You are on page 1of 6

BENARKAH IMAM SYAFI’I BERTABARRUK

DENGAN KUBUR ABU HANIFAH?


(Menyingkap Kebohongan Tim Bahtsul Masa’iI PCNU
Jember)
!!Oleh: Abu Faqihah Al-Atsary

Para pengkultus kuburan –dalam hal ini diwakili oleh Tim Bahtsul Masa’il PCNU Jember
– membolehkan bertabarruk dengan kuburan orang shaleh dengan berhujjah dengan
perbuatan Imam Syafi’I yang bertabarruk dengan kuburan Abu Hanifah. Inilah riwayat
yang mereka bawakan dalam buku mereka “MEMBONGKAR KEBOHONGAN BUKU H
Mahrus Ali” halaman: 44-45.

  ‫م‬‫ل أم‬ ‫ي‬‫ ا‬    ‫ ا‬‫ ا‬ ‫ أ‬‫ ا‬‫م‬‫ أ‬:‫ادي‬‫ ا‬‫ل ا‬

  ‫ه‬ ‫ء إ‬‫ وأ‬  ‫ك‬ ‫ إم‬:‫ل‬ ‫ ا‬ :‫ل‬ ‫ن‬   ‫م‬‫ل م‬ ‫ا‬‫إ‬

 ‫ه‬ ‫ ا‬ ‫ ا‬‫ه و‬ ‫ إ‬‫ و‬‫ ر‬    ‫ذا‬ ‫ا‬‫ زا‬ 

(! ! ‫ ج !ص‬:‫اد‬ ‫ر‬)    


“Berkata Ali bin Maimun: “Aku mendengar Asy-Syafi’I berkata: “Sesungguhnya aku
bertabarruk dengan Abu Hanifah dan aku datang ke kuburannya setiap hari –yakni
berziarah-. Kalau aku ada suatu hajat maka aku shalat 2 raka’at dan datang ke
kuburannya dan memohon kepada Allah agar hajat terkabul di sisinya maka tidak lama
berselang hajatku terkabul.” (Tarikh Baghdad:1/55).

Bantahan:
Mari kita kupas sanadnya.
 Ali bin Maimun adalah Abul Hasan Al-Aththar Ar-Raqqii. Berkata Ibnu Abi
Hatim: “Ayahku ditanya tentangnya, maka beliau menyatakan: “tsiqat.” Wafat
tahun 246 H. (Al-Jarh wat Ta’dil: 6/206, Tahdzibut Tahdzib:7/340).
 Umar bin Ibrahim bin Ahmad adalah Al-Kattani Al-Muqri’ Al-Baghdadi dinilai
tsiqat oleh Al-Khathib Al-Baghdadi, lahir tahun 300 H dan wafat tahun 390 H.
(Al-Wafi bil Wafayat: 7/127, Siyar A’lamin Nubala’:16/482).
 Al-Qadli Abu Abdillah Al-Husain bin Ali bin Muhammad Ash-Shaimari. Berkata
Adz-Dzahabi: “Ia seorang kibar fuqaha’, pakar debat, shaduq, sempurna akalnya.
Wafat tahun 436 H pada usia 81 tahun. (Siyar A’lamin Nubala’: 17/615-6).
Termasuk imam madzhab hanafi di Baghdad.(At-Thabaqatus Sunniyyah fi
Tarajimil Hanafiyyah: 1/255).

1
Yang menunjukkan kebohongan kisah ini adalah tidak ketemunya Ali bin Maimun Ar-
Raqqii yang wafat 246 H dengan Umar bin Ibrahim Al-Kattani Al-Muqri’ yang lahir
tahun 300H.

Dari mana kebohongan ini dikutip?


Ternyata kisah ini diambil oleh Umar bin Ibrahim Al-Kattani dari kitab “Manaqib Abu
Hanifah” milik gurunya yaitu Mukarrom bin Ahmad. (At-Tankiil bima fil Kautsari minal
Abathil:1/63).
Al-Khathib Al-Baghdadi berkata: “Telah menceritakan kepadaku Abul Qasim Al-
Ahwazi, ia berkata: “Imam Abul Hasan Ali bin Umar Ad-Daraquthni ditanya –dan aku
ikut mendengarkan beliau- tentang Manaqib Abu Hanifah yang dikumpulkan Mukarram
bin Ahmad?” Beliau menjawab: “Palsu, semuanya dusta, dikarang oleh Ahmad bin Al-
Mughallas Al-Hammani (guru Mukarram bin Ahmad, pen).”
Al-Allamah Al-Muhaddits Abdurrahman Al-Mu’allimi Al-Yamani menjelaskan
kemungkinan dhahir dari penjelasan Imam Ad-Daraquthni bahwa yang mengarang kitab
tersebut adalah Ahmad bin Al-Mughallas, sedangkan muridnya (Mukarram bin Ahmad)
mendapat ijazah kitab tersebut darinya. (At-Tankiil bima fil Kautsari minal Abathil:
1/63).

Bagaimana tingkat kejujuran Ahmad bin Al-Mughallas Al-Hammani?


Berkata Al-Hafizh Ibnul Jauzi: “Telah bercerita kepadaku Muhammad bin Abil Fawaris
bahwa Ahmad bin Ash-Shalt bin Al-Mughallas memalsu hadits.” (Al-Bidayah wan
Nihayah: 11/151).

Latar belakang munculnya cerita ini

Sudah masyhur bagi para peneliti sejarah bahwa pada masa itu terjadi saling fanatik
antara Hanafiyah dan Syafi’iyah. Masing-masing pengikut madzhab menulis dan
mengarang hadits palsu untuk membela para imam mereka.
Di antara hadits-hadits yang dikarang oleh Hanafiyah yang fanatik adalah hadits palsu:

‫ أ‬ ‫ن‬‫ و‬،‫ إ‬ ‫ أ‬ ‫ أ‬‫ إدر‬   ‫ل‬ ‫ ر‬‫ أ‬ ‫ن‬

‫اج أ‬  ‫اج أ‬   ‫ أ‬ ‫ل‬ ‫ر‬


“Akan ada di kalangan umatku seorang laki-laki yang bernama Muhammad bin Idris
(Asy-Syafi’i) yang lebih berbahaya dari Iblis. Dan akan ada di kalangan umatku
seseorang ynag bernama Abu Hanifah. Dialah lentera umatku, dialah lentera umatku.”
Al-Imam Ibnul Jauzi berkata: “Ini hadits palsu. Semoga Allah  melaknat pemalsunya.”
(Al-Maudlu’at: 2/48).
Al-Hafizh As-Suyuthi berkata: “Hadits ini dipalsu oleh Ma’mun atau Al-Juwaibari.”
(Al-Laa’li’ul Mashnu’ah fil Ahaditsil Maudu’ah: Kitab Baqiyatul Manaqib (11) hal 21).

Termasuk cerita yang dipalsu oleh para fanatikus Hanafiyah adalah kisah tabaruknya
Al-Imam Asy-Syafi’I di kubur Al-Imam Abi Hanifah.

2
Komentar Para Ulama Ahli Hadits tentang Tabarruknya Asy-Syafi’I di
makam Abu Hanifah

Komentar Syaikh Al-Muhaddits Al-Albani tentang kisah ini: “Kisah ini telah datang
dalam riwayat yang dlaif bahkan batil dari jalan Umar bin Ishaq bin Ibrahim..dst.”
(As-Silsilah Adl-Dlaifah Al-Mukhtasharah: 1/76).
Komentar Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah tentang kisah ini: ”Ini adalah kedustaan yang
diketahui secara pasti dustanya menurut orang yang memiliki ilmu tentang periwayatan.
Imam Asy-Syafi’I ketika tiba di Baghdad, di sana tidak dijumpai kuburan yang didatangi
untuk berdoa di sisinya. Dan cara seperti ini (memohon terkabulnya hajat di kuburan,
pen) tidak dikenal pada jaman beliau. Dan beliau telah melihat di Hijaz, Yaman, Syam,
Iraq dan Mesir kuburan para nabi, para sahabat, tabiin dan lain-lainnya yang menurut
kaum muslimin lebih afdlal dari Abu Hanifah dan semisalnya dari para ulama. Lalu
kenapa Imam Syafi’I tidak berdo’a di sisi kuburan mereka? Kemudian sahabat-sahabat
Abu Hanifah yang menjumpainya seperti Abu Yusuf, Muhammad bin Hasan, Zufar dan
Hasan bin Ziad dan seangkatan mereka tidak berdoa di kuburan, tidak di kuburan Abu
Hanifah atau yang lainnya.” (Iqtidla’ Shirathil Mustaqim: 2/170).

Menjadikan Kuburan sebagai Masjid


Dan sudah diketahui bahwa bertabarruk dengan kuburan orang shalih termasuk dalam
bab “Menjadikan kuburan sebagai masjid”. Rasulullah  bersabda:

َِََ ْِَِ‫ْم‬‫رَ أ‬ُ ‫ُوا‬َ‫رَى ا‬َ‫دِ وَا‬ُَ‫ ا‬َ ِ‫ ا‬َْ 


“Semoga laknat Allah menimpa Yahudi dan Nashara. Mereka telah menjadikan kuburan
para nabi mereka sebagai masjid.” (HR. Bukhari: 417, Muslim: 823, Abu Dawud: 2808,
An-Nasa’i: 696).
Termasuk menjadikan kuburan sebagai masjid adalah memakmurkannya seperti masjid
baik secara fisik seperti membangun tegel, menembok, memberi atap, memberi kubah,
lampu seperti masjid atau secara moral seperti sholat di dalamnya, membaca Al-Quran,
thawaf, I’tikaf (baca: tirakatan) dan berdzikir atau berdo’a memohon suatu hajat. Allah 
berfirman:

‫ل‬َ‫ وَا‬‫ُو‬ُِ َِ ُ ُ


َ ُ ُُْ‫ ا‬َِ َْُ‫َ َو‬ْُ ْ‫ن‬‫ُ أ‬‫أذِنَ ا‬ ٍ‫ت‬ُُ ِ
“Bertasbih kepada Allah di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk ditinggikan
(dimakmurkan secara fisik) dan disebut nama-Nya di dalamnya (dimakmurkan secara
moral), pada waktu pagi dan waktu petang.” (QS. An-Nur: 36). (Fa’il atau pelakunya
adalah tersebut dalam ayat 37).

Menjadikan Kuburan Orang Shalih sebagai Ied

Selain itu, bertabarruk dengan kuburan orang shalih juga termasuk dalam bab
“Menjadikan kuburan sebagai ied”. Rasulullah  bersabda:

3
ْُْ ُَْ ِُْَ ْَ
َ ‫ن‬ َ ‫ا‬
َ َ‫ًا و‬ِ ‫ي‬ْ ‫ا‬َ ْَ َ‫رًا و‬ُ ْَُُ ‫ا‬َ ْَ 
“Janganlah kalian jadikan rumah-rumah kalian sebagai kuburan dan jangan kalian jadikan
kuburku sebagai ied dan bacakan shalawat kepadaku karena shalawat kalian akan
sampai kepadaku di manapun kalian berada.” (HR. Abu Dawud: 1746, Ahmad: 8449,
Ath-Thabrani dalam Al-Kabir hadits no: 1159, sanadnya dishahihkan dalam Raudlatul
Muhadditsin hadits: 4667, Syaikh Abdul Qadir Al-Arna’uth berkata dalam takhrij beliau
terhadap Al-Adzkar: 1/97: “Sanadnya dihasankan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam
Takhrijul Adzkar”)
Bahkan suatu ketika Al-Imam Ali bin Al-Husain bin Ali bin Abi Thalib  pernah melihat
seseorang memasuki sebuah celah pada kuburan Rasulullah  dan berdo’a di situ. Maka
Al-Imam Ali bin Al-Husain berkata kepada orang itu:

‫ي‬ ‫وا‬ ) : ‫ل‬ ‫ و‬ ‫ ا‬ ‫ل ا‬‫ ر‬ ‫ي‬  ‫ أ‬   ‫ أ‬‫أ‬

(    ‫ن‬  ‫ا‬‫را و‬  ‫ا و‬
“Maukah kamu kubacakan sebuah hadits yang aku dengar dari ayahku dari kakekku dari
Rasulullah ? Beliau bersabda: “Janganlah kalian jadikan kuburku sebagai ied dan juga
janganlah kalian jadikan rumah-rumah kalian sebagai kuburan dan bacakan shalawat
kepadaku karena shalawat kalian akan sampai kepadaku di manapun kalian berada.” (HR.
Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf: 2/268, Bukhari dalam Al-Ahaditsil Marfu’ah fit
Tarikhil Kabir lil Bukhari: 477 dan dihasankan oleh Al-Hafizh As-Sakhawi dalam Al-
Qaulul Badi’ halaman: 228. Lihat catatan kaki Kitab Al-Ghuluw wa Mazhahiruhu
halaman 17).
Al-Allamah Abdur Ra’uf Al-Munawi Asy-Syafi’I berkata:

‫ا‬ ‫ أو‬‫ ا‬ ‫ إ‬ ‫ ا‬‫ر‬ ‫ع‬‫ ا‬ ‫ه ا‬‫ و‬  ‫ي‬ ‫وا‬  ‫أي‬

‫ ا‬‫وز وا‬ ‫أن‬


“Maksudnya adalah “Jangan kalian jadikan kuburanku sebagai tempat/waktu
menampakkan ied!” dan maknanya adalah larangan dari kumpul-kumpul untuk
menziarahi kubur beliau sebagaimana kumpul-kumpulnya mereka untuk ied,
adakalanya untuk menolak keberatan atau karena dibencinya seseorang melampaui batas
pengkultusan.” (Faidlul Qadir Syarh Al-Jami’ish Shaghir: 4/263).
Al-Imam Ibnu Taimiyah berkata:

‫دَة‬َِ‫ي ا‬ََِ ََ ، ‫ر‬ُ ‫ِ ا‬ْَ ِ ‫ن‬َ ‫َاءَة‬ِ‫ء وَا‬َ ‫ وَا‬َِ ‫ة‬
 ‫ْ ا‬ِ ‫ت‬ُُ‫ا ا‬ َ ُ  ِَ‫ ا‬َْ َ

‫ِهِ ا‬َ ْِ ْِ َ


َ َ ْََ‫رَى و‬َ‫ْ ا‬ِ َ‫ن‬ْُ ‫ُ ا‬ََ َ َ ، ‫ر‬ُ ‫ ا‬ْِ َََ ْَ ََ‫تِ وم‬ُُِ

ْ
 ‫وْ ا‬‫ع أ‬ُْ‫د ا‬ُَ ْ‫و‬‫ أ‬َ
 ‫د ا‬ُَ َ ‫ًا‬ِَ ‫د‬َْ ُ ْ‫ َو‬َ ّَ‫ع ا‬َِْ ِ‫ْ ا‬ِ ‫د‬ُَ َ ْِ‫ ا‬ِ‫ وَا‬.

ِَ‫ ذ‬ْ‫وَم‬
4
“Makna hadits adalah “Janganlah kalian kosongkan rumah-rumah dari sholat di
dalamnya, berdo’a dan membaca Al-Quran sehingga dianggap sebagai kuburan”
Maka beliau memerintahkan untuk menunaikan ibadah di rumah-rumah dan melarang
menunaikannya di kuburan kebalikan dengan apa yang dilakukan orang-orang musyrik
dari kalangan Nashara dan orang-orang yang menyerupai mereka dari kalangan umat ini.
Dan “ied” adalah nama untuk suatu kumpul-kumpul yang dibiasakan. Ada yang berulang
tiap tahun, tiap minggu, tiap bulan atau semisalnya.” (Dikutip dalam Aunul Ma’bud:
4/425).

Pernyataan Al-Imam Asy-Syafi’i


Al-Imam Asy-Syafi’I berkata:

‫ل( وإن‬) ‫ إ‬ ‫ى أو‬  ‫ و‬  ‫ى أو‬ ‫ وأن‬ ‫ ا‬  ‫ه أن‬‫ل( وأ‬)

‫د‬‫ ا‬‫ ا‬ " ‫ل‬ ‫ و‬ ‫ ا‬ ‫ل ا‬‫ أن ر‬ ‫م‬‫ أ‬،‫ء‬‫ أ‬‫أه و‬‫ أ‬‫ إ‬

‫ر وأم‬‫ وا‬ ‫ا‬ ‫ه‬‫ل( وأ‬) " ‫ب‬‫رض ا‬ ‫ن‬‫ د‬   ‫ر ام‬ ‫وا‬‫رى ا‬‫وا‬

‫ل‬‫ وا‬‫ ا‬‫ ذ‬  ‫ا و‬ ‫ه‬   ‫ ا‬ ‫ أ‬ ‫ أن‬‫ أ‬ ‫ه وا‬

‫م‬  ‫رض‬‫ ا‬ ‫دع ا‬ ‫ن‬ ‫ أ‬‫ه وا‬ ‫ط‬  ‫ أ‬‫ه وا‬    

(! ! ! ‫ج ! ص‬:‫)ا‬.‫رض أم‬‫ ا‬ ‫ه‬‫رض و‬‫ا‬


“Dan aku membenci untuk dibangun masjid di atas kuburan, dan diratakan, atau disholati
di atasnya dalam keadaan tidak diratakan, atau disholati mengahadap kepadanya.” Beliau
juga berkata: “Jika ia sholat menghadap kuburan maka sah sholatnya tetapi ia telah
berbuat jelek. Telah menceritakan kepada kami Imam Malik bahwa Rasululllah 
bersabda; “Semoga Allah memerangi orang yahudi dan orang nashrani. Mereka
menjadikan kuburan nabi-nabi mereka sebgai masjid. Tidak boleh ada 2 agama di tanah
arab.” Beliau (Asy-Syafi’i) berkata: “Dan aku membenci ini karena As-Sunnah dan atsar-
atsar bahwasanya dibenci –wallahu a’lam- jika salah seorang muslimin diagungkan yakni
kuburannya dijadikan masjid. Dan tidak aman dalam permasalahan ini (menjadikan
kuburan sebagai masjid) atas fitnah dan kesesatan yang akan menimpa orang yang
setelahnya. Maka dibenci –wallahu a’lam- supaya tidak diinjak, maka dibenci –wallahu
a’lam- karena tempat diletakkannya mayat dari bumi bukanlah tempat yang paling bersih
sedangkan tempat lainnya lebih bersih (dari kuburan).” (Al-Umm: 1/315)

Pernyataan Ulama Syafi’iyyah adalah sama dengan Pernyataan Al-


Imam Asy-Syafi’i
Al-Imam An-Nawawi berkata:

5
‫ح‬ ‫را‬ ‫ن ا‬ ‫اء‬ ‫ ا‬  ‫ء‬ ‫ا‬  ‫ب‬‫ وا‬‫ص ا‬‫ م‬‫وا‬

‫ه‬ ‫ أو‬ ‫ن ا‬ ‫اء‬ ‫ر‬‫ ا‬‫ة ا‬‫ه ا‬‫ب و‬‫ وا‬‫ل ا‬ ‫د‬‫ ا‬ ‫ه‬ ‫أو‬

  ‫ه‬ ‫ و‬ ‫ إ‬ ‫ و‬‫ ا‬‫ ر‬‫ام‬‫ ا‬‫ ا‬‫ ا‬‫ل ا‬  ‫ أ‬‫ل ا‬

‫ أ‬‫ وا‬‫د‬  ‫وا‬


“Dan nas-nas Asy-Syafi’I dan para sahabat (para ulama Syafi’iyyah) telah sepakat atas
dibencinya membangun masjid di atas kuburan. Baik itu mayitnya orang yang terkenal
keshahihannya atau selainnya karena keumuman hadits-hadits. Asy-Syafi’I dan para
sahabat berkata: “Dan dibenci shalat menghadap kuburan baik itu mayatnya orang shalih
atau selainnya.” Berkata Al-Hafizh Abu Musa: “Telah berkata Al-Imam Abul Hasan Az-
Za’farani rahimahullah: “Dan tidak boleh sholat menghadap ke kuburan dan juga sholat
di sisi kuburan dalam rangka tabarruk dan mengagungkan kuburan karena ada
hadits-haditsnya wallaahu a’lam.” (Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab: 5/ 316-7).

Kesimpulan
 Cerita bahwa Al-Imam Asy-Syafi’I bertabarruk dengan kuburan Al-Imam Abu
Hanifah adalah dusta dan batil.
 Selain dusta, cerita tersebut bertentangan dengan ushul syari’at yang melarang
kita menjadikan kuburan orang shalih sebagai masjid.
 Dalam hal ini Tim Bahtsul Masa’il PCNU Jember telah mengadakan
kebohongan atas umat islam dan ikut andil membuka pintu-pintu kesyirikan
yang telah ditutup oleh Rasulullah  melalui hadits-hadits yang shahih yang
melarang memakmurkan kuburan seperti memakmurkan masjid. Cukuplah hadits-
hadits shahih yang kita pedomani dalam beribadah. Kalau ada satu ulama atau
lebih yang kebetulan pendapatnya cocok dengan hadits tersebut maka kita
gunakan sebagai penenang hati seperti ucapan Al-Imam Asy-Syafii dan teman-
temannya. Kalau tidak ada maka bukan berarti hadits shahih tersebut kita
tinggalkan.
 Al-Imam Asy-Syafi’I dan ulama Syafi’iyyah jaman dulu sangat getol memerangi
kesyirikan dan menutup pintu-pintunya.

You might also like