusia Hindu, hendaknya kita selalu menjunjung ajaran-ajaran Dharma, caranya cukup sederhana yaitu kita mempelajari dan meng-implementasikan ajaran-ajaran agama Hindu, menjalankan sembahyang, dan lain sebagainya. Selain itu kita harus membangkitkan jiwa kepemimpinan kita, terutama dalam memimpin diri sendiri (Lead Yourself). Kemampuan dalam memimpin diri sendiri itu sangat besar pengaruhnya terhadap jalan kehidupan kita. Yang paling sederhana adalah minimal kita mampu memimpin diri kita agar kita jauh dari sifat-sifat buruk/sifat yang harus dijauhi. Selain itu kita juga harus mampu mengatur kebutuhan jasmaniah kita seperti kita harus mampu mengelola keuangan sesuai dengan yang kita butuhkan, bijaksana dalam menggunakan uang agar terwujudnya hidup yang sejahtera. Dan yang terakhir, kita tidak boleh bersikap egois atau mementingkan diri sendiri, karena kita juga harus turut membantu orang lain yang membutuhkan kita serta mampu melayani orang lain.

Demikianlah kiranya, agar tidak mengkotak-kotakkan ajaran Catur Warna, hendaknya filosofi bahwa Catur Warna adalah Warna di dalam setiap diri manusia harus terus ditanamkan agar terwujudnya keseimbangan hidup secara jasmani dan rohani. Apabila salah satu Warna tidak dijalankan, maka tentunya terjadi ketidakseimbangan hidup dan menurut saya hal itu harus dihindari. Menjadi manusia Hindu yang religius, mampu menetapkan arah kehidupan yang baik, mampu secara bijaksana mengatur kebutuhan duniawi serta mampu melayani dan membantu orang banyak merupakan bentukbentuk lain dari hakikat manusia Hindu sesungguhnya.

You might also like