You are on page 1of 27

LAPORAN KASUS

MULTIPEL MYOMA UTERI

Oleh: Tita Luthfia Sari Cintasa Laksmi P 0810710107 0810713010

Pendamping : dr. Cholid

Pembimbing: dr. Hermawan Wibisono, SpOG

LABORATORIUM / SMF OBSTETRIC GYNECOLOGY FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA RUMAH SAKIT UMUM DR.SAIFUL ANWAR MALANG 2013

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Myoma uteri adalah tumor jinak otot polos uterus yang terdiri dari sel-sel jaringan otot polos, jaringan ikat fibroid dan kolagen (Anwar et al., 2011). Myoma uteri merupakan tumor pelvis yang terbanyak pada organ reproduksi wanita. Kejadian myoma uteri sebesar 20-40% pada wanita di usia reproduktif, terutama pada usia lebih dari 35-50 tahun (Hadibroto, 2005). Di Indonesia angka kejadian myoma uteri ditemukan 2,39%-11,87% dari semua pasien ginekologi yang dirawat (Baziad, 2003). Myoma uteri sering menimbulkan gejala klinis berupa menorrhagia, dismenorea, atau bahkan abortus dan infertilitas. Selain itu myoma uteri juga dapat menimbulkan kompresi pada traktus urinarius dan gastrointestinal sehingga dapat menimbulkan gejala berupa gangguan berkemih dan defekasi (Gibbs et al., 2008). Penyebab utama myoma uteri hingga saat ini belum diketahui secara pasti, beberapa penelitian telah dikembangkan untuk memahami keterlibatan faktor hormonal, faktor genetik, growth factors, dan biologi molekular dalam patogenesa myoma uteri. Faktor yang diduga berperan dalam inisiasi perubahan genetik pada myoma uteri adalah abnormalitas intrinsik pada miometrium, peningkatan reseptor estrogen secara kongenital pada miometrium, perubahan hormonal, atau respon terhadap kondisi iskemik ketika haid. Setelah terjadinya myoma uteri, perubahanperubahan genetik ini akan dipengaruhi oleh promoter (hormon) dan efektor (growth factors) (Parker, 2007). Sedangkan beberapa faktor resiko yang dikaitkan dengan kejadian myoma uteri antara lain usia, ras, riwayat keluarga, berat badan, diet, kehamilan dan paritas, serta kebiasaan merokok (Hadibroto, 2005). Penatalaksanaan myoma uteri meliputi konservatif, terapi medikamentosa, dan terapi pembedahan. Tindakan konservatif ditujukan untuk pasien dengan myoma kecil dan tanpa gejala, namun harus diawasi perkembangan tumornya. Beberapa pilihan terapi medikamentosa yang digunakan saat ini antara lain Gonadotropin-releasing hormone (GnRH) agonis, progesteron, danazol, gestrinon, tamoksifen, goserelin, antiprostaglandin, agen-agen lain (gossipol, amantadine). Sedangkan terapi

pembedahan dapat dilakukan dengan miomektomi atau histerektomi (DeCherney et al., 2007). Dalam laporan kasus ini akan dibahas mengenai pasien dengan multiple myoma uteri dengan terapi pembedahan supra vaginal histerektomi. Tujuan dari laporan kasus ini adalah untuk membahas mengenai faktor resiko terjadinya multiple

myoma uteri, gejala dan tanda klinis, diagnosis, serta penatalaksanaan myoma uteri pada pasien dalam laporan kasus ini. Dengan harapan laporan kasus ini dapat menambah informasi dan wawasan mengenai myoma uteri. 1.2 Tujuan Tujuan pembahsan laporan kasus ini adalah : Untuk mengetahui faktor resiko yang diduga berperan dalam terjadinya myoma uteri pada pasien dalam laporan kasus ini. Untuk mengetahui bagaimana diagnosis myoma uteri pada pasien dalam laporan kasus ini. Untuk mengetahui penatalaksanaan myoma uteri pada pasien dalam laporan kasus ini. 1.3 Manfaat Manfaat dari laporan kasus ini adalah : Menambah informasi dan wawasan mengenai kasus myoma uteri

BAB 2 URAIAN KASUS

2.1 Identitas Reg Nama Umur Alamat Pekerjaan Pendidikan Suami Umur Pendidikan Pekerjaan Status : 11083062 : Ny. M : 44 tahun : Jalan Melati Sumber Sekar Rt 02 RW 04 Dau Malang : Tidak bekerja : SD : Tn. S : 50 tahun : SD : Pedagang : Menikah 1x

Lama menikah: 28 tahun Pasien datang di poli MRS tanggal 22 Maret 2013 pukul 11.00 WIB 2.2 Subyektif Keluhan utama: perdarahan dari jalan lahir Pasien mengeluh perdarahan dari jalan lahir sejak 1 bulan yang lalu. Perdarahan keluar terus menerus. Darah yang keluar berwarna merah tua disertai gumpalan darah, jumlah darah yang dikeluarkan sedikit, pasien hanya berganti 1 pembalut/hari. Pasien juga mengeluh kadang merasakan nyeri perut bagian bawah saat terjadi perdarahan. Pasien pernah mengalami riwayat perdarahan dari jalan lahir sebelumnya : Bulan Desember 2012: perdarahan dari jalan lahir, lama 12 hari, banyak 2-3 pembalut/hari, disertai nyeri perut Bulan Januari 2013: perdarahan dari jalan lahir, lama 15 hari, banyak 2-3 pembalut/hari, disertai nyeri perut Riwayat haid : Haid pertama umur 13 tahun, siklus teratur, lama 3-5 hari, jumlah 2-3 pemblut/hari. Namun 2 tahun terakhir, pasien mengeluh haid nya lebih lama yaitu 6-7 hari dan darah haid yang dikeluarkan lebih banyak 5-6 pembalut/hari, dan disertai nyeri saat haid. HPHT: 20-1-2012 Nafsu makan biasa, tidak ada perubahan berat badan yang bermakna BAK dan BAB normal

Riwayat Keputihan (-) Riwayat penyakit dahulu : HT (-), DM (-) Riwayat KB (-) Riwayat operasi : (-) Riwayat kesehatan keluarga : tidak ada keluarga yang menderita penyakit keganasan

Riwayat obstetric : Anak ke-1 Aterm/ SpTB/ Bidan/ tahun 1985/ perempuan/ BB 3000 g/ meninggal usia 5 tahun karena demam Anak ke-2 Aterm/ SptB/ Bidan/ laki-laki/ tahun 1986/ BB 3200 g/ hidup Anak ke-3 Aterm/ SptB/ Bidan/ tahun 1987/ laki-laki/ BB 3000 g/ hidup

2.3 Objektif STATUS INTERNA Keadaan umum Kesadaran Tinggi badan Berat badan Tensi Nadi RR Suhu rectal Suhu axilla Kepala dan leher : baik : GCS 456, compos mentis : 155 cm : 45 kg : 130/80 mmHg : 80 x/menit : 20 x/menit : 36,7 C : 36,4 C : anemis + / + ,icterus / pembesaran kelenjar leher / Thorax : jantung s1s2 tunggal, m (-) paru vv vv vv Abdomen Ekstremitas Rh - --Wh - ---

: hepar/lien dalam batas normal, bising usus (+) normal : anemis -/- , edema -/-

STATUS GINEKOLOGI
Abdomen : Inspeksi: flat; Palpasi: fundus uterus teraba 2cm di atas simfisis, masa (-), nyeri tekan (-) Pemeriksaan Luar GE : fluk (-), fluor (-),

Pemeriksaan Dalam Inspekulo : v/v fluk (+), fluor (-), POMP tertutup licin VT : v/v fluk (+), fluor (-), POMP tertutup licin CUAF, teraba masa multiple konsistensi kenyal, permukaan rata, mobile, ukuran 5x4 cm, 2x3 cm Adnexa perimetrium D/S : nyeri (-), massa (-) Cavum Douglasi : dbn

HASIL PEMERIKSAAN PENUNJANG: Laboratorium (22 Februari 2013) DL FH Ur/Cr OT/PT Alb GDA Na/K/Cl : 10.3/4.660/33%/347.000 : 12.4(12.1)/27.4(25.5) : 13.6/0.56 : 22/13 : 4.28 : 109 : 136/3.77/106

Kuret PA I-II (15-12-2012) Makroskopik : I. Dari endoservix, jaringan kerokan sedikit II. Dari endometrium, kerokan sebanyak 0.75 cc Mikroskopik : I dan II. Tampak endometrium mengandung kelenjar berbentuk irregular dilapisi epitel kuboid dan columnar Stroma tampak sebagian padat Tidak didapatkan keganasan dalam sediaan ini Kesimpulan : I dan II. Endometrium fase sekresi irregular shedding Pap Smear (25-01-2013) Kl. Bethesda : radang non spesifik, tidak ditemukan sel ganas Kl Papanicolao : Class II

USG Abdomen USG di Poli Gyn (14-12-2012) Uterus membesar Didapatkan myoma beberapa buah di uterus posterior dengan ukuran 51.3x55.5, 29.2x32.1, 23.4x33.8 USG Abd (8-1-2013) Kesimpulan : 1. Susp. Myoma uteri multiple intramural dan sebserous 2. Polip multiple gall bladder Thorax PA Cardiomegali + Aorta sklerosis 2.4 Assessment Multiple myoma uteri + Polyp gall bladder + Anemia 2.5 Planning PDx : PTx : PMo : TD, Nadi, RR, Tax, fluxus Diet TKTP Tx Oral : Kanamycin 4 x 50 mg Robborantia 1 x 1 Pro SVH DL Konsul Cardio, Anestesi

Follow Up Tgl Subjektif Objektif Assess ment 22/2/ 2013 Ny M/46 thn/menikah 1x/28tahun/ P3002 Ab000 /AT : 26 thn/ KB (-), HPHT 20-1-2012 Keluhan : perdarahan dari jalan lahir sejak 1 bulan yang lalu, darah + gumpalan, jumlah sedikit 1 pembalut/hari, disertai nyeri perut Status Interna : GCS 456, TD. 130/80, N. 80x, RR. 20x, Tax. 36.5 K/L an +/+ Tho C/P dbn Abd dbn Status Gynecology : Abdomen : Inspeksi: flat; Palpasi: fundus uterus -Multiple myoma uteri -Polip gall bladder -Anemia PDx : - DL - Konsul Cardio, Anestesi PTx : - Diet TKTP - Tx Oral : Kanamycin 4 x 50 mg Robborantia 1 x 1 - Pro SVH PMo : TD, Nadi, RR, Tax, flux Planning

teraba 2cm di atas simfisis, masa (-), nyeri tekan (-) Pemeriksaan Luar GE: fluk (-), fluor (-) Pemeriksaan Dalam

Insp: v/v fluk (-), fluor (-),


POMP tertutup licin

VT:
- v/v fluk (+), fluor (-), POMP tertutup licin, - CuAF, multiple teraba masa

konsistensi

kenyal, permukaan rata, mobile, ukuran 5x4 cm, 2x3 cm - Adnexa perimetrium D/S : nyeri (-), massa (-) - Cavum Douglasi : dbn

Lab :
DL: 10.3/4.660/33%/347.000 FH: 12.4(12.1)/27.4(25.5) Ur/Cr: 13.6/0.56

OT/PT: 22/13 Alb: 4.28 GDA: 109 Na/K/Cl: 136/3.77/106 23/2/2 013

Perdarahan keluar sedikit

GCS 456 TD 140/80, N. 84x, RR 20x, Tax. 36,6


GE: fluk (+) minimal

-Multiple myoma uteri -Polip gallbladder -Anemia -HT St I

PDx : - Konsul Cardio - Konsul Anestesi PTx : - Diet TKTP - Mobilisasi - Tx Oral : Kanamycin 4 x 50 mg Robborantia 1 x 1 - Pro SVH PMo : TD, Nadi, RR, Tax, flux Tx Anestesi: Po Captopril 2x25 mg

24/2/2 013

Perdarahan keluar sedikit

GCS 456 TD 130/80, N. 84x, RR 20x, Tax. 36,6


GE : fluk (+) minimal

-Multiple myoma uteri -Polip gallbladder -Anemi -HT St I

PDx : PTx : - Diet TKTP - Mobilisasi - Tx Oral : Kanamycin 4 x 50 mg Robborantia 1 x 1 - Persiapan operasi: Lavement Puasa mulai jam 22.00 IVFD RL 1000 cc Inj Cefazolin 1 g (iv) Inj Ranitidin 1 amp (iv) Inj Metochloperamid 1

amp (iv) PMo : TD, Nadi, RR, Tax, flux

Tx anestesi: - Puasa 6 jam sebelum operasi - IVFD - Tx oral: Captopril 2x25 mg Alprazolam 2x25 mg - Tx iv: Inj Ranitidin 1 amp (iv) Inj Metochloperamid 1 RL 90 cc/jam

selama puasa

amp (iv)

25/2/ 2013

LAPORAN OPERASI SVH

- Pasien tidur terlentang di atas operasi dengan Combined Spinal Epidural - Antisepsis lapangan operasi dengan savlon dan betadin, demarkasi lapangan operasi dengan doek steril - Dilakukan incise kulit pada linea mediana mulai dari supra symphysis sampai 2 cm di atas umbilicus. Incisi diperdalam secara tajam, kecuali otot secara tumpul sampai cavum peritoneum terbuka. - Dilakukan explorasi, evaluasi didapatkan : Uterus membesar ukuran 14-16 minggu, myomatik, ukuran diameter 4 cm di fundus dan diameter 8 cm di corpus posterior, didapatkan perlekatan di bagian posterior. Diputuskan dilakukan SVH Tidak didapatkan struktur tuba dan ovarium dextra, didapatkan struktur dan ukuran tuba-ovarium sinistra normal - Ligamentum rotundum sinistra diklem, dipotong, dijahit. Dibuat bladder flap, dilebarkan ke arah tunggul ligamentum rotundum. - Tuba dan ligamentum ovarii propium sinistra diklem, dipotong, dijahit transfix - Vasa uterin sinistra diklem, dipotong, dijahit transfix - Amputasi uterus setinggi isthmus. Dibuat jahitan sudut kanan-kiri. Stom servix dijahit dengan figure of eight. - Evaluasi perdarahan perdarahan aktif tidak ditemukan - Reperitonealisasi - Dinding abdomen dijahit lapis demi lapis

Operasi selesai

FOLLOW UP POST OP SVH

25/2/ 2013 Di RR

Nyeri

luka GCS 456 TD 120/80, N. 80x,

Post SVH dengan CSE hari-0 a/i multiple myoma uteri

PDx: DL 2 jam post op PTx: - Puasa sampai dengan BU (+)/flatus - Tidak boleh angkat kepala sampai dengan 12 jam post op - Tx iv: Cefazolin 3x1 gram Ranitidin 2x1 amp Ketorolac 3x1 amp Kalnex 3x1 amp Alinamin F 2x1 amp Sancorbin 1x1 amp - Bila Hb<8g/dl pro transfusi PRC 2 labu/har s/d Hb8 g/dl - IVFD RL:D5 = 2:2 PMo: VS, kel, flux, luka operasi Tx Anestesi: Bupivacain 0,125%+Mo 1 mg, TV 10cc

operasi masih

terasa sedikit RR 20x, Tax. 36,6 sakit Luka operasi : Rembesan (-) Fluk (+) minimal

26/2/ 2013

Tidak keluhan

ada

TD 120/80, N. 80x, RR 20x, Tax. 36,6 Luka operasi : Rembesan (-), Fluk (-) Hasil DL Post Op: 9.2/15.830/29.9%/ 284.000

Post dengan hari-1 multiple

SVH CSE a/i

PDx: tunggu hasil PA PTx: - Diet lunak-biasa - Mobilisasi bertahap - Inf off - DC pertahankan 5 hari - Tx oral: Cefadroxyl 2x500 mg As. Mefenamat 3x500 mg Kalnex 3x500 mg Rob 1x1 PMo: obs vs, kel, luka operasi

myoma uteri

PEd: KIE Acc pindah R.9 Tx Anestesi Inj. Bupivacain Heavy 0.125% + MO 1 mg TV 10cc

27/2/ 2013 di R.9

Tidak keluhan

ada GCS 456 TD 120/80, N. 84x, RR 20x, Tax. 36,5 Luka operasi : Rembesan (-) Flux (-)

Post dengan hari-2 multiple

SVH CSE a/i

PDx: PTx: - Diet TKTP - Mobilisasi bertahap - Rawat luka - Tx oral : Cefadroxyl 2x500 mg As. Mefenamat 3x500 mg Kalnex 3x500 mg Rob 1x1

myoma uteri

PMo: operasi

obs

vs,

kel,

luka

PEd: KIE 28/2/ 2013 di R.9


Tidak keluhan ada GCS 456 TD 130/80, N. 84x, RR 20x, Tax. 36,6 Post SVH dengan CSE hari-3 a/i multiple myoma uteri PDx: PTx: - Diet TKTP - Mobilisasi - Rawat luka - Aff DC - Tx oral: Cefadroxyl 2x500 mg As. Mefenamat 3x500 mg Kalnex 3x500 mg Rob 1x1

Luka operasi : Rembesan (-) Flux (-)

PMo: operasi

obs

vs,

kel,

luka

PEd: KIE 1/3/ 2013


Tidak keluahn ada GCS 456 TD 130/80, N. 84x, Post SVH dengan CSE PDx: PTx:

R.9

RR 20x, Tax. 36,6

hari-4 a/i multiple myoma uteri

- Diet TKTP - Mobilisasi - Rawat luka - Tx oral lanjut

Luka operasi : Rembesan (-) Flux (-)

PMo: operasi

obs

vs,

kel,

luka

Acc KRS

BAB 3 PERMASALAHAN

3.1 Faktor Resiko Myoma Uteri Beberapa faktor resiko yang dikaitkan dengan kejadian myoma uteri antara lain usia, ras, riwayat keluarga, berat badan, diet, kehamilan dan paritas, serta kebiasaan merokok (Hadibroto, 2005). Yang menjadi masalah yang akan dibahas pada laporan kasus ini adalah: - Dari data yang diperoleh, faktor resiko apakah yang berperan terhadap terjadinya myoma uteri pasien ini ? 3.2 Diagnosa Myoma Uteri Pasien ini didiagnosa multiple myoma uteri + polyp gall bladder + anemia. Diagnosis myoma uteri pada pasien ini ditegakkan dengan anamnesa, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Yang menjadi masalah yang akan dibahas pada laporan kasus ini adalah: - Bagaimana cara mendiagnosa myoma uteri dari anamnesa, pemeriksaan fisik, dan penunjang ? 3.3 Penatalaksanaan Penatalaksanaan kasus myoma uteri pada pasien ini adalah terapi

pembedahan supra vaginal histerektomi. Yang menjadi masalah yang akan dibahas pada laporan kasus ini adalah: - Apakah indikasi terapi pembedahan pada pasien ini ? - Mengapa pada kasus ini dipilih teknik pembedahan supra vaginal histerektomi ?

BAB 4 PEMBAHASAN

4.1 Faktor Resiko Myoma Uteri pada Pasein Penyebab utama myoma uteri hingga saat ini belum diketahui secara pasti, namun beberapa penelitian mengkaitkan keterlibatan faktor hormonal, faktor genetik, growth factor, dan biologi molekular dalam patogenesis myoma uteri (Parker, 2007). Mekanisme tumorigenesis myoma uteri salah satu nya juga dipengaruhi oleh adanya faktor resiko yang menyebabkan seorang individu memiliki kerentanan terjadi myoma uteri dibandingkan individu lain. Beberapa faktor risiko myoma uteri yang didapatkan dari beberapa studi epidemiologi antara lain: usia, menarche, hormon, termasuk kontrasepsi hormonal, riwayat keluarga, ras, kehamilan, paritas, berat badan, diet, dan kebiasaan merokok (Flake et al., 2003; Hadibroto, 2005). Pada pasien dalam laporan kasus ini, berdasarkan data yang diperoleh, diidentifikasi beberapa faktor resiko yang kemungkinan berperan dalam ternjadinya myoma uteri, antara lain: Usia 44 tahun Sebagian besar wanita terdiagnosa myoma uteri pada usia 40 tahun. Hal ini dikaitkan dengan peningkatan pembentukan atau pertumbuhan myoma akibat perubahan hormon seksual yaitu estrogen dan progesteron yang terjadi pada usia tersebut (Parker, 2007). Pada usia perimenopause (35-50 tahun) terjadi penurunan kadar estrogen sebesar 35% dan penurunan kadar progesteron sebesar 75%. Hal ini menyebabkan kadar estrogen relatif lebih tinggi dibandingkan kadar progesteron. Kondisi dimana kadar estrogen lebih dominan akan menstimulasi pertumbuhan sel yang berlebihan, termasuk pertumbuhan sel fibroid atau myoma (DeCherney et al., 2010). Faktor Hormonal Perimeopause Hormon ovarium yakni estrogen dan progesteron berperan sebagai promotor dalam tumorigenesis myoma. Pasien dalam laporan kasus ini, berusia 48 tahun, dan telah berhenti haid sejak Januari 2012. Pasien dikatakan pada kondisi perimenopause. Perimenopause atau disebut juga menopausal transition adalah interval diantara perubahan fisiologis seorang wanita dari siklus ovarium dan menstruasi yang normal menjadi kondisi infertil permanen atau menopause. Salah satu perubahan yang terjadi pada kondisi perimenopause antara lain perubahan keseimbangan hormon seksual. Beberapa penelitian menyebutka bahwa terjadi penurunan kadar estrogen sebesar

35% dan penurunan kadar progesteron sebesar 75%. Hal ini menyebabkan kadar estrogen relatif lebih tinggi dibandingkan kadar progesteron. Keadaan ini disebut dengan estrogen dominan (Parker, 2007). Pada wanita dengan faktor resiko myoma, kondisi estrogen dominan akan menyebabkan stimulasi pertumbuhan sel myoma melalui aktivasi reseptor progesteron yang akan meningkatkan mutasi somatik dan menstimuli pertumbuhan myoma serta memproduksi lokal growth factor dan atau reseptor growth factor seperti IgFI, EGF, TGF 3, VEGF. EGF dan TGF 3 bekerja dengan mengstimuli proliferasi proliferasi sel dan produksi ekstra seluler matriks. VEGF berperan dalam stimulasi angiogenesis yang merupakan faktor esensial untuk pertumbuhan tumor. VEGF sendiri merupakan agen poten yang meningkatkan permeabilitas kapiler sehingga dapat meningkatkan suplai nutrien pada pertumbuhan myoma, sedang IgF I berperan dalam myogenesis myoma melalui peningkatan proliferasi, diferensiasi dan peningkatan daya tahan hidup sel (Flake et al., 2003). Multiparitas P3002Ab000

Peningkatan paritas disebutkan menurunkan insidensi terjadinya myoma uteri. Myoma uteri menunjukkan karakteristik yang sama dengan miometrium yang normal ketika kehamilan termasuk peningkatan produksi extracellular matrix dan peningkatan ekspresi reseptor untuk peptida dan hormon steroid. Miometrium postpartum kembali kepada berat asal, aliran darah dan ukuran asal melalui proses apoptosis dan dediferensiasi. Proses remodeling ini kemungkinan bertanggung jawab dalam penurunan ukuran myoma uteri. Teori yang lain menyebutkan bahwa pada kondisi postpartum, pembuluh darah di uterus kembali kepada keadaan atau ukuran asal dan ini menyebabkan myoma kekurangan suplai darah dan kurangnya nutrisi untuk terus membesar (Parker, 2007). Namun, pada kasus ini teori tersebut tidak sesuai. Pasien pada kasus ini telah 3 kali mengalami paritas (P3002Ab000), namun myoma uteri tetap terjadi. Hal ini kemungkinan disebabkan pada saat pasien hamil dan melahirkan ke tiga anak nya, di dalam uterus pasien belum tumbuh myoma. Hal ini sesuai dengan data anamnesa, anak terakhir berusia 26 tahun, dan pasien mulai mengalami keluhan perdarhan abnormal dari jalan lahir sejak 2 tahun yang lalu.
Selain ketiga faktor tersebut, tidak ditemukan faktor resiko lain pada pasien ini. Kecuali faktor genetik yang memang dalam kasus ini tidak diidentifikasi.

4.2 Diagnosa Myoma Uteri Diagnosis myoma uteri ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. a. Anamnesis Kebanyakan kasus ditemui secara kebetulan karena myoma uteri seringkali asimptomatik. Gejala yang dikeluhkan sangat tergantung pada lokasi myoma ini berada, ukuran tumor, perubahan dan komplikasi yang terjadi. Gejala yang terjadi dapat digolongkan seperti berikut : 1. Perdarahan abnormal Gangguan perdarahan yang terjadi umumnya adalah hipermenore, menoragia dan dapat juga terjadi metroragia. Perdarahan abnormal ini terjadi pada 30% pasien myoma uteri dan perdarahan abnormal ini dapat menyebabkan anemia. Pada suatu penelitian yang mengevaluasi wanita dengan myoma uteri dengan atau tanpa perdarahan abnormal, didapat data bahwa wanita dengan perdarahan abnormal secara bermakna menderita myoma intramural (58% banding 13%) dan myoma submukosum (21% banding 1%) dibanding dengan wanita penderita myoma uteri yang asimtomatik (Hadibroto, 2005). 2. Nyeri Dismenorea, nyeri perut bagian bawah serta nyeri pinggang ditemukan pada sekitar 65% wanita dan sering sulit dibedakan dengan endometriosis karena myoma uteri sering bersamaan dengan endometriosis (Prawirohardjo, 2007). Nyeri yang disebabkan myoma uteri disebabkan karena gangguan sirkulasi darah pada myoma, peradangan, degenerasi akibat oklusi vaskuler, infeksi, torsi dari myoma yang bertangkai maupun akibat kontraksi miometrium yang disebabkan myoma

subserosum. Tumor yang besar dapat mengisi rongga pelvik dan menekan bagian tulang pelvik yang dapat menekan saraf sehingga menyebabkan rasa nyeri yang menyebar ke bagian punggung dan ekstremitas inferior (Hadibroto, 2005). 3. Gejala tanda penekanan Gangguan ini tergantung pada tempat dan ukuran myoma uteri. Penekanan pada kandung kemih akan menyebabkan poliuri, pada uretra dapat menyebabkan retensio urin, pada ureter dapat menyebabkan hidroureter dan hidronefrosis, pada rektum dapat menyebabkan obstipasi dan tenesmia, pada pembuluh darah dan pembuluh limfe di panggul dapat menyebabkan edema tungkai dan nyeri panggul (Prawirohardjo, 2007)

4. Infertilitas Infertilitas ditemukan pada 27-55% wanita dengan myoma. Penyebab myoma infertilitas adalah : obstruksi mekanik serviks dan tuba, perubahan bentuk kavum uteri (penambahan panjang uterus), iritasi myoma akibat perubahan degenerasi,

kontraktilitas uterus terganggu, gangguan vaskularisasi endometrium, dan gangguan endokrinologi endometrium (Hadibroto, 2005; Gibbs et al., 2008). 5. Abortus Bila terjadi kehamilan maka myoma uteri memberikan masalah lagi yaitu meningkatnya kejadian abortus (41%), munculnya his lebih awal atau his yang tidak terkoordinasi, lahir prematur, obstruksi kanalis servikalis, kelainan letak bayi serta perdarahan postpartum (DeCherney et al., 2007). Gejala yang dikeluhkan pasien dalam kasus ini adalah pasien mengeluh

perdarahan dari jalan lahir sejak 1 bulan yang lalu. Perdarahan keluar terus menerus. Darah yang keluar berwarna merah tua disertai gumpalan darah, jumlah darah yang dikeluarkan sedikit, pasien hanya berganti 1 pembalut/hari. Pasien juga mengeluh kadang merasakan nyeri perut bagian bawah saat terjadi perdarahan. Pasien pernah mengalami riwayat perdarahan dari jalan lahir sebelum nya yaitu 2 kali pada bulan Desember 2012 dan Januari 2013. Gejala perdarahan abnormal dari jalan lahir merupakan gejala yang paling sering dikeluhkan pada pasien dengan diagnosis myoma. Penyebab
perdarahan abnormal ini adalah: - Pengaruh ovarium sehingga terjadi hiperplasia endometrium - Atrofi endometrium di atas myoma submukosum - Miometrium tidak dapat berkontraksi optimal kerana adanya myoma di antara serabut miometrium, sehingga tidak dapat menjepit pembuluh darah yang melaluinya dengan baik - Permukaan endometrium yang menjadi lebih luas akibat pertumbuhan myoma, akan menyebabkan lebih banyak dinding endometrium yang terkikis ketika menstruasi dan ini menyebabkan perdarahan abnormal (Hadibroto, 2005; DeCherney et al., 2007). Dari riwayat haid pasien, diperoleh data: haid pertama umur 13 tahun, siklus

teratur, lama 3-5 hari, jumlah 2-3 pembalut/hari. Namun 2 tahun terakhir, pasien mengeluh haid nya lebih lama yaitu 6-7 hari dan darah haid yang dikeluarkan lebih banyak 5-6 pembalut/hari, dan disertai nyeri saat haid.

HPHT: 20-1-2012. Pada myoma uteri, gangguan siklus haid yang terjadi adalah
hipermenore (menoragia) yaitu interval teratur namun jumlah darah haid lebih dari normal. Selain itu dapat juga terjadi metroragia yaitu interval tidak teratur dengan jumlah darah dan durasi lebih dari normal (Anwar et al., 2011). Selain itu, pasien juga mengeluh nyeri perut bagian bawah saat haid. Dismenorea atau nyeri perut bagian bawah dan nyeri pinggang sering ditemukan pada kasus myoma uteri. Rasa nyeri bukanlah gejala yang khas tetapi dapat timbul karena gangguan sirkulasi darah pada myoma, yang disertai nekrosis setempat dan peradangan (Prawirohardjo, 2007). Nyeri panggul yang disebabkan myoma uteri bisa juga disebabkan degenerasi akibat oklusi vaskuler, infeksi, torsi dari myoma yang bertangkai maupun akibat kontraksi miometrium yang disebabkan myoma subserosum (Hadibroto, 2005). Selain gejala tersebut, tidak ditemukan gejala lain yang mengarah ke myoma uteri. b. Pemeriksaan Fisik Dari hasil pemeriksaan fisik pada pasien ini, ditemukan Anemis pada konjungtiva D/S. Hal ini sesuai dengan hasil pemeriksaan laboratorium, dengan Hb 10.3 gr/dL. Dari pemeriksaan status gynecology didapatkan: tidak ada kelainan pada abdomen dan pemeriksaan luar, dan pada pemeriksaan dalam: Inspekulo : v/v fluk (+), POMP tertutup licin , VT : v/v fluk (+), POMP tertutup licin, CUAF, teraba masa multiple konsistensi kenyal, permukaan rata, mobile, ukuran 5x4 cm, 2x3 cm, Adnexa perimetrium D/S dan Cavum Douglasi dbn. Myoma uteri dapat ditemukan melalui pemeriksaan bimanual uterus. Diagnosis myoma uteri menjadi jelas bila dijumpai permukaan uterus yang berbenjol akibat satu atau lebih massa, maupun adanya pembesaran uterus (Hadibroto, 2005). Pada kasus myoma dengan ukuran yang lebih besar, myoma dapat ditemukan dari pemeriksaan palpasi abdomen (DeCherney et al., 2007). Myoma uteri diklasifikasikan berdasarkan lokasi atau asal myoma. Berikut ini pembagian myoma uteri : Myoma submukosum: Berada di bawah endometrium dan menonjol ke dalam rongga uterus. Jenis ini dijumpai 6,1% dari seluruh kasus myoma. Jenis ini sering memberikan keluhan gangguan perdarahan. Myoma jenis lain meskipun besar mungkin belum memberikan keluhan perdarahan, tetapi myoma submukosa, walaupun kecil sering memberikan keluhan gangguan perdarahan. Myoma submukosum dapat tumbuh bertangkai menjadi polip, atau dilahirkan melalui saluran serviks dan disebut myoma

geburt atau geborn myoma, yang mudah mengalami infeksi, ulserasi dan infark. Pada beberapa kasus, pasien akan mengalami anemia dan sepsis karena proses di atas. Myoma intramural: Terdapat di dinding uterus di antara serabut miometrium. Jenis ini dijumpai 54% dari seluruh kasus myoma. Karena pertumbuhan tumor, jaringan otot sekitarnya akan terdesak dan terbentuk simpai yang mengelilingi tumor. Bila di dalam dinding rahim dijumpai banyak myoma, maka uterus akan mempunyai bentuk yang berbenjolbenjol dengan konsistensi yang padat. Myoma yang terletak pada dinding depan uterus, dalam pertumbuhannya akan menekan dan mendorong kandung kemih ke atas, sehingga dapat menimbulkan keluhan miksi. Myoma subserosum: Myoma yang tumbuh keluar dinding uterus sehingga menonjol pada permukaan uterus, diliputi oleh serosa. Jenis ini dijumpai 48,2% dari seluruh kasus myoma Myoma subserosum dapat pula tumbuh menempel pada jaringan lain misalnya tumbuh diantara ligamentum latum atau disebut dengan myoma intraligamenter (4,4%), atau tumbuh pada omentum dan membebaskan diri dari uterus, sehingga disebut wandering parasitic fibroid (DeCherney et al., 2010). Untuk menentukan asal atau lokasi myoma uteri dari pemeriksaan fisik seringkali mengalami kesulitan, karena tidak mudah untuk membedakan massa tersebut berada pada lapisan mana pada uterus. Oleh karena itu, diperlukan pemeriksaan penunjang untuk menentukan lokasi nya. c. Pemeriksaan Penunjang Dari pemeriksaan penunjang yaitu USG Gynecology, didapatkan hasil: uterus

membesar dan didapatkan myoma beberapa buah di uterus posterior dengan ukuran 51.3x55.5, 29.2x32.1, 23.4x33.8 mm. Hasil UGS Abdomen ulangan, didapatkan susp. myoma uteri multiple intramural dan sebserous, serta
ditemukan juga adanya polip multiple gall bladder. Myoma uteri dapat didiagnosis dengan ultrasonografi baik transabdominal, transvaginal, atau kombinasi. Myoma uteri menunjukkan gambaran yang spesifik pada USG, yaitu tumour berbatas tegas, hypoechoic, dengan degenerasi lokasi, cystic. USG pre-operatif dilakukan untuk resiko

mengidentifikasi

jumlah,

ukuran myoma

sehingga mengurangi

terlewatnya myoma yang berukuran kecil pada saat operasi, yang mungkin menimbulkan gejala yang menetap atau gejala yang berulang. USG juga digunakan

untuk follow up myoma uteri setelah menopause dan follow up terapi medikamentosa seperti terapi GnRH (Padubidri dan Daftary, 2010). Dengan demikian tegaklah diagnosa myoma uteri pada pasien ini, dimana data diperoleh dari gejala, temuan pemeriksaan fisik, dan hasil pemeriksaan penunjang. 4.3 Penatalaksanaan Myoma Uteri Penatalaksanaan myoma uteri meliputi: konservatif dengan observasi disertai pemeriksaan serial, terapi medikamentosa, dan terapi operatif. 1. Konservatif Pasien dengan myoma kecil dan tanpa gejala tidak memerlukan pengobatan, namun harus diawasi perkembangan tumornya. Tidak ada ukuran standar pada myoma uteri asimptomatis untuk dilakukan tindakan operasi. Pada pasien tanpa gejala serta tidak menunjukan tanda-tanda keganasan, usia pasien, status infertilitas dan keputusan mengangkat uterus atau tidak dilakukan tindakan operasi menjadi bahan pertimbangan untuk terapi. Pemeriksaan fisik dan ultrasonografi harus dilakukan dan diulangi dalam 6-8 minggu untuk mencatat ukuran dan gambaran pertumbuhan. Jika pertumbuhannya tetap, pasien diikuti tiap 3-4 bulan (Hadibroto, 2005). Pada pasien ini tidak dilakukan tindakan konservatif karena pasien telah mengalami gejala klinis yang jelas yaitu berupa perdarahan abnormal dari jalan lahir dan nyeri. Myoma uteri yang menimbulkan gejala klinis membutuhkan terapi (Padubidri dan Daftary, 2010). Selain itu dari pemeriksaan fisik dan penunjang, ditemukan myoma uteri multiple dengan ukuran yang cukup besar yaitu 51.3 x 55.5 mm, 29.2 x 32.1

mm, 23.4 x 33.8 mm. Dengan demikian tindakan konservatif bukan menjadi pilihan.
2. Medikamentosa Terapi medikamentosa merupakan terapi tambahan atau terapi pengganti sementara dari operatif. Preparat yang saat ini digunakan untuk terapi medikamentosa antara lain: analog GnRH (Gonadotropin-releasing hormone), progesteron, danazol, gestrinon, tamoksifen, goserelin, antiprostaglandin, agen-agen lain (gossipol,

amantadine) (Hadibroto, 2005). Agen tersebut dibuktikan memberikan hasil dapat memperbaiki gejala klinis yang ditimbulkan myoma uteri. Pemberian terapi medikamentosa ini bertujuan untuk mengurangi ukuran myoma uteri dengan jalan menekan produksi estrogen oleh ovarium. Akan tetapi, terapi medikamentosa ini

memiliki efek samping yaitu terjadinya hirsutism dan efek samping lain, selain itu juga harga yang cukup mahal, serta resiko rekurensi dan pertumbuhan

myoma setelah terapi medikamentosa dihentikan dilaporkan masih tinggi sehingga seringkali masih membutuhkan tindakan operasi (Padubidri dan
Daftary, 2010). Dengan mempertimbangkan hal tersebut, pada pasien ini tidak diberikan terapi medikamentosa, dan direncanakan ke arah terapi pembedahan. 3. Pembedahan Indikasi terapi bedah untuk myoma uteri menurut American College of obstetricians and Gyneclogist (ACOG) dan American Society of Reproductive Medicine (ASRM) adalah: Perdarahan uterus yang tidak respon terhadap terapi konservatif Curiga adanya keganasan Pertumbuhan myoma pada masa menopause Infertilitas kerana ganggaun pada cavum uteri maupun kerana oklusi tuba Nyeri dan penekanan yang sangat menganggu Gangguan berkemih maupun obstruksi traktus urinarius Anemia akibat perdarahan Pada pasien ini, indikasi yang mengarahkan pada pilihan terapi pembedahan adalah: curiga adanya keganasan, pertumbuhan myoma pada masa menopause, nyeri yang menganggu, dan anemia akibat perdarahan. Tindakan pembedahan memiliki kelebihan antara lain: dapat mengangkat jaringan fibroid, menurunkan resiko keganasan. Resiko terjadinya rekurensi akibat kurang teliti atau masih tertinggalnya myoma uteri yang berukuran kecil pada saat operasi sekitar 5-10%, namun hal ini dapat dikurangi dengan pemeriksaan USG pre operasi secara cermat (Padubidri dan Daftary, 2010). Tindakan pembedahan yang dilakukan adalah miomektomi atau histerektomi. Miomektomi Miomektomi adalah pengambilan jaringan myoma saja tanpa pengangkatan uterus. Miomektomi ini dilakukan pada wanita yang ingin mempertahankan fungsi reproduksinya (Prawirohardjo, 2007). Tindakan miomektomi dapat dilakukan dengan laparotomi, histeroskopi maupun dengan laparoskopi. Pada laparotomi, dilakukan insisi pada dinding abdomen untuk mengangkat myoma dari uterus. Keunggulan melakukan miomektomi laparotomi adalah lapangan pandang operasi yang lebih luas sehingga penanganan terhadap perdarahan yang mungkin timbul pada pembedahan

miomektomi dapat ditangani dengan segera. Namun, resiko terjadi perlengketan lebih besar, sehingga akan mempengaruhi faktor fertilitas pada pasien, disamping masa

penyembuhan paska operasi lebih lama, sekitar 4-6 minggu. Pada miomektomi secara histeroskopi dilakukan terhadap myoma submukosum yang terletak pada kavum uteri. Keunggulan tehnik ini adalah masa penyembuhan paska operasi sekitar 2 hari. Komplikasi yang serius jarang terjadi namun dapat timbul perlukaan pada dinding uterus, ketidakseimbangan elektrolit, dan perdarahan. Miomektomi juga dapat dilakukan dengan menggunakan laparoskopi. Myoma yang bertangkai diluar kavum uteri dapat diangkat dengan mudah secara laparoskopi. Myoma subserosum yang terletak didaerah permukaan uterus juga dapat diangkat dengan tehnik ini. Keunggulan laparoskopi adalah masa penyembuhan paska operasi sekitar 2-7 hari. Resiko yang terjadi pada pembedahan ini termasuk perlengketan, trauma terhadap organ sekitar seperti usus, ovarium,rektum serta perdarahan (Hadibroto, 2005). Histerektomi Histerektomi adalah pengangkatan uterus, yang umumnya adalah tindakan definitive untuk myoma uteri (Prawirohardjo, 2007). Tindakan histerektomi dapat dilakukan secara abdominal (laparotomi), vaginal dan pada beberapa kasus dilakukan laparoskopi. Histerektomi perabdominal dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu total abdominal hysterectomy (TAH) dan subtotal abdominal histerectomy (STAH) atau disebut dengan Supra Vaginal Histerektomi (SVH). Masing-masing prosedur ini memiliki kelebihan dan kekurangan. SVH dilakukan untuk menghindari resiko operasi yang lebih besar seperti perdarahan yang banyak, trauma operasi pada ureter, kandung kemih dan rektum. Namun dengan melakukan SVH kita meninggalkan serviks, di mana kemungkinan timbulnya karsinoma serviks dapat terjadi. Pada TAH, jaringan granulasi yang timbul pada tungkul vagina dapat menjadi sumber timbulnya sekret vagina dan perdaraahn paska operasi di mana keadaan ini tidak terjadi pada pasien yang menjalani SVH (Hadibroto, 2005). Histerektomi juga dapat dilakukan pervaginam, dimana tindakan operasi tidak melalui insisi pada abdomen. Secara umum histerektomi vaginal hampir seluruhnya merupakan prosedur operasi

ekstraperitoneal, dimana peritoneum yang dibuka sangat minimal sehingga trauma yang mungkin timbul pada usus dapat diminimalisasi. Maka histerektomi pervaginam tidak terlihat parut bekas operasi sehingga memuaskan pasien dari segi kosmetik. Selain itu kemungkinan terjadinya perlengketan paska operasi lebih minimal dan masa penyembuhan lebih cepat dibandng histerektomi abdominal. Histerektomi laparoskopi ada bermacam-macam tehnik. Tetapi yang dijelaskan hanya 2 iaitu; histerektomi vaginal dengan bantuan laparoskopi (Laparoscopically assisted vaginal

histerectomy/LAVH) dan classic intrafascial serrated edged macromorcellated

hysterectomy (CISH) tanpa colpotomy. Pada LAVH dilakukan dengan cara memisahkan adneksa dari dinding pelvik dengan memotong mesosalfing kearah ligamentum kardinale dibagian bawah, pemisahan pembuluh darah uterina dilakukan dari vagina. CISH pula merupakan modifikasi dari STAH, di mana lapisan dalam dari serviks dan uterus direseksi menggunakan morselator. Dengan prosedur ini diharapkan dapat mempertahankan integritas lantai pelvik dan mempertahankan aliran darah pada pelvik untuk mencegah terjadinya prolapsus. Keunggulan CISH adalah mengurangi resiko trauma pada ureter dan kandung kemih, perdarahan yang lebih minimal,waktu operasi yang lebih cepat, resiko infeksi yang lebih minimal dan masa penyembuhan yang cepat. Jadi terapi myoma uteri yang terbaik adalah melakukan histerektomi. Dari berbagai pendekatan, prosedur histerektomi laparoskopi memiliki kelebihan kerana masa penyembuhan yang singkat dan angka morbiditas yang rendah dibanding prosedur histerektomi abdominal (Hadibroto, 2005). Pemilihan teknik pembedahan pada kasus ini adalah dengan histerektomi. Dengan pertimbangan karena myoma uteri multiple dengan ukuran 51.3 x 55.5 mm, 29.2 x 32.1 mm, 23.4 x 33.8 mm, serta pasien yang tidak menginginkan lagi fungsi reproduksinya. Histerektomi diindikasikan pada pasien denga usia > 40 tahun, multipara, atau curiga keganasan. Dengan histerektomi dapat dipastikan pengambilan semua myoma sehingga mengurangi gejala klinis. Teknik histerektomi yang sering dilakukan adalah total histerektomi. Namun, beberapa pertimbangan dimana dipilih teknik histerektomi sub total adalah pasien yang masih menginginkan fungsi seksual nya, sehingga servik tetap dipertahankan. Oleh karena itu, sebelum dilakukan STAH atau SVH, pada pasien ini dilakukan pemeriksaan Kuret PA I-II dan Pap Smear untuk melihat kondisi serviks pasien apakah ada tanda-tanda keganasan. Dan dari hasil kedua pemeriksaan tersebut, kondisi serviks dalam batas normal. Hal lain yang perlu diperhatikan pada pasien ini adalah komplikasi dari histerektomi. Beberapa komplikasi supravaginal histerektomi antara lain: dyspreunia dan nyeri akibat perlekatan, jaringan granulasi, residual ovarian syndrome dan atropi ovarium karena penurunan vaskularisasi sehingga menyebbakan premature

menopause, serta resiko ca ovarium.

BAB 5 KESIMPULAN

Dari laporan kasus myoma uteri ini dapat disimpulkan: Gejala klinis myoma uteri yang ditemukan pada pasien ini adalah perdarahan abnormal uterus yaitu menoragia, metroragia, dan disertai dismenorea Diagnosis myoma uteri pada pasien ini ditegakkan dengan anamnesa, pemeriksaan gynecology, dan pemeriksaan penunjang dengan ultrasonografi Penatalaksanaan myoma uteri pada pasien ini adalah dengan terapi pembedahan. Indikasi yang mengarahkan pada pilihan terapi pembedahan pada pasien ini adalah: curiga adanya keganasan, pertumbuhan myoma pada masa menopause, nyeri yang menganggu, dan anemia akibat perdarahan. Teknik pembedahan yang dipilih adalah histerektomi supravaginal karena pertimbangan: myoma uteri multiple serta pasien yang tidak menginginkan fungsi reproduksinya. Namun karena pasien masih ingin mempertahankan fungsi seksual nya, maka dipilih histerektomi subtotal. Dengan cara mengangkat uterus dengan meninggalkan serviks dan vagina.

DAFTAR PUSTAKA

Anwar, M., Baziad, A., Prabowo, P. 2011. Tumor Jinak Miometrium. Dalam: Ilmu Kandungan Edisi Ketiga, PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo: Jakarta DeCherney, A., Nathan L., Goodwin M., Laufer N. 2007. Benign Disorders of the Uterine Corpus. Current Diagnosis & Treatment Obstetrics & Gynecology, Tenth, page 134-145 Gibbs, Ronald S., Karlan, Beth Y., Haney, Arthur F., Nygaard, Ingrid E. 2008. Leiomyomata. Danforth's Obstetrics and Gynecology, 10th Edition Gimbel, H. 2007. Total or subtotal hysterectomy for benign uterine diseases? A metaanalysis. Acta Obstet Gynecol Scand, vol. 86, no. 2, page 133-44. Hadibroto, B. 2005. Myoma Uteri. Majalah Kedokteran Nusantara, vol. 38, no. 3, page 1-6 Lethaby,A., Mukhopadhyay, A., Naik, R. 2012. Total versus subtotal hysterectomy for benign gynaecological conditions. Cochrane Database Syst Rev, vol. 18, no. 4 Padubidri dan Daftary. 2010. Fibromyoma. Shaws Texbook of Gynecology, 15th Edition, page 275-364 Parker, W.. 2007. Etiology, symptomatology, and diagnosis of uterine Myomas. American Society for Reproductive Medicine, vol. 87, no. 4, page 1-17 Wallach, E. dan Vlahos,N. F. 2004. Uterine Myomas: An Overview of Development, Clinical Features, and Management. The American College of Obstetricians and Gynecologists, vol. 104, no. 2, page 393-406

You might also like