You are on page 1of 38

SEJARAH PERTUMBUHAN BAHASA MELAYU

T
erbentuknya bahasa Indonesia memiliki sejarah yang sangat panjang;
bahkan lebih panjang dari usia bangsa dan negara Republik Indonesia.
Sejak masa kerajaan Sriwijaya pada masa Melayu kuno sampai
diproklamasikannya bahasa Indonesia sebagai resmi dan nasional negara, bahasa
Melayu masih memperbarui dan menambah kosakata dengan menerima kosakata
bahasa asing dan daerah. Dengan demikian, bahasa Indonesia masih hidup dan
bergerak sampai pada akhirnya menjadi bahasa dunia/internasional.

Awal terbentuknya bahasa Indonesia yang kita kenal sekarang ini adalah kedatangan
para pedagang, misionaris (zending), peneliti penulis dari India, Arab, Belanda,
Portugis, atau etnis lain non-Melayu ke wilayah Nusantara dengan berbagai
keperluan. Di antara mereka ada berniat menjual dan membeli sesuatu untuk dijual di
negara asal mereka, ada pula yang berkepentingan menyebarkan agama, serta ada
pula yang berkait dengan keilmuan, seperti penelitian, pengamatan, dan/ atau
mengadakan riset. Mereka menggunakan bahasa Melayu yang mereka pelajari secara
praktis.

Sebelum masyarakat di Kepulauan Nusantara ini mengenal bahasa Indonesia, mereka


telah mengenal dan menggunakan bahasa Melayu yang pada waktu itu sudah menjadi
lingua-franca. Oleh karena sudah dipergunakan sebagai bahasa pergaulan
perdagangan, dengan sendirinya bahasa Melayu sudah dikenal luas oleh penduduk
dan menyebar ke berbagai pelosok Nusantara. Dengan memerhatikan keadaan seperti
itu, para pedagang, musafir, para peneliti-penulis, dan para misionaris harus
menguasai bahasa Melayu terlebih dulu sebelum mengadakan perjalanan dan
perniagaan ke Nusantara.

10
Harus disadari pula, mereka belajar bahasa Melayu hanya untuk memudahkan usaha-
usaha mereka di tanah Melayu ini. Mereka tidak menyadari bahwa ketika proses
perhubungan interaksi-sosial itu terjadi pertukaran informasi budaya, baik budaya asli
penutur maupun budaya lokal, adat-istiadat, termasuk kosakata yang tidak terdapat
dalam bahasa masing-masing. Salah satu pertukaran informasi ini, adalah terjadinya
akulturasi yang secara tidak langsung berdampak pada penggunaan bahasa.

Bahasa lokal (Melayu) tentunya tidak bisa mewakili semua keinginan, perasaan,
pendapat, karakter budaya penutur yang datang dari luar, dan sebagainya. Sebagai
akibat kekurangan ini, bahasa Melayu dengan serta merta membuka diri untuk
menerima kosakata baru, baik melalui pemungutan/penyerapan, menyerap dengan
mengadakan perubahan, atau menerjemahkan secara kreatif bahasa asing untuk
melengkapi perbendaharaan kosakatanya.

Kelebihan bahasa Melayu adalah salah satu bahasa di muka bumi ini yang sangat
terbuka menerima unsur lokal (daerah yang dimasukinya) dan asing. Keterbukaan ini
tidak saja mampu dan mau menyerap/memungut kosakata bahasa asing, tetapi bahasa
Melayu mampu pula membentuk kosakata baru sebagai dampak pertemuan bahasa
asing dan bahasa asli.

Ini merupakan karakter bahasa Melayu yang memang sejak dulu telah membentuk
diri dalam sejarah yang sangat panjang. Berbagai ahli antropologi budaya dan bahasa
menyatakan bahwa penutur-penutur bahasa Melayu berasal dari golongan
Austronesia yang datang ke Nusantara sejak 2.500 Sebelum Masehi dari daerah
Yunnan dan secara bertahap menduduki wilayah Asia Tenggara. Golongan pertama
ini disebut Melayu-Proto. Kemudian, pada kira-kira tahun 1500 Sebelum Masehi,
datang golongan kedua dari Asia Selatan (India) menduduki daerah pantai dan tanah
lembah di Asia Tenggara yang disebut Melayu-Deutro.

Beberapa sumber menyatakan bahwa penyebutan pertama secara tertulis istilah


Bahasa Melayu sudah dilakukan pada masa sekitar 683-686 M, yaitu angka tahun

11
yang tercantum pada beberapa prasasti berbahasa Melayu Kuno dari Palembang dan
Bangka. Prasasti-prasasti ini ditulis dengan aksara Pallawa atas perintah raja
Sriwijaya, kerajaan maritim yang masyhur pada abad ke-7 sampai ke-12. Wangsa
Syailendra juga meninggalkan beberapa prasasti Melayu Kuno di Jawa Tengah.
Keping Tembaga Laguna yang ditemukan di dekat Manila juga menunjukkan
keterkaitan wilayah itu dengan Sriwijaya.

Bahasa-bahasa yang dibawa moyang dari Yunnan ini kemudian mengalami


percampuran, baik dengan bahasa lokal maupun bahasa ibu kaum pendatang,
sehingga mengalami perubahan dari kosakata dan struktur kalimat, dan
perkembangan yang bersifat majemuk menjadi sistem bahasa Melayu terawal, yaitu
bahasa Melayu kuno. Tulisan yang dipergunakan adalah huruf/aksara Sansekerta-
Jawa Kuno, yaitu tulisan (huruf/aksara) Pallawa.

Bahasa Melayu kuno yang ada di dalam masyarakat itu sendiri terbagi menjadi tiga
tataran atau kelompok utama, yaitu

(1) Melayu tinggi, yaitu bahasa Melayu sebagaimana dipakai dalam kitab sejarah
Melayu, yang dipergunakan oleh kaum bangsawan, para cerdik-cendekia untuk
menuliskan ilmu dan pengetahuannya, yang dipakai oleh para sastrawan untuk
menulis karya sastra, dan orang-orang penting di lingkungan kerajaan yang
berhubungan dengan kekerabatan kebangsawanan. Jadi, bahasa ini bersifat
istanasentris yang biasa ditemukan di dalam karya sastra yang berbentuk
hikayat seperti Hikayat Raja-Raja Pasai, Hikayat Muhammad Ali Hanafiah,
Hikayat Amir Hamzah, Bustanus Salatin, Sulalatus Salatin, Sejarah Melayu,
Hikayat Iskandar Zulkarnain, Hikayat Hang Tuah, dan Tajus Salatin. Bentuk
yang lebih formal, disebut Melayu Tinggi, pada masa lalu digunakan kalangan
keluarga kerajaan di sekitar Sumatera, Malaya, dan Jawa. Bentuk bahasa ini
lebih sulit karena penggunaannya sangat halus, penuh sindiran, dan tidak
seekspresif bahasa Melayu Pasar.

12
(2) Melayu rendah, yaitu bahasa Melayu pasar atau pula bahasa Melayu campuran.
Bahasa Melayu rendah atau pasar ini digunakan oleh hampir seluruh lapisan
masyarakat dan mengabaikan status atau golongan penutur. Bahasa Melayu
rendah atau pasar ini juga dipergunakan oleh para pedagang asing, pelancong,
dan misionaris ketika mereka mendatangi kawasan Nusantara. Perkembangan
perbendaharaan kosakata bahasa Melayu pasar ini sangat pesat sesuai dengan
tingkat kebutuhan penutur bahasa. Para saudagar, peneliti-penulis, misionaris
(zending), dan sebagainya berkecenderungan menggunakan kelas bahasa ini
karena masyarakat tempat mereka belajar menggunakan kelas bahasa ini.

Pemerintah kolonial Belanda yang menganggap kelenturan Melayu Pasar


mengancam keberadaan bahasa dan budaya Melayu Tinggi. Pemerintah
Belanda berusaha meredamnya dengan memromosikan bahasa Melayu Tinggi
dan melarang bahasa Melayu Pasar, di antaranya dengan penerbitan karya
sastra dalam bahasa Melayu Tinggi oleh Balai Pustaka. Dengan demikian,
Penerbit Balai Pustaka perlu mengadakan sensor ketat terhadap karya sastra
yang menggunakan bahasa Melayu. Tetapi bahasa Melayu Pasar sudah terlanjur
diadopsi oleh banyak pedagang yang melewati Indonesia.

(3) Melayu daerah, yaitu bahasa Melayu yang dipengaruhi oleh dialek-dialek
tertentu. Bahasa Melayu yang sudah banyak bercampur dengan bahasa Arab,
Cina, atau dipengaruhi tradisi lokal si penutur. Salah satu contoh yang dapat
dikemukakan di sini adalah bahasa Melayu Minangkabau yang dipergunakan
oleh para sastrawan Angkatan Pujangga Baru (tahun 1930-an). Kelas bahasa ini
tidak berkembang meluas, namun hanya bersifat kedaerahan. Namun demikian,
peran mereka dalam perkembangan bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia
sangatlah besar melalui karya-karya sastra mereka.

Proses terbentuknya bahasa Melayu yang dipergunakan di berbagai daerah di


Nusantara ini sebenarnya sangat panjang dan berbelit-belit. Para ahli bahasa (linguis),
arkeolog, antrolopog, dan kompetensi-kompetensi lain belum memiliki kesepakatan

13
tentang asal-usul bahasa Melayu. Namun demikian, ada pendapat yang bpopular yang
menyatakan bahwa pentutur-pentutur bahasa Melayu berasal daripada golongan
Austronesia yang datang sejak 2.500 Sebelum Masehi dari daerah Yunnan dalam
beberapa bentuk gelombang pergerakan manusia dan menduduki wilayah Asia
Tenggara.

Golongan pertama ini dipanggil Melayu Proto. Kemudian,pada kira-kira tahun 1500
SM, datang golongan kedua dari asia selatan (India) menduduki daerah pantai dan
tanah lembah di Asia Tenggara yang dipanggil Melayu Deutro.

Sebagai gambaran alternatif, berikut disajikan dua diagram rumpun bahasa


Austronesia untuk memberi gambaran tentang persebaran bahasa Austronesia ini.

Diagram Rumpun Bahasa Austronesia

Taiwanik Melayu Polinesia

a. bahasa Atayalik Barat Tengah Timur


b. bahasa Tsouik Bahasa Borneo Bima-Sumba Halmahera Selatan
c. bahasa Paiwanik Philipina Utara Maluku Tengah Papua Barat Laut
d. bahasa Taiwanik Barat Philipina Tengah Maluku Tenggara Oseania
e. bahasa Taiwanik yang Philipina Selatan Timor -Flores
terpengaruh bahasa Tionghoa Mindanao Selatan
Sama-Bajau Mikornesia Polinesia Melanesia
Sulawesi
bahasa Sundik :
bahasa Jawa, bahasa Melayu
(dan bahasa Indonesia),
bahasa Sunda, bahasa Madura,
bahasa Aceh, bahasa Batak dan
bahasa Bali (dengan jumlah penutur terbesar.

Bahasa berdasarkan strukturnya dibagi lagi atas dua bagian, yaitu:

14
(1) Bahasa-bahasa Nusantara Barat: Malagasi, Aceh, Melayu, Jawa, Sunda, Bali,
Dayak, Tagalog, dan Bisaya.
(2) Bahasa-bahasa Nusantara Timur: Sika, Solor, Roti, Kisar, Tetun.

Ada pula ahli bahasa (linguis) yang membuat diagram pohon bahasa-bahasa
Austronesia seperti berikut ini.

Diagram Rumpun Bahasa Austronesia


Austronesia

Nusantara Oceania

Nusantara Barat Nusantara Timur

Malagasi Sika Melanesia Mikronesia Polinesia


Aceh Solor
Melayu Alor
Batak Roti
Jawa dll.
Tagalok
Bisaya
Dst.

Salah satu bukti yang menunjukkan bahwa masih terdapat kekerabatan antara bahasa-
bahasa di kawasan Asia, yakni data berikut. Dokumen berikut di bawah ini adalah daftar
bilangan yang membuktikan bahwa terdapat kemiripan di antara bahasa-bahasa yang
kawasan Asia.

Bahasa 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Proto- *esa/isa *duSa *telu *Sepat * lima *enem *pitu *walu *Siwa *sa-puluq
Austronesia
Paiwan ita dusa celu sepac lima unem Picu alu siva ta-puluq
Tagalog isá dalawá tatló ápat limá ánim Pitó waló siyám sampû
Ma'anyan Isa' rueh telo epat dime enem Pitu Balu' suei sapuluh
Malagasy iráy róa télo éfatra dímy énina Fíto válo sívy fólo
Aceh sa duwa lhee peuet limöng nam Tujôh lapan sikureueng plôh
Toba Batak sada duwa tolu opat lima onom Pitu uwalu sia sampulu
Bali sa dua telu empat lima enem Pitu akutus sia dasa

15
Sasak esa due telu empat lime enem pitu’ balu’ siwa’ sepulu
Jawa Kuna sa rwa telu pat lima nem Pitu walu sanga sapuluh
Jawa Baru siji loro telu papat lima nem Pitu wolu sanga sepuluh
Sunda hiji dua tilu opat lima genep Tujuh dalapan salapan sapuluh
Madura settong dhua tello' empa' léma' ennem pétto' ballu' sanga' sapolo
Melayu satu dua tiga empat lima enam Tujuh delapan sembilan sepuluh
Minangkabau ciék duo tigo ampék limo anam tujuah lapan sambilan sapuluah
Rapanui tahi rua toru ha rima ono Hitu va'u iva 'ahuru
Hawaii `ekahi `elua `ekolu `eha: `elima `eono `ehiku `ewalu `eiwa `umi
Sinama issah duah talluh mpat limah nnom pitu' walu' siam sangpu'

Slametmuljana, seorang linguis Indonesia, di dalam bukunya yang berjudul Asal Bangsa
dan Bahasa Nusantara menunjukkan bahwa bahasa Melayu berasal dari bahasa yang
ada di daerah sekitar Indocina meliputi Campa, Mon-Khmer, Bahnar, Rade, Jarai,
Sedang, Mergui, Khaosan, Shan, dan sejenisnya. Para pakar lainnya mencari asal usul
bahasa Melayu sampai ke Melayu Purba, Proto-Malay, dan Proto-Malayic. Proto-
Malay adalah bahasa Melayu pertama sedangkan Proto-Malayic adalah bahasa
rumpun Melayu pertama. Kupasan tentang bahasa Melayu dan rumpun Melayu
pertama ini dapat ditemukan di dalam buku Rekonstruksi dan Cabang-cabang bahasa
Melayu Induk yang disunting oleh Mohd. Thani Ahmad dan Zaini Mohamed Zain
dari Malaysia.

1.1 BAHASA MELAYU KUNO

Pada abad ke-4 oleh sebab masuknya agama Hindu, bahasa tutur dan tulis pada masa
Melayu kuno mengalami perubahan dan perkembangan. Pada zaman ini prasasti,
kitab suci dan sastra, dan sarana tulis ketika itu ditulisi dengan aksara Palawa,
Prenegari, Melayu Kuno, dan Jawa Kuno. Bahasa tutur yang dipergunakan pun
berlainan dengan masa sebelumnya. Bahasa yang dipakai di Kerajaan Kutai di
Kalimantan Timur, berbeda dengan yang dipakai di Sumatra Barat sebagaimana yang
dipakai pada prasasti Adityawarman di Pagaruyung. Juga berbeda dengan bahasa
yang dipakai Mpu Prapanca dalam kitab Negarakertagama.
16
Kitab Negarakertagama yang ditulis di daun lontar

Bahasa Melayu Kuno memiliki keunikan perkembangan yang luar biasa, yaitu
penyesuaian antara bahasa Melayu terhadap bahasa Sanskerta. Hal ini disebabkan
oleh adanya gelombang besar kedatangan pedagang dan misionaris dari India pada
awal abad ke-4. Para misionaris dan pedagang yang menggunakan bahasa Sansekerta
menyebarkan keyakinan mereka dan mulai memelajari bahasa Melayu untuk menulis
dan mengalihbahasakan kitab-kitab cerita dan keagamaan, di samping untuk tujuan
praktis, yakni berkomunikasi dengan penduduk lokal di samping menyebarkan
keyakinan mereka.

Pada waktu mengadakan komunikasi antara penutur bahasa asli (Melayu kuno)
dengan pendatang terjadilah pertukaran berbagai informasi, baik yang berciri
kebahasaan, politik, budaya, maupun lainnya. Tentu saja, berbagai informasi yang
disampaikan oleh kaum pendatang tidak dapat diterima secara penuh oleh penduduk
lokal. Demikian pula sebaliknya. Di sinilah terjadi proses pengalihan informasi dan
pencampuran, yakni proses pembauran antara bahasa lokal dengan bahasa ibu penutur
yang datang dari luar. Perlu juga diketahui bahwa berdasarkan bentuk (tipologi)
fonologi (sistem bunyi) bahasa–bahasa rumpun Austronesia tergolong sederhana.
Para penutur bahasa ini biasanya tidak menyukai sukukata-sukukata tertutup dan
menghindari gugusan-gugusan konsonan (kluster, misalnya pada Indische Sociaal

Democratische Vereniging), yang terdapat pada bahasa Jerman atau Belanda. Beberapa
bahasa memang memiliki gugusan-gugusan konsonan namun ini merupakan

17
pengaruh dari bahasa-bahasa lain, terutama dari bahasa Arab, bahasa Sansekerta, dan
bahasa Indo-Eropa lainnya. Bahasa Jawa dan bahasa Madura malah ikut meminjam
fonem-fonem dari bahasa Sansekerta.

Penerjemahan atau setidak-tidaknya pengaruh adalah salah satu hal yang paling
mungkin terjadi. Namun, tidak bisa diabaikan bahwa penerjemah dalam proses
penerjemahannya tidak selamanya menguasai seluruh kosakata bahasa lokal
(Melayu). Dengan sedikit mengubah dengan sentuhan artisitik, muncullah kosakata
baru atau di dalam kalimat terjemahan ada usaha menyisipkan kosakata asing milik si
penerjemah. Yang penting, bahasa sebagai alat komunikasi adalah penyampaian
pesan. Jika pesan sudah dapat diterima, maka akan terbukalah berbagai penyampaian
pesan berikutnya.

Keunikan atau kehebatan yang paling menonjol dari bahasa Melayu adalah sifatnya
yang terbuka untuk menerima kosakata bahasa asing. Bahasa Melayu membuka diri
untuk dilengkapi tuturannya dan kosakatanya sehingga dianggap sudah memenuhi
unsur keutuhan pesan. Sedikit demi sedikit bahasa Melayu memungut kosakata lokal
dan asing. Dengan demikian kosakata bahasa Melayu bertambah dan semakin mantab
sebagai alat komunikasi. Jauh sebelum dikenal bahasa Melayu dengan tulisan
Pallawa, di Nusantara ini sudah mengenal beragam aksara. Aksara-aksara yang
dipergunakan di Nusantara merupakan turunan dari Aksara Pallawa yang berasal dari
India bagian selatan. Aksara Pallawa sendiri merupakan turunan dari Aksara Brahmi.
Aksara Brahmi ini adalah cikal-bakal semua aksara di daerah Asia Selatan dan Asia
Tenggara.

Bukti tertua mengenai keberadaan Aksara Nusantara ini berupa tujuh buah yupa
(tiang batu untuk menambatkan tali pengikat sapi) yang bertuliskan prasasti mengenai
upacara waprakeswara yang diadakan oleh Mulawarman, Raja Kutai di daerah
Kalimantan Timur. Tulisan pada yupa-yupa tersebut menggunakan Aksara Pallawa
dan Bahasa Sanskerta. Berdasarkan tinjauan pada bentuk huruf Aksara Pallawa pada

18
yupa, para ahli menyimpulkan bahwa yupa-yupa tersebut dibuat pada sekitar Abad
IV.

Sebagaimana halnya dengan identitas budaya lokal


di Nusantara, maka pada masa kini Aksara
Nusantara merupakan salah satu warisan budaya
yang nyaris punah. Oleh karena itu, beberapa
pemerintah daerah yang merasa tergugah untuk
menjaga kelestarian budaya tersebut membuat
peraturan-peraturan khusus mengenai pelestarian
aksara daerah masing-masing. Latar belakang inilah
yang akhirnya antara lain menjadi dasar munculnya
Aksara Sunda Baku.

Kosakata dan perkembangan bahasa Melayu ini tidak seperti sekarang. Berbeda
dengan zaman sekarang yang sudah bisa mengandalkan teknologi rekaman digital, di
zaman dulu para leluhur kita mengekspresikan keinginan jiwanya dengan berbagai
bentuk dan cara-cara yang masih dianggap tradisional dan primitif atau sekurang-
kurangnya konvensional. Cara-cara tradisional dan primitif untuk mengekspresikan
jiwa itu bisa berbentuk, antara lain

a. Pahatan-pahatan batu, atau logam, biasa disebut prasasti1 atau Yupa2, dan

1
Wikipedia mengartikan Prasasti adalah piagam atau dokumen yang ditulis pada bahan keras dan tahan lama.
Penemuan prasasti pada sejumlah situs arkeologi, menandai akhir zaman prasejarah, yakni babakan dalam
sejarah kuno Indonesia yang masyarakatnya belum mengenal tulisan, menuju zaman sejarah, dimana
masyarakatnya sudah mengenal tulisan. Ilmu yang mempelajari prasasi disebut Epigrafi. Kata prasasti berasal
dari bahasa Sansekerta. Secara leksikal berarti “pujian”. Namun dalam perkembangannya dianggap sebagai
“piagam, maklumat, surat keputusan, undang-undang atau tulisan”. Di kalangan ilmuwan, prasasti disebut
inskripsi, sementara dikalangan orang awam disebut batu bertulis atau batu bersurat.

2
Yupa adalah tiang batu yang dibangun untuk pengikat hewan kurban. Pada Yupa Kutai didapati guratan tuliisan
Palawa dengan memakai bahasa Sansekerta, menjelaskan tentang suatu peristiwa penting yang pernah terjadi.
19
b. Tulisan-tulisan di daun lontar, kulit kayu, kulit hewan, dan/ atau logam, yang
berbentuk kitab keagamaan dan kesusastraan,

Berbagai peristiwa yang berkait dengan kehidupan politik (kebijaksanaan raja),


kebudayaan, pemerintahan, keagamaan, dan kesusastraan biasanya yang menjadi latar
belakang mengapa catatan-catatan itu dibuat. Tidak jarang pula prasasti atau batu
bertulis berisi perintah raja, permintaan pendeta, atau bahkan kutukan terhadap
seseorang atau sekelompok orang yang dianggap berkhianat kepada raja atau
kerajaan.

Hal ini yang membuka kesempatan kepada para pendatang maupun penduduk lokal
memergunakan bahasa Melayu. Bukti bahwa bahasa Melayu sudah menjadi lingua-
franca di zaman Sriwijaya adalah ditemukannya berbagai prasasti. Di antaranya
adalah Prasasti Kota Kapur di Pulau Bangsa dan prasasti Karang Brahi di Kambi
(686 Masehi atau 608 çaka) yang berisi permohonan kepada Yang Mahakuasa untuk
keselamatan kerajaan Sriwijaya, agar menghukum para pengkhianat dan orang-orang
yang memberontak kedaulatan raja. Prasasti ini juga berisi permohonan keselamatan
bagi mereka yang patuh, taat, dan setia kepada raja Sriwijaya.

Nama Sriwijaya sendiri terpahat pada prasasti Kedukan Bukit yang ditemukan M.
Bratenburg, seorang berkebangsaan Belanda, pada 29 November 1920 di Kedukan
Bukit, Sumatera Selatan, di tebing Sungai Tantang. Batu prasasti tersebut berukuran
46 x 80 cm di temukan di Sungai Tatang di Sumatera Selatan yang berangka tahun
683 Masehi atau 605 Saka.

Prasasti-prasasti yang ditemukan itu memuat bahasa dan tulisan Melayu Kuno yang

Ada yang menyebut/menyamakan Yupa dengan Prasasti, ada pula yang menyebut Yupa saja, dan
membedakannya dengan Prasasti. Perbedaan Yupa Kutai dengan Prasasti Tarumanegara dan prasasti dari
kerajaan Hindu-Budha lainnya terletak pada fungsi. Yupa Kutai difungsikan sebagai tiang batu tempat mengikat
hewan kurban. http://www.awidyarso65.files.wordpress.com

20
bercampur dengan bahasa Sansekerta. Ini membuktikan bahwa jauh sebelum
Kerajaan Sriwijaya berdiri, bahasa Melayu kuno sudah menjadi bahasa pergaulan,
perniagaan, alat komunikasi antarsuku bangsa, dan alat penyebaran agama. Memang
tidak dapat dipungkiri bahwa bahasa Melayu memiliki fleksibilitas yang tinggi,
sehingga pemelajar asing dapat dengan mudah memelajari bahasa Melayu.

Bahasa Melayu yang berkembang di zaman kejayaan Kerajaan Sriwijaya mendapat


kehormatan dipergunakan sebagai bahasa resmi kerajaan. Hal ini dimungkinkan
karena letak strategis kerajaan yang berada di Selat Malaka sehingga bahasa Melayu
dipelajari oleh para saudagar yang akan mengadakan perniagaan atau yang lainnya di
Nusantara. Para pedagang yang berdatangan dari barat dan timur serta dari Kepulauan
Nusantara mengadakan transaksi sudah tentu harus dengan menggunakan bahasa
Melayu.

Dengan cepat Kerajaan Sriwijaya menjadi pusat kegiatan hajat manusia, pusat
administrasi kerajaan dan daerah-daerah taklukannya. Guna menambah kejayaan
Kerajaan Sriwijaya, didirikan perguruan tinggi Budha yang mahasiswanya datang
dari berbagai penjuru kawasan yang dikuasainya. Beberapa di antaranya datang dari
kerajaan-kerajaan Champa dan Kamboja. Bahasa pengantar di perguruan tinggi ini
adalah bahasa Melayu Kuno.

Fakta sejarah menyatakan bahwa jauh sebelum bangsa Belanda datang ke wilayah
Nusantara, bahasa Melayu sudah dipergunakan sebagai bahasa penghubung dan
bahasa perniagaan yang penyebarannya telah melewati wilayah Nusantara. Bahkan,
orang-orang Portugis yang hendak berniaga, menekankan pentingnya pengetahuan
bahasa Melayu jika ingin mencapai hasil yang baik dalam perniagaannya. Bahasa
Melayu yang disebutnya sebagai bahasa Latin dari Timur, digunakan untuk
kepentingan praktis, yaitu menyampaikan missi agama, perdagangan dan niaga, dan
pendidikan yang berhubungan dengan itu.

21
Sebelumnya, Valentijn juga mengungkapkan pandangannya yang positif mengenai
bahasa Melayu, "Bahasa itu indah, bagus sekali, merdu bunyinya, dan kaya, yang di
samping bahasa Portugis, merupakan bahasa yang dapat dipakai di seluruh Hindia
sampai ke Parsi, Hindustan, dan negeri Cina."
Begitu pentingnya bahasa Melayu di kawasan ini,
sehingga—seperti tampak dari pernyataan Valentijn
tadi—pujian terhadap bahasa Melayu terkadang
terkesan berlebihan. Meskipun demikian, tentu saja
pandangan orang-orang asing itu didasarkan pada
fakta bahwa dibandingkan dengan bahasa daerah
lain yang tersebar di kepulauan Nusantara ini,
bahasa Melayu justru sudah begitu dikenal luas,
baik oleh penduduk pribumi dari etnis-etnis non-Melayu, maupun orang asing yang
datang ke kepulauan ini. Hal itu, dikatakan pula oleh Gubernur Jenderal J.J.
Rochussen (1845-1851M) setelah ia melakukan perjalanan mengelilingi Pulau Jawa
pada tahun 1850M.

Bahasa Melayu yang akhirnya menjadi bahasa nasional itu tidak bisa dilepaskan dari
peranan para penulis, sejarawan, sastrawan dan kaum cerdik-pandai Melayu yang
telah menulis dan menggunakan bahasa Melayu sebagai media tulisannya. Pada masa
Melayu Klasik; bahkan, Raja Ali Haji (1808-1873 M) telah menulis buku tata bahasa
Melayu, yang berjudul Pedoman Bahasa semasa hidupnya meski buku ini tidak dapat
diselesaikannya. Di samping itu, ia pun menulis kamus Melayu yang diberinya nama
Kitab Pengetahuan Bahasa. Tulisan-tulisan Raja Ali Haji dan semacamnya inilah
yang dijadikan acuan ketika Ophuisjen pertama kali menulis buku Tata Bahasa
Melayu. Penulisan tata bahasa itu menjadi mudah dilakukan karena memiliki standar
penggunaan bahasa yang jelas dan tertulis, tanpa itu bahasa Melayu sampai saat ini
tidaklah akan berarti apa-apa dalam kancah berkebangsaan secara nasional.

22
Bahasa Sansekerta yang dibawa oleh
para misionaris agama Hindu-Budha
juga menyumbangkan banyak
kosakatanya. Kosakata yang bersifat
keagamaan dan/ atau kebudayaan
turut bercampur dalam tuturan
sehari-hari orang-orang yang
menggunakan bahasa Melayu kuno
ini. Kita masih dapat dengan mudah
menjejak kosakata bahasa
Sansekerta dalam bahasa Indonesia
yang dipergunakan oleh masyarakat sekarang. Kata ‘istri’ misalnya berasal dari kata
‘stri’ dalam bahasa Sansekerta. Demikian pula kata ‘grha’ menjadi ‘graha’dan kata
‘bhi’ yang berarti ‘agama’ dalam bahasa Indonesia. Dengan demikian,
perbendaharaan kosakata bahasa Melayu kuno semakin banyak dan semakin
memenuhi syarat sebagai bahasa komunikasi.

Memang, harus dipahami bahwa kosakata bahasa Melayu kuno belum sebanyak dan
sebesar bahasa Indonesia sekarang. Perjalanan panjang bahasa Indonesia yang
dikenal sekarang ini meninggalkan banyak sekali tanda bahwa bahasa Indonesia
banyak sekai memungut bahasa daerah maupun asing. Pemungutan ini tidak dapat
dihindari sebab sebagai alat komunikasi sebuah bahasa harus memiliki kelengkapan
pesan.

Pertemuan antarbudaya, perkawinan antarsuku, mahasiswa-mahasiswa dari suatu


daerah yang menempuh pendidikan di luar daerahnya, merupakan beberapa faktor
dari sekian ribu faktor pembentuk bahasa. Bahasa adalah kendala pertama dan harus
segera diatasi agar tidak muncul persoalan lain.

Penyebutan pertama istilah Bahasa Melayu sudah dilakukan pada masa sekitar 683-
686 M, yakni angka tahun yang tercantum pada beberapa prasasti berbahasa Melayu

23
Kuno dari Palembang dan Bangka. Prasasti-prasasti ini ditulis dengan aksara Pallawa
atas perintah raja Sriwijaya, kerajaan maritim yang berjaya pada abad ke-7 sampai
ke-12. Sriwijaya disebut Sribuza. Mas‘udi, seorang sejarawan Arab klasik menulis
catatan tentang Sriwijaya pada tahun 955 M. Dalam catatan itu, digambarkan
Sriwijaya merupakan sebuah kerajaan besar dengan tentara yang sangat banyak. Hasil
bumi Sriwijaya adalah kapur barus, kayu gaharu, cengkeh, kayu cendana, pala,
kardamunggu, gambir, dan beberapa hasil bumi lainya.

Wangsa Syailendra juga meninggalkan beberapa prasasti Melayu Kuno di Jawa


Tengah. Keping Tembaga Laguna yang ditemukan di dekat Manila juga
menunjukkan keterkaitan wilayah itu dengan Sriwijaya.

Petak letak Kerajaan Sriwijaya

Prasasti-prasasti lain yang bertulis dalam bahasa Melayu Kuno juga terdapat di

1. Jawa Tengah: Prasasti Gandasuli, tahun 832, dan Prasasti Manjucrigrha.

2. Jawa Barat: Bogor, Prasasti Bogor, tahun 942.

24
Kedua prasasti di Pulau Jawa itu memperkuat pula dugaan bahwa bahasa Melayu
Kuno pada ketika itu bukan saja dipakai di Sumatra, melainkan juga sudah
dipergunakan secara efektif di Pulau Jawa.

Penelitian linguistik terhadap sejumlah teks menunjukkan bahwa paling sedikit


terdapat dua dialek bahasa Melayu Kuno yang digunakan pada masa yang
berdekatan.

1.2 BAHASA MELAYU KLASIK

Yang dimaksud dengan bahasa Melayu klasik adalah bahasa Melayu yang digunakan
di masyarakat dan mendapat pengaruh agama serta kesusastraan Hindu-Budha yang
berasal dari India, masuk sekitar abad ke 4 sampai akhir periode kekuasaan Majapahit
abad ke-15 Masehi. Bahasa tutur dan tulis pada periode itu mengalami perubahan dan
perkembangan yang cukup berarti.

Kedatangan para musafir pedagang berkebangsaan Arab ke kota-kota Bandar di


seluruh kawasan Nusantara tidak dapat dipisahkan dari bahasa dan agama Islam,
bahkan bahasa ini sering disebut sebagai bahasa Islam. Di antara aktivitas
perdagangan para musafir pedagang dari Jazirah Arab ini juga menyebarkan agama
Islam ke berbagai penjuru Nusantara yang juga disertai dengan penyebaran bahasa
Arab. Penyebaran agama Islam di kawasan ini telah memengaruhi aspek-aspek
kehidupan masyarakat, kebudayaan, kesenian, serta kesusastraan, termasuk di bidang
bahasa.

Salah satu yang memiliki arti penting bagi perkembangan bahasa Melayu klasik
adalah manuskrip, yaitu tulisan tangan asli para ulama yang berumur minimal 50
tahun dan punya arti penting bagi peradaban, sejarah, kebudayaan, dan ilmu. Di tanah
Melayu ini ada tiga jenis manuskrip Islam. Pertama, manuskrip berbahasa dan tulisan
25
Arab. Kedua, manuskrip Jawi (Pegon), yakni naskah yang ditulis dengan huruf Arab
tapi berbahasa Melayu. Agar sesuai dengan aksen Melayu diberi beberapa tambahan
fonem. Ketiga, manuskrip Pegon yakni, naskah yang ditulis dengan huruf Arab tapi
menggunakan bahasa daerah seperti, bahasa Jawa, Sunda, Bugis, Buton, Banjar, Aceh
dan lainnya.

Karya sastra yang merebak di masa itu sangat dipengaruhi oleh tradisi kesusastraan
Arab-Parsi, yakni tradisi hikayat3 yang berisi nasihat, moral keagamaan, tata cara
pergaulan di dalam masyarakat, juga masalah kepemimpinan. Masyarakat pembelajar
di Indonesia kemungkinan sekali masih mengenal atau sekurang-kurangnya pernah
mendengar judul seperti Hikayat Hang Tuah, Hikayat Raja-Raja Pasai, Hikayat
Raja-Raja Melayu, Hikayat Malin Deman, dan Hikayat Si Miskin.

Berdasarkan topic dan teknis penyajian, cerita klasik yang berbentuk hikayat ini dapat
dikelompokkan menjadi:
(1) Hikayat para nabi. Hikayat ini berisi kisah tentang nabi Adam, Nuh, Ibrahim,
Idris, Yusuf, dan lainnya. Hikayat yang masyhur adalah Hikayat Nabi
Sulaiman, Hikayat Nabi Musa, Hikayat Yusuf dan Zulaikha, Hikayat Nabi
Musa, dan Hikayat Isa Almasih.
(2) Berbagai kisah yang mengisahkan nabi Muhammad saw. Contoh: Hikayat
Kejadian Nur Muhammad, Hikayat Nabi Mikraj, Hikayat Nabi dan Iblis,
Hikayat Nabi dan Orang Miskin, dan Hikayat Nabi Mengajar Ali.
(3) Kisah Sahabat dan Kerabat Nabi. Berbagai hikayat yang mengisahkan
kehidupan para sahabat dan keluarga nabi. Contoh: Hikayat Salman Alfarisi,
Hkayat Hasan dan Husein, serta Hikayat Raja Handak.
(4) Hikayat para wali sufi. Hikayat jenis ini yang dikenal oleh masyarakat
Melayu adalah Hikayat Abdoel Qadir Al-Jaelani
(5) Hikayat pahlawan atau epos. Hikayat yang paling masyhur adalah Hikayat
Iskandar Zulkarnain.
3
Kata prasasti berasal dari bahasa Sansekerta. Secara leksikal berarti “pujian”. Namun dalam
perkembangannya dianggap sebagai “piagam, maklumat, surat keputusan, undang-undang, atau tulisan”.
26
(6) Hikayat para bangsawan. Kita mengenal Hikayat Johar Manik, Hikayat
Sultan Bustaman, dan lain-lain.
(7) Perumpamaan atau Alegori sufi. Biasanya inti kisahnya adalah perjalanan
kerohanian seseorang. Contoh: Hikayat Inderaputra.
(8) Cerita berbingkai. Jenis hikayat ini dapat diwakilkan pada Hikayat Seribu
Satu Malam.
(9) Kisah jenaka. Kisah-kisah ini paling masyhur di Indonesia. Siapa yang tidak
mengenal tokoh Abunawas dan Nasruddin Hoya, yang kemudian diadaptasi
oleh masyarakat Melayu menjadi Hikayat Pak Belalang.
(10) Kisah yang berlatar belakang sejarah (historiografi). Hikayat yang terkenal
dari kisah ini adalah Hikayat Raja-Raja Pasai, Hikayat Raja-Raja Melayu, dan
Hikayat Aceh.

Bentuk karya sastra lain yang juga menyerap bentuk sastra Arab-Parsi, adalah cerita
yang berbentuk dongeng, legenda, mite, dan pantun tersebar dari seluruh kepulauan
di Nusantara ini. Dongeng adalah betuk cerita rekaan, khayalan semata, seperti
Kuncung lan Bawuk (Jawa). Legenda adalah cerita tentang ketokohan seseorang yang
memiliki pengaruh kuat di dalam masyarakat, seperti Calon Arang (Bali). Sedangkan
mite atau mitos adalah ceriat khayal yang bersifat mistik, seperti Ratu Penguasa Laut
Selatan (DIY).

Adapun tradisi penulisan syair, seperti yang kita bisa baca pada teknis penulisan
mushaf Alquran, masuk ke Indonesia juga dibawa oleh para musafir dan pedagang
dari Parsi, Gujarat, dan dari Jazirah Arab. Tradisi syair ini di Indonesia terekam pada
Syair Bibasari dan Syair Burung Balam. Syair berasal dari bahasa Arab yaitu, ‘syi’r’
yang berarti puisi. Syair merupakan serapan dari bahasa Arab yang dipadankan
dengan sejenis puisi lama yang berkembang di Indonesia, yaitu pantun. Syair
merupakan bukti sejarah masuknya kebudayaan Arab ke wilayah Nusantara ini
selama berabad-berabad yang lalu. Para ulama dan sastrawan yang memeluk agama

27
Islam pun telah mengakrabi syair dengan menggunakannya sebagai media. Banyak
jenis syair yang ditulis berbahasa Melayu dan beraksara Arab-Gundul (Pegon).

Pengaruh kesusastraan dari Jazirah Arab ini memiliki pengaruh yang


sangat kuat di masyarakat sastra di Nusantara ini sehingga karya sastra
yang dihasilkan sebelum tahun 1901 didominasi oleh tradisi penulisan
hikayat; bahkan cerita Hikayat Panjatanderan (saduran), Siti Nurbaya
(roman), Sengsara Membawa Nikmat (roman), Azab dan Sengsara (roman),
Si Jamin dan Si Johan (roman anak-anak), Binasa karena Gadis Priangan
(roman), Cerita tentang Busuk dan Wanginya Kota Betawi (roman), Cinta
dan Hawa Nafsu (roman), dan Anak dan Kemenakan (Roman), dan lain-
lain masih sangat kental nuansa hikayat. Baru pada era 1930 -an pengaruh
tradisi kesusastraan Arab ini berangsur-angsur berganti dengan
kemunculan sastra Eropa. Salah satu sastrawan yang terke nal sebagai
penulis syair adalah Hamzah Fansuri kelahiran Aceh. Selain yang
berbentuk hikayat, syair, dongeng, dan mite, dikenal pula bentuk karya
sastra babad yang tidak jauh berbeda dengan hikayat.

Berbagai penelitian menunjukkan bahwa pada tahun 1812 Marsden telah


menyebutkan keberadaan aksara Arab Melayu dalam bukunya A Grammar of the
Malayan Language. Di sisi lain, R.O. Winstedt (1913) juga mengulas tentang sistem
ejaan Arab Melayu dalam bukunya Malay Grammar. Sedangkan di kalangan orang
Melayu, Raja Ali Haji diakui sebagai tokoh yang mula-mula sekali memperkatakan
sistem ejaan Arab Melayu seperti yang tercatat dalam bukunya Bustan al-Katibin,
diteruskan oleh Muhammad Ibrahim (anak Abdullah Munsyi). Sementara itu, tokoh
Melayu pertama yang benar-benar menganalisis sistem ejaan Arab Melayu dari segi
prinsip dan segala permasalahannya adalah Zainal Abidin bin Ahmad (Za’ba) dengan
karyanya Jawi Spelling dan buku Daftar Ejaan Melayu Jawi-Rumi. Tokoh lainnya
adalah Raja Haji Muhammad Tahir bin Al-Marhum Mursyid Riau dalam bukunya
Rencana Melayu.

28
Karya sastra ‘babad’ ini lebih banyak berkembang di tanah Jawa, terutama sekali
karya sastra yang dipergunakan untuk merekam kegiatan pemerintahan kerajaan,
kebudayaan, kesusastraan dan kesenian, dan masalah-masalah sosial. Salah satu kitab
babad adalah Babad Tanah Jawi.

Pada era Melayu Klasik ini banyak sekali naskah yang ditulis dengan huruf Arab
Pegon (Arab gundul= aksara Jawi)4. Tradisi penulisan mantra pun sampai saat ini
masih menggunakan huruf Arab-Pegon (aksara Jawi) meski tidak utuh dan bercampur
dengan tradisi lokal, seperti yang bisa dilihat pada kitab Taj’mur Ada Makna5. Dari
hal ini dapat diambil suatu kesimpulan bahwa pengaruh Islam sedemikian kuat
sehingga bahasa Melayu mengalami banyak perubahan dari segi kosa kata, struktur,
dan tulisan. Ciri-ciri bahasa klasik yang ditemukan di dalam karya sastra, ialah

1. Kalimat-kalimat yang panjang, berulang-ulang, dan berbelit-belit, seperti yang


ditemukan pada roman Siti Nurbaya (1922) dan Azab dan Sengsara (1917).

2. Menggunakan bahasa istana atau bahasa Melayu tinggi yang dipergunakan di


lingkungan istana, kaum bangsawan, dan kaum terpelajar,

3. Menggunakan kosakata/ungkapan klasik yang berbentuk frasa seperti ratna


mutu manikam, edan kasmaran (mabuk asmara), dan yang berbentuk kata
seperti kata sahaya, masyghul (bersedih),

4
Pada awalnya, tulisan Jawi adalah tulisan resmi bagi negara Brunei Darussalam. Baru dalam
perkembangannya, tulisan ini mulai digunakan secara meluas di Malaysia, Filipina, dan Indonesia. Republika-
Minggu, 19 April 2009. Aksara Arab Jawi adalah berasal dari aksara Arab.Jawi adalah kombinasi dari aksara
Arab dan Persia dimana lahir huruf-huruf tambahan seperti : 'pa', 'nga', 'nya', 'cha','ga', dan 'va'. Sumber dari
Wikipedia menyebutkan bahwa Arab Jawi berasal dari literature Arab yang melalui kontak orang Persia dengan
Kesultanan Melayu di Jambi – Palembang melahirkan Arab Jawi.Istilah 'Jawi' amat mungkin berasal dari 'Jawa'.Di
tanah Patani Thailand Selatan (terdiri atas tiga propinsi : Patani, Yala, dan Narathiwat) Arab Jawi disebut sebagai
'Arab Yawi.'

5Para ulama menyepakati bahwa menyimpan, membaca, dan mengamalkan yang diajarkan di dalam kitab ini
sebagai perbuatan syirik. Oleh karena itu, para ulama sepakat untuk mengharamkan kitab ini.
29
4. Banyak menggunakan perkataan seperti sebermula, alkisah, hatta, adapun,
maka, syahdan, kata hikayat, jin, peri, mambang, kata shahibul hikayat,

5. Banyak menggunakan partikel pun dan lah, kah, tah

6. Menggunakan aksara Jawi (huruf Arab-Pegon), yaitu huruf yang dipinjam dari
bahasa Arab yang telah ditambah dengan beberapa huruf tambahan yang tidak
terdapat dalam sistem abjad Arab, seperti c, g, ng, ny.

7. Telah menerima pelbagai jenis kosa kata Arab dan Parsi dalam pelbagai bidang
bahasa seperti dalam bidang ilmu keagamaan, undang-undang, kesusasteraan,
pemerintahan, kesehatan, filsafat, tasawuf dan kata-kata umum, seperti jasmani,
rohani, batil, zalim, dan ruh.

8. Frasa dan kalimat yang terpengaruh bahasa Arab terutama dalam kitab-kitab
klasik Melayu seperti frasa ketahuilah olehmu (dari terjemahan I’lam, maka
kemudian daripada itu (dari Amma ba’du). Frasa dan kalimat ini merupakan
hasil terjemahan harfiah dari teks-teks bahasa Arab.

9. Unsur-unsur filsafat Islam wujud dalam banyak tulisan Melayu seperti dalam
bidang ilmu Kalam, Tasawuf, dan Ilmu Falak. Ini berbeda dengan bahasa
Melayu zaman kuno atau Hindu.

Zaman kegemilangan bahasa Melayu Klasik berlaku setelah pemimpin kerajaan


kerajaan Melayu memeluk Islam dan memelajari bahasa dan huruf Arab dari
pedagang Parsi dan Gujarat yang beragama Islam. Dengan bertemunya dua
kebudayaan ini, bahasa Melayu Klasik banyak menyerap kosakata bahasa Arab dan
Parsi. Pengaruh dari bahasa Arab ini bisa dikatakan merebak pada zaman kerajaan
Melaka, zaman kerajaan Aceh, dan zaman kerajaan Johor-Riau.

30
Masuknya pengaruh Islam ke Nusantara, jauh sebelum
kedatangan bangsa Eropa, menyertakan pula tradisi
penulisan huruf Jawi, Pegon, atau yang lebih umum
dikenal dengan huruf Arab—Melayu. Keberterimaan
masyarakat di beberapa daerah terhadap huruf Arab-
Pegon (aksara Jawi) ini cukup menggembirakan, meski
masyarakat di beberapa daerah sudah menggunakan
huruf daerahnya.

Ketika gelombang orang Eropa datang ke Nusantara sambil memperkenalkan huruf


Latin, huruf-huruf Arab-Pegon (aksara Jawi) itu tidak serta-merta diterima begitu
saja. Bagi orang-orang Eropa, khususnya Belanda, tentu saja penulisan bahasa
Melayu dengan huruf Arab-Pegon (aksara Jawi) merupakan masalah yang pelik.

Huruf Arab tidaklah mudah dipelajari, teknis penulisan, dan kebiasaan menulis dari

Keterangan gambar: Aksara Arab-Pegon

sisi kiri bagi orang Eropa. Pemecahannya ketika orang-orang Eropa ini
berkomunikasi secara tertulis dalam bahasa Melayu dengan penduduk pribumi
terutama golongan bangsawan dan raja-raja, lebih banyak menggunakan huruf Latin,
sebaliknya penduduk pribumi atau bangsawan yang belum dapat mengenal huruf
Latin, masih menggunakan Arab-Melayu.

31
Diperoleh keterangan bahwa sejak abad ke-19 para cendekiawan Riau sudah
menggunakan huruf Arab Melayu untuk kegiatan penulisan mereka. Huruf Arab
Melayu dipakai secara penuh, seperti dalam karya-karya Raja Ali Haji. Naskah-
naskah yang mempergunakan huruf Arab Melayu dan angka-angka Arab (seperti 1, 2,
3, dan seterusnya) antara lain adalah Kanun Kerajaan Riau Lingga, Bustan Al Kati -
bin, serta Salasilah Melayu dan Bugis karya Raja Ali Haji. Begitu juga dengan Syair
Abdul Muluk yang diperkirakan merupakan karya Raja Zaleha dan Raja Ali Haji,
Bughyat al-Ani Fi Huruf Al Maani karya Raja Ali Kelana.

Huruf Arab-Melayu (Pegon)

Aksara atau huruf Arab Jawi atau 'Arab Pegon' atau lebih akrab disebut 'Arab
Gundul' karena tidak memakai harokat6, ternyata tak hanya dikenal di Indonesia,
Malaysia (Trengganu, Kelantan, Kedah dan Perlis) dan Thailand Selatan (Patani,
Yala, Narathiwat), namun dikenal juga di Vietnam. Merujuk buku Malay

32
Manuscripts : An Introduction (Ahmad Zakaria & Abdul Latif, 2008) aksara Arab
Jawi sejatinya lahir dan berkembang di tanah Melayu sejalan dengan perkembangan
Islam di Nusantara. Jejak Islam fase awal di nusantara paling tidak ditemukan di
Kedah (makam Sheikh Abdul Qadir Ibn Husin Shah Alam tahun 903 M/ 290 H),
makam putri Sultan Abdul Majid ibn Mohamad Shah di Brunei (tahun 1048 M/ 440
H) dan makam Fatimah binti Maimun di Gresik Jawa Timur (tahun1082 M/ 475 H).

Pedagang dan musafir dari Jazirah Arab adalah aktor utama pengenalan agama Islam
ke Nusantara. Agama Islam yang bersifat dinamis, terbuka, dan memiliki kesesuian
dengan karakter sukubangsa di Nusantara lantas diterima oleh masyarakat. Tahap
berikutnya, agama Islam dipelajari juga di lingkungan keluarga kerajaan. Kerajaan
yang beragama Islam pertama di Samudra adalah Kerajaan Pasai (Samodera Pasai)
pada abad 12 - 13, disusul Kerajaan Perlak (Peurelak) pada abad ke-14. Setelah kedua
kerajaan tersebut, lahirlah kerajaan Malaka (Melacca) yang disebut-sebut sebagai
kerajaan Islam terkuat di Nusantara saat itu dan memiliki armada laut dan kekuatan
laut yang sangat menakutkan kerajaan-kerajaan lain.

Pada umumnya kesusastraan Melayu klasik menggambarkan corak kehidupan


masyarakat lama, yaitu bersifat istanasentris (cerita yang selalu berhubungan dengan
keluarga istana, misalnya raja, permaisuri, putra/putri raja yang cantik jelita, dan
keturunan dewa), nama pengarang belum disebutkan (anonim), statis karena ceritanya
tidak pernah bergeser dari tema-tema yang kerajaan dan hal-hal yang sudah diketahui
oleh masyarakat umum, serta terikat oleh aturan.

Kesusastraan Melayu (Indonesia) klasik dapat dipilahkan sebagai berikut.

(a) Sastra Purba/Dinamisme


Cerita yang ditemukan pada periode ini pada umumnya berbentuk dongeng,
mantera, dan segala jenisnya yang penuh dengan hal yang bersifat gaib, mistik,
dan cerita tentang dunia roh.

33
(b) Sastra Hinduisme
Cerita pada periode ini sudah terpengaruh oleh agama Hindu dari India,
khususnya tentang dewa-dewa, sehingga terciptalah karya sastra yang
berbentuk epos/wiracarita.

(c) Sastra Islamisme/Zaman Islam


Pengaruh ini datang beserta banyaknya pedagang dari Parsi, Gujarat, dan
jazirah Arab. Sebenarnya agama Islamlah yang didakwahkan kepada penduduk
di pesisiran. Dari sini terjadilah akulturasi kebudayaan sehingga memunculkan
cerita-cerita yang bernafaskan Islam. Bentuk yang dimunculkan antara lain
syair, gurindam, masnai, dan ruba’i.

1.3 BAHASA MELAYU BALAI PUSTAKA

Pengertian atas bahasa Melayu Balai Pustaka adalah bahasa Melayu yang
dipergunakan di badan penerbitan milik Pemerintah Hindia Belanda yang bernama
Balai Pustaka. Pendirian ini berawal dari gagasan Coenraad Theodore van Deventer
tentang Een Eeresschuld atau Utang-Budi yang sempat diperdebatkan oleh kalangan
politik di Belanda. ‘Politik balas budi’ ini akhirnya diusulkan agar kebijaksanaan
kolonial mulai diarahkan pada peningkatan taraf hidup masyarakat di tanah jajahan.
Pada tahun 1901, Ratu Wilhelmina menyampaikan pidato dengan topik Politik Etis.
Inilah salah satu bagian dari pidatonya itu. “Sebagai negara Kristen, Negeri Belanda
wajib memperbaiki kedudukan hukum orang-orang Kristen pribumi di Kepulauan
Hindia, memberikan dukungan kuat pada misi Kristen, dan menanamkan pada
seluruh sistem pemerintahan dengan kesadaran bahwa Negeri Belanda mempunyai
kewajiban moral terhadap penduduk di kawasan ini.”

Sebenarnya banyak hal yang melatarbelakangi Politik Etis tersebut. Kebutuhan


tenaga ahli di bidang ekonomi dan administrasi dari Belanda sangat tidak mungkin
34
dilakukan. Demikian pula untuk mendatangkan ahi-ahli ekonomi dari negeri Cina.
Oleh karena itu, untuk memenuhi kebutuhan akan tenaga administrasi berupah rendah
memaksa Pemerintah Hindia Belanda menyelenggarakan pendidikan rendah di
Nusantara. Salah satu instrument yang diselenggarakan adalah dengan mendirikan
Commissie de lndlandsche School en Volkslectuur (Komisi Bacaan Sekolah Bumi
Putra dan Rakyat). Dari alumni-alumni ini sekurang-kurangnya diperoleh tenaga
administrasi dan perekonomian yang cukup untuk memenuhi kebutuhan Pemerintah
Hindia Belanda. Tentu saja, keuntungan lainnya adalah tenaga-tenaga ini cukup
dibayar dengan upah rendah.

Komisi ini mengatur pendidikan untuk para bumiputera, yang tentunya berasal dari
golongan ningrat dan memiliki kekayaan untuk membiayai keperluan sekolah.
Mereka diajar membaca dan menulis bahasa Belanda, setelah melewati sekolah
rakyat bumiputera (Volksch School, Vervolksch School, dan Schakel School yang
lama pendidikannya 10 tahun) dengan bahasa pengantar bahasa Melayu. Untuk
menembus sekolah Belanda, di samping harus sudah fasih berbahasa Belanda,
tentunya tidak sembarang orang bisa belajar di sekolah-sekolah Belanda. Untuk dapat
sekolah di sini, para anak bumiputera harus mendapat rekomendasi tertentu.

Commissie de lndlandsche School en Volkslectuur ( Komisi Bacaan Sekolah Bumi


Putra dan Rakyat) yang didirikan pada tahun 1896 dan diketuai Ch. van Ophuisjen
yang pada perkembangannya berganti nama menjadi Balai Pustaka memunyai andil
besar dalam perkembangan bahasa Melayu. Dari kasus ini muncullah pemilahan
antara bahasa Melayu tinggi yang digunakan oleh para terpelajar (para priyayi) yang
dipaterikan sebagai bahasa resmi di Balai Pustaka dan bahasa Melayu pasar yang
dipergunakan oleh para pedagang dan buruh kasar.

Pedagang-pedagang dari Cina, Taiwan, Madagaskar, Yunan, dan sebagainya tentu


juga memiliki andil yang tidak kecil bagi perkembangan bahasa Melayu. Hanya,
bahasa Melayu yang berkembang dari kelompok pedagang ini kemudian

35
dikelompokkan ke bahasa Melayu pasar. Beberapa pengamat bahasa menyimpulkan
bahwa bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu pasar ini.

Perkembangan bahasa Melayu semakin menguat karena bahasa yang banyak


digunakan oleh masyarakat di kota-kota pelabuhan. Untuk itu, bahasa Melayu
terpaksa dipergunakan sebagai pengantar, seperti pengakuan orang Belanda,
Danckaerts, pada tahun 1631 M yang mendirikan sekolah di Nusantara terbentur
dengan bahasa pengantar. Oleh karena itu, pemerintah kolonial Belanda
mengeluarkan surat keputusan: K.B. 1871 No. 104 yang menyatakan bahwa
pengajaran di sekolah-sekolah bumiputera diberi dalam bahasa Daerah, kalau tidak,
dipakai bahasa Melayu.

Balai Pustaka, nama lain dari Commissie de lndlandsche School en Volkslectuur


(Komisi Bacaan Sekolah Bumi Putra dan Rakyat), sebagai penerbit roman asli,
saduran, atau terjemahan adalah lembaga yang berperan sekali mengembangkan
bahasa Melayu tinggi. Seluruh karya sastra, baik yang asli, saduran, maupun
terjemahan harus ditulis dan dicetak dalam bahasa Melayu Riau yang dianggap baku
dan standar. Seluruh karya sastra yang ingin dan akan diterbitkan oleh Balai Pustaka
harus memenuhi kriteria ini; bahkan pengarang harus berterima kasih apabila
karangannya disunting oleh para engku yang mengelola Balai Pustaka. 7

Balai Pustaka kepanjangan tangan pemerintah Hindia Belanda yang bertugas


menerbitkan karya sastra (roman, puisi, dan buku-buku nonpolitik) yang ditulis oleh
para sastrawan Melayu setelah melewati sensor ketat. Balai Pustaka juga menyadur
dan menerjemahkan buku-buku roman dan puisi dari Eropa. Namun demikian, masih
ada juga pengarang dan penyair yang mengeluhkan kriteria bahasa yang ditentukan
oleh Balai Pustaka.

7
Hal inilah yang menyebabkan Sutan Takdir Alisyahbana, Armijn Pane, Sanusi Pane, Amir Hamzah,
dan para pengarang seangkatan mereka mendirikan Poedjangga Baroe sebagai tindak protes mereka
atas sensor pihak Balai Pustaka.
36
Lepas dari semua persoalan itu, Balai Pustaka telah sangat berjasa mengantarkan
bahasa Melayu menjadi bahasa pergaulan di kalangan intelektual bumiputera pada
waktu itu. Para kaum terpelajar Bumiputera Jawa tidak mau lagi menggunakan
bahasa Jawa sebagai alat untuk mengemukakan gagasan-gagasan. Mereka juga
beranggapan bahwa bahasa Jawa terlalu feodalistik, tidak lentur, dan penuh dengan
peraturan. Tidak kurang Profesor GWJ Drewes, yang pernah bertugas di Balai
Pustaka, menekankan peran penting Balai Pustaka dalam hubungannya dengan
pembakuan bahasa.

Bahasa Melayu Tinggi sendiri memiliki pengertian bahasa Melayu yang biasa dipakai
oleh kalangan istana. Bahasa Melayu ini digunakan oleh Kesultanan Johor-Riau dan
selanjutnya dikembangkan lagi oleh Kesultanan Lingga-Riau. Hampir bisa dikatakan
bahwa penggunaan bahasa ini terbatas di kalangan mereka dan para sarjana.
Sementara itu bahasa Melayu yang digunakan sehari-hari dalam pergaulan di
masyarakat, dalam berjual-beli dan sebagainya, disebut sebagai bahasa Melayu
Rendah. Penyebutan ini dikarenakan bahasa tersebut tidak tunduk terhadap kaidah-
kaidah bahasa yang baku, seperti yang tertulis dalam kitab-kitab klasik. Namun, di
era-era menjelang abad dua puluh bahasa Melayu Rendah ini banyak ditemukan di
media-media massa yang terbit kala itu

`Pesaing` satu-satunya bahasa Melayu ketika itu ternyata bukan bahasa Jawa, akan
tetapi bahasa kolonial Belanda. Orang Belanda yang tidak terlalu pintar berbicara
dalam bahasa Melayu, sehingga yang mereka pergunakan adalah bahasa Belanda.
Namun demikian, bahasa Melayu sudah dijadikan sebagai bahasa pengantar di
sekolah-sekolah meskipun bahasa Belanda masih diajarkan. Akibatnya, para sarjana
pada waktu itu terbagi ke dalam dua kubu; kubu yang lebih menyukai bahasa Belanda
untuk mengungkapkan gagasan-gagasannya dan kurang begitu tertarik menggunakan
bahasa Melayu sebagai media untuk itu, dan kubu yang lebih berhasrat untuk
memartabatkan bahasa Melayu dengan tetap menggunakannya dalam pertemuan-
pertemuan resmi dsb, di samping mencoba menyesuaikannya dengan perkembangan
wacana mutakhir.
37
Terlepas dari pro dan kontra, Balai Pustaka-lah sebenarnya yang paling berpengaruh
membentuk cita rasa berbahasa Melayu yang `Indonesianis`. Balai Pustaka
memerkerjakan para penulis handal untuk menopang kepentingan-kepentingan
penjajahannya dalam hal tulis-menulis dan mencetak juru tulis berupah rendah.
Mereka inilah yang berperan memajukan bahasa Melayu Riau menjadi sebuah bahasa
Indonesia yang mampu menerima dan menyesuaikan diri dengan perkembangan
zaman. Karya-karya yang mereka tulis menggunakan bahasa Melayu Tinggi yang
telah menjadi bahasa Indonesia.

1.4 BAHASA MELAYU MODERN

Bahasa Melayu kuno yang sudah menyerap (mengadopsi dan mengadaptasi) bahasa
di luar bahasa Melayu menjelma bahasa Melayu Modern dengan kemampuan
memenuhi tuntutan masyarakat akan bahasa yang bermartabat dan mampu
menjembatani gagasan. Dengan demikian, kebutuhan akan bahasa yang bisa
dipergunakan untuk keperluan perdagangan, pemerintahan, dan keilmuan terpenuhi.

Tidak seperti bahasa Melayu yang dipergunakan oleh Balai Pustaka, para sastrawan,
budayawan, dan para penyair mulai berani menggunakan bahasa Melayu yang sudah
bercampur dengan bahasa-bahasa di luar bahasa Melayu, seperti Belanda, Portugis,
Arab, Sansekerta, dan Perancis. Bahasa ini disebut juga bahasa Melayu pasar dan
berkembang pesat di masyarakat.

Bahasa Melayu modern ini dapat dengan mudah kita temukan di dalam karya sastra
Angkatan Pujangga Baru. Ketaksesuaian paham atau pendapat antarsastrawan dan
penyair yang terjadi pada saat itu mendorong munculnya majalah Pujangga Baru
yang dipergunakan sebagai media untuk mengekspresikan perasaan seni. Sayang,

38
majalah Pujangga Baru hanya mampu terbit sekali pada bulan Maret 1933 kemudian
sudah tidak ada kabarnya lagi.

Bahasa Melayu modern ini bisa juga dinamai bahasa Melayu Pasar. Jenis ini sangat
lentur sebab sangat mudah dimengerti dan ekspresif, dengan toleransi kesalahan
sangat besar dan mudah menyerap istilah-istilah lain dari berbagai bahasa yang
digunakan para penggunanya.

Bahasa Melayu modern ini semakin mudah diterima oleh masyarakat di seluruh
Kepulauan Nusantara sebagai bahasa perhubungan antarpulau, antarsuku,
antarpedagang, antarbangsa, dan antarkerajaan. Bahasa Melayu modern ini tidak
mengenal tingkat tutur dan mampu menyerap berbagai kosakata lokal dan asing untuk
mengukuhkan diri sebagai bahasa nasional.

Perkembangan berikutnya adalah bahasa Melayu modern yang digunakan oleh


masyarakat Betawi di Jakarta (yang dikenal dengan logat Betawi) dan sekitarnya.
Peran media cetak dan elektronik yang memuat dan memakai bahasa tersebut,
mengakibatkan bahasa itu diterima secara luas oleh masyarakat. Bahkan, bahasa itu
dilekatkan dengan bahasa kalangan perkotaan, kaum muda, dan kaum selebritis untuk
‘dibenturkan’ dengan bahasa Indonesia baku yang identik dengan bahasa kaum
intelektual, bahasa buku yang kaku dan tidak luwes digunakan dalam kehidupan
sehari-hari. Yang lebih menarik adalah bahasa khas Jakarta dengan dialek Betawi ini
menyeruak ke desa-desa yang sama sekali asing dengan Jakarta. Anak-anak di desa
yang jauh, bahkan asing dengan Jakarta, sudah sedemikian akrab dengan bahasa
dialek Betawi ini.

Yang harus diingat bahwa bahasa Indonesia yang dipergunakan sebagai bahasa
pengantar di seluruh jenjang pendidikan, dipergunakan sebagai alat penghubung
antardaerah dan antarbudaya, dan yang dipakai secara resmi sebagai bahasa nasional
bukanlah bahasa Melayu, baik Melayu Riau atau pun Melayu Betawi (Jakarta).
Bahasa nasional bukanlah bahasa media massa cetak atau ektronik, bukan pula

39
bahasa kaum selebritis atau bahasa kaum eksekutif yang lebih suka
mencampuradukkan bahasa nasional dengan bahasa asing (baca= Inggris).

1.5 Bahasa Melayu Pasar versus Melayu Tinggi

Bahasa Melayu pasar memiliki pengertian bahasa Melayu yang digunakan oleh
masyarakat umum, yang menjadi alat tutur sehari-hari, bahasa yang dipergunakan
oleh para pedagang dengan mengabaikan kaidah-kaidah kebahasaan, standardisasi,
dan pembakuan. Bahasa Melayu model begini berkembang dengan pesat di
masyarakat, sebab masyarakat penutur merasa lebih bebas menggunakan bahasa
untuk mengekspresikan pendapat, keinginan, atau pun lainnya.

Bahasa Melayu pasar juga disebut bahasa Melayu rendah. Bahasa Melayu rendah ini
banyak ditemukan di media-media massa yang terbit di masa kejayaan Balai Pustaka,
terutama cerita-cerita silat dari negeri Tiongkok. Sutan Takdir Alisyahbana misalnya,
memelopori pendirian Pujangga Baru untuk menampung karya sastra yang ditolak
oleh Balai Pustaka. Alasan utama penolakan Balai Pustaka adalah masalah bahasa
yang dipergunakan oleh para sastrawan yang dianggap memakai bahasa Melayu
pasar, sedangkan persyaratan utama naskah yang diterbitkan Balai Pustaka adalah
yang menggunakan bahasa Melayu tinggi.

Bahasa Melayu Tinggi sendiri memiliki pengertian bahasa Melayu yang biasa dipakai
oleh kaum bangsawan, kaum terpelajar, dan/ atau kaum yang menjaga martabatnya
melalui bahasa. Hampir bisa dikatakan bahwa penggunaan bahasa ini terbatas di
kalangan mereka dan para sarjana. Bahasa Melayu ini digunakan oleh Kesultanan
Johor-Riau dan selanjutnya dikembangkan lagi oleh Kesultanan Lingga-Riau.

Pada masa Melayu klasik dikenal sangat keras memertahankan kaidah dan ungkapan.
Di samping itu, bahasa Melayu mewajibkan para pemakainya untuk mematuhi

40
peraturan-peraturan yang ketat itu. Bahasa Melayu klasik ini juga dikembangkan oleh
orang yang bukan Melayu, yakni Nurruddin Arraniri dan Abdullah Munsyi.

Remy Silado, salah satu musikus, sastrawan, dan pemimpin redaksi majalah Aktuil
yang terbit tahun 70-an, beranggapan bahwa bahasa Melayu Pasar-lah yang menjadi
cikal-bakal bahasa Indonesia. Ia mengatakan banyak kata yang berasal dari bahasa
Melayu Pasar dibakukan menjadi bahasa Indonesia, seperti kata ‘permaisuri’ yang
pada bahasa asal (Sanskerta) berbunyi /paramaisyari/. Bentuk kata ini menjadi bukti
bahwa kata tersebut belum dibakukan ketika masuk ke bahasa Indonesia.

Tidak sejalan dengan itu, Anwar, seorang peneliti bahasa, melihat bahwa bahasa
Melayu Tinggilah yang diangkat menjadi bahasa Indonesia. Bahasa Melayu tersebut
bisa menjadi bahasa nasional karena lebih demokratis, tidak mengenal perbedaan-
perbedaan kelas, dan tidak terlalu didominasi oleh kalangan istana, serta yang
terpenting, bahasa Melayu tinggi lebih bermartabat .

Dalam pandangannya itu, Anwar menjelaskan bahwa terdapat satu tahap di antara
bahasa Melayu Klasik (sebagai bahasa istana) dan bahasa Melayu ketika diangkat
menjadi bahasa Indonesia. Bahasa Melayu istana tidak mungkin, menurutnya,
menjadi bahasa nasional karena tidak mengakomodasi berbagai kepentingan yang
ada, di samping sifatnya yang istanasentris. Anwar menyebut tahapan itu sebagai
tahap bahasa Melayu mampu menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan yang
ada. Atas sebab-sebab inilah, tercetus sumpah pemuda Oktober 1928 yang mengakui
bahasa Indonesia sebagai satu-satunya bahasa nasional.

Keberterimaan bahasa Melayu oleh masyarakat muda sebagai bahasa nasional itu
sendiri tidak bisa dilepaskan dari peranan para penulis, sejarawan, sastrawan dan
kaum cerdik-pandai Melayu yang telah menulis dan menggunakan bahasa Melayu
sebagai media tulisannya, pada masa Melayu Klasik. Bahkan, Raja Ali Haji (1808-
1873 M) telah menulis buku tata bahasa Melayu, yang berjudul Pedoman Bahasa. Di
samping itu, ia pun menulis kamus Melayu yang diberinya nama Kitab Pengetahuan

41
Bahasa. Tulisan-tulisan Raja Ali Haji dan semacamnya inilah yang dijadikan acuan
ketika Ophuisjen pertama kali menulis buku tata bahasa Melayu. Penulisan tata
bahasa itu menjadi mudah dilakukan karena memiliki standar penggunaan bahasa
yang jelas dan tertulis, tanpa itu barangkali bahasa Melayu sampai saat ini tidaklah
akan berarti apa-apa dalam kancah berkebangsaan secara nasional.

Harus diingat pula,bahwa Bahasa Melayu tinggi tidak serta-merta menjadi bahasa
Indonesia. Setelah era Balai Pustaka, peta kesusastraan Indonesia banyak diisi oleh
para sastrawan dari ranah Minangkabau. Tentunya bahasa Melayu dari ranah
Minangkabau ini, yang terlihat lebih bisa menerima unsur luar, mampu
mengembangkan diri menjadi bahasa Indonesia seperti yang kita kenal sekarang ini.

Bahasa Melayu yang dipergunakan oleh masyarakat Minangkabau berbeda dengan


bahasa Melayu Riau, yang dianggap sebagai bahasa ‘sekolahan’. Perbedaan ini lebih
mengacu pada pengguna bahasa. Bahasa Melayu Riau dipergunakan oleh golongan
bangsawan, yang tentunya bercita rasa tinggi, sedangkan bahasa Melayu
Minangkabau dipergunakan oleh masyarakat secara umum, dan lebih menonjol pada
karya sastranya.

1.6 KELAHIRAN BAHASA INDONESIA

Bahasa Indonesia memiliki pengertian ‘bahasa yang dipergunakan oleh bangsa


Indonesia’. Kapan bangsa Indonesia lahir? Mudah sekali untuk menjawabnya, yaitu
ketika organisasi kepemudaaan yang bertebaran di seluruh wilayah Nusantara ini
bersatu-padu dan berikrar pada hari yang sangat bersejarah bagi rakyat dan bangsa
Indonesia, Sumpah Pemuda. Di hari itulah bangsa Indonesia secara de facto ada.

Kata Indonesia sendiri memiliki sejarah yang cukup unik. Seorang ahli bahasa,
Logan, menulis artikel yang berjudul The Ethnology of the Indian Archipelago. Ia
42
lebih setuju nama "Indunesia" ciptaan Earl, tetapi huruf "U" diganti dengan huruf "O"
agar ucapannya lebih baik. Muncullah nama "INDONESIA" yang menurut Logan
dibentuk dari dua kata, yaitu India (=selatan) dan nesia (=kepulauan). Paduan kata
India-nesia menimbulkan perubahan india menjadi indo menurut aturan sandi dalam
ilmu bahasa. Logan juga menyatakan, "Untuk nama "Indian Archipelago" sebagai
ajektif atau bentuk etnografis, Earl menganjurkan memakai istilah Etnografis
Indunesians dan menolak Melayunesian. Saya sendiri lebih suka istilah yang
memakai istilah Geografis, Kepulauan Hindia. Indonesia merupakan sinonim
terdekat dengan Indian Island atau Indian Archipelago. Kita akhirnya menerima
Indonesian sebagai Indian Archipelago dan Archipelagic serta Indonesians sebagai
Indian Archipelaians dan Indian Islanders.

Bangsa Indonesia yang terdiri atas berbagai suku bangsa dengan berbagai ragam
bahasa daerah yang dimilikinya memerlukan adanya satu bahasa persatuan guna
menggalang semangat kebangsaan. Semangat kebangsaan ini sangat penting dalam
perjuangan mengusir penjajah dari bumi Indonesia. Kesadaran politis semacam inilah
yang memunculkan gagasan pentingnya bahasa yang satu, bahasa persatuan, bahasa
yang dapat menjembatani keinginan berbagai suku bangsa dan budaya di Indonesia
saat itu.

Penjajahan Belanda yang sudah berlangsung berabad-abad di Indonesia harus segera


dienyahkan dari bumi Indonesia. Setiap usaha memerdekakan diri selalu kandas.
Setiap perlawanan yang dilakukan oleh sekelompok suku selalu dapat dipatahkan.
Pengalaman getir ini membuat para pemuda di berbagai organisasi kepemudaan
menyadari betul bahwa mereka membutuhkan satu pengikat. Seperti kata pepatah
‘satu batang lidi tidak akan memberikan arti banyak, tetapi bila batang-batang lidi itu
bisa dikumpulkan dan diikat menjadi satu, maka dapat dijadikan sapu, alat pemukul,
dan lain-lain.

Kesadaran untuk mengikatkan diri, menyatukan diri dalam berbagai perbedaan, dan
bersuara dengan suara yang sama dalam kelompok koor, maka para pemuda

43
menyadari bahwa yang paling bisa dipergunakan untuk mengikat perbedaan itu
adalah bahasa. Oleh karena itu, pemuda-pemudi yang aktif di berbagai organisasi
pergerakan di Indonesia pada masa ini berhasil berhimpun dan menyelenggarakan
Kongres Pemuda Indonesia.

Dalam kongres yang dihadiri oleh berbagai organisasi kepemudaan, seperti Jong Java
Bond, Jong Sumatera Bond, Jong Selebes Bond, Jong Borneo Bond, dan jong-jong
lain, tersebut tercetuslah ikrar bersama yang lebih dikenal dengan Sumpah Pemuda.
Ikrar Sumpah Pemuda yang dikumandangkan pada tanggal 28 Oktober 1928 itu salah
satu butirnya adalah menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.

Adapun bunyi ikrar lengkap pemuda Indonesia yang dikenal dengan sebutan Sumpah
Pemuda itu adalah sebagai berikut.

a. Kami putera dan puteri Indonesia mengaku bertumpah darah yang satu, Tanah Air
Indonesia.

b. Kami putera dan puteri Indonesia mengaku berbangsa yang satu, Bangsa Indonesia.

c. Kami putera dan puteri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, Bahasa Indonesia.

Mereka menyadari betul bahwa dengan menggunakan dan menjunjung bahasa


persatuan yang kemudian diberi nama bahasa Indonesia ini dapat dirintis
kemerdekaan, semangat kebersamaan, keinginan pembersatuan, serta keinginan untuk
merdeka dari penjajahan. Organisasi-organisasi yang tadinya menggunakan bahasa
kolonial Belanda sebagai sarana komunikasi mulai sejak itu berubah. Bahasa
Indonesia menjadi bagian yang sangat penting untuk menghantarkan Indonesia
merdeka, seperti yang tertuang dalam Sumpah Pemuda.

Naskah asli Sumpah Pemuda dapat diperhatikan berikut ini.

44
Teks Sumpah Pemuda dalam huruf Jawa.

45
Bangsa Indonesia adalah sekolompok suku bangsa yang berbeda warna kulit.
Sumatera yang sudah berbaur dengan suku bangsa Yunan (China) dan Arab ada yang
berkulit kuning tetapi ada pula yang berciri fisik orang Arab, khususnya di Aceh.
Jawa yang didominasi India banyak yang berkulit sawo matang. Ternate, Ambon,
Sumbawa, Bima, dan pulau-pulau di wilayah timur agak berbeda dengan Jawa dan
Sumatera. Irian pun berbeda pula. Namun demikian, perbedaan-perbedaan itu mereka
abaikan demi tujuan luhur, yaitu Indonesia Merdeka.

Alasan dipilihnya bahasa Melayu sebagai bahasa nasional adalah sebagai berikut.

(1) Bahasa Melayu telah berabad-abad lamanya dipakai sebagai lingua franca
(bahasa perantara atau bahasa pergaulan di bidang perdagangan), bahasa yang
digunakan oleh para misionaris Hindu, Budha, Kristen, dan Islam dalam
penyebaran agama di seluruh kota pelabuhan di Indonesia.

(2) Bahasa Melayu mempunyai struktur kalimat sederhana sehingga mudah


dipelajari, mudah dikembangkan pemakaiannya, dan mudah menerima
pengaruh luar untuk memperkaya dan menyempurnakan fungsinya sebagai alat
komunikasi. Bahasa Melayu tidak mengenal bentuk ‘tenses’ dan ‘pronoun’
seperti bahasa Inggris, Belanda, atau Arab. Tidak pula serumit bahasa Jawa
yang mengenal perbedaan dan pembedaan pengguna serta penggunaannya.

(3) Bahasa Melayu bersifat demokratis, tidak memperlihatkan adanya perbedaan


tingkatan bahasa berdasarkan perbedaan status sosial pemakainya, sehingga
tidak menimbulkan perasaan sentimen dan perpecahan.

(4) Adanya semangat kebangsaan yang besar dari pemakai bahasa daerah lain
untuk menerima bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan.

46
(5) Jika bahasa Jawa digunakan, suku-suku bangsa lain di Republik Indonesia akan
merasa dijajah oleh suku Jawa yang merupakan golongan mayoritas di
Republik Indonesia.

(6) Bahasa Jawa jauh lebih sukar dipelajari dibandingkan dengan bahasa Melayu
Riau. Ada tingkatan bahasa halus, biasa, dan kasar yang dipergunakan untuk
orang yang berbeda dari segi usia, derajat, ataupun pangkat. Bila pengguna
kurang memahami budaya Jawa, ia dapat menimbulkan kesan negatif yang
lebih besar.

(7) Bahasa Melayu Riau yang dipilih, dan bukan Bahasa Melayu Pontianak,
Banjarmasin, Samarinda, Maluku, Jakarta (Betawi), ataupun Kutai, dengan
pertimbangan pertama suku Melayu berasal dari Riau, Sultan Malaka yang
terakhir pun lari ke Riau selepas Malaka direbut oleh Portugis.

(8) Pengguna bahasa Melayu bukan hanya terbatas di Republik Indonesia. Pada
tahun 1945, pengguna bahasa Melayu selain Republik Indonesia masih dijajah
Inggris. Malaysia, Brunei, dan Singapura masih dijajah Inggris. Pada saat itu,
dengan menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan, diharapkan di
negara-negara kawasan seperti Malaysia, Brunei, dan Singapura bisa
ditumbuhkan semangat patriotik dan nasionalisme negara-negara jiran di Asia
Tenggara.

(9) Bahasa Melayu adalah bahasa yang dinamis, dan dengan kedinamisannya itu
bahasa Melayu terus mengembangkan diri dengan menerima dan/ atau
menyerap kosakata dari bahasa asing maupun lokal.

Jadi, bahasa Indonesia terbukti mampu mengakomodasi kata-kata dari banyak bahasa,
yaitu Arab, Belanda, Inggris, Latin, Perancis, Sansekerta, Spanyol, Tionghoa, Yunani
dan lain lain

47

You might also like