You are on page 1of 26

PENGARUH DAYA SIMPAN Trichoderma harzianum PADA BERBAGAI MEDIA CAIR TERHADAP EFEKTIVITAS Trichoderma harzianum DALAM MENEKAN

PERKEMBANGAN DAN PERTUMBUHAN JAMUR PETOGEN TULAR TANAH (Rhizoktonia solani)

PROPOSAL SKRIPSI

Samsul arifin 101510501060

PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS JEMBER 2013

BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang Permasalahan dalam bidang sektor pertanian adalah meningkatnya populasi hama dan penyakit tanaman yang akan berdampak pada kualitas dan kuantitas produksi pertanian. Meningkatnya suatu populasi hama dan penyakit disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya adalah penggunaan pestisida berlebihan atau penggunaan pestisida di bawah ambang ekonomi. Penggunaan pestisida kimia secara berlebihan akan berdampak negatif terhadap lingkungan dan kesehatan (Istikorini dalam Andriani et al. 2012). Pestisida sintetis berpengaruh negatif terhadap makhluk hidup karena disebabkan akumulasi dan absorpsi pestisida melalui rantai makanan sehingga dapat mengganggu keseimbangan ekologi ( Tarumingkeng Dalam Laba, 2010). Penggunaan pestisida kimia telah berlangsung hampir selama 35 tahun sehingga banyak menimbulkan kerusakan terhadap struktur tanah, resistensi hama dan penyakit, kesehatan manusia, pencemaran terhadap perairan,serta berpengaruh terhadap kualitas dan kuantitas tanaman (Deptan, 2004 dalam Nasahi, 2010). Pertanian organik merupakan sistem pertanian yang berbasis mengurangi penggunaan pestisida kimia yang berlebihan untuk menjaga kualitas dan kuantitas tanah serta menjaga dan meningkatkan produksi bahan pangan (Produk pertanian). Pertanian organik merupakan teknik budidaya pertanian yang memanfaatkan mikroba agen hayati sebagai input dan pengendalian hama maupun penyakit, pertanian organik lebih menjaga serta meningkatkan keragaman hayati dan keseimbangan ekologi sehingga menghasilkan keseimbangan yang optimal. Penerapan PHT sejalan dengan pertanian organik karena PHT berbasis mempertahankan dan meningkatkan keragaman hayati, keseimbangan ekologi, dan mengurangi pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh penggunaan pestisida secara berlebihan untuk mencapai pertanian yang lebih produktif dan berkelanjutan (Laba, 2010). Pertanian organik lebih berbasis terhadap penggunaan varietas tahan, musuh alami dan pestisida nabati dalam melakukan pengendalian

terhadap organisme pengganggu tanaman (OPT), (Budianto, 2002 dalam Laba, 2010). Pemanfaatan agen hayati saat ini mulai ditingkatkan dan banyak dilakukan oleh para petani yang berlandaskan kesadaran akan bahaya penggunaan pestisida kimia terhadap kesehatan dan kelestarian lingkungan, pentingnya menjaga

kesehatan dan kelestarian lingkungan hidup (Andoko, 2002 dalam Nasahi, 2010). Grafik perkembangan dan penerapan pendekatan pertanian organik terus meningkat seiring dengan semakin jelasnya dampak negatif dari penggunaan pupuk kimia maupun pestisida sintetis terlalu tinggi dan terus menerus tanpa penggunaan input secara alami (High External Input Agriculture-HEIA). Konsep memperhatikan pengendalian keseimbangan OPT yang perlu dan dikembangkan kelestarian harus

ekosistem

lingkungan.

Pengendalian hayati merupakan alternatif dalam pengendalian OPT dari golongan hama maupun penyakit, pengendalian hayati dapat membatasi pertumbuhan dan perkembangan patogen (Baker dan Cook, 1974 dalam ). Pengendalian hayati merupakan suatu inovasi yang dapat memberikan nilai positif terhadap peningkatan produksi serta keterampilan dan pengetahuan petani sehingga dapat mengurangi penggunaan pestisida kimia ( Laba, 2010). Pemanfaatan musuh alami yang bersifat antagonis dapat menekan pertumbuhan dan perkembangan jamur patogen tanaman, Pengendalian hayati berprinsip tidak memusnahkan populasi patogen tetapi menekan perkembangan populasi patogen sampai berada dalam keseimbangan biologi (Dhingra dan Sinclair, 1985). Trichoderma harzianum merupakan cendawan yang mempunyai aktivitas antagonistik yang tinggi terhadap cendawan patogen tular tanah. Trichoderma harzianum dapat disolasi dari berbagai macam tanah dan juga dapat disolasi dari permukaan akar tanaman serta dapat diisolasi dari kayu busuk atau seresah (Suwahyono dan Wahyudi, 2001). Koloni Trichoderma harzianum pada awal inkubasi miseliumnya akan terlihat berwana putih yang selanjutnya berubah menjadi kuning dan akhirnya berubah menjadi hijau tua pada umur inkubasi lebih lanjut. Trichoderma. harzianum dapat menghasilkan berbagai macam metabolik toksik seperti antibiotik atau enzim yang bersifat litik sehingga T. harzianum

dapat bersifat antagonis dan mempunyai kemampuan kompetisi dengan patogen dalam memperebutkan nutrisi, oksigen dan ruang tumbuh (Wahyudi, 2000). Trichoderma sp merupakan jamur antagonis yang telah banyak diteliti terhadap beberapa sebagai agen hayati jamur patogen tanaman. Penggunaan Trichoderma sp

banyak dikembangkan dalam bentuk substrat untuk Pengembangan dalam bentuk substrat kurang aplikasi

diaplikasikan dilapangan .

praktis dan kurang efisien untuk aplikasi di lapangan, terutama

dalam skala luas. Sehingga perlu inovasi suatu teknik pengemasan agens hayati dalam bentuk formulasi. memudahkan Formulasi dapat mempermudah aplikasi,

pengangkutan serta

dalam menentukan konsentrasi sehingga

didapatkan hasil yang efisien dan efektif. Agensia hayati telah banyak diformulasikan dalam bentuk tepung, cair, dan butiran. Hasil penelitian Hadijaya (1994) Trichoderma sp. dapat ditumbuhkan dan dikembangkan pada media cair. Purwantisari (2008) menyatakan Formulasi terdiri atas bahan aktif, bahan makanan, bahan pembawa, dan bahan pencampur. Sumber makanan dalam suatu formulasi beragam sesuai bahan aktif yang digunakan dalam formulasi. Bahan organik merupakan bahan makanan Trichoderma sp karena mengandung sumber karbon dan energi yang dapat digunakan sebagai sumber makanan selama perkembangan dan pertumbuhaannya. Menurut Purwantisari et al., (2008) komposisi bahan organik yang

digunakan sebagai bahan makanan yang akan digunakan dalam pertumbuhan jamur saprofit seperti Trichoderma sp minimal mengandung selulosa. Komposisi dan konsentrasi media tumbuh akan berpengaruh terhadap daya tahan hidup, sporulasi dan daya antagonisme (Sinaga, 1989). Sehingga perlu media tumbuh yang dapat digunakan dalam pembuatan formulasi biofungisida yang mempunyai kandungan nutrisi yang dibutuhkan oleh Trichoderma sp. Formulasi biofungisida Trichoderma sp semakin lama

disimpan, maka viabilitas Trichoderma sp akan menurun, sehingga untuk menguji viabilitas Trichoderma sp maka dilakukan penyimpanan. Smith (1991) dalam Widyastuti,.dkk (2002) menyatakan penyimpanan suatu formulasi

biofungisida Trichoderma sp. dapat menyebabkan perubahan permanen atau sementara pada sifat-sifat fisiologi isolat sebagai akibat respon adaptasi.

1.2 Perumusan Masalah 1. Bagaimana viabilitas Trichoderma sp yang di inokulasikan ke dalam media cair selama penyimpanan 2 minggu, 4 minggu, 6 minggu, 8 minggu, 10 minggu dan 12 minggu? 2. Bagaimana kemampuan antagonis Trichoderma sp. dalam menekan

perkembangan patogen tular tanah penyebab rebah kecambah selama penyimpanan 2 minggu, 4 minggu, 6 minggu, 8 minggu, 10 minggu dan 12 minggu? 3. Bagaimana formulasi terbaik dari agen hayati yang dikembangkan di beberapa media cair selama penyimpanan yang mendukung pertumbuhan agen hayati dan mempunyai nilai efektivitas tertinggi dalam pengendalian patogen penyebab penyakit rebah kecambah? 1.3 Tujuan Penelitian ini ditujukan untuk menguji daya simpan agen hayati Trichoderma sp. pada media cair organik dan efektivitasnya dalam menekan pertumbuhan dan perkembangan patogen penyakit rebah kecambah pada tanaman tembakau?

1.4 Manfaat Hasil penelitian ini diharapkan menjadi rekomendasi dalam mengembangkan formulasi biofungisida bentuk media cair. Trichoderma sp. serta lama penyimpanannya dalam

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tanaman tembakau Tanaman tembakau merupakan salah satu komodiatas perkebunan yang memiliki nilai ekonomis cukup tinggi karena mempunyai peranan penting dalam penyerapan tenaga kerja serta mempunyai nilai penting dalam perkembangan perekonomian negara yang merupakan salah satu komoditas ekspor yang cukup besar. Masyarakat indonesia tidak kurang dari 16 juta jiwa menggantungkan hidupnya dari pendapatan tanaman tembakau atau industri rokok, mulai dari kegiatan produksi, pasca panen, angkutan sampai kegiatan pada industri hilir (Supriyanto dkk, 2003). Sehingga para petani tembakau dituntut untuk

meningkatkan produksi serta menjaga kualitasnya sehingga memenuhi permintaan pasar. Beberapa penyakit penting yang disebabkan oleh cendawan pada

Tembakau di antaranya seperti Layu Ralstonia solanacearum, Lanas, Rebah Semai dan Rhizoctonia ( Semangun, 2000). 2.2 Penyakit rebah kecambah (Dumping off) Rhizoctonia merupakan jamur terbawa tanah yang dikenal sebagai salah satu patogen damping off. Infeksi patogen Rhizoctonia dapat

menyebabkan kematian semai antara18,08% sampai 33,76% (Sumardi & Widyastuti, 2001). Suryantini (2004) menyatakan bahwa jumlah kematian semai akibat infeksi R. solani lebih besar dari pada Fusarium sp. Rebah kecambah (damping-off) merupakan terminologi bagi setiap penyakit yang berakibat busuknya semai atau tajuk muda yang masih sukulen. Penyakit ini disebabkan oleh sejumlah fungi penghuni tanah yang merupakan parasit fakultatif tanpa disertai kekhususan dengan inangnya (Hartley, 1921

dalam Herdiana, 2000). Penyakit rebah kecambah atau Dumping off merupakan penyakit pada tanaman yang menyerang pada fase tanaman kecambah atau bibit tanaman muda. Penyakit pada umumnya menyerang pada semua tanaman karena patogen tanaman ini termasuk patogen polifag. Beberapa penelitian menunjukan penyakit rebah kecambah dapat menyerang tanaman kacang hijau, (Hardaningsih, 2011), kacang hijau (Hayati, 2009), tomat (Novita, 2008), cabai (Mulyati, 2009)

umbi kentang (Purwantisari dan Hastuti, 2009), Kedelai (Widodo, 2004), Buncis (Lo. et al, 1988), Tembakau (Supriyanto. Dkk, 2003), (Semangun, 2000). Pada penelitian yang dilakukan oleh Maulidiana (2008) dalam tugas akhir menunjukan permasalahan penyakit layu akibat patogen rebah kecambah pada tembakau Deli di PT Perkebunan Nusantara II Kebun Helvetia memberikan dampak yang cukup besar pada hasil dan kualitas tembakau yang dihasilkan. Penyakit rebah kecambah (Dumping off) merupakan penyakit penyebarannya sangat cepat pada kelambaban yang tinggi, faktor lain pendukung

perkembangannya adalah aerasi, suhu dan pH tanah (Usmadi & Hartana, 2007).

2.1 Klasifikasi Rhizoktonia solani Rhizoctonia solani merupakan salah satu jenis patogen lodoh yang paling umum menyerang bibit tanaman kehutanan di persemaian. Rhizoktonia solani Menurut Herdiana (2007) Kingdom Devisi Subdivisi Class Subclass Ordo Family Genus Spesies . : Fungi : Amastigomycota : Deuteromycota : Deuteromycetes : Hypomycetidae : Agonomycetales : Agonomycetaceae : Rhizoktonia : R.solani adalah sebagai berikut : Klasifikasi

Rhizoctonia dikenal sebagai myselia sterelia, karena tidak menghasilkan

konidia (Alexopoulus, 1952 dalam Herdiana, 2007). 2.2.1 Gejala Penyakit rebah kecambah (Dumping off) dipersemaian tembakau disebabkan oleh cendawan Rhizoctonia solani. Gejala penyakit di persemaian mirip dengan gejala penyakit lanas. Tanaman atau daun yang sakit berwarna hijau kelabu. Batang atau tangkai yang mengalami infeksi berlekuk. Akhirnya tanaman sakit rebah, terletak diatas tanah dan mengering. Tanaman yang sakit terikat

dengan tanah oleh benang-benang yang berwarna putih kecoklatan. Jamur sering membentuk jala benang-benang di permukaan tanah. Pada saat pagi hari pada jala-jala tersebut terdapat embun yang bergantungan. Tanaman yang sakit pangkal batangnya busuk, berlekuk dan rebah. Pengangkutan air berlangsung terus dan daun-daun tidak layu karena karena pembuluh kayu batang tidak rusak. Tanaman yang terserang yang rebah Rhizoktonia Solani sering hidup tersu dengan ujung yang membelok ke atas (Semangun, 2000). 2.2.2 Biologi penyakit Secara umum, pertumbuhan R. solani berlangsung sangat cepat. Satu isolat dapat tumbuh menutupi cawan Petri ukuran 90 mm dalam tiga hari. Cendawan ini dapat hidup selama beberapa tahun dengan memproduksi sklerotia di tanah dan jaringan tanaman. Beberapa R. solani yang bersifat patogen terhadap tembakau memiliki kemampuan untuk memproduksi sklerotia yang berdinding luar tebal, sehingga mampu terapung dan bertahan hidup di air. R. solani juga bertahan hidup sebagai miselium dengan cara saprofit, yakni mengkolonisasi bahan-bahan organik tanah khususnya sebagai hasil aktivitas patogen tanaman. Sklerotia dan/atau miselia yang berada di tanah atau jaringan tanaman tumbuh dan membentuk hifa yang dapat menyerang beberapa jenis tanaman. Patogen ini sangat cocok dengan keadaan struktur tanah yang kurang baik dan kelembapan tanah yang tinggi (Ceresini 1999; CABI 2004). 2.2.3 Daur Penyakit Rhizoktonia Rhizoktonia solani bertahan hidup bertahun-tahun didalam tanah walaupun dibawah kondisi buruk dalam bentuk struktur istirahat yang disebut sklerotia (Scotts & Marysville, 1987; Daryani, 1995; Charli, 2003). Menurut Smiley, Dernoeden dan Clarke (1992), sklerotia mempunyai sifat tahan terhadap panas, dingin, kekeringan dan Fungisida.

2.3 Jamur antagonis Trichoderma sp. Klasifikasi kapang Trichoderma viride menurut Alexopoulus dan Mims (1979) adalah sebagai berikut ini : Kingdom : Fungi

Divisio : Amastigomycota Subdiviso : Deuteromycotina Classis : Deuteromycetes Ordo : Moniliales Family : Moniliaceae Genus : Trichoderma Species : Trichoderma sp. Klasifikasi Trichoderma harzianum menurut Semangun (2000) adalah sebagai berikut : Kingdom Phylum Class Subclass Ordo Family Genus Species : Fungi : Ascomycota : Ascomycetes : Hypocreomycetidae : Hypocreales : Hypcreaceae : Trichoderma : T. harzianum

Trichoderma merupakan fungi Deuteromycetes dengan konidiofor tegak, bercabang banyak, agak berbentuk kerucut, dapat membentuk klamidospora. Pada umumnya koloni dalam biakan tumbuh dengan cepat, berwarna putih sampai hijau (Cook and Baker, 1989). Bentuk sempurna dari fungi ini secara umum dikenal sebagai Hipocreales atau kadang-kadang Eurotiales, Clacipitales dan

Spheriales. Spesies dalam satu kelompok yang sama dari Trichoderma dapat menunjukkan spesies yang berbeda pada Hypocrea sebagai anamorf. Hal ini dimungkinkan karena terdapat banyak perbedaan bentuk seksual dari

Trichoderma (Chet, 1987). Koloni Trichoderma pada media biakan PDA tumbuh dengan cepat pada suhu 25- 30 C. Koloni ini akan berubah warna menjadi hijau tua sedangkan bagian bawahnya tidak berwarna (Samuel dkk, 2005). Fungi T. harzianum mempunyai hifa bersepta, bercabang dan

mempunyai dinding licin, tidak berwarna, diameter 1.5-12 m. Percabangan hifa membentuk sudut siku-siku pada cabang utama. Cabang-cabang utama konidiofor berdiameter 4-5 m dan menghasilkan banyak cabang-cabang sisi yang dapat tumbuh satu-satu tetapi sebagian besar berbentuk dalam kelompok yang agak longgar dan kemudian berkembang menjadi daerah-daerah seperti cincin. Pada ujung konidiofor terbentuk konidiospora berjumlah 1-3, berbentuk pendek,

dengan kedua ujungnya meruncing dibandingkan dengan bagian tengah, berukuran 5-7 x 3-3.5 m, diujing konidiofor terdapat konidia berbentuk bulat, berdinding rata dengan warna hijau suram, hijau keputihan, hijau terang atau agak kehijauan (Gandjar et al, 1999). Beberapa ciri morfologi fungi T. harzianum yang menonjol antara lain koloninya berwarna hijau muda sampai hijau tua yang memproduksi konidia aseksual berbentuk globus dengan konidia tersusun seperti buah anggur dan pertumbuhannya cepat (fast grower) (Harman, 1998 dalam Jamilah,2011). 2.4 Formulasi media cair Banyaknya penelitian yang melaporkan keberhasilan penggunaan agens antagonis dari golongan cendawan dalam mengendalikan patogen terbawa tanah seperti Trichoderma sp., belum pernah diiikuti oleh keberhasilan perbanyakan dalam skala luas. Salah satu kendala yang dianggap sangat mempengaruhi adalah biaya yang dikeluarkan terlalu mahal, baik untuk penyediaan bahan baku maupun untuk membayar upah tenaga kerja. Oleh karena itu penelitian tentang tekhnologi perbanyakan agens antagonis dan bentuk formulasinya perlu terus dikembangkan, sehingga diperoleh suatu tekhnik yang lebih efektif dan efisien.( Muklasin, 1999). Formulasi yang perlu dikembangkan adalah formulasi fermentasi cair. Formulasi adalah proses pencampuran senyawa-senyawa murni (technical grade) dengan bahan-bahan lain, seperti bahan pengemulsi, bahan pelarut, atau bahan pembasah tertentu (Sastroutomo,1992). Fermentasi merupakan disimilasi

anaerobik dan aerobik senyawa-senyawa organik yang disebabkan oleh aktivitas mikroorganisme ( said. 1987). Fermentasi mempunyai pengertian yang lebih luas yaitu mencakup aktivitas metabolisme mikroorganisme baik aerobik maupun anaerobik yang menyebabkan terjadinya perubahan atau transformasi kimiawi atau subtrat organik (Rachman, 1989). Fermentasi cair adalah fermentasi yang menggunakan media cair sebagai sumber energi untuk pertumbuhan mikroorganisme. Medium cair digunakan baik pada fermentasi permukaan maupun fermentasi terendam. Dibanding dengan medium padat , medium cair mempunyai beberapa keunggulan, yatu komposisi dan konsentrasi medium dapat diatur dengan mudah, dapat memberikan kondisi

optimum bagi pertumbuhan dan aktivitas mikroorganisme, dan pemakain medium dapat lebih efisien (Rachman, 1989). Papavizas et al. (1984) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa tekhnologi fermentasi cair merupakan salah satu cara yang dianggap berhasil dalam perbanyakan propagul agen hayati Trichoderma sp. pada skala yang lebih besar dengan biaya yang relatif murah tanpa mengurangi daya serang dan ketahanan hidup agen antagonis Trichoderma sp. Alat yang digunakan dalam inokulasi agen hayati media cair adalah fermentor/aerator. Fermentor merupakan wadah , baik berupa tangki-tangki tempat berlangsungnya oksidasi mikrobial aerobik, maupun tangki-tangki propagasi tempat khamir dan organisme lainnya yang ditangkar dalam keadaan tanpa udara (Said, 1987). Dalam industri fermentasi Karbohidrat merupakan sumber energi. Glukosa dan sukrosa jarang digunakan sebagai sumber karbon karena mahal harganya, sedangkan limbah industri gula, yaitu molase meruapakan sumber karbohidrat termurah. Disamping mengandung gula molase juga mengandung senyawa bernitrogen dan vitamin sehingga banyak digunakan sebagai sumber karbohidrat (Fardiaz, 1988). Molase mengandung sekitar 50-60% gula. Komposisi molase bervariasi tergantung bahan mentah yang digunakan untuk produksi gula. Perbedaan mutu molase dipengaruhi oleh lokasi, kondisi iklim, dan proses produksi pada masingmasing pabrik (Fardiaz, 1989),juga dipengaruhi oleh keadaan tebu yaitu kemasakan, mutu dan jenis tebu tanah ( Paturan, 1982 dalam Mahiyanti, 1998). 2.4 Daya simpan Bahan pembawa dalam formulasi biofungisida dapat memanfaatkan kaolin. Kelebihan dari kaolin ini yaitu mudah ditemukan dibeberapa daerah khususnya di Riau. Bahan pencampur untuk formulasi biofungisida dapat menggunakan tepung tapioka. Smith, (1991) menyatakan bahwa penyimpanan formulasi dapat menyebabkan perubahan permanen atau sementara pada sifat-sifat fisiologis isolat sebagai akibat respon adaptasi. Selama proses penyimpanan terjadi kecendrungan penurunan daya hambat sementara dari Trichoderma spp dalam formulasi terhadap patogen tular tanah (Widyastuti dkk.,

2002). Masa simpan produk agensia tersebut berkisar dalam minggu, bulan bahkan hitungan tahun tergantung pada jenis dan tujuan produk agensia pengendalian hayati tersebut (Susanto, 2008). Lama penyimpanan 1 bulan (4 minggu) merupakan lama penyimpanan yang terbaik untuk formulasi

biofungisida pada suhu kamar (Hapsari, 2003 dalam Purwantisari dkk, 2008).

BAB 3. METODE PENELITIAN

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian tentang Pengaruh Daya Simpan Trichoderma Harzianum Pada Berbagai Media Cair Terhadap Efektivitas Trichoderma Harzianum Dalam Menekan Perkembangan Dan Pertumbuhan Jamur Petogen Tular Tanah (Rhizoktonia Solani) dilaksanakan di Laboratorium Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian Universitas Jember dengan waktu penelitian Januari 2014 selesai

3.2 Bahan dan Alat 3.2.1 Bahan Bahan yang digunakan dalam Penelitian ini adalah isolat Trichoderma harzianum, dan Isolat Rhizoktonia solani hasil eksplorasi pada media sampel tanah, Ekstrak Kentang, Limbah cair tahu, Air Kelapa, Molase, Media PDA, KMnO4, Media tanam steril ( Kompos : Tanah: Pasir dengan perbandingan 3 : 2: 1), Alkohol 75 % dan aquadest.

3.2.2

Alat Peralatan yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah botol jurigen 1000

mL, aerator, autoclave, polibag ukuran 40 cm x 30 cm, kertas label, pipet, mikroskop, Haemacytometer, hand counter, penggaris, sprayer, gembor.

3.3 Metode Penelitian 3.3.1 Rancangan Percobaan Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap yang terdiri macam media perbanyakan cair sebanyak 4 taraf dan isolat Trichoderma harzianum koleksi Laboratorium Penyakit Tanaman Jurusan Hama Penyakit Tumbuhan Universitas Jember. Kombinasi percobaan yang didapatkan berjumlah 4 kombinasi dan diulang sebanyak 6 kali sehingga total populasi yang harus diamati adalah 24 plot.

Macam media A0 A1 A2 A3 : Kontrol (Media Cari Ekstrak Kentang) : Limbah cair tahu : Air Kelapa : Molase (tetes tebu)

Sumber isolat Trichoderma harzianum berasal dari isolat tanaman padi 3.4 Tahapan Penelitian 3.4.1 Peremajaan dan Perbanyakan patogen dan agensia pengendali hayati Isolat Tricoderma harzianum (koleksi Laboratorium Penyakit Tanaman Jurusan Hama Penyakit Tumbuhan Universitas Jember dan patogen Rhizoktonia solani di peroleh dari isolat koleksi Laboratorium Penyakit Tanaman Fakultas Pertanian Universitas Jember. Isolat yang diperoleh selanjutnya diremajakan pada media miring Potato Dextrose Agar (PDA) dan diinkubasikan selama 5-7 hari sehingga didapatkan isolat yang siap digunakan.

3.4.2

Perbanyakan Trichoderma harzianum pada media cair dengan Fermentor sangat sederhana (FSS)

3.4.2.1 Langkah Pembuatan Media Media yang digunakan adalah ekstrak kentang, Limbah air tahu, air kelapa muda, molase. 1. Media ekstrak kentang Ekstrak kentang didapatkan dengan merebus 200 gram kentang dan ditambahkan 1000 mL aquadest Kentang dimasak selama 20 menit hingga lunak dan diperkirakan sari kentang telah larut kedalam aquadest Ditambahkan 20 gram gula pasir dan di aduk hingga merata Media yang telah siap di pindahkan kedalam erlenmeyer 1000 mL untuk proses sterilisasi didalam autoklaf. 2. Media limbah air tahu Ekstrak limbah air tahu didapatkan dengan cara mencuci 1 kg limbah tahu yang berbentuk padat dengan 1000 mL aquadest

Limbah tahu dengan cara diremas remas 2 menit, air cucian pertama selanjutnya disaring hingga didapatkan air cucian beras yang bersih Ekstrak air limbah tahu kemudian di masak hingga mendidih 20 menit dan dimasukan kedalam erlenmeyer 1000 mL untuk proses sterilisasi didalam aitoklaf

3. Media air kelapa muda Media air kelapa didapatkan dengan cara mengambil air kelapa muda dan disaring hingga bersih Air kelapa kemudian dimasukan kedalam erlenmeyer 1000 mL untuk proses sterilisasi 4. Media molase Media molase didapatkan dengan cara mengambil 10 mL molase murni dan diencerkan kedalam 1000 mL aquadest Larutan dimasak 20 menit dan dimasukan kedalam erlenmeyer 1000 mL untuk proses sterilisasi

3.4.2.2 Langkah Operasional Fermentor Sangat Sederhana (FSS) Rangkaian alat FSS dengan bagan sebagai berikut : 3 2 1 Keteranggan : 1. Aerator (penghasil gelembung udara) 2. Larutan KMnO4 (sebagai sterilisasi udara) 3. Glass woll atau penyaring udara 4. Media perbanyakan Trichoderma 5. Kontrol sebagai deteksi dini kemungkinan kontaminasi Perbanyakan Trichoderma harzianum dilakukan pada media cair dengan berbahan dasar ekstrak kentang (A0), Limbah air tahu (A1), Air kelapa(A2), dan 4 5

Molase (A3). Fermentasi dilakukan dengan cara membuat gelmbung didalam media dengan menggunakan aerator dan di fermentasikan selama 7 10 hari.

3.4.3

Persiapan Media Media yang digunakan dalam penelitian ini adalah campuran dari kompos,

tanah dan pasir dengan perbandingan 3:2:1. Media dicampurkan hingga merata kemudian dimasukan kedalam plastik tahan panas untuk sterilisasi. Sterilisasi ini bertujuan untuk mematikan semua jenis mikroorganisme didalam media. Sterilisasi media dilakukan dengan menggunakan autoclave pada suhu 121o C dengan tekanan 15 psi selama 30 menit. Setelah selesai kemudian di dinginkan hingga suhu ruangan. Media yang telah steril kemudian dimasukan kedalam plastik polibag ukuran 40 cm x 30 cm sebanyak bagian 3 Kg media tanam. Tiga hari sebelum penanaman media di berikan pupuk dasar berupa 10,8 g SP-36 dan 4,2 g Urea 3.4.4 Inokulasi patogen Rhizoktonia solani Inokulasi patogen Rhizoktonia solani dilakukan dengan cara menyuntikan ke dalam media sebanyak 107 spora / mL. Inokulasi patogen dilakukan 6 hari sebelum tanam benih

3.4.5

Inokulasi biakan Trichoderma harzianum Inokulasi biakan Trichoderma harzianum pada media dilakukan setelah

umur biakan 7 10 hari dan aplikasi pada media sosis dilakukan dengan cara menyuntikan pada media 3 hari sebelum tanam. Jumlah spora sebagai standar untuk pengendalian hayati adalah 107 spora / mL. 3.4.6 Penebaran benih Benih diperamkan pada media lembab seperti tissue selama 3 hari setelah berkecambah benih segera dipindahkan pada media pembibitan (polibag 40 cm x 30 cm). 3.4.7 Perawatan Bibit Perawatan bibit dilakukan dengan cara penyiraman secara intensif selama 7 hari setelah tanam agar media tidak kekeringan. Setelah berumur 8 hari

penyiraman disesuiakan dengan kebutuhan media dan bibit. Kegiatan penyiangan juga dilakukan apabila pada media terdapat gulma pengganggu. Pemupukan susulan diberikan pada saat bibit berumur 10 25 hari dengan konsentrasi 1 gram/liter air dengan selang waktu 5 hari. Pada saat bibit berumur 28 hari pemupukan dilakukan dengan selang waktu 3 hari sekali hingga bibit berumur 35 hari. Pemupukan dilakukan dengan cara disemprotkan pada media secara merata. 3.5 Parameter Penelitian 1. Jumlah Spora dan Daya Viabilitas Spora Trichodermaharzianum Viabilitas Trichodermaharzianum dapat dihitung setelah dilakukan penghitungan jumlah spora yang di inokulasikan. Penghitungan jumlah spora pada penelitian ini menggunakan standar agensia hayati yaitu 107 spora/ml,. Jumlah spora dihitung sebelum perbanyakan dan setelah perbanyakan dengan mengguanakan alat Haemacytometer Naubauer.

(BPTP, 2005) 2. Daya Viabilitas Spora Trichoderma harzianum Pengujian daya viabilitas dilakukan dengan cara mengambil 1 cc suspensi formulasi dari Trichoderma harzianum dan patogen Rhizoktonia solani dihitung pada slide cultur jumlah spora yang telah berkecambah dengan hand counter maksimal 24 jam setelah pembuatan suspensi. 3. Uji daya hambat Trichoderma harzianum terhadap patogen Rhizoktonia solani pada media buatan (in vitro) Uji daya patogenisitas dilakukan dengan mengguakan metode Cakram Agar dengan cara menghitung diameter zona hambatan (zona hambatan) pada kultur media PDA. Evaluasi bioaktivitasnya berdasarkan ukuran diameter zona

penghambatan (zona bening) yang terbentuk (diameter zona penghambatan dikurangi dengan diameter cakram agar).

Keterangan : Z A P 2005) 4. Daya simpan Daya simpan isolat Trichoderma harzianum pada beberapa media cair disimpan selama 12 minggu. Pada umur simpan 2, 4, 6, 8, 10,dan 12 minggu dilakukan uji Viabilitas dan jumlah spora serta dilakukan uji daya hambat terhadap Patogen Rhizoktonia solani. 5. Penghitungan Insidensi penyakit Penghitungan insidensi penyakit dilakukan hingga 35 HST dengan selang pengamatan 7 hari sekali. Indikator bibit mati yang terserang patogen adalah terdapat cincin hitam pada pangkal bibit berwarna hitam. : Zona Hambatan : Jari jari koloni isolat jamur antagonis (Trichoderma harzianum) : Jari Jari koloni isolat jamur patogen (Rhizoktonia solani ) (BPTP,

Keterangan : I n N : Intensitas serangan : Jumlah bibit yang mati : Jumlah total bibit yang diamat (Muthahanas dkk, 2007)

6. Kecepatan infeksi patogen Rhizoktonia solani Penghitungan kecepatan infeksi patogen dihitung untuk setiap perlakuan yang diberikan

Keterangan : r : laju infeksi

t Xo X

: waktu berlangsungnya epidemi : Proporsi penyakit pada awal epidemi : Proporsi penyakit setelah awal epidemi (Wagiyana, et al, 2012)

DAFTAR PUSTAKA

Andriani , D., S. Yetti Elfina., dan Venita, Y. 2012. Uji antagonis trichoderma pseudokoningii rifai dalam formulasi Biofungisida yang mengandung beberapa bahan organik Terhadap jamur ganoderma boninense pat Secara in vitro. Skripsi. Jurusan Agroteknologi, Fakultas Pertanian Universitas Riau. Riau. Andoko, A .2002. Budidaya Padi Secara Organik. Penebar Swadaya, Jakarta. Alexopoulos, C.J. and C. W. Mims. 1979. Introductory Mycology. Third edition John Wiley and Sons. New York. Budianto, J. 2002. Kebijakan penelitian dan pengembangan pertanian organik. Prosiding Seminar Nasional dan Pameran Pertanian Organik, Jakarta. Baker, K.F. And R.J. Cook. 1974. Biological Control of Plant Pathogens. W.H. Freman and Company. Amerika. Cook, R. J. and K. F. Baker, 1989. The Nature on Practice of Biological Control of Plant Patogens. ABS press, The American Phytopathological Society, St. Paul, Minesota 539 p CABI. 2004. Crop Protection Compendium. CABI. Ceresini, P. 1999. Rhizoctonia solani, pathogenprofile as one of the requirements of thecourse. Soilborne Plant Pathogens. NC. StateUniversity. http://www.cals.ncsu.edu. Akses20 April 2005. Chet I (Ed.). 1987. Innovative Approaches to Plant Diseases Control. John Wiley and Sons, A Wiley-Interscience Publication, USA. pp. 11-210. Dhingra, O.D. And J.B. Sinclair. 1985. Basic Plant Pathology Methods. CRC. Press Inc, Boca Rotton. Departemen Pertanian. 2004. Pedoman Penyelenggaraan Penyuluhan Pertanian dalam Era Otonomi Daerah. Badan Pengembangan Sumberdaya Manusia Pertanian, Departemen Pertanian. Jakarta. Daryani, Aan. 1995. Uji kisaran inang cendawan Curvularia lunata (Wakker) Boedijn dan rhizoktonia solani kuhn asal rumput bermuda pada berbagai jenis rumput padang golf. Laporan makalah khusus. Jurusan hama dan penyakit tumbuhan.Fakultas pertanian. Institut ertanian Bogor.Bogor 54p.

Ferdiaz, S. 1988. Fisiologi fermentasi. Pusat Antar Universitas, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Hadijaya, N. K. 1994. Pemanfaatan Pupuk Cair EM-4 untuk mengendaliakan penyakit Layu Fusarium. Jurnal Perlindungan Tanaman. Vol. 1 (2): 24 29. Herdiana, N. 2000. Pengaruh Penambahan Pasir pada Media Tanam Tanah Podsolik Merah Kuning terhadap Serangan Patogen Lodoh Rhizoctonia solani pada Beberapa Tingkat Umur Semai Acacia crassicarpa. Skripsi Sarjana. Jurusan Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. Tidak Diterbitkan. Herdiana, N. 2007. Uji Pertumbuhan In Vitro Patogen Lodoh Rhizoctonia Solani Pada Berbagai Tingkatan Ph Dan Jenis Media Tumbuh. Prosiding Ekspose Hasil-Hasil Penelitian. Padang. Hardaningsih, Sri. 2011. Pythoptora sp. Penyebab Penyakit Rebah Semai Pada Kacang Hijau dan pengendaliannya. Seminar dan pertemuan Tahunan XXI PEI, PFI Komda Sulawesi Selatan dan Dinas Perkebunan tanggal 7 Juni 2011. Harman GE. 1998. Trichoderma spp. Proc. Am. Acad. Sci. USA. http://www.nyaseas.cornel.edu/end/biocontrol/pahogens/trichoderma.html [22 Mei 2006] Hayati, I. 2009. Evaluasi Penyakit Rebah Kecambah Pada Kacang Tanah yang Diaplikasikan Inokulum Sclerotium rolfsii Sacc. Pada Berbagai Konsentrasi. Jurnal Agronomi. Vol. 13 (1): 33 37. Istikorini, Y. 2002. Pengendalian penyakit tumbuhan secara hayati yang ekologis dan berkelanjutan. Jamilah, Ratna. 2011. Potensi Trichoderma harzianum (T38) dan Trichoderma pseudokoningii (T39) sebagai antagonis terhadap ganoderma sp. Penyebab penyakit akar pada pohon sengon (paraserianthes falcataria (L) nielsen.). Skripsi. Departemen Silvikultur Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor Laba, I.W. 2010. Analisis empiris penggunaan insektisida Menuju pertanian berkelanjutan. Pengembangan Inovasi Pertanian 3(2) : 120-137 Lo, C. T., Nelson, E. B., Hayes, C. K., and Harman, G. E., 1988. Ecological Studies of Transformed Trichoderma harzianum Strain 1295-22 in teh Rhizozphere and on the Phylloplane of Creeping Bentgrass. Phytpathology. Vol. 88 (2): 129 136.

Maulidiana, N. 2008. Identifikasi Budidaya Tembakau Deli di PT. Perkebunan Nusantara II (PERSERO) Kebun Helvetia. Skripsi Universitas Sumatera Utara. Marvihayani, R., S. Yetti Elfina., dan Venita, Y. 2012. Uji Antagonis Trichoderma pseudokoningii rifai Dalam formulasi biofungisida yang mengandung Alang-alang dengan lama penyimpanan yang berbeda Terhadap jamur ganoderma boninense pat secara in vitro. Jurusan Agroteknologi, Fakultas Pertanian Universitas Riau. Riau, SeptemberNopember 2012. hlm.1-2. Muis, A. 2007. Pengelolaan penyakit busuk pelepah(rhizoctonia solani kuhn.) Pada tanaman. Jurnal Litbang Pertanian. Vol. 26 (3). Mulyati, S. 2009. Pengaruh Kandungan Pasir Pada Media Semai Terhadap Penyakit Rebah Kecambah (Sclerotium rolfsii Sacc) Pada Persemian Tanaman Cabai. Jurnal Agronomi. Vol. 13 (1): 45 50. Muklasin. 1999. Formulasi Gliocladium Fimbriatum dan Trichoderma Viridae serta potensinya tehadap Pythium sp. Skripsi. Fakulatas pertanian Institut pertanian Bogo. Mahiyanti, DDD. 1998. Rekayasa medium fermentasi untuk produksi L-lisin oleh Corynebacterium glutamicum ATCC 21513 dengan menggunakan molase sebagai sumber karbon. Skripsi. Jurusan Teknologi pangan dan gizi, Fakultas tekhnologi pertanian, Institut petanian Bogor, Bogor. Nasahi, C. 2010. Peran Mikroba Dalam Pertanian Organik. Skripsi. Jurusan Hama Dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas pertanian Universitas padjadjaran. Bandung. Novita, T. 2009. Peran Daun Cengkeh Terhadap Pengendalian Layu Fusarium Pada Tanaman Tomat. Jurnal Agronomi. Vol. 12 (2): 14 17. Purwantisari, S, A. Priyatmojo dan B.Raharjo. 2008. Produksi Biofungisida Berbahan Baku Mikroba Antagonis Indigonius untuk Mengendalikan Penyakit Lodoh Tanaman Kentang Di Sentra- Sentra Pertanaman Kentang di Jawa Timur.http://balitbangjateng.go.id/kegiatan/rud/2008/8biofungisida.pdf.Diakses tanggal 6 Desember. 2011. Purwantisari, S., dan Hastuti, R. B. 2009. Uji Antagonisme Jmaur Patogen Phytopthora infestans Penyebab Penyakit Busuk Daun dan Umbi Tanaman Kentang Dengan Menggunakan Trichoderma spp. Isolat Lokal. Bioma. Vol. 11 (1): 24 32.

Papavizas, GC, MT Dunn, JA Lewis & J Beagle Ristanio. 1984. Liquid fermentation techknlogi for experimental production of biocontrol fungi. Phytopathologi 74 : 1171-1175. Purwantisari, susiana dan Hastuti R.B. 2009. Uji Antagonisme Jamur Patogen Phytophthora infestans Penyebab Penyakit Busuk Daun dan Umbi Tanaman Kentang Dengan Menggunakan Trichoderma spp. Isolat Lokal. Bioma. Vol (11) : 24-32 Rachman, A. 1989. Pengantar tekhnologi fermentasi. Pusat antar Universitas pangan dan gizi institut pertanian Bogor, Bogor. Suwahyono U, dan Wahyudi P, 2001. Trichoderma harzianum dan Aplikasinya: Penelitian dan Pengembangan Agen Pengendali Hayati. Direktorat Teknologi Bioindustri BPPT, Jakarta. Samuel GJ, P Chaverri, DF Farr, EB Mc Cray. 2005. Trichoderma Online, Systematic Botany and Microbiology Laboratory, ARS, USDA. http://nt.arsgrin.gov/taxadesciptions/keys/TrichodermaIndex.cfm [14 Mei 2011] Siregar, C.S. 2003. Identifikasi penyebab penyakit bercak dan hawar daun pada rumput Zoysia japonica dan zoysia matrella. Skripsi. Jurusan hama dan penyakit tumbuhan, fakultas pertanian IPB. Bogor Sinaga, M. S. 1989. Potensi potensi Gliocladium spp sebagai agen pengendali hayati beberapa cendawan patogenik yang bersifat soilborne. LaporanPenelitian Fakultas Pertanian IPB. Bogor. Smith, D. 1991. Maintenance of Filamentous Fungi in B. E. Kirshop and A. Doyle. Maintenance of Microorganism and Cultural Cell. Academic Press. London. p : 133-159. Semangun, H. 2000. Penyakit-Penyakit Tanaman Perkebunan di Indonesia. Gadjah Mada University Press. Yogjakarta. Supriyanto, S. Larsito dan H. Basuki. 2003. Permasalahan Pengembangan Tembakau di Jawa Tengah. Prosiding Lokakarya Agribisnis Tembaku. Malang, 6 November 2001, p: 21-28. Sumardi, Widiastuti SM. 2001. Pemanfaatan Sabut Kelapa untuk Pengembangan Budidaya Fungi Ganoderma sebagai Bahan Obat Tradisional di Daerah Sekitar Hutan. J. ASPI 2(5): 12-52. Sastroutomo, SS. 1992. Pestisida, Dasar-dasar dan dampak penggunaannya. PT Gramedia pustaka utama, Jakarta.

Said, EG. 1987. Bioindustri : Penerapan tekhnologi fermentasi. PT Mediyatama sarana perkada, Jakarta. Tarumingkeng, R. 1977. Dinamika pestisida dalam lingkungan. Dalam Aspek Pestisida di Indonesia. Edisi Khusus Lembaga Pusat Penelitian Pertanian Bogor No. 3: 52-58. Widyastuti, S. M., Sumardi, dan S.widyaningsih. 2002. Pengaruh cara penyimpanan isolat pada aktivitas antagonistik Trichoderma spp. Terhadap jamur patogen akar tanaman kehutanan. Biota VIII(1): 13-20. Widyastuti, S. M.,Sumardi, Irfai dan Nurjanto, H.H. 2002. Aktivitas penghambatan Trichoderma spp. Formulasi terhadap jamur patogen tular tanah secara invitro. Jurnal perlindungan tanaman Indonesia. Vol. 8 (1): 27-34. Wahyudi, P., Suwahyono, U., Harsoyo, Mumpuni, A., dan Wahyuningsih, D. 2005. Pengaruh pemaparan sinar gamma isotop cobalt-60 Dosis 0,251 kgy terhadap daya antagonistik trichoderma Harzianum pada fusarium oxysporum. Berk. Penel. Hayati. 10 (143151). Wahyudi P, Tambunan J, dan Abraham S, 2000. Direktori potensi Mikroorganisme. Jilid I Agen biokontrol & Biopestisida. Direktorat Teknologi Bioindustri BPPT, Jakarta. Widodo, Tri W. 2004. Pengendalian Penyakit Rebah Semai (Rhizoctonia solani Kuhn) Pada Fase Vegetatif Tanaman Kedelai (Glycine max. L. Merril) Dengan Rhizobakteri. Skripsi. Universitas Muhammadiyah Malang.

You might also like