You are on page 1of 27

BLIGHTED OVUM Abstrak Sebuah kasus blighted ovum pada primigravida, 24 tahun, umur kehamilan 12 minggu.

Pasien mengeluh keluar flek-flek dari jalan lahir sejak 5 hari SMRS. Sebelumnya pasien terlambat haid 3 bulan. Perdarahan mrongkol-mrongkol disangkal. Keluar jaringan seperti lemak disangkal. Nyeri perut (+), riwayat trauma, minum jamu atau obat-obatan disangkal. Riwayat fertilitas dan riwayat obtetri belum dapat dinilai. Dari pemeriksaan fisik didapatkan tanda vital dalam batas normal.TFU tidak teraba, vulva / uretra tenang, dinding vagina dalam batas normal, portio livide, OUE tertutup, darah (+), discharge (-).Pemeriksaan USG didapatkan kesanmenyokong gambaran blighted ovum. Penatalaksanaan dengan dilatasi dan kuretase. Kata Kunci : blighted ovum, flek, kuretase

2 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Blighted ovum (kehamilan kosong) merupakan salah satu jenis keguguran yang terjadi pada awal kehamilan. Disebut juga anembryonic pregnancy, blighted ovum terjadi ketika telur yang dibuahi berhasil melekat pada dinding rahim, tetapi tidak berisi embrio, hanya terbentuk plasenta dan kulit ketuban yang ditandai dengan adanya kantung gestasi. Sekitar 60% blighted ovum disebabkan kelainan kromosom dalam proses pembuahan sel telur dan sperma. Infeksi TORCH, rubella dan streptokokus, penyakit kencing manis (diabetes mellitus) yang tidak terkontrol, rendahnya kadar beta-hCG serta faktor imunologis seperti adanya antibodi terhadap janin juga dapat menyebabkan blighted ovum. Risiko juga meningkat bila usia suami atau istri semakin tua karena kualitas sperma atau ovum menjadi turun. Teori lain menunjukkan bahwa blighted ovum disebabkan sel telur yang normal dibuahi sperma yang abnormal. Penyebab terjadinya blighted ovum ini sulit dipisahkan dengan penyebab abortus pada umumnya, karena faktor-faktor penyebab gagalnya perkembangan hasil konsepsi ini dapat mengarah ke gagalnya mempertahankan kehamilan. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimanakah cara menegakkan diagnosisblighted ovum?

2. Bagaimanakah manajemen dan penatalaksanaan kasus blighted ovum?

3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. PENDAHULUAN Blighted ovum (kehamilan kosong) merupakan salah satu jenis keguguran yang terjadi pada awal kehamilan. Disebut juga anembryonic pregnancy, blighted ovum terjadi ketika telur yang dibuahi berhasil melekat pada dinding rahim, tetapi tidak berisi embrio, hanya terbentuk plasenta dan kulit ketuban yang ditandai dengan adanya kantung gestasi. Kegagalan biasanya terjadi saat usia 6 minggu, sehingga dapat diabsorbsi kembali oleh uterus. Kasus ini ditandai dengan ancaman keguguran atau abortus sebelumnya. Abortus merupakan suatu keadaan dimana terjadinya pengeluaran hasil konsepsi pada usia kehamilan kurang dari 20 minggu atau berat hasil konsepsi kurang dari 500 gram. Abortus merupakan komplikasi paling sering dari kehamilan dan dapat menjadi stress emosional bagi pasangan yang mengharapkan anak. Pada kehamilan yang secara klinis diketahui, angka gagalnya kehamilan sebesar 15% untuk usia gestasi 20 minggu dihitung dari haid pertama haid terakhir. Blighted ovum dianggap merupakan kejadian kromosomal random yang terjadi pada sekitar 1:5 hingga 1:10 kasus abortus. Pada saat konsepsi, sel telur (ovum) yang matang bertemu sperma. Perkembangan kehamilan dimulai dengan tumbuhnya villi korionik pada permukaan luar blastokist dan berimplantasi ke dinding rahim. Villi memproduksi gonadotropin yang merangsang pituitary melepaskan lutenizing hormone (LH), yang berperan memicu corpus luteum di ovarium membentuk progesterone dalam jumlah banyak. Normalnya, pada tingkat ini, massa inner cell mulai membelah dan berdiferensiasi menjadi organorgan. Sekitar usia 6 minggu, fetus mulai mengembangkan sirkulasinya, dan setelah 8 minggu villi chorialis mengatur sirkulasi dan membentuk plasenta.

4 Namun pada blighted ovum, kantung amnion tidak berisi fetus yang disebabkan berbagai faktor maka sel telur yang telah dibuahi sperma tidak dapat berkembang sempurna, dan hanya terbentuk plasenta yang berisi cairan. Meskipun demikian plasenta tersebut tetap tertanam di dalam rahim. Plasenta menghasilkan hormon hCG (human chorionic gonadotropin) dimana hormon ini akan memberikan sinyal pada indung telur (ovarium) dan otak sebagai pemberitahuan bahwa sudah terdapat hasil konsepsi di dalam rahim. Hormon hCG yang menyebabkan munculnya gejala-gejala kehamilan seperti mual, muntah, dan menyebabkan tes kehamilan menjadi positif. B. ETIOLOGI Sekitar 60% blighted ovum disebabkan kelainan kromosom dalam proses pembuahan sel telur dan sperma. Infeksi TORCH, rubella dan streptokokus, penyakit kencing manis (diabetes mellitus) yang tidak terkontrol, rendahnya kadar beta-hCG serta faktor imunologis seperti adanya antibodi terhadap janin juga dapat menyebabkan blighted ovum. Risiko juga meningkat bila usia suami atau istri semakin tua karena kualitas sperma atau ovum menjadi turun. Teori lain menunjukkan bahwa blighted ovum disebabkan sel telur yang normal dibuahi sperma yang abnormal. Penyebab terjadinya blighted ovum ini sulit dipisahkan dengan penyebab abortus pada umumnya, karena faktor-faktor penyebab gagalnya perkembangan hasil konsepsi ini dapat mengarah ke gagalnya mempertahankan kehamilan. 1. Faktor Genetik Abnormalitas kromosom orang tua dan beberapa faktor imunologi berhubungan dengan blighted ovum dan abortus secara umum telah diteliti. Pada tahun 1981 Granat dkk mendeskripsikan adanya translokasi 22/22 pada pria yang istrinya mengalami 6 kali abortus secara berurutan,. Pada tahun 1990, Smith dan Gaha menemukan insiden yang cukup besar dari carrier translokasi kromosom pada suatu

5 penelitian terhadap keluarga abortus habitualis dan didapatkan 15 balanced reciprocal translocations dan 9 fusi robertsonian pada populasi ini. Kelainan kromosom yang paling banyak menyebabkan abortus habitualis adalah balanced translocation yang menyebabkan konsepsi trisomi. Kelainan struktural kromosom yang lain adalah mosaicism, single gene disorder dan inverse dapat menyebabkan abortus habitualis. Single gene disorder dapat diketahui dengan melakukan pemeriksaan yang seksama terhadap riwayat keluarga atau dengan mengidentifikasi pola dari kelainan

yang dikenal dengan pola keturunan. 2. Kelainan Anatomi Kelainan anatomi mungkin berupa kelainan kongenital atau kelainan yang didapat. Kelainan kongenital termasuk fusi duktus Mulleri yang inkomplit atau defek resorpsi septum, paparan diethylstilbestrol (DES) dan kelainan servik uterus. Wanitawanita dengan septum intrauterin memiliki risiko abortus spontan sebesar 60%, kebanyakan abortus pada trimester dua, tetapi dapat juga terjadi pada trimester pertama. Apabila embrio berimplantasi pada septum karena endometrium pada septum berkembang buruk dapat menyebabkan kelainan plasenta. Pada paparan diethylstilbestrol (DES) intra uterine dapat menyebabkan kelainan uterus, yang paling sering adalah hipoplasia yang dapat menyebabkan abortus pada trimester pertama dan kedua, serviks inkompeten dan persalinan prematurus. Kelainan anatomi didapat yang potensial menyebabkan abortus seperti adhesi intra uterine (Sindroma Asherman) yang disebabkan oleh kuretase endometrium atau evakuasi hasil konsepsi yang terperangkap terlalu dalam dan berulang, leiomioma yang mempengaruhi arah dari kavum uteri dan endometriosis. Hubungan keadaan ini dengan adanya keguguran berulang secara teori ialah bahwa pada kasus adesi dan

6 leiomioma terjadi adanya gangguan suplai darah, sementara pada endometriosis berhubungan dengan faktor imunologi. 3. Kelainan Hormonal Faktorfaktor endokrinologi yang berhubungan dengan abortus dan blighted ovum termasuk insufisiensi fase luteal dengan atau tanpa kelainan dimana luteinizing hormone (LH) hipersekresi, diabetes mellitus, dan penyakit tiroid. Perkembangan pada kehamilan awal tergantung pada produksi estrogen yang dihasilkan oleh korpus luteum sampai kecukupannya terpenuhi diproduksi oleh perkembangan trofoblast, yang terjadi pada usia kehamilan 79 minggu. Abortus spontan terjadi pada kehamilan kurang dari 10 minggu jika korpus luteum gagal untuk memproduksi progesteron yang cukup, adanya

gangguan distribusi progesteron ke uterus, atau bila pemakaian hormon progesteron pada endometrium dan desidua terganggu. Keguguran juga dapat terjadi apabila trofoblas tidak dapat menghasilkan progesteron yang seharusnya menggantikan progesteron dari korpus luteum ketika korpus luteum menghilang. Sekresi LH yang abnormal juga memiliki akibat langsung pada perkembangan oosit, menyebabkan penuaan yang prematur, dan pada endometrium menyebabkan maturasi yang tidak sinkron. Dipihak lain, sekresi luteinizing hormone yang abnormal dapat menimbulkan keguguran secara tidak langsung dengan cara meningkatkan kadar hormon testosteron. Keadaan gangguan sekresi luteinizing hormone biasanya berhubungan dengan adanya polikistik ovarium. Mekanisme yang mungkin menyebabkan terjadinya keguguran pada penderita diabetes mellitus ialah gangguan aliran darah pada uterus terutama sekali pada kasus-kasus dengan diabetes mellitus tahap lanjut. Hipotiroid merupakan gangguan endokrin lain yang dihubungkan dengan adanya abortus berulang, terutama sekali sebagai akibat

7 disfungsi korpus luteum dan ovulasi yang sering menyertai penyakit tiroid. Antitiroid antibodi juga dihubungkan dengan abortus berulang. Karena pada awal kehamilan tubuh membutuhkan kadar hormon tiroid yang lebih tinggi, adanya antitiroid antibodi dapat menjadi suatu petanda bagi seseorang untuk terjadi peningkatan risiko terjadinya abnormalitas tiroid yang dapat berakhir pada keguguran. Kelainankelainan regulasi hormonal tersebut juga mampu menyebabkan kegagalan perkembangan atau pembentukan janin. 4. Infeksi Saluran Reproduksi Walaupun keguguran telah dihubungkan dengan organisme seperti Ureaplasma urealyticum, Mycoplasma hominis, Chlamydia trachomatis, dan Toxoplasma gondii, namun tidak ada hubungan yang meyakinkan dengan abortus berulang. Adanya organisme tersebut pada saat terjadinya keguguran tidak dapat dianggap sebagai bukti organisme tersebut sebagai penyebab dari keguguran.

Organisme-organisme tersebut dapat menjadi penyebab keguguran apabila: a. Telah ada dalam waktu yang lama tanpa menimbulkan gejala pada ibu secara nyata sehingga keadaan ini menjadi tidak terdiagnosis dan tidak diobati b. Memiliki jalur untuk masuk ke lingkungan intrauteri sehingga menginfeksi jaringan fetus dan/atau menstimulasi terjadinya proses radang. Terdapat bukti bahwa vaginosis bakterialis berhubungan dengan keguguran dan juga menjadi faktor risiko terjadinya persalinan preterm. Bakterial vaginosis disebabkan karena terganggunya flora normal dari vagina. Terjadi pertumbuhan berlebih dari bakteri anaerob dan lactobacilli yang normal tidak ada atau sedikit. Tidak didapatkan adanya hubungan yang nyata dengan keguguran dan hubungan ini masih perlu dibuktikan. Terdapat teori yang menyatakan bahwa

8 keguguran merupakan akibat dari aktivasi imunologi sebagai respon dari adanya organisme patologis. 5. Imunologik Respon imunologi diatur oleh gen-gen dari major histocompability complex (MHC) yang berlokasi pada kromosom G. Antigen MHC golongan I (human leucocyte antigens (HLA)-A, HLA-B dan HLA-C) dan antigen MHC golongan II (HLA-DF, HLA-DP dan HLA-DQ) menentukan kompatibilitas imunologik jaringan. Golongan I antigen MHC penting utnuk mengenali struktur dalam menolak respon mediator dengan limposit T sitotoksik. Golongan II antigen MHC menunjukkan antigen untuk limposit T dan memulai imunitas. Golongan II gen-gen MHC desebut gen-gen respon imun, secara genetik diatur dan dipercaya untuk menyebabkan penyakit. Akhir-akhir ini, antigen golongan I MHC nonclassical truncated yang dikenal HLA-G telah dipaparkan dalam sitotrofoblas manusia dan sel trofoblas JEG-3, tatapi kemaknaan HLA-G masih spekulasi karena ia merupakan trofoblas yang unik dan ada hipotasis yang mengatakan bahwa HLA-G penting untuk gestasi yang berhasil dan respon terhadap HLA-G yang menyimpang akan mengakibatkan abortus. Faktor-faktor imunologi terbagi dua, yaitu: a. Kelainan imunitas seluler Endometrium dan desisua manusia penuh dengan sel-sel imun dan inflamasi yang mampu mensekresi sitokin. Respon imun seluler T helper 1 yang abnormal melibatkan sitokin interferon-

(IFN) dan tumor nekrosis factor (TNF) merupakan hipotesis yang paling sering dikemukakan untuk kegagalan imunologi reproduksi. Hipotesis ini menyatakan bahwa konseptur merupakan target local dan respon cell mediate imun yang akan menyebabkan abortus. Pada wanita-wanita yang mengalami abortus, antigen trofoblas mengaktivasi makrofag dan limfosit, mengakibatkan respon imun

9 seluler oleh sitokin T helper 1, IFNdan TNF yang ditunjukkan dengan menghambat pertumbuhan embrio in vitro dan perkembangan serta fungsi dari trofoblast. Kadar TNF dan interleukin 2 yang tinggi didapatkan di serum perifer pada wanitawanita yang mengalami abortus dibandingkan dengan wanita hamil normal, tetapi mekanisme dari hubungan ini belum dapat dijelaskan. Mekanisme imun seluler lain yang berperan dalam abortus seperti defisiensi sel supresor dan aktivasi makrofag berhubungan dengan kematian janin, meskipun mekanismenya belum bisa dipaparkan. Ekspresi antigen golongan II MHC yang abnormal atau ekspresi Golingan I MHC yang tinggi pada sitotrofoblas menimbulkan respon dari IFN-

yang mengakibatkan abortus melalui serangan sitotoksik sel T yang tinggi. b. Kelainan imunitas humoral Antifosfolipid antibodi adalah autoantibodi yang ditujukan melawan fosfolipid yang bermuatan negatif, yang merupakan komponen esensial dari membran sel yang memiliki peranan penting dalam fusi sel-membran sel. Antifosfolipid antibodi termasuk juga lupus antikoagulan (walaupun tidak terdapat sistemik lupus eritematosus) dan antibodi terhadap kardiolipin dan phospatydilgliserin. Secara klinis antifosfolipid antibodi dihubungkan dengan trombositopenia, trombosis dan keguguran berulang. Juga dihubungkan sebagai penyebab dari komplikasi kehamilan yang lain apabila kehamilan berlanjut hingga trimester ketiga, seperti persalinan prematur, ketuban pecah sebelum waktunya, kematian janin dalam rahim, pertumbuhan janin terhambat dan juga preeklampsia. Uteroplasental trombosis dianggap sebagai penyebab utama dari berakhirnya kehamilan. Lupus antikoagulan menyebabkan tes koagulasi yang bergantung dengan phospholipid seperti activated partial thromboplastin time (APTT) menjadi memanjang dan dan tetap demikian walaupun telah

10 ditambah dengan plasma yang normal. Anti kardiolipin IgG atau IgM dapat diidentifikasi dengan pemeriksaan ELISA. Hasil pemeriksaan yang

positif sebaiknya dulangi kembali setelah beberapa minggu untuk memastikan kebenaran hasil positif ini. Prevalensi dari antifosfolipid antibodi ini pada populasi antenatal secara umum adalah sekitar 2% dibandingkan dengan ibu-ibu yang mengalami keguguran berulang yaitu sekitar 15%. Tingkat keberhasilan kehamilan pada keadaan yang tidak diobati ialah sekitar 1015% dan keguguran berulang seringkali merupakan manifestasi awal penyakit. Mekanisme untuk terjadinya keguguran akibat dari antifosfolipid antibodi adalah peningkatan tromboksan dan penurunan sintesis prostasiklin sehingga menimbulkan adesi platelet pada pembuluh darah di plasenta. Keadaan immunologik lain yang mungkin juga menyebabkan terjadinya keguguran ialah antibodi antisperma, antibodi antitrofoblas, dan defisiensi blocking antibody. Namun keadaan ini masih belum dapat dibuktikan. 6. Faktor Lain Faktor lain yang berhubungan dengan keguguran berulang termasuk juga zat-zat racun pada lingkungan, terutama logam berat dan paparan yang lama terhadap pelarut organik, obat-obatan seperti antiprogestogen, obat antineoplasma, anestesi, nikotin dan alkohol, demikian juga radiasi. Latihan yang berat juga belum dapat dibuktikan secara pasti menyebabkan terjadinya keguguran berulang. Koitus dihubungkan dengan adanya persalinan preterm tetapi untuk terjadinya keguguran belum dapat dipastikan.

11 C. GEJALA KLINIK Blighted ovum adalah keadaan dimana seorang wanita merasa hamil

tetapi tidak ada bayi di dalam kandungan. Seorang wanita yang mengalaminya juga merasakan gejala-gejala kehamilan seperti terlambat menstruasi, mual dan muntah pada awal kehamilan (morning sickness), payudara mengeras, serta terjadi pembesaran perut, bahkan saat dilakukan tes kehamilan baik planotest maupun laboratorium hasilnya pun positif. Gejala penderita dengan blighted ovum menyerupai keguguran pada umumnya. Keluhan antara lain berupa keluar bercak darah akibat berkurangnya kadar hormon, dan keluhan kehamilan akan berkurang. Jika mulai terjadi proses keguguran atau sirkulasi fetus dan villi korialis mulai tidak stabil, sekitar usia 10 minggu, dapat terjadi perdarahan intermiten atau kontinu, yang diikuti nyeri dan abortus komplit. Pada pemeriksaan dengan inspekulo, ostium uteri bisa tertutup (yang didiagnosis dengan abortus imminens) atau terbuka (abortus inkomplit). Pada beberapa kasus, dapat terjadi resorpsi kehamilan kosong, sehingga tanda-tanda hamil dapat menghilang dan akhirnya pada pemeriksaan, pasien dianggap tidak hamil. Hal ini dapat membingungkan bagi penderita karena terjadi perubahan dari kondisi hamil menjadi tidak hamil. D. DIAGNOSIS Blighted ovum dapat segera terdeteksi segera pada pemeriksaan ultrasonografi pada minggu 6, karena tidak tampaknya fetus. Pada usia 7 minggu dipastikan tidak ada fetus. Pencitraan USG dapat dilakukan transabdominal maupun transvaginal, namun cara yang kedua lebih akurat pada usia kehamilan yang sangat dini. Pada usia 8 dan 9 minggu, jika perhitungan HPHT tepat, detak jantung bayi atau pulsasi sudah dapat terdeteksi. Kantung gestasi mulai tampak pada pertengahan minggu ke 4, dan yolk sac normalnya tampak pada minggu 5. Sehingga, embrio dapat terlihat jelas mulai pertengahan minggu 5 pada

12 pemeriksaan USG tranvaginal. Gambar 1. Gambaran USG Blighted Ovum Dibandingkan dengan Kehamilan Normal Tidak ditemukan fetal pole, dengan kantung gestasi (ges sac) diameter lebih

dari 10 mm tanpa yolk sac, diameter 15 mm tanpa mudigah pada USG transvaginal atau lebih dari 25 mm pada USG transabdominal. Sedangkan pada gambar di sebelah kanan tampak gambaran hiperechoic berupa fetal pole di dalam ges sac. 'LNXWLS GDUL :LOOLDPV *\QHFRORJ\ Gambar 2. Blighted ovum pada uterus bicornu unicolis Pemeriksaan kadar hormon pada kehamilan dapat juga membantu pemeriksaan dimana beta-hCG dibentuk oleh plasenta. Normalnya, pada pemeriksaan darah hormon ini dapat dideteksi pada hari 11 setelah konsepsi, dan pada tes urin pada hari ke 12-14 hari. Produksi hormone ini akan

13 menjadi 2 kali lipat tiap 72 jam. Kadarnya akan mencapai jumlah tertinggi pada kehamilan usia 8-11 minggu lalu menurun. Jika penurunan kadar betahCG ini terjadi lebih dini, dapat dicurigai terjadinya blighted ovum. E. PENATALAKSANAAN Jika telah didiagnosis blighted ovum, maka tindakan selanjutnya adalah mengeluarkan hasil konsepsi dari rahim (kuretase). Hasil kuretase akan dianalisis untuk memastikan apa penyebab blighted ovum lalu mengatasi penyebabnya. Jika karena infeksi maka dapat diobati sehingga kejadian ini tidak berulang. Jika penyebabnya antibodi maka dapat dilakukan program imunoterapi sehingga kelak dapat hamil sungguhan. Untuk mencegah terjadinya blighted ovum, maka dapat dilakukan beberapa tindakan pencegahan seperti pemeriksaan TORCH, imunisasi rubella pada wanita yang hendak hamil, bila menderita penyakit disembuhkan dulu, dikontrol gula darahnya, melakukan pemeriksaan kromosom terutama bila usia di atas 35 tahun, menghentikan kebiasaan merokok agar kualitas sperma/ovum baik, memeriksakan kehamilan yang rutin dan membiasakan pola hidup sehat. Penderita keguguran akan memiliki pertanyaan menyangkut risiko berulangnya keguguran atau blighted ovum. Beberapa peneliti menyatakan riwayat blighted ovum tidak memberikan risiko keguguran selanjutnya, dan 8085% kehamilan selanjutnya pada berlangsung hingga aterm. Namun, berbagai penelitian menggambarkan 25-50% wanita dengan riwayat keguguran dapat mengalami keguguran ulang. Hal ini sangat berhubungan dengan

etiologi dari keguguran, sehingga deteksi penyebab dan penatalaksanaan yang tepat perlu dilakukan. Apabila, tindakan evakuasi dilakukan untuk mengeluarkan sisa hasil konsepsi, penting untuk untuk diperiksa apakah terdapat kelainan pada uterus seperti uterus bikornus, adanya septum uterus.Pada terhentinya kehamilan pada trimester pertama, hasil konsepsi sebaiknya dikirim ke

14 bagian histologi untuk konfirmasi diagnosis dan untuk kariotiping. Pada keguguran dimana fetus telah terbentuk maka kariotipe fetus harus diperiksa dan pasangan tersebut disarankan agar bersedia dilakukan pemeriksaan autopsi. Kemudian harus dilakukan follow up dan konseling pada pasien. Pemeriksaan yang sebaiknya dilakukan rutin apabila menemukan adanya abortus dan blighted ovum ialah sebagai berikut. 1. Periksa kariotipe kedua pasangan 2. Lakukan histerosalfingografi atau apabila terdapat ahlinya lakukan ultrasonografi transvaginal atau histeroskopi untuk melihat kelainan bentuk uterus, panjang serviks, ataupun adanya adhesi intrauterus 3. Pemeriksaan luteinizing hormon pada hari 3-6 siklus, pemeriksaan Follicle Stimulating hormone serta testosteron untuk memeriksa adanya hipersekresi Luteinizing hormone atau adanya sindroma polikistik ovarium. Selain itu ultrasonografi transvaginal juga berperan dalam menentukan adanya polikistik ovarium selain untuk memeriksa kelainan pada uterus atau rongga uterus. 4. Pemeriksaan Glycosylated hemoglobin (HbA ) 1c apabila pasien diketahuimengidap diabetes mellitus atau memiliki riwayat keluarga dengan diabetes mellitus 5.

Penapisan antifosfolipid antibodi untuk Lupus antikoagulan, IgG dan IgM anticardiolipin antibodi dan antinuclear faktor. Hal ini juga berarti dilakukannya pemeriksaan VDRL dan APTT 6. Uji fungsi tiroid, termasuk hormone stimulasi tiroid dan antibodi antitiroid 7. Pemeriksaan platelet 8. Pemeriksaan sperma Hal-hal yang perlu diperiksa pada sediaan sperma antara lain volume, waktu mencairnya, jumlah sel sperma per mililiter, gerakan sperma, PH, jumlah sel darah putih dan kadar fruktosanya. Sebelum dilakukan pengambilan sampel sperma (semen) harus melakukan abstinen/tidak

15 mengeluarkan sperma/ ejakulasi 2 - 5 hari sebelumnya. Hal ini bertujuan agar sperma dalam kondisi paling baik. Tabel 1. Komponen Analisis Sperma Volume Normal : minimal 2 mL - 6,5 mL per ejakulasi Abnormal : Volume yang rendah atau bahkan yang berlebih dapat menyebabkan masalah kesuburan Waktu mencair Normal : Kurang dari 60 menit Abnormal: Masa mencair yang lama bisa merupakan tanda infeksi Jumlah sperma Normal : 20150 juta per mL Abnormal : Jumlah yang rendah kadang masih bisa menghasilkan keturunan secara normal. Bentuk sperma Normal : Minimal 70% memiliki bentuk dan struktur normal. Abnormal : Sperma yang abnormal bentuknya kurang dari 15 % disebut teratozoopsermia. Gerakan sperma Normal : Minimal 60% sperma bergerak maju ke depan atau minimal 8 juta sperma per-mL bergerak normal maju ke depan. Abnormal : Jika sebagian besar geraknya tidak normal akan menyebabkan masalah fertilitas. pH Normal : pH of 7.18.0 Abnormal : pH yang tinggi atau lebih rendah dapat mengganggu penetrasi

Sel darah putih Normal : Tidak ada sel darah putih atau bakteri. Abnormal : Bakteri dan sel darah putih yg banyak menunjukkan adanya infeksi. Kadar fruktosa Normal : 300 mg per 100 mL ejakulat Abnormal :Tidak adanya fruktosa memperlihatkan

16 tidak adanya vesikula seminalis atau blokade pada organ ini. Jika ditemukan jumlah sperma yang rendah atau tingginya abnormalitas, perlu dilakukan pemeriksaan lanjutan seperti pengukuran kadar hormon: testosteron, luteinizing hormone (LH), follicle-stimulating hormone (FSH), atau hormon prolaktin. Juga dilakukan biopsi testis (zakar) dalam kondisi yang sangat ekstrim (steril misalnya). 9. Kultur serviks untuk mikoplasma, ureaplasma dan klamidia. Pemeriksaan lain dilakukan setelah pemeriksaan rutin ini didapatkan penemuan yang positif, yaitu : 1. Faktor Genetik Bila ditemukan adanya tanda-tanda abnormalitas dari genetik maka perlu dilakukan konsultasi terhadap ahli genetik. Perlu dilakukan konseling terhadap pasangan karena pemeriksaan dari keadaan ini memerlukan biaya yang besar, selain itu kemungkinan untuk terjadinya kehamilan yang normal kecil. 2. Kelainan Anatomi Bentuk dari kavum uteri harus diperiksa pada setiap wanita yang mengalami keguguran tiga kali atau lebih secara berturut-turut untuk mengeluarkan kemungkinan penyebab berupa kelainan bentuk dari uterus. Metode pemeriksaan yang dapat digunakan ialah histerosalfingografi, tetapi dapat dilakukan pemeriksaan ultrasonografi transvaginal atau histeroskopi untuk memeriksa kelainan tersebut . Defek yang kecil tidak berarti harus dilakukan operasi. Tindakan metroplasti abdominal dilakukan pada keadaan terdapatnya septum

uterus, tetapi tindakan ini belum pernah dilakukan evaluasi prospektif secara baik dan dikatakan memiliki hubungan dengan keadaan infertilitas postperatif. Tindakan operatif untuk menghilangkan septum uterus

17 ataupun perlengketan dapat dilakukan dengan cara reseksi transervikal histeroskopi, dikatakan bahwa tindakan ini memiliki hasil yang cukup memuaskan, namun tindakan operatif ini hanya dapat dilakukan oleh klinisi yang telah mendapatkan pelatihan yang memadai serta memiliki pengalaman dalam tindakan operatif dengan histeroskopi. Ada peningkatan risiko terjadinya persalinan preterm dan juga abortus pada wanita dengan kelainan uterus walaupun telah dilakukan perawatan antenatal yang intensif. Hal ini sering dihubungkan dengan adanya inkompeten serviks. Pemberian tokolitik oral sebagai profilaksis tidak disarankan, tetapi evaluasi rutin mengenai pendataran dan dilatasi serviks perlu dilakukan setiap kunjungan antenatal, dan lebih baik bila dilakukan pemeriksaan ultrasonografi transvaginal. Pada keadaan adhesi intrauterin (Sindroma Asherman), diagnosis didapatkan dari histerosalfingografi atau dari histeroskopi. Perlengketan dapat dilepaskan dengan menggunakan histeroskopi kemudian dialkukan pemasangan IUD selama 6 minggu untuk mencegah terjadinya perlengketan kembali. Antibiotik berspektrum luas perlu diberikan sampai 1 minggu postoperasi. Perkembangan janin pada kehamilan setelah tindakan harus diawasi secara hati-hati karena adanya kemungkinan implantasi pada tempat yang kurang ideal. Mengenai leiomyoma maka perlu dilakukan tindakan operatif bila mioma tersebut berupa mioma submukosa. Tindakan operatif tersebut berupa miomektomi. Pemberian GnRH selama tiga bulan juga dapat mengurangi ukuran dari mioma tersebut. 3. Abnormalitas Hormonal Gangguan fase luteal ditegakkan dengan cara pemeriksaan suhu basal dimana fase luteal berlangsung selama kurang dari 10 hari, atau kadar progesteron serum kurang dari 15 nmol/L selama lima siklus berturut-turut. Namun pada penelitian ternyata didapatkan bahwa tidak adanya bukti yang mendukung secara nyata bahwa pemberian hormon progesteron tidak mengurangi risiko terjadinya keguguran .

18 Hipersekresi luteinizing hormon ditegakkan apabila kadar hormon

tersebut pada pemeriksaan darah meningkat 10 IU/L atau lebih, sehingga perlu dilakukan pemeriksaan darah secara serial. Sebagai alternatif dapat dilakukan pemeriksaan kadar luteinizing hormon pada urine dimana hipersekresi lutinizing hormon ditegakkan bila konsentrasi dala urin sebesar 100IU/L atau lebih. Pengobatan keadaan ini dadalah dengan pemberian GNRH analog yang akan menekan luteinizing hormone. Pemeriksaan bagi wanita tanpa adanya gejala atau riwayat diabetes mellitus tidak perlu dilakukan. Pengendalian kadar gula darah yang optimal sebelum kehamilan merupakan cara untuk keberhasilan kehamilan. Pemeriksaan tiroid secara rutin juga belum dapat mendeteksi gangguan fungsi tiroid. Biasanya pemeriksaan ini dilakukan apabila telah ditemukan adanya gejala gangguan tiroid. 4. Infeksi Saluran Reproduksi Mengenai penatalaksanaan infeksi saluran reproduksi ini disesuaikan dengan jenis organisme yang menginfeksi. Belum ditemukan perlunya dilakukan imunisasi kecuali pada kasus penyakit rubella. 5. Imunologik Pemeriksaan anticardiolipin harus dilakukan pada semua wanita dengan riwayat abortus berulang. Tanpa pengobatan hanya didapatkan 10-15% kehamilan yang berhasil. Pengobatan dengan aspirin dosis rendah (75 mg/hari) atau heparin dosis rendah (5000-10000 unit tiap 12 jam) telah dilakukan dan menunjukkan adanya perbaikan pada kehamilan baik itu dipergunakan sebagai obat tunggal atau kombinasi. Tetapi pemakaian obat-obatan ini memiliki risiko. Heparin jangka panjang diketahui dapat menyebabkan osteoporosis, dan aspirin dapat menimbulkan perdarahan gastrointestinal. F. GAMBARAN HISTOPATOLOGI Pada penelitian awal didapatkan adanya gambaran infark yang luas dan nekrosis pada plasenta wanita yang mengalami abortus yang disebabkan

19

antifosfolipid antibodi. Berdasarkan dari penelitian ini dan adanya hubungan antara antifosfolipid antibodi (aPL) dengan adanya trombosis plasenta pada abortus habitualis, para penemu sepakat mengatakan bahwa adanya trombosis pada plasenta menyebabkan infark dan menimbulkan kematian fetus. Pada penelitian De Wolf dkk, didapatkan adanya gambaran vaskulopati desidua yang nekrotik pada pasien dengan aPL. Ciri-cirinya adalah nekrosis fibrinoid, atherosis pembuluh desidua (infiltrasi dinding pembuluh darah oleh sel-sel dengan sitoplasma yang jernih atau foamy cytoplasm) dan inti yang menebal. Ia juga menemukan bukti adanya vaskulopati desidua pada suatu model murine dengan kehamilan antifosfolipid. Pada penelitian ini didapatkan administrasi sistemik pada fraksi IgG pada wanita dengan aPL menyebabkan abortus. Pada pemeriksaan histologik didapatkan deposit IgG dan fibrin di dalam atau disekeliling desidua. Pada penelitian kasus-kontrol yang lain didapatkan mengenai hubungan antara patologi plasenta dan aPL dan didapatkan bahwa 47 kehamilan menghasilkan janin mati. Plasenta dari wanita yang menderita aPL memiliki plasenta yang lebih fibrosis, villi hipovaskular, trombosis dan membran yang infark dan sedikit memiliki vaskulosinsitial dibandingkan dengan wanita tanpa aPL. Kenyataannya pada wanita dengan aPL didapatkan plasentanya trombosis atau infark. Penelitian ini memberikan bukti yang kuat untuk penyebab trombosis pada janin mati pada wanita dengan aPL. Penelitian lain menyebutkan adanya hubungan antara peningkatan kadar MSAFP dan keguguran dengan wanita dengan aPL. Peningkatan kadar ini tidak bias dijelaskan dan ditemukan pada 13 dari 60 kehamilan dengan aPL. Pada penelitian ini juga didapatkan bahwa dengan peningkatan kadar MSAFP menyebabkan peningkatan insiden kematian janin (63% berbanding6%) dan kematian perinatal (77% berbanding 15%) dibandingkan dengan kadar yang normal. Pada aPL peningkatan kadar MSAFP pada trimester dua bisa merupakan marker untuk kerusakan palsenta pada trimester dua. Plasenta dari embrio dengan kromosom trisomi jarang memiliki gambaran yang bervariasi bila dilihat dengan mata telanjang meskipun ada yang tampak

20 mikrositik, perubahan vesikuler yang fokal tetapi hampir 50% secara makroskopik normal. Pada pemeriksaan histologi sebagaian dari plasenta ini menunjukkan perubahan fokal villi-villi yang hidrofili dan difus, tampak villi trofoblas hipoplastik dan tampak sel sitotrofoblastik dalams troma villi, selVHO LQL GLWHPXNDQ ROHK 3KLOOLSSH GDQ %RX SDGD WDKXQ ____ GDQ ____, &RKHQ SDGD WDKXQ ____ GDQ +RQRU, 'LOO GDQ 3RODQG SDGD WDKXQ _____ $GDQ\D VHOsel tersebut merupakan gambaran khas dari plasenta trisomi dan adanya deskuamasi dari lapisan trofoblastik. 3 KLOOLSSH GDQ %RX SDGD WDKXQ ____ PHQ\DWDNDQ EDKZD EDQ\DN selsel tampak pada kasus WULVRPL &, ' DWDX (, WHWDSL +RQRU_ 'LOO GDQ 3RODQG SDGD

tahun 1976 menyatakan bahwa sel-sel tersebut dapat tampak pada seluruh jenis sindroma trisomi. Adanya intra stroma bukan merupakan gambaran yang spesifik pada plasenta trisomi karena mungkin sel-sel ini didapatkan pada kromosom normal. Hampir 50% pada plasenta trisomi, villinya tidak menunjukkan perubahan villi tetapi ada juga yang menunjukkan sel-sel stroma immatur yang persisten dari sel-sel sitotrofoblastik intra stroma. Gambar 3. Perbandingan Gambaran Histologi Kehamilan Normal dengan Abnormal Pada gambar A tampak ovum normal berimplantasi pada usia 11-12 hari, sedangkan pada gambar B tampak konsepsi abnormal, dengan tropoblas defektif dengan lacuna yang membesar dan kantung korion yang kosong, dan akan meluruh. 'LNXWLS GDUL :LOOLDPV *\QHFRORJ\

21 BAB III ILUSTRASI PENDERITA A. Anamnesis 1. Identitas penderita Nama : Ny. A Umur : 24 tahun Jenis kelamin : Perempuan Pekerjaan : Ibu rumah tangga Agama : Islam Status perkawinan : Kawin 1 kali dengan suami 3 bulan HPMT : 28-04-2013 HPL : 05-02-2014 UK : 12 minggu Tanggal masuk : 22-7-2013 No. CM : 01207672 2. Keluhan Utama Keluar darah dari jalan lahir 3. Riwayat penyakit sekarang Datang seorang G P A , 24 tahun, kiriman dari puskesmas Manahan dengan

1 0 0 keterangan janin tidak berkembang.Pasien terlambat mens 3 bulan. Pasien mengeluh keluar darah dari jalan lahir sejak 5 hari SMRS. Perdarahan berupa flek-flek, pasien mengganti pembalut dua kali sehari. Perdarahan mrongkolmrongkol disangkal. Keluar jaringan seperti lemak disangkal. Nyeri perut (+), riwayat trauma (-), riwayat jatuh (-), riwayat minum jamu (-), riwayat minum obat-obatan (-). 4. Riwayat penyakit dahulu a. Riwayat sesak nafas : disangkal b. Riwayat hipertensi : disangkal c. Riwayat penyakit jantung : disangkal d. Riwayat DM : disangkal

22 e. Riwayat asma : disangkal f. Riwayat alergi obat/makanan : disangkal g. Riwayat minum obat selama hamil: disangkal 5. Riwayat penyakit keluarga a. Riwayat mondok : disangkal b. Riwayat hipertensi : disangkal c. Riwayat penyakit jantung : disangkal d. Riwayat DM : disangkal e.

Riwayat asma : disangkal f. Riwayat alergi obat / makanan : disangkal 6. Riwayat fertilitas Belum dapat dinilai 7. Riwayat obstetri H. I Sekarang 8. Riwayat ante natal care (ANC) Teratur, pertama kali periksa ke puskesmas pada usia kehamilan 1 bulan 9. Riwayat haid g. Menarche : 12 tahun h. Lama menstruasi : 7 hari i. Siklus menstruasi : 28 hari 10. Riwayat perkawinan Menikah 1 kali selama 3 bulan dengan suami sekarang 11. Riwayat KB Belum pernah menggunakan KB B. Pemeriksaan Fisik 1. Status interna Keadaan umum : sedang, CM, gizi cukup Tanda vital : Tensi : 120/80 mmHg Nadi : 80x/menit

23 Respiratory rate : 20x/menit

Suhu : 36,5 C 0 Kepala : mesocephal Mata : conjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-) THT : tonsil tidak membesar, pharinx hiperemis (-) Leher : pembesaran kelenjar tiroid (-) Thorax : gld. Mammae dalam batas normal, aerola mamae hiperpigmentasi (+) Cor : Inspeksi : IC tidak tampak Palpasi : IC tidak kuat angkat Perkusi : batas jantung kesan tidak melebar Auskultasi : bunyi jantung I II intensitas normal, reguler, bising (-) Pulmo : Inspeksi : pengembangan dada ka = ki Palpasi : fremitus raba dada ka = ki Perkusi : sonor / sonor Auskultasi : suara dasar vesicular (+/+) ronki basah kasar (-/-) Abdomen : Inspeksi : dinding perut > dinding dada,striae gravidarum (-) Palpasi : supel, NT (-), hepar lien tidak membesar Perkusi : timpani Auskultasi : peristaltik (+) normal Genital : darah (+), discharge (-) Ekstremitas : Oedema

24 Akral dingin 2. Status Obstetri Inspeksi Kepala : mesocephal Mata : conjungtiva anemis (-/-) sklera ikterik (-/-) Wajah : kloasma gravidarum (-) Thorax : glandula mammae hipertrofi (+), aerola mammae hiperpigmentasi Abdomen : Inspeksi : dinding perut > dinding dada, stria gravidarum (-) Palpasi : supel, nyeri tekan (-),tinggi fundus uteri tidak teraba, tidak teraba massa. Perkusi : timpani. Auskultasi : DJJ (-) Genital eksterna :/ v u tidak ada kelainan, darah (+), peradangan (-) tumor (-) Pemeriksaan dalam Inspekulo : vulva/uretra tenang, dinding vagina dalam batas normal, portio livide, portio kesan tertutup, darah (+), discharge (-), peradangan (-), tumor (-) VT : vulva/uretra tenang, dinding vagina dalam batas normal, portio lunak, OUE tertutup, CU sebesar

telur bebek, A/P kanan kiri dalam batas normal, darah (+), discharge (-). Ekstremitas Oedema -

25 Akral dingin C. Pemeriksaan Penunjang 1. Laboratorium darah tanggal 22 Juli 2013 Hb : 12,8 g/dl Hct : 38 % AE : 4,5. 10 __/ 6 AL : 5,4. 10 __/ 3 AT : 296. 10 __/ 3 Gol darah :B GDS : 111 mg/dl HbsAg : (-) 2. Ultrasonografi (USG) tanggal 22 Juni 2013 Tampak VU terisi cukup, uterus membesar Tampak GS intrauterin ukuran 2,66 setara umur kehamilan 7+5 minggu Pulsasi (-) Fetal pole (-) Kesan : menyokong gambaran Blighted Ovum D. Kesimpulan Seorang G

1 P A , 24 tahun, hamil dengan janin tidak berkembang. 0 0 Riwayat fertilitas baik, T : 120/80 mmHg. Pasien mengalami perdarahan sejak 5 hari SMRS. Dari pemeriksaan laboratorium didapatkan tidak ditemukan kelainan. Dari hasil pemeriksaan USG menyokong gambaran Blighted Ovum. E. Diagnosis Blighted Ovum

26 F. Prognosa Jelek G. Penatalaksanaan Dilatasi dan kuretase Dilatasi dengan misoprostol 50 mcg/5jam pervaginam Konsultasi anestesi Informed consent H. FOLLOW UP Tanggal 21 Juli 2013 Keluhan : KU : Baik, Compos Mentis VS :T : 120/80 Rr : 20x/menit N : 80x/menit S : 36,5 C o Mata : CA (-/-), SI (-/-) Thorax : Cor : BJ I-II, intensitas normal, reguler, bising (-) Pulmo : SDV (+/+), ST (-/-) Abdomen : supel, nyeri tekan (-), TFU tidak teraba Genitalia : darah (+), discharge (-)

Diagnosis : Blighted Ovum Terapi : Dilatasi dan kuretase Tanggal 22 Juli 2013 Keluhan : KU : Baik, Compos Mentis VS :T : 120/80 Rr : 18x/menit N : 80x/menit S : 36,2 C o Mata : CA (-/-), SI (-/-) Abdomen : supel, nyeri tekan (-), TFU tidak teraba Genitalia : darah (+), discharge (-)

27 Diagnosis : Blighted Ovum Terapi : Dilatasi dan kuretase Tanggal 23 Juli 2013 Keluhan : KU : Baik, Compos Mentis VS :T : 110/80 Rr : 20x/menit N : 76x/menit S : 36,6 C o Mata : CA (-/-), SI (-/-) Abdomen : supel, nyeri tekan (-), TFU tidak teraba Genitalia : darah (+), discharge (-) Diagnosis : Blighted Ovum Terapi : dilatasi dan kuretase

28

BAB IV ANALISA KASUS Pada kasus ini ditegakkan diagnosa blighted ovum berdasarkan 1. Anamnesa Pada pasien ini ditemukan keluhan Pasien terlambat haid3 bulan (amenorhoea). Keadaan ini merupakan tanda tanda kehamilan subyektif. Perdarahan per vaginam. 2. Pemeriksaan fisik Pada pemeriksaan abdomen pasien ini ditemukan Usia kehamilan pasien 12minggu, dengan TFU tidak teraba. Pada usia kehamilan pasien ini TFU seharusnya 2 jari di atas simfisis ossis pubis. Pembesaran uterus pasien tidak sesuai dengan umur kehamilannya (lebih kecil dari seharusnya). Hal ini disebabkan oleh janin yang tidak berkembang. Pada palpasi tidak teraba massa. Pada auskultasi tidak ditemukan denyut jantung janin. 3. Pemeriksaan penunjang Pada pemeriksaan USG : Tampak GS IU ukuran 2,66 setara umur kehamilan 7+5 minggu Pulsasi (-) Fetal pole (-) Kesan : menyokong gambaran Blighted Ovum Analisis Terapi Pada pasien ini dilakukan tindakan kuretase untuk mengeluarkan hasil konsepsi dari dalam rahim. Sebelumnya dilakukan dilatasi serviks dengan misoprostol 50 mcg/5jam pervaginam karena OUE masih tertutup.

29 DAFTAR PUSTAKA 1. Wibowo B, Wiknjosastro H: Kelainan dalam lamanya kehamilan. Dalam: Wiknjosastro H, Saifuddin AB, Rachimhadhi T: Ilmu kebidanan. Edisi ketiga. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, 1994; 302-312 2. Hill JA: Recurrent spontaneous early pregnancy loss. In: Berekj JS, Adashi

(<, +LOODUG 3$_ 1RYDNV J\QHFRORJ\ __ th edition. Pennsylvania: Williams & Wilkins Co, 1996;963-979 3. Schorge JO, Schaffer JI, Halvorson LM, Hoffman BL, Bradshaw KD, Cunningham FG. First trimester abortion. In: Williams Gynecology 22 nd ed. New York: McGraw-Hill; 2008:298-325 4. 3 RUWHU )7, %UDQFK ':, 6FRWW -5_ (DUO\ SUHJQDQF\ ORVV_ ,Q_ 'DQIRUWKV Obstetric and Gynecology 10 th ed. New York. Lippincott Williams & Wilkins; 2009:61-70 5. Prawirohardjo S, Wiknjosastro H: Gangguan bersangkutan dengan konsepsi. Dalam: Wiknjosastro H, Saifuddin AB, Rachimhadhi T: Ilmu kandungan. Edisi kedua. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, 1997; 246-250 6. Hatasaka HH: Recurrent miscarriage: epidemiologic factors, definitions and incidence. In: Clin obstet gynecol 37; 1994; 625-634 7. Byrne JLB, Ward K: Genetic factors in recurrent abortion. In: Clin obstet gynecol 37; 1994; 693-704 8. Hunt JS, Roby KF: Implantation factors. In: Clin obstet gynecol 37; 1994; 635645 9. Brent RL, Beckman DA: The contributional of environmental teratogens to embryonic and fetal loss. In: Clin obstet gynecol 37; 1994; 646-664

You might also like