You are on page 1of 9

PERIKANAN PURSE SEINE DENGAN ALAT BANTU RUMPON DI PANTAI BARAT ACEH

Tugas mata kuliah Teknologi Penangkapan Ikan Ramah Lingkungan

Dosen: Dr. Ir. M. Fedi A. Sondita, M.Sc.

Disusun oleh kelompok IV Nora Akbarsyah M. Iqbal Himam Nanda Rizki Purnama Mas Umamah Syamsul Bahri NRP C451130061 NRP C451130081 NRP C451130111 NRP C451130201 NRP C451130211

DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANANSEKOLAH PASCASARJANA-IPB INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2014

PENDAHULUAN

Pesisir barat dan selatan Aceh (Gambar 1) meliputi beberapa kabupaten merupakan wilayah pegunungan dan perairan laut yang luas berbatasan langsung dengan Samudera Hindia. Wilayah pesisir barat dan selatan Aceh memiliki pantai terbentang panjang hampir mencapai 500 kilometer. Kawasan pesisir pantai barat dan selatan Aceh dinilai strategis dan ideal untuk pengembangan industri perikanan terpadu. Kawasan pesisir barat dan selatan Aceh memiliki banyak keunggulan untuk dikembangkan, seperti investasi bidang perikanan sampai ke pengolahan hasil tangkapan sumberdaya kelautan (http://seputaraceh.com).

Gambar 1

Wilayah perairan Pesisir Barat-Selatan Aceh (biru).


(Sumber: Wikipedia)

Investasi yang dilakukan di Aceh diharapkan tidak menuai kekisruhan sosial yang mengandalkan kekayaan perut bumi semata. Konflik puluhan tahun harus benar-benar dijadikan pengalaman pahit dalam membangun Aceh. Selama ini, nelayan asing sering menjarah ikan di perairan laut barat dan selatan Aceh dikarenakan kemampuan nelayan lokal terbatas sarana tangkap, juga karena jika hasil tangkapan melimpah maka harganya turun, karena ikan tidak seluruhnya terserap pasar.

II

METODOLOGI

Makalah ini ditulis dengan metode penelusuran studi pustaka dan menggunakan data sekunder dari berbagai sumber.

II 3.1

PEMBAHASAN

Karakteristik Perairan Pantai Barat Aceh Perairan laut Pesisir barat berbatasan langsung dengan Samudera Hindia.

Wilayah pesisir barat dan selatan Aceh memiliki pantai terbentang panjang hampir mencapai 500 kilometer. Kawasan pesisir pantai barat dan selatan Aceh dinilai strategis dan ideal untuk pengembangan industri perikanan terpadu. Kawasan pesisir barat dan selatan Aceh memiliki banyak keunggulan untuk dikembangkan, seperti investasi bidang perikanan sampai ke pengolahan hasil tangkapan sumberdaya kelautan. Jumlah hasil tangkapan di Aceh dari kurun waktu 2003-2010 mengalami kenaikan dan penurunan. Penurunan jumlah hasil tangkapan paling besar terjadi pada tahun 2005 sebagai akibat dari terjadinya bencana gempa dan Tsunami Aceh pada 26 Desember 2004. Tabel 1 menyajikan produksi perikanan laut di seluruh Aceh berdasarkan buku Statistik Perikanan Tangkap, Perikanan Budidaya, dan Ekspor-Impor 2003-2010. Tabel 1. Produksi perikanan laut di seluruh Aceh.
Tahun 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Cakalang dan tongkol 15,314 15,862 15,365 25,077 31,489 31,850 37,994 39,217 Udang 5,713 7,236 1,977 2,697 3,974 4,162 1,937 2,046 Tuna 2,616 1,467 3,426 5,724 7,550 8,916 9,973 7,956 Lainnya 110,434 77,990 60,395 91,465 87,537 85,019 89,038 77,482 Total 134,077 102,555 81,163 124,963 130,550 129,947 138,942 126,701

Apabila data tersebut diproyeksikan ke dalam grafik, maka terlihat seperti gambar 2 berikut ini:

Gambar 2.

Grafik produksi perikanan laut provinsi Aceh tahun 2003-2010

Sumber: diolah dari Statistik Perikanan Tangkap, Perikanan Budidaya, dan Ekspor -Impor 2003-2010

Grafik diatas menunjukkan hasil tangkapan ikan laut total pada Provinsi Aceh pada tahun 2003 yaitu berkisar antara 260.000 sampai dengan 280.000 ton. Pada tahun 2004 sampai 2005 hasil tangkapan ikan mengalami penurunan drastis yaitu antara 50.000 samapi 100.000 ton. Faktor terbesar penyebab turunnya hasil tangkapan adalah bencana tsunami yang terjadi di Aceh pada akhir tahun 2004, sehingga menyebabkan biomas ikan yang ada di perairan mengalami pengurangan jumlah. Akan tetapi, jumlah biomas ikan mengalami recovery dengan cepat, yaitu dibuktikan dengan hasil tangkapan pada tahun 2006 mengalami kenaikan. Jumlah hasil tangkapan pada tahun 2006 hampir sama dengan tahun 2003. Adapun faktor lain selain stok biomas adalah berkurangnya jumlah nelayan dan armada penangkapan karena musibah tersebut. Selanjutnya jumlah hasil tangkapan mengalami kenaikan secara signifikan pada tahun 2006 sampai 2010.

3.2

Purse Seine Purse seine adalah suatu alat tangkap yang berbentuk empat persegi panjang

terdiri dari beberapa bagian, kantong, badan, sayap, serta dilengkapi beberapa bagian lain seperti, tali ris pelampung, tali ris pemberat , pelampung jaring, pemberat, cincin, tali kolor, sehingga alat tangkap tersebut dapat dioperasikan secara melingkar terhadap gerombolan ikan secara maksimal. Di Pesisir Barat Aceh, purse seine dikenal juga dengan nama pukat langgar atau pukat. Spesifikasi

purse seine di Pesisir Barat Aceh memiliki panjang 1000 -1200 m dengan kedalaman alat tangkap mencapai 30-35 meter. Metode penangkapan purse seine yang berkembang umumnya dengan cara mengejar gerombolan ikan yang dilakukan pada siang hari, sedangkan pada malam hari dengan menggunakan bantuan lampu. Metode lain yang digunakan oleh nelayan adalah dengan mencari kayu hanyut di tengah laut bebas yang merupakan tempat ikan berkumpul. Pengoperasian pukat cicin dilakukan dengan menggunakan kapal motor. Jarak daerah penangkapan 35-45 mil dari fishing base.

3.3

Hukum Adat dan kelembagaan Kearifan lokal mengenai hukum adat laut di Aceh mempunyai peran yang

sangat penting. Hukum adat laut di Aceh di naungi oleh suatu lembaga yang bernama Panglima Laot. Hukum adat laot dan Panglima Laot sama sama berfungsi untuk mengatur wilayah penangkapan ikan, larangan terhadap perusakan lingkungan laut, dan pantangan pantangan dalam melaut yang berkenaan dengan hari apa saja yang tidak diperbolehkan melaut serta kebiasaan kebiasaan yang tidak boleh dilakukan oleh nelayan ketika melaut. Negara (Kesultanan) telah memberikan izin resmi terhadap panglima laot tentang penetapan peraturan tentang penangkapan ikan. Selain fungsi fungsi yang telah di sebutkan sebelumnya, Panglima Laot juga berwenang dalam hal menyelesaikan sengketa dan mengelola fungsi lingkungan hidup. Terlepas dari beberapa fungsi dari Panglima Laot, hukum dan permasalahan adat laot merupakan sesuatu yang sudah menyatu dengan kehidupan masyarakat aceh. Secara substansi hukum laut tersebut mencakup pengaturan tentang pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya perikanan. Secara implisit hukum ini menjelaskan tentang kewenangan sultan untuk memimpin dan mengawal pengaturan sumberdaya laut demi meningkatkan kesejahteraan rakyat. Setelah masa kemerdekaan, pengakuan atas hukum yang di tetapkan oleh Panglima Laot mengalami pasang surut dan bahkan sempat terabaikan oleh pemerintah. Hal ini dikarenakan adanya kesan yang timbul di masyarakat bahwa pemerintah ingin meninggalkan tradisi lama dan kemudian menggantinya dengan peraturan peraturan baru yang di rasa lebih maju. Padahal apabila peraturan apapun yang

diterapkan akan selalu berhubungan erat dengan peraturan dan kebiasaan yang telah menyatu dalam diri masyarakat. Pada tahun 1972, sedikit demi sedikit peranan panglima laut mulai di perhatikan oleh pemerintah yaitu terlihat ketika Dinas Kelautan dan Perikanan Aceh mengangkat wacana tentang panglima laot. Akan tetapi, keberadaan panglima laot tetap hanya sebagai pelaksana teknis, jauh diluar kapasitasnya sebagai penguasa seluruh wilayah pesisir dan lautan seperti yang telah di tentukan pada awal pembentukannya. Panglima laut hanya di posisikan sebagai lembaga adat yang menghubungkan antara pemerintah dan nelayan di tepi pantai dengan tujuan menyukseskan program pembangunan perikanan. Kesan seperti ini sedikit berubah ketika Peraturan Daerah (PERDA) No 2 Tahun 1990 yang mengatur tentang pembinaan dan pengembangan adat istiadat kebiasaan masyarakat beserta Lembaga Adat Propinsi Daerah Istimewa Aceh diberlakukan. Perda tersebut menjelaskan tentang kewenangan panglima laot sebagai pemimpin wilayah laut, pemimpin penyelesaian persoalan nelayan baik sosial maupun teknis pada saat dilaut serta memimpin pelestarian lingkungan hidup. Sampai sekarang peran lembaga Panglima Laot semakin berkembang dan berhasil memperoleh kepercayaan kembali dari pemerintah. Jadi sampai sebelum tahun 2000, telah didirikan lembaga hukum adat laut kabupaten atau kota yang sebelumnya hanya lembaga hukum adat laut hanya pada tingkat Lhok saja. Permasalahan terbesar yang di hadapai oleh lembaga adat laut adalah tentang peradilan adat yang memang tidak di atur dalam peraturan propinsi, masalah lainnya adalah tentang koordinasi lintas Negara dan advokasi terhadap komunitas nelayan, banyaknya nelayan yang terdampar dan tertangkap di wilayah perairan Aceh yang datang dari berbagai Negara tetangga. Lembaga Panglima Laot dalam perannya juga membutuhkan kerjasama dengan pihak lain yang meruakan stakeholders, sehingga segala sesuatu yang telah di rencanakan dapat berjalan dengan baik. Para stakeholders tersebut di petakan dalam empat kelompok yaitu pemerintah, masyarakat nelayan, masyarakat (berbagai elemen) dan panglima laot sendiri. Peran panglima laot sendiri menjadi sangat menurun setelah terjadi Tsunami 26 Desember 2004,

walaupun pengurus panglima Laot telah mengingatkan bahwa tugas panglima laot adalah Peutimang adat, bukan Peutimang bantuan. Panglima Laot Aceh memiliki wewenang kekuasaan yang sangat terbatas, yang pertama adalah Panglima Laot berfungsi dan bertugas sebagai pembantu pemerintah dalam pembangunan perikanan, melestarikan adat istiadat, kebiasaan kebiasaan dalam masyarakat nelayan. Yang kedua adalah menyelesaikan sengketa antar nelayan di wilayah kerjanya, yang ketiga adalah untuk Panglima Laot kabupaten atau kota bertugas melaksanakan penyelesaian sengketa antara nelayan dari dua atau lebih panglima laot lhok yang tidak dapat dilaksankan oleh panglima laot Lhok yang bersangkutan, mengatur jadwal khanduri adat Lhok, dan yang ke empat adalah mengkoordinir pelaksanaan hukum adat laut di Propinsi Aceh serta menjembatani mengurus kepentingan kepentingan nelayan di tingkat propinsi. Sedangkan dalma melaksanakan fungsinya Panglima Laot mempunya tugas antara lain Memelihara dan mengawasi ketentuan-ketentuan hukum adat dan adat laot, Mengkoordinasikan dan mengawasi setiap usaha penangkapan ikan di laut, Menyelesaikan perselisihan / sengketa yang terjadi di antara sesama anggota nelayan atau kelompoknya, Mengurus dan menyelenggarakan upacara adat laot, Menjaga/mengawasi agar pohon-pohon di tepi pantai jangan ditebang, karena ikan akan menjauh ketengah laut (perlu disesuaikan dengan kondisi dan situasi daerah setempat), Merupakan badan penghubung antara nelayan dengan pemerintah dan Panglima Laot dengan Panglima Laot lainnya, Meningkatkan taraf kehidupan masyarakat nelayan / pesisir.

Gambar 3. Skema Komponen Sistem Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Tangkap

3.4 a

Masalah dan Kendala Pengembangan Perikanan Tangkap Masalah dan Kendala Konflik antara nelayan aceh dengan nelayan asing di perairan barat Aceh sering terjadi. Nelayan yang menangkap ikan tuna di Aceh menduga adanya sejumlah kapal-kapal asing yang mencuri di perairan Indonesia, terutama di perairan Aceh, yang berbatasan langsung dengan Samudera Hindia. Selain konflik dengan nelayan asing, sering juga di jumpai konflik antara nelayan lokal dengan nelayan lokal propinsi lain, serta konflik antar nelayan lokal.

Penyebab Masalah Konflik yang sering terjadi di daerah perbatasan adalah perebutan wilayah kerja antar nelayan, baik antara nelayan asing dengan nelayan lokal, nelayan lokal antar propinsi, dan antar nelayan lokal. Hal ini di karenakan belum ada penegasan yang jelas pada batas batas wilayah perairan tersebut. Selain batas wilayah yang belum jelas, konflik konflik tersebut disebabkan oleh pertahanan keamanan yang kurang bagus di daerah perbatasan, sehingga banyak kapal asing atau kapal nelayan lokal dari propinsi lain yang masuk dan melakukan penangkapan ikan di Perairan Barat Aceh. Kemudian, salah satu hal yang memicu munculnya konflik antar nelayan adalah lemahnya penegakan peraturan/otonomi daerah dan rendahnya SDM dari nelayan.

Solusi 1. menambah pertahanan keamanan (bekerja sama dengan POLAIR dan TNI AL selaku penegak hukum di laut) 2. memberikan batasan yang jelas terhadap batas batas wilayah perairan 3. penegasan kembali peraturan yang sudah di sepakati serta penguatan dari segi pengawasan di lapang. 4. penguatan sistem kelembagaan nelayan ( membuat kemitraan antara pemerintah dan nelayan, serta mengaktifkan kembali stakeholder stakeholder yang menjembatani hubungan antar pemerintah dan nelayan)

IV

KESIMPULAN

Sebagian besar konflik antar nelayan disebabkan karena perebutan wilayah kerja, lemahnya penegakan otonomi, dan SDM yang kurang memadai. Sehingga perlu dilakukan penambahan petugas pertahanan keamanan, pemberian batasan yang jelas pada wilayah peairan, penegasan kembali peraturan/regulasi yang telah di sepakati sebelumnya, serta pemberdayaan masyarakat nelayan dalam sistem kelembagaan.

DAFTAR PUSTAKA

Konflik Nelayan. http://www.kkp.go.id/index.php/arsip/c/4364/NelayanDirugikan/ . Diakses pada tanggal 18 Februari 2014. Konflik Nelayan. http://www.voaindonesia.com/content/nelayan-aceh-desakaparat-atasi-pencurian-ikan-oleh-kapal-asing-/1592545.html. Diakses pada tanggal 18 Februari 2014. Nasruddin. 2009. Pengembangan Teknologi Penangkapan Ikan Pelagis Besar di Kabupaten Aceh Jaya Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Tesis. Tidak di Publikasikan. Sekolah Pascasarjana IPB. Potensi Pantai Barat Aceh. http://seputaraceh.com/read/10680/2012/08/09/ pantai-barat-dan-selatan-aceh-potensial-untuk-investasi-perikanan. Diakses pada tanggal 18 Februari 2014. Peta Peairan Barat Aceh. http://id.wikipedia.org/wiki/Berkas:Aceh_Regencies. png. Diakses pada tanggal 18 Februari 2014. Pusat data Statistik dan informasi. 2012. Statistik Perikanan Tangkap, Budidaya, dan Ekspor Impor Setiap provinsi seluruh Indonesia 2003-2010. Sekretariat Jenderal Kementerian Kelautan dan Perikanan. Sulaiman. 2010. Model Alternatif Pengelolaan Perikanan Berbasis hukum Adat laot di kabupaten Aceh jaya menuju Keberlanjutan Lingkungan yang Berorientasi Kesejahteraan Masyarakat. Tesis. Tidak Di publikasikan. Sekolah Pascasarjana Universitas Diponegoro.

You might also like