You are on page 1of 24

NO.24 / TH.

X / Edisi 15 - 21 OKTOBER 2012

Rp 5.000,- ( Luar Aceh Rp 5.500,-)

cmyk
facebook.com/modusacehdotcom

twitter.com/modusacehdotcom

EDISI 15 - 21 OKTOBER 2012

Redaksi

Tabloid Berita Mingguan

MODUS ACEH
Bijak Tanpa Memihak

Penanggungjawab/ Pimpinan Redaksi: Muhammad Saleh Direktur Usaha: Agusniar Sekretaris Redaksi: Rizki Adhar Kordinator Liputan Juli Saidi Pemasaran/Sirkulasi Firdaus Hasrul Rizal M. Fauzan Desain Grafis Rasnady Nasri Sekretariat/ADM: Dewi Fitriana PJ Kepala Bagian Keuangan Agusniar Iklan Boy Hakki Wartawan Banda Aceh: Muhammad Saleh Fitri Juliana Juli Saidi Rizki Adhar Masrizal Bireuen: Suryadi, Ikhwati Hamdani Koresponden Sabang Aceh Utara Lhokseumawe Takengon Aceh Selatan Aceh Besar Aceh Tenggara Gayo Lues Kuala Simpang Pidie Langsa Bener Meriah Simeulue Alamat: Redaksi Jl. T. Panglima Nyak Makam No 4 (Samping Gedung BPK RI Aceh) Banda Aceh. Telp (0651) 635322 Fax. (0651) 635316,Email: modus_aceh@yahoo.com Web: www.modusaceh.com.

SALAM REDAKSI

Rasnady Nasri

MODUS ACEH/Dok

Masrizal

MODUS ACEH/Dok

(Redaksi menerima sumbangan tulisan yang sesuai dengan misi tabloid ini. Tulisan diketik dua spasi, maksimal lima halaman kuarto. Redaksi berhak merubah isi tulisan tanpa menghilangkan makna, arti dan substansi dari tulisan tersebut. Setiap tulisan yang dikirim, harus disertai photo diri ) Dalam menjalankan tugas jurnalistik, wartawan MODUS ACEH dibekali dengan Kartu Pers. Tidak dibenarkan menerima atau meminta apapun dalam bentuk apapun dan dari siapapun.

Pembaca Setia. DA yang datang dan pergi, merupakan kondisi normal dan wajar terjadi di perusahaan apapun, termasuk media. Sebab, proses pergantian dan rekrutmen, merupakan kebijakan rutin. Tentu, alasannya macam-macam. Sejurus dengan itu, ada pula yang terpaksa hengkangkarena tidak lolos seleksi atau rekrutmen. Bagi kami di MODUS ACEH, seleksi alamiah itu sudah terbiasa dan terus terjadi. Beberapa waktu lalu misalnya, dari beberapa calon wartawan yang kami terima dan mengikuti proses magang pertengahan 2012 lalu, hanya dua orang yang bertahan. Mereka adalah, Masrizal (wartawan) dan Rasnady Nasri atau akrab disapa Ernas (Kartunis). Sementara, Ade Irwansah kami nyatakan gugur. Keduanya lolos tahap magang proses rekrutmen wartawan MODUS ACEH dan menjadi wartawan tetap. Sedang-

kan beberapa rekan yang seangkatan dengan mereka gugur alias tak lolos seleksi. Bagi kami di MODUS ACEH, proses rekrutmen untuk menjadi jurnalis memang lumayan ekstra ketat. Sebab, menjadi seorang wartawan, tak cukup sebatas keinginan. Sebaliknya, tanpa didukung bakat, kemampuan serta kecerdasan emosional, mustahil profesi ini dapat dijalani setiap orang. Kecuali wartawan pura-pura alias pura-pura jadi wartawan. Bukan maksud kami untuk sombong atau bergagah-gagahan. Sebaliknya pembaca budiman, semua itu sematamata kami lakukan untuk mendidik serta melahirkan para jurnalis yang beretika, paham kode etik serta UU Pokok Pers. Bisa Anda bayangkan jika seseorang yang menyandang gelar jurnalis, tapi buta atau sama sekali tidak paham kode etik dan etika pers. Kalau tidak digebuk tentu terjerat hukum. Kedua hal

inilah yang selalu menjadi warning bagi seluruh awak jurnalis media ini. Baik di redaksi, Banda Aceh maupun daerah. Ibarat pepatah, pengalaman adalah guru terbaik.Tak jarang pula,sesekali kami terjebak pada sosok instan dalam proses rekrutmen. Misal, salah menilai tentang kemampuan si calon. Dari luar, terkesan sangat mahir dan senior. Begitu menjalani proses magang, beberapa reporter senior di redaksi, terpaksa pusing tujuh keliling, saat mengedit laporan atau berita yang masuk. Nah, untuk menghalau semua kejenuhan itu, selain harus melalui tes wawancara, seorang calon jurnalis MODUS ACEH, wajib mengikuti pendidikan singkat di redaksi. Semua itu pembaca setia, semata-mata untuk melahirkan liputan, laporan serta berita yang terbaik bagi Anda semua. Sebab, Anda adalah Raja. Kepada Masrizal dan Ernas, kami ucapkan selamat. Jangan pernah berhenti untuk belajar!***

Bireuen

EDISI 15 - 21 OKTOBER 2012

MODUS ACEH/Suryadi

Ir. Akbar Tanjung bersama H. Saifannur, saat meninjau proyek pelebaran Jalan Cot Panglima beberapa waktu lalu.

Proyek perluasan Jalan Cot Panglima di lintasan Bireuen-Takengon, terkendala untuk dibayar. Terjadi perbedaan hitungan volume pekerjaan antara kontraktor pelaksana dengan Dinas BMCK Aceh. Benarkah ada oknum pejabat Dinas BMCK dan politisi di DPRA yang bermain?
Reporter Suryadi RHAM (33), mengaku sudah nyaman bekerja sebagai tenaga honorer di jajaran Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bener Meriah. Sebab, dia tidak perlu terburu-buru lagi mengejar waktu untuk pulang ke tempat istrinya di Bireuen. Terutama pada Jumat, sebagai hari terakhir dinas kerja dalam sepekan. Sebelumnya, Irham mengaku takut kemalaman di perjalanan, terutama bila tiba di kawasan Cot Panglima, Kecamatan Juli, Kabupaten Bireuen. Persisnya di kilometer (KM) 2629 Jalan Bireuen-Takengon. Maklum, di kawasan itu sering terjadi longsor. Terutama bila sedang musim penghujan. Sekarang kalau melewati kawasan tersebut, saya tidak waswas lagi. Jalannya sudah lebar dan terbebas dari ancaman longsor, ungkap Irham kepada MODUS ACEH, begitu tiba di Bireuen, Jumat malam pekan lalu. Memang, sejak Mei lalu, arus lalu-lintas di kawasan Cot Panglima, sudah lancar. Hal ini seiring dengan selesainya pengerjaan perluasan jalan tersebut. Penerapan sistem buka-tutup jalan selama masa pengerjaan proyek, juga tidak diberlakukan lagi. Dengan demikian, masyarakat tidak lagi mengalami hambatan di perjalanan. Nah, memang ada kekhawatiran, pengerjaan proyek perluasan jalan tersebut tidak akan sukses pelaksanaannya seperti yang diharapkan. Itu dikarenakan, lokasi pekerjaan cukup lumayan berat. Sangat berisiko bagi keselamatan pekerja dan peralatan. Bayangkan, mereka harus mengeruk perbukitan yang lebar dan ketinggiannya mencapai sekitar tiga puluh meter. Hanya untuk mendapatkan areal beberapa meter di sisi badan jalan yang telah ada. Sementara di sisi sebelahnya lagi, terdapat jurang yang curam. Proyek pelebaran ruas badan jalan Cot Panglima dari 6 menjadi 15 meter itu, mulai dikerjakan sejak Februari 2011 lalu. Ini berdasarkan Surat Perintah Kerja (SPK) Bencana Alam yang dikeluarkan Kepala Dinas Bina Marga dan Cipta Karya (BMCK) Aceh sewaktu dijabat Ir. Muhyan Yunan kepada PT. Mutiara Aceh Lestari (MAL), kontraktor lokal (Bireuen) yang dinilai memenuhi persyaratan untuk menangani bidang pekerjaan bersangkutan. Pembayarannya dilakukan berdasarkan realisasi fisik yang telah dikerjakan di lapangan. Berdasarkan SPK itulah, PT MAL mengerjakan proyek tersebut. Mereka mengerahkan sejumlah tenaga handal. Dengan mengoperasikan sejumlah alat berat setiap hari.Termasuk peralatan hydraulic breaker untuk memahat batu gunung, karena ada bagian-bagian tertentu dari perbukitan tersebut yang berbatu dan berkarang. Direktur PT MAL, H. Saifannur, mengaku, pihaknya bekerja habis-habisan dengan segenap kemampuan yang ada untuk memangkas perbukitan itu menjadi badan jalan. Kata dia, ini merupakan sebuah pertaruhan dan untuk menunjukkan eksistensinya dalam mengerjakan proyek raksasa itu. Sebab, proyek pengerukan bukit untuk dijadikan jalan tersebut, baru kali ini mereka kerjakan. Pekerjaan ini benar-benar berat. Tapi, kami tidak akan menyerah dan Insya Allah dapat kami selesaikan dengan baik, ungkap H. Saifannur kepada MODUS ACEH yang turun ke lokasi beberapa waktu lalu, ketika pengerjaan proyek tersebut sudah mencapai sekitar tujuh puluh persen. Diakui Saifannur, pihaknya nekat dan memberanikan diri berspekulasi mengerjakan proyek bencana alam ini, karena pertimbangan kemanusiaan. Mengingat, kawasan itu kerap terjadi longsor dan mengganggu arus lalu-lintas. Bahkan, tak jarang memakan korban bagi pengguna jalan yang terjebak lubang longsor. Terutama di musim penghujan.Meski,hingga saat ini dananya belum turun dan nilai proyeknya juga belum jelas. Yang penting sekarang, kami berbuat dulu. Persoalan nilai proyek, nanti bisa dihitung setelah pekerjaan selesai, sesuai kontrak kerjanya, ujar Saifannur. Dia menjelaskan, untuk melebarkan badan jalan yang sempit sepanjang tiga kilometer tadi, pihaknya mengoperasikan tiga puluh unit alat berat setiap hari. Untuk kebutuhan bahan

H. Saifannur
bakar minyak (BBM), dana yang harus dikeluarkannya mencapai Rp 45 hingga Rp 60 juta per hari.Belum lagi untuk gaji dan biaya makan minum operator alat berat dan buruh serta keperluan lainnya. Sedangkan dana yang dibayar Pemerintah Aceh, baru sekitar Rp 25 miliar, keluh Saifannur. Wakil Ketua II DPRA, Sulaiman Abda, yang meninjau lokasi proyek saat itu kepada wartawan menjelaskan. Dilihat dari realisasi pekerjannya, kata dia, wajar jika kontraktor mengklaim realisasi pekerjaan telah mencapai 70 persen. Namun

EDISI 15 - 21 OKTOBER 2012

Bireuen

demikian, untuk memastikannya, pihak Dinas BMCK Aceh sudah seharusnya melakukan pengecekan dan pengukuran. Tujuannya,untuk merealisasikan pembayaran, sesuai volume pekerjaan. Karena menurut laporan kepada kami, pekerjaan pelebaran Jalan Cot Panglima ini masuk dalam kategori proyek tanggap darurat atau bencana alam tanah longsor yang berlanjut, ujar Sulaiman Abda kepada wartawan, 30 April lalu. Ruas jalan pesisir barat Aceh yang lebar dan berkualitas bagus, mengilhami Sulaiman Abda untuk mengupayakan pengalokasian dana setiap tahunnya bagi pembangunan jalan tersebut. Baik dana yang bersumber dari APBA, APBN, maupun pinjaman luar negeri. Tujuan, agar lintas tengah Aceh ini bisa seperti jalan yang dibangun United States Agency for International Development (USAID) tersebut. Lebar badan jalan lintas tengah itu kalau bisa dibangun seperti ruas jalan pantai barat yang dibiayai USAID, kata Wakil Ketua II Koordinasi Bidang Infrastruktur DPRA tersebut. Menurut Sulaiman, dirinya dan anggota DPRA lainnya setuju dengan program pelebaran badan jalan Cot Panglima yang mencapai 15 meter. Sehingga arus transportasi dari BireuenBener Meriah-Takengon semakin lancar, termasuk untuk alat transportasi modern. Dikatakan Sulaiman, sebelum perluasan ruas jalan Cot Panglima ini, truk tronton dan interkuler jarang yang mau melintas, karena sangat berisiko terjebak longsor.Kini, setelah dilebarkan, truk angkutan barang jenis tronton dan interkuler semakin lancar. Termasuk yang membawa bahan bangunan dan material proyek PLTA Peusangan, kata pria yang akrab disapa Bang Leman ini. Setelah setahun lebih masa pengerjaannya, proyek itu selesai pada Mei 2012 lalu. Kini, pengendara roda dua dan empat berbagai ukuran, sudah lebih leluasa memacu kendaraannya, tanpa ada rasa takut dengan ancaman longsor. Saifannur pun merasa lega, setelah proyek itu berhasil dikerjakan perusahaannya. Sebab, sebelumnya banyak pihak pesimis, pengerukan gunung tersebut mustahil berhasil diselesaikannya.Setahun lebih pekerjaan itu dirampungkan, amat berat dan butuh pengorbanan. Terkadang, saya harus begadang untuk memastikan lalu lintas tetap lancar. Terutama, saat hujan turun dan jalan berlumpur, ungkap Saifannur. Saifannur menyatakan, sangat berterimakasih kepada masyarakat Aceh.Terutama untuk masyarakat Bireuen, Bener Meriah dan Aceh Tengah yang demikian sabar selama 14 bulan, perjalananan mereka terganggu pekerjaan pengerukan gunung tersebut. Dari dulu sudah saya kata-

Proyek Pelebaran Jalan Kawasan Cot Panglima. kan, ini manfaatnya jangka panjang. Kini terbukti, arus lalu lintas telah lancar dan bisa memacu peningkatan ekonomi masyarakat. Sebab, pelintas tidak khawatir lagi dengan ancaman longsor, ujar Saifannur, bangga. Lantas, bagaimana dengan pembayaran proyek tersebut? Inilah yang jadi soal. Masalahnya, DPRA tidak menyetujui pembayarannya begitu saja, sesuai volume pekerjaan berdasarkan perhitungan pihak kontraktor dan juga Dinas BMCK Aceh. Untuk itu, Ketua Komisi D DPRA, Adli Tjalok, sudah pernah turun ke lokasi, 4 Agustus lalu. Kata dia, proyek yang telah selesai dikerjakan tersebut merupakan utang dan harus dibayar. Pembayaran segera dilakukan, sesuai prosedur hukum, ujar Adli Tjalok yang datang ke lokasi ketika itu bersama anggota tim dari DPRA lainnya, Muslem Usman, Amiruddin, M.Kes, T. Syarifudin, Fakhruddin, Ali Murtala dan Ibnu Rusdi. Menurut Adli Tjalok, proses evaluasi pekerjaan telah dilaksanakan, makanya DPRA meminta tim independen untuk turun ke lokasi. Tujuannya, untuk menghindari munculnya persoalan di kemudian hari. Tidak hanya sampai di situ. Menyangkut masalah ini, juga telah diadakan rapat dengar pendapat di ruang Komisi D DPRA, Senin pekan lalu. Rapat yang dipimpin Sulaiman Abda itu menyimpulkan, akan segera menurunkan tim dari audit BPKP Aceh. Alasannya, karena terjadi perbedaan hitungan volume pekerjaan. Menurut pihak rekanan, volumenya dua juta kubik lebih. Sementara versi Dinas BMCK Aceh, volumenya satu juta kubik lebih. Sedangkan hasil audit Komisi D DPRA, volume pekerjaan hanya 1,3 juta kubik. Yang mengundang tanda tanya adalah, kenapa banyak sekali selisih perhitungan volume pekerjaan masing-masing versi? Apakah metode perhitungan yang mereka gunakan berbeda-beda? Atau ada di antara mereka yang melebihkan atau mengurangi perhitungan volume pekerjaan, untuk kepentingan masing-masing? Itulah yang belum terjawab hingga kini. Direktur PT MAL, H. Saifannur, yang dikonfirmasi MODUS ACEH menyangkut perbedaan tersebut, enggan menanggapi. Alasannya, dia tidak ingin berpolemik dan berbalas pantun dengan DPRA. Dia mempersilahkan bagaimana maunya DPRA menyelesaikan persoalan

MODUS ACEH/Suryadi

ini.Tidak ada tanggapan dari saya. Bagaimana DPRA bilang, ya tulis saja begitu. Saya menerima dan menurut saja bagaimana maunya mereka, ujar Saifannur singkat, via telpon selularnya, Kamis siang pekan lalu. Bagaimanakah kisah kisruh seputar biaya pelebaran jalan tersebut? Apakah ada unsur politis sebagai dampak dari pergantian pucuk pimpinan Pemerintah Aceh? Atau ada janji fulus yang belum mengalir kepada oknum anggota DPR Aceh serta pejabat Dinas BMCK Aceh? Kecuali itu, mungkinkah ada pengajuan klaim volume pekerjaan yang memang sengaja dilebihkan oleh kontraktor pelaksana untuk kemudian berbagi rezeki untuk oknum wakil rakyat dan pejabat tadi? Entahlah. Tapi pasti selisih di Jalan Cot Panglima, hingga kini belum ada titik temu. ***

Kabar Dunia

EDISI 15 - 21 OKTOBER 2012

UMAT BUDHA SERUKAN PERDAMAIAN


yang menghina Nabi Muhammad. Kami menyaksikan banyak kematian selama protes di Pakistan terkait film anti-Islam itu, tapi di Bangladesh relatif damai, ujarnya. Para pemimpin politik, baik dari Liga Awami yang berkuasa maupun opisisi Partai Nasionalis Bangladesh (BNP), saling tuding menyalahkan yang justru memperdalam kecemasan umat Budha, yang berjumlah kurang dari satu persen dari total penduduk Bangladeh yang mayoritas Islam. Menteri Dalam Negeri Bangladesh Mohiuddin Khan Alamgir yang mengunjungi segera lokasi kekerasan sesudah kerusuhan, menyalahkan BNP atas serangan ini. Menteri berkata kekerasan itu telah direncanakan, menyebut bukti serbuk mesiu dan bensin di biara-biara dan rumah-rumah yang dibakar. Perdana Menteri dan Menteri Dalam Negeri juga menunjuk Muslim Rohingya, para pengungsi yang melintas ke Coxs Baza dua dekade lalu akibat penganiayaan dan kekerasan sektarian di negara tetangga, Myanmar (dulu Burma), mungkin bertanggung-jawab menghasut serangan. Sementera itu, Khaleda Zia, pemimpin BNP dan mantan Perdana Menteri Bangladesh, berkata pada Sabtu lalu bahwa justru pemerintah yang berada di balik serangan itu. Pekan ini Mahkamah Agung Bangladesh memerintahkan pemerintah untuk menjamin keamanan penuh bagi umat Budha dan kelompok minoritas lainnya. Para biksu, terutama di Myanmar, Thailand, dan Sri Lanka menggelar demonstrasi di depan Kantor Kedutaan Bangladesh di negara masing-masing, melampiaskan amarah dan menuntut penyelidikan yang jujur atas serangan itu. Kelompok Hak Asasi Manusia (HAM) dan organisasi non Pemerintah Internasional, termasuk Amnesty Internasional, juga mendesak pemerintah segera mengadili para pelaku. Banyak umat Budha merasa bahwa apapun hasil penyelidikannya, kenangan mengerikan dari salah satu serangan terburuk terhadap agama Budha akan tetap membekas.*** Naskah ini dipublikasikan atas kerjasama Yayasan Pantau dan IPS Asia-Pasifik dengan Tabloid Berita Mingguan MODUS ACEH.

AP

Seorang biksu Buddha Bangladesh memeriksa sisa-sisa buku agama yang terbakar habis bersama kuil Buddha dalam serangan hari Sabtu dan Minggu di Ramu, wilayah Cox's Bazar, Bangladesh.

Pemerintah berulangkali meyakinkan bahwa negara memberi dukungan dan perlindungan. Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Mizanur Rahman meminta maaf atas kekejaman itu. Namun tampaknya tak ada yang bisa meredakan ketakutan akan terjadinya kekerasan lagi.
Reporter Farid Ahmed

ECEMASAN masih bertahan sepekan setelah sekelompok Muslim menghancurkan lebih dari selusin kuil dan sejumlah rumah di Tenggara Bangladesh. Ribuan umat Budha meyakini kekerasan masih akan menghampiri. Pemerintah berulangkali meyakinkan bahwa negara memberi dukungan dan perlindungan. Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Mizanur Rahman meminta maaf atas kekejaman itu. Namun tampaknya tak ada yang bisa meredakan ketakutan akan terjadinya kekerasan lagi. Kami terkejut dengan kekerasan yang tak terduga ini. Kami mengajak semua orang untuk menjaga perdamaian sebagaimana Budha mengajarkan kedamaian dan nonkekerasan, ujar Dr. Pranab Kumar Baruya, mantan profesor tamu Universitas Dhaka, kepada IPS dalam sebuah wawancara di Biara Dharma Rajika di Dhaka. Kami mendambakan

kerukunan. Jumlah kami hanya sejuta (di Bangladesh) dan kami butuh dukungan pemerintah dan mayoritas warga di negara di mana kami lahir dan agama Budha ada lebih dari seribu tahun, katanya. Di tengah tekanan terhadap pemerintah agar membawa kasus kekerasan ini ke pengadilan, para pengusaha sohor negara ini mengungkapkan kecemasan bahwa terulangnya insiden semacam ini bisa berdampak negatif terhadap citra negara, investasi, dan perdagangan internasional. Federasi Kamar Dagang dan Industri Bangladesh meminta pemerintah pada Kamis lalu agar ambil langkah-langkah cepat untuk memastikan insiden tak terduga seperti ini tak terjadi (lagi). Perasaan takut masih berkecamuk di antara umat Budha dan ini tanggungjawab pemerintah untuk menghilangkannya dengan menyediakan keamanan secara tepat dan menyeret pelaku ke pengadilan, kata Ranjit Kumar Barua, pensiunan sekretaris bersama Pemerin-

tah Bangladesh. Kerusuhan bermula pada 29 September saat sekelompok besar Muslim menyerang kuil-kuil Budha dan menghancurkan rumah-rumah di Tenggara Bangladesh, kawasan dengan jumlah umat Budha tertinggi di negara ini. Massa meneriaki slogan anti-Budha dan kerusuhan pun pecah sepanjang malam di kota Ramu, di daerah wisata Coxs Bazar. Kekerasan menjalar ke daerah sekitarnya dan berlanjut esok harinya. Pemerintah lokal meminta bantuan tentara, pasukan para militer dari Penjaga Perbatasan Bangladesh, dan polisi untuk menegakkan hukum dan ketertiban. Menurut Pranab Baruya, peninggalan kuno Budha dan manuskrip langka berbahan daun palem berisi cerita rakyat dan keagamaan (dalam bahasa lokal disebut Puthis) dibakar. Beberapa ratus patung Budha dirusak dan dijarah. Nyaris semua kuil dan biara, penuh hiasan rumit dengan teknik cukil kayu, dibakar dan rusak. Bebera-

pa berumur ratusan tahun; beberapa di antaranya dibangun pada akhir abad ke17 dan awal abad ke-18, katanya. Pragyananda Bhikkhu, Direktur Kota Ramu Central Sima Bihar di Coxs Bazar, berkata,Kehancurannya tak dapat diperbaiki dan tak ada seorang pun di dunia ini yang dapat mengganti kerugian ini. Luka mungkin bisa sembuh tapi ia akan terus menyayat hati kami. Kuil-kuil itu milik umat Budha, tapi juga harta peninggalan tak ternilai negara kami (semuanya), mereka adalah bagian dari warisan budaya kami, kata Nehal Ahmed, profesor di sebuah kampus di Dhaka. Polisi dan saksi mata berkata kepada IPS bahwa sebuah foto Alquran yang dibakar setengahnya, diduga diunggah di Facebook oleh pemuda Budha, sebagai pemicu kerusuhan. Sebuah laporan awal menyebut pemuda itu menerima foto yang ditautkan kelamannya tapi dia sendiri tak mempostingnya. Pemilik akun Facebook itu lantas menghapusnya. Ini tak bisa diterima di negara Asia Selatan yang relatif damai, kata Ahmed, merujuk kekerasan mematikan yang belakangan ini menyapu beberapa negara sebagai respon atas film Amerika berbiaya rendah Innocence of Muslim

EDISI 15 - 21 OKTOBER 2012

Utama

HUMAS DPR ACEH

RDPU Pansus Raqan Lembaga Wali Nanggroe dengan unsur perempuan.

Partai Aceh (PA) menggagas lahirnya Majelis Ulama Nanggroe Aceh (MUNA) sebagai pengganti Majelis Ulama Aceh (MPU). Penguatannya dilakukan melalui Qanun Lembaga Wali Nanggroe. Upaya menarik pengaruh politik?
Reporter Muhammad Saleh dan Juli Saidi

EKETIKA DR. Nurjannah Ismail mengangkat tangan setinggi kepala. Raut wajah ulama perempuan ini tampak serius. Saya bertanya bukan berarti takut tidak memiliki wewenang karena saya juga anggota MPU, tetapi ini perlu penegasan agar tidak saling bertabrakan dalam menjalankan fungsinya. Pertanyaan, sekaligus penegasan itu disampaikan DR. Nurjannah Ismail, saat Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Rancangan Qanun (Raqan) Wali Nanggroe di Ruang Serba Guna, Gedung DPR Aceh, Kamis pekan lalu. Akademisi IAIN Ar-Raniry Banda Aceh ini, merupakan salah seorang peserta. DR. Nurjannah tak sendiri, hari itu ada puluhan kaum perempuan yang sengaja diundang Panitia Khusus (Pansus) I Rancangan Qanun (Raqan) Lembaga Wali Nanggroe (WN), DPR Aceh, untuk didengar saran dan

pendapatnya. Pansus ini dipimpin Tgk Ramli Sulaiman, politisi dari Partai Aceh (PA). Nah, kesempatan tersebut rupanya tak dilewatkan begitu saja oleh Nurjannah. Dia mempertanyakan kedudukan Majelis Ulama Nanggroe Aceh (MUNA) yang dicantumkan dalam Raqan WN. Memang, dalam draf Raqan WN, pada Bab III Kelembagaan. Bagian Kesatu Susunan Kelembagaan. Pada Pasal 4, ayat 3 menjelaskan tentang Majelis Fungsional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, terdiri dari: Majelis Ulama Nanggroe Aceh (MUNA). Pada butir b, mengenai Majelis Adat Aceh (MAA) hingga butir k, tentang Majelis Perempuan. Itu sebabnya, DR. Nurjannah Ismail menyarankan jika MUNA dimasukan dalam bagian majelis di Lembaga Wali Nanggroe, perlu diatur peran, fungsi dan tugasnya. Ini semua agar tidak terjadi dualisme dan saling bertabrakan. Saya pikir harus ada pembagian tu-

gas yang jelas, saran Nurjannah kepada tim Pansus Raqan Lembaga Wali Nanggroe. Mantan Rektor IAIN Ar-Raniry Prof. Dr. Yusny Saby MA menilai, sebelum Raqan Lembaga Wali Nanggroe disahkan. DPR Aceh dapat mempertimbangkan berbagai alasan dan kemungkinan yang akan terjadi. Misalnya, dualisme kepemimpinan ulama di Aceh. Sebelumnya harus dipikirkan kembali, nanti akan berkembang dualisme, kata Prof. Yusny Saby, di rumahnya, Jalan Tengku Dibitai, Lampineung, Banda Aceh, Jumat sore pekan lalu. Diakui Prof Yusny Saby, organisasi MUNA lahir dibidani Partai Aceh (PA). Padahal, sudah ada MPU. Karena itu, saran dia, PA harusnya cukup memperkuat peran, fungsi serta tugas MPU saja, bukan justeru melahirkan organisasi baru seperti MUNA. Apalagi, keberadaanya masuk dalam Lembaga Wali Nanggroe. Bisa jadi, ini terkait juga dengan politik anggaran dari APBA. Jika masuk ke Qanun WN, itu berarti alokasi anggarannya akan pasti dan jelas, sebut Prof.Yusny Saby. Pertimbangan lain dosen paska sarjana IAIN Ar-Raniry ini adalah, ulama sebaiknya bersatu dalam memberi nasehat kepada pemimpin dan pembimbing umat. Karena itu,Yusny Saby berpendapat, jika politik menguasai ulama, maka akan terjadi masalah pada Pemerintah Aceh dikemudian hari. Apalagi, saat masa

transisi.Saya kira ini akan menjadi masalah, apalagi dalam transisi seperti saat ini, ujar Yusny Saby kepada MODUS ACEH. KataYusny, ulama harus ditempatkan sebagai organisasi berwibawa. Karena ulama, merupakan ibu masyarakat. Jadi, jangan pernah membanding-bandingkan seorang ibu ummat. Bila itu yang terjadi, Saya memprediksikan akan banyak masalah yang muncul dan dihadapi Pemerintah Aceh. Organisasi ulama, dan masyarakat sendiri, tegas Yusni. Untuk itu, dia menyarankan. Menurut saya organisasi ulama yang resmi cukup satu, MPU itu sudah memadai, saran dia. Tak hanya itu,Yusny Saby khawatir kehadiran MUNA dan MPU bisa berdampak pada kinerja dan pola kerja yang tidak profesional serta menjurus pada aktivitas politik. Bila itu terjadi, maka tidak sehat. Yusny Saby mencontohkan, ketika ulama bersaing satu sama lain, maka akan berkurang simpati masyarakat. Lalu, muncul fitnah dan gosip. Semua itu dengan mudah dapat berkembang di tengah ummat. Akibatnya, fatwa ulama akan mewakili berbagai kepentingan politik, bukan umat.Ini sangat disayangkan, ucap Prof Yusny. Setali tiga uang, sumber MODUS ACEH di DPR Aceh, Sabtu pekan lalu,

Utama
mengungkapkan. Nama MUNA di Raqan Lembaga Wali Nanggroe, merupakan perjuangan dari politisi Partai Aceh (PA). Menurut sumber ini, MUNA akan menjadi sayap organisasi PA dalam kiprahnya sebagai partai politik lokal peraih suara mayoritas. Strategi tersebut diatur oknum kader Partai Aceh di DPR Aceh. Tujuannya, mengambil alih peran MPU yang dinilai sebagai perpanjangan tangan dari MUI.MUNA itu disetting PA untuk menguasai ulama di Aceh, sebut sumber tadi. Namun, dia minta namanya tidak ditulis. Benarkah? Sekretaris Pansus I DPR Aceh, H. Abdullah Saleh membantah semua dugaan itu. Menurut kader Partai Aceh ini, itu persepsi yang salah dan keliru. Apalagi, jika ada pihak yang menyebut MUNA di lembaga Wali Nanggroe adalah sayap politik PA. Salah persepsi,bantah Abdullah Saleh, di ruang Komisi A DPR Aceh, Jumat pagi pekan lalu. Abdullah Saleh menjelaskan, MUNA yang ada di PA merupakan barisan ulama penyokong perjuangan GAM tempo dulu. Dan, setelah MoU Helsinki, 15 Agustus 2005, berubah menjadi Majelis Ulama Nanggroe Aceh (MUNA). Sedangkan MUNA di Lembaga Wali Nanggroe, sebagai pemikir atau think thank Wali Nanggroe.MUNA di Lem-

EDISI 15 - 21 OKTOBER 2012

RDPU Pansus Raqan Lembaga Wali Nanggroe dengan unsur perempuan. bagaWali Nanggroe merupakan pemikir/penasehat Wali Nanggroe. Jadi tidak mungkin menampung MUNA PA, jelas Abdullah Saleh, mantan anggota DPR Aceh Periode 2004-2009 dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP) ini. Kata Abdullah Saleh, MUNA di Lembaga Wali Nanggroe berperan untuk merumuskan pandangan atau pendapat terkait masalah agama. Berbagai pandangan-pemikiran dan pendapat disampaikan kepada Wali Nanggroe, sehingga Wali Nanggroe dalam menyampaikan pandangan-pemikiran terkait persoalan agama, sudah mendapatkan masukkan dari MUNA. Jadi MUNA ini merupakan wadah ulama-lah di Aceh, lanjutnya. Nah, dalam draf Raqan Lembaga Wali Nanggroe yang sedang menjalani finalisasi di Pansus I DPR Aceh tertulis, ada majelis fatwa. Salah satu tugas majelis ini adalah, menetapkan fatwa hukum syari terhadap sesuatu permasalahan yang

HUMAS DPR ACEH

berkembang dalam masyarakat. Dan majelis tinggi seperti tuha peuet diambil dari kriteria satu orang ahli tauhid, ahli fiqih, ahli tasawuf maupun ahli mantik. Seperti apakah kelanjutan dari kisah MPU versus MUNA? Kita tunggu saja cerita selanjutnya.Yang pasti mulai muncul adu peran ulama di Aceh.***

Prof. Dr Yusny Saby MA, Guru Besar IAIN Ar-Raniry Banda Aceh

Politik Sudah Merambah Organisasi Ulama


MODUS ACEH/Dok

Mantan Rektor Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ar- Raniry Banda Aceh, Prof. Dr. Yusny Saby MA menyarankan. Organisasi Majelis Ulama Nanggroe Aceh (MUNA) yang ada di Partai Aceh (PA) sudah cukup, tak perlu dibentuk Majelis Ulama Nanggroe Aceh (MUNA) dalam Lembaga Wali Nanggroe. Alasannya, lembaga ulama yang sudah ada seperti Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh tinggal diperkuat saja. Jika ada kelemahan dari berbagai sisi selama ini. Menurut dosen paska sarjana IAIN Ar-Raniry ini, ulama harusnya dapat bersatu dalam memberi nasehat kepada pemimpin dan sebagai pembimbing umat. Karena itu, Yusny Saby berpendapat, jika politik telah menguasai ulama, maka akan terjadi masalah di kemudian hari. Apa saja pendapat Prof. Yusny Saby? Berikut wawancara Juli Saidi dari MODUS ACEH, di rumahnya, Jalan Tengku Dibitai, Lampineung, Banda Aceh, Jumat sore pekan lalu.
Di Aceh sudah ada MPU, namun dalam Lembaga Wali Nanggroe dibentuk lagi Majelis Ulama Nanggroe Aceh (MUNA. Pendapat Anda? Saya berpendapat, ulama seharusnya bersatu. Karena ulama ada dua sisi. Pertama, sebagai penasehat umara. Kedua, sebagai pembimbing umat. Karena itu, hendaknya jangan terpecah dalam organisasi-organisasi yang ada. Apalagi berkonotasi kekuasaan atau politik. Menurut Anda tepatkah dibentuk MUNA dalam Lembaga Wali Nanggroe? Begini, itu sah-sah saja. Misalnya, ada MPD, MAA dan MPU. Ini masih normal. Seharusnya ini saja yang dibina, dikembangkan dan diberi wewenang dan diberi wibawa. Sehingga, kerja mereka bisa lebih profesional. Saya kira itu yang lebih penting daripada mengadakan yang lain.

EDISI 15 - 21 OKTOBER 2012

Utama
melakukan kegiatan politik. Ini saya kira tidak sehat. Seharusnya dikuatkan saja lembaga yang sudah ada jangan di ganggu gugat lagi. Memasukkan ulama dalam MUNA, menurut Anda arahnya akan kemana? Bisa jadi, karena politik tidak pandang bulu. Maka, mendapatkan pengaruh lebih besar itu ada pada ulama. Jika pengaruh ulama sudah dimiliki, maka kekuasaan juga akan didapat lebih besar. Bila kekuasaan sudah didapat lebih besar, maka akan bisa menguasai sektor apa saja. Dan, akan muncul segmentasi dalam masyarakat. Ini yang harus diselamatkan, supaya tidak menjadi tuntutan dan perseteruan ketika berdimensi politik. Bisa menjadi tidak sehat. Masyarakat Aceh fanatik kepada ulama, apa efek negatif dari dualisme lembaga ini menurut Anda? Ketika ulama bersaing satu sama lain akan berkurang simpati masyarakat. Selanjutnya, lahirlah fitnah dan gosip. Dan itu sangat mudah berkembang. Akibatnya, berbagai fatwa akan hambar di dengar oleh ummat, apalagi bila mewakili kepentingan politik tertentu, bukan lagi kepentingan umat. Dari amatan Anda dibentuknya MUNA dalam LembagaWali Nanggroe,apakah karena peran MPU kurang optimal? Dari perjalanannya selama ini, baik masih berstatus MUI atau MPU, perannya sudah baik. Saya kira tinggal kepada kepemimpinannya saja. Kalau ada penilaian kurang berperan ya diperankan. Kalau kurang kuat tentu harus dikuatkan. Saya kira, sekretariatan MPD dan MAA sudah terstruktur. Ada esolonnya, jadi dimana titik lemahnya? Apakah lemah di leadership atau administrasi? Ini yang perlu dikaji. Saya kira lebih bijak menyelesaikan masalah tanpa harus melahirkan masalah baru. Maksud Anda, tidak perlu ada majelis ulama lain, seperti MUNA? Saya kira begitu. Tapi, ini mengenai QanunWali Nanggroe sehingga ada perdebatan politik. Dan, saya tidak mau masuk ke situ. Tapi memang bagian dari pesan MoU.Tetapi saya kira kalau dibawah Lembaga Wali Nanggroe, tentu semua itu ada keinginan daripada pembuat qanun. Tapi, di sana jangan ada macam-macam. Jangan pecahkan ulama. Ulama Aceh tetap satu. Kalau dimasukkan sebagai pengontrol Lembaga Wali Nanggroe saya kira tidak masalah, tapi jangan ada peran ganda. Itu saja. Ada pendapat, lahirnya MUNA juga untuk bagi-bagi kekuasaan dari pemerintahan yang ada saat ini? Seperti saya katakan tadi, ini politik! Jika benar, maka politik sudah merambah kepada organisasi ulama yang seharusnya netral, bukan menjadi bagian dari kendaraan politik tertentu. Ulama berhak membuat organisasi, tapi yang jadi masalah pada saya adalah, terjadinya dualisme organisasi dan kepemimpinan dalam satu tataran. Selama ini kita tahu bahwa MUNA memang sudah ada di Partai Aceh, tapi itu bagian daripada partai. MPU bagian dari pemerintah, bahkan di level nasional bernama MUI. Dan kita di Aceh ada MPU, perangkatnya bahkan sudah eselon. Itu saya kira sudah jalan, tinggal mana yang lemah dikuatkan aja, bukan diolah lagi. Apa yang menjadi harapan Anda? Saya berharap kepada legislatif dan eksekutif, masalah pembinaan moral dan aqidah umat diserahkan kepada ulama. Karena itu, mari hormati lembaga ulama yang sudah ada, sehingga konstribusinya bisa maksimal. Bukan sebaliknya, dibelah-belah sehingga lemah. Apalagi bila sampai dijadikan organisasi ulama sebagai kendaraan politik dari kelompok dan partai tertentu. Ini sungguh kita sayangkan. Kemudian? Kalau ini dapat kita maknai, Insya Allah keberadaan ulama akan ada maknanya dan akan ada penghormatan.Tapi, bukan bagian dari kelompok interest yang disusupi dengan misi dan kepentingan tertentu. Jika ini terjadi, umat akan sangat dirugikan. Terakhir? Kedua, para ulama juga harus waspada, introspeksi diri bahwa kita di Aceh merupakan ibunya ummat dan masyarakat. Umara adalah ayahnya masyarakat. Bagaimana sang ibu bersatu dalam satu kesatuan untuk membina masyarakat yang seharusnya harus lebih dekat dengan ibunya yakni ulama. Nah, ketika ulama sudah menjadi tidak berwibawa atau sudah tidak solid, ini akan mengurangi wibawa dari sang ibu masyarakat itu sendiri.***

Efeknya? Kalau itu terjadi, muncul kesan MPU seolah-olah sebagai pendamping DPRA. Menurut saya dengan adanya MPU, MAA, MPD sudah cukup memadai sebagai aparatur pemerintahan daerah. Ndak perlu ditambah lagi. Lalu? Pertanyaan saya, darimana tumbuh lembaga baru ini? Apakah MPU akan dileburkan? MPU saja sudah berbeda dengan MUI (Majelis Ulama Indonesia), maka apakah MPU akan jadi MUNA? Apalagi MUNA ada sebagai underbow Partai Aceh. Saya kira ini akan menjadi masalah ke depan, apalagi di dalam masa transisi saat ini. Apa yang menjadi kekhawatiran Anda? Saya khawatir akan berkembang dualisme kepemimpinan dan panutan ummat. Ketika dia berdiri sebagai organisasi kemasyarakatan tidak apa-apa. Tapi, begitu menjadi aparatur atau perangkat di daerah ini, maka akan muncul masalah. Karena itu sebelum disahkan Qanun Wali Nanggroe, soal posisi ulama harus dipikirkan kembali. Kenapa? Ulama harus berdiri ditengah-tengah ummat dan sangat berwibawa. Ibaratnya, ulama itu ibu masyarakat. Jadi posisi ibu jangan dibanding-bandingkan. Ini akan banyak masalah yang dihadapi pemerintah, organisasi ulama, dan juga masyarakat. Menurut saya, organisasi ulama yang resmi cukup satu, MPU itu sudah memadai, sudah cukup dan telah dilakukan perombakan berkali-kali. Jangan

sampai ulama digiring ke dalam salah satu organisasi politik, apalagi untuk kenderaan politik yang tidak bagus. Organisasi ulama harus kita anggap sakral dalam mendampingi pemimpin dalam pemerintahan. Pengakuan Sekretaris Pansus I, Abdullah Saleh MPU tidak bubar, akankah terjadi dualisme ulama di Aceh? Kalau disejajarkan sebagai aparatur pemerintahan, maka akan terjadi dualisme dan terjadi perebutan kepentingan,merebut simpati, lobi sana-sini. Karena itu, Majelis Ulama Nanggroe Aceh (MUNA) yang sudah ada di Partai Aceh (PA), cukup di situ saja, jangan dimasukkan lagi dalam bagian Lembaga Wali Nanggroe. MPU yang mendampinggi Pemerintahan Aceh dan DPR Aceh. Jadi, seharusnya pembagian tugas dan peran seperti itu. Namun jika MUNA tetap ada di Lembaga Wali Nanggroe, apa yang menjadi soal? Kalau ini terjadi, nanti MPD bisa ada dua. MPD satu dan MPD dua. Ada MAA satu dan dua, begitu juga dengan MPU dan seterusnya. Janganlah lembaga seperti dijadikan untuk kenderaan politik dan memecah belah ulama. Saya kira itu tidak sehat. MPU dan MUNA tetap ada, menurut Anda tidak mubazir? Ya, pasti. Karena itulah saya khawatir, apakah ini keberhasilan lobi PA yang menjadikan MUNA sebagai underbow politiknya nanti? Jika benar, maka PA yang akan menerima benefit (untung) dari anggaran pemerintah. Saya juga khawatir ulama nantinya dalam bekerja tidak profesional lagi. Bahkan akan

Anggota Muna Aceh Timur dan Mualem Saat Acara Maulid.

ATJEH POST

Utama
QANUN WALI NANGGROE DIGAGAS ULAMA TERBELAH?
Mantan Rektor IAIN Ar-Raniry Banda Aceh, Prof. Dr. Yusny Saby MA berharap, penguatan posisi MUNA dalam Lembaga Wali Nanggroe jangan sampai memecah-belah organisasi ulama di Aceh. Terwujudkan?
Reporter Muhammad Saleh dan Masrizal

EDISI 15 - 21 OKTOBER 2012

ERUPA tapi tak sama. Agaknya, begitulah kesan yang muncul terhadap dua organisasi ulama di Aceh, paska penandatanganan MoU Damai antara Pemerintah RI dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Helsinki, 15 Agustus 2005 silam. Satu berlebel: Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU). Satunya lagi bertajuk: Majelis Ulama Nanggroe Aceh (MUNA). MPU berafiliasi dan memiliki hubungan kerja dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Sementara, MUNA merupakan sayap politik Partai Aceh. Nah, sebagai partai penguasa, Partai Aceh (PA) memang terkesan ingin melakukan sesuatu yang beda dari pemerintahan sebelumnya. Tak kecuali dalam menata organisasi ul-

ama di Aceh. Lihat saja, walau sudah ada Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) di Aceh. Partai pemenang mayoritas di parlemen Aceh ini, tetap saja mengagas lahirnya Majelis Ulama Nanggroe Aceh disingkat MUNA. Awalnya, organisasi yang dibentuk tahun 2008 dan dipimpin Prof. Muhibbudin Waly? ini hanya untuk menghimpun para ulama yang mendukung perjuangan GAM. Kemudian berkembang hingga ke kabupaten dan kota. Peran besar awal MUNA adalah menyambut dan melakukan peusijuk (tepung tawarred) terhadap kepulangan Wali Neugara Tgk Hasan Muhammad Ditiro ke Aceh pada Sabtu 17 Oktober 2009 lalu. Lalu bekembang dengan pesat. Posisi MUNA di Aceh dan kabupaten/kota, menjadi penasehat Partai

Aceh (PA) dan Komite Peralihan Aceh (KPA). Termasuk berbagai urusan yang terkait dengan fatwa agama lainnya. Peran nyata mereka yang lain adalah, MUNA menjadi tim sukses pemenangan pasangan dr. Zaini Abdullah-Muzakir Manaf menuju kursi Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh Periode 2012-2017. Kebijakan ini terus mengalir hingga ke kabupaten dan kota di Aceh. Ya, fungsi dan perannya berbeda. MUNA di bawah PA merupakan ulama pendukung perjuangan GAM tempo dulu. Sementara MUNA dalam Lembaga Wali Nanggroe berperan sebagai think thank Wali Nanggroe, jelas Abdullah Saleh, anggota DPR Aceh dari Partai Aceh. Tapi, penjelasan Abdullah Saleh, mantan politisi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Aceh ini tak mudah diamini DR. Nurjannah Ismail dan Prof. Dr. Yusny Saby MA. Kedua akademisi dari IAIN Ar-Raniry Banda Aceh justeru mempertanyakan fungsi dan peran dari kedua organisasi ulama tersebut. Saya bertanya bukan berarti takut tidak memiliki wewenang karena saya juga anggota MPU, tetapi ini perlu penegasan agar tidak saling bertabrakan dalam menjalankan

fungsinya, sebut Nurjannah dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Rancangan Qanun (Raqan) Lembaga Wali Nanggroe di Ruang Serbaguna, Gedung DPR Aceh, Kamis pekan lalu. Menurut Nurjannah, harus ada pembagian tugas dan fungsi yang jelas antara MPU dengan MUNA. Jika tidak, dikhawatirkan akan timbul dualisme kebijakan dan kepemimpinan. Mantan Rektor IAIN Ar-Raniry Prof. Dr. Yusny Saby MA menilai, sebelum Raqan Lembaga Wali Nanggroe disahkan. DPR Aceh dapat mempertimbangkan berbagai alasan dan kemungkinan yang akan terjadi. Misalnya, dualisme kepemimpinan ulama di Aceh. Sebelumnya harus dipikirkan kembali, nanti akan berkembang dualisme, kata Prof. Yusny Saby, di rumahnya, Jalan Tengku Dibitai, Lampineung, Banda Aceh, Jumat sore pekan lalu. Diakui Prof Yusny Saby, organisasi MUNA lahir dibidani Partai Aceh (PA). Padahal, sudah ada MPU. Karena itu, saran dia, PA harusnya cukup memperkuat peran, fungsi serta tugas MPU saja, bukan justeru melahirkan organisasi baru seperti MUNA. Apalagi, keberadaanya masuk dalam Lembaga Wali Nanggroe. Bisa jadi,

10

EDISI 15 - 21 OKTOBER 2012

Utama
ditempatkan sebagai organisasi berwibawa. Karena ulama, merupakan ibu masyarakat. Jadi, jangan pernah membanding-bandingkan seorang ibu ummat, katanya. Bila itu yang terjadi, saya memprediksikan akan banyak masalah yang muncul dan dihadapi Pemerintah Aceh, organisasi ulama, serta masyarakat sendiri, tegas Yusni. Untuk itu, dia menyarankan. Menurut saya organisasi ulama yang resmi cukup satu, MPU itu sudah memadai, saran dia. Nah, akankah pendapat Prof. Dr Yusny Saby, MA mujarab? Atau sebaliknya justeru semakin mempertajam dugaan perpecahaan ulama Aceh di masa mendatang? Semua itu, biarlah waktu yang menjawabnya.***

ini terkait juga dengan politik anggaran dari APBA. Jika masuk ke Qanun Lembaga WN, itu berarti alokasi anggarannya akan pasti dan jelas, sebut Prof. Yusny Saby. Pertimbangan lain dosen paska sarjana IAIN Ar-Raniry ini adalah, ulama sebaiknya bersatu dalam memberi nase-

hat kepada pemimpin dan pembimbing umat. Karena itu, Yusny Saby berpendapat, jika politik menguasai ulama, maka akan terjadi masalah pada Pemerintah Aceh dikemudian hari. Apalagi, saat masa transisi. Saya kira ini akan menjadi masalah, apalagi dalam transisi seperti saat ini, ujar Yusny Saby kepada MODUS ACEH. Kata Yusny Saby, ulama har us

Kilas Balik Sejarah MPU Aceh


misi E (Harta Agama). Kedudukan MUI Provinsi Aceh dipertegas dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Pada Pasal 9 ayat (1) disebutkan: Daerah dapat membentuk sebuah badan yang anggotanya terdiri dari Ulama. Dalam ayat (2) ditegaskan lagi: Badan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersifat independen yang berfungsi memberikan pertimbangan terhadap kebijakan daerah, termasuk bidang pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan serta tatanan ekonomi yang Islami. Amanat Undang-Undang ini ditindaklanjuti dengan lahirnya Peraturan Daerah Nomor: 3 Tahun 2000 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Aceh Nomor: 43 Tahun 2001 tentang Perubahan Pertama atas Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Aceh Nomor: 3 Tahun 2000 tentang Pembentukan Organisasi dan Tatakerja Majelis Permusywaratan Ulama (MPU) Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Kemudian diadakan Musyawarah Ulama se-Aceh tanggal 2-5 Rabiul Akhir 1422 H (24-27 Juni 2001) di Banda Aceh. Tujuannya, untuk memililh/ membentuk kepengurusan MPU. Pada malam 17 Ramadhan 1422 H (3 Desember 2001 M) melalui iqrar sumpah, terbentuklah MPU Provinsi NAD yang independen, bermitra sejajar dengan Pemerintah Aceh dan DPRA untuk masa khidmat 2001-2006. Melalui UndangUndang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh dan Qanun Nomor: 2 Tahun 2009 mengukuhkan dan memperkuat kedudukan MPU Aceh sebagai mitra sejajar Pemerintah Aceh dalam menyelenggarakan pemerintahan dan pembangunan.***

TRIBUNNEWS.COM

Sidang Paripurna Istimewa Pengukuhan Pimpinan MPU Aceh Masa Bakti 2012-2017. atatan sejarah Aceh dari zaman dulu membuktikan bahwa para ulama selalu mendapatkan tempat yang khusus di hati masyarakat. Karena itulah, sebagaimana disebutkan dalam Qanun Al-Asyi, wadah ulama merupakan salah satu lembaga tertinggi negara yang dipimpin Kadhi Malikul Adil, dibantu empat Syaikhul Islam yaitu Mufti Madzhab Syafii, Mufti Madzhab Maliki, Mufti Madzhab Hanafi dan Mufti Madzhab Hambali. Pada masa peperangan melawan Belanda dan Jepang, lembaga-lembaga ini tidak berujud lagi. Akibatnya bermunculanlah mufti-mufti mandiri yang juga mengambil tempat yang amat tinggi dalam masyarakat. Begitupun, di awal kemerdekaan, lembaga seperti ini pernah terwujud di dalam Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA). Setelah PUSA bubar muncul lembaga seperti PERTI, Nahdatul Ulama, Al-Washiyah, Muhammadiyah dan lain-lain. Karena itu, pada tahun 1965, dilakukan musyawarah Alim Ulama se-Aceh yang berlangsung tanggal 17 hingga 18 Desember 1965 di Banda Aceh. Hasilnya, para ulama bersepakat membentuk wadah Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh. Tgk. H. Abdullah Ujong Rimba dinobatkan sebagai ketua umum pertama. MPU terdiri dari pimpinan, badan pekerja, komisi dan panitia khusus. Komisi pada waktu itu, terdiri atas lima komisi yaitu: Komisi Ifta, Komisi Penelitian dan Perencanaan, Komisi Pendidikan, Pengajaran dan kebudayaan, Komisi Dakwah dan Penerbitan serta Komisi Harta Agama. Begitu juga dengan komposisi MPU di kabupaten/kota serta MPU kecamatan. Tahun 1968, sesuai dengan Keputusan Gubernur Aceh Nomor: 038/ 1968, Majelis Permusyawaratan Ulama berubah nama menjadi Majelis Ulama Indonesia Provinsi Daerah Istimewa Aceh, dengan nama komisikomisinya berubah menjadi Komisi A (Hukum/Fatwa); Komisi B (Penelitian dan Perencanaan); C (Pendidikan, Pengajaran dan kebudayaan), Komisi D (Dakwah dan Penerbitan; dan Ko-

Dasar Hukum

UU Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh; UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh; Permendagri Nomor 18 Tahun 2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat Lembaga Keistimewaan Provinsi NAD; Qanun Aceh Nomor 5 Tahun 2007 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Dinas, Lembaga Teknis Daerah dan Lembaga Derah Provinsi NAD; Qanun Aceh Nomor 2 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh; Pergub Nomor 33 Tahun 2008 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat Lembaga Keistimewaan Aceh; Keputusan MPU Aceh Nomor 4 Tahun 2009 tentang Peraturan Tata Tertib MPU Aceh.***

Utama
Abdullah Saleh, Sekretaris Pansus I Raqan Lembaga Wali Nanggroe DPR Aceh

EDISI 15 - 21 OKTOBER 2012

11

MUNA Hanya Think Thank W ali Nanggroe


TUNGGU sebentar ya, saya sedang duduk dengan wartawan, kata Sekretaris Panitia Khusus (Pansus I) Rancangan Qanun Lembaga Wali Nanggroe, Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), H. Abdullah Saleh, SH, kepada salah seorang tamu yang sudah menunggu di ruang Komisi A DPR Aceh, Jalan Tengku Daud Beureueh, Banda Aceh, Jumat pagi pekan lalu. Alumni Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) ini memang ekstra sibuk. Maklum, dia merupakan salah satu pioner dari Partai Aceh (PA) dalam mengagas dan merancang berbagai kebijakan di lembaga wakil rakyat tersebut. Nah, Jumat pekan lalu, wartawan media ini, Juli Saidi menemui Abdullah Saleh untuk wawancara khusus, terkait rancangan Qanun Wali Nanggroe. Dan, MUNA berada dalam wadah WN tersebut. Apa saja penjelasan Abdullah Saleh? berikut penjelasannya.
berdiri sendiri. Apakah setelah MUNA ada, MPU bubar? Tidak, saat ini masih masa transisi. Dalam qanun telah kami rumuskan untuk pertama kali MUNA berfungsi melaksanakan tugas bersama MPU Aceh. Jadi, MPU Aceh sebagai mitra Pemerintah Aceh sekaligus bisa menjadi perangkat Wali Nanggroe. Kemudian MPU juga menjadi perangkat Majelis Ulama Indonesia (MUI) secara nasional. Jadi, MUI sekarang ini multi fungsi. Berarti peran dan fungsi ulama Aceh menjadi dualisme? Bukan dualisme, multi fungsi namanya. MPU Aceh bisa menjadi perangkat Wali Nanggroe juga bisa bahagian dari MUI secara nasional. Bisa juga mitra sejajar dengan gubernur, MODUS ACEH/Dok begitu juga dengan legislatif. Apa tujuan dibentuknya MUNA dalam lembaga Wali Nanggroe, sementara sudah ada MPU? MPU Aceh hanya kita perluaskan saja sebenarnya. Sebelumnya belum ada Wali Nanggroe dan belum menjadi perangkat Wali Nanggroe. Jadi kita luaskan lagi fungsinya menjadi perangkat Wali Nanggroe. Otomatis nama MPU Aceh berubah menjadi MUNA? Tidak kita rubah, ini masih masa transisi. Perangkat Wali Nanggroe itu MUNA, cuma masa transisi fungsinya dijalankan MPU Aceh. Perkiraan Pansus I Wali Nanggroe berapa lama masa transisi? Ini nanti bisa kita lakukan evaluasi ke depan.Ya, paling cepat tiga tahun. Tapi kalau nanti perlu percepatan, ya kita percepatkan MUNA. Begitu juga kalau dalam perjalanannya MPU sendiri bisa berkontribusi dengan perangkat Wali Nanggroe, mungkin tidak terlalu terburu-buru kita bentuk lembaga tersendiri. Tapi kalau lembaga MUNA dibutuhkan untuk segera dihadirkan menjadi perangkat Wali Nanggroe, ya, kita pisahkan dengan MPU. Jadi sangat tergantung perkembangan ke depan. Lagi pula sifatnya kami ingin meminimalisir keberadaan lembaga-lembaga ini, padahal bisa kita diciutkan. Kenapa? Kenapa harus cepat-cepat kami menghadirkan lembaga, padahal fungsi lembaga itu tidak signifikan dari tugas yang diemban serta keberadaan lembaga itu sendiri. Contohnya? Majelis Ulama Nanggroe Aceh dengan MPU Aceh, kalau bisa dijalankan oleh satu lembaga, untuk apa kita hadirkan dua lembaga? Kalau memang dalam perkembangannya menghendaki perlu dipisahkan, itu baru kita laksanakan. Apakah MPU selama ini belum optimal? Memang belum optimal, selama ini kami melihat belum optimal.Walaupun harapan kita MPU lebih mencerahkan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Mestinya MPU proaktif dan akhirakhir ini mulai memberi dukungan dalam penegakan Syariat Islam. Partai Aceh telah membentuk sayap politik yaitu MUNA. Lalu, di Aceh ada MPU. Bukankah terjadi dualisme ulama di Aceh? MUNA yang dimaksudkan dalam Lembaga Wali Nanggroe jangan diartikan organisasi MUNA yang ada saat ini. MUNA yang kita gagas sekarang merupakan perangkat Wali Nanggroe. Jumlah orangnya juga terbatas. Jadi MUNA dalam lembaga Wali Nanggroe tidak sama dengan MUNA yang ada saat ini. Dalam pemikiran kami, MPU bisa menjalankan fungsi MUNA yang dimaksud dalam Qanun Wali Nanggroe. Selesai masa transisi, siapa yang akan merekrut anggota MUNA? Pengrekrutan dilakukan Tuha Peut Wali Nanggroe, Tuha Peut Wali Nanggroe itu minimal empat orang dan maksimal 17 orang. Mereka betul-betul orang kepercayaan masyarakat. Apakah MUNA dalam lembaga Wali Nanggroe juga mengeluarkan fatwa seperti tugas MPU? Tidak, dia tidak pada tugas mengeluarkan fatwa-fatwa hukum. Karena memang apa yang dirumuskan, merupakan pandangan dan pemikiran kepada Wali Nanggroe. MUNA tidak bersifat keluar sebenarnya, lebih kepada pemikiran ke dalam dan memberi dukungan kepada Wali Nanggroe. Jadi tidak mengeluarkan fatwa. Kecuali Majelis Fatwa Wali Nanggroe. Ada dugaan MUNA yang dimaksud dalam lembaga Wali Nanggroe adalah MUNA yang ada di Partai Aceh? Itu salah persepsi. MUNA yang ada di PA merupakan barisan ulama penyokong perjuangan GAM tempo dulu. Setelah MoU, berubah menjadi MUNA. Majelis Ulama Nanggroe Aceh. Itu memang sayap politik Partai Aceh. Organisasinya besar dan sampai ke masyarakat kalangan bawah. MUNA yang dimaksudkan dalam Lembaga Wali Nanggroe, hanya sebagai pemikir kepada Wali Nanggroe. Jadi, tidak mungkin menampung MUNA Partai Aceh yang banyak dimaksudkan orang.***

Dalam Draf Rancangan Qanun Wali Nanggroe disebut, Majelis Ulama Nanggroe Aceh (MUNA) berada di bawah WN. Bisa Anda jelaskan? Ya, Majelis Ulama Nanggroe Aceh (MUNA) merupakan salah satu Lembaga Wali Nanggroe.Wali Nanggroe punya beberapa lembaga yang menjadi perangkat Wali Nanggroe. Salah satu perangkat Lembaga Wali Nanggroe adalah MUNA. Majelis Ulama Nanggroe Aceh ini semacam pemikir atau think thank kepada Wali Nanggroe. Apa yang Anda maksud pemikir

Wali Nanggroe? Merumuskan pandangan atau pendapat berbagai hal yang terkait, terutama masalah agama. Pandangan, pemikiran dan pendapat ini akan disampaikan kepada Wali Nanggroe, sehingga Wali Nanggroe dalam menyampaikan pandangan dan pemikirannya, terkait persoalan agama sudah mendapatkan masukkan dari MUNA. Jadi, MUNA ini merupakan wadah ulamalah di Aceh. Perlu keahlian ilmu apa saja bagi yang duduk dalam MUNA Wali Nanggroe? Tentu yang memiliki dan memahami ilmu tentang agama Islam. Berapa jumlah anggota MUNA yang akan ditempatkan? Kalau tidak salah ada 17 orang.Tapi untuk pertama sekali kami bersepakat MUNA dijalankan oleh Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh. Untuk selanjutnya, akan dibentuk secara khusus dan mungkin akan ada revisi qanun ini nantinya. Jadi, qanun ini satu saat akan kita revisi kembali. Lalu? Tentang Majelis Ulama Nanggroe Aceh ini, akan dibentuk tersendiri sebagai perangkatWali Nanggroe nantinya. Apakan MUNA dipisahkan atau satu atap dengan Wali Nanggroe? MUNA satu atap dengan Wali Nanggroe karena MUNA memang merupakan perangkat Wali Nanggroe, bukan seperti MPU. MUNA satu lembaga yang

12

EDISI 15 - 21 OKTOBER 2012

Wawancara

Prof. Dr. Darni M. Daud, MA, mantan Rektor Unsyiah

Saya Yakin Karena tak Melakukan


DUGAAN adanya praktik korupsi di Universitas Syiah Kuala belum juga pupus dan berkesimpulan. Malah, saat ini sudah berlabuh di Kejaksaan Tinggi (Kejati) Aceh. Itu sebabnya, mantan Rektor Unsyiah Prof. Dr. Darni M. Daud, MA mengaku siap memberi keterangan dan penjelasan terhadap dana yang selama ini disebut-sebut telah dikuasai oknum tertentu. Begitupun, atas penggunaan dana Jalur Pengembangan Daerah (JPD) dan dana beasiswa Guru Daerah Terpencil (Gurdacil) hingga kini belum diterima laporan pertanggungjawaban atas pengunaan tersebut. Karena itulah, Darni M Daud belum mengetahui siapa penerima dana serta apakah sudah sesuai dengan kesepakatan? Sebab, dari bukti check yang masih tersimpan pada Darni M Daud, ada paraf Pj Rektor Unsyiah Samsul Rizal yang sebelumnya menjabat sebagai PR I Unsyiah. Tak hanya itu, berdasarkan bukti yang disimpan Darni, Samsul Rizal pernah meminjam fulus dari Unsyiah, Rp 200 juta. Nah, seperti apa ikwal penggunaan dana tersebut? Berikut wawancara Juli Saidi dari MODUS ACEH dengan Prof. Dr. Darni M Daud MA di rumahnya, komplek Unsyiah, Sabtu sore pekan lalu.
MODUS ACEH/Dok

Selama ini aksi bertubi-tubi dilakukan sebahagian mahasiswa tentang dugaan korupsi di Unsyiah. Pendapat Anda? Sebenarnya masalah ini diawali karena saya maju sebagai calon Gubernur Aceh. Singkat cerita hasil Pemi-

lukada saya kalah. Dan saya terima dengan lapang dada, karena memang keadaan politik seperti itu. Lalu? Nah, paska itu, kira-kira pada 10 April 2012, Pj Rektor Unsyiah, Samsul Rizal ketemu saya di rumah. Apa yang dia sampaikan? Dia mengatakan akan membuat rapat senat. Jawaban Anda saat itu? Rapat senat apa? Untuk penjelasan SK Menteri katanya, saya katakan SK Menteri apa? Begitu, kok harus terlalu terburu-buru? Saya katakan, saya baru musibah. Kalau dalam Bahasa Aceh tunggu seuneujoh-lah. Tapi dia langsung menunjukan SK Pj Rektor kepada saya. Lalu? Saya bilang kenapa buru-buru begini, apa tidak boleh ditunggu? Tapi dia tidak menunggu itu, lalu dia bilang saya buat rapat senat. Saya bilang saya dalam keadaan mundur sementara, di luar sistem, kalau memang itu yang Anda lakukan, terserah bagaimana yang terbaik. Tanggapannya? Dia berhenti, dan setelah itu dia ke Biro Rektor dan buat undangan. Hasilnya, tanggal 12 April dia buat rapat senat. Intinya, dia mencalonkan diri sebagai Rektor Unsyiah. Kemudian, hari itu juga saudara Samsul Rizal yang mengantar sendiri hasil rapat senat itu ke Jakarta. Tapi, apakah seperti itu sistemnya? Tapi jarang sekali rapat senat satu hari sebelum rapat. Biasanya seming-

gu lebih kurang. Sebenarnya tidak ada keputusan rapat senat sebagai berlangsung secara aklamasi. Yang jadi masalah? Di sana ada masalah. Pertama SK Pj cacat hukum dan tidak ada dalam aturan. Kedua, rapat senat itu sendiri juga bermasalah, karena sebagaimana kita tahu rapat senat itu harus jelas, apa yang mau dibicarakan. Tidak ada rapat senat, saudara Samsul Rizal sendiri menandatangani surat atas nama Pj Rektor Unsyiah. Sikap Anda? Saya melihat gelagatnya begitu. Besoknya saya ke Jakarta dan bertemu dengan Menteri Pendidikan, saya sampaikan semua persoalan ini. Respon Menteri? Menteri mengatakan, aduh kok begini jadinya? Rupanya Pak Menteri tidak tahu yang dilaksanakan itu salah. Saya katakan, Pj Rektor Unsyiah bermasalah, melakukan kegiatan tidak sesuai dengan aturan, kemudian jauh sebelumnya sudah ada kesepakatan. Kapan? Tanggal 11 Februari 2012 saya sudah ketemu Dirjen dan Menteri Diknas. Lahir kesepakatan bahwa saya boleh maju sebagai calon Gubernur Aceh. Kalau terpilih jadi gubernur berarti mundur, jika tidak ya kembali menjadi Rektor Syiah Kuala.Tapi dengan keluarnya SK Pj ini, saya tidak pernah menerima SK Pj yang memberhentikan saya. Itu jadi berbeda dengan kesepakatan kami. Kemudian? Karena berbeda itulah, saya sampaikan kepada Menteri secara pan-

jang lebar. Intinya Menteri mengatakan akan mempertimbangkan dan beliau mohon waktu. Setelah sekian lama tidak ada keputusan, saya menghadap lagi ke Menteri. Hasilnya, dia mengatakan saya diaktifkan kembali sebagai dosen dan guru besar, dan itu sudah diaktifkan sejak Juni 2012. Sedangkan masalah rektor beliau mohon waktu lagi. Saat itu sudah hampir tiga bulan SK Pj itu beredar. Dan, saya sudah berkonsultasi dengan beberapa pakar hukum, guru besar, dan mantan rektor yang memahami tata hukum di Indonesia. Misalnya, Yusril Ihza Mahendra. Apa tanggapan mereka? Tidak bisa SK Menteri memberhentikan saya seperti ini karena saya dilantik dan tetapkan berdasarkan SK Presiden. Kok, saat diangkat dengan SK Presiden dan saat diberhentikan dengan SK Menteri? Kalau Presiden yang mengangkat berarti yang memberhentikan juga Presiden. Kemudian? Singkat cerita, saya menggugat Menteri Pendidikan Nasional ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. Karena jika saya tidak menggugat ke PTUN lebih tiga bulan, berarti saya setuju, tidak bisa menggugat lagi, karenanya kami mengambil kesimpulan menggugat Menteri Diknas ke PTUN, Jakarta. Kenapa Anda gugat Menteri? Supaya kita luruskan secara hukum, ini negara hukum. Jadi kita tempuh secara hukum. Karena gugatan seperti itu. Informasi yang saya peroleh dari Yusril dan enam orang ang-

Wawancara
gota tim pakar hukum, berkas itu diajukan ke PTUN Jakarta dan sampai saat ini sidang PTUN terus berlangsung. Karena keadaan di sana, kemukinan besar saya jarang bisa melihat, tapi ada Prof.Yusril terus mengikuti prosesnya sehingga mulai timbul riak. Jadi, itu asal muasalnya. Apa kaitanya? Saya melihat ada keinginan, mungkin sudah menjadi rahasia umum, supaya saya tidak dikembalikan lagi sebagai Rektor Syiah Kuala.Tapi mereka lupa walaupun dokumen saya banyak tersimpan di kantor dan sebahagian hilang, tapi sebagai catatan penting ada pada saya. Nanti saya bisa tunjukan semuanya, bahkan kalau saya diperiksa Kejaksaan Tinggi, saya sangat bersyukur, biar saya buka semua. Kenapa? Inilah kesempatan saya untuk meminta pertanggungjawaban hukum Samsul Rizal yang terkait dengan semua cek yang telah ditarik dari saya. Jadi, dalam kaitan itu saya dituduh korupsi, menggelapkan dana, dan macam-macam secara sepihak. Saya tidak tahu, maunya dia saya dihukum terus. Anda menduga ada penggiringan? Saya membaca seperti itu, tapi ini negara hukum, saya tidak bereaksi secara berlebihan, tapi lebih pada menjelaskan saja. Dan karena sudah menyeruak, saya mulai dan harus bicara lebih detail, termasuk reaksi dan aksi-aksi yang dilakukan. Saya melihat banyak rekayasa. Intinya yang namanya Darni Daud tidak boleh lagi kembali sebagai rektor. Bagaimana dengan dana yang disebut-sebut selama ini? Sampai saat ini, dana yang ditarik dari saya oleh Samsul Rizal, sampai detik ini belum dipertanggungjawabkan. Apakah Anda pernah meminta? Saya sudah meminta itu semenjak tahun 2010, 2011. jawabnya, ya,,,ya, tapi tidak pernah detail. Misalnya? Dia mengambil uang Rp 1,5 miliar, lalu diberi bukti tanggal sekian, uang sekian, itu bukan laporan pertanggungjawaban. Bagaimana dengan penggunaan dana Jalur Pengembangan Daerah (JPD)? Dana JPD yang masuk ada Rp 10. 286.622.000. Uang yang ditarik? Cek dana JPD yang ditarik Rp 8.764.400.000. Kemudian soal dana beasiswa Guru Terpencil (Gurdacil)? Dana Gurdacil yang masuk Rp 20.740. 875.000 dan dana cek yang keluar atau yang ditarik Rp 21.815.199.000. Jadi jumlah dana yang masuk dan jumlah dana yang keluar, hampir sama. Itu saja? Ditambang sejumlah utang, termasuk pinjaman saudara Samsul sendiri selaku Pembantu Rektor I ( PR I) ada Rp 200 juta, PR II ada Rp 230 juta, kemudian ada yang kecil-kecil yang sedang kita hitung yang minta konsultan saya yang menghitungnya. Jadi kalau kita total sudah lebih Rp 30 miliar. Jadi dimana saya korupsi? Cuma saya melihat ada cenderungan mereka memilah-milah persoalan. Padahal cek yang

EDISI 15 - 21 OKTOBER 2012

13

diambil dari saya secara gelondongan semua. Sejak awal sampai akhir. Karena itu, saya minta Saudara Samsul Rizal mempertanggungjawabkan semua. Tapi, sampai detik ini dia belum pernah melakukan itu. Anda siap menghadapi Kejaksaan? Oh.. siap sekali, masak bertahuntahun saya mencari beasiswa untuk anak-anak kita membangun Syiah Kuala, uang yang sedikitnya ini dibilang saya korupsi? Tapi terserah, saya akan mempertanggungjawabannya. Siapa yang menarik dana selama ini? Yang menarik itu enggak ada orang lain, kalau dana JPD Samsul dan dana Gurdacil juga Samsul serta Dekan F-KIP. Kalau dana JPD hanya Samsul Rizal sendiri. Anda mengaku ada meminta laporan dana, laporan seperti apa yang Anda inginkan? Saya menginginkan siapa yang menerima dana itu? Berapa jumlahnya? Adakah tanda tangan yang sah? Sesuai MoU kami dengan Pemda Aceh? Tentu, semua itu harus sesuai dengan yang berhak menerima.Tapi, itu yang belum pernah saya terima dari Syamsul Rizal. Dan itulah yang saya minta terus, tetapi dengan ada SK Pj Rektor, kantor rektor diduduki seperti itu dan tidak diberi kesempatan lagi bagi saya untuk mempertanggungjawaban itu. Nah, dengan masuknya aparat penegak hukum ke Unsyiah, berarti yang kena mereka sendiri. Alhamdulillah sekali, nanti saya bisa menjelaskan, mudah-mudahan kebenaran akan jelas, semua ini dapat ditangani secara profesional. Laporan apa yang Anda minta? Laporan setiap dana yang ditarik dari saya. Contohnya? Jalur Pengembang Daerah (JPD), dana sekian masuk, kemudian sudah ditarik sekian, saya minta apakah dana yang ditarik sekian itu betul sudah disalurkan? Bukan sebaliknya dia harus melaporkan check dalam jumlah sekian dan tanggal sekian. Itu bukan laporan, tapi usulan saat dia menarik check. Saya tandatangan sesuai itu, tapi dia harus melaporkan penggunaan dana tersebut. Apakah dana itu digunakan sesuai dengan rencana? Itu belum pernah dilaporkan sampai-

kan detik ini. Jadi laporan lengkap itu tak pernah diberikan kepada saya sampai sekarang ini. Adakah dugaan Anda kisruh selama ini upaya pembunuhan karakter? Saya melihat seperti itu, karena yang lain saya lakukan itu normalnormal saja, tapi ini ada indikasi Darni Daud harus habis-lah. Kalau dihitung banyak dana yang masuk, masak saya harus korup dengan dana yang sedikit. Ini enggak mungkin, saya tidak punya itikat seperti itu, memang ada upaya untuk mem Google images bunuh karakter saya. Sekarang enak, membunuh karakter dengan tuduhan korupsi, kelihatannya saya diarahkan seperti itu. Keyakinan Anda? Saya yakin karena tidak melakukan dan ini negara hukum, kalau ada yang mau kekuasaan, ya majulah, saya dulu kan maju. Periode pertama dipilih, periode kedua dipilih. Kalau sekarang tidak ada serah terima, hanya berbekal SK PJ, maka saya pikir tidak benar. Kenapa kasus Anda ke PTUN? Kami tahu, ini negara hukum, harus

Kenapa? Karena semua dana beasiswa yang masuk ke Syiah Kuala, ada ketentuan. Contohnya harus diberikan kemana? Itu tidak pernah diberikan kepada saya secara lengkap pelaporannya. Karena dokumen-dokumen sudah hilang, saya tidak tuduh dia yang menghilangkan, tapi yang jelas sejak April 2012, setelah ada SK Pj, saya tidak pernah masuk kantor lagi. Sebenarnya siapapun tidak boleh masuk, seharusnya kunci diserahkan kepada aparat keamanan. Tapi saya mendapat informasi, Samsul menggunakan ruangan itu, dan kabarnya dia sering masuk, kalau tidak salah sejak Juli 2012 kantor sudah diduduki. Sementara dengan saya tidak ada serah terima. Itu saja? Disamping dana yang masuk ke saya, ada juga dana yang masuk ke Unsyiah, berdasarkan surat permintaan Samsul, tapi tidak masuk ke rekening rektor, langsung masuk ke rekening pengeluaran dan dia menangani sendiri. Dia juga belum dilaporkan, berapa banyak dana. Apakah sama dananya? Ini lain lagi, S1, S2 dan S3, beasiswa juga, ini juga belum dipertanggungjawabkan kepada saya. Saya tidak tahu berapa dananya, karena memang tidak pernah diberi laporan. Jadi secara aturan sebenarnya dia harus memberikan laporan. Mungkin Anda tidak minta? Sudah saya minta, saya tidak tahu

taat pada ketentuan hukum yang ada, walaupun menghadapi prosesnya seperti masuk di hutan rimba. Tapi saya percaya kebenaran itu akan tegak. Walapun ini ada keinginan membunuh karakter saya, karena ini ada konspirasi, saya tahu, dengan SK Pj itu hingga aksi-aksi sekarang ini. Mungkin Allah SWT akan memberi kesempatan, saya tahu kalau pohon semakin besar goyangan angin semakin besar. Tanggapan Anda soal aksi meminta audit dana Rp 2 miliar? Dana Rp 2 miliar itu dari Samsul Rizal, bukan Rp 2 miliar, malah saya minta diaudit Rp 31 miliar lebih ini, tidak hanya Rp 2 miliar. Kemudian? Sebenarya yang saya minta kepada Samsul saat itu, tapi kelihatanya...enggak tahu-lah. Tapi yang jelas dia belum pernah mempertanggungjawabkan itu kepada saya selaku Rektor sejak 2010 dan 2011. Saya minta, cuma dia bilang iya..iya... saya ingin laporan, apakah semuanya sudah disalurkan sesuai ketentuan berlaku.

ini pertanggungjawabannya bagaimana. Biasanya pertanggungjawabannya, kalaupun itu diteken oleh rektor, kemudian diserahkan ke kantor gubernur, tentunya saya harus ada satu eks, biasanya begitu, tapi saya tidak terima. Bagaimana tentang penggunaan dana Lab. School? Itu juga belum pernah dilaporkan. Jumlah puluhan miliar. Saya sebagai pembina, sudah saya minta supaya dibukukan. Jawabannya, baik..baik Pak! Sebenarnya, walaupun saya tidak lagi sebagai rektor, tapi harus tuntaslah. Tapi Samsul Rizal sebagai ketua tidak pernah melaporkan. Kemudian istri saya dipecat juga, maka saya pikir ada hal sistematis yang patut kita curigai. Terakhir harapan Anda? Masyarakat Aceh dan Pemerintah Aceh mendukung upaya Kejaksaan Tinggi untuk melaksanakan tugas ini secara profesional. Kedua, agar kejaksaan dapat melihat semua ini berdasarkan bukti-bukti yang ada. Itu saja.***

Google images

14

EDISI 15 - 21 OKTOBER 2012

Nasional
dan dua pengurus partai, sebut Tama S Langkun, peneliti dari Divisi Investigasi ICW dalam jumpa pers di Jakarta Selatan, Kamis dua pekan lalu. Menurut dia, dari jumlah itu, kader Partai Golkar tercatat paling banyak terjerat kasus korupsi. Hal ini diungkapkan Indonesia Corruption Watch (ICW) dari hasil pemaparan dan pemantauan tren korupsi tahun 2012, pada Semester I (1 Januari hingga 31 Juli 2012).Menurut ICW ada 13 kader Partai Golkar yang tersangkut kasus korupsi. Ini lebih tinggi dari jumlah parpol lainnya, ujarnya. Sekarang bicara soal kecenderungan, sebetulnya ini bicara partai mana yang menguasai. Kenapa Partai Golkar? Karena partai ini sudah cukup lama berkuasa. Jadi kalau bicara soal kepala daerah, masih mayoritas dari Golkar. Ada juga yang kepala daerahnya dari PDIP, begitu juga dengan anggota DPRD-nya. Makin banyak partai tersebut menguasai kepala daerah dan DPRD, maka kecenderungan tadi ada. Itu yang kita lihat, sambung Tama S Langkun. Ibarat saudara kembar, Partai Golkar tentu tidak sendirian, setelah itu menyusul Partai Demokrat dengan jumlah kader yang terlibat korupsi sebanyak delapan orang. Begitupun PDIP dengan tujuh kader yang terlibat. Selanjutnya, Partai Amanat Nasional (PAN) berada diurutan keempat, dengan jumlah tersangka enam orang, dan PKB terdapat tiga orang kader yang menjadi tersangka.Untuk Partai PKS, Gerindra dan PPP masing-masing terdapat dua kader yang terlibat korupsi, sebut dia. Peneliti dari Divisi Investigasi ICW itu menyebutkan, sebagian besar pihak yang terjerat kasus korupsi itu merupakan mantan kepala daerah. Makanya beberapa yang kita klarifikasi, ada yang kepala daerah dan mantan kepala daerah. Anggota DPRD dan mantan anggota. Kasus korupsi biasanya terjadi ketika mereka menjabat, ungkap Tama. Penyebab kader parpol melakukan korupsi, lanjut Tama, dipengaruhi oleh besarnya biaya kampanye selama ini. Karena itu, kata dia, ICW tidak pernah berhenti menyuarakan pada parpol untuk mengubah sistem kampanye maupun pembiayaan partai yang pada ujungnya menguras uang kadernya. Ternyata, nilai tersebut menimbulkan reaksi dikalangan kader Partai Golongan Karya. Pasalnya, partai berlambang pohon beringin tersebut ditempatkan diurutan pertama sebagai partai terkorup di nusantara. Reaksi tersebut datang datang dari Wakil Sekretaris Jenderal Partai Golongan Karya (Golkar), Nurul Arifin. Menurut dia, pernyataan Dipo Alam tendensius, provokatif dan mengadu domba. Kata Nurul, kepala dan birokrat merupakan bagian dari pemerintah dan mereka adalah pejabat negara.Ketika mereka dilantik, maka atribut kepartaian yang melekat pada dirinya sudah ditanggalkan dan mereka menjadi bagian dari pemerintahan, kata artis cantik ini. Itu sebabnya, kata Nurul, jika organ pemerintah tersebut melakukan tindak korupsi maka yang harus dipertanyakan adalah kemampuan leadership dari pemimpinnya yang tidak dapat mengendalikan perilaku koruptif tersebut. Ini bukti ketidakmampuan pemerintah mengawasi aparat di bawahnya. Dipo Alam adalah bagian dari pemerintah dan merupakan pejabat negara yang seharusnya melakukan koreksi terhadap kasus-kasus tersebut. Bukan hanya cari panggung dengan menjual isu yang belum jelas perkaranya, timpal Nurul. Selain itu, sambungnya, partai tidak ada urusannya dengan perkara-perkara korupsi yang terjadi di lingkup pejabat negara tersebut. Dipo Alam tidak perlu membawa-bawa partai. Tanyakan saja kepada pemerintah mengapa mereka tidak sanggup mengendalikan perilaku korup aparat di bawahnya, kata dia. Menurut politisi Partai Golkar ini, isu itu dimunculkan agar publik beralih perhatian dari kasuskasus besar yang saat ini sedang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan juga untuk meraih simpati publik. Apakah yang disebut Dipo itu baru penyidikan, penyelidikan atau sudah vonis, itupun tidak jelas. Bagaimana menjustifikasi bahwa itu korupsi, apakah sudah sesuai dengan keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, atau justifikasi dari Dipo saja, katanya mempertanyakan. Apa urgensinya Dipo berbicara perkara yang bukan tugas pokok fungsi (tupoksi) atau wilayahnya?. Hal inipun tidak etis. Hendaknya ini menjadi wewenang Kemendagri (Kementerian Dalam Negeri). Mereka tidak pernah menyinggung soal partai menyangkut kepala daerah dan birokrat yang korup, ungkap Nurul Arifin. Karena itu, Nurul menyarankan Dipo sebaiknya lebih hatihati membuat statement.Ibarat menepuk air di dulang, maka terpercik muka sendiri, kata Nurul yang juga Anggota Komisi II DPR itu. Ketua DPP Partai Demokrat Bidang Komunikasi dan Informasi, Ruhut Sitompul, menilai, kritikan yang dilontarkan kaderkader Partai Golkar terkait pernyataan Dipo, memperlihatkan adanya kepanikan dari partai berlambang pohon beringin tersebut.Tidak perlu kebakaran jenggot seperti itu dan yang merasa kebakaran jenggot dengan statement Pak Dipo cepatcepat dipotong jenggotnya biar tidak kebakaran, kata Ruhut, akhir September lalu. Menurut Ruhut, apa yang disampaikan Dipo Alam 100 persen benar dan tidak ada yang dibuatbuat.Sebagai partai politik, seharusnya tidak perlu merasa takut menghadapi itu. Justru kader bermasalah harus segera dibersihkan, agar tidak mengotori partai, seperti yang dilakukan Partai Demokrat, ujar dia. Inikah yang disebut koruptor berlindungan di bawah pohon beringin? Hanya merekalah yang bisa menjawabnya.***

KORUPTOR DI BAWAH LINDUNGAN BERINGIN


Sekretaris Kabinet, Dipo Alam mengelar jumpa pers, Jumat, 28 September lalu. Pernyataannya membuat kader dan pimpinan partai politik di negeri ini gerah. Daftar dosa alias peringkat pelaku tindak pidana korupsi dipaparkan. Partai Golkar bertengger di posisi pertama.
Reporter Masrizal

NAM PULUH EMPAT merupakan jumlah kecil bagi penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), untuk memburu para koruptor. Sebaliknya, angka besar bagi pelaku korupsi negeri ini. Siapa sangka, aktornya para politisi dari partai politik nasional sekelas Partai Golkar. Tapi, fakta pahit ini pula yang harus dijawab kader partai berlambang pohon beringin tersebut. Sekretaris Kabinet, Dipo Alam membeberkan, ada 64 orang atau 36,36 persen kader Partai Golkar yang terjerat kasus korupsi. Ini berdasarkan permohonan izin proses hukum yang masuk ke meja Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).Kami juga menginginkan kemudahan proses penyelidikan dan penyidikan tersebut tidak disalahgunakan, kata Dipo kepada wartawan, Jumat 28 September lalu. Mantan Ketua Dewan Mahasiswa ITB ini tentu tidak sedang bercanda. Dia malah mengelar jumpa pers di kantornya, Jalan Veteran No. 17 Jakarta 10110. Sejumlah wartawan dari berbagai media menyambangi kantor tersebut. Dalam pertemuan itu, Sekretaris Kabinet, Dipo Alam mengaku menyambut baik putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mencabut aturan mengenai pemeriksaan kepala daerah yang tersandung kasus hukum harus mendapatkan izin Presiden. Menurut Dipo, persetujuan tertulis dari Presiden untuk memeriksa pejabat negara sudah sejak era Orde Baru (Orba), telah tercantum dalam UndangUndang Nomor: 5/1974 Tentang Pemerintah Daerah. Namun, sambungnya, sejak Oktober 2004, Presiden SBY telah mengeluarkan 176 izin pemeriksaan terhadap para pejabat negara. Rinciannya, 74,43 persen terkait kasus korupsi, 5,11 persen merugikan negara. Sisanya, kasus seperti penggelapan, penipuan, penganiayaan, pemalsuan surat, pencemaran nama baik, hingga perjudian, ungkap

Dipo di kantornya. Nah, 176 izin tertulis untuk penyelidikan pejabat negara ini diajukan oleh Kejaksaan Agung (82 permohonan); Kepolisian RI (93 permohonan); dan Komandan Puspom (1 permohonan). Ini bukan untuk membuka aib orang.Tapi mari kita sama-sama mengawal anggaran, ajak Dipo. Pejabat yang tersandung kasus hukum diantaranya, Bupati/Walikota sebanyak 103 izin atau 58,521 persen. Wakil Bupati/Wakil Walikota, 31 izin (17,61 persen); anggota MPR/ DPR 24 izin (13,63 persen); Gubernur 12 izin (6,81 persen); Wakil Gubernur 3 izin (1,70 persen); anggota DPD 2 izin (1,13 persen); dan Hakim MK 1 izin (0,56 persen). Tak hanya itu, berdasarkan latar belakang pejabat tersebut, sebut Dipo, Partai Golkar berada pada peringkat pertama yaitu sebanyak 64 orang (36,36 persen). Disusul PDIP 32 orang (18,18 persen); Partai Demokrat 20 orang (11,36 persen); PPP 17 orang (3,97 persen); PKB 9 orang (5,11 persen); PAN 7 orang (3,97 persen); PKS 4 orang (2,27 persen); PBB 2 orang (1,14 persen); dan PNI Marhaen, PPD, PKPI, Partai Aceh masing-masing 1 orang (0,56 persen). Sedangkan, Birokrat/TNI 6 orang (3,40 persen); Independen/non partai 8 orang (4,54 persen); serta gabungan partai 3 orang (1,70 persen).Ini karena tugas

kami sudah selesai. Jadi ini konteksnya dalam hal putusan MK jadi konpers ini, ujar Dipo. Selain itu, berdasarkan latar belakang partai politik terhadap izin pemeriksaan anggota DPRD Provinsi yang diberikan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) adalah: Partai Golkar 149 (34,57 persen); PDI Perjuangan 106 (24,59 persen); PPP 40 (9,28 persen); PAN 23 (5,34 persen); Demokrat 17 (3,94 persen); PKB 16 (3,71 persen); PKS 10 (2,32 persen); PBB 8 (1,66 persen); PDS 7 (1,62 persen); dan PBD 6 (1,39 persen). Dan berdasarkan latar belakang partai politik yang izin pemeriksaan tertulisnya dikeluarkan Gubernur atas nama Mendagri adalah: Partai Golkar 146 (27,05 persen); PDI Perjuangan 74 (14,43 persen); Partai Demokrat 63 (11,56 persen); PPP 39 (7,08 persen); PKB 30 (5,59 persen); PAN 28 (5,22 persen); Partai Hanura 28 (5,22 persen); PKS 27 (5,03 persen); PBB 26 (4,85 persen); dan Gerindra 19 (3,54 persen). Tak hanya Dipo, Indonesia Corruption Watch (ICW) juga menyampaikan hal yang sama. Menurut ICW, sepanjang tahun 2012, terdapat 44 kader partai politik yang terjerat kasus korupsi. Sebanyak 21 orang adalah kalangan maupun mantan anggota DPR RI dan DPRD. Sisanya, 21 adalah kepala daerah maupun mantan kepala daerah,

Hukum
PN Lhokseumawe
Syaridin Yahya divonis bebas Majelis Hakim PN Lhokseumawe. Pemilik lahan menilai tidak patut. Aktivis LSM desak Kejari lakukan kasasi.
Reporter Hasnul Yunus Rumah Sakit Umum Daerah bertaraf internasional dengan mengandeng Korea Selatan. Saat itu Walikota Lhokseumawe Munir Usman membentuk tim sembilan. Nah, tim inilah yang kemudian mengajukan harga tanah Rp 20.000,- per meter. Menurut mereka saat itu, harga tersebut sudah sesuai dengan Nilai Jual Objek Pajak din Yahya, anggota DPRK Lhokseumawe yang menjadi terdakwa dalam kasus dugaan penipuan dan pembebasan lahan Blang Panyang dengan hukuman 18 bulan penjara. Tuntutan itu dibacakan JPU, Vendrio Arthaleza SH dalam sidang lanjutan kasus tersebut di Pengadilan Negeri (PN) Lhokseumawe. Dalam tuntutannya, JPU menyatakan, saksi dalam berita Acara Pemeriksaan (BAP) kasus dugaan penipuan dan pembebasan lahan Blang Panyang ada

EDISI 15 - 21 OKTOBER 2012

15

HOREEE, SYARIDIN DIVONIS BEBAS!


S
YARIDIN YAHYA sumringah. Namun, mantan kombantan ini tetap saja enggan bicara. Saat Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Lhokseumawe menjatuhkan vonis bebas terhadap dirinya. Adik almarhum Rahman Paloh (mantan kombantan GAM) itu justeru menanggapinya dengan dingin. Untuk sementara, Senin pekan lalu, memang menjadi hari akhir bagi Syaridin Yahya untuk berurusan dengan hukum. Ini terkait dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Vendrio Arthaleza SH dan Rista Zulibar PA SH dari Kejaksaan Negeri (Kejari) Lhokseumawe. Syaridin didakwa telah melakukan penipuan, terkait pembebasan lahan di Blang Panyang, Kecamatan Muara Satu, Kota Lhokseumawe. Itu sebabnya, dia dituntut 18 bulan penjara. Mantan anggota DPRK Lhokseumawe ini dijerat JPU melanggar Pasal 378 dan Pasal 372. Begitupun, setelah melalui proses persidangan yang panjang dan melelahkan, Syaridin akhirnya dinyatakan tidak bersalah dan bebas demi hukum.Kami pikir-pikir Pak Hakim, begitu kata JPU,Vendrio Arthaleza SH saat diminta tanggapannya oleh majelis hakim. Walau tak luput dari perhatian media. Proses persidangan SyaridinYahya, Senin pekan lalu, tetap saja terkesan adem. Entah ada alasan apa dibalik semua itu. Yang pasti, nama Syaridin tidak tertera pada papan pengumuman yang terdapat di dalam Gedung Pengadilan Negeri Lhokseumawe. Hari itu, hanya tertulis tiga nama yang akan menjalani persidangan. Tetapi, tak ada nama Syaridin binYahya di dalamnya. Nah, setelah menunggu sekitar satu jam lebih, akhirnya Syaridin Yahya terlihat memasuki Gedung PN Lhokseumawe. Dia ditemani dua pengacara dan rekannya. Beberapa menit kemudian, sidang putusan kasus dugaan penipuan dan penggelapan lahan Blang Panyang, digelar. Beberapa saksi korban tampak hadir dan ikut menyaksikan. Sekedar mengulang. Tahun 2007 silam, Pemerintah Kota Lhokseumawe melakukan upaya pembebasan tanah di Desa Blang Panyang, Kecamatan Satu, Kota Lhokseumawe. Tanah tersebut rencananya diperuntukkan bagi pembangunan dasarkan analisa hukum menurut pengacaranya, Syaridin tidak terbukti secara sah dan meyakinkan telah melanggar Pasal 372 KUHP dan meminta kliennya di bebaskan. Entah sependapat dengan kuasa hukum terdakwa, Majelis Hakim PN Lhokseumawe, Inrawaldi SH (ketua) dan Azhari SH serta M Jamil SH (anggota), Senin pekan lalu, memvonis bebas Syaridin Yahya. Majelis berpendapat. Syaridin tak terbukti secara sah dan menyakinkan melakukan tindak pidana sepdin Yahya oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Lhokseumawe, merupakan bentuk pelecehan terhadap hukum dan rasa keadilan masyarakat, kata Baihaqi. Putusan ini sebutnya, sekaligus menjadi daftar hitam penegakkan hukum di Lhokseumawe. Putusan ini telah menambah daftar hitam penegakan hukum di Kota Lhokseumawe. Dan, sebagai bentuk mengeleminir kerja-kerja Kejaksaan Negeri (Kejari) Lhokseumawe dalam melakukan pengungkapan kasus

Syaridin Yahya Mendengar Penjelasan Majelis Hakim. (NJOP), harga pasaran dan harga yang ditawarkan penduduk setempat. Setelah kasus tersebut mencuat kepermukaan, anggota DPRK Lhokseumawe Syaridin Yahya kemudian ditetapkan sebagai tersangka atas dugaan penggelapan sisa ganti rugi lahan Blang Panyang. Saat itu ia mengaku, uang dua miliar rupiah sebagai fee untuk dirinya selaku pemegang surat kuasa. Ketika masih berstatus tersangka, kepada tim penyidik dari Polres Lhokseumawe,Syaridin Yahya mengakui menerima dana empat miliar rupiah dari Pemko Lhokseumawe untuk ganti rugi pembebasan 20 hektar lahan. Tapi, Syaridin hanya membayar Rp 10.000,- per meter atau dua miliar rupiah untuk 20 hektar lahan kepada pemilik tanah. Lalu, Kejaksaan Negeri Lhokseumawe mendakwa Syaridin Yahya melanggar pasal 378 atau pasal 372 KUHP karena melakukan penggelapan dan penipuan uang sisa ganti rugi lahan di Desa Blang Panyang. Kemudian, Senin, 17 September lalu, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejari Lhokseumawe menuntut Syari31 orang.Tapi, lima di antara-nya tak hadir. Selain itu, JPU menyebutkan proses awal pembebasan lahan Blang Panyang dilakukan Pemko Lhokseumawe. Saat membacakan materi tuntutan, JPU menyebutkan, karena harga tanah yang dibayar terdakwa tak sesuai harga yang dibayar Pemko, kemudian warga melaporkan kasus ini ke Polres Lhokseumawe. JPU kemudian meminta hakim menjatuhkan hukuman 18 bulan penjara kepada Syaridin dengan perintah ditahan, karena melanggar Pasal 372 KUHP tentang penggelapan. Namun, pada sidang pledoi (pembelaan) yang digelar setelah sidang tuntutan, Syaridin Yahya, melalui kuasa hukumnya Mulyadi menyatakan, tidak sepakat dengan uraian JPU. Sebab, menurut kuasa hukumnya uraian hukum mengenai dakwaan telah melanggar Pasal 372 KUHP tidak lengkap di uraikan oleh jaksa penuntut umum dalam perkara ini. Jaksa terkesan tidak menggunakan fakta yang sebenarnya terungkap dalam persidangan, kata Mulyadi saat pembacaan pledoi. Selain itu, bererti didakwakan JPU. Karena itu hakim membebaskan Syaridin dari segala tuntutan hukum dan memulihkan haknya dalam kemampuan, kedudukan, harkat dan martabatnya. Usai sidang, media ini menemui Ibrahim Idris, saksi korban lahan Blang Panyang, yang hadir ikut menghadiri sidang putusan hari itu. Menurut saya tidak cocok kalau (Syaridin Yahya-red) dibebaskan, kecuali baru bisa dibebaskan kalau sudah dibayar tanah saya, katanya. Dia juga mengungkapkan putusan itu tak patut.Seharusnya diganti dulu kerugian kami, ujar Ibrahim. Lantas, apa kata aktivitis antikorupsi? LSM Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA), dalam siaran persnya, 9 Oktober 2012 lalu, menyatakan desakan terhadap Kejari Lhokseumawe. Harus segera lakukan kasasi ke Mahkamah Agung, kata Baihaqi, Koordinator Bidang Advokasi Korupsi MaTA. Dia juga menuding, PN Lhokseumawe saat ini sudah menjadi sarangnya vonis bebas. Tak hanya itu, Baihaqi juga menyebutkan. Vonis bebas yang di jatuhkan kepada Syari-

MODUS ACEH /Hasnul Yunus

tersebut, jelas Baihaqi. Dia menduga, putusan tersebut merupakan suatu bentuk transaksional yang di lakukan oknum di PN Lhokseumawe. Kredibilitas serta integritas hakim yang menjatuhkan vonis terhadap Syaridin Yahya patut di pertanyakan, kritik Baihaqi. Tentu, LSM MaTA tak asal tuding. Sebab, berdasarkan catatan mereka, PN Lhokseumawe sudah berulang kali menjatuhkan vonis bebas terhadap terdakwa. Misalnya, vonis bebas kasus Kasbon APBD Lhokseumawe dengan terdakwa Mahyeddin Saad,SH. Kasus dana perjalanan dinas anggota dewan dengan terdakwa Ramli Aziz, SH dan kasus dana Pemerintah Kabupaten Aceh Utara yang bobol di Bank Aceh Lhokseumawe dengan terdakwa Heri Kurnia. Dengan dijatuhkannya vonis bebas terhadap Syaridin Yahya semakin mengikis rasa kepercayaan masyarakat terhadap institusi penegak hukum khususnya PN Lhokseumawe, ujar Baihaqi. Untuk itu, MaTA berharap masyarakat lebih berhati-hati ketika berhubungan dengan PN Lhokseumawe.***

16

EDISI 15 - 21 OKTOBER 2012

Parlementaria

Pansus III DPRA Serahkan Raqan RPJP Aceh

MENATA PEMBANGUNAN ACEH 2025

HUMAS DPR ACEH

Nilai PDRB Aceh selama 2005-2009 mengalami perkembangan kurang menggembirakan. Setelah disahkan raqan RPJP Aceh, Pansus III DPR Aceh berharap fokus awal eksekutif pada sektor pertanian dan perkebunan.
Reporter Juli Saidi raqan lagi untuk dibawa ke paripurna, jelas Amir Helmi. Ketua Pansus III DPR Aceh Ir. Sanusi mengatakan, setelah qanun RPJP Aceh disahkan, Pansus III DPR Aceh berharap agar eksekutif memfokuskan diri untuk dilaksanakan program peningkatan dan pemberdayaan pertanian dan perkebunan. Menurut Ketua Komisi C DPR Aceh Ir. Sanusi, perhatian Pemerintah Aceh terhadap dua sektor dimaksud sangat diharapkan masyarakat saat ini. Alasannya, sektor pertanian dan perkebunan dapat menumbuhkan perekonomian masyarakat Aceh dari kalangan bawah ke atas. Bila dua sektor itu menjadi fokus utama dari implementasi Qanun RPJP Aceh, maka dampak utama adalah masya-rakat kalangan bawah, sebut kader Partai Aceh (PA) ini. Tak hanya itu, sesuai data yang dipelajari Pansus III DPR Aceh, selama lima tahun (2005-2009), nilai Product Domestic Regional Bruto (PDRB) Aceh, dihitung atas harga konstan mengalami perkembangan yang kurang menggembirakan. Sebab,paska tsunami, ekonomi Aceh sempat terpuruk sampai pada tingkat sangat memprihatinkan. Sanusi mencontohkan, PDRB Aceh 2005 hanya mencapai Rp 36,29 triliun atau turun 10,12 persen dari tahun sebelumnya. Kemudian, lima dari sembilan sektor ekonomi yang membentuk struktur PDRB mengalami kontraksi yang besar, yaitu pertanian turun 3,89 persen, pertambangan dan penggalian turun tajam sampai 22,62

impinan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) Amir Helmi, SH sumringah saat menerima Rancangan Qanun (Raqan) Aceh tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Aceh tahun 20052025, Selasa, 9 Oktober lalu. Penyerahan Raqan RPJP Aceh ini untuk yang pertama dari 21 rancangan qanun prioritas tahun ini. Dan, diserahkan Ketua Panitia Khusus (Pansus III) DPR Aceh Ir. Sanusi, didampingi Wakil Ketua Pansus Erly Hasyim, SH., S. Ag, di ruang kerja Pimpinan DPR Aceh Amir Helmi, Jalan Tengku Daud Beureueh, Banda Aceh, Selasa siang pekan lalu. Hari itu, Amir Helmi menyampaikan apresiasi terhadap keseriusan Pansus III. Itu sebabnya, setelah dia menerima raqan dimaksud, kader Partai Demokrat (PD) ini mengaku akan segera duduk semeja dengan pimpinan DPR Aceh lainnya yaitu, Hasbi Abdullah dan Sulaiman Abda. Saya akan duduk dulu dengan pimpinan, kata wakil rakyat Aceh dari Daerah Pemilihan (Dapil I) Banda Aceh, Aceh Besar, dan Kota Sabang, Kamis pekan lalu. Begitupun, Amir Helmi mengaku masih menunggu satu atau dua raqan lagi. Nah, setelah ada dua atau tiga raqan, pimpinan DPR Aceh akan menjadwalkan Sidang Paripurna Raqan 2012.Baru satu dan kita sedang tunggu satu atau dua

persen. Tak hanya itu, kondisi yang sama juga dialami industri pengolahan jatuh 22,30 persen, konstruksi 16,14 persen serta sektor jasa 9,53 persen.Atas harga konstan PDRB Aceh selama lima tahun kurang menggembirakan, ujar Sanusi. Kemudian, perkembangan nilai PDRB Aceh dalam lima tahun terakhir, secara berturut-turut pada 2005 sebesar Rp 36.29 triliun, 2006 Rp 36.85 triliun, 2007 Rp 35.98 triliun, 2008 Rp 34.09 triliun, dan 2009 32.18 triliun. Lalu, pertumbuhan ekonomi Aceh berdasarkan persentase pertumbuhan PDRB dengan Minyak dan Gas Bumi (Migas) pada 2005 berkisar 10,12 persen. Tahun 2006, 1,56 persen, 2007, 2,36 persen, 2008, 5,27 persen, dan pada tahun 2009, 4,20 persen.Semakin menurunnya pertumbuhan ekonomi Aceh selama kurun waktu tersebut, terutama akibat menurunnya konstribusi sub sektor Migas, jelasnya, Kamis lalu. Karena itu, meskipun pertumbuhan ekonomi Aceh hampir 30 tahun didominasi sub sektor Migas, namun untuk tahap awal menjalankan RPJP Aceh dalam mensejahterakan masyarakat, harus digerakkan dari sektor pertanian dan perkebunan, sambil Pemerintah Aceh menyiapkan Sumber Daya Manusia (SDM) di masa datang. Menurut wakil rakyat dari Aceh Jaya, Aceh Barat, dan Nagan Raya (Dapil III) tersebut, bila berpedoman pada pengambilan minyak dan pertambangan di Aceh, Sanusi khawatir rakyat kalangan bawah tidak dapat disejahterakan. Itu sebabnya, Qanun RPJP Aceh yang telah diserahkan kepada pimpinan DPR Aceh, Amir Helmi tadi, diharapkan dapat menjadi pondasi dalam membangun Aceh selama 20 tahun mendatang. Pembangunan yang dirumuskan dalam RPJP Aceh tidak hanya pada sektor pertanian dan perkebunan, tapi Qa-

nun RPJP Aceh yang akan disinergikan dengan Rancangan Pembangunan Jangka Menegah RPJM) Aceh. cakupannya adalah, sektor pembangunan Bandara Internasional, pelabuhan yang layak, dan pembangunan infrastruktur lainnya. Karena itu, Ir. Sanusi berharap agar Raqan RPJP Aceh itu segera dibawa ke sidang paripurna untuk disahkan, agar apa yang menjadi harapan rakyat dapat tercapai melalui Qanun RPJP Aceh dimaksud. Semoga!***

Pelindung/Penasehat: Drs. Hasbi Abdullah, M. Si, Amir Helmi, SH, Drs. H. Sulaiman Abda Penanggungjawab: H. Burhanuddin, SE Koordinator: Mahyar, SH. M.Hum Pengarah: Muhammad Saleh Pimpinan Redaksi: M. Y. Putra Utama, SH. MH Wakil Pimpinan Redaksi Mirzani, S. Kom, Staf Redaksi: T. Ismediansyah, S.Sos, T. Fadhil, ST, Dewi Damayanti, Amd, Staf Media Center, dan Wartawan MODUS ACEH Alamat Redaksi; Gedung DPRD Provinsi Aceh, Jl. Tgk. H.M. Daud Beureueh.
Informasi ini terlaksana atas kerjasama Tabloid Berita Mingguan Modus Aceh dengan sekretariat DPR Aceh.

Iklan

EDISI 15 - 21 OKTOBER 2012

17

18

EDISI 15 - 21 OKTOBER 2012

Parlementaria DPRK Banda Aceh

Aspirasi Untuk Rakyat


Anggota DPRK Banda Aceh, Zainal Abidin menyalurkan dana aspirasi dalam bentuk bantuan barang pecah belah. Menurut dia, itu lebih efektif.
Reporter Masrizal

ANYAK cara untuk bisa membantu rakyat. Selain memperjuangkan aspirasi dalam bentuk program pembangunan, juga bisa bantuan langsung. Misalnya barang pecah belah atau alat rumah tangga. Nah, hal itulah yang dilakukan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Kota (DPRK) Banda Aceh, Zainal Abidin. Lihat saja, Senin sore pekan lalu, wakil rakyat ini membagikan enam teratak plus 30 kursi, 12 lusin piring, 13 lusin gelas, 16 lusin sendok dan 13 buah belanga kepada 19 gampong yang ada di dua kecamatan

Zainal Abidin
Itu permintaan masyarakat, jelasnya. Sebab, masyarakat membutuhkan barang-barang seperti ini. Insaya Allah akan kita perjuangkan nanti pada tahun anggaran 2013, janjinya. Untuk itu, dia berharap kepada masyarakat agar barang tersebut dijaga dan dirawat dengan baik, supaya dapat dipergunakan pada acara yang sangat membutuhkan. Semoga.***

MODUS ACEH /Masrizal

yaitu, Syiah Kuala dan Kecamatan Ulee Kareng. Pemberian itu berlangsung di Gampong Meunasah Kopelma Darussalam, Kecamatan Syiah Kuala, Banda Aceh. Sebelumnya, dia juga telah membagikan 700 kain sarung kepada masyarakat di dua kecamatan tadi. Itu dilakukan pada bulan Ramadhan lalu. Sumbernya dari dana aspirasi tahun anggaran 2012. Maklum, setiap anggota DPRK Banda Aceh mendapat Rp 250 juta dana untuk konsituen dimaksud. Dana aspirasi itu saya plotkan pada tahun 2012 untuk pengadaan barang dan akan saya bagikan ke 19 gampong untuk dua kecamatan tersebut, katanya kepada media ini, Senin sore pekan lalu. Menurut Zainal, untuk

teratak, masing-masing kecamatan mendapat tiga teratak plus 30 kursi. Untuk Kecamatan Syiah Kuala tiga teratak, untuk Kecamatan Ulee Kareng tiga teratak, rincinya. Sementara, bagi gampong yang tidak mendapatkan teratak, akan mendapatkan piring 12 lusin, 13 lusin gelas, 16 lusin sendok serta 13 belangga. Ketua Komisi B DPRK Banda Aceh ini menjelaskan, semua gampong yang bermukim di Kecamatan Syiah Kuala dan Kecamatan Ulee Kareng akan mendapatkan bantuan tersebut. Semua akan mendapatkan kue aspirasi itu, kata Zainal Abidin yang berasal dari Daerah Pemilihan (Dapil III) Kecamatan Syiah Kuala dan Kecamatan Ulee Kareng. Karena itu, lanjut dia, se-

andainya dana aspirasi tersebut digunakan untuk pembagunan fisik, mungkin akan mendapatkan satu atau dua gampong. Sedangkan jumlah dananya sangat terbatas hanya Rp 250 juta. Karena itu kami gunakan dana tersebut untuk pengadaan barangbarang supaya dapat kita bagikan untuk 19 gampong yang ada di dalam kedua kecamatan tersebut, ujar anggota dewan dari Fraksi Partai Aceh ini. Inisiatif itu, kata Zainal, datang dari dirinya. Ini merupakan inisiatif saya sendiri. Karena itu, dia berharap penyerahan barang ini dapat dipergunakan untuk acara perkawinan dan kematian pada dua kecamatan ini. Begitupun sebutnya, dalam beberapa pertemuan yang telah dilakukan, masyarakat mengadukan keluhan yang selama ini dialami. Salah satunya mengenai alat pengeras suara (wairless) dan kompor gas.

Reportase

EDISI 15 - 21 OKTOBER 2012

19

Lahan masyarakat di perbatasan areal PT. Kallista Alam Nagan Raya.

MODUS ACEH /Masrizal

PEMERINTAH Indonesia dan Norwegia ternyata menjalin kerjasama dan kesepakatan melalui Program REDD dari tahun 2010 sampai 2013. Tak kurang, satu miliar dolar digelontorkan untuk proyek ini. Termasuk penanganan masalah hukum di Rawa Tripa. Konflik penguasaan lahan kemudian terbungkus dengan isu kerusakan lingkungan. Diduga, banyak pihak ingin menguasai areal tersebut. Sebab, selain tanahnya subur, diduga terdapat kandungan minyak dan gas alam. Nah, bagaimana sesungguhnya kondisi Rawa Tripa yang hingga kini masih menyisahkan konflik dan polemik antara PT Kallista Alam dengan aktivis lingkungan hidup, terutama Walhi Aceh? Benarkah ada sesuatu yang diperebutkan? Wartawan MODUS ACEH Juli Saidi dan Masrizal, dua pekan lalu menelusuri kawasan itu. Berikut laporannya.

OHON hitam seperti bekas dibakar masih berdiri tegak di atas rumput yang hangus dan mulai jadi abu. Sesekali, desiran angin sepoi, ikut menebar hawa tak sedap. Walau tak sampai menusuk hidung, asapnya ikut membuat mata perih. Jika salah melangkah, bukan tak mungkin kaki akan terperosok sampai lutut. Maklum, berjalan di areal tersebut, memang butuh ekstra hati-hati, terutama saat memasuki areal hutan gambut di Rawa Tripa, Desa Pulo Kruet, Kecamatan Darul Makmur, Kabupaten Nagan Raya. Sejak beberapa bulan lalu, kawasan ini terlanjur jadi buah bibir. Itu disebabkan adanya perseteruan antara aktivis lingkungan hidup, terutama dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh dengan

pemilik lahan, PT Kallista Alam. Persoalan yang hingga kini belum usai adalah, soal dugaan kerusakan lingkungan (hutan) serta klaim sebagai kawasan hutan lindung. Diperkirakan, ada sekitar 517 hektar lahan yang terbakar. Akibatnya, negara ditaksir mengalami kerugian sekitar Rp 7,5 miliar. Karena alasan itu pula, Selasa dua pekan lalu, media ini menelusuri langsung areal dimaksud. Hasilnya, ditemukan sejumlah titik api. Telah terjadi kebakaran di areal PT. SPS-II pada tanggal 19-21 Maret 2012, begitu sepenggal laporan yang ditulis Direktur Pasca Panen dan Pembinaan Usaha, Dr. Ir. Hendradjat Natawadjaja, dalam surat yang ditujukan kepada Direktur Pembangunan Ekonomi dan Lingkungan Hidup-Direktorat Jenderal Multilateral Kementerian Luar Negeri RI, 24 Juli lalu. Dari salinan surat yang diperoleh media ini mengungkapkan. Laporan tadi disampai-

kan Kepala Kebun PT. Surya Panen Subur (SPS-II) kepada Kementerian Pertanian-Direktorat Jenderal Perkebunan, 24 Juli 2012. Isianya, ada terjadi kebakaran hutan gambut Rawa Tripa, 19-21 Maret 2012. Begitupun, laporan sepihak dari PT SPS-II ini tak menyebutkan secara pasti, siapa pelaku pembakaran. Namun, ada dugaan, praktik tak sehat ini dilakukan PT Kallista Alam. Merasa ditohok sepihak, PT. Kallista Alam (PT. KA) kemudian membuat laporan serupa kepada Kementerian Pertanian Direktorat Jenderal Perkebunan, 23 Maret 2012 lalu. Isinya, juga melaporkan telah terjadi kebakaran seluas lima hektar di Jalur Blok A-2. Penyebabnya, karena percikan api yang diduga berasal dari PT. SPS-II dan lahan masyarakat setempat. Saling tuding, itulah yang kini mengemuka. Itu sebabnya, media ini memantau langsung ke lokasi, Selasa dua pekan lalu. Hasilnya, memang ada bekas

kebakaran. Buktinya, beberapa pohon ukuran besar yang masih menyimpan api alias terbakar di sana. Lokasinya, persis di tower pemantau api milik PT. KA di Jalur Blok A-2, yang berbatasan dengan lahan masyarakat dan lahan PT. SPS-II. Entah karena alasan kebakaran itulah, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh TM Zulfikar mengklaim. Populasi orang utan Sumatara (Pongo Abelii) di kawasan Rawa Tripa Naga Raya, setiap tahun jumlahnya menurun. Bayangkan, kini tinggal 280 ekor dari 6.000 ekor data tahun 1999, sebut Zulfikar. Zulfikar menduga, salah satu penyebab orang utan punah, karena pembakaran hutan dan pembukaan lahan. Namun, saat tim Direktorat Jenderal Perkebunan turun ke lokasi, mereka mengaku tidak menemukan adanya populasi orang utan di areal PT. KA. Ironisnya, Gubernur Aceh dr. Zaini Abdullah, 27 September 2012, mencabut surat izin Usaha Perkebunan Budidaya (IUPB) PT. Kallista Alam seluas 1.605 hektar. Surat Keputusan (SK) pencabutan produk Pemerintah Aceh itu bernomor: 525/BP2T/ 5078/2012. Kebijakan ini diterbitkan, paska putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) Sumatera Utara (Medan), 30 Agustus 2012 lalu atas gugatan Walhi Aceh. Selain surat PTTUN Medan, doto Zaini Abdullah juga mengaku PT. KA belum membangun plasma. ***

TAK ada yang luar biasa, saat kami menelusuri areal perkebunan sawit milik PT. KA. Selain batas kebun yang dibuat berupa galian parit selebar sekitar dua meter. Kecuali itu, masih terlihat adanya tumpukkan kayu setinggi sekitar dua metermemanjang. Kayu yang sudah membusuk itu ditimbun PT. KA di atas lahan sawit seluas 120 hektar dari 1. 605 hektar yang telah dikeluarkan izin Usaha Perkebunan Budidaya (IUP-B) oleh pemerintah pusat tahun 1996 silam dan diperpanjang kembali tanggal 25 Agustus 2011 oleh Irwandi Yusuf, saat menjabat sebagai Gubernur Aceh. Celakanya, di antara tumpukkan kayu (stecking) milik PT. KA tadi, sudah ada tanaman kelapa sawit. Satu milik PT KA, sisanya milik masyarakat. Diduga, ada masyarakat yang menanam kelapa sawit di Alue Raya, Kuala Seumanyam dan Alue Kuyun serta Pulo Kruet, Darul Makmur, Kabupaten Nagan Raya. Padahal, jarak kedua tanaman kelapa sawit tadi hanya sekitar 1,5 meter. Yang satu milik masyarakat dan satu lagi milik kami, jelas Sujandra, Estate Manager PT. Kalista Alam saat dikonfirmasi media ini di Kantor PT.Kallista Alam, Desa Suak Bahong,Darul Makmur, Nagan Raya, Selasa siang dua pekan lalu. Yang tak kalah menarik,

20

EDISI 15 - 21 OKTOBER 2012

Reportase
kerjasama itu adalah penangganan hukum di hutan gambut Tripa, Nagan Raya. Kuasa hukum Walhi Aceh, Kamaruddin usai persidangan gugatan Walhi Aceh terhadap Gubernur Aceh (saat dijabat Irwandi Yusuf) mengakui hal itu. Katanya, Izin Usaha Perkebunan Budidaya (IUP-B) kepada PT Kallista Alam seluas 1.605 hektar melalui surat nomor: 525/ BP2T/5322/2011, 25 Agustus 2011, melanggar hukum. Makanya, mereka mengajukan gugatan ke PTUN Banda Aceh. Hasilnya, Ketua Majelis Hakim PTUN Banda Aceh Darmawi dalam amar putusannya menolak gugatan yang diajukan Walhi Aceh.Kita akan banding. Putusan hari ini menyebabkan kerugian di kalangan masyarakat, bukan hanya Aceh, tapi juga untuk seluruh masyarakat Indonesia. Sebab, kita akan kehilangan dana kompensasi REDD dari Pemerintah Norwegia sebesar USD 1 miliar, tegas Kamaruddin saat itu. Anehnya, terkait kisruh Rawa Tripa, Norwagia sebagai negara pemasok terbesar minyak sawit dari Indonesia dan Malaysia, justeru diam. Bahkan, negara ini diduga memiliki perusahan sawit di Kalimantan dan Papua. Di sisi lain, masyarakat dunia justeru memprotes Norwegia karena dianggap tidak menjalankan komitmen melalui program REDD. Dalihnya, hutan di Indonesia rusak. Padahal, Indonesia merupakan negara pemasok terbesar minyak sawit ke Norwegia. Bermain dua kaki? Entahlah, yang pasti Rawa Tripa masih menebar hawa tak sedap, sekaligus pesona bagi pengusaha perkebunan di Indonesia dan Aceh.***

penanaman kelapa sawit warga tadi bukan tanpa sebab. Diduga, Dinas Perkebunan Nagan Raya telah mengeluarkan izin faunaflora kepada 82 kepala keluarga (KK) atau persetujuan bupati setempat. Setiap KK mendapat lahan dua hektar. Ini berarti, total seluruhnya 164 hektar. Padahal, di areal yang sama, Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Aceh Barat, telah megeluarkan izin lokasi kepada PT. KA. Izin ini dikeluarkan melalui surat nomor: 404-21-5/SK/II/ 57/1996.Di lahan PT. KA yang sudah digarap masyarakat juga telah diberi izin fauna-frora oleh Dinas Perkebunan Nagan Raya untuk 82 KK dan satu KK mendapat dua hektar, ungkap Sujandra. Yang jadi soal adalah, benarkah di areal tersebut ada lahan gambut sedalam tiga meter? Amatan MODUS ACEH di lokasi, tidak ditemukan adanya lahan gambut setinggi tiga meter di areal Rawa Tripa. Kalau pun ada, hanya memiliki kedalaman setara parit atau sekitar dua sampai 2,5 meter. Tak hanya itu, sinyalemen tentang keberadaan Pos Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang diklaim sebagai pos keamanan milik PT KA, ternyata juga keliru. Sebab, menurut masyarakat setempat, pos itu ada justeru karena Desa Seumanyam, Darul Makmur, Nagan Raya dulunya menjadi salah satu markas kombatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Itu sebabnya, saat awal paska perjanjian damai antara Pemerintah Republik Indonesia dengan GAM, TNI berada di sana dan melakukan pembinaan kepada warga setempat. Sebaliknya, saat ini memang ada sejumlah anggota polisi yang menjadi tenaga keaman-

Kelapa sawit milik PT. KA (kiri) di areal 120 H. an di perkebunan tersebut.Tentu bisa dimaklumi, saat konflik lalu hampir seluruh daerah di Aceh ada ditempatkan pos TNI. Pos itu ada semasa konflik, sekarang pos dimaksud sudah dialihkan menjadi gedung sekolah untuk anak-anak desa setempat, termasuk anak-anak pekerja di PT. KA, jelas Sujandra, Estate Manager PT. Kalista Alam. Selain tak ada rawa dan pos TNI, izin IUP-B 1996 kepada PT. KA yang dikeluarkan pemerintah setempat, arealnya juga berada di kawasan Areal Penggunaan Lain (APL). Kemudian kawasan budidaya non kehutanan di Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) dapat dikonversikan untuk tanaman perkebunan. Nah, Surat Kementerian Pertanian-Direktorat Jenderal Perkebunan RI serta Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 190/ Kpts-II/2001, tanggal 29 Juni 2001, tentang pengesahan batas Kawasan Ekosisten Leuser (KEL) di Aceh seluas 2. 257. 577 hektar menyebutkan, ada sekitar 102.470 hektar di Suaka Margasatwa Rawa Singkil. Kecuali itu ada sekitar 602.582 hektar di Taman Nasional Gunung Leuser, serta 29.090 hektar di Taman Buru (Lingga Isaq). Termasuk Hutan Lindung, 941.713 hektar, Hutan Produksi Terbatas dan 8.066 hektar Hutan Produksi Tetap seluas 245.676 hektar. Bisa jadi,karena bersentuhan dengan isu KEL, kasus Rawa Tripa tak hanya menyedot perhatian Gubernur Aceh dr. Zaini Abdullah dan media lokal, tapi sudah kadung menjadi perhatian media dunia. Sebut saja KBRI Camberra, KJRI Sydney, KJRI Vancouver, dan KJRI New York. Beberapa media luar

MODUS ACEH /Masrizal

negeri itu sempat melayangkan surat konfirmasi kepada Direktorat Jenderal Multilateral Kementerian Luar Negeri RI, 16 April 2012 lalu. *** ISU punahnya orang utan dan rusaknya lingkungan tentu membuat dunia internasional meradang. Sebab, Pemerintah Indonesia rupanya pernah membuat kesepakatan kerja sama dengan Norwagia. Itu terjadi sejak tahun 2010 sampai 2013 mendatang. Nilai kontrak yang disepakati antara dua negara ini sebesar USD 1 atau sama dengan Rp 9 triliun lebih. Nah, dari hasil riset media ini menunjukkan, kerjasama dimaksud dalam bentuk program Unit Nation Reducing Emissions From Deforestation And Forest Degradation (UN-REDD). Karena itulah, ada dugaan salah satu proyek yang dianggarkan dari

Estate Manager PT. Kallista Alam, Sujandra

state Manager PT. Kalista Alam Sujandra berulang-ulang mengatakan: Kami ingin keadilan! Alasannya, tuduhan yang selama ini dialamatkan kepada PT. Kallista Alam (PT. KA) tak sesuai fakta. Misal, soal kerusakan lingkungan dan kasus pembakaran hutan. Kejadian itu menurut Sujandra tidak terjadi dan dilakukan PT. KA. Sebab, metode pembersihan lahan PT. KA menggunakan cara stecking ( kayu ditimbun-dilumpukkanred). Karena itu, Sujandra mengaku akan mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA), terkait kasus hukum yang kini menimpa perusahaan itu. Termasuk, kebijakan pencabutan izin yang dilakukan Gubernur Aceh, dr. Zaini Abdullah. Kalau pun izin dicabut, ucap Sujandra, Pemerintah Aceh harus membayar atau memberi konpensasi atas usaha mereka selama ini. Nah, apa saja pengakuan Sujandra? Berikut penuturannya kepada MODUS ACEH di ruang kerjanya di Nagan Raya, Selasa dua pekan lalu.

Kami Ingin Keadilan! E

Bisa Anda jelaskan proses izin HGU yang pertama dan izin HGU yang diperpanjang? PT. Kallista Alam itu ada dua HGU. Pertama HGU lama sebelum tahun 1996 sudah keluar, tepatnya 1993. Itu seluas 6.700 ha. Pada saat kita mengadakan perluasan awalnya, 1. 984 ha tahun 1996. Jadi setelah adanya izin, yang dikeluarkan Bupati Nagan Raya, Teuku Zulkarnain, terjadi stagnasi saat konflik sekitar lima tahun. Namun, pada saat izin tadi mau berakhir, kami mau memperpanjang kembali pada Februari atau Maret 2011. Saat itu, Bupati Nagan Raya, Teuku Zulkarnain tidak mengeluarkan perpanjangan perluasan lahan. Setelah tidak mendapat izin dari Bupati Nagan Raya, apa langkah PT. Kallitsa Alam? Kami naik ke tingkat satu yaitu Gubernur Aceh saat itu Irwandi Yusuf. Dengan adanya gelar perkara, makanya keluarlah izin IUP-B baru seluas 1.605 ha. Dengan syaratnya, kami wajib membuatkan plasma untuk masyarakat atau sekitar 30 persen dari total luas areal yang ada. Semula izin seluas 1.984 ha kemudian menjadi 1.605 ha.

Dari 30 persen plasmanya, berapa luas plasma untuk masyarakat? Ya sekitar 350 ha lebih.Karena di IUP-B sendiri sudah dibuatkan ketentuannya membangun kebun plasma masyarakat seluas 30 persen dari total awal izin pertama seluas 1.984 ha. Keluarlah izin IUP-B tadi 1.605 ha dengan syarat 30 persen dikeluarkan untuk plasma masya-rakat. Jadi sekitar 300 ha itulah diperuntukkan untuk kebun plasma. Apakah PT. Kallista Alam belum melaksanakan plasma tersebut? Karena izin kami dipersoalkan dengan alasan izin IUP-B belum keluar, tapi kami sudah kerja. Itu yang dipermasalahkan. Sehingga ada surat dari pemerintah untuk menunda kegiatan dulu. Berhentikan kegiatan kami pada April 2011. Jadi semua kegiatan dihentikan sampai menuju proses pengadilan. Nah, selama proses itu kami nggak ada kegiatan di sana, sampai saat ini. Jadi, bagaimana kami membuat plasma, kemudian pemerintah juga belum menunjukkan bank mana yang bisa berkerja sama soal plasma tadi. Berarti PT. Kallista Alam belum memban-

Reportase
gun plasma? Ya, karena izin kita distop. Kedua, pemerintah juga belum menunjukkan bank mana yang bisa diambil kredit, karena selain izin kami distop, pemerintah juga belum menunjukkan bank untuk kredit plasma 30 persen tadi. Dari 1.605 ha yang sudah diberi izin, berapa luas lahan yang sudah dibuka? Dari 1.600 itu, sekitar 120 ha yang sudah kami tanam. Karena ditengah jalan tadi bermaslaah ya kita stop. Karena bibit kami sudah tumbuh besar dan areal sudah terbuka, makanya kami tanam sekitar 120 ha tadi. Akibat pencambutan izin oleh Pemerintah Aceh, berapa kerugian PT. Kallista Alam? Belum kami hitungkan berapa.Tapi pastinya kalau plafonnya per hektar dari tebang sampai panen Rp 60 juta per hektar.Tapi sebelumnya kami juga sudah buatkan kanal, bloking. Kalau secara rinci belum kita hitungkanlah berapa pastinya. Gambaran umum kerugian PT. Kallista Alam? Kalau yang sudah terbuka 120 ha dan dalam satu hektar Rp 60 juta, maka sekitar Rp 7.2 miliar. Itu yang sudah ditanam saja, belum investasi di jalan, kanal, bloking. Jadi dari 1.600 ha tadi baru kami buka 120 ha atau 7,4 persen. Sedangkan, 1.485 ha yang belum digarap itu masih tegakkan hutan. Tapi sudah kita batasi dengan kanal, dan bloking. Dan itu juga mengunakan biaya. Dapat Anda jelaskan cara PT Kallista Alam membuka lahan sawit? Sejak keluarnya undang-undang tidak boleh bakar, ya kami lakukan dengan cara imas, tumbang dan stecking. Sebelum, kayunya di stecking (dilumpuk) kita manfaatkan kayu bagusnya buat bahan perumahan, titi panen, sehingga berkurang kayunya. Nah, permasalahannya ya itu tadi, lahan kami kena lompatan api. Sebab sebelah lahan kami ada garapan masyarakat juga. Cara masyarakat membuka lahan disitu dengan cara imas, tumbang sudah kering lalu bakar. Tapi kalau perusahan tidak dibakar, di stecking, ya kemungkinan biaya stecking bagi masyrakat itu berat. Sebab satu hektarnya itu sekitar Rp 6 jutaan. Tidak mungkin stecking dipakai alat berat. Kapan areal seluas 120 ha dibuka? Sejak dibuka perluasan izin lokasi, izin prinsip, kemudian yang terakhirnya keluar izin IUP-B, baru kami adakan kegiatan. Bulan Maret 2012 ada surat dari Pemerintah Daerah Kabupaten Nagan Raya untuk menghentikan kegiatan sementara, sampai diproses. Karena kami ada yang menggugat. Nah sebelumnya memang tidak pernah melakukan aktifitas. Kebakaran inikan pada tanggal 23 Maret, tapi api itu sudah besar dan pada 19 Maret 2012, terjadi di sebelah kami. Artinya api itu berasal dari sebelah dan lahan kami terkena juga pada tanggal 23 Maret 2012. Siapa yang membakar? Masyarakat dan PT. SPS II. Apakah Kallista Alam ada meminta ganti rugi terhadap lahan yang terbakar tadi? Karena kami anggap itu tidak terlalu luas hanya sekitar lima hektar, kami menilai nggak apa-apalah. Kami

EDISI 15 - 21 OKTOBER 2012

21

Sujandra melakukan pemadaman dengan menggunakan robin. Baik, sebenarnya persoalan PT Kallista Alam berawal dari mana? Perizinanan. Karena kemungkinan masyarakat menganggap ada hak mereka untuk dibuatkan plasma. Saat izin kami keluar, kami sudah siapkan plasma.Tapi pembuatan plasma itukan tidak segampang hanya bicara. Hai, tolong buatkan plasma untuk masyarakat! Sebab ada keikutsertaan pemerintah daerah di situ. Pemerintah yang memilih bank untuk memberikan kucuran dana. Dan ada anggota dalam masyarakat. Bagaimana dengan tudingan Walhi selama ini?

MODUS ACEH/Masrizal

Pada prinsipnya, untuk syarat mendapatkan izin IUP-B ada dari lingkungan hidup, ada UKL-UKL dan juga tertera bahwasanya di situ kedalamannya tidak lebih dari tiga meter tapi satu sampai 2.5 meter. Makanya izin kami dikeluarkan. Berarti areal PT Kallista Alam bukan hutan lindung? Ya, dari hasil yang dikeluarkan UKLUKL itu berarti kedalaman tidak tiga meter. Hanya 1.5 sampai 2.5 meter. Terkait kisruh itu, apakah pihak KEL atau Walhi ada bertemu lang-

sung dengan PT Kallista? Sejauh ini belum ada.Tapi kalau ditingkat menejemen kami nggak tahu. Namun, pada saat kunjungan dinas-dinas itu memang mereka ikut. Ada kabar perusahan mengambil tanah masyarakat, apa benar? Sebenarnya, yang izin 1.605 ha itu pada saat kami membuka lahan, kami buatkan kanal.Ternyata, masih ada 200 meter lagi tanah kami yang tertuang dalam titik koordinat yang dikeluarkan izin 1. 605 hektar. Tapi, areal 200 meter yang masuk dalam 1.605 hektar tadi, sudah digarap masyarakat. Bukan kami yang mengarap tanah masyarakat. Dalam izin masih ada 200 meter lagi dari batas patokan yang dibuat BPN. Dan itu digarap oleh masyarakat. Walhi Aceh belum pernah bicara dengan perusahaan secara langsung.? Belum ada. Dan mereka hanya menuding kami. Katanya kami mengarap tanah masyarakat. Dimana posisinya? Justeru dari titik koordinat yang digarap masyarakat itu, masuk dalam areal izin milik kami. Tapi memang, saat membuka areal sudah kami bloking dengan kanal. Tapi nyatanya, saat keluar surat itu memang 200 meter lagi masih izin kami. Kenapa izin perluasan tanah tadi dikeluarkan provinsi? Secara historis, izin perluasan kami sejak 1996. Cuma karena terjadi konflik sempat stagnan sebentar. Kemudian, setelah aman dan damai tahun 2005, kami minta izin perpanjangan kepada Pemerintah Daerah secara tertulis, tapi saat itu ditolak oleh Bupati Kabupaten Nagan Raya. Makanya, kami naikkan ketingkat satu, dalam hal ini Pemerintah Aceh. Lalu? Nah, kami juga mendengar dalam izin itu dikeluarkan lagi sertifikat flora. Dan ada juga masyarakat yang mendengar ada program dari Dinas Perkebunan mau tanam di lahan yang sudah kami buka. Jadi ada bukti fisiknya di lapangan, sudah kami tanam, ditanam lagi oleh masyarakat di sebelahnya. Berdampingan pohon sawitnya. Mereka menganggap itu lahan mereka.Tapi, yang mengerjakan itu kami, termasuk meng-stecking. Mungkin atas dasar itulah Bupati Nagan Raya tidak mengeluarkan izin.

Langkah perusahaan? Kami tidak tinggal diam, makanya kami minta kebijakan Pemerintah Aceh dalam hal ini Gubernur Aceh. Sehingga ada gelar perkara semuanya. Ada rekomendasi dari Polda, dan sebagainya, maka terbitlah IUP-B yang dikeluarkan Gubernur Irwandi Yusuf saat itu, Agustus 2011. Dari penelusaran kami di areal kebun ada pohon sawit ganda, kapan masyarakat mulai menanam? Kalau tidak salah sekitar April 2011. Ada sebagian yang kami tolak, sebab mereka masuk melalui pintu gerbang kami. Dan sebagian sempat tertanam di areal kami saat petugas kami lenggah. Setelah keluarnya IUP-B. Apakah Pemkab Nagan Raya ada melakukan protes? Tidak ada. Kami juga telah keluar izin kok.Artinya,tanaman mereka itu diberikan izin di lokasi yang sama, jadinya tumpang tindih. Mungkin disitulah timbul permasalahan. Apa tanggapan Anda terkait pencabutan izin oleh Gubernur Aceh dr. Zaini Abdullah? Kami tetap mencari bantuan hukum. Kami mungkin mengajukan gugatan kasasi ke Makamah Agung (MA) walaupun Biro Hukum Pemerintah Aceh mengatakan itu sudah inkrah, tapi kita mencari keadilan dikasasi MA. Kabarnya, sudah dikeluarkan nomor regestrasi pelaporannya. Kalaupun benar-benar dicabut, kita mohon konpensasi dari Pemerintah Aceh? Apakah ganti rugi atau mencarikan lahan lain. Pokoknya harus ada keadilanlah. Itu saja? Kami mendengar masyara-kat sudah mengumpul KTP.Tujuannya, apabila kami kalah nanti, lahan itu akan dibagi-bagikan ke masyarakat. Pertanyaannya, jika nantinya kami kalah dan lahan itu dikembalikan ke negara, kenapa bisa digarap oleh masyarakat? Apa bedanya digarap oleh perusahaan? Jika itu hutan lindung seperti yang suarakan Walhi Aceh, kenapa juga bisa digarap oleh masyarakat? Ada kabar pihak perusahaan sengaja mendirikan pos TNI dalam kawasan perusahaan? Pos itu ada sejak konflik di Aceh. Semula dekat dengan laut ada satu desa di sana, namanya Seumayam. Desa itu dulunya banyak GAM.Waktu konflik kabarnya desa itu di bom. Lalu masyarakat desa pindah dan mendirikan rumah di dalam kawasan kami. Dan sebagian masyarakat Seumayam tersebut ada yang GAM, maka TNI melakukan pembinaan dan tetap memantau mereka pada awal-awal perdamaian. Setelah itu tidak ada lagi. Jadi pos TNI itu bukan milik perusahaan. Bahkan, pada saat konflik kami berhenti bekerja dikawasan itu. Sehingga banyak hasil panen kami diambil masyarakat dan menjualnya kembali kepada kami. Jadi, itu bukan pos kami. Terakhir bisa Anda sebutkan tenaga kerja yang diambil PT Kallista Alam untuk kegiatan sawit? Umumnya putra daerah setempat. Hampir 95 persen. Paling yang pendatang itu hanya tenaga skil sekitar 5 persen. Tapi, jika putra daerah sini mampu, tidak perlu orang luar.Yang perlu diketahui pemilik perusahaan juga putra asli Nagan Raya.***

22

EDISI 15 - 21 OKTOBER 2012

Reportase
yang dituju. Dari pengakuan kelima mereka diperoleh informasi. Di Desa Sumber Bakti Nagan Raya ada sumber gas terbesar di Indonesia. Diperkirakan, jika potensi alam ini sahih maka bisa dieksplorasi sekitar 50 tahun lamanya. Dugaan ini semakin sahih, sebab pada 2007 lalu, perusahaan PT. Gelora Sawit Makmur (GSM) pernah melakukan pengeboran di daerah tersebut. Tujuannya saat itu hanya untuk mencari air bersih. Tanpa di duga, yang keluar justeru gasmenyembur ke atas hingga ketinggian 12 mater. Akibat pengeboran itu pula, diduga ikut membakar areal di sana, termasuk pohon sawit milik PT. GSM terkena semburan minyak. Dari peta yang kami peroleh, dugaan kandungan minyak dan gas tadi letaknya di laut, persis perbatasan Samudra India dengan laut Nagan Raya. Kemudian, di lokasi yang sama juga ditemukan situs sejarah yaitu, satu pucuk mariam peninggalan Belanda dan makam keramat Tengku Nyakdum atau warga di sana menyebutnya daerah Ujung Raja. Nah, atas berbagai dugaan potensi alam itulah, kisruh soal izin lahan di Rawa Tripa kian mengundang tanda tanya. Salah satunya mengenai kerusakan lingkungan, status lahan serta pencemaran lingkungan seperti pembakaran hutan. Begitupun, setelah kami menelusuri kawasan tersebut, ada dugaan. Konflik lahan dengan berbagai dalih tadi, lebih dipicu dan pacu oleh persoalan perebutan lahan antar pengusaha perkebunan. Ini disebabkan, selain ingin menguasai kawasan Rawa Tripa. Daerah itu juga memiliki potensi gas dan minyak. Untuk memuluskan berbagai rencana tadi, ada sejumlah peru-sahaan yang menjadikan warga setempat sebagai tameng untuk saling menghantam perusahaan lain. Caranya, dengan menge-depankan isu plasma. Padahal, hingga kini Pemerintah Pusat dan Pemerintah Aceh belum menunjukkan bank garansi ma-na yang harus dijadikan mitra. Sekali lagi, benarkah sumber masalah di Rawa Tripa semata-mata karena penguasaan lahan dan tudingan kerusakan lingkungan? Jangan-jangan, ada pihak ketiga yang memang sudah bernafsu untuk menguasai lahan, melirik potensi minyak di Negeri Ujung Raja? Kita lihat saja.***

LAHAN DIMINTA MINYAK DILIRIK?


Jaraknya sekitar 60 kilometer dari Jalan Nasional Meulaboh-Tapaktuan. Diduga, Kawasan Rawa Tripa mengandung potensi minyak dan gas alam. Benarkah banyak pihak berkepentingan?

IST

EBUT saja Somad (samaranred). Dia salah seorang warga Alue Bilie, Kecamatan Darul Makmur Kabupaten Nagan Raya. Nah, Maret 2010, dia ikut menemani Khomar, Rad, Raju, Khalil dan Surya, turis asal India untuk menelusuri kawasan Rawa Tripa.

Kelima warga asal negeri Amithabacan ini, mengajak Somad dan tiga warga Alue Bilie untuk mendampingi mereka ke Desa Sumber Bakti, Darul Makmur, Nagan Raya. Sebelum berangkat ke tujuan dengan menggunakan sampan, warga dan turis asal India tadi menggambar peta serta lokasi

Meriam di Sumber Bakti Nagan Raya.

IST

Haba Ulee Kareng


sudah ke Jakarta), kata seorang pria tinggi besar dengan pakaian seragam warna gelap. Saya ingat, saat konflik dulu, penampilan seperti ini sering digunakan petugas intel. Selebihnya, ya para penjaga cafe di Jakarta atau Satuan Pengamanan (Satpam) hotel berbintang. Begitupun, stel para apet ini tentu berbeda. Mereka menjaga dan mengawasi setiap tamu yang datang, menemui orang nomor satu dan dua Aceh. Entah benar atau tidak, Doto Zaini dan Mualem sedang berada di Jawakarta, eeh Jakarta. Bagi saya itu tak penting.Yang mengelitik justeru cara tatap para apet terhadap gerak dan langkah saya di lantai satu dan dua, Kantor Gubernur Aceh, Banda Aceh, saat itu. Sorot mata mereka tajam dan penuh curiga. Ho neujak Bang, pu haba lawet nyoe? (mau kemana Bang, apa kabar), tegur salah seorang dari mereka. Rupanya, masih ada yang kenal saya. Kepada Si Fulan, sebut saja begitu, saya menyatakan keinginan untuk melakukan wawancara khusus dengan Doto dan Mualem. Lagi-lagi, jawaban yang saya dapat sama. Jinoe agak payah Aduen. Pu lom ji peugah le awak nyan droneh kon awak kamoe (sekarang agak susah Bang. Apalagi kata mereka Anda bukan orang kami), jelas rekan tadi, sambil menunjuk salah seorang rekannya. Nah, dari rekan ini pula saya dapat memahami tentang kondisi yang sebenarnya. Menurut mantan kombatan GAM Wilayah Pase itu. Tak semua wartawan bisa dengan mudah menemui Doto dan Mualem. Kecuali wartawan dari salah satu media cetak lokal. Itu terjadi, sejak duet ZIKIR dilantik sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh Periode 2012-2017. Yang tak kalah seru, sempat beredar kabar soal daftar wartawan Aceh yang bisa merapat dan tidak kepada ZIKIR. Seorang rekan wartawan berkata, saat ini ada tiga kualifikasi wartawan di Banda Aceh menurut apet atau naleung lakoe (ilalang meminjam istilah Otto Syamsuddin Ishakred) yang ada di sekitar ZIKIR. Pertama, wartawan pendukung ZIKIR. Kedua, wartawan pendukung Muhammad Nazar (mantan Wagub) dan ketiga wartawan Irwandi Yusuf, mantan Gubernur Aceh. Sekali lagi, entah benar atau tidak, menurut rekan wartawan tadi, nama saya dimasukkan dalam daftar wartawan pendukung Irwandi Yusuf. Karena saya bukan Awak Kamoe? *** JELANG dua bulan pelaksanaan Pekan Olahraga Nasional (PON) XVIII, Riau, 9-20 September 2012 lalu. Beberapa politisi

EDISI 15 - 21 OKTOBER 2012

23

AWAK KAMOE
Muhammad Saleh Begitupun, dua makna kata tadi, sering digunakan kombatan dan pimpinan GAM untuk menjustifikasi keberpihakan secara bersamaan. Intinya, tergantung situasi dan kondisi. Ada kalanya, Awak Tanyoe, di sisi lain Awak Kamoe. Sekali lagi, keduanya memiliki makna ganda. Yang jadi soal adalah, siapa sesungguhnya Awak Kamoe dan Awak Tanyoe? Pertanyaan ini sempat saya sampaikan kepada seorang rekan mantan kombantan GAM di Pase, yang komplain saat saya mencalonkan diri sebagai Walikota Lhokseumawe dari jalur independen pada Pemilukada, 9 April 2012 lalu. Jawaban yang saya peroleh tetap sama. Bermakna ganda. Karena alasan itu pula, mobil saya dilempar batu dan tim sukses diteror. Dronneh kon le Awak Kamoe (Anda bukan lagi orang kami), kata dia beralasan ketika itu. Tak hanya itu, dengan lantang rekan tadi mengatakan. Apa yang didapat rakyat Aceh hari ini (partai lokal, calon independen serta triliunan dana Otsus Migas), merupakan buah dari perjuangan Awak Kamoe (baca: GAM), bukan Awak Tanyoe (perjuangan bersama rakyat Aceh). Karena itulah, Awak Kamoe merasa paling berhak untuk mengatur Aceh dengan segala kelebihan dan kekurangannya serta mendapatkan kesempatan yang selebar-lebarnya dari sumber daya alam dan akses ekonomi yang ada saat ini. Di luar itu, tunggu dulu! Mungkin, bagi sebagian politisi haus kursi dan birokrat rakus jabatan, lebel tadi benar.Termasuk para pengusaha tamak proyek. Tapi bagi saya tidak! Sebab, apa yang didapatkan Aceh hari ini merupakan buah dari perjuangan Awak Tanyoe (bersama, baik GAM maupun elemen masyarakat sipil Aceh dan wartawan). Bukan sebaliknya mutlak milik Awak Kamoe atau kelompok tertentu. Nah, kalau pun ada pemaksaan stigma tadi dan harus diakui secara massif, politis dan ideologis, maka saya balik bertanya. Jika, kondisi Aceh yang aman dan damai saat ini merupakan buah dari perjuangan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) sejak 1976, namun tahukah kita, GAM itu lahir karena Hasan Tiro? Lalu, Hasan Tiro itu muncul, karena peran Abu Beureueh. Dan, Hasan Tiro merupakan murid kesayangan dan kepercayaan Abu?. Seterusnya, ketokohan Abu Beureueh lahir karena adanya pemberontakan DI/TII, 1953. Lantas, DI/TII itu tumbuh, karena adanya pengkhianatan Jakarta terhadap Aceh dan beberapa daerah lain di Indonesia. Semoga sejarah tidak terulang.***

DENGAN penuh sadar, Kamis pekan lalu, saya melangkahkan kaki, menuju Kantor Gubernur Aceh di Jalan T. Nyak Arief, Banda Aceh. Sasaran yang saya tuju adalah, ruang kerja Gubernur Aceh, Doto Zaini Abdullah dan Wakil Gubernur Aceh, Muzakir Manaf atau akrab disapa Mualem.

ni saya lakukan, setelah permohonan wawancara khusus melalui Kepala Bagian Humas Pemerintah Aceh, Usamah El Madny gagal terlaksana alias tak ada kabar serta berita hingga media ini naik cetak, Sabtu pekan lalu. Bisa jadi, inilah kebiasaan buruk saya, bila ingin melakukan wawancara khusus dengan Gubernur atau Wakil Gubernur Aceh. Langsung menuju ruang kerja tanpa ada Assalamualaikum kepada Kepala Humas Setdaprov Aceh. Bagitupun, kalau boleh saya membela diri. Kebiasaan buruk ini sudah saya lakoni sejak Pemerintah Aceh dipegang Syamsuddin Mahmud hingga Irwandi Yusuf. Kemudahan ini pula yang saya atau juga wartawan lain dapatkan. Bahkan, tak jarang, orang nomor satu Aceh, memanggil wartawan untuk memberi keterangan pers di ruang kerjanya. Oh jinoe beda. Dronneh kon awak kamoe (Oh sekarang beda. Anda bukan orang kami), kata seorang pengawal atau akrab disebut apet. Nasib memang sedang tidak beruntung. Keinginan melakukan wawancara khusus, terkait Laporan Utama: SERATUS HARI PEMERINTAHAN ZIKIR, apa daya tak juga sampai. Kedua pejabat Aceh ini tidak berada di tempat. Doto Zaini ngon Mualem ka u Jakarta (dokter Zaini dan Muzakir Manaf

dan pimpinan Partai Aceh (PA) menggagas konsep untuk menarik pelaksanaan pesta olahraga empat tahunan tersebut ke Aceh. Persisnya, PON XX-2020. Nah, untuk memuluskan niat tersebut, dibentuklah TIM TUJUH. Disebut TIM TUJUH, karena personilnya berjumlah tujuh orang. Dan, saya salah satunya. Agar kerja tim ini legal dan formal. Dibutuhkan Surat Perintah dari Gubernur Aceh, Doto Zaini Abdullah. Selanjutnya, tim bertugas menyusun draf awal dan lobi ke berbagai pihak. Baik internal KONI, PB/PP Cabang Olahraga tingkat nasional maupun Komisi X DPR-RI, Kemenegpora RI, Menkokesra serta Mendagri RI di Jakarta. Yang menarik, seorang teman dari kalangan Orang Dalam Pendopo (ODP) bercerita. Saat nama saya dimasukkan dalam daftar anggota tim. Salah satu orang dekat Doto Zaini komplain. Muhammad Saleh nyo so? (Muhammad Saleh ini siapa), tanya dia. Lalu, dijawab oleh yang membawa konsep surat perintah tadi:Oh ini, Saleh MODUS. Dia juga Sekretaris Umum KONI Aceh. Jih yang tuleh macam-macam ke awak geutanyo. Jih kon awak tanyoe (Bukankah dia yang selalu menulis macam-macam untuk kita. Dia bukan orang kita), sambung ODP tadi. Dua hari usai Surat Perintah itu ditandatangani dan turun. Berita itu sampai ke telinga saya. Singkat cerita, pokok soal adalah. Karena dronneh kon Awak Kamoe (karena Anda bukan orang kami), ungkap seorang rekan yang juga mantan kombatan GAM, saat minum kopi bersama di Warung Kupi Cut Nun, Banda Aceh. Soal Awak Kamoe (orang kami) dan Awak Tanyo (orang kita) memang bukan cerita baru

di Aceh. Stigma tersebut sudah berlaku sejak Aceh dilanda konflik hingga perdamaian saat ini. Maknanya juga bisa ganda. Ada kalanya Awak Kamoe dan pada titik tertentu Awak Tanyoe.Yang jelas, memberi isyarat keberpihakan. Di awal kepemimpinan Irwandi Yusuf sebagai Gubernur Aceh misalnya, pelebelan seperti ini juga sempat muncul. Setidaknya, saya juga merasakannya. Saya sempat beberapa kali gagal melakukan wawancara khusus dengan Irwandi Yusuf dan sejumlah Panglima Wilayah GAM. Hanya karena saya dinilai bukan Awak Tanyoe (orang kita) atau Awak Kamoe (orang kami). Sebaliknya, ada pula story yang saya peroleh tatkala saya dinilai sebagai Awak Kamoe dan Awak Tanyo. Hana masalah, nyan awak kamoe di Pase. Peu meurompok mantong (ndak masalah, itu orang kami dari Pase, pertemukan saja), begitu perintah seorang kombatan GAM di Pase, saat saya menyampai hasrat untuk bertemu dengan almarhum Ishak Daud. Saat itu, dia baru saja dideportasi dari Malaysia ke Aceh, sekitar tahun 1989 silam. *** Kini, Awak Kamoe dan Awak Tanyoe, tak lagi sekedar kata atau sebutan ringan. Sebaliknya, memiliki makna dalam. Ucapan tersebut, sadar atau tidak telah menjadi simbol, sekaligus identitas pelebelan terhadap seseorang atau komunitas. Saat konflik misalnya, lebel tersebut lebih menjurus untuk menempatkan pihak Jakarta pada sisi luar dari Awak Tanyoe. Sementara di Aceh, pelebelan Awak Kamoe, memberi makna penolakan terhadap pribadi atau kelompok, yang tidak berasal dari Gerakan Aceh Merdeka.

cmyk
facebook.com/modusacehdotcom

twitter.com/modusacehdotcom

You might also like