You are on page 1of 174

Indeks

INDEKS PENGARANG JURNAL PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN VOLUME 18, 2012


A Ahmad Jamalong, Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Melalui Model Kooperatif NHT di Kelas X SMA Negeri 1 Beduai Kabupaten Sanggau 18(4): 394-411 Al Musanna, Artikulasi Pendidikan Guru Berbasis Kearifan Lokal untuk Mempersiapkan Guru yang Memiliki Kompetensi Budaya 18(3): 328-341 Al Musanna, Quo Vadis Praksis Evaluasi Kurikulum: Studi Pendahuluan terhadap Ranah Kurikulum yang Terlupakan 18(1): 1-11 B Bambang Indriyanto, Dimensi Pembangunan Karakter dan Strategi Pendidikan 18(1): 21-33 Bambang Indriyanto, Pengembangan Kurikulum sebagai Intervensi Kebijakan Peningkatan Mutu Pendidikan 18(4): 440-452 D Dian Ruharman lihat I Made Astra, Umiatin, dan Dian Ruharman Didi Tarsidi, Mengatasi Masalah-masalah Psikososial Akibat Ketunanetraan pada Usia Dewasa 18(1): 85-97 E Eka Kasah Gordah, Upaya Guru Meningkatkan Kemampuan Koneksi dan Pemecahan Masalah Matematis Peserta Didik Melalui Pendekatan Open Ended 18(3): 264-279 F Fanny Henry Tondo, Bahasa Minoritas Hamap dalam Perkebunan Jagung: Tinjauan Etnolinguistik 18 (2): 204-215 H Handaru Catu Bagus, Administrasi Ujian Nasional (UN) dengan Menggunakan Model Computerized Adaptive Testing (CAT) 18(1): 45-53 Hayadin, Pengelolaan Guru Pendidikan Agama dalam Konteks Desentralisasi Pendidikan 18(2): 181191 Hendarman, Peran Dewan Pendidikan dalam Meningkatkan Mutu Pelayanan Pendidikan 18(1): 3444 Hermana Somantrie, Analisis-Kritis Perlunya Perubahan Kebijakan terhadap Pelabelan Mata Pelajaran dalam Kurikulum Sekolah 18(1): 12-20 Herry Widyastono, Implikasi RPJMN 2010-2014 Sektor Pendidikan terhadap Manajemen Pengembangan Kurikulum Pendidikan Dasar dan Menengah 18(3): 342-351 Herry Widyastono, Kemampuan Guru dalam Menyusun Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan 18(3): 244-253 Herry Widyastono, Muatan Pendidikan Holistik dalam Kurikulum Pendidikan Dasar dan Menengah 18(4): 467-476

489

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, 2012

I I Made Astra, Umiatin, dan Dian Ruharman, Aplikasi Mobile Learning Fisika dengan Menggunakan Adobe Flash sebagai Media Pembelajaran Pendukung 18(2): 174-180 Ida Kintamani Dewi Hermawan, Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Pengumpulan Data Pendidikan Nonformal Tidak Tepat Waktu dan Tidak Berkualitas 18(3): 294-309 Ida Kintamani Dewi Hermawan, Kinerja Pendidikan Kesetaraan Sebagai Salah Satu Jenis Pendidikan Nonformal 18(1): 65-84 L L. Kaluge lihat Mieske Theresia Tulung dan L. Kaluge Leo Agung S., Implementasi Model Pembelajaran IPS Terpadu (Suatu Studi Evaluatif di SMP Kota Surakarta) 18(2): 145-155 Leo Agung S., Pengembangan Model Pembelajaran Sejarah SMA Berbasis Pendidikan Karakter di Solo Raya 18(4): 412-426 M Masganti Sit, Peningkatan Kompetensi Sosial Anak Usia Dini dengan Metode Bermain Peran (Studi Kasus di Raudhatul Athfal Muhajirin-Medan) 18(1): 98-106 Mieske Theresia Tulung dan L. Kaluge, Suasana Kerja dan Pengaruh Kepemimpinan dalam Konteks Pendidikan Dasar 18(4): 353-367 Munawir Yusuf, Kinerja Kepala Sekolah dan Guru dalam Mengimplementasikan Pendidikan Inklusif 18(4): 382-393 Munir Tanrere dan Sumiati Side, Pengembangan Media Chemo-Edutainment melalui Software Macromedia Flash MX pada Pembelajaran IPA Kimia SMP 18(2): 156-162 N Nugroho Trisnu Brata, Korelasi Budaya Perkebunan dan Fenomena Buruh Borong Perkebunan Sawit di Kalimantan Barat 18(3): 280-293 O Oos M. Anwas, Model PAUD Posdaya sebagai Alternatif Pelaksanaan Pendidikan Anak Usia Dini Berbasis Masyarakat 18(3): 319-327 P Prayekti dan Rasyimah, Lesson Study untuk Meningkatkan Hasil Belajar IPA Dasar 18(1) 54-64 R Rasmadi, Korelasi antara Komunikasi Antarpersonal, Etos Kerja, dan Budaya Organisasi dengan Pelayanan 18(1): 107-119 Rasyimah lihat Prayekti dan Rasyimah Rogers Pakpahan, Model Alternatif Ujian Akhir 18(2): 121-131 bagi Siswa Sekolah

490

Indeks

S Sahat Saragih dan Vira Afriati, Peningkatan Pemahaman Konsep Grafik Fungsi Trigonometri Siswa SMK melalui Penemuan Terbimbing Berbantuan Software Autograph 18(4): 368-381 Simon Sili Sabon, Potensi TIK dalam Meningkatkan Daya Tampung LPTK bagi Guru dalam Jabatan di Sulawesi Selatan 18(3): 254-263 Siswantari, Kompetensi Keahlian di SMKN 6 Pertanian Jeneponto Sulawesi Selatan 18(2): 216-227 Siswo Wiratno lihat Subijanto dan Siswo Wiratno Siswo Wiratno, Pelaksanaan Pendidikan Kewirausahaan di Pendidikan Tinggi 18(4): 453-466 Soebagyo Brotosedjati, Pengaruh Supervisi Kunjungan Kelas oleh Kepala Sekolah dan Kompensasi terhadap Kinerja Guru SD Negeri di Kecamatan Sukoharjo 18(3): 229-243 Sri Tatminingsih dan Sudarwo, Pengembangan Paket dan Strategi Pembelajaran IPA melalui Permainan Tradisional untuk Siswa Kelas 3 SD di Daerah Rawan Bencana 18(4): 427-439 Subijanto dan Siswo Wiratno, Analisis Kinerja Badan Akreditasi Nasional Sekolah/Madrasah 18(3): 310-318 Subijanto, Analisis Pendidikan Kewirausahaan di Sekolah Menengah Kejuruan 18(2): 163-173 Sudaryono, Kajian Metode Deteksi Differential Item Function (DIF) Butir Soal Ujian Nasional dengan Teori Tes Klasik 18(2): 132-144 Sumiati Side lihat Munir Tanrere dan Sumiati Side Sunardi, Konsep Rasa dalam Pertunjukan Wayang Kulit Purwa 18(2): 192-203 U Umiatin lihat I Made Astra, Umiatin, dan Dian Ruharman V Vira Afriati lihat Sahat Saragih dan Vira Afriati Y Yudi Setianto, Dikotomi Bebas Nilai dan Nilai Pendidikan dalam Pembelajaran Sejarah 18(4): 477488

491

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, 2012

INDEKS JUDUL JURNAL PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN VOLUME 18, 2012


A Administrasi Ujian Nasional (UN) dengan Menggunakan Model Computerized Adaptive Testing (CAT) Handaru Catu Bagus Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, September 2012, Vol 18 Nomor 1, hal 45-53 Analisis Kinerja Badan Akreditasi Nasional Sekolah/Madrasah Subijanto dan Siswo Wiratno Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, September 2012, Vol 18 Nomor 3, hal 310-318 Analisis Pendidikan Kewirausahaan di Sekolah Menengah Kejuruan Subijanto Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Juni 2012, Vol 18 Nomor 2, hal 163-173 Analisis-Kritis Perlunya Perubahan Kebijakan terhadap Pelabelan Mata Pelajaran dalam Kurikulum Sekolah Hermana Somantrie Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, September 2012, Vol 18 Nomor 1, hal 12-20 Aplikasi Mobile Learning Fisika dengan Menggunakan Adobe Flash sebagai Media Pembelajaran Pendukung I Made Astra, Umiatin, dan Dian Ruharman Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Juni 2012, Vol 18 Nomor 2, hal 174-180 Artikulasi Pendidikan Guru Berbasis Kearifan Lokal untuk Mempersiapkan Guru yang Memiliki Kompetensi Budaya Al Musanna Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, September 2012, Vol 18 Nomor 3, hal 328-341 B Bahasa Minoritas Hamap dalam Perkebunan Jagung: Tinjauan Etnolinguistik Fanny Henry Tondo Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Juni 2012, Vol 18 Nomor 2, hal 204-215 D Dikotomi Bebas Nilai dan Nilai Pendidikan dalam Pembelajaran Sejarah Yudi Setianto Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Desember 2012, Vol 18 Nomor 4, hal 477-488 Dimensi Pembangunan Karakter dan Strategi Pendidikan Bambang Indriyanto Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, September 2012, Vol 18 Nomor 1, hal 21-33 F Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Pengumpulan Data Pendidikan Nonformal Tidak Tepat Waktu dan Tidak Berkualitas Ida Kintamani Dewi Hermawan Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, September 2012, Vol 18 Nomor 3, hal 294-309

492

Indeks

I Implementasi Model Pembelajaran IPS Terpadu (Suatu Studi Evaluatif di SMP Kota Surakarta) Leo Agung S. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Juni 2012, Vol 18 Nomor 2, hal 145-155 Implikasi RPJMN 2010-2014 Sektor Pendidikan terhadap Manajemen Pengembangan Kurikulum Pendidikan Dasar dan Menengah Herry Widyastono Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, September 2012, Vol 18 Nomor 3, hal 342-351 K Kajian Metode Deteksi Differential Item Function (DIF) Butir Soal Ujian Nasional dengan Teori Tes Klasik Sudaryono Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Juni 2012, Vol 18 Nomor 2, hal 132-144 Kemampuan Guru dalam Menyusun Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Herry Widyastono Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, September 2012, Vol 18 Nomor 3, hal 244-253 Kinerja Kepala Sekolah dan Guru dalam Mengimplementasikan Pendidikan Inklusif Munawir Yusuf Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Desember 2012, Vol 18 Nomor 4, hal 382-393 Kinerja Pendidikan Kesetaraan Sebagai Salah Satu Jenis Pendidikan Nonformal Ida Kintamani Dewi Hermawan Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, September 2012, Vol 18 Nomor 1, hal 65-84 Kompetensi Keahlian di SMKN 6 Pertanian Jeneponto Sulawesi Selatan Siswantari Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Juni 2012, Vol 18 Nomor 2, hal 216-227 Konsep Rasa dalam Pertunjukan Wayang Kulit Purwa Sunardi Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Juni 2012, Vol 18 Nomor 2, hal 192-203 Korelasi antara Komunikasi Antarpersonal, Etos Kerja, dan Budaya Organisasi dengan Pelayanan Rasmadi Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, September 2012, Vol 18 Nomor 1, hal 107-119 Korelasi Budaya Perkebunan dan Fenomena Buruh Borong Perkebunan Sawit di Kalimantan Barat Nugroho Trisnu Brata Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, September 2012, Vol 18 Nomor 3, hal 280-293 L Lesson Study untuk Meningkatkan Hasil Belajar IPA Bagi Siswa Sekolah Dasar Prayekti dan Rasyimah Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, September 2012, Vol 18 Nomor 1, hal 54-64 M Mengatasi Masalah-masalah Psikososial Akibat Ketunanetraan pada Usia Dewasa Didi Tarsidi Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, September 2012, Vol 18 Nomor 1, hal 85-97 Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Melalui Model Kooperatif NHT di Kelas X SMA Negeri 1 Beduai Kabupaten Sanggau

493

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, 2012

Ahmad Jamalong Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Desember 2012, Vol 18 Nomor 4, hal 394-411 Model Alternatif Ujian Akhir Rogers Pakpahan Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Juni 2012, Vol 18 Nomor 2, hal 121-131 Model PAUD Posdaya sebagai Alternatif Pelaksanaan Pendidikan Anak Usia Dini Berbasis Masyarakat Oos M. Anwas Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, September 2012, Vol 18 Nomor 3, hal 319-327 Muatan Pendidikan Holistik dalam Kurikulum Pendidikan Dasar dan Menengah Herry Widyastono Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Desember 2012, Vol 18 Nomor 4, hal 467-476 P Pelaksanaan Pendidikan Kewirausahaan di Pendidikan Tinggi Siswo Wiratno Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Desember 2012, Vol 18 Nomor 4, hal 453-466 Pengaruh Supervisi Kunjungan Kelas oleh Kepala Sekolah dan Kompensasi terhadap Kinerja Guru SD Negeri di Kecamatan Sukoharjo Soebagyo Brotosedjati Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, September 2012, Vol 18 Nomor 3, hal 229-243 Pengelolaan Guru Pendidikan Agama dalam Konteks Desentralisasi Pendidikan Hayadin Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Juni 2012, Vol 18 Nomor 2, hal 181-191 Pengembangan Kurikulum sebagai Intervensi Kebijakan Peningkatan Mutu Pendidikan Bambang Indriyanto Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Desember 2012, Vol 18 Nomor 4, hal 440-452 Pengembangan Media Chemo-Edutainment melalui Software Macromedia Flash MX pada Pembelajaran IPA Kimia SMP Munir Tanrere dan Sumiati Side Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Juni 2012, Vol 18 Nomor 2, hal 156-162 Pengembangan Model Pembelajaran Sejarah SMA Berbasis Pendidikan Karakter di Solo Raya Leo Agung S. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Desember 2012, Vol 18 Nomor 4, hal 412-426 Pengembangan Paket dan Strategi Pembelajaran IPA melalui Permainan Tradisional untuk Siswa Kelas 3 SD di Daerah Rawan Bencana Sri Tatminingsih dan Sudarwo Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Desember 2012, Vol 18 Nomor 4, hal 427-439 Peningkatan Kompetensi Sosial Anak Usia Dini Dengan Metode Bermain Peran (Studi Kasus di Raudhatul Athfal Muhajirin-Medan) Masganti Sit Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, September 2012, Vol 18 Nomor 1, hal 98-106 Peningkatan Pemahaman Konsep Grafik Fungsi Trigonometri Siswa SMK melalui Penemuan Terbimbing Berbantuan Software Autograph Sahat Saragih dan Vira Afriati Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Desember 2012, Vol 18 Nomor 4, hal 368-381

494

Indeks

Peran Dewan Pendidikan dalam Meningkatkan Mutu Pelayanan Pendidikan Hendarman Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, September 2012, Vol 18 Nomor 1, hal 34-44 Potensi TIK dalam Meningkatkan Daya Tampung LPTK bagi Guru dalam Jabatan di Sulawesi Selatan Simon Sili Sabon Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, September 2012, Vol 18 Nomor 3, hal 254-263 Q Quo Vadis Praksis Evaluasi Kurikulum: Studi Pendahuluan terhadap Ranah Kurikulum yang Terlupakan Al Musanna Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, September 2012, Vol 18 Nomor 1, hal 1-11 S Suasana Kerja dan Pengaruh Kepemimpinan dalam Konteks Pendidikan Dasar Mieske Theresia Tulung dan L. Kaluge Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Desember 2012, Vol 18 Nomor 4, hal 353-367 U Upaya Guru Meningkatkan Kemampuan Koneksi dan Pemecahan Masalah Matematis Masalah Matematis Peserta Didik Melalui Pendekatan Open Ended Eka Kasah Gordah Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, September 2012, Vol 18 Nomor 3, hal 264-279

495

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, 2012

Ucapan Terima Kasih

Tim Penyusunan Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan menyampaikan ucapan terima kasih kepada: 1. 2. 3. 4. 5. Prof. Dr. Madyo Eko Susilo, M.Ed. (Universitas Veteran Sukoharjo/Manajemen Pendidikan), Prof. Dr. Sugiyono, M.Pd. (Universitas Negeri Yogyakarta/Teknik), Dr. Retno Dwi Suyanti (Universitas Negeri Medan/Kebijakan Pendidikan), Prof. Dr. Muhammad Sidin Ali, M.Pd. (Universitas Negeri Makassar/Evaluasi Pendidikan), Nonny Swediaty, Ph.D. (Institute for Research, Training & Development/Psikometri, PAUD, Educational & Brain)

Sebagai Mitra Bestari yang telah berkenan mengoreksi artikel-artikel Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan

496

Yudi Setianto, Dikotomi Bebas Nilai dan Nilai Pendidikan dalam Pembelajaran Sejarah

DIKOTOMI BEBAS NILAI DAN NILAI PENDIDIKAN DALAM PEMBELAJARAN SEJARAH (THE DICHOTOMY BETWEEN VALUE - FREE AND EDUCATIONAL VALUE IN HISTORY LEARNING)
Yudi Setianto PPPPTK PKn-IPS Malang, Jl. Raya Arhanud, Pendem, Batu, e-mail: yudiroyan@gmail.com
Diterima tanggal:10/10/2012, Dikembalikan untuk revisi: 10/11/2012, Disetujui tanggal:20/12/2012 Abstrak: Tujuan penulisan artikel ini untuk menemukan win-win solution, dalam rangka memisahkan sekaligus saling menghormati antara Sejarah dalam ranah ilmu murni dan Sejarah dalam domain pendidikan atau pembelajaran ke siswa. Penulisan ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif. Sejarah sebagai ilmu dituntut objektif, dan tetap menjaga kebebasan nilai (value-free). Dalam konteks Sejarah, objektivitas bisa diterjemahkan sebagai kebenaran dan kejujuran, fakta yang direkonstruksi dituntut dikemukakan secara transparan. Namun, dalam ranah pembelajaran Sejarah, Sejarah tidak mungkin dikemukakan secara objektif. Hal ini bukan berarti jika pembelajaran bersifat subyektif ataupun mengingkari fakta. Bagi tujuan yang lebih bijaksana, polarisasi Sejarah, yaitu dalam rangka menumbuhkan nasionalisme, patriotisme serta tujuan-tujuan pendidikan lainnya, tidak mungkin disandingkan dengan sejarah sebagai alat legitimasi konflik sosial, bahkan disintegrasi bangsa. Ilmu Sejarah tetap bersifat objektif dalam mengungkap fakta Sejarah, sementara itu tujuan pelajaran Sejarah merupakan bagian dari tujuan pendidikan. Sejarah sebagai bahan pelajaran harus disusun searah dengan dasar dan tujuan Pendidikan Nasional. Sejarah sebagai mata pelajaran yang mempunyai misi tertentu dan Sejarah sebagai ilmu, harus dipadukan dalam konsep yang jelas tanpa mengorbankan prinsip-prinsip salah satunya atau keduanya. Pembelajaran Sejarah menempatkan fakta-fakta Sejarah yang disaring, demi tujuan pendidikan agar Sejarah menjadikan yang mempelajarinya lebih bijaksana. Kata kunci: ilmu Sejarah, bebas nilai, objektivitas sejarah, dan pendidikan Sejarah Abstract: The aim of writing this article is to offer a win-win solution to put history learning, both as a pure social science as well as an education and learning tools for students. This study used qualitative descriptive approach. As a science, history should be objective and at the same time keep the value-free concept. In the context of history, objectivity means truth and honesty, that is all facts must be disclosed transparantly. However, in history learning, not all the historical facts should be revealed fully. Yet, it does not necessarily mean that history learning is not objective or even denying the facts. For the wiser purpose, the history polarisation aiming at growing students nationalisme, patriotism, and other noble educational objectives, it is not possible to treat history as a tool to legitimate social conflicts or even the nation disintegration. History in learning should keep objective in uncovering historical facts, while also maintain the purpose of the learning itself. History as a learning must be built upon the foundation and aim of the national education system. Thus, history as a school subject having particular education objectives must be put in line, side by side, compromise with its position as a social science, without eliminating the principles of one or both of them. History learning uses filtered historic facts, so the learners are led to be wise people. Keywords: the science of history, value-free, objectivity of history, and history learning

477

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012

Pendahuluan Ilmu Sejarah adalah ilmu yang menyelidiki dan menceritakan peristiwa-peristiwa dalam waktu dan ruang yang dihubungkan dengan perkembangan aktivitas manusia. Sebagaimana ilmu pengetahuan lainnya, Ilmu Sejarah juga bersifat bebas nilai ( value-free ). Namun, perlu disadari bahwa dalam perjalanan Sejarah peradaban di dunia, konflik sosial sering terjadi. Konflik ini bisa terjadi antara negara, dan juga dalam suatu negara. Berbagai konflik, tak jarang disebabkan oleh legitimasi sejarah. Konflik tersebut tak lepas dari penghargaan yang tinggi terhadap the glorius past dari masing-masing suku, ras, agama, dan bangsanya. Ilmu Sejarah yang value-free, sering kali harus bertanggung jawab terhadap konflik tersebut. Sementara itu, Pendidikan Sejarah yang merupakan pembelajaran Sejarah di sekolah mengungkap fakta sejarah secara lebih bijak agar dampak sejarah bagi siklus konflik mendapat reduksi. Namun demikian, dalam kontek Sejarah Nasiona l Indone sia, ser ing kali sej araw an mengkritisi official history atau penulisan Sejarah resmi yang dibuat pemegang kekuasaan. Official history memang sering dijadikan rujukan dalam pembelajaran Sejarah, termasuk di dalamnya Sejarah Kontemporer. Pembelajaran Sejarah sering dikritik mengabaikan temuan fakta dari Ilmu Sejarah, demi tujuan pendidikan secara umum. Dalam menyikapi perbedaan paradigma Ilmu Sejarah dan Pendidikan Sejarah, tentunya harus ada titik temu. Dari gambaran di atas, muncul rumusan permasalahan sebagai berikut: 1) bagaimana perbedaan tinjuan Ilmu Sejarah dan Pendidikan Sejarah?; dan 2) bagaimana jalan tengah dari kontroversi Ilmu Sejarah dan Pendidikan Sejarah, dalam konteks Sejarah Nasional Indonesia? Penulisan ini bertujuan untuk mencari format dalam rangka menemukan titik temu antara dua paradigma yang berbeda, yaitu sejarah sebagai ilmu, dan sejarah dalam ranah pembelajaran atau pendidikan, khususnya dalam membahas sejarah nasional Indonesia. Perbedaan antara ilmu yang bersifat value-free, dan nilai-nilai pendidikan dalam Sejarah, dapat dipadukan, dengan melihat tujuan dan fungsi masing-masing. konflik-

Kajian Literatur dan Pembahasan Pembelajaran Sejarah Pengaja ran terd iri atas proses bela jar dan mengajar. Belajar-mengajar sebagai suatu sistem instruksional mengacu kepada pengertian sebagai seperangkat komponen yang saling bergantung satu dengan lainnya dalam mencapai tujuan. Sebagai suatu sistem, belajar mengajar meliputi suatu komponen seperti: tujuan, bahan, siswa, gur u, m etod e, situa si d an e valuasi. Tuj uan tersebut dapat tercapai jika semua komponen diorganisasikan, sehingga terjadi kerja sama antarkomponen (Djamarah & Zain, 1996). Secara sederhana, pengajaran Sejarah diartikan sebagai sua tu siste m be laja r me ngaj ar Sejar ah. Pengajaran Sejarah berkaitan dengan perpaduan antara teori-teori pendidikan dan Ilmu Sejarah. Berbeda de ngan Ilmu Sejarah, y ang secara khusus intens mengembangkan keilmuan, maka pe mbel ajar an Sejar ah a tau mata pel ajar an Sejarah dalam kurikulum sekolah, memang tidak secara khusus bertujuan untuk memajukan ilmu ata u untuk mene lork an calon ahl i Se jara h. Penekanan pengajaran Sejarah, tetap terkait dengan tujuan pendidikan pada umumnya, yaitu ikut membangun kepribadian dan sikap mental siswa. Tujuan pendidikan tidak hanya membentuk kemampuan intelektual semata, tetapi juga sikap dan berbagai keterampilan. Jika pendidikan hanya mem beri kan kema mpua n intele ktua l ta npa didasari nilai-nilai dan moralitas dalam diri siswa, maka intelektualitas dapat menjadi salah arah. Pembelajaran harus memiliki muatan konsep kurikulum tersembunyi (hidden curriculum), yang meliputi nilai-nilai yang dipromosikan oleh sekolah, penekanan yang diberikan oleh guru, derajat antusiasme guru, iklim fisik dan sosial sekolah (Oliva 1982). Istilah hidden curriculum menunjuk pada kenyataan bahwa para guru dan sekolah terlibat dalam pendidikan moral, tanpa secara eksplisit dan filosofis membahas atau merumuskan tujuan dan metodenya (Kohlberg, 1995). Se jara h se baga i ma ta pela jara n ya ng mempunyai misi atau tujuan pendidikan tertentu dan Sejarah sebagai ilmu, harus dipadukan dalam konsep yang jelas tanpa mengorbankan prinsippri nsip sal ah satunya a tau keduanya . Ha l tersebut penting, agar kekhawatiran tentang subjektivitas sejarah dalam pembelajaran Sejarah

478

Yudi Setianto, Dikotomi Bebas Nilai dan Nilai Pendidikan dalam Pembelajaran Sejarah

tidak mengorbankan ilmu Sejarah itu sendiri. Meskipun demikian, sebagai materi pelajaran di sekolah, Sejarah harus menghindarkan hal-hal sebagai berikut: pertama, Sejarah sebagai bahan pelajaran harus dihindarkan pada kecenderungan antikuriat, yaitu kisah masa lalu dipelajari hanya sekedar pelipur lara atau bahan hafalan yang menjemukan. Kedua, pelajaran Sejarah sebaiknya menjauhkan diri dari keterangan sejarah (historical explanation) yang ideologis tanpa pertanggungjawaban yang rasional (Abdullah, 1996). Se cara sed erha na, peng ajar an Sejar ah diartikan sebagai suatu sistem belajar mengajar Sejarah. Pengajaran Sejarah berkaitan dengan teori-t eori pem bela jara n da n ke Seja raha n. Berbeda dengan ilmu Sejarah, pembelajaran Sejarah atau mata pelajaran Sejarah dalam kurikulum sekolah memang tidak secara khusus bertujuan untuk memajukan ilmu atau untuk menelorkan calon ahli Sejarah. Penekanannya, dalam pengajaran Sejarah tetap terkait dengan tujuan pendidikan pada umumnya, yaitu ikut membangun kepribadian dan sikap mental siswa. Dalam masa pembangunan bangsa, salah satu fungsi utama pendidikan adalah pengembangan kesadaran nasional sebagai sumber daya mental dalam proses pembangunan kepribadian nasional beserta identitasnya (Kartodirdjo, 1993). Hal ini juga diperkuat oleh pemerintah melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menyatakan: Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat da lam rang ka m ence rda skan kehidup an bangsa, bertujuan untuk berkembangnya peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (Pasal 3). Memperhatikan fungsi dan tujuan Pendidikan Nasional tersebut, jelas bahwa yang dicapai bukan hanya kemampuan intelektualitas saja, tetapi lebih menekankan kepada tiga ranah secara merata, yaitu: kognitif, afektif dan psikomotorik. Berkaitan dengan itulah, di samping di sekolah

diajarkan ilmu-ilmu yang dapat meningkatkan kemampuan dan keterampilan, perlu dilengkapi jug a de ngan pengeta huan yang ma mpu membentuk sikap dan mentalitas, seperti mata

pelajaran Sejarah. Menurut Ali (2005), pengajaran Sej arah penting dal am p embe ntuk an j iwa patriotisme dan rasa kebangsaan. Sementara itu, Hasan berpendapat, terdapat beb erap a pe maknaan terhadap Pendidi kan Sejarah. Pertama, secara tradisional Pendidikan Sejarah dimaknai sebagai upaya untuk mentransfer kemegahan bangsa di masa lampau kepada generasi muda. Dengan posisi yang demikian, Pendidi kan Seja rah adal ah w ahana ba gi pewarisan nilai-nilai keunggulan bangsa. Melalui posisi ini Pendidikan Sejarah ditujukan untuk membangun kebanggaan bangsa dan pelestarian keunggulan tersebut. Kedua, Pendidikan Sejarah ber kena an d enga n up aya memp erke nalk an peserta didik terhadap disiplin Ilmu Sejarah. Oleh karena itu, kualitas seperti berpikir kronologis, pemahaman sejarah, kemampuan analisis dan pe nafsiran sej arah, ke mamp uan pene liti an sejarah, kemampuan analisis isu dan pengambilan keputusan (historical issues-analysis and decision making) menjadi tujuan penting dalam Pendidikan Sejarah (Hasan, 2007). I G de W idja menyata kan bahw a pe mbelaja ran Sejara h adalah p erpaduan a ntara aktivitas belajar dan mengajar yang di dalamnya mempelajari tentang peristiwa masa lampau yang erat kaitannya dengan masa kini (Widja,1989). Pendapat Widya tersebut dapat disimpulkan, bahwa mata pelajaran Sejarah merupakan bidang studi yang terkait dengan fakta-fakta dalam Ilmu Sejarah namun tetap memperhatikan tujuan pendidikan pada umumnya. Dalam Seminar Sejarah Nasional di Yogyakarta tahun 1957, Padmopuspito berpendapat bahwa pert ama, penyusunan pelajaran Sejarah harus bersifat ilmiah. Kedua , siswa perlu bimbangan dalam berfikir, tetapi tafsiran dan penilaian tidak boleh dipaksakan, karena dapat mematikan daya pikir siswa (Gazalba,1966). Dalam bidang pengajaran Sejarah, terdapat tiga faktor yang harus dipahami tentang materi Sejarah. Pertama, hakikat fakta Sejarah. Kedua, hakikat penjelasan dalam Sejarah. Ketiga, masalah obyektivitas Sejarah (Hariyono, 1995).

479

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012

Ilmu Sejarah Di sisi lain, Sejarah merupakan cabang ilmu pengetahuan yang berkembang, dengan metode dan standar tersendiri. Ilmu Sejarah dalam mengung kap fakt a, harus mem perhatik an netr alitas nilai k etika me lakukan peneli tian sejarah. Ini berarti bahwa ia harus menyingkirkan asumsi ideologis atau nonilmiah dari penelitian. Ini sebagai konsekuensi, bahwa ilmu pengetahuan bersifat bebas nilai (value-free). Bebas nilai artinya tuntutan terhadap setiap kegiatan ilmiah agar didasarkan pada hakikat ilmu pengetahuan itu sendiri. Tokoh sosiologi, Max Weber, menyatakan bahwa ilmu sosial harus bebas nilai tetapi ia juga mengatakan bahwa ilmu-ilmu sosial harus menjadi nilai yang relevan ( value-relevant ). Mempelajari Sejarah merupakan suatu jenis berpikir tertentu yang disebut pemikiran historis. Sebagai sebuah ilmu, Sejarah telah memenuhi syarat-syaratnya seperti (Hugiono & Poerwantana, 1987), yaitu: 1) pengetahuan yang dicapai secara metodis dan berhubungan seca ra sistematis; 2) meliputi kelompok besar dari kebenaran umum; dan 3) bersifat objektif. Seb agai mana pandang an Bacon, ba hwa histories make man wise , Sejarah diharapkan yang mempelajari menjadi lebih bijaksana (dalam Widja,1989). Syarat Ilmu Sejarah adalah objektif. Sejarah sebagai ilmu dituntut objektif, karena ilmu tanpa obyektivitas tidak mempunyai nilai ilmiah. Objektif bisa diartikan bersifat tidak memihak. Suatu penulisan sejarah dapat bersifat subyektif, apa bila sej araw an m embi arka n politi k at au etisnya turut berperan, atau nilai-nilai turut berperan dalam penulisan sejarahnya (Siswanto dan Sukamto, 1991). Hal ini menjadi berbeda jika Sejarah sebagai mata pelajaran dan materi pembelajaran di sekolah. Bagaimanapun, pembelajaran Sejarah mempunyai misi dan visi tertentu, yang merupakan bagian dari tujuan pendidikan. Jika tujuan pendidikan suatu negara bersifat subjektif, bagaimana dengan pendidikan Sejarah dalam pembelajaran di sekolah? Dikotomi semacam ini, seringkali muncul dari para sejarawan untuk menggugat objektivitas fakta dalam pem-belajaran Sejarah. Materi pembelajaran Sejarah, apalagi Sejarah Kontemporer, tak lepas dari produk sejarah resmi dari pemerintah atau penguasa.

Kritik Terhadap Pembelajaran Sejarah Sejarawan Italia, Benedetto Croce mengatakan, mer ekonstruksi Seja rah, pasti a kan terj adi benturan antara realita dan pemikiran, maksud dan peristiwa, historical dan philosophical. Jika merekonstruksi fakta Sejarah saja, Croce masih mengkhawatirkan adanya subjektivitas yang disengaja dalam pengungkapan fakta sejarah, maka tentunya akan lebih khawatir jika sejarah bersanding dengan tujuan pendidikan suatu negara. Sebagaimana pandangan Taufik Abdullah bahwa, sejarah sebagai alat pemupuk ideologi, betapapun luhurnya mempunyai resiko yang bisa me niad akan val idit as dari apa yang ak an disampaikan. Seakan-akan, sejarah dapat bersifat subyektif, demi didapatkan kearifan yang afektif (Abdullah, 1996). Mengutip pernyataan dari Elton, sering muncul kecurigaan di kalangan sejarawan bahkan para pendidik, terhadap alasan mengkai tkan Seja rah denga n pr oses pend idik an. Pr oses pendidi kan Seja rah dianggap hanya menjadi sumber kecenderungan etnosentris, bahkan mengarah ke xenophobia. Sementara itu, Namier (dalam Widja, 1997) berpendapat bahwa peran sejarah sebagai moral precepts atau ajaran moral dianggap dapat menjelma menjadi indokt rinasi seba gai legiti masi doktri n atau ideologi tertentu (Widja,1997). Selain itu sejarawan lain, yakni Mahasin ber pand anga n ba hwa krit ik umum kepa da pendukung nilai edukatif Sejarah dalam penanaman nilai-nilai sejarah melalui proses pendidikan yang lebih menonjol adalah pencapaian tujuan-tujuan edukatif yang bersifat ekstrinsik atau instrumental . Padahal dalam teori belajar ya ng l ebih uta ma adal ah nilai instri nsi k . Penekanan sifat ekstrinsik atau instrumental dalam Pendidikan Sejarah akan lebih mengarah pada pemahaman nilai sejarah sebagai landasan ba gi p embe ntuk an sema cam alat cet ak membentuk manusia yang sudah ditentukan sebelumnya (predefined person ), baik dalam rangka cultural transmission maupun dalam penyiapan moral precepts bagi generasi baru. Dalam kerangka berpikir seperti ini, muncul kecenderungan atau dorongan pemujaan berlebihan terhadap masa lampau yang pada gilirannya memberi peluang bagi kekaburan realitas sejarah demi kepentingan masa kini atau kecenderungan

480

Yudi Setianto, Dikotomi Bebas Nilai dan Nilai Pendidikan dalam Pembelajaran Sejarah

pre sentisme .

Peng aburan

sep erti

ini

bi sa

juangannya sering diangkat sebagai pahlawan bangsa di negaranya masing-masing. Di hampir semua negara, sosok pahlawan tetap selalu didasari unsur subjektivitas yang dibalut kerangka obj ekti vita s. pe ngkhiana t, K eber adaa n t erka it pa hlaw an a tau deng an k epenting an

mendorong generasi baru hanya terpesona atau mengagumi masa lampau tanpa pernah berpikir secara kreatif merencanakan bangunan masa depannya (Widja, 1997). Menurut Abdullah (1996), jika disimpulkan, Sejarah sebagai wacana intelektual akan tampil secara bert ahap se baga i dengan berb agai ya ng waj ah. b erna da Per tama , Se jara h

penguasa politik dan demi kepentingan negara, melalui official history atau penulisan Sejarah resmi yang dibuat pemegang kekuasaan. Sejarawan terkenal Italia, Benedetto Croce mengatakan, merekonstruksi Sejarah, termasuk kisah The Great Man, pasti akan terjadi benturan antara realita dan pemikiran ,maksud dan peristiwa, historical dan philosophical. Kewajaran Pembelajaran Sejarah Berbagai fungsi sejarah dapat dikatagorikan sebagai sejarah yang berfungsi secara pragmatis, antara lai n untuk legi tima si d an j usti tika si eksistensi suatu bangsa, keduanya menyangkut fungsi pragmatis. Di samping itu, ada dua fungsi lain yang mempunyai relevansi bagi pembelajaran Sej arah, ya itu fung si g enet is d an d idak tis (Ka rtodi rdjo, 199 3). Pe mbe laja ran Se jar ah merupakan perpaduan antara pembelajaran itu sendiri dan ilmu Sejarah, yang mana keduanya tetap memperhatikan tujuan pendidikan secara umum. Pe meri ntah seb agai pem egang ot orit as pendidikan berpendapat tentang tujuan dari mata pelajaran Sejarah melalui Peraturan Menteri Pendidikan Nasional. Menurut Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 22 tahun 2006 tentang standar isi yang tercantum dalam lampiran Peraturan Menteri ini, bahwa mata pelajaran Sejarah bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut: 1) membangun kesadaran peserta didik tentang pentingnya waktu dan tempat yang merupakan sebuah proses dari masa lampau, masa kini, dan masa depan; 2) melatih daya kritis peserta didik untuk memahami fakta Sejarah secara benar dengan didasarkan pada pendekatan ilmiah dan penghar gaan peserta did ik dan metodologi keilmuan; 3) menumbuhkan apresiasi t erha dap peninggalan Sejarah sebagai bukti peradaban bangsa Indonesia di masa lampau; 4) menumbuhkan pe maham an peserta didik terha dap proses terbentuknya bangsa Indonesia melalui

moralistik, yang merupakan pertanggungjawaban rasional akan keharusan hidup bermasyarakat. Kedua, Sejarah sebagai alat pengetahuan praktis, yaitu sebagai kaca pembanding untuk mengetahui struktur hari dan dunia kini. Ketiga, Sejarah sebagai pembimbing ke arah pemahaman, yaitu sebagai alat dan penolong untuk memungkinkan terjadinya dialog yang kreatif dengan pergolakan jaman yang melintas dalam pengalaman hidupnya atau alat untuk memahami dunia intelligently (Abdullah, 1996). Dalam konteks Sejarah Nasional Indonesia, tentunya Ilmu Sejarah bukanlah sebagai pedang bermata dua, di satu sisi sebagai alat pemupuk ideologi, perekat persatuan-kesatuan bangsa, namun di sisi lainnya sebagai instrumen dalam disinte grasi ba ngsa . Ji ka peda ng sejar ah bermata dua, maka istilah histories make man wise menjadi tidak berlaku lagi. Hal ini perlu disadari, konflik horisontal di masyarakat, gerakan sparatis, pemberontakan atau hal-hal lain terkait konflik internal da lam suatu negara, ser ing terjadi disebabkan oleh pedang bermata dua tersebut. Denda m sejara h dalam konflik vertikal dan horisontal dalam suatu negara tak lepas dari fakta Sejarah. Di samping itu, sejarah suatu bangsa juga tak lepas dari tokoh besar . Thomas Cartyle dengan the great man theory-nya, berpendapat bahwa, the great man dominates all history. Dalam ranah Ilmu Sejarah, maka The Great Man akan dik upas tuntas, ter kait dengan perj alanan sejarahnya berdasarkan fakta yang ada. Ranah objektivitas sejarah, tentunya sang tokoh akan dikupas kelebihan dan kekurangan, jasa dan kesalahan serta hal-hal lain berdasar hitam putih perjalananannya, sehingga menjadi tokoh. Namun, dala m ranah pembel ajaran, hal tersebut me munculkan kontroversial. Tokoh ba ngsa , di kare naka n j asa- jasa ata u pe r-

481

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012

seja rah ya ng panj ang da n masih berpr oses hingga masa kini dan masa yang akan datang; dan 5) menumbuhkan kesadaran dalam diri pe sert a di dik seba gai bagi an d ari bang sa Indonesia yang memiliki rasa bangga dan cinta tanah air yang dapat diimplementasikan dalam berbagai bidang kehidupan, baik nasional maupun internasional. Menurut Hasan ( 1997 ) da lam Kong res Nasional Sejarah tahun 1996, secara tradisional tujuan kuri kulum pendidikan Sej arah selalu diasosiasikan dengan tiga pandangan, yaitu:

Sebagai wahana pendidikan, kurikulum Sejarah harus diarahkan untuk mencapai berbagai tujuan sep erti pengemb anga n ra sa k ebangsaa n, kebanggaan atas prestasi gemilang masa lalu bangsa, mampu menarik pelajaran dari peristiwa masa lampau untuk digunakan dalam melanjutkan prestasi gemilang bangsa bagi kehidupan masa sekarang dan yang akan datang. Hal yang wajar terjadi perbedaan sudut pandang dalam memahami kenyataan sosial termasuk dalam masalah Sejarah. Hal ini juga di kemukaka n ol eh Abdullah (19 96), bahwa Sejarah sebagai ingatan kolektif memberikan ke prihatinan pe neguhan sosia l-kultur al inte grasi. Dala m a kan hasr at ini, kontek s

1) per enia lism e yang me mand ang bahwa


pendidikan Sejarah haruslah mengembangkan tugas sebagai wahana transmission of culture . Pengajaran Sejarah hendaklah diajarkan sebagai pe nget ahua n ya ng d apat mem bawa siswa kepada penghargaan yang tinggi terhadap the glorius past. Kurikulum Sejarah diharapkan dapat mengembangkan kemampuan anak didik dan generasi penerus untuk mampu menghargai hasil karya agung bangsa di masa lampau, memupuk rasa bangga sebagai bangsa, rasa cinta tanah air, persatuan dan kesatuan nasional; 2) esensialisme , menurut pandangan ini, kurikulum Sejarah haruslah mengembangkan pendidikan Sejarah sebagai pendidikan disiplin ilmu dan bukan hany a te rbat as p ada pend idik an pengetahuan Sejarah. Dalam pandangan aliran esensialisme , siswa yang belajar Sejarah harus diasah kemampuan intelektualnya sesuai dengan tradisi intelektual Sejarah sebagai disiplin ilmu. Kemampuan intelektual keilmuan antara lain menghendaki kemampuan berfikir kritis dan analitis, terutama dikaitkan dalam konteks berfikir yang didasarkan filsafat keilmuan; dan 3) rekonstruksi sosial, pandangan ini menganggap bahwa kurikulum pendidikan Sejarah haruslah diarahkan pada kajian yang mengangkut kehidupan masa kini dengan problema masa kini. Pengetahuan Se jara h di hara pkan da pat memb antu siswa mengkaj i ma sala h untuk meme cahk an p ermasalahan. Kecenderungan-kecenderungan yang terjadi dalam Sejarah masa lampau sebagai pel ajar an y ang dapa t di manf aatk an b agi kehidupan siswa masa kini (Hasan, 2007). Namun, klasifikasi seperti pandangan di atas tid ak pe rlu d ijadi kan p egang an mutlak dan terpisah oleh para pengembang kurikulum Sejarah.

ter kaburlah bat as-b atas ant ara kep asti an Sejarah dengan kewajaran Sejarah, antara apa yang sesungguhnya telah terjadi dan apa yang semestinya harus terjadi. Ungkapan lain untuk menjelaskan hal tersebut adalah terbaurlah hasil rekonstruksi kritis terhadap sumber Sejarah de ngan kei nginan a kan masa la lu sebag ai landasan kearifan masa kini (Hasan, 2007). Demikian, usaha untuk menjadikan Sejarah se baga i sumber inspira si a taup un sebag ai landasan nilai merupakan hal yang sah, baik secara akademis maupun secara etis (Hasan, 2007). Pengajaran Sejarah lebih bersifat confluent , artinya dapat untuk mengembangkan berbagai ranah sekaligus. Ranah kognisi, afeksi, dan konasi se cara ber sama -sam a Aspek me mbentuk kog nisi sik ap keselur uhan. mer upak an

penggerak perubahan karena informasi yang diterima menentukan perasaan dan kemauan untuk bert inda k. K ogni si y ang sala h ak an menimbulkan afeksi dan konasi yang salah pula. Af eksi dan konasi yang benar hanya dap at dihasilkan oleh kognisi yang benar (Marat, 1982). Ini berarti bahwa pengajaran Sejarah yang salah akan menimbulkan sikap yang salah, palsu atau munafik. Bila salah, maka tindakan lahirnya juga menghasilkan tindakan yang salah (Moedjanto, 1985). Berfokus pada fungsi pengajaran Sejarah untuk meningkatkan proses penyadaran diri, maka dua aspek didaktik Sejarah perlu ditonjolkan yaitu: 1) segi teknik penyampaian atau metodenya dan 2) segi substansialnya atau silabus. Kedua asp ek m empunyai pengaruh ti mbal bal ik,

482

Yudi Setianto, Dikotomi Bebas Nilai dan Nilai Pendidikan dalam Pembelajaran Sejarah

keduanya bertalian dengan usia serta tingkat pendidikan anak didik. Prinsip pemilihan substansi dalam didaktif sejarah, yaitu: a) pendekatan secara lokosentris, mulai dengan mengenal lokasi sejarah di sekitarnya; b) pendekatan konsentris, mulai lingkungan dekat meluas ke lingkup nasional sampai ke yang internasional; c) temasentris, yaitu pilihan tema tertentu yang menarik sekitar pahlawan atau monumen, dan lain sebagainya; d) kronologi yaitu urutan kejadian menurut waktu; e) tingkatan presentasi dari deskriptif-naratif ke deskriptif-analitis, mulai dari cerita tentang bagaimana terjadinya, sampai pada mengapanya; dan f) sejarah garis besar dan menyeluruh (Kartodirdjo,1993). Pengajaran Sejarah penting dalam pembentukan jiwa patriotisme dan rasa kebangsaan. Suat u penget ahuan Se jarah ya ng ditunjang pengalaman praktis warga negara yang baik di sekolah membantu memperkuat loyalitas dan membantu anak-anak menemukan dirinya dengan lat ar be lakang Sej arah luas. Rowse (19 63) menegaskan bahwa Sejarah adalah suatu mata pelajaran yang bernilai pendidikan tinggi. Dalam kontek s pe mbentuka n Se jara h i dent itas nasiona l, fung si pe nget ahua n me mpunyai

membangkit kan semangat penga bdian yang tinggi, penuh rasa tanggung jawab serta kewajiban. Kepekaannya terhadap sejarah akan melahirkan aspirasi dan inspirasi untuk melaksanakan tugasnya sebagai warga negara. Sejarahlah yang menjadi sumber inspirasi dan aspirasi generasi muda dengan pengungkapan model-model tokoh sejarah dan pelbagai bidang. Maka dari itu, sejarah masih relevan untuk dipakai menjadi perbendaharaan suri-tauladan, berkorban untuk tanah air, berdedikasi tinggi dalam pe ngab dian, ta nggung j awab sosial besa r, kewajiban, serta keterlibatan penuh dalam halihwal bangsa dan tanah air. Kartodirdjo (1993) ber pend apat bahwa p embe laja ran Seja rah berkedudukan sangat strategis dalam pendidikan na sional sebag ai sok o guru dala m pe mbangunan bangsa. Pembelajaran Sejarah perlu disempurnakan agar dapat berfungsi secara lebih efektif, yaitu penyadaran warga negara dalam melaksanakan tugas kewajibannya dalam rangka pembangunan nasional. Tujuan pelajaran Sejarah Nasional, yaitu: a) memb angk itka n, m enge mbangkan, se rta memelihara semangat kebangsaan; b) membangkitkan hasrat mewujudkan cita-cita kebangsaan dalam segala lapangan; c) mem-bangkitkan hasrat mempelajari Sejarah kebangsaan dan mempelajarinya sebagai bagian dari Sejarah dunia; dan d) menyadarkan anak tentang citacita nasional Menurut untuk mewujudkan cita-cita itu Wahid Siswoyo dalam bukunya dikemukakan beberapa hal, sepanjang masa (Ali, 2005). Seminar Sejarah,

fundamental (Kartodirdjo,1993). Inti pembelajaran Sejarah adalah bagaimana menanamkan nilai-nilai kepahlawanan, kecintaan terhadap bangsa, jati diri, dan budi pekerti kepada anak didik. Buku pelajaran Sejarah hendaknya disusun dengan ketentuan-ketentuan ilmiah yang berlandaskan pada tujuan pendidikan nasional (Hugiono & Poerwantana, 1987). M elalui proses belajar Sejarah bukan semata-mata menghapal fakta, tet api sisw a da pat meng enal kehidup an bangsanya secara lebih baik dan mempersiapkan kehidupan pribadi dan bangsanya yang lebih siap untuk jang ka selanjut nya (Hasan, 1997 ). Sementara itu, Krug (1967) berpendapat bahwa pengajaran Sejarah bangsa merupakan upaya terbaik untuk memperkuat kesatuan nasional dan untuk menanamkan semangat cinta tanah air dan jiwa patriotik. Kartodirdjo (1993) menyatakan, peranan strat egis pengajaran Sejarah dalam ra ngka pembangunan bangsa menuntut suatu penyelenggaran pengajaran Sejarah sebagai pemaha man dan peny adar an, sehi ngga mam pu

antara lain: 1) sejarah dapat menumbuhkan rasa nasionalisme; 2) sejarah yang mempunyai fungsi pedagogis serta merupakan alat bagi pendidikan membutuhkan pedoman atau pegangan yang da pat digunaka n untuk mencapai cit a-ci ta Pendidikan Nasional. Melalui pendidikan Sejarah, yakni dalam be ntuk keg iata n be laja r me ngaj ar, proses sosialisasi sikap nasionalisme dapat dilaksanakan secara lebih sistematik dan terencana, yaitu melalui proses internalisasi. Proses internalisasi merupakan proses untuk menjadikan suatu sikap sebaga i bagian d ari keprib adian sese orang. Dalam upaya mensosialisasikan sikap nasionalisme, strategi belajar mengajar pendidikan

483

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012

Sejarah

dilakukan

melalui (Hizam,

tahap 2007 ).

pengenalan M eski pun

Sej arah seb agai bahan p elaj aran har us disusun sea rah deng an d asar dan tuj uan Pendidikan Nasional. Anak didik harus mampu menemukan nilai-nilai yang ada pada materi Sejarah yang dipelajarinya dan mampu merekonstruksi hubungan antarnilai-nilai yang terkandung dalam materi pelajaran Sejarah tersebut, baik dalam konteks hubungan antarnilai-nilai yang terdapat dalam materi Sejarah yang disampaikan secara parsial maupun hubungannya dengan nilainilai yang terjadi saat ini. Sebab pengalamanpengalaman dalam Sejarah bukan hanya untuk diketahui, tetapi diharapkan dapat dipakai untuk memperbaiki usaha-usaha di masa mendatang (Imam Barnadib, 1973) Sebagai jalan tengah memahami permasalahan di atas, perlu ditekankam strategi dasar

dan pemahaman, tahap penerimaan, dan tahap pengint egra sian de miki an, seja rah Bang sa I ndonesia har us dig amba rkan keb esar an d an k eagungannya secara ilmiah, sehingga tidak mengorbankan objektivitas demi penggambaran yang demikian. Konsep Win-Win Solution Ilmu pengetahuan dikaitkan dengan kebutuhan manusia, maka ilmu pengetahuan akan terdistorsi, tidak akan didapati kebenaran yang objektif. Sebagai sebuah ilmu, sejarah telah memenuhi syarat-syarat ilmiah dan akademis. Dengan demikian, ilmu Sejarah tetap bersifat objektif dalam mengungkap fakta Sejarah tanpa didasari ke pent inga n ya ng m engi ring inya , se hing ga mengurangi kadar keilmiahan. Masalah objektivitas dan subjektivitas Sejarah merupakan masalah yang kl asik . Se jara h di susun ol eh manusia yang juga d iseb ut subje k. H al i ni menempatkan manusia berfungsi ganda, yaitu se baga i ob yek seka lig us subje k Se jara h. Obyektivitas dalam hal ini diartikan sebagai upaya me ndek atka n subyek pa da objek , se hing ga subjektivitas dapat dikurangi untuk mendekati objektivitas. Sejarah sebagai ilmu dituntut objektif, karena ilmu tanpa objektivitas tidak mempunyai nilai ilmiah. Perlu disadari, menulis Sejarah dengan obyektivitas seratus persen merupakan harapan yang berlebihan. Apa yang sebenarnya terjadi dalam kehidupan nyata terlebih terkait masa lalu, tidak akan pernah terekam secara lengkap. Penulisan sejarah bersifat subjektif, apabila membiarkan politik, etisnya, dan nilai-nilai turut berperan. Perlu ditegaskan, bahwa otonomi ilmu pengetahuan tetaplah harus terjamin, termasuk dalam pengungkapan fakta sejarah. Meskipun demikian, penelitian ilmiah apalagi terkait dengan sejarah nasional, tidak luput dari pertimbangan etis meski hal ini sering dituding menghambat kemajuan ilmu, karena nilai etis itu sendiri bersifat universal. Ketika sejarah telah masuk dalam ranah pendidikan, maka nilai etis menjadi hal penting. Tujuan mempelajari sejarah tidaklah sam a de ngan tuj uan seja rah, menyang kut persoalan didaktis dan juga filsafat. Tujuan pelajaran Sejarah merupakan bagian dari tujuan pendidikan.

berupa penanaman nilai yang dinamis progresif.


Dalam perspektif ini, apabila dalam proses belajarmengajar Sejarah tidak bisa dihindarkan mengajak siswa untuk mengambil nilai-nilai dari masa la mpau, bukanl ah d ima ksud kan agar siswa terpaku dan terpesona pada kegemilangan masa lampau. Nilai-nilai masa lampau diperlukan untuk menjadi kekuatan motivasi menghadapi tantangan masa depan. I Gde Widja menyatakan, bahwa pembelajaran Sejarah adalah perpaduan antara aktivitas belajar dan mengajar yang di dalamnya mempelajari tentang peristiwa masa lampau yang erat kaitannya dengan masa kini. (I Gde Widja, 1989). Pendapat I Gde Widya tersebut dapat disimpulkan jika mata pelajaran Sejarah merupakan bidang studi yang terkait dengan fakta-fakta dalam ilmu Sejarah namun tetap memperhatikan tujuan pendidikan pada umumnya. Ma ta p elaj aran Sej ara h se baga i al at mengabdi kepada tujuan pendidikan yang multiaspek. Meski demikian, Sejarah sebagai mata pelajaran tidak mengabaikan prinsip-prinsip keilmuan, konsep dasar, dan prinsip keilmuan. Sejarah sebagai mata pelajaran yang mempunyai misi atau tujuan pendidikan tertentu dan sejarah sebagai ilmu, harus dipadukan dalam konsep yang jelas tanpa mengorbankan prinsip-prinsip salah satunya atau keduanya. Hal tersebut penting, agar kekhawatiran tentang subjektivitas Sejarah dalam pembelajaran Sejarah tidak mengorbankan ilmu Sejarah. Jalan tengah menyikapi sudut pa ndang ya ng b erbe da, dapa t di sele saik an

484

Yudi Setianto, Dikotomi Bebas Nilai dan Nilai Pendidikan dalam Pembelajaran Sejarah

melalui slogan: histor ies make man wise , sehingga perbedaan pandangan tersebut juga harus disikapi dengan bijaksana. Dalam kontek Sejarah Nasional Indonesia, khususnya untuk pembelajaran, tampaknya tidak layak jika kepahlawanan seorang tokoh, diungkap dari sisi kekurangannya, bahkan kesalahannya dalam perjalanan kehidupan. Sebaliknya, tidak lay ak jik a conte nt pe mbel ajar an, memuat perjuangan tokoh bangsa, namun paradigma, prinsip perjuangan dan ideologinya bertentangan dengan ideologi dan falsafah bangsa. Demikian juga kasus-kasus konflik sosial berbau SARA, seperti Konflik Ambon, Peristiwa Sampit serta konflik di daerah lain. Termasuk di dalamnya Sejarah di daerah, yang merupakan bagian narrow nasionalism, namun menjadi pemicu separatisme seperti yang pernah terjadi di Aceh. Tampaknya, kita perlu belajar dari pengalaman bangsa lain, di mana fakta Sejarah sering menjadi pem icu konf lik sosi al, sepa rati sme bahkan pemberontakan tanpa akhir, seperti yang terjadi di Spanyol (Separatis Basque), Philippina (Moro), Irlandia (Pemberontakan IRA), Srilanka (Gerakan Tamil), India (Kashmir), Turki (Suku Kurdi), serta kasus-kasus lainnya yang serupa. Demikian juga konflik antar negara, dikarenakan alasan Sej arah, se pert i India- Paki stan(Kashmir ), Thailand-Kamboja (Candi Preah Vihear), PalestinaIsrael, Irak-Kuwait (pada masa Saddam Hussain), Inggri s-Ar gent ina (Pul au M alvi nas) ser ta permasalahan serupa di tempat lain. Sebagian konflik tersebut tak lepas dari penghargaan yang tinggi terhadap the glorius past dari masingmasing suku, ras, agama, dan bangsanya. Sebagian besar dari konflik berurat dan berakar, berlanjut meski sudah berabad-abad karena Sejarah sering dijadikan acuan legitimasi konflik. Salah satu penyelesaian kasus semacam itu, melalui proses pembelajaran Sejarah, di mana generasi sekarang dan berikutnya tidak melihat fakta konflik secara tekstual dalam ranah ilmu Sejarah, termasuk melihat the glorious past . Sejarah, bisa disampaikan dalam kajian pendidikan atau pembelajaran Sejarah. Dengan demikian, dendam sejarah sesama generasi bangsa dan generasi antarbangsa tidak berlanjut seiring pem aham an sejar ah d alam pem bela jara n. Diharapkan, dalam pembelajaran Sejarah, terkait

konflik sosial juga menekankan pada resolusi konflik. Bagi pendidikan di Indonesia, mata pelajaran Sejarah tentunya bukan pisau bermata dua. Di sisi lain, mata pelajaran Sejarah untuk menumbuhkan nasionalisme, patriotisme serta tujuan pendidikan lainnya. Sisi lainnya, mata pelajaran Sejarah mengungkap fakta sejarah, yang berimbas pada disintegrasi bangsa. Ilmu Sejarah yang bebas nilai, dalam aplikasi di lapangan, khususnya dalam pembelajaran harus memperhatikan etika yang ada dan dampak yang ditimbulkan. Pendidikan Sejarah merupakan alternatif solusi permasalahan tersebut. Hal ini berbeda jika Sejarah berada di perguruan tinggi, dimana kajian murni ilmu Sejarah secara akademik dapat diberikan. Alasannya, matang. Pembelajaran Sejarah menempatkan faktafa kta seja rah yang disaring, d emi tujuan pendidikan. Fakta yang disaring bukan sebagai unsur kebohongan sejarah, namun menjelaskan fakta sejarah berdasarkan tingkat penalaran siswa. Sekali lagi, fakta sejarah yang disaring, bukan untuk memutarbalikkan fakta itu sendiri. Fak ta sejarah d alam pem bela jara n te tap merupakan hal yang objektif dan berdasar ilmu Sejarah, namun terdapat prinsip memilih dan memilah. Tujuannya agar fakta sejarah sesuai slogan histories make man wise. Slogan tersebut perlu diimplementasikan secara kontekstual di dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Sejarah bukan merupakan sumber ilmiah sekaligus sumber konflik dan dendam antara generasi bangsa. Apalagi dalam masyarakat multikultural, di mana perbedaan suku, ras, agama, dan ideologi seperti di Indonesia, sering menjadi pemicu konflik. Pendidikan Sejarah juga berfungsi efektif menjaga ideologi dan falsafah bangsa. Kompromi antara ilmu Sejarah dan pendidikan Sejarah merupakan konsep jalan tengah, agar ada titik temu. Titik temu ini, tetap menghormati dan menghargai prinsip keduanya dan tidak mengorbankan prinsip salah satunya. Kompromi yang dimaksud tetap dalam kerangka, ya ng d apat dip erta ngg ungj awab kan seca ra ilm iah. Per paduan a ntar a ke duanya, ibar at per mainan orkestra, yang te rdir i be rbag ai perkembangan pola pikir peserta didik sudah lebih berkembang dan

485

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012

instrumen musik, untuk menghasilkan musik yang indah dan harmoni. Harmoni bagi keselarasan untuk hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Harmoni yang tetap menjaga integritas dan menjunjung tinggi etika dan nilai-nilai dunia akademik. Jik a ha l te rseb ut t erja di, maka slogan kebesaran ilmu Sejarah, Historia Vitae Magistra, benar-benar terwujud. Sejarah akan menjadi guru kehidupan, sebagaimana harapan dari pencetus slogan, sejarawan dan filsuf Romawi Kuno, Marcus Tullius Cicero. Para sejarawan idealis perlu menyada ri, bahw a pe mbel ajar an Sejar ah, merupakan perpaduan antara ilmu Sejarah dan ilmu Pendidikan, sehingga kritik yang selama ini ditujukan kepada pembelajaran Sejarah, memang bukan ranah keilmuan Sejarah secara murni karena Ilmu murni Sejarah terdapat di ranah perguruan tinggi. Nilai-nilai dan falsafat kependidikan, ikut mendominasi dalam pem-belajaran Sejarah. Tujuan pendidikan tidak hanya membentuk kemampuan intelektual semata, tetapi juga etika, moral, sikap, serta berbagai keterampilan. Simpulan dan Saran Simpulan Pembelajaran Sejarah tidak mengkhususkan mempelajari fakta-fakta dalam sejarah sebagai ilmu, namun perpaduan antara Sejarah dan tujuan pendidikan pada umumnya. Meski demikian, pembelajaran Sejarah berusaha menampilkan fakta sejarah secara objektif, dan tetap dalam kerangka fakta sejarah yang sesuai dengan tujuan pendidikan itu sendiri. Persepsi tentang sejarah harus jelas bagi guru yang mengajarkan Sejarah sebagai mata pelajaran. Tujuan ilmu Sejar ah berbeda dengan tujuan penga jaran Sejarah. Tujuan Sejarah dapat bersifat filosofis, tetapi pengajaran Sejarah mempunyai tujuan tertentu dalam rangka pendidikan atau bersifat didaktis. Harus disadari bahwa pembelajaran Sejarah tidak harus bersifat ilmu murni, apalagi untuk pendidikan tingkat dasar dan menengah.

Hal ini berbeda jika Sejarah berada di perguruan tinggi, di mana ilmu Sejarah dikupas sesuai kajian murni akademik. Mata pelajaran Sejarah merupakan alat mengabdi kepada tujuan pendidikan yang multiaspek. Meskipun demikian, Sejarah sebagai mata pelajaran tidak mengabaikan prinsip-prinsip keilmuan. Ditarik kesimpulan, bahwa pembelajaran Sejarah menempatkan fakta-fakta sejarah yang disaring, demi tujuan pendidikan. Fakta yang disaring bukan diartikan sebagai unsur kebohongan seja rah, nam un m enjel aska n fa kta Sejarah berdasarkan tingkat penalaran siswa. Dengan demikian, Sejarah sebagai mata pelajaran, tidak melupakan prinsip-prinsip dari tujuan pendidikan, termasuk tujuan dari pendidikan Sejarah yang telah digariskan pemerintah. Saran Bagi kepentingan bangsa dan negara, sejarah jangan seperti Ind onesiaan, pisau bermata dua, yang bisa se jara h da pat memp erer at d an m enja ga meluka i dirinya sendiri. D alam konte ks keper satuan-k esat uan bang sa

ide olog i-fa lsaf ah negar a at au k epenting an bangsa yang lebih luas, bukan sebaliknya, menjadi pemicu disintegrasi NKRI. Bukan juga sebagai alat legitimasi kepentingan sesaat, terutama bagi kepentingan politik penguasa. Jika menyangkut Sejarah Kontemporer, maka sejarah yang mengupas konflik SARA, perlu di samp aika n se cara sa ngat hat i-ha ti d an bijaksana, agar dendam sejarah dari siklus yang berkepanjangan, tidak menumbuhkan semangat konflik antara generasi bangsa bahkan ant arba ngsa . Konfli k sosial , generasi se para tism e,

pe mber onta kan sert a konfli k la inny a ya ng disebabkan perjalanan Sejarah, dapat diredam melalui pendidikan Sejarah. Sejarawan yang sering mengkritik objektivitas pembelajaran Sej arah, pe rlu mema hami hal ini , ba hwa pembelajaran Sejarah berbeda dengan Sejarah murni atau ilmu Sejarah.

486

Yudi Setianto, Dikotomi Bebas Nilai dan Nilai Pendidikan dalam Pembelajaran Sejarah

Pustaka Acuan Abdullah. Taufik. 1996. Di Sekitar Pengajaran Sejarah yang Reflektif dan Inspiratif. Dalam Gramedia Pustaka Utama. Ali, Moh. R. 2005. Pengantar Ilmu Sejarah Indonesia. Yogyakarta: LkiS. Barnadib, Imam. 1973. Dasar-Dasar Metode Sejarah Pendidikan. Yogyakarta: Yayasan Penerbit FIPIKIP Yogyakarta. Djamarah, Syaiful B. & Zain. Aswan. 1996. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Rineka Cipta. Gde. Widja I. 1989. Pengantar Ilmu Sejarah: Sejarah dalam Perspektif Pendidikan. Semarang: Satya Wacana. Gazalba. Sidi. 1966. Pengantar Sejarah Sebagai Ilmu. Jakarta: Bhatara Karya Aksara. Hariyono. 1995. Mempelajari Sejarah Secara Efektif. Jakarta: Pustaka Jaya. Hasan. Hamid. S. 1997. Kurikulum dan Buku Teks Sejarah dalam Kongres Nasional Sejarah 1996 Jakarta Sub Tema Perkembangan Teori dan Metodologi dan Orientasi Pendidikan Sejarah. Jakarta: Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Hasan, Hamid. S. 2007. Kurikulum Pendidikan Sejarah Berbasis Kompetensi. Makalah pada Seminar Nasional Ikatan Himpunan Mahasiswa Sejarah Se-Indonesia (Ikahimsi) XII. Semarang, 16 April 2007. Hugiono & Poerwantana, P.K. 1987. Pengantar Ilmu Sejarah. Jakarta : PT Bina Aksara. Hizam, Ibnu. 2007. Kontribusi Minat Belajar dan Kemampuan Klarifikasi Nilai Sejarah dalam Pembentukan Sikap Nasionalisme dalam Jurnal Penelitian Ke-Islaman, Vol. 3, No. 2, Juni 2007. Kartodirdjo, Sartono.1993. Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Kohlberg, Lawrence. 1995. Tahap-tahap Perkembangan Moral. (Edisi terjemahan oleh John de Santos dan Agus Cremers SUD. Yogyakarta: Kanisius. Krug, Mark. M. 1967. History and the Social Sciences. Walthan Mass: Braisdell. Marat. 1982. Sikap Manusia Perubahan serta Pengukurannya. Jakarta: Ghalia Indonesia. Moedjanto, G. 1985. Pengembangan Konsep Diri Lewat Pengajaran Sejarah. Dalam Seminar Nasional IV di Yogyakarta tanggal 16 s/d 19 Desember 1985. Jakarta: Depdikbud Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional. Oliva, Peter F. 1982. Developing The Curriculum. Boston, Toronto: Little Brown and Company. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 tahun 2006 tentang Standar Isi (beserta lampirannya). Rowse, A.L. 1963. The Use of History. London: Macmillan & Co. Siswanto dan G.M. Sukamto. 1991. Penafsiran Sejarah. Malang: Pusat Pengembangan Penataran Guru IPS dan PMP. Jurnal

Sejarah Pemikiran, Rekonstruksi, Persepsi 6 oleh Masyarakat Sejarawan Indonesia. Jakarta: PT

487

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Bandung: Fokusmedia. Widja. 1997. Permasalahan Metodologi dalam Pengajaran Sejarah di Indonesia Suatu Tinjauan Reflektif dalam Mengantisipasi Perkembangan Abad XXI dalam Kongres Nasional Sejarah 1996 Jakarta Sub Tema Perkembangan Teori dan Metodologi dan Orientasi Pendidikan Sejarah. Jakarta: Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Widja. 1989. Pengantar Ilmu Sejarah: Sejarah dalam Perspektif Pendidikan. Semarang: Satya Wacana.

488

Herry Widyastono, Muatan Pendidikan Holistik dalam Kurikulum Pendidikan Dasar dan Menengah

MUATAN PENDIDIKAN HOLISTIK DALAM KURIKULUM PENDIDIKAN DASAR DAN MENENGAH (HOLISTIC EDUCATION IN THE CURRICULUM OF THE BASIC AND SECONDARY EDUCATION)
Herry Widyastono Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang Kemdikbud e-mail: herrywidyastono@yahoo.com
Diterima tanggal: 29/10/2012, Dikembalikan untuk revisi: 3/11/2012, Disetujui tanggal: 3/12/2012 Abstrak: Pendidikan holistik merupakan pendidikan yang mengembangkan seluruh potensi siswa secara harmonis, meliputi potensi intelektual, emosional, phisik, sosial, estetika, dan spiritual. Kajian ini bertujuan untuk memberikan gambaran tentang ada tidaknya muatan pendidikan holistik dalam kurikulum pendidikan dasar dan menengah. Selain itu juga memberikan gambaran tentang implementasi pendidikan holistik dalam pembelajaran di pendidikan dasar dan menengah. Permasalahan dirumuskan sebagai berikut: 1) Apakah kurikulum pendidikan dasar dan menengah sudah memuat pendidikan holistik? 2) Bila sudah, bagaimana implementasi pendidikan holistik dalam pembelajaran? Kajian menyimpulkan bahwa: 1) Dokumen kurikulum pendidikan dasar dan menengah pada hakikatnya sudah memuat pendidikan holistik, karena prinsip, acuan, dan prosedur pengembangan kurikulum sejalan dengan pengertian, tujuan, dan prinsip pendidikan holistik; 2) Pendidikan holistik belum diimplementasikan secara komprehensif dalam pembelajaran. Dalam rangka mengimplementasikan pendidikan holistik dalam pembelajaran, direkomendasikan agar guru dalam melaksanakan pembelajaran tidak hanya mengembangkan ranah pengetahuan, melainkan juga ranah keterampilan dan sikap, melalui pendekatan belajar siswa aktif. Kata kunci: pendidikan holistik, kurikulum, pengetahuan, keterampilan, dan sikap.

Abstract: Holistic education is the education which develops all students potentials in harmony comprises intellectual, emotional, physical, social, esthetic, and spiritual potentials. This article is aimed at describing on whether or not there is the degree of holistic approach in education, particularly for the basic and secondary education. In addition, this describes its implementation at the schools within the basic and secondary education. The problems are formulated as follows 1) whether the basic and secondary education has already been regarded as holistic education?, 2) if yes, how its implementation at the schools concerned. This concludes that: 1) the basic and secondary curriculums have, in principle, been as holistic ones because its principles, reference, and procedure to develop the curriculum are in line with the definition, objective, and the principles which support to it. 2) The holistic education is not yet implemented comprehensively at the schools. In terms of its implementation it is, therefore, advisable that all teachers, while teaching in the classroom, should give the students to have ample opportunities to develop not only their cognitive domain, but their psychomotor and affective ones through active learning. Keywords: holistic education, curriculum, cognitive, psychomotor, and affective.

467

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012

Pendahuluan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan negara yang sangat unik. Dari segi sosial budaya, merupakan negara multisosialkultural. Hal ini terlihat dari banyaknya suku bangsa, etnik, adat istiadat, agama, bahasa, dan budaya. Secara geografis, NKRI juga tergolong sebagai negara kepulauan paling luas di dunia, dengan jumlah tidak kurang 17.000 pulau besar dan kecil, dan jumlah penduduk sekitar 240 juta jiwa, terdiri atas 300 suku yang menggunakan hampir 200 bahasa (daerah) yang berbeda. Selain itu, juga penganut agama yang plural, seperti: Islam, Katholik, Kristen Protestan, Hindu, Buddha, Khonghucu, 2012)). Keragaman ini merupakan aset yang potensial menimbulkan berbagai macam persoalan, seperti: pr emanisme , ta wura n a ntar sisw a - anta rma hasi swa antarw arga , konfli k politi k, kemiskinan, kekerasan, separatisme, perusakan lingkungan, korupsi, kolusi dan nepotisme, serta aneka tindakan amoral lainnya. Ta wura n antarsiswa , a ntar maha sisw a, antarwarga belum lama menjadi berita yang mengagetkan kita semua. Antara siswa SMAN X dan SMAN Y yang letaknya berdampingan di Jakarta Selatan telah mengakibatkan terbunuhnya salah seorang siswa di antaranya. Demikian pula, tawuran anta rma hasi swa calon guru sekampus di Makassar yang telah mengakibatkan terbunuhnya dua orang calon guru di antara mereka. Seolah-olah nyawa manusia sudah tidak ada nilainya. Demikian pula tawuran antarwarga sering sekali kita lihat di berbagai media massa. Selain itu, tindakan amoral semakin merisaukan kita semua. Dalam situs Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN, 2008) ter ungk ap Sebanyak hasil sur vei tahun 20 08 y ang mengejutkan, sehingga rasanya sulit dipercaya. 63% persen remaja di Indonesia usia SM P da n SM A sudah mela kuka n hubung an sesksual di luar nikah, 21% di antaranya melakukan aborsi. Persentase remaja yang melakukan hubung an seksual p ranikah ini mengala mi peningkatan jika dibandingkan dengan tahuntahun sebelumnya. Berdasar data penelitian pada ta hun 2005 -200 6 di kot a-kota b esar mul ai sert a be rbag ai m acam ali ran kepercayaan lainnya (Wahab, dalam Musfah (Ed.),

Jabodetabek, Medan, Bandung, Surabaya, dan Makasar, masih berkisar 47,54% remaja yang melakukan hubungan seks sebelum menikah. Selanjutnya, hasil penelitian di Yogyakarta tahun 2010 (BKKBN, 2010), dari 1.160 mahasiswa, sekitar 37 % mengalami kehamil an sebelum menikah. Selain itu, data tentang penyalahgunaan narkoba menunjukkan bahwa dari 3,2 juta jiwa yang ketagihan narkoba, 78% adalah remaja. Meskipun demikian, masih ada pelajar yang patut dibanggakan, yang mengharumkan nama bangsa Indonesia, seperti mereka yang telah menjuarai olimpiade sains, baik di tingkat nasional maupun internasional. Bahkan, pelajar Indonesia menjadi juara umum dalam International Conference of Young Scientists (ICYS) atau Konferensi Internasional Ilmuwan Muda se-Dunia yang diikuti ratusan pelajar SMA dari 19 negara di Bali pada tanggal 1217 April 2010 (Judiani, 2010). Korupsi, kolusi, dan nepotisme meski gencar diberantas dengan dibentuknya Komite Pemberantasan Korupsi (KPK) tetapi juga masih saja ter jadi di sega la l apisan, baik di lemb aga eksekutif, lembaga legislatif, maupun lembaga yudikatif. Bahkan akhir-akhir ini kita dikagetkan dengan berita adanya kong-kalingkong antara oknum p ejab at d i ke ment eria n da n ok num anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Andaikan semua elemen bangsa ini masih menjadikan kejujuran sebagai spirit dan etika dal am m enja lank an t ugas dan per anannya masing-masing, niscaya tidak perlu dibentuk berbagai lembaga pengawasan yang berlapislapis, seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Bad an Penga wasa n Da erah (Ba wasd a), dan lembaga lainnya (Munip, 2009). Terdapat banyak faktor yang menyebabkan terjadinya gejala-gejala di atas, dan terdapat banyak faktor pula yang dapat menekan atau mem inim alisirny a, satu di a ntar anya yai tu penyelenggaraan pendidikan holistik. Sehubungan dengan hal-hal di atas, maka permasalahan yang dapat dirumuskan sebagai berikut: 1) apakah kurikulum pendidikan dasar dan menengah sudah memuat pendidikan holistik?; 2) bila sudah, bagaimana implementasi pendidikan holistik dalam pembelajaran?

468

Herry Widyastono, Muatan Pendidikan Holistik dalam Kurikulum Pendidikan Dasar dan Menengah

Tujuan penulisan artikel ini untuk memberikan ga mbar an t enta ng a da t idak nya muat an pendidikan holistik dalam kurikulum pendidikan dasar dan menengah. Selain itu juga memberikan gambaran t entang implementasi pendidikan holistik dalam pembelajaran di pendidikan dasar dan menengah. Kajian Literatur dan Pembahasan Pendidikan Holistik Pendidikan holistik merupakan filsafat pendidikan yang berangkat dari pemikiran bahwa pada dasarnya seorang individu dapat menemukan identitias, makna, dan tujuan hidup melalui hubungannya dengan masyarakat, lingkungan alam, dan nilai-nilai spiritual. Pendidikan holistik sebetulnya bukan hal yang baru. Beberapa tokoh perintis pendidikan holistik, di antaranya (Martin, 2002): Jean Rousseau, Ralph Waldo Emerson, Henry Thoreau, Bronson Alcott, Johann Pestalozzi, Friedrich Froebel, dan Francisco Ferrer. Pendukungnya yaitu: Rudolf Steiner, Maria Montessori, Francis Parker, John Dewey, John Caldwell Holt, George Dennison Kieran Egan, Howard Gardner, Jiddu Krishnamurti, Carl Jung, Abraham Maslow, Carl Rogers, Paul Goodman, Ivan Illich, dan Paulo Freire. Pemikiran dan gagasan inti dari para perintis pendidikan holistik sempat tenggelam sampai dengan terjadinya loncatan paradigm kultural pada tahun 1960-an. Memasuki tahun 1970-an mulai ada gerakan untuk menggal i ke mbal i ga gasa n da ri k alangan penganut aliran holistik. Kemajuan yang signifikan terjadi ketika dilaksanakan konferensi pertama pendidikan holistik yang diselenggarakan oleh Universitas California pada bulan Juli 1979, dengan menghadirkan The Mandala Society dan The National Center for the Exploration of Human Potential. Ena m ta hun kemudian, pa ra p enga nut pendidikan holistik mulai memperkenalkan tentang dasar pendidikan holistik, yaitu interaksi atau hubungan antara individu dengan lingkungannya (relation), tanggung jawab untuk menciptrakan dan menj aga hubunga n yang harm onis dan sinergis dengan alam semesta (responsibility) , upaya menjaga keseimbangan dengan tetap mengedepankan aspek normatif dan sarat nilai yang merupakan suatu kehormatan bagi manusia

sebagai makhluk sempurna (reverence) , yang kemudian diberi sebutan 3R yang merupakan akronim dari Relationship, Responsibility , dan Reverence; bukan 3R yang dikenal dengan writing, reading, dan arithmetic (membaca, menulis, berhitung). Miller, dkk., (2005) merumuskan bahwa pendidi kan holi stik ada lah pend idik an y ang mengembangkan seluruh potensi siswa secara harmonis (t erpadu dan seimbang) , meliputi potensi int elektual (int ellectua l), emosional (emotional), phisik (physical), sosial (sosial), estetika (aesthetic), dan spiritual. Masing-masing potensi hendaknya dikembangkan secara harmonis. Jangan sampai terjadi kemampuan intelektualnya berkembang jauh melebihi sikap dan keterampilannya. Manusia yang mampu mengembangkan seluruh potensinya merupakan manusia yang holistik, yaitu manusia pembelajar sejati yang selalu menyadari bahwa dirinya merupakan bagian dari sebuah sistem kehidupan yang luas, sehingga selalu ingin memberikan kontribusi positif dan terbaik kepada lingkungannya. Tujuan pendidikan holistik adalah membantu mengembangkan potensi individu dalam suasana pembelajaran yang lebih menyenangkan dan menggairahkan, demokratis, dan humanis melalui pe ngal aman dal am b erintera ksi deng an lingkungannya. Melalui pendidikan holistik, siswa diharapkan dapat menjadi dirinya sendiri (learning to be), dalam arti dapat memperoleh kebebasan psikologis, mengambil keputusan yang baik, dan belajar melalui cara yang sesuai dengan dirinya. Prinsip pendidikan holistik, yaitu: 1) berpusat pada Tuhan yang menciptakan dan menjaga kehidupan; 2) pendidikan untuk transformasi; 3) berkaitan dengan pengembangan individu secara ut uh d i da lam masy ara kat; 4) meng harg ai keunikan dan kreativitas individu dan masyarakat yang didasarkan pada kesalinghubungannya; 5) memungkinan partisipasi aktif di masyarakat; 6) memperkukuh spiritualitas sebagai inti hidup dan sekaligus pusat pendidikan; 7) mengajukan se buah pra ksis mengeta hui, mengaja r, d an belajar; 8) berhubungan dan berinteraksi dengan pendekatan dan perspektif yang berbeda-beda (Schreiner et. al., 2010). Selanjutnya, Miller, dkk. (2005) mengemuka kan prinsip peny elenggar aan pend idik an

469

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012

holistik, yaitu: 1) keterhubungan (connectedness); 2) keterbukaan (inclusion); dan (3) keseimbangan (balance). Keterhubungan, dimaksudkan bahwa pe ndid ikan hendaknya sela lu d ihub ungk an dengan ling kung an f isik , li ngkungan ala m, lingkungan sosi al, dan ling kung an b uday a. Keterbukaan, dimaksudkan bahwa pendidikan hendaknya m enja ngka u se mua anak tanpa kecuali. Semua anak pada hakikatnya berhak memperoleh pendidikan. Keseimbangan, dimaksudkan bahwa pendidikan hendaknya mampu mengembangkan ranah pengetahuan, sikap, dan ket eram pila n sei mbang se cara sei mbang. Terma suk da lam kema mpua n intele ktua l,

yang telah berpengalaman dan menyenangkan. Sekolah hendaknya menjadi tempat siswa dan guru bekerja guna mencapai tujuan yang saling menguntungkan. Komunikasi yang terbuka dan jujur sangat penting, perbedaan individu dihargai dan kerja sama (kooperatif) lebih utama dari pada persaingan (kompetitif). Kurikulum Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar siswa secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepri badi an, kece rdasan, akhl ak m ulia , se rta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan Negara. Untuk mewujudkan hal tersebut perlu disusun kurikulum. Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Depdiknas, 2003) dijelaskan bahwa kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikian tertentu. Selanjutnya, dijelaskan pula bahwa kurikulum pend idik an dasa r da n me neng ah dikembangkan sesuai dengan relevansinya oleh setiap kelompok atau satuan pendidikan dan komite sekolah/madrasah di bawah koordinasi dan supervisi di nas pendid ikan atau kantor Dep arte men Agam a Ka bupa ten/ Kota unt uk pendidikan dasar dan Propinsi untuk pendidikan menengah, berdasarkan Standar Kompetensi Lulusan dan Standar Isi dan berpedoman pada Panduan Penyusunan KTSP. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 20 05 t enta ng Stand ar N asional Pend idik an (Depdiknas, 2005) dinyatakan bahwa kurikulum operasional yang disusun oleh dan dilaksanakan di masing-masing satuan pendidikan disebut de ngan ist ilah Kur ikulum Ting kat Satuan Pendidikan (KTSP). KTSP terdiri atas tujuan pendidikan tingkat satuan pendidikan, struktur dan muatan kurikulum tingkat satuan pendidikan, kalender pendidikan, dan silabus, serta rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP). Penyusunan tujuan pendidikan tingkat satuan pendidikan, struktur dan muatan kurikulum tingkat satuan

emosional, phisik, sosial, estetika, dan spiritual. Pendidikan holistik dapat dilihat dalam tiga kesatuan dimensi yang utuh dan tidak boleh dipisahkan, karena antara yang satu dengan lainnya saling berkaitan. Ketiga dimensi tersebut yaitu: 1) dimensi isi; 2) dimensi insentif; dan 3) dimensi interaksi (Illeris, 2007). Dimensi isi be rkai tan deng an p enge tahuan, sika p, d an keterampilan. Pendidikan hendaknya mampu me mber ikan pengeta huan, si kap, sek alig us keterampilan sesuai dengan apa yang dibutuhkan siswa dan masyarakat. Dimensi insentif berkaitan dengan motivasi, emosi, dan kemauan. Pendidikan hendaknya memperhatikan kondisi psikhologis siswa. Dimensi interaksi berkaitan dengan aksi, komunikasi, dan kerja sama. Proses pendidikan akan efektif apabila terjadi aksi, komunikasi, dan kerjasama antara pendidik dan siswa. Untuk mengimplementasikan pendidikan holistik, karakteristik pendidik holistik antara lain (Rinke, dalam Miller, at.al., 2005) yaitu: 1) Pendidik holistik mengembangkan keragaman strategi pembelajaran untuk memenuhi kebutuhan siswa; 2) Pendidik holistik mem bantu siswa untuk mengembangkan potensinya; 3) Pendidik holistik menyusun lingkungan pembelajaran yang dapat mengembangkan seluruh potensi siswa; dan penilaian yang beragam. Dalam pendidikan holistik, peran dan otoritas guru untuk memimpin dan mengontrol kegiatan pembelajaran hanya sedikit dan guru lebih banyak berperan sebagai sahabat, mentor, dan fasilitator. Forbes and Robin (2004) mengibaratkan peran guru seperti seorang teman dalam perjalanan 4) Pendidik holistik mengimplmentasikan strategi

470

Herry Widyastono, Muatan Pendidikan Holistik dalam Kurikulum Pendidikan Dasar dan Menengah

pendidikan, serta kalender pendidikan yang ber tang gung jaw ab, yait u ke pala sat uan pendidikan; sedangkan silabus dan RPP yang menyusun para guru, yang dapat dilakukan secara berkelompok atau secara perseorangan. Penyusunan KTSP mengacu pada tujuan pendidikan nasional dan tujuan masing-masing jenjang pendidikan. Mengacu pada UndangUndang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pe ndid ikan Nasiona l, Pendi dika n Na sional

berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga neg ara ya ng de mokrat is ser ta be rtangg ung jawab. Untuk mendukung pencapaian tujuan ter sebut pe ngem bang an k ompe tensi si swa disesuaikan dengan potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan siswa serta tuntutan lingkungan. Memiliki posisi sentral berarti kegiatan pembelajaran berpusat pada siswa. Beragam dan terpadu. Kurikulum dikembangkan dengan memp erha tika n ke raga man karakteristik siswa, kondisi daerah, jenjang dan jenis pendidikan, serta menghargai dan tidak diskriminatif terhadap perbedaan agama, suku, budaya, adat istiadat, status sosial ekonomi, dan jender. Kurikulum meliputi substansi komponen muatan wajib kurikulum, muatan lokal, dan pengembangan diri secara terpadu, serta disusun dalam keterkaitan dan kesinambungan yang bermakna dan tepat antarsubstansi. Tanggap ter hada p pe rkem bang an i lmu pengetahuan, teknologi dan seni. Kurikulum dikembangkan atas dasar kesadaran bahwa ilmu peng etahuan, teknologi d an seni yang berkembang secara dinamis. Oleh karena itu, semangat dan isi kurikulum memberikan pengalaman belajar siswa untuk mengikuti dan memanfaatkan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni. Re leva n de ngan keb utuhan kehi dupa n. Pengembang an kurikulum dilakukan dengan

bertujuan untuk berkembangnya potensi siswa aga r me njad i ma nusi a ya ng b erim an d an bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Selanjutnya, pendidikan da sar bert ujua n me mba ngun landasa n ba gi berkembangnya potensi siswa agar menjadi manusia yang: 1) beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, dan berkepribadian luhur; 2) berilmu, cakap, kritis, kreatif, dan inovatif; 3) sehat, mandiri, dan per caya dir i; d an 4 ) tolera n, p eka sosi al, demokratis, dan bertanggung jawab. Adapun pendidikan menengah bertujuan membentuk siswa m enja di insan yang : 1) beri man dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, dan berkepribadian luhur; 2) berilmu, cakap, kritis, kreatif, dan inovatif; 3) sehat, mandiri, dan per caya dir i; d an 4 ) tolera n, p eka sosi al, demokratis, dan bertanggung jawab (Depdiknas, 2003). KTSP dikembangkan berdasarkan prinsipprinsip sebagai berikut: 1) Berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan si swa dan ling kung annya; 2) Berag am d an terpadu; 3) Tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni; 4) Relevan dengan kebutuhan kehidupan; 5) Menyeluruh dan berkesinambungan; 6) Belajar sepanjang hayat; 7) Seimbang antara kepentingan nasional dan kepentingan daerah (BSNP, 2006). Be rpusat p ada pote nsi, per kemb anga n, kebutuhan, dan kepentingan siswa dan lingkungannya. Kurikulum dikembangkan berdasarkan prinsip bahwa siswa memiliki posisi sentral untuk mengembangkan kompetensinya agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,

melibatkan pemangku kepentingan ( stakeholders)


untuk menjamin relevansi pendidikan dengan kebutuhan kehidupan, termasuk di dalamnya kehidupan kemasyarakatan, dunia usaha dan dunia kerja. Oleh karena itu, pengembangan keterampilan pribadi, keterampilan berpikir, keterampilan sosial, keterampilan akademik, dan keterampilan vokasional merupakan keniscayaan. Menyeluruh dan berkesinambungan. Substansi kurikulum mencakup keseluruhan dimensi kompetensi, bidang kajian keilmuan dan mata pelajaran yang direncanakan dan disajikan secara berkesinambungan antarsemua jenjang pendidikan. Belajar sepanjang hayat. Kurikulum diarahkan pada proses pengembangan, pembudayaan, dan pemberdayaan siswa agar mampu dan mau bel ajar y ang be rlangsung sepanja ng hay at. Kurikulum mencerminkan keterkaitan antara

471

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012

unsur-unsur pendidikan formal, nonformal, dan informal dengan memperhatikan kondisi dan tuntutan lingkungan yang selalu berkembang serta arah pengembangan manusia seutuhnya. Seimbang antara kepentingan nasional dan kepentingan daerah. Kurikulum dikembangkan dengan memperhatikan kepentingan nasional dan kepentingan daerah untuk membangun kehidupan be rmasyara kat, ber bang sa, dan bernegar a. Kepentingan nasional dan kepentingan daerah harus saling mengisi dan memberdayakan sejalan dengan mott o Bhinek a Tungga l Ik a da lam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Selanjutnya, dijelaskan pula bahwa acuan operasional penyususnan KTSP sebagai berikut: 1) Peningkatan iman dan takwa serta akhlak mulia; 2) Peningkatan potensi, kecerdasan, dan Keragaman potensi dan minat sesuai dengan tingkat perkembangan dan kemampuan siswa; 3) karakteristik daerah dan lingkungan; 4) Tuntutan pembangunan daerah dan nasional; 5) Tuntutan dunia kerja; 6) Perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni; 7) Agama; 8) Dinamika perkembangan global; 9) nilai-nilai kebangsaan; 10) Persatuan nasional dan Kondisi sosial budaya

ter isti k li ngkungan. Ma sing -masing daer ah memerlukan pendidikan sesuai dengan karakteristik daerah dan pengalaman hidup sehari-hari. Ol eh k arena it u, k uri kulum ha rus memuat keragaman tersebut untuk menghasilkan lulusan yang relevan dengan kebutuhan pengembangan daerah. Tuntutan pembangunan daerah dan nasional. Dalam era otonomi dan desentralisasi untuk mew ujud kan pend idik an y ang otonom d an demokratis perlu memperhatikan keragaman dan mendorong partisipasi masyarakat dengan tetap mengedepankan wawasan nasional. Untuk itu, keduanya harus ditampung secara berimbang dan saling mengisi. Tuntutan dunia kerja. Kegiatan pembelajaran harus dapat mendukung tumbuh kembangnya pribadi siswa yang berjiwa kewirausahaan dan mempunyai kecakapan hidup. Oleh sebab itu, kurikulum perlu memuat kecakapan hidup untuk membekali siswa memasuki dunia kerja. Hal ini sangat penting terutama bagi satuan pendidikan kejuruan dan siswa yang tidak melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni. Pendidikan perlu mengantisipasi dampak global yang membawa masyaraka t berbasis pengetahuan di mana Ipteks sangat berperan sebagai penggerak utama perubahan. Pendidikan harus terus menerus melakukan adaptasi dan penyesuaian perkembangan Ipteks, sehingga tetap relevan dan kontekstual dengan perubahan. Oleh karena itu, kurikulum harus dikembangkan secara berkala dan berkesinambungan sejalan dengan perk emba ngan Ilm u pe nget ahua n, teknologi, dan seni. Agama. Kurikulum harus dikembangkan untuk mendukung peningkatan iman dan taqwa serta akhlak mulia dengan tetap memelihara toleransi dan kerukunan umat beragama. Oleh karena itu, muatan kurikulum semua mata pelajaran harus ikut mendukung peningkatan iman, taqwa, dan akhlak mulia. Dinamika perkembangan global. Pendidikan ha rus mencipta kan kema ndir ian, bai k pa da individu maupun bangsa, yang sangat penting dalam dinamika perkembangan global di mana pasar bebas sangat berpengaruh pada semua aspek kehi dupa n se mua bangsa. Per gaul an

masyarakat setempat; 11) Kesetaraan jender; dan 12) Karakteristik satuan pendidikan (BSNP, 2006). Peningkatan iman dan takwa serta akhlak mulia. Keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia menjadi dasar pembentukan kepribadian siswa secara utuh. Kurikulum disusun agar sejauh mungkin semua mata pelajaran dapat menunjang peningkatan iman dan takwa serta akhlak mulia. Peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat sesuai deng an t ingk at p erke mbangan dan kemampuan siswa. Pendidikan merupakan proses sistematik untuk meningkatkan martabat manusia secara holistik yang memungkinkan potensi diri (sikap, pengetahuan, psikomotor) berkembang secara optimal. Sejalan dengan itu, kurikulum disusun dengan memperhatikan potensi, tingkat perkembangan, minat, kecerdasan intelektual, emosional dan sosial, spritual, dan kinestetik siswa. Keragaman potensi dan karakteristik daerah da n li ngkungan. Da erah mem ilik i potensi, kebutuhan, tantangan, dan keragaman karak-

472

Herry Widyastono, Muatan Pendidikan Holistik dalam Kurikulum Pendidikan Dasar dan Menengah

antarbangsa yang semakin dekat memerlukan individu yang mandiri dan mampu bersaing serta me mpunyai kema mpua n untuk hidup be rdampingan dengan suku dan bangsa lain. Persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan. Pendidikan diarahkan untuk membangun karakter dan wawasan kebangsaan siswa yang menjadi landasan penting bagi upaya memelihara persatuan dan kesatuan bangsa dalam kerangka NKRI. Kurikulum harus dapat mendorong berkembangnya wawasan dan sikap kebangsaan serta persatuan nasional untuk memperkuat keutuhan bangsa dalam wilayah NKRI. Muatan kek hasa n da erah har us d ilak ukan secara proporsional. Kondisi sosial budaya masyarakat setempat, bahwa kurikulum harus dikembangkan dengan mem perhatik an k arak teri stik sosial buda ya masyarakat setempat dan menunjang pelestarian keragaman budaya. Penghayatan dan apresiasi pada budaya setempat harus terlebih dahulu ditumbuhkan sebelum mempelajari budaya dari daerah dan bangsa lain. Sedangkan kesetaraan jender, bahwa kurikulum harus diarahkan kepada terciptanya pendidikan yang berkeadilan dan mendukung upaya kesetaraan jender. Selanjutnya, karakteristik satuan pendidikan, bahwa kurikulum harus dikembangkan sesuai dengan visi, mi si, tujuan, kond isi, da n ci ri k has satuan pendidikan. Pelaksanaan Pembelajaran Pelaksanaan pembelajaran merupakan implementasi dari RPP. Pelaksanaan pembelajaran mengacu pada Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 41 Tahun 2007 tentang Standar Pr oses unt uk Satua n Pe ndid ikan Dasar d an Menengah (Depdiknas, 2007), yang langkahlangkahnya meliputi: 1) kegiatan pendahuluan, 2) kegiatan inti, dan 3) kegiatan penutup. Dalam kegiatan pendahuluan, guru: a) menyiapkan siswa secara psikis dan fisik untuk mengikuti proses pembelajaran; b) mengajukan per tany aan- pert anya an y ang meng aitk an pengetahuan sebelumnya dengan materi yang akan dipelajari; c) menjelaskan tujuan pembelajaran atau kompetensi dasar yang akan dicapai; dan d) menyampaikan cakupan materi dan penjelasan uraian kegiatan sesuai silabus.

Pelaksanaan kegiatan inti merupakan proses pembelajaran untuk mencapai KD yang dilakukan secara intera ktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi siswa untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat dan perkembangan fisik serta psikologis siswa. Kegiatan inti menggunakan metode yang disesuaikan dengan karakteristik siswa dan mata pelajaran, yang dapat meliputi proses: 1) eksplorasi, 2) elaborasi, dan 3) konfirmasi, dengan menggunakan pendekatan belajar siswa a ktif, gur u se baga i fa silit ator. Da lam kegiatan eksplorasi, guru: a) melibatkan siswa mencari informasi yang luas dan dalam tentang topik/tema materi yang akan dipelajari dengan menerapkan prinsip alam takambang jadi guru dan belajar dari aneka sumber; b) menggunakan ber agam pendeka tan pemb elaj aran, me dia pembelajaran, dan sumber belajar lain; c) memfasilitasi terjadinya interaksi antarsiswa serta antara sisw a dengan guru, lingk ungan, dan sumber belajar lainnya; d) melibatkan siswa secara aktif dalam setiap kegiatan pembelajaran; dan e) memfasilitasi siswa melakukan percobaan di laboratorium, studio, atau lapangan. Dalam kegiatan elaborasi, guru: a) membiasakan siswa membaca dan menulis yang beragam melalui tugas-tugas tertentuyang bermakna; b) memfasilitasi siswa melalui pemberian tugas, diskusi, dan lain-lain untuk memunculkan gagasan baru baik secara lisan maupun tertulis; c) memberi ke semp atan unt uk b erpi kir, mengana lisi s, menyelesaikan masalah, dan bertindak tanpa ra sa t akut ; d) mem fasi lita si siswa dal am pembelajaran kooperatif dan kolaboratif; e) memfasilitasi siswa berkompetisi secara sehat untuk meningkatkan prestasi belajar; f) memfasilitasi siswa membuat laporan eksplorasi yang dilakukan baik lisan maupun tertulis, secara individual maupun kelompok; g) memfasilitasi siswa untuk me nyaj ikan hasil k erja ind ivid ual maup un kelompok; h) memfasilitasi siswa melakukan pameran, turnamen, festival, serta produk yang dihasilkan; i) memfasilitasi siswa melakukan kegiatan yang menumbuhkan kebanggaan dan ra sa p erca ya d iri sisw a. D alam ke giat an konfirmasi, guru: a) memberikan umpan balik positif dan penguatan dalam bentuk lisan, tulisan,

473

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012

isyarat, maupun hadiah terhadap keberhasilan siswa; b) memberikan konfirmasi terhadap hasil eksplorasi dan elaborasi siswa melalui berbagai sumber; c) memfasilitasi siswa melakukan refleksi untuk memperoleh pengalaman belajar yang telah dilakukan; d) memfasilitasi siswa untuk memper oleh pengala man yang ber makna da lam mencapai kompetensi dasar: (1) berfungsi sebagai narasumber dan fasilitator dalam menjawab pertanyaan siswa yang menghadapi kesulitan, dengan menggunakan bahasa yang baku dan benar; (2) membantu menyelesaikan masalah; (3) memberi acuan agar siswa dapat melakukan pe ngecekan hasil e kspl orasi; ( 4) m embe ri informasi untuk bereksplorasi lebih jauh; dan (5) memberikan motivasi kepada siswa yang kurang atau belum berpartisipasi aktif. Dalam kegiatan penutup, guru: a) bersamasama dengan siswa dan/atau sendiri membuat rangkuman/simpulan pelajaran; b) melakukan penilaian dan/atau refleksi terhadap kegiatan yang sudah dilaksanakan secara konsisten dan terprogram; c) memberikan umpan balik terhadap proses dan hasil pembelajaran; d) merencanakan kegiatan tindak lanjut dalam bentuk pembelajaran remedi, program pengayaan, layanan konseling dan/atau memberikan tugas baik tugas individual maupun kelompok sesuai dengan hasil belajar siswa; dan e) menyampaikan rencana pembelajaran pada pertemuan berikutnya. Berdasar uraian tentang pengertian, tujuan, dan prinsip pendidikan holistik serta berbagai ketentuan mengenai penyusunan kurikulum serta pelaksanaan pembelajaran di atas, maka dapat disim pulkan bahwa: 1) Dokumen kuri kulum pendidikan dasar dan menengah pada hakikatnya sud ah m emua t pe ndid ikan hol isti k; d an 2) Impl ementasi pendidi kan holi stik dal am pe mbel ajar an d apat dil akuk an d enga n ca ra menggunakan pendekatan belajar siswa aktif, yang la ngka h-la ngka hnya dap at b erup a: a) Kegiatan pendahuluan, yang tujuannya agar siswa siap secara fisik dan mental untuk mencari inform asi baru, bi sa b erup a pe nget ahua n, keterampilan, maupun sikap; b) Kegiatan inti, berupa siswa melakukan eksplorasi dan elaborasi. Siswa m empe role h inform asi baru buk an diberitahu oleh guru tetapi mencari tahu dari berbagai sumber belajar yang relevan. Untuk

memiliki informasi baru tentang pengetahuan, da pat bela jar mula i da ri: 1) m enge tahui; 2) memahami; 3) menerapkan; 4) menganalisis; 5) mensintesis; dan 6) mengevaluasi. Untuk memiliki keterampilan, dapat belajar melalui: 1) mengamati; 2) menanya; 3) mencoba; 4) mengolah; 5) menyajikan; 6) menalar; dan 7) mencipta. Untuk memiliki sikap, dapat belajar melalui: 1) menerima; 2) menanggapi; 3) menghargai; 4) menghayati; dan 5) mengamalkan (Bloom, 1956). Selanjutnya, setelah siswa memperoleh inform asi baru, ba ik b erup a pe nget ahua n, keterampilan, maupun sikap, yang kemungkinan berbeda antara siswa yang satu dengan yang lain, atau berbeda antara kelompok yang satu dengan yang lain, kemudian perlu penegasan (konfirmasi) yang difasilitasi oleh guru. c) Kegiatan penutup, berupa evaluasi formatif untuk mengukur daya serap siswa. Yang sudah tuntas dapat dilanjutkan dengan mempelajari kompetensi berikutnya, sedangkan yang belum tuntas perlu dilakukan remedial teaching terlebih dulu sebelum melanjutkan kompetensi berikutnya. Namun, dalam pelaksanaannya di satuan pendidikan sering menyimpang. Guru cenderung hanya m enge mbangkan ranah p enge tahuan semata-mata dengan cara memberi tahu siswa, bukan sisw a ya ng m enca ri t ahu; bel um mengembangkan ranah sikap dan keterampilan. Hal ini terbukti karena para guru ketika ditanya gradasi ranah pengetahuan, pada umumnya mam pu m enja wab, yak ni: 1) p enge tahuan, 2) pem aham an, 3) p ener apan, 4) ana lisi s, 5) sintesis, dan 6) evaluasi, yang dapat diartikan ba hwa pada umumnya guru t elah mengimplementasikannya dalam pembelajaran. Tetapi, ketika ditanya t entang gra dasi ranah keterampilan dan sikap, tidak satupun guru mampu me njel aska nnya . Da pat disimpulkan bahwa pendidikan holistik belum diimplementasikan se cara kom prehensi f d alam pem bela jara n. Pem bela jara n ba ru m enge mbangkan ranah pengetahuan, belum mengembangkan ranah keterampilan dan ranah sikap siswa. Padahal pengembangan ranah keterampilan dan sikap tidak kalah pentingnya dibanding ranah pengetahuan. Pengembangan ranah pengetahuan siswa diharapkan menjadi pribadi yang menguasai ilmu pengetahuan, teknologi, seni,

474

Herry Widyastono, Muatan Pendidikan Holistik dalam Kurikulum Pendidikan Dasar dan Menengah

budaya yang berwawasan kemanusiaan, kebangsaan, kenegaraan, dan peradaban. Sedangkan pengembangan ranah keterampilan siswa diharapkan menjadi pribadi yang berkemampuan pikir dan tindak yang efekif dan kreatif dalam rana h abstr ak dan konkre t. Demi kian p ula, pengembangan ranah sikap siswa diharapkan menjadi pribadi yang beriman, berakhlak mulia, pe rcay a di ri, dan bert angung j awab dal am berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial , al am sekit ar, ser ta d unia dan peradabannya (Kemdikbud, 2012). Pendidikan hendaknya mampu mengembangkan seluruh potensi siswa secara harmonis (t erpa du d an seimb ang) , me liputi p otensi intelektual, emosional, phisik, sosial, estetika, dan spiritual, menjadi perilaku nyata dalam kehidupan sehari-hari. Masing-masing potensi hendaknya dikembangkan secara harmonis. Jangan sampai terjadi kemampuan intelektualnya berkembang jauh melebihi kemampuan aspek lainnya. Manusia yang mampu mengembangkan seluruh potensinya merupakan manusia yang holistik, yaitu manusia pembelajar sejati yang selalu menyadari bahwa dirinya adalah bagian dari sebuah sistem kehidupa n yang lua s, sehingga sela lu ingin memberikan kontribusi positif dan terbaik kepada lingkungannya. Simpulan dan Saran Simpulan Berdasar pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa: 1) Dokumen kurikulum pendidikan dasar dan menengah pada hakikatnya sudah memuat pendidikan holistik, karena prinsip, acuan, dan pr osed ur p enge mbangan kur ikul um sejal an de ngan pe nger tian, t ujua n, d an p rinsip pendidikan holistik; 2) Pendidikan holistik belum

Saran Be rdasar simpulan di atas, da lam rang ka implementasi pendidikan holistik, disarankan agar guru dalam melaksanakan pembelajaran tidak hanya m enge mbangkan ranah p enge tahuan semata-mata, melainkan juga mengembangkan ranah keterampilan dan sikap, melalui pendekatan bel ajar siswa a ktif. La ngka h-la ngka h pe mbelajaran siswa aktif dapat berupa: a) Kegiatan pendahuluan, yang tujuannya agar siswa siap secara fisik dan mental untuk mencari informasi baru, bisa berupa sikap, keterampilan, maupun pengetahuan; b) Kegiatan inti, berupa siswa melakukan eksplorasi, elaborasi, dilanjutkan konfirmasi. Siswa memperoleh informasi baru bukan diberitahu oleh guru tetapi mencari tahu dari berbagai sumber belajar yang relevan. Pengemb anga n ra nah peng etahuan, siswa dibiasakan belajar mulai dari: 1) mengetahui, 2) memahami, 3) menerapkan, 4) menganalisis, 5) mensinte sis, 6) meng eval uasi , se hing ga menjadi pribadi yang menguasai ilmu pegetahuan, te knol ogi, seni, b uda ya y ang berw awasan kemanusiaan, kebangsaan, kenegaraan, dan peradaban. Pengembangan ranah keterampilan, siswa dibiasakan belajar mulai dari: 1) mengamati, 2) menanya, 3) mencoba, 4) mengolah, 5) menyaji, 6) menalar, dan 7) mencipta sehinga menjadi pribadi yang berkemampuan pikir dan tindak yang efekif dan kreatif da lam ranah abstrak dan konkret. Peng embangan ranah sika p, si swa dibiasakan belajar mulai dari: 1) menerima, 2) menanggapi, 3) menghargai, 4) menghayati, dan 5) mengamalkan sehinga menjadi pribadi yang beriman, berakhlak mulkia, percaya diri, dan bertangung jawab dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial, alam sekitar, serta dunia dan peradabannya; c) Kegiatan Penutup, berupa evaluasi formatif untuk mengukur daya serap siswa. Yang sudah tuntas dapat dilanjutkan dengan mempelajari kompetensi berikutnya, sedangkan yang belum tuntas perlu dilakukan remedial teaching terlebih dulu sebelum melanjutkan kompetensi berikutnya.

diimplementasikan secara komprehensif dalam pembelajaran. Pembelajaran pada umumnya baru mengembangkan ranah pengetahuan, belum mengembangkan ranah keterampilan dan ranah sikap siswa.

475

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012

Pustaka Acuan Badan Standar Nasional Pendidikan. 2006. Panduan Penyusunan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Jakarta. Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). 2008. 63 Persen Remaja Berhubungan Seks di Luar Nikah. http://dunia.pelajar-islam.or.id/dunia.pii/arsip/63-persenremaja-berhubungan-seks-di-luar-nikah. Diunduh 30 Januari 2011. Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). 2010. 51 Persen Remaja Jabodetabek Tidak Perawan. Hileud.com. Minggu 28 November 2010. Diunduh 30 Januari 2011. Bloom, Benyamin S. 1956. Taxonomy of Educational Objectives: The Classification of Educational Goals, Handbook I Cognitive Domain. New York: Longman Inc. Departemen Pendidikan Nasional. 2003. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistim Pendidikan Nasional. Jakarta. Departemen Pendidikan Nasional. 2005. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Jakarta. Departemen Pendidikan Nasional. 2007. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 41 Tahun 2007 tentang Standar Proses untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. 2012. Bahan Uji Publik Kurikulum 2013. Jakarta. Forbes, Schott H., and Robin Ann Martin. 2004. What Holistik Education Claims About Itself: An Analysis of Holistik Schools Literature: Paper presented at the American Education Research Association Annual Conference. San Diego, California, April 2004. Illeris, Knud. 2007. How We Learn: Learning and Non-Learning in School and Beyond. London and New York: Routledge. Judiani, Sri. 2010. Implementasi Pendidikan Karakter di Sekolah Dasar melalui Penguatan Pelaksanaan Kurikulum. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan Vol. 16 Edisi Khusus III, Oktober 2010. Martin, Robin Ann. 2002. Alternatives in Education: An Exploration of Learner-Centered, Progrssive, and Holistik Education. Paper Presented at the Annual Meeting of the American Educational Research Association. New Orleans: L.A. April 1-5. Miller, John P., Selia Karsten, Diana Denton, Deborah Orr, Isabella Colalillo Kates. 2005. Holistik Learning and Spirituality in Education: Breaking New Ground. New York: State University of New York Press. Munip, Abdul. 2009, Reinventing Nilai-nilai Islam Mengenai Peranan Guru dalam Pendidikan Karakter. http://www.scribd.com/doc/12991475/ Guru Dalam Pendidikan Karakter. Diunduh 30/1/2011. Musfah, Jejen (Ed.). 2012. Pendidikan Islam Holistik Berbasis Nilai dalam Perspektif Sirah Nabi.

Pendidikan Holistik Pendekatan Lintas Perspektif. Jakarta: Kencana, Prenada Media Group. Schreiner, Peter., J. Hare., Robert V. Kail. 2010. Holistik Education Resource Book: Learning and Teaching in an Ecumenical Context. New York: Waxmann Munster.

476

Siswo Wiratno, Pelaksanaan Pendidikan Kewirausahaan di Pendidikan Tinggi

PELAKSANAAN PENDIDIKAN KEWIRAUSAHAAN DI PENDIDIKAN TINGGI (THE IMPLEMTATION OF ENTERPRENEURSHIP EDUCATION IN THE HIGHER EDUCATION)
Siswo Wiratno Pusat Penelitian Kebijakan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan e-mail: wiratno2002@yahoo.com
Diterima tangagal:1/10/2012, Dikembalikan untuk revisi: 2/11/2012, Disetujui tanggal: 28/11/2012 Abstrak: Tujuan kajian ini dimaksudkan untuk menganalisis pelaksanaan pendidikan kewirausahaan di perguruan tinggi, kaitannya dengan kompetensi lulusan yang diharapkan oleh dunia kerja dan kompetensi pendukung lainnya. Permasalahan yang berkaitan dengan pendidikan kewirausahaan antara lain: 1) persiapan dan pelaksanaan program kewirausahaan dan peran unit baru yang berfungsi dan bertugas sebagai pengelola program kewirausahaan belum optimal; 2) penyediaan sarana dan prasarana penyelenggaraan kewirausahaan yang masih terbatas (sarana dan prasarana, mitra kerja, dana,dan tenaga dosen yang berkompetensi dalam memberi bekal keterampilan kewirausahaan Hasil kajian menunjukkan bahwa: 1) pelaksanaan pendidikan kewirausahaan di berbagai perguruan tinggi belum dilaksanakan secara optimal, antara lain disebabkan oleh belum optimalnya peran dan fungsi unit pengelola kewirausahaan; 2) kompetensi lulusan perguruan tinggi masih belum sepenuhnya memenuhi harapan dunia kerja, di mana diharapkan para lulusan perguruan tinggi memiliki kompetensi akademik, keterampilan berpikir, keterampilan manajemen dan keterampilan berkomunikasi. Di samping itu, lulusan belum cukup dibekali dengan keterampilan hidup (live skill), kemampuan beradaptasi dan bersosialisasi dengan lingkungan kerja serta belajar sepanjang hayat (lifelong education). Kata kunci: pendidikan kewirausahaan, perguruan tinggi, kompetensi lulusan, dan dunia kerja Abstract: The aims of this study is to analyze the implementation of entrepreneurship education in higher education, in relation to the competencies of graduates as expected by labour market and other supporting competencies. Problems related to entrepreneurship education, among others include: 1) preparation and implementation of entrepreneurship education program as well as the role of a new unit responsible to manage the program is not optimal; 2) provision of facilities and infrastructure for entrepreneurial implementation is still limited (means and infrastructure, partners, funding and competent lecturers in the subject of entrepreneurial skills). The assessment results showed that: 1) implementation of entrepreneurship education in various higher education institutios is not yet optimal, partly due to the failure of entrepreneurial management unit in optimizing its role and function; 2) competency of higher education graduates has not fully meet the expectations of the labour market, as they are expected to have academic competency, thinking skills, management skills and communication skills. In addition, graduates are not equipped with adequate live skills, ability to adapt and socialize with the working environment and life-long education. Keywords: entrepreneurship education, graduate competencies, higher education, and labour market

453

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012

Pendahuluan Secara nasi onal , im plem enta si p elak sana an pendidikan kewirausahaan di lingkungan perguruan tinggi dilakukan secara bertahap dan berkelanjutan. Dalam perjalanannya, pendidikan kewirausahaan di lingkungan perguruan tinggi akhir-a khir ini menjadi kaj ian di b erba gai kesempa tan, bai k me lalui di skusi, seminar, lokakarya, dan bahkan dijadikan lesson learn dengan meng hadi rkan sosok k eber hasi lan alumni da lam berwirausaha dan sekaligus sebagai bench marking. Dalam penyelenggaraan pendidikan kewirausahaan di lingkungan perguruan ting gi, pe rmasala han yang diha dapi antara lai n ad anya isu pengang gura n. H al tersebut diasumsikan ada faktor yang mempengaruhinya, yaitu: kompetensi keahlian lulusan perguruan tinggi belum memenuhi kebutuhan pasar kerja, lulusan perguruan tinggi (prodi ilmuilmu sosial) kalah bersaing dengan lulusan dari program studi bidang keteknikan di dunia kerja. Sementara itu, lulusan program studi teknik banyak dibutuhkan namun kompetensi keahliannya masih belum memadai (Hendarman, 2011). Di samping itu, keragaman kesiapan masingma sing per guruan t ing gi d alam mengelola kew irusahaa n se pert i Pr ogra m Ma hasi swa Wirausaha (PMW), Program Kreativitas Mahasiswa (PKM), pelaksanaan Kuliah Kerja Usaha (PKU), Program Magang Kewirausahhaan (MKU), dan Inkubator Bisnis (INBIS) masih belum sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Selanjutnya, hasil survei Litbang Media Group yang ditulis dalam Editorial Media Indonesia tanggal 30 April 2007 berjudul Minimnya Minat menjadi Pengusaha menunjukkan bahwa m otiv asi masy arak at Indonesia (termasuk lulusan perguruan tinggi) untuk menjadi pengusaha masih sangat rendah. Hasil survei tersebut sejalan dengan hasil Survei Tenaga Kerja Nasional 2001 hingga 2006 (dalam Balitbang, 2010a) menyatakan bahwa profil tenaga kerja Indonesia memang dikuasai pekerja. Dari total pekerja 25 juta orang, jumlah yang menjadi pengusaha kurang dari seperlimanya. Terhadap pertanyaan dalam survei yang sama yaitu mayoritas orang Indonesia ingin menjadi ap a? dipe role h ja wab an b ahwa 70% ing in menjadi pegawai negeri sipil (PNS), hanya 20% ingin menj adi peng usaha. Angka ini jel as

mencerm inka n kondisi ri il y ang sela ma i ni dirasakan oleh para pencari kerja, termasuk lulusan perguruan tinggi. Menurut data Badan Pusat Statistik (2008) tingkat pengangguran terbuka di Indonesia telah mencapai 7,87%. Dari jumlah penduduk yang bek erja menurut jenis p endi dika n te rtinggi menunjukkan bahwa l ulusan d iploma d an universitas mengalami kenaikan. Pekerja yang berasal dari lulusan diploma mencapai 2,79 juta orang (2,55%) dan pekerja yang berasal dari lulusan sarjana mencapai 4,66 juta (4,44%). Tampaknya, dari tahun ke tahun, jumlah pengangguran yang berasal dari kalangan sarjana secara signifikan mengalami kenaikan dibanding dengan pek erja yang be rasa l da ri d iploma. Hal ini mengindikasikan bahwa kurang lebih 20% dari jumlah lulusan perguruan tinggi setiap tahunnya belum mendapatkan pekerjaan. Per masa lahan yang dia sumsikan terj adi berkaitan dengan penyelenggaraan program pendidikan kewirausahaan, yaitu beragamnya pe rgur uan ting gi d alam : 1) per siap an d an pelaksanaan program kewirausahaan dan peran unit baru yang berfungsi dan bertugas sebagai pengelola program kewirausahaan belum optimal; 2) p enyedi aan sar ana da n prasa rana untuk penyelenggaraan kewirausahaan masih terbatas (sarana dan prasarana, mitra kerja, dana, dan tenaga dose n ya ng b erkompet ensi dal am memberi bekal keterampilan kewirausahaan, sehingga bekal berbagai kompetensi belum memadai. Berkaitan dengan masalah tersebut, kajian ini dimaksudkan untuk menganalisis pelaksanaan pendidikan kewirausahaan di perguruan tinggi ka itannya deng an k omp etensi l ulusan d an kompetensi pendukung lainnya sesuai dengan yang diharapkan oleh dunia kerja. Kajian Literatur Kewirausahaan (Entrepreneurship) Secara bebas kewirausahaan ( entrepreneurship ) dapat dimaknai sebagai jiwa, semangat, sikap, perilaku, dan potensi kemampuan seseorang dalam menangani usaha dan atau kegiatan yang mengarah pada upaya mencari, menciptakan, menerapkan cara kerja, teknologi, dan produk baru dengan meningkatkan efisiensi dalam rangka memberikan pelayanan yang lebih baik untuk

454

Siswo Wiratno, Pelaksanaan Pendidikan Kewirausahaan di Pendidikan Tinggi

me mper oleh keuntungan yang le bih besa r (Subijanto, 2012). Dengan kata lain, kewirausa haan dal am hal i ni m erup akan sua tu kreativitas dan inovasi yang dimiliki para lulusan perguruan tinggi untuk menghasilkan nilai tambah bagi dirinya dan bermanfaat bagi orang lain/ masyarakat serta mendatangkan kemaslahatan bersama. Pada hakikatnya, kewirausahaan merupakan sifat, ciri, dan watak seseorang yang memiliki kemauan dan kemampuan dalam mewujudkan gagasan inovatif dalam dunia nyata (bisnis) secara kreatif dan produktif. Seseorang yang memiliki potensi atau jiwa kewirausahaan, ia mampu melihat dan menilai kesempatan-kesempatan bisnis, mengumpulkan berbagai sumber daya yang dibutuhkan untuk mengambil tindakan secara tepat dan mengambil keuntungan meraih peluang bisnis. Secara epistimologis, kewirausahaan pada prinsipnya merupakan suatu kemampuan berpikir kreatif dan berperilaku inovatif yang dijadikan dasar, sumber daya, motivator, tujuan, siasat/ strategi, dan kiat-kiat dalam menghadapi tantangan hidupnya (Hunger dan Wheelen, 2003). Kew irausahaan ( enterp ree neurshi p ) muncul manakala seseorang berani mengembangkan usaha-usahanya dan ide-ide barunya yang cerdas dan cermat dengan mengantisipasi berbagai risiko yang mungkin akan terjadi. Oleh karena itu, esensi kewirausahaan yaitu menciptakan nilai tambah melalui proses pengkombinasian berbagai sumber daya dengan car a-cara bar u yang ber beda, sehingga mampu bersaing secara bebas di pasar bisnis. Kewir ausahaan menurut Sukidjo ( 2011) mencerminkan semangat, sikap, dan perilaku sebagai teladan dalam keberanian mengambil resiko yang telah diperhitungkan berdasar atas kemauan dan kemampuan sendiri. Orang yang memiliki sikap-sikap tersebut dikatakan sebagai wir aswasta at au wi rausa ha. Sement ara i tu, Suryana (2006) berpendapat bahwa kewirausahaan merupakan suatu disiplin ilmu yang memperlajari tentang nilai, kemampuan, dan perilaku seseorang dalam menghadapi tantangan hid up untuk mem peroleh peluang deng an berbagai resiko yang mungkin dihadapinya.

Percaya diri merupakan sikap dan keyakinan untuk memulai, melakukan, dan menyelesaikan tugas atau pekerjaan yang dihadapi. Berorientasi pad a tugas dan hasi l me ncir ikan bahwa seseorang wirausahawan harus berkonsentrasi pada tugas dan hasil dari apa pun pekerjaannya serta harus jelas hasilnya. Apa yang dilakukan seorang wirausahawan merupakan usaha untuk me ncap ai t ujua n ya ng tela h di targ etka n. Keberhasilan tersebut akan sangat ditentukan oleh motivasi berprestasi, berorientasi pada keuntungan, kekuatan dan ketabahan/keuletan berusaha, kerja keras, enerjik, dan inisiatif (Hunger dan Wheelen, 2003). Lebih lanjut, mengambil risiko dicirikan oleh seseorang (wirausahawan) yang harus mengeta hui peluang kega gal an ( di m ana sumb er kegagalan dan seberapa besar peluang kegagal an), sehingg a da pat memi nima lis risi ko. Karakter kepemimpinan dicirikan oleh seseorang (wirausahawan) yang dapat memberikan suri tauladan, berpikir positif, tidak antikritik, dan memiliki kecakapan dalam berkomunikasi dan bersosialisasi (Hunger dan Wheelen, 2003). Kepemimpinan yang dimaksud bukan hanya memberikan pengaruh kepada orang lain atau baw ahannya, mel aink an j uga siga p untuk mengantisipasi setiap perubahan. Di samping itu, mampu memimpin untuk melakukan perubahan dengan menawarkan produk-produk baru dan menjadi pelopor dalam penciptaan produk yang unggul atau memberikan nilai tambah yang berbeda dibandingkan dengan para pesaing. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kewirausahaan akan melibatkan pembentukan

sikap/ pola pikir (at titud e) , pengemb ang an


keterampilan (skill) , dan pembekalan pengetahuan (knowledge) . Dengan kata lain, kewirausahaa n me rupa kan pot ensi yang di mili ki seseorang untuk dikembangkan melalui pendidikan dan pelatihan dalam bentuk pengalaman, tantangan, dan keberanian untuk mengambil resiko dalam bekerja dan/atau menciptakan pekerjaan. Kebijakan Pendidikan Kewirausahaan Dalam implementasi program pendidikan kewirausahaan, terdapat dua kebijakan terkait dengan kewirausahaan, yaitu: 1) kewirausahaan

455

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012

sebagai mata pelajaran di tingkat pendidikan menengah, dan sebagai mata kuliah pada jenjang pendidikan tinggi, serta 2) kewirausahaan sebagai keahlian yang mengacu pada standar kompetensi (Depdiknas, 2010). Sekalipun nama mata pelajaran/mata kuliah, baik di tingkat pendidikan menengah maupun pendidikan tinggi berbeda-beda, namun pada hakikatnya memiliki kandungan makna yang sama. Sebagai contoh, di lingkunagn sekolah menengah kejuruan (SMK), kewirausahaan pada umumnya dik enal dengan sebutan uni t pr oduk si. Di kalangan LPTK (eks IKIP), pada bidang keahlian pengelolaan makanan, busana/kecantikan dikenal dengan pengelolaan boga atau usaha boga. Di bidang busana, pengelolaan busana (termasuk usaha kecantikan), sedangkan pada universitas lebih dikenal dengan inkubator bisnis (inbis). Salah satu contoh pengembangan inbis yang dapat dijadikan model, yaitu model inbis Universitas Barawijaya, Malang (Balitbang, 2010b). Program Pendidikan Kewirausahaan di Perguruan Tingi Beberapa pembekalan program Kewirausahaan yang dapat dilakukan di perguruan tinggi dalam mempersiapkan para lulusannya sebagai calon wirausaha baru sebagai berikut. Program Mahasiswa Wirausaha (PMW) Ked uduk an Progr am M ahasiswa Wir ausa ha (PMW) merupakan bagian dari sistem pendidikan di perg urua n ti nggi yang te lah diluncur kan semenjak tahun 2009. Dalam pelaksanaannya, PMW terintegrasi dengan pendidikan kewirausahaan yang sudah ada, antara lain dengan: Program Kreativitas Mahasiswa (PKM), Kuliah Kerja Usaha (KKU) dan program kewirausahaan lain. Tujuan penyelenggaraan PMW dimaksudkan untuk: 1) menumbuhkan motivasi berwirausaha di kalangan mahasiswa; 2) membangun sikap mental wirausaha, yakni: percaya diri, sadar akan jati dirinya, bermotivasi untuk meraih suatu citacita, pantang menyerah, mampu bekerja keras, kreatif, inovatif, berani mengambil risiko dengan perhitungan, berperilaku pemimpin dan memiliki visi ke depan, tanggap terhadap saran dan kritik, memiliki kemampuan empati dan keterampilan sosial; 3) meningkatkan kecakapan dan kete-

rampilan para mahasiswa khususnya sense of business; 4) menumbuhkembangkan wirausahawir ausa ha b aru yang ber pend idik an t ingg i, 5) menciptakan unit bisnis baru yang berbasis ilmu pengetahuan, teknologi dan seni; dan 6) membangun jeja ring bisnis anta rpel aku bisnis, khususnya a ntar a wi rausaha pemula d an pengusaha yang sudah mapan. Alokasi dana PMW tidak seluruhnya untuk modal mahasiswa (Ditjen Dikti, 2009a). Mekanisme pelaksana program PMW diawali dengan: 1) melakukan sosialisasi kepada para mahasiswa; 2) identifikasi dan seleksi mahasiswa; 3) pembekalan kewirausahaan; 4) penyusunan rencana bisnis sambil magang di UKM (Ditjen Dikti, 200 9a). Sel anjutnya , untuk mend apat kan dukungan permodalan dalam rangka pendirian usa ha b aru maha sisw a wa jib meng ajuk an rencana bisnis yang layak untuk diseleksi oleh Tim Seleksi yang terdiri atas unsur perbankan, UKM, dan perguruan tinggi pelaksana. Pengusaha di liba tkan secara akti f untuk memb erik an bimbingan operasional kewirausahaan. Keberadaan kelembagaan yang bertanggungjawab atas program-program pendidikan ke wira usahaan merupak an salah sat u pe rtimbangan penting bagi Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi untuk memberikan dukungan pada perguruan tinggi yang bersangkutan. Dalam usaha mewujudkan calon-calon pengusaha muda dan terdidik atau pengusaha muda pemula, menumbuhkembangkan budaya kewirausahaan di perguruan tinggi dapat dimulai melalui program Kuliah Kewirausahaan/KWU (Ditjen Dikti, 2010b). Selama program PMW berjalan, perguruan tinggi bekerja sama dengan para pengusaha, baik dengan UKM Koperasi maupun perusahaan besar lainnya. Pengusaha dilibatkan secara aktif untuk memberikan bimbingan praktis kewirausahaan, dimulai dari pendidikan dan pelatihan, pemagangan, menyusun rencana bisnis, dan pendampingan secara terpadu. Oleh karena itu, perlu dihindari terjadinya persaingan yang tidak sehat di antara mahasiswa dan UKM pendamping. Sebaliknya, diperlukan adanya sinergitas antara jenis usaha yang dikembangkan mahasiswa dan jenis usaha yang di kemb angk an oleh UKM pendamping.

456

Siswo Wiratno, Pelaksanaan Pendidikan Kewirausahaan di Pendidikan Tinggi

Per syar atan

per tama

unt uk

m enja min

siap dalam pengelolaan usaha yang sedang akan dilaksanakan (Ditjen Dikti, 2010a). Program Magang Kewirausahaan (MKU) Program magang kewirausahaan merupakan kegiatan mahasiswa untuk belajar bekerja secara nyata (praktik) pada usaha kecil menengah, yang diharapkan dapat menjadi wahana penumbuhan jiwa kewirausahaan. Magang merupakan salah satu cara mempersiapkan diri untuk menjadi wirausaha. Selama magang mahasiswa bekerja seb agai tenaga kerj a di per usahaan mitr a, sehingga mampu menyerap berbagai pengalaman praktik, seperti: 1) memahami proses produksi yang dihasilkan secara utuh; 2) mengenal metode yang dilakukan baik dari aspek teknologi maupun organisasi; 3) mengenal pasar dari produk yang dihasilkan; 4) memahami permasalahan yang dihadapi dan cara mengatasi permasalahan; dan 5) berkembangnya sifat kreatif dan inovatif mahasiswa untuk bergerak di bidang wirausaha (Ditjen Dikti, 2010b). Magang Kewirausahaan dilaksanakan untuk memberikan pengalaman praktis kewirausahaan kepada mahasiswa dengan cara ikut bekerja sehari-hari pada usaha kecil dan menengah. Secara khusus tujuan MKU: 1) meningkatkan kemampuan untuk menerapkan pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki; 2) meningkatkan pengetahuan kewirausahaan mahasiswa, baik dalam hal keilmuan maupun pengalaman berwirausaha; 3) meningkatkan kemampuan berkomunikasi dan bersosialisasi dengan kalangan masyarakat di perusahaan; 4) memacu motivasi kewirausahaan mahasiswa yang berminat menjadi calon wirausaha; 5) membuka peluang untuk memperoleh pengalaman praktis kewirausahaan bagi dosen pembimbing mahasiswa; dan 6) menciptakan keterkaitan dan kesepadanan antara pe rgur uan ting gi d eng an usaha kecil d an menengah (Ditjen Dikti, 2010b). Lebih lanjut, kegiatan MKU dilaksanakan dalam lingkup: 1) penetapan usaha kecil menengah yang layak untuk tempat magang (perusahaan mitra); 2) pembekalan magang mahasiswa oleh dosen pembimbing; 3) temu gagasan antara per guruan t ing gi d enga n pi mpinan perusahaan mitra; 4) pelaksanaan MKU; 5) pem anta uan dan pemb imbi ngan ole h dosen

keberhasilan dan keberlanjutan PMW, perguruan tinggi pelaksana harus mempunyai lembaga yang memiliki tugas pokok dan fungsi sebagai pengelola (perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, peng awasan dan pe ngeval uasian) serta pengembangan (penelitian dan pengembangan) program-program pendidikan kewirausahaan bagi mahasiswa dan program lain yang terkait dengan hubungan antarlembaga. Lembaga yang dimaksud dapat bersifat formal struktural ataupun fungsional yang bertanggung jawab langsung kepada pimpinan perguruan tinggi (Ditjen Dikti, 2009b). Program Kuliah Kewirausahaan (KWU) Dalam usaha mewujudkan calon-calon pengusaha muda terdidik atau pengusaha muda pemula dan menumbuhkembangkan budaya kewirausahaan di perguruan tinggi dapat dimulai dengan program KW U. Penye leng gara an K WU d imak sudk an sebagai upaya memperkenalkan dunia kewirausahaan agar dapat menumbuhkembangkan jiwa kewirausahaan bagi kalangan mahasiswa. Di samping itu, KWU dilaksanakan untuk memberikan pengetahuan kewirausahaan, pengalihan pengala man berw irausaha dan mendorong tumbuhnya motivasi berwirausaha sebagai bentuk kegiatan awal mahasiswa calon wirausahawan baru (Ditjen Dikti, 2010b). Agar terjadi interaksi antarmahasiswa dari berbagai bidang studi dalam pr oses pem bela jara n k ewir ausa haan, ma ka peserta KWU diharapkan berasal dari berbagai mahasiswa dari program studi/jurusan/fakultas lainnya. Dalam upaya mewujudkan program tersebut, setiap perguruan tinggi diharapkan mampu: 1) meningkatkan pemahaman dan penjiwaan kewirausahaan di kalangan mahasiswa agar mampu menjadi wirausahawan yang berwawasan jauh ke depan dan luas berbasis ilmu yang diperolehnya; 2) mengenal pola berpikir wirausaha serta meningkatkan pemahaman manajemen (organisasi, produksi, keuangan dan pemasaran); dan 3) memperkenalkan cara melakukan akses inf orma si d an p asar ser ta t eknologi , ca ra pembentukan kemitraan usaha, strategi dan etika bisnis, serta pembuatan rencana bisnis atau studi kelayakan yang diperlukan mahasiswa agar lebih

457

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012

pembimbing dan perusahaan tempat magang; 6) evaluasi pelaksanaan magang oleh mahasiswa, pengusaha dan dosen pembimbing; 7) penyu-

kewirausahaan serta sadar dengan masalah lingkungannya; dan 3) menumbuhkembangkan usaha kecil menengah yang memiliki daya saing tinggi dari segi kualitas produk/jasa, kinerja dan pemasaran (Ditjen Dikti, 2010a). Mahasiswa yang melaksanakan KKU, selain belajar berwirausaha, juga menerapkan Iptek yang dikuasai, seperti penyempurnaan proses produksi, peningkatan kualitas produk dan jasa, penyempurnaan manajemen usaha, maupun pembenahan metoda pemasaran. Sambil membantu menata proses produksi atau pemasaran produk. Di samping itu, mahasiswa belajar bagaimana cara berkomunikasi dengan mitra bisnisnya (pengusaha, pegawai, konsumen, tengkulak, penjual eceran dan grosir), sehingga mendorong tumbuhnya kedewasaan berpikir, berkomunikasi, dan bertindak. Inkubator Wirausaha Baru (INWUB) Inkubator Wirausaha Baru (INWUB) adalah suatu fasilitas fisik yang dikelola oleh sejumlah staf dan menawarkan suatu paket terpadu kepada alumni per guruan t ingg i ya ng b ermi nat menj adi wirausahawan dengan biaya terjangkau selama jangka waktu tertentu (23 tahun). Paket terpadu tersebut, antara lain meliputi: 1) sarana fisik atau ruang produksi dan fasilitas kantor yang dapat dipakai bersama; 2) kesempatan akses dan pem bent ukan jar inga n ke rja deng an j asa pendukung teknologi dan bisnis, sumberdaya teknologi dan informasi, sumber daya bahan baku, dan keuangan; 3) pelayanan konsultasi yang me liputi a spek tek nologi, mana jeme n, d an pemasaran; 4) pembentukan jaringan kerja antar pengusa ha, dan 5) p enge mbangan prod uk pe neli tian unt uk d apat dip roduksi seca ra komersial (Ditjen Dikti, 2010a). Sebagai contoh rintisan inkubator wirausaha baru atau inkubator bisnis yaitu Universitas Brawijaya (UB) Malang telah berhasil dalam menyelenggarakan program kewirausahaan dan sampai sekarang masih terus dikembangkan manajemennya secara professional (Balitbang, 201 0b). Mod el i nkub ator bisnis Univ ersi tas Brawijaya kiranya dapat dipergunakan sebagai salah satu bench marking bagi perguruan tinggi di Indonesia.

sunan business plan oleh mahasiswa peserta


magang; 8) penulisan laporan magang oleh mahasiswa; dan 9) pembahasan hasil magang yang diikuti semua pihak yang terkait (Ditjen Dikti, 2009b). Beb erap a indika tor pela ksanaan MKU dikatakan berhasil manakala: 1) pengusaha te mpat mag ang mera saka n ma nfaa t MK U; 2) mahasiswa memperoleh pengetahuan, kompetensi, dan pengalaman serta manfaat, baik dari segi pengetahuan maupun keterampilan yang berguna sebagai bekal untuk berwirausaha; dan 3) mahasiswa menjalankan tugas dengan disiplin dan mematuhi aturan perusahaan yang berlaku (Ditjen Dikti, 2010b). Program Kuliah Kerja Usaha (KKU) Jumlah lulusan pergururan tinggi (sarjana) yang mampu menciptakan lapangan kerja masih sangat terbatas. Hal ini diasumsikan, antara lain karena masih rendahnya kemampuan lulusan dalam berwirausaha. Naluri bisnis/jiwa kewirausahaan tidak akan tumbuh berkembang manakala tidak dilengkapi dengan pelatihan dan pembinaan secara intensif melalui kerja nyata berwirausaha. Untuk menjadi wirausahawan, mahasiswa perlu dibekali kemampuan praktis yang mencakup keterampilan menerapkan Iptek, keterampilan ma naje rial wir ausa ha d an p emasaran ser ta adopsi inovasi teknologi (Balitbang, 2010a). Pe ngal aman ini dap at d iper oleh mahasiswa melalui Kuliah Kerja Usaha (KKU), di mana ke mamp uan prak tis ditumbuhkemb angk an dengan berperan aktif, antara lain membantu usaha rumah tangga atau usaha kecil menengah tempat mahasiswa bermitra. Oleh karena itu, kegiatan KKU, diharapkan dapat menumbuhkembangkan calon wirausahawan yang handal dan mandiri dari kalangan mahasiswa melalui proses aktif yang berprinsip pada keberpihakan dan pemberdayaan masyarakat dalam rangka mendorong peningkatan pertumbuhan usaha kecil menengah. Tujuan khusus yang ingin dicapai dari KKU, yaitu: 1) berkembangnya budaya kewirausahaan di perguruan tinggi; 2) terwujudnya calon sa rjana ya ng cende kiaw an d an b erji wa

458

Siswo Wiratno, Pelaksanaan Pendidikan Kewirausahaan di Pendidikan Tinggi

Tujuan dibentuknya INWUB, yaitu untuk: 1) menciptakan lapangan kerja baru sehingga meningkatkan standar hidup golongan ekonomi lemah; 2) menciptakan UKM yang mandiri dan berlandaskan iptek untuk memperkuat struktur ekonomi nasional; 3) membantu alih teknologi dari teknologi konvensional ke teknologi mutakhir ( state of the art technology ) yang tepat guna termasuk teknologi hasil putaran (spin off) industri besar, perguruan tinggi atau lembaga penelitian; dan 4) mempercepat perkembangan kewirausahaan di Indonesia untuk mencapai pengembangan ketahanan ekonomi yang berkelanjutan dal am m enghadap i er a pe rdag anga n be bas (Ditjen Dikti, 2010a). Be rbag ai k omponen ter sebut di ata s, merupakan wujud nyata Pemerintah (Ditjen Dikti, 2010a) dalam mewujudkan lulusan perguruan tinggi memiliki kompetensi kewirausahaan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Namun demikian, sampai saat ini hasil tersebut belum sesuai dengan tujuan penyelenggaraan dimaksud lebih dikarenakan masih dalam taraf pengembangan dan penyempurnaan di berbagai aspek yang mendukung terwujudnya sarjana berwirausaha. Oleh karena itu, perlu dilakukan monitoring dan evaluasi secara berkala dan berkesinambungan sebagai bahan masukan untuk peraikan dan penyempurnaan program dimaksud. Selanjutnya, evaluasi diri bagi penyelenggaraan program dapat dilakukan secara mandiri dan akan lebih tepat lagi jika hal tersebut dilakukan oleh sebuah organisasi independen untuk mengevaluasinya. Lebih lanjut, perlu juga dilakukan external audit dalam penyele ngga raan program kew irausaha an sebagai bentuk akuntabilitas publik. Kurikulum Perguruan Tinggi Kurikulum perguruan tinggi selalu dituntut untuk mengikuti perkembangan iptek dan tren kebutuhan dunia kerja. Sekalipun setiap perguruan tinggi memiliki otonomi dalam pengembangan instit usinya ( term asuk kur ikul um), nam un kecende rung an k ebut uhan masing- masi ng perguruan tinggi akan sama. Kompetensi lulusan merupakan hal yang wajib dikembangkan sesuai dengan ciri dan karakter perguruan tinggi itu sendiri. Di samping itu, kecenderungan dalam pemenuhan kompetensi lulusan pergururn tinggi,

kurikulum yang dirancang perlu berorientasi pada: 1) ber basi s kompet ensi , di maksudka n ag ar perguruan tinggi menjadi individu-individu yang memiliki pengetahuan dan keterampilan yang dituntut pekerjaan tertentu dan memiliki jiwa visione r ya ng m ampu menerim a be rbag ai tantangan, mampu melihat peluang, dan berani mengambil risiko, termasuk melatih menganalisis permasalahan dan mengambil keputusan dengan tepat sasaran; 2) memfasilitasi intensifikasi keterampilan, talenta, dan kreativitas; serta 3) program yang seimbang antara hard science dengan soft science (seni dan ilmu sosial) bagi lulusan perguruan tinggi (Kepmendiknas RI Nomor 045/U/2002). Upaya untuk mewujudkan gagasan tersebut, antara lai n da pat dila kuka n de ngan car a: 1) meningkatkan efektivitas penyelenggaraan pendidikan link and match di tingkat perguruan tinggi deng an m elak ukan pra karsa untuk mengkonversi pengetahuan kewirausaan yang ada di Dunia Usaha dan Dunia Industri (DUDI) ke masyarakat akademik. Pendidikan tinggi telah melakukan dan bahkan telah menjadi tradisi sebagai masyarakat keilmuan, yaitu melakukan kombinasi dari explicit knowledge ke explicit knowled ge l ainnya, yait u pr oses mensist ematisasikan konsep ke dalam pengetahuan. Konversi pengetahuan ini mencakup menggabungkan body of knowledge yang berbeda-beda sehingga diperoleh new body of knowledge ; 2) internalization dari explicit knowledge ke tacit knowledge. Hal ini merupakan proses mewujudkan explicit knowledge menjadi tacit knowledge. Proses tersebut erat kaitannya dengan learning by doing. Manakala pengalaman yang dimiliki individu digabungkan dengan explicit knowledge, kemudian diinternalisasikan melalui sosialisasi, eksternalisasi, dan kombinasi sehingga terbentuk tacit knowledge (Balitbang, 2010a). Tacit knowledge yang menjadi basis mental model merupakan aset yang sangat berharga bagi institusi. Tacit knowledge yang ada pada level individu harus disebarkan ke level institusi. Dengan penyebaran tersebut dimulailah suatu new spiral knowledge creation. Perguruan tinggi yang berhasil menempatkan dirinya sebagai perguruan tinggi unggulan dan banyak melahirkan entrepreneur tacit knowledge ini juga memberikan sumbangan

459

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012

bagi terbentuknya core competency ; 3) eksternalisasi, yaitu proses mengartikulasikan tacit knowledge menjadi explicit knowledge . Hal ini mer upak an i nti explicit knowledge. Pe rgur uan tacit ting gi sehar usny a hal ini pr oakt if kal ang an melakukan dialog dengan komunitas yang memiliki knowled ge ( dal am entrepreneur ) dengan masyarakat akademik, sehingga akan menciptakan proliferasi pengetahuan (yang sifatnya tacit) dan akhirnya menjadi explicit. Mengundang para entrepreneur dan kalangan dunia usaha ke kampus untuk berbagi pengala man seca ra b erke sina mbungan memungki nkan masyara kat akad emik dap at mengkonstruksi pengetahuan kewirausahaan melalui metafora, analogi, konsep, atau model kewirausahaan yang eksplisit dan dapat dipelajari oleh siapapun; dan 4) sosialisasi, yaitu proses ber bagi pengala man (htt p:// www.suar apembaruan.com/News/2004/ 02/27/index.html). Permagangan di industri atau kerja magang merupakan salah satu cara untuk mendapatkan tacit knowledge , dari magang individu dapat melakukan observasi, imitasi, dan mempraktikkan apa yang telah dipelajarinya. Sampai saat ini masih terbatas mahasiswa atau dosen yang melakukan magang di industri dan sebaliknya, masih terbatas jumlah perusahaan yang memberikan kesempata n kepa da mahasiswa atau d osen untuk melakukan magang atau kuliah kerja lapangan (KKL). Hal ini dapat diasumsikan bahwa pihak industri belum memperoleh sosialisasi program pendidikan kewirausahaan dari perguruan tinggi. Alasan yang cukup klasik dari mengganggu proses industri dan yang dan bahk an masih sering ditemui bahwa magang ataupun KKL i ndustri adakalanya membebani perusahaan. Oleh karena itu, sosialisasi penting dilakukan dan seharusnya dengan adanya CSR (corporate social responsibility) oleh industri sudah merupakan keniscayaan bagi industri untuk berbagai (sharing) dalam hal peningkatan kualitas SDM melalui pendidikan dan pelatihan secara sinergi. Dalam upaya menumbuhkembangkan jiwa ke wira usahaan dan meni ngka tkan akt ivit as kewirausahaan sehingga para lulusan perguruan tinggi berorientasi pada pencipta lapangan kerja dari proses pemb entukan pengetahuan, tacit knowledge diubah menjadi

(job creator), daripada pencari kerja (job seeker), oleh karenanya perlu dilakukan usaha nyata. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan telah mengembangkan Program Mahasiswa Wirausaha (Student Euntrepeneur Program ) yang merupakan kelanjutan dari Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) dan Coorperative Education (Co-op) yang mendukung terciptanya lulusan yang siap kerja dan menciptakan kerja. Hasil-hasil karya mahasiswa me lalui ke dua prog ram tersebut bel um d itindaklanjuti secara komersial menjadi embrio berbasis Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Iptek). Dengan demikian, program penguatan kelembagaan yang mendorong peningkatan kreativitas be rwir ausa ha d an p ercepat an p ertumbuhan wi rausaha baru dengan basis I ptek per lu dikembangkan. Oleh karena itu, salah satu upaya untuk menindaklanjuti pogram unggulan di perguruan tinggi perlu ditindaklanjuti dengan suatu program star-up business, di mana mahasiswa dibimbing dan diarahkan ke dunia nyata, yaitu wirausaha berbasis Iptek berbasis komersial (profit-benefit). Program ini sejalan dengan strategi Perguruan Tinggi dalam kurun waktu 2003-2010 (Depdiknas, 2010a). Program tersebut menekankan bahwa kompetensi lulusan pergururan tinggi dalam suatu bidang ilmu tidak lagi mencukupi untuk memasuki lapangan kerja yang semakin kompetitif. Di samping lulusan perguruan tinggi dituntut untuk memiliki kompetensi di bidang tertentu, kemampuan lainnya seperti belajar sepanjang hayat, kemampuan menganalisis, mensintesis, kemampuan memanfaatkan peluang dengan keberanian mengambil risiko yang diperhitungkan (entrepreneurial spirit), diperlukan juga kompetensi entrepreneurial . Hal ini sejalan dengan Instruksi Presiden tentang pengembangan ekonomi kreatif (Inpres Nomor: 6/2009). Lulusan Perguruan Tinggi dan Daya Saing Salah satu cara pendekatan dalam meningkatkan kualitas perguruan tinggi yang dianggap cukup signifikan, yaitu menumbuhkan dan membangkit kan etos ker ja l ulusan sebel um m enja di pi mpinan organissa si/p erusahaa n da n/at au pendiri kewirausahaan. Pemahaman etos kerja berangkat dari pengertian etos ( ethos ) yang

460

Siswo Wiratno, Pelaksanaan Pendidikan Kewirausahaan di Pendidikan Tinggi

secara etimologis terdapat tiga istilah dalam bahasa Inggris, yaitu ethic, ethics dan ethos. Ethic diartikan sebagai standar moral atau nilai-nilai; ethics sebagai filsafat moral (moral philosophy) dan ethos bermakna watak atau character (Noah, 1979). Etos kerja yang mencerminkan semangat juang dia nut banyak dipengaruhi oleh nilai-nilai yang oleh seseora ng d alam mel akuk an

seseorang tersebut menunjukkan bagaimana ked uduk an seseorang dengan orang at au lembaga dengan lembaga lain yang berhubungan dengan keunggul an d enga n ya ng l ainnya. Keunggulan seseorang atau pemimpin memberikan peluang untuk keberhasilan mencapai tujuan pribadi atau tujuan organisasi. Salah satu faktor keunggulan tersebut dapat dicapai melalui pendidikan dan pelatihan dalam bentuk tingkat keterampilan (kompetensi) yang dimiliki seseorang atau pemimpin (Callon, 1996). Oleh karena itu, daya saing dalam kewirausahaan difahami sebagai kesanggupan individu atau wirausahawan dalam berkompetisi dengan wirausahawan lain dalam lingkungan kelompoknya, sebagai cerminan adanya indikator pengembangan diri yang memiliki, yaitu kemandirian, memiliki daya inovasi, dan keberanian menghadapi perubahan meskipun mengandung risiko. Metode Kajian Me tode kaj ian ini dil akuk an d enga n ca ra sed erha na m elal ui anal isis da ri b erba gai dokumen sebagai sumber acuan yang terkait dengan peraturan perundangan-undangan yang re leva n de ngan pendidi kan Kewi rausahaa n, pembahasan kewirausahaan dari jurnal, Panduan Pelaksanaan Kewirausahaan, Teori pendukung, dan hasil kajian Pendidikan Kewirausahaan di perguruan tinggi, serta Hasil Penelitian Balitbang tentang Alt erna tif Pela ksanaan Pend idik an Kewirausahaan di perguruan tinggi. Hasil Kajian dan Pembahasan Kompetensi Keahlian Lulusan Perguruan Tinggi Komitmen Pemerintah yang secara eksplisit telah menjadi prioritas nasional dalam pembangunan pend idikan 2010- 2014, y aitu p embang unan pendidikan diarahkan untuk tercapainya pertumbuhan ekonomi yang didukung oleh keselarasan antara ketersediaan tenaga pendidik dengan kemampuan: 1) menciptakan lapangan kerja atau kewirausahaan; dan 2) menjawab tantangan kebutuhan tenaga kerja (Depdiknas, 2010a). Paradigma pendidikan yang bersifat supply driven yang cenderung menghasilkan lulusan dalam jumlah banyak, sudah seharusnya ber-

pekerjaan, sedangkan nilai-nilai itu sendiri selalu berubah dan berkembang. Etos juga merupakan landasa n id e, cita- cita , pi kira n ya ng a kan menentukan sistem tindakan. Hal ini, karena etos menentukan penilaian seseorang atas suatu pekerjaan, maka ia akan menentukan pula hasilhasil yang akan dicapai secara kualitatif maupun secara kuantitatif. Hal tersebut sesuai pendapat Halexandria (2004) bahwa etos kerja adalah sifat yang khas ( characteristic) semangat seseorang atau kelompok terhadap suatu pekerjaan. Hasil p endi dika n ya ng b ermutu p ada hakikatnya berakhir pada kemampuan daya saing. Daya saing atau persaingan/kompetisi merupakan usaha untuk mengalahkan lawan atau berusaha melawan standar internal dan eksternal dalam mencapai tujuan. Lebih lanjut, Pettgrew (1993) mengemukakan bahwa persaingan pada dasarnya merupakan kemampuan untuk menyesuaikan pe ruba han yang ter jad i di lingkungany a. Perubahan dalam hal ini, yaitu adanya proses kemajuan yang terjadi di lingkungan perusahaan atau masyarakat sehingga pendidikan menjadi sua tu k ebut uhan bag i se tiap ora ng a tau karyawan. Hal tersebut sejalan dengan apa yang di kemukaka n Ga rell i (2 003) bahwa t ingk at pendidi kan dan pela tiha n se baga i up aya peningkatan pengetahuan bagi seorang pekerja merupakan dasar dalam persaingan. Sementara itu, Israel (2001) mengatakan bahwa daya saing atau rivalitas merupakan perilaku pembawaan atau kualitas/potensi individu yang di mili kiny a. Setia p or ang tida k da pat menghindarkan dirinya dari kondisi bersaing yang terjadi di lingkunganya. Pada kesempatan lain, Ivancevich, et.al (1995) mengemukakan bahwa daya saing (competitiveness) menunjukkan posisi relatif seseorang, unit, perusahaan atau suatu negara dibandingkan dengan seseorang, unit, perusa haan, atau negara lai n. Posisi r elatif

461

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012

geser me njad i de mand dr iven ya ng leb ih mempertimbangkan pada aspek permintaan dunia kerja. Lulusan perguruan tinggi dituntut untuk memiliki berbagai kompetensi seperti academic knowledge, skill of thinking, management skill dan communication skill. Sinergitas keempat kompetensi tersebut akan tercermin melalui kemampuan lulusan dalam kecepatan menemukan solusi atas persoalan-persoalan atau tantangan-tantangan yang dihadapinya. Lulusan harus dibekali juga keterampilan hidup (live skill) dan kemampuan beradaptasi dengan kemampuan berkomunikasi bergaul dan berinteraksi dalam masyarakat ilmiah dan masyar akat profesi; kemam puan untuk bekerja dalam kelompok; kemampuan untuk menggunakan khasanah pengetahuan; memiliki integritas pribadi, moral dan etika profesi yang tinggi (soft skill). Dari tahun ke tahun, jumlah pengangguran lul usan sar jana secara nyat a le bih ting gi dibanding lulusan diploma. Kondisi tersebut mengindikasikan bahwa sekurang-kurangnya sekitar 20% dari jumlah lulusan perguruan tinggi setiap tahunnya belum mendapatkan pekerjaan tetap. Atas dasar tersebut, ada kecenderungan bahwa lulusan perguruan tinggi pada umumnya sebagai pencari kerja ( job-seeker ) daripada pencipta kerja (job creator). Di samping itu, aktivitas kewirausahaan masih relatif rendah dan cukup bervariasi antara perguruan tinggi yang satu dengan yang lainnya. Aktivitas kewirausahaan dimaknai sebagai individu aktif dalam memulai bisnis baru dan dinyatakan dalam persen total penduduk aktif bekerja. Semakin tinggi indeks aktivitas kewirausahaan (enterpreneurship activity) maka semakin tinggi entrepreneurship level suatu neg ara (Boulton dan Tur ner, 200 5 da lam Hendarman, 2011). Dalam mengatisipasi kebutuhan kompetensi yang dibutuhkan tenaga kerja, perlu dilakukan updat e a nali sis kebutuha n dunia kerj a ya ng mencakup d imensi kualit as/komp etensi dan kuantitas lulusan terhadap proyeksi kebutuhan DUDI. Proyeksi kebutuhan harus mengacu pada karakteristik khusus dan potensi yang dimiliki oleh potensi masing-masing daerah dan kebutuhannya. Untuk menjawab persoalan tersebut salah satunya diperlukan program penguatan relevansi antara dunia pendidikan dan kebutuhan tenaga

kerja sesuai dengan pasokan ( supply driven ) maupun permintaan (demand driven). Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kompetensi lulusan perguruan tinggi masih belum sepenuhnya memenuhi harapan dunia kerja. Agar kebutuhan dunia kerja dapat terpenuhi, maka para lulusan perguruan tinggi diharapkan memiliki beb erap a kompet ensi sesuai deng an i lmu pengetahuan dan teknologi serta seni (Ipteks) yaitu berupa kompetensi akademik, kompetensi berpikir, kompetensi manajemen dan kompetensi berkomunikasi. Di samping itu, lulusan hendaknya dibekali dengan keterampilan hidup (live skill), kom pete nsi bera dapt asi dan bersosia lisa si dengan lingkungan kerja serta kemauan belajar sepanjang hayat (life-long education). Pemenuhan berbagai kompetensi tersebut nampaknya akan mengalami tantangan manakala peluang bisnis bagi tamatan perguruan tinggi tidak seimbang dengan jumlah lulusan yang berpotensi untuk melakukan bisnis. Idealnya, peluang bisnis harus diciptakan oleh lulusan perguruan tinggi itu sendiri, namun perangkat pendukung lainnya perlu disinergikan dengan DUDI dalam wujud jejaring kerja sama (networking) yang dapat mewujudkan suasana timbal balik dalam wujud saling pengertian (mutual understanding), dan saling menguntungkan (mutual benefit). Pelaksanaan Pendidikan Kewirausahaan Kondisi lulusan program studi dengan pengembangan kurikulum yang digunakan sampai saat ini, memiliki keterkaitan yang rendah dengan kebutuhan atau tuntutan dari user (stakeholders). Pe ndap at Antonius (200 8) d alam Bal itba ng (2010a) bahwa fenomena tersebut didukung oleh data bahwa hampir sekitar 35% lulusan perguruan tinggi tidak terserap di pasar kerja, atau sekitar 322.750 pengangguran terdidik. Jumlah itu akan meningkat menjadi dua kalinya bila ditambah dengan mereka yang kini mengalami PHK, dan pada tahun 2008 mencapai 50,3%. Tingginya a ngka pengang gura n te rdid ik tersebut tidak lepas dari rendahnya etos kerja lulusan perguruan tinggi dan kurangnya entrepreneurial mindset . Lebih lanjut, Antonius (2008) dalam Balitbang (2010a) menyatakan bahwa penyeba b ut ama terj adinya p enga ngguran

462

Siswo Wiratno, Pelaksanaan Pendidikan Kewirausahaan di Pendidikan Tinggi

terdidik antara lain kurang selarasnya perencanaan pembangunan pada sektor pendidikan dengan perkembangan lapangan kerja, sehingga lulusan dari perguruan tinggi hanya sebagian yang terserap untuk pasar kerja. Untuk mengatasi hal tersebut, maka perlu menerapkan konsep link and match antara dunia pendidikan dan dunia ketenagakerjaan dengan pendekatan market labour based. Dalam konteks ini , pr ogra m-pr ogra m ya ng m emungkinkan tumbuhnya jiwa kewirausahaan atau enterpreneurship dalam lembaga pendidikan tinggi menjadi sebuah alternatif dalam menjawab fenomena seperti yang dijelaskan di atas. Hasil penelitian Pendidikan Kewirausahaan Balitbang (2010a) menunjukkan bahwa kurikulum yang berorientasi kreatif dan pembentukan jiwa kewirausahaan perlu ditumbuhkembangkan dalam dunia pendidikan. Kurikulum yang dimaksudkan, yaitu: 1) kurikulum yang membentuk kompetensi agar lulusan menjadi individu-individu visioner yang ma mpu mene rima ber baga i sk enar io tantangan, melihat peluang dan berani mengambil resiko, termasuk melatih kemampuan mencerna permasalahan dan mengambil keputusan dengan tepat walaupun tanpa adanya panduan yang cukup; 2) kurikulum yang memfasilitasi intensifikasi keterampilan, talenta dan kreativitas; serta 3) kurik ulum yang mengandung program yang seimbang antara hard science dengan soft science (seni dan ilmu sosial). Untuk mewujudkan gagasan tersebut antara lain dapat dilakukan melalui: pertama, perguruan tinggi harus mau mengambil prakarsa mengkonversi pengetahuan kewirausaan yang ada di dunia usaha ke dalam masyarakat akademik. Hal ini telah dilakukan oleh perguruan tinggi dan menjadi tradisi sebagai masyarakat keilmuan yaitu melakukan combination dari explicit knowledge yang satu ke explicit knowledge lainnya, yaitu proses mensistematisasikan konsep ke dalam sistem pengetahuan. Konversi pengetahuan ini mencakup menggabungkan body of knowledge yang berbeda-beda, sehingga diperoleh new body of knowledge. Kedua, internalization dari explicit knowledge ke tacit k nowl edge . I ni m erupak an p roses mewujudkan explicit knowledge menjadi tacit knowledge . Proses ini erat kaitannya dengan

learning by doing. Ketika pengalaman yang dimiliki individu digabungkan dengan explicit knowledge, hal itu dapat diinternalisasikan melalui sosialisasi, eksternalisasi, dan kombinasi maka terbentuk tacit knowledge. Tacit knowledge yang menjadi basis mental model itu merupakan aset yang sangat berharga bagi organisasi. Tacit knowledge yang ada pada level individu harus disebarkan ke level organisasi. Dengan penyebar an t erseb ut di mula ilah suat u new spi ral knowledge creation. Perguruan Tinggi yang berhasil menempatkan dirinya sebagai perguruan tinggi unggulan dan banyak melahirkan entrepreneur, salah satunya disebabkan oleh kemauan dan kemampuan melakukan internalisasi pengalaman dan pengetahuan, sehingga dapat membentuk tacit knowledge pada komunitas akademik. Tacit knowledge ini juga memberikan sumbangan bagi terbentuknya core competency (Ditjen Dikti, 2010a) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melalui Direrktorat Pendidikan Tinggi sedang mengembangkan sebuah Program Mahasiswa Wirausaha (Student Euntrepeneur Program) yang meliputi program: Pendidikan Kewirausahaan (PMW, Kuliah Kewirausahaan (KWU), Magang Kewirausahaan (MKU), Kuliah Kerja Usaha (KKU), Coorperative Education (Co-op) dan inkubator bisnis (INBIS) yang mendukung terciptanya lulusan yang siap kerja dan job creator (Ditjen Dikti, 2010b). Hasil-hasil karya mahasiswa melalui kedua program tersebut belum ditindaklanjuti secara komersial menjadi sebuah embrio berbasis Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Iptek). Program pe ngua tan kele mbag aan yang mendorong pe ning kata n kr eati vita s be rwir ausa ha d an percepatan pertumbuhan wirausaha baru dengan basis Ip tek m asih perl u dik embangkan dan diperkuat sebagai lembaga yang berwenang dalama pengembangan kewirausahaan (Ditjen Dikti, 2010a). Dalam upaya menindaklanjuti pogram kreatif mahasiswa dan program kerja usaha yang telah melahirkan karya-karya inovatif dan kreatif mahasiswa, maka perlu ditindaklanjuti dengan program star-up business , di mana sebaiknya mahasiswa dihantarkan dan dibawa dalam dunia nyata wirausaha berbasis Iptek yang komersial ( profit-benefit ). Program ini sejalan dengan Strategi Perguruan Tinggi jangka panjang 2003-

463

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012

2010 (HELTS 2003-2010) yang menjelaskan bahwa, kompetensi lulusan dalam suatu bidang ilmu saja tidak lagi mencukupi untuk memasuki lapangan kerja yang semakin kompetitif. Lulusan harus pula memiliki kemampuan untuk belajar sepanjang hayat, kemampuan untuk menganalisis dan mensintesis, kemampuan untuk memanfaatkan peluang dengan keberanian mengambil resiko yang diperhitungkan (entrepreneurial spirit), sehingga diperlukan perubahan bukan saja pada proses pembelajaran tetapi juga pengembangan budaya dan spirit entrepreneurial. Hal ini sesuai pula dengan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 6 tahun 2009 tentang pengembangan ekonomi kreatif dengan enam sasaran utama tahun 20092015 (Depdiknas, 2010). Atas dasar uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa p elak sana an p rogr am kewirausahaan di berbagai perguruan tinggi dalam tahap pelaksanaannya dalam hal persiapan dan pelaksanaan program kewirausahaan dan peran unit baru yang berfungsi dan bertugas sebagai pengelola program kewirausahaan belum optimal. Di samping itu, penyediaan sarana dan prasarana penyelenggaraan kewirausahaan yang masih terbatas (sarana dan prsarana, mitra kerja, dana,dan tenaga dosen yang berkompetensi dalam m emberi bekal keterampilan kewirausahaa n Le bih lanj ut, dala m im plem enta si program kewirausahaan masing-masing perguruan tinggi belum memiliki standar minimal yang sama dalam operasionalisasi pelaksanaannya dan para alumni masih belum optimal menindaklanjuti/mewujudkan sebagai wirausaha sesuai dengan pengetahuan dan pengalaman serta keterampilan melalui pemagangan di mitra kerja selama mengikuti perkuliahan. Pe laksanaa n ke wira usahaan akan leb ih sempurna manakala perguruan tinggi memiliki jejaring kerja sama dengan DUDI untuk membentuk para lulusannya memiliki pengalaman langsung jenis bisnis yang akan dikembangkan. Untuk mewujudkan hal tersebut, antara lain dapat dilakukan melalui jejaring kerja dengan para alumni di mana mereka bekerja. Hal ini sebagai salah satu wujud kepedulian alumni terhadap alm amet er y ang seca ra p sikologi s me mili ki hubungan emosional yang lebih dekat dengan sesama alumni.

Simpulan dan Saran Simpulan Berdasarkan hasil kajian dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa: pertama, kompetensi lulusan perguruan tinggi yang dibutuhkan oleh para pemangku kepentingan ( stakeholders) belum sepenuhnya memenuhi kebutuhan dunia kerja. Diharapkan para lulusan perguruan tinggi memiliki ber baga i kompet ensi , antara lai n academ ic knowledge, skill of thinking, management skill dan communication skill. Kedua, para lulusan perguruan tinggi diharapkan pula memiliki keterampilan hidup (live skill) dan kemampuan beradaptasi serta kemampuan bersosialisasi (soft skill) terhadap lingkungan kerja dan memiliki kemauan belajar sepanjang hayat ( life-long education ). Ketiga, pe laksanaa n pe ndid ika n ke wira usahaan di perguruan tinggi masih belum berhasil sesuai dengan yang diharapkan, di mana masing-masing perguruan tinggi belum memiliki standar minimal pelayanan yang sama dalam melayani mahasiswanya yang mengikuti program pendidikan kewirausahaan. Keempat, beberapa perguruan tinggi telah berhasil dalam melaksanakan dan mengembangkan program pendidikan kewirausahaan, misalnya Universitas Brawijaya Malang di mana dalam pelaksanaan tersebut berbagai sarana dan prasarana telah cukup memadai termasuk jejaring kerja dengan mitra kerja bagi mahasiswa serta dosen p enga mpu prog ram Pendidikan Kewirausahaan. Perguruan tinggi swasta seperti Universitas Ciputra Surabaya juga telah dinilai berhasil karena sarana dan prasarana le bih mema dai, ter utam a mi tra kerj a unive rsit asny a se bagi an besa r be rada dal am kawasan industri pemilik universitas Ciputra (perusahaan milik Ciputra) sehingga sekaligus dapat menerima lulusan universitas tersebut secara bertahap dan berkesinambungan. Bagi perguruan tinggi yang telah dan sedang menyelenggar akan program kew irausaha an p ada umumnya memiliki kendala belum optimalnya unit baru yang khusus bertugas dan berfungsi sebagai pengelola kewirausahaan, serta masih belum efektifnya pemberdayaan unit konsultasi bisnis dan penempatan kerja (KBPK).

464

Siswo Wiratno, Pelaksanaan Pendidikan Kewirausahaan di Pendidikan Tinggi

Saran Atas dasar simpulan, maka disarankan agar perguruan tinggi: 1) memberikan materi Kewirausahaan lebih banyak praktik lapangan (learning by doing ) dibandingkan pemberian materi yang sifatnya simulasi dalam kondisi yang tidak riil. Di samping itu, dalam membekali berbagai kompetensi, perguruan tinggi melakukan update kurikulum yang berorientasi pada kebutuhan dunia kerja (demand driven) seperti academic knowledge , analitical skil , managerial skill dan communication skill; 2) memberikan keterampilan tambahan seperti keterampilan hidup (live skill) dan kemampuan beradaptasi serta kemampuan bersosialisasi (soft skill) terhadap lingkungan kerja dan memiliki kemauan belajar sepanjang hayat (life-long education); 3) mengusahakan standar pelayanan minimal dalam menyelenggarakan program pendidikan kewirausahaan sehingga pola penyele nggaraan kewirausahaan d apat mencapai sasaran secara optimal; 4) meningkatkan penerapkan Keputusan Presiden Nomor 6

Tahun 2009 tentang Ekonomi Kreatif dengan segala komponen yang diperlukan, antara lain melalui: a) pembenahan dan pemberdayaan keberadaan unit baru sebagai unit pengelola pr ogra m Pe ndid ikan Kew irausaha an d an konsultasi bisnis dan penempatan kerja (KBPK) dengan merumuskan kebijakan agar masingma sing mahasiswa seca ra i ndiv idu maup un pasangan/kelompok melakukan usaha kewirausahaan atau pengelolaan usaha sesuai bakat dan minatnya melalui pemberian dana bergulir; dan b) perguruan tinggi perlu merencanakan secara terencana, bertahap, dan berkesinambungan, dalam menyediakan infra struktur untuk menunjang kelancaran dan keberhasilan penyele nggg araa n k ewir ausahaa n di be rbag ai program studi. Di samping itu, koordinasi dan kerja sama/kemitraan atau jejaring kerja dengan DUDI sebagai mitra kerja perguruan tinggi juga perlu ditingkatkan serta memberdayakan alumni untuk melakukan jejaring kerja dan sinergi dalam dunia kewirausahaan.

Pustaka Acuan Anonim, Kurikulum Pendidikan Kewirausahaan Perlu Dirumuskan. (http://www.suarapembaruan.com/ News/2004/02/27/index.html) diakses pada tanggal 30 November, 2010. Badan Pusat Statistik. 2008. Sakernas Februari 2008: Penduduk Usia Kerja di Indonesia menurut Pendidikan Daerah 2008. 25 April 2009 http://www.nakertrans.go.id/pusdatin.html,3,291,pnaker. Diakses

Badan Penelitian dan Pengembangan. 2010a. Laporan Hasil Penelitian Alternatif Pelaksanaan Pendidikan
Kewirausahaan di Perguruan Tinggi, bekerjasama dengan Universitas Negeri Jakarta, Kemdiknas, Jakarta. Badan Penelitian dan Pengembangan. 2010b. Pedoman Umum Pengembangan Model Inkubator Bisnis Perguruan Tinggi, Balitbang Kemdiknas bekerja sama dengan Universitas Brawijaya, Malang. Callon, Jack D.1996. Competitive Adventage Trough Information Technology, Singapore, McGraw-HillBook Co. David Hunger. J. and Wheelen. Thomas L. 2003. Manajemen Strategis, ANDI: Yogyakarta. Departemen Pendidikan Nasional. 2003. Undang Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang sistem Pendidikan Nasional. Jakarta. Departemen Pendidikan Nasional. 2005. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor: 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan. Jakarta. Departemen Pendidikan Nasional. 2010. Kerangka Pengembangan Pendidikan Tinggi Jangka Panjang (HELTS 2003-2010). Kemendiknas. Jakarta.

465

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012

Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. 2009a. Pedoman Program Mahasiswa Wirausaha (PMW) Dikti. Jakarta: Direktorat Kelembagaan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. 2009b. Laporan PMW di Perguruan Tinggi (tidak dipublikasikan). Jakarta: Direktorat Kelembagaan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. 2010a. Pedoman Program Kreatifitas Mahasiswa. Direktur Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Depdiknas. Jakarta. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. 2010b. Program Pengembangan Budaya Kewirausahaan. Bab V. Panduan Pengelolaan Program Hibah DP2M Ditjen Dikti Edisi VII. Jakarta. Halexandria. 2004. (http://Halexandria.org/dward 333htm) diunduh pada tanggal 11 Juni 2009. Hendarman. 2011. Kajian Kebijakan PMW (Program Mahasiswa Wirausaha) dalam Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan Vol. 17. No. 8. Edisi November 2011, Balitbang, Kemdiknas, Jakarta. Ivancevich, John M., Donnely James H., Jr. James L Gibson. 1995. Fundamental of Management , USA: Richard D Irwin Inc,. Israel, Giana E. 2001. Competitiveness. 12 Desember 2009. Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2009 Tentang Pengembangan Ekonomi Kreatif. Jakarta. Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 045/U/2002 Tentang Kurikulum Inti Pendidikan Tinggi. Jakarta. Media Indonesia, 30 April 2007. Minimnya Minat Menjadi Pengusaha dalam Editorial Media Indonesia diunduh tanggal 1 Juni 2008. Stephane Garelli. 2003, Competitiveness of Nations: The Fundamentals, (http://members.shaw.ca/ compilerpress1/anno/gareel/ Fundamentals.htm, diunduh pada bulan Oktober 2009. Subijanto. 2012. Analisis Kebijakan Pendidikan Kewirausahaan di Sekolah Menengah Kejuruan, dalam Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol 18, No. 2 Edisi Juni 2012, Balitbang, Kemdikbud. Sukidjo. 2011. Membudayakan Kewirausahaan. WUNY Majalah Ilmiah Populer Tahun XII, Nomor 1, Januari 2011. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta. Suryana. 2006. KEWIRAUSAHAAN Pedoman Praktis: Kiat dan Proses Menuju Sukses. (edisi 3). Jakarta: Salemba Empat. Webster Noah. 1979. Websters New Twentieth Century: Dictionary Unabridged, USA: William Collins Publishers. (http//www.firelily.com/gender/giana) diakses pada tanggal

466

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012

PENGEMBANGAN KURIKULUM SEBAGAI INTERVENSI KEBIJAKAN PENINGKATAN MUTU PENDIDIKAN (CURRICULUM DEVELOPMENT AS A MEANS FOR THE IMPROVEMENT OF EDUCATION QUALITY)
Bambang Indriyanto Pusat Penelitian Kebijakan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan e-mail: bambang.indriyanto@kemdikbud.go.id
Diterima tanggal: 23/12/2012, Dikembalikan untuk revisi: 29/12/2012, Disetujui tanggal: 31/12/2012 Abstrak: Tujuan dari tulisan ini adalah mengajukan pengertian bahwa kurikulum dapat menjadi titik tolak bagi peningkatan mutu pendidikan. Berdasarkan pernyataan tersebut, tulisan ini mengajukan argumentasi bahwa efektivitas implementasi kurikulum tidak hanya terletak pada isi konsep yang komprehensif, tetapi juga pada kondisi kurikulum tersebut akan dilaksanakan. Kondisi tersebut meliputi kompetensi guru dan kecukupan ketersediaan sarana pendidikan pada tingkat sekolah. Pengembangan Kurikulum 2013 oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang sekarang sedang berlangsung sedang dicermati oleh anggota masyarakat. Hal ini tentu saja merupakan konsekuensi kurikulum sebagai bagian dari kebijakan pendidikan. Ada yang mempertanyakan tentang konsepnya, tetapi ada juga yang setuju dengan ide Pengembangan Kurikulum 2013. Namun demikian tulisan ini berpendapat, meskipun ada yang tidak setuju atau setuju, bahwa faktor yang mendasari efektivitas pelaksanaan kurikulum adalah faktor manajemen. Faktor manajemen yang dimaksud meliputi manajemen pada tingkat sekolah dan kelas. Kehadiran teknologi informasi praktis pada setiap aspek kehidupan membawa dampak yang positif terhadap dunia pendidikan. Kata kunci: mutu pendidikan, kurikulum, manajemen pendidikan, kepemimpinan Abstract: The objective of this paper is to foster the notion that curriculum can serve as a standpoint to improving the quality of education. By stating so, it proposes an argument that the effectiveness of their implementations do not only depend on comprehensiveness of the concept, but also on their relevance to the circumstances in which they are going to be implemented. They include teacher competencies and the adequate availability of education facilities at school level. The on going curriculum development called Curriculum 2013 by the Ministry of Education and Culture are undergoing scrutinization by publics. This has been a consequence of curriculum as a part of education policies. Some cast doubts about the concept, some other support the idea of the development of curriculum 2013. This paper, however, argues, in spite of pro and cons, that management is an underlying factor which ensures the effectiveness of the implementation of the curriculum 2013. The concept of management consists of that in school and classroom levels. The present of information technology virtually in any walk of life, has positive impacts on education. Keywords: quality education, curriculum, education management, leadership.

Pendahuluan Keb ijak an p eningkat an m utu pend idik an merup akan kebij akan yang sangat dinamis, karena peningkatan mutu pendidikan tidak pernah akan berhenti pada satu titik tertentu. Per440

kembangan berbagai aspek kehidupan, baik sosial, politik, dan ekonomi, serta terutama ind ustr i, i lmu peng etahuan, dan tek nologi memerlukan sumber daya manusia yang bermutu.

Bambang Indriyanto, Pengembangan Kurikulum sebagai Intervensi Kebijakan Peningkatan Mutu Pendidikan

Pendidi kan

merupaka n

sa rana

unt uk

faktor yang secara langsung berpengaruh dalam pr oses keg iata n be laja r me ngaj ar. Seca ra kategoris faktor tersebut meliputi hardware yang terdiri atas sarana dan prasarana, humanware yang terdiri atas pendidik dan tenaga kependidikan, dan software yang terdiri atas kurikulum, met ode meng ajar. Ef ekti vita s ke tiga fak tor tersebut tergantung dari sistem manajemen, terutama yang diadopsi oleh sekolah, karena si stem manjeme n me nent ukan kom bina si pemanfaatan ketiga secara lebih efisien. Di samping itu, dengan adanya konteks birokrasi dan geografis yang berbeda-beda antar satu sekolah dengan sekolah lainnya, manajemen menjadi faktor strategis sebagai dasar untuk mencapai target pendidikan yang ditetapkan oleh sekolah. Manajemen pada salah satu sekolah dapat saja memusatkan pada pemanfaatan sarana yang sudah tersedia di sekolahnya, dan manajemen pa da sekol ah l ain leb ih m emusatka n pa da penyediaan sarana pendidikan, karena di sekolah tersebut belum tersedia sarana yang memadai untuk mendukung kegiatan belajar-mengajar yang efektif di sekolah. Kurikulum merupakan bagian dari software ba gi b erla ngsungny a ke giat an b elaj ar d an mengajar yang efektif. Tidak seperti hardware dan humanware , kurikulum tidak merupakan faktor det ermina n terhadap k eberhasilan kegia tan belajar mengajar di ruang kelas. Kurikulum tidak bisa dimanipulasi agar kegiatan belajar-mengajar di kela s da pat berl angsung lebi h ef ekti f. Sebaliknya, kurikulum menjadi titik tolak untuk

menghantar pembentukan sumber daya manusia yang bermutu. Dasar teoritis dari argumentasi ini yaitu human capital theory . Argumentasi yang dikemukakan oleh teori ini yakni investasi pada manusia akan meningkatkan kompetensinya, se hing ga m embe rika n k ontr ibusi te rhad ap pertumbuhan ekonomi (Schultz, 1977; Checchi, 2005). Seiring dengan adanya bukti empiris yang menunjukkan kontribusi pendidikan terhadap pertumbuhan ekonomi yang semakin nyata, maka pada sekitar pertengahan tahun 1990 human capital theory dikembangkan menjadi konsep knowledge based economy. Konsep ini memperkuat human capital theory dengan penekanan bahwa sumber daya manusia tidak hanya memberikan kontribusi yang lebih tinggi dibanding dengan faktor mesin dalam proses produksi, tetapi faktor sumber daya manusia merupakan faktor produksi yang terbarukan dan tersedia dalam jumlah yang melimpah (non-scarcity) (Petters, 2010; Powell & Snellman, 2004; McInstosh, 2008). Meskipun dari perspektif ekonomi, kontribusi pendidikan cenderung dilihat dari kontribusinya te rhad ap p ertumbuhan e konomi, kont ribusi pendidi kan terhadap ekonomi mem puny ai dampak externality. Sumber daya yang berkualitas tidak hanyak untuk mendukung pertumbuhan ekonomi , te tapi jug a se baga i modal sosi al pembentukan harmonisasi dalam lingkungan kerja (Flap & Boxman, 2001) dan menciptakan suasana kehidupan yang liberal dan demokratis (Dewey, 2004 & Hutchin, 1999). Be rdasarka n pa da p emba hasa n ya ng diketengahkan di atas, maka peningkatan mutu pendidi kan tent u sa ja t idak hanya b erar ti meningkatkan prestasi akademis saja, tetapi membentuk sikap. Sosok manusia berkualitas tidak hanya tercermin dalam kompetensi berpikir, te tapi jug a pa da k ompe tensi be rsik ap d an berperilaku. Dalam ungkapan Ki Hajar Dewantara, pendidikan merupakan suatu metode: memberi ilmu atau pengetahuan, serta juga memberi kecakapan kepada anak-anak, yang kedua-duanya dapat berfaedah buat hidup anak-anak baik lahir maupun batin (Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa, 1977). Untuk mendukung kebijakan peningkatan mutu pendidikan intervensi diarahkan pada faktor-

memanipulasi hardware dan humanware, sehingga kegiatan berlajar menjadi lebih efektif. Searah dengan upaya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang pada saat ini sedang melakukan Pengembangan Kurikulum 2013, tujuan tulisan ini yaitu untuk mengetengahkan argumentasi di balik upaya Pengembangan Kurikulum 2013. Argumentasi tersebut yaitu bahwa Pengembangan Kurikulum 2013 merupakan intervensi kebijakan mutu pendididikan dengan mempertimbangkan keseimbangan keterampilan, sikap, dan pengetahuan. Dalam mengetengahkan argumentasi tersebut perspektif yang digunakan bukan perspektif ped agog is y ang seca ra m enda lam meli hat kom pone n-komponen p anda ngan fil osof is

441

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012

maupun epistimologis tentang pengembangan kur ikul um. Seba liknya, tuli san ini meli hat Pengembangan Kurikulum 2013 sebagai suatu agenda kebijakan peningkatan mutu pendidikan. Meskipun demikian, tulisan ini tidak bisa sama sekali menghindari diskusi berkenaan kurikulum dalam perspektif pedagogis. Di samping untuk menjawab keberhasilan implementasi Kurikulum 2013 tersebut, tulisan ini juga mengajukan argumentasi bahwa faktor kemampuan guru menjadi faktor utama bagi keberhasilan implementasi Kurikulum 2013. Na mun demi kian, ke mamp uan guru dap at mendukung keberhasilan implementasi Kurikulum 2013, jika kepemimpinan kepala sekolah sebagai manajer sekolah dan kepemimpinan pedagogis guru dapat berlangsung secara efektif. Pada saat tulisan ini disusun, Pengembangan Kurikulum 2013 sedang pada taraf uji publik, sehingga masih terbuka pintu kemungkinan terjadi per ubahan w alaupun perubaha n te rseb ut diharapkan tidak secara mendasar akan mengubah niat Kementerian Pendidikan dan Kebuda yaan unt uk m elak uka n Pe ngem bang an Kurikulum 2013. Artinya hasil uji publik diharapkan tid ak m enghenti kan upay a pe ngem bang an kurikulum tersebut. Pengembangan kurikulum telah menjadi keputusan Pemerintah. Dengan argumentasi tersebut, tulisan ini mengajukan suatu proposisi bahwa pengembangan kurikulum merupakan langkah imperatif sebagai titik tolak peningkatan mutu pendidikan. Pengemb anga n kurikulum mema ng a kan menimbulkan konsekuensi terhadap tata kelola pada tingkat kelas dan sekolah, bahkan sampai pada ekstra-organisasi sekolah seperti dinas pendidikan dan kementerian. Namun, baik ada maupun tidak ada pengembangan kurikulum, perubahan tata kelola tersebut akan terjadi. Perubahan secara sistematis dan terkoordinasi di hara pkan aka n te rjad i ke tika ini siat if pengembangan kurikulum merupakan intervensi kebijakan pendidikan dari Pemerintah. Kajian Literatur dan Pembahasan Kurikulum sebagai Entitas Kebijakan Salah satu indikator utama untuk mendeteksi bahwa Pengembangan Kurikulum 2013 merupakan intervensi kebijakan peningkatan mutu pen-

did ikan, ji ka i si K urik ulum 201 3 te rseb ut mempunyai keterkaitan linier dengan rumusan pada peraturan perundang-undangan. Pengembangan Kurikulum 2013 merujuk pada tujuan si stem pendidi kan nasiona l se pert i ya ng dinyatakan pada Pasal 2 Undang-Unidang nomor 20 Tahun 2 003 tent ang Sistem Pend idik an Nasional yang berbunyi: Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat da lam rang ka m ence rda skan kehidup an bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (Depdiknas, 2003). Mi si y ang disa mpai kan pada Pasal i ni mempunyai keterkaitan dalam tiga hal. Pertama, pend idikan tidak hanya dimaksudkan untuk mengembangkan kecerdasan intelektual, tetapi jug a kece rdasa n emosional dan k ecerda san religius. Kedua, Pasal ini juga menekankan bahwa pendidikan mendorong terhadap pembentukan manusia Indonesia yang sehat, dan ketiga Pasal ini menekankan adanya sikap mandiri. Kemandirian merupakan modal bangsa untuk menjadi bangsa yang mandiri dan sejajar dengan bangsa lain. Sebagai intervensi kebijakan, Pengembangan Kur ikul um 2 013 mend apat tanggap an d ari berbagai kalangan anggota masyarakat dengan berbagai latar belakang sosial dan politik. Tidak menutup kem ungk inan tanggap an t erse but cenderung mengandung kesalahan interpretasi. Pada harian Kompas hari Senin, 26 November 2012 terdapat artikel berjudul Prospek Kurikulum Baru terdapat pernyataan yang tidak tepat. Pernyataan tersebut berbunyi Di SD misalnya, guru bidang studi studi IPA, IPS, dan Bahasa Inggris akan bagaikan di-PHK (Suwignyo, 2012). Pernyataan ini mengandung dua ketidaksesuaian. Pertama, guru di SD pada umumnya merupakan guru k elas. Bukan sel ureuhnya gur u ma ta pelajaran. Oleh karena itu, tidak akan ada guru yang di PHK meskipun dalam Pengembangan Kurikulum 2013 ada skenario mengintegrasikan

442

Bambang Indriyanto, Pengembangan Kurikulum sebagai Intervensi Kebijakan Peningkatan Mutu Pendidikan

mata pelajaran IPA ke dalam matapelajaran Ba hasa Ind onesia. Jika ske nari o te rseb ut terrealisasi, maka tidak akan ada guru SD yang di PHK. Kedua, pada kurikulum SD tidak pernah ada matapelajaran Bahasa Inggris yang diwajibkan untuk diajarkan. Jika Pengembangan Kurikulum 2013 diimplementasikan tidak ada guru Bahasa Inggris yang akan di-PHK karena memang pada kurikulum yang lama (sebelumnya) tidak ada matapelajaran Bahasa Inggris yang diwajibkan diajarkan di SD. Adanya matapelajaran bahasa Inggris yang diajarkan kepada siswa SD bukan merupakan kewajiban yang ditetapkan oleh Pemerintah, baik Pusat maupun daerah. Ide untuk mengajarkan matapelajaran Bahasa Inggris kepada siswa SD merupakan inisiatif dari SD yang bersangkutan. Pemerintah tidak melarang atau membolehkan jika ada SD yang mengajarkan matapelajaran Bahasa Ingg ris kepa da siswa nya deng an beberapa syarat, antara lain: tidak mengganggu pencapaian matapelajaran yang diwajibkan di SD dan jika ada guru SD yang mengajar Bahasa Inggris, maka konsekuensi untuk memberikan gaji kep ada guru te rsebut merupakan tangg ung jawab SD yang bersangkutan. Di samping itu, dimensi politik selalu akan muncul dalam proses pegembangan Kurikulum 2013. Harian Jakarta Globe (29 November 2012) me nyaj ikan jud ul a rti kel yang cenderung menyampaikan pesan pesimisme, sabagai berikut Plans for New Curriculum Have Led to Confusion, Lack of Confidence. Lebih lanjut, pada tubuh artikel disajikan kalimat berbunyi People in the upper rungs of bureaucracy seem to compete with each ot her in i ssui ng m ore and more confusi ng statements and expalanations. Komentar tersebut lebih melihat pengembangan kurikulum yang sedang dilaksanakan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sebagai proses politik daripada proses pedagogis. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada acara uji publik Pengembangan Kurikulum 2013 yang diselenggarakan di Jak arta pad a ta ngga l 30 Nov embe r 20 13, me nyat akan bahwa p erub ahan kur ikul um merupakan suatu keharusan, karena adanya pengembangan peradaban. Tidak hanya itu, pada abad ini terjadi perubahan dalam pembelajaran. Perubahan tersebut meliputi empat aspek, yaitu:

informasi, komputasi, otomasi dan komunikasi. Asp ek i nfor masi menekankan bahw a si swa di dorong untuk mencar i ta hu, di sampi ng mendapatkan pengetahuan dari guru. Pengetahuan dari guru menjadi dasar bagi siswa untuk mencari inf orma si l ebih lanjut. Kom puta si merupakan suatu proses pengembangan daya nalar siswa dengan tidak hanya mampu menjawab persoalan yang dihadapi, tetapi juga mengembangkan sikap bertanya ( skeptisme ) terhadap persoalan yang dihadapi oleh siswa. Penekanan pada otomasi mendorong siswa untuk lebih berpikir analitis. Setiap kejadian yang ada di seki tar mere ka t idak ter jadi secara independen, tetapi ada hal lain yang mempengaruhi. Kema mpua n untuk meng etahui keterkaitan antara satu kejadian dengan kejadian lainnya menjadi siswa mempunyai sikap curious terhadap apa yang terjadi. Semakin tinggi jenjang pendidikan yang ditapakinya, semakin abstrak sikap courious yang dimiliki oleh siswa. Komunikasi merupakan suatu keterampialn untuk menyampaikan pendapat tentang apa yang diketahuai kepada siswa lain, dan menerima pendapat dari siswa lain. Proses komunikasi ini merupakan sarana akumulasi pengetahuan pada diri siswa. Dengan mempertimbangkan empat aspek te rseb ut, kuri kulum ya ng r enca nany a ak an dib erla kuka n pa da b ulan Jul i 20 13 a kan mengantarkan siswa Indonesia menjadi siswa yang kreatif, inovatif, dan kompetitif. Hal tersebut te refl eksi pad a si kap, ket eram pila n, d an pengetahuan. Kompetensi sikap merefleksikan rasa tanggung jawab kepada diri sendiri, dan juga kepada masyarakat dan lingkungan di mana dia hi dup. Ket eram pila n m erup akan ind ikat or kompetensi yang mengekspresikan kemampuan pribadi, baik dalam hal memecahkan masalah yang dihadapi diri sendiri maupun masalah-masalah lingkungan sosial maupun fisik. Pengetahuan merupakan dasar bagi pengembangan kedua indikator kompetensi, yaitu sikap dan keterampilan. Pengetahuan merupakan kompetensi ya ng t idak secara lang sung nam pak keti ka seseorang tidak telibat dalam suatu aktivitas. Dengan kat a lain, perwujudan p engetahuan dapat terlaksana melalui media kompetensi, sikap, dan keterampilan.

443

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012

Di sam ping per timb anga n di ata s, p engembangan Kurikulum 2013 merupakan respons terhadap berbagai kritik dan komentar dari berbagai lapisan dan kelompok masyarakat. Wapres Boediono (2012) di harian Kompas, misalnya, melontarkan kritiknya. Dalam artikel yang berjudul Pendidikan Kunci Pembangunan Wapres Boediono menyatakan bahwa belum terwujudnya hasil pendidikan yang maksimal karena belum adanya konsep pendidikan yang jelas. Akibatnya, kurikulum cenderung memuat beban berlebihan yang harus dipelajari oleh siswa. Di lain pihak, meskipun kurikulum telah memuat berbagai hal, tetapi masih dinilai belum menghasilkan kompetensi seimbang antara penguatan karakter dan daya nalar siswa. Komentar yang dikemukakan oleh S. Rohman (2012) dan A. Wisnu (2009) menunjukkan kurangnya muatan karakter pada kurikulum yang berlaku saat ini, sementara argumentasi lain menyatakan bahwa kurikulum masih belum meningkatkan kemampuan analisis siswa karena pengajaran Sains masih sebatas teori (Kompas, 7 Juni 2012). Tulisan ini tidak bermaksud membenarkan atau menyalahkan kritik tersebut, tetapi menunjukkan suatu kecenderungan, yaitu ketika pendapat tersebut telah menyebar di publik, maka pendapat tersebut akan membentuk opini publik, seolah-olah memang hal tersebut yang menjadi permasalahan kurikulum. Kur ikul um sebag ai i nter vensi ke bija kan peningk atan mut u pe ndid ikan mem puny ai berbagai bentuk yang memungkinkan menimbulkan berbagai interpretasi. Scott ( 2006), misalnya mengidentifikasi enam sudut pandang tentang kurikulum. Keenam sudut pandang ini menyajikan perbedaan sosok kurikulum yang terdiri atas foundationalism, conventionalism , instrumentalism, technical rationality, critical pedagogy, dan transgression . Keenam sudut pandang tersebut akan dielaborasi secara lebih rinci di bawah ini. Foundationalism menyajikan sosok kurikulum sebagai dasar pembentukan pola perilaku, pola si kap, suatu dan pol a be rpi kir. ba hwa Seb agai seti ap dasar pembentukan ketiga pola tersebut, maka menjadi keha rusa n p rogr am pengajaran mempunyai dasar kurikulum yang secara seim bang meng andung a spek sik ap, perilaku, serta pemikiran.

Dalam melihat sosok kurikulum seperti itu, sudut pandang foundationalism mengemukakan argumentasi bahwa knowlegde merupakan titik dasar untuk membentuk ketiga pola. Dalam hal ini sudut pandang foundationalism membedakan antara knowledge dengan rationality . Knowledge me rupa kan muat an i nformasi ya ng d iseb ut dengan pengetahuan, sedangkan rationality lebih merupakan pemanfaatan knowledge dalam suatu tindakan yang diekspresikan dalam pola sikap, pola perilaku, dan pola pikir. Conventionalism memandang kurikulum sebagai canonical texts that constitute the various disciplinary traditions (Scott, 2006) yang perlu untuk dipreservasi sebagai suatu tradisi susunan pengetahuan (body of knowledge). Tidak seperti pandangan yang diajukan oleh foundationalism , pandangan conventionalism mempunyai sudut pandang lebih praktis. Kurikulum merupakan sarana untuk menghantarkan siswa menjadi manusia yang mempunyai kompetensi sehingga dia mampu bersaing dalam pasar kerja. Oleh kare na itu, sudut panda ng convensi onal ism cenderung l ebih mengara h pa da k ejur uan daripada akademis. Namun demikian, bukan berarti bahwa sudut pandang conventionalism tidak setuju dengan pendidikan umum seperti SMA, penekanan sudut pandang ini yakni bahwa setiap kurikulum ditujukan untuk memberikan bekal kepada para siswa, sehingga mereka siap untuk memasuki pasar kerja, Instrum enta lism me mand ang kur ikul um seba gai ala t (instrumen) untuk menjad ikan (bukan mengantarkan) setiap siswa menjadi manusia yang bert anggung ja wab terha dap dirinya, sehingga mereka dapat hidup bahagia ( having good life ). Kritik yang disampaikan ter hadap pandanga n instrument alism y ai tu tentang definisi hidup bahagia yang tidak bisa diukur. Pandangan ini memang tidak memberikan definisi yang jelas tentang hidup bahagia. Namun demikian, pandangan ini tidak juga menolak bahwa hidup bahagia dapat diukur dengan kriteria ekonomi ( economism ), tetapi kriteria ekonomi bukan satu-satunya ukuran hidup bahagia. Technical rationality merupakan pandangan yang tidak beda, terutama dengan pandangan instrumentalism dalam konteks bahwa kurikulum merupakan sarana untuk menghantarkan siswa

444

Bambang Indriyanto, Pengembangan Kurikulum sebagai Intervensi Kebijakan Peningkatan Mutu Pendidikan

menjadi manusia dewasa yang bertanggung jawab. Pandangan ini juga mempunyai kesamaan dengan sudut pandang dari foundationalism, conventionalism dalam arti kurikulum mempunyai muatan knowled ge di dalamnya . Perbe daan pandangan technical rationality dengan pandangan lainnya terletak pada penekanan konsep knoweledge yang terkandung dalam kurikulum. Pandangan ini secara eksplisit membedakan antara knowledge yang sudah terkandung dalam kurikulum dengan knowledge creation. Knowledge creat ion m erup akan pr oses pe ngem bang an berdasarkan knwoledge yang para siswa peroleh dari kurikulum. Knowledge creation ini akan menghantarkan mereka menjadi mandiri dan ber tang gung jaw ab k etik a me reka tum buh dewasa. Dalam perspektif ekonomi, knowledge yang sudah terkandung dalam kurikulum merupakan initial endowment . Kemampuan kurikulum untuk menjadikan setiap siswa mempunyai nilai tambah ketika dalam proses belajar tersebut tumbuh dari knowledge creation. Dalam konsep ini, kurikulum hampir sama maknanya dengan learning. Dalam konsep learning terdapat proses dialogis antar guru sebagai sumber dan siswa sebagai penerima knowledge. Lebih tepatnya konsep learning yang dimaksud yaitu learning maps , seperti yang didefinisikan oleh Rose dan Nicholl (1997): ..are a dynamic way to capture points of informations. Dalam definisi ini kata points of information mengandung makna bahwa informasi yang dimaksud bukan sekedar informasi dalam pengertian khalayak pada umumnya, tetapi informasi yang mengandung makna knowledge creation. Critical pedagogy menyajikan kurikulum sebagai entitas yang lebih radikal, karena dalam pandangan ini menjadikan kurikulum bukan hanya sebagai sarana untuk mentransfer knowledge dari guru kepada siswa, tetapi the curriculum should be enacted so as to identify and unmask those human beliefs and practices that limit freedom, justice and democracy ( Scott, 2006 ) . Dalam per spek tif poli tik yang ekstrim , kurikulum merupakan sarana indoktrinasi bagi siswa, se hing ga m erek a ak an m empunyai sua tu pe maha man tent ang kehidup an sosia l ya ng mereka hadapi sesuai dengan apa yang mereka yakini.

Transgression menampilkan sosok kurikulum yang didasarkan pada perspektif postmodernism. Di antara ciri-ciri yang menonjol dari pandangan transgression yaitu melihat kurikulum dari sudut pandang yang lain daripada apa yang secara konvensional orang me mand ang kuri kulum. Pandangan ini melihat kurikulum sebagai kemauan penguasa. Dengan pendekatan binary, pengembangan kuri kulum me rupa kan dekostruksi kemauan penguasa kepada pihak lain. Namun demikian, tidak ada definsi yang jelas apa yang dimaksud dengan pihak lain tersebut. Upaya dekonstruksi tidak hanya pada isi kurikulum, tetapi juga termasuk pada bahasa dan isi dari buku teks yang digunakan dalam proses kegiatan belajar mengajar. Dengan demi kian, pe rmasalahan y ang menjadi pusat perhatian dari sudut pandang ini yakni yang penting dari sosok kurikulum, bukan seberapa komprehensif isi kurikulum tersebut, tetapi apakah isi kurikulum tersebut sebagai refleksi dari kemauan penguasa atau bukan. Dalam konteks pengembangannya ada suatu proses dialogis antara penguasa dan pihak lain (guru?) jika kurikulum harus mempunyai tingkat akseptabilitas tinggi (Reid, 2005). Dalam proses neg osia si, lebi h da ri seked ar d ialog, b aik penguasa atau pihak lain sebagai pelaksana kurikulum memp unya i d aya tawa r pa da proporsinya masing-masing. Konsekuensi jika tidak tercapai kesepakatan, maka kurikulum tidak dilaksanakan. Dalam suatu sistem pendidikan, meskipun mel alui proses negosiasi ya ng m ungk in berlangsung lama, tidak ada kegiatan belajar mengajar yang tidak didasarkan pada kurikulum. Kurikulum tetap merupakan suatu dasar bagi dil aksa naka nnya keg iata n me ngaj ar. Keti ka kurikulum diar ahka n untuk mengakumula si ke masl ahat an p edag ogi s ba gi semua siswa secara non-diskriminatif, maka pengembangan kur ikulum senantiasa didasarkan pada p ertimbangan moral (Hausman dan McPherson, 2006). Memasukkan pertimbangan moral tidak berarti meniadakan proses negosiasi dengan pihak sekolah, negosiasi yang berlangsung tidak didasarkan pada mempertahankan kepentingan masing-masing, tetapi lebih penting daripada itu, negosiasi merupakan cara untuk merekonsiliasi

445

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012

subyektivitas dari masing-masing pihak, sehingga kurikulum dapat memfasilitasi minat dan bakat siswa dari berbagai latar belakang yang berbedabed a, b aik perb edaa n it u ad alah aga ma, stratifikasi sosial, atau karakter pribadi siswa. Faktor Pendukung Implementasi Kurikulum Efektivitas kurikulum sebagai intervensi kebijakan peningkatan mutu pendidikan bukan terletak pada perumusan isinya, tetapi terutama pada pelaksanaannya. Namun demikian, pelaksanaan kurikulum tidak juga bisa dilaksanakan jika misi dan isi kurikulum di luar kemampuan para guru untuk memahaminya, sehingga mereka tidak dapat mengartikulasikan isi kurikulum menjadi topik bahasan dari satu atau lebih mata pelajaran. Dengan kata lain, dapat dinyatakan bahwa ketika misi dan isi kurikulum merupakan ungkapan utopis (Halpin, 2006), kecil kemungkinan isi kurikulum tersebut dapat direalisasi dalam suatu proses interaksi di dalam ruang kelas melalui kegiatan belajar mengajar yang melibatkan pihak, yaitu guru dan siswa. Walker (1992) meringkasnya dengan perny ataa n seb agai beri kut: No curr iculum develop ment i s possi ble wit hout assumptions about how learning and teaching can and should proceed. Salah satu argumentasi menyatakan bahwa efektivitas implementasi kurikulum tergantung pada kompetensi guru dan sarana yang tersedia di sek olah yang me mfasilit asi guru dal am me ngar tikulasi top ik- topi k ba hasa n ya ng dianjurkan kurikulum. Diperlukan software untuk memfasilitasi maksimalisasi peran guru dan pemanfaatan sarana untuk mencapai hasil yang maksimal. Sofware tersebut yaitu manajemen pendidikan, baik di tingkat kelas, sekolah maupun ekstra-organisasi sekolah seperti kantor dinas atau Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Tul isan ini mem usat kan perhatia n pa da manajemen sebagai media untuk maksimalisasi peran guru dan ketersediaan sarana di sekolah. Manajemen yang dimaksud yaitu manajemen sekolah yang berada di bawah pengendalian kepala sekolah, manajemen kelas yang berada di bawah pengendalian guru. Secara definisi manajemen merupakan suatu proses pengalokasian dan pengaturan sumber daya untuk memperoleh hasil optimal (Coleman,

2010) dan proses optimalisasi tersebut hanya dapat berlangsung dalam suatu organisasi karena

Management is the specific and distinguishing organ


of any and all organizations ( Drucker , 1999). Me ngap a de miki an? kare na d alam sua tu organisasi terdapat aturan main yang diformalkan dan pimpinan yang mengatur proses tersebut. Peran pemimpin yang menentukan arah alokasi dan mobilisasi sumber daya yang tersedia di suatu organisasi. Dalam konteks pelaksanaan kurikulum kepala sek olah mer upak an p emim pin orga nisa si pendidikan yang disebut sekolah. Kepala sekolah menentukan alokasi sumber dana dan memobilisasinya menjadi target-target pendidikan yang akan dicapai pada periode tertentu. Karena peran ini, maka kepala sekolah menjadi critical factor bagi keberhasilan pelaksanaan kegiatan mengajar di sekolah (Earley dan Weindling; 2004). Dalam mengelola kurikulum sebagai program pendidikan yang harus dijabarkan dalam kegiatan belajar, kepala sekolah mempunyai dua peran, yaitu sebagai manajer kurikulum dan manajer program. It is classroom practice that has the most direct impact on student learning demikian dinyakatan oleh Hopkins (2001). Implikasi dari pernyatan ini yaitu bahwa pusat perhatian kepala sekolah, baik dalam fungsinya sebagai manajer program maupun manajer kurikulum dinamika yang terjadi pada ruang kelas. Apa yang terjadi dalam kelas memang merupakan black box yang hanya diketahui oleh guru dan siswa. Namun demikan, apa yang terjadi di dalam kelas bukan merupakan suatu kondisi di luar kendali kepala sekolah. Kegiatan belajar mengajar yang terjadi dalam ruang kelas melibatkan tiga faktor yaitu: guru, siswa, dan sarana pendidikan yang dimanfaatkan oleh guru dalam mengajar. Di antara tiga faktor tersebut, faktor sarana yang berada dalam kendali penuh kepala sekolah, dalam arti kepala sekolah dapat menentukan jumlah dan jenis sarana yang diperlukan. Adapun faktor guru dan siswa merupakan dua faktor yang tidak dapat sepenuhnya dalam kendali kepala sekolah. Dimensi kecerdasan dan motivasi tidak sepenuhnya dalam kendali kepala sekolah. Berkenaan dengan motivasi dan kecerdasan guru dan siswa yang dapat dilakukan oleh kepala sekolah yaitu menciptakan kondisi

446

Bambang Indriyanto, Pengembangan Kurikulum sebagai Intervensi Kebijakan Peningkatan Mutu Pendidikan

yang kondusif bagi terciptanya kegiatan belajarmengajar di kelas yang efektif. Pencipt aan kond isi yang kondusi f ba gi terselengaranya kegiatan belajar dan mengajar yang efektif muncul dalam peran kepala sekolah sebagai manajer kurikulum. Sebagai manajer kurikulum, kepala sekolah memastikan empat hal. Pertama, terciptAnya kesempatan bagi guru untuk mengartikulasikan isi kurikulum menjadi topiktopik bahasan yang kontekstual dan relevan dengan tingkat daya pikir siswa dan lingkungan sosial siswa. Kedua, terciptanya kondisi bagi perubahan dan pengembangan, baik pada guru maupun siswa sebagai bagian dari proses kreatif. Ketiga, terciptanya kesempatan, terutama bagi guru, untuk mendapatkan masukan terhadap metode belajar yang digunakan oleh guru dalam menciptakan kegiatan belajar mengajar yang efektif di kelas. Masukan tersebut berasal dari berbagai pihak termasuk dari siswa. Keempat, mendorong guru untuk mempunyai sensitivitas terhadap berbagai perubahan untuk dipertimbangkan dan diadopsi dalam pengembangan metode belajar dan cara pencapaian isi kurikulum kepada siswa (Duignan & Macpherson, 1992). Dala m prakt iknya pe ran kep ala sek olah sebagai manajer kurikulum dan manajer program berhimpit. Perbedaan yang ada hanya pada tataran akademis. Dengan alasan itu, tulisan ini mengide ntif ikasi dua pe ran kepa la sekol ah se baga i pr ogra m ma naj er. Pert ama adal ah kemampuan untuk menetapkan tujuan strategis pendidikan pada tingkat sekolah. Kemampuan ini menjadi dasar d alam alokasi sum ber dan kompetensi guru yang diperlukan untuk dapat merealisasikan misi sekolah. Tujuan strategis ini tentu saja tidak hanya merujuk pada pencapaian yang telah diperoleh oleh sekolah pada masa lalu, tetapi juga menyesuaikan dengan perkembangan di luar bidang pendidikan. Penentuan tujuan strategis ini didasarkan satu argumentasi bahwa hasil pendidikan tida k diarahkan pada pencaipaian internal utility, tetatpi lebih dari itu, yaitu ext ernal utili ty di ma na ke gunaan sert a pe rkem bang an unt uk i lmu mendukung, misalnya, pertumbuhan ekonomi, dem okra tisa si, pengetahuan dan teknologi. Kedua, kemampuan untuk mengidentifikasi learning needs siswa yang te rdaf tar pada sek olah yang di pimp inny a.

Pemahaman learning needs menentukan tingkat kebutuhan sarana dan gaya mengajar guru agar setiap siswa dapat mengembangkan minat dan bakatnya secara maksimal. Kemampuan untuk mengide ntif ikasi lea rning nee ds i ni leb ih ber orie ntasi pa da k ondi si i nter nal sekolah daripada eksternal sekolah (Conger & Xin 2000). Efektivitas peran kepala sekolah sebagai manajer kur ikul um d an m anaj er p rogr am merupakan dua sisi dari satu mata uang. Kedua sisi tersebut harus hadir secara bersama-sama dalam proporsi yang setara. Pengembangan Kurikulum 2013 yang sedang dilaksanakan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada saat ini memerlukan dukungan kepala sekolah dengan dua sisi kepemimpinan ini. Kedua sisi kepemimpinan kepala sekolah ini merupakan kepemimpinan edukatif, dengan elaborasi sebagai berikut: the educative leader is a negotiator, an analyst of educational situations, an evaluator of the relative merits of a variety of often conflicting viewpoints, a confident decision maker, a teacher, and, most importantly, a learner. The leader brings all these together in curriculum development (Walker, 1992). Seb agai mana dik etengahk an di at as efektivitas implementasi kurikulum merupakan hasil rekayasa kepemimpinan kepala sekolah, baik sebagai manajer kurikulum maupun manajer program. Pada pembahasan di atas juga diketengahkan bahwa apa yang terjadi di ruang kelas merupakan fenomena black box. Hanya guru dan siswa yang mengetahui apa yang sesungguhnya terjadi di dalam ruang kelas ketika kegiatan belajar mengajar terjadi. Kepala sekolah tid ak b isa seca ra l angsung meng inte rvensi terhadap apa yang terjadi di dalam ruang kelas. Sebaliknya, peran kepemimpinan kepala sekolah menciptakan kondisi yang memungkinan kegiatan belajar mengajar di ruang kelas yang berlangsung secara efektif dapat terwujud jika didukung oleh para guru yang kompeten. Kompetensi guru merupakan faktor determinan agar apa yang terjadi di dalam ruang kelas kondusi f ba gi t erja diny a ke giat an b elaj armengajar yang efektif. Kompetensi guru merupakan salah satu konsep yang menjelaskan tentang karakteristik guru dalam mengelola

447

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012

kegiatan belajar di kelas (Holland, 2001). Dalam konteks manajemen kelas tulisan ini mengajukan konsep kepemimpinan pedagogis guru sebagai refleksi kompetensi untuk mendukung keberlangsungan kegiatan belajar-mengajar yang efektif di kelas. Pada tulisan ini kepemimpinan pe dagogis merujuk pada kem ampuan d an keterampilan dalam tiga hal, yaitu artikulasi isi kurikulum menjadi topik bahasan yang komprehensif dan kontekstual, komunsikasi konsep tersebut menjadi suatu penjelasan yang ilustratif bagi siswa, dan evaluasi tingkat pemahaman siswa terhadap apa yang diajarkan. Berbagai literatur (misal. Danielson, 2006; Quinn, at.al. 2010) tidak secara eksplisit menyebut kepemimpinan pedagogis, tetapi mereka menye butnya k epem impi nan guru. Me skip un demikian, dalam menjelaskan tentang karakteristik kepemimpinan guru tersebut terdapat ma kna yang sam a de nga n ke pemi mpinan pedagogis yang dimaksud dalam tulisan ini. Dalam penjelasan yang dikemukakan mereka, kepemimpinan oleh guru mempunyai pengetahuan dan keterampilan dalam mengendalikan kelas. Secara lebih eksplisit, Danielson (2006) menyebutkan karakterisitik kepemimpinan guru It entails mobilizing and energizing others with the goal of improving the schools performance of its critical responsibilities related to teaching and learning. Oleh karena itu, agar kepemimpinan guru dapat mewujudkan kegiatan belajar-mengajar yang efektif yaitu kemampuan untuk memanfaatkan dan memobilisasi berbagai sumber belajar yang tersededia dan mendorong siswa untuk meningkatkan motivasi belajar dan memantau dan mengevaluasi kemajuan belajar siswa. Teknologi informasi telah merupakan bagian dari kehidupan praktis hampir setiap orang dari berbagai profesi, termasuk siswa. Teknologi informasi, terutama pada sekolah-sekolah di kota besar, telah menjadi bagian dari sarana kegiatan belajar di kelas. Dengan teknologi informasi kegiatan belajar dapat berlangsung secara lebih visual, sehingga siswa dapat menangkap konsep yang dia pelajari, karena konsep tersebut dapat divisualisasikan oleh teknologi informasi. Tidak hanya itu, teknologi informasi memungkinkan bagi siswa secara bersama-sama mempelajari suatu konsep , ka rena tek nologi i nfor masi dap at

menyajikan informasi pada tempat dan waktu yang be rsam aan kepa da l ebih dar i sa tu pengguna (Amelung, 2007). Ke depan, penggunaan teknologi informasi secara lebih luas menjadi sarana kegiatan belajar-mengajar di kelas, sehingga siswa yang berada di daerah pedesaan dan perkotaan mempunyai akses yang sama terdahap konsep yang mereka pelajari pada

t ingkat comprehensiveness yang sama juga.


Penggunaan teknologi informasi bagi siswa Taman Kanak-kanak di Hongkong memungkinkan para siswa untuk menyimpan hasil kerjanya. Hasil kerja tersebut dapat dilihat lagi serta diperbaiki oleh siswa (L eung , 20 03). Dengan peng guna an teknologi informasi bagi siswa Taman Kanak-kanak tidak saja belajar menjadi lebih menyenangkan, tet api anak ter dorong untuk mel akuk an perbaikan-perbaikan. Dalam melakukan penilaian guru tidak hanya memperhatikan apa yang telah dicapai oleh siswa, tetapi juga kemajuan yang dicapai oleh siswa. Me ngingat pent ingnya p eran tek nologi informasi untuk mendukung kegiatan belajar di kelas, CERI (2009) mengajukan paling tidak empat saran untuk mengadopsi teknologi informasi dalam kegiatan belajar-mengajar. Saran tersebut didasarkan pada hasil studi yang dilakukan di negara-negara Nordic, Eropa yaitu Denmark, Finlandia, Iceland, dan Norwegia, serta Swedia. Ke empa t sa ran tersebut, y aitu: pe rtam a, membuka kesadaran para guru tentang kebera daan tek nologi i nformasi ya ng semak in per suasif. Eksp os siswa ter hada p inform asi berkenaan dengan apa yang dipelajari di kelas akan semakin luas dan jumlah yang tidak terbatas. Ke dua, sek olah per lu sege ra m enye diak an sumber-sumber belajar yang berbasis teknologi informasi. Implikasi dari hal ini yaitu bahwa konsep perpustakaan sekolah akan berubah secara fisik, yang semula perpustakaan terdiri atas susunan rak buk u, ak an me njad i wor k-st ation y ang me mung kink an siswa me lakukan eksp lora si inform asi dari ber baga i sumber. Me skip un demikian, keberadaan buku teks tidak akan hilang sama sekali. Ketiga, perlu dibentuk mekanisme yang coherence antara sistem belajar-mengajar di kelas yang berbasis tekonologi informasi dengan sistem evaluasi kemajuan belajar siswa yang juga menggunakan teknologi informasi. Keempat,

448

Bambang Indriyanto, Pengembangan Kurikulum sebagai Intervensi Kebijakan Peningkatan Mutu Pendidikan

konsekuensi dari ketiga hal tersebut, program pelatihan teknologi informasi kepada kepala sekolah dan guru menjadi kebutuhan mendesak. Dalam konteks Indonesia, pelatihan ini dapat dilakukan secara bertahap mulai dari sekolahsekolah yang mempunyai akses internet, baik di kota besar, kota kabupaten/kota atau daerah pinggiran kota yang telah mempunyai akses terhadap internet. Paling tidak, pelatihan dapat di priorita skan kep ada sekolah yang sud ah dilengkapi dengan aliran listrik, karena pada se kola h ini si swa dapa t me lakukan eksp os informasi berkenaan dengan konsep-konsep yang dipelajar menggunaan komputer off-line. Simpulan dan saran Simpulan Pengembangan Kurikulum 2013 yang sedang dikembangkan oleh Kementerian Pendidikan dan Keb uday aan memp unya i mi si utama unt uk meningkatkan mutu pendidikan. Pengembangan ini merupakan konsekuensi logis dari perubahan berbagai segi kehidupan, terutama ilmu pengetahuan dan teknologi, serta ekonomi dan politik. Namun demikian, karena kurikulum merupakan bagian dari kebijakan publik pendidikan, selalu terdapat dua jenis tanggapan yaitu setuju dan ti dak setuju d enga n id e pe ngem bang an kurikulum. Konsekuensi leb ih l anjut de ngan sta tus kurikulum sebagai kebijakan publik pendidikan adalah bahwa dalam pelaksanaannya tidak akan memuaskan semua pihak. Hal ini didasarkan pada suatu real ita bahw a ma sih adanya t ingk at pe rbed aan perk emba nga n pe ndid ikan, ba ik antarprovinsi dan apalagi antar kabupaten/kota. Namun demikian, Pengembangan Kurikulum 2013 telah menjadi keputusan Pemerintah. Ketika Pengembangan Kurikulum 2013 tersebut telah menjadi keputusan Pemerintah, maka tantangan yang dihadapi oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yaitu mencari strategi paling efektif dan efisien agar kurikulum tersebut dapat segera dilaksanakan. Keputusan yang telah diambil pada bulan Juni 201 3 kurik ulum ter sebut ak an diterapkan. Di antara berbagai tantangan, kompetensi guru menjadi tantangan yang paling menonjol. Guru diasumsikan tidak akan siap melaksanakan

Kurikulum 2013 jika dilaksanakan pada bulan Juni 2013. Dengan kata lain, Pemerintah dianggap tergesa-gesa dalam menerapkan Kurikulum 2013. Di lain pihak, tanggapan yang pesimis menyatakan bahwa pemerintah tergesa-gesa mengambil keputusan untuk mengubah kurikulum, karena pelaksanaan kurikulum yang sekarang berlaku saja belum sepenuhnya dipahami. Dengan memperhatikan berbagai pro dan kontra berkenaan dengan kemungkinan diterapkannya Kurikulum 2013, tulisan ini mengajukan sua tu p roposisi yang me nyat akan bahwa keberhasilan pelaksanaan kurikulum tergantung pada fa ktor manajeme n. Dalam kont eks ini manajemen yang dimaksud yaitu manajemen pada tingkat sekolah dan kelas. Inti dari faktor manajemen tersebut adalah kepemimpinan. Kepemimpinan pada tingkat sekolah meliputi dua peran, yaitu kepala sekolah sebagai manajer kurikulum dan mana jer program . Me skip un keduanya merupakan dua konsep yang berbeda, tetapi dalam praktiknya kepala sekolah tidak bisa memisahkan satu dengan lainnya. Keduanya bahkan bisa berlangsung secara bersamaan atau saling melengkapi. Keduanya mendorong ke arah terwujudnya kegiatan belajar-mengajar yang efektif di kelas. Kriteria ini dapat terwujud melalui pembinaan dan bimbingan kepada guru serta penentuan alokasi sumber daya yang tersedia di sekolah. Adanya fenomena black box dalam kegiatan belajar-mengajar di kelas, maka kepemimpinan kepala sekolah dalam mewujudkan kegiatan belajar mengajar yang efektif di kelas dapat terselenggara ketika kepemimpinan guru menjadi faktor pendukung (complementary factor). Dalam tulisan ini kepemimpinan guru disebut dengan kepemimpinan pedagogis. Karakteristik dari kepemimpinan pedagogis meliputi tiga hal, yaitu kompete nsi menjabarka n isi kurikul um, kemampuan mengkomunikasikan isi kurikulum kepada siswa, dan kemampuan untuk melakukan penilaian. Teknologi informasi telah menjadi sarana pendidikan yang semakin pervasif. Hal ini tentu saja mempunyai konsekuensi positif terhadap kegiatan belajar mengajar di sekolah. Siswa se maki n mudah untuk m elak ukan ekp lora si informasi untuk memperdalam pemahamannya

449

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012

terhadap konsep-konsep yang dipelajari. Peran guru memang masih menjadi faktor utama, tetapi tidak lagi menjadi sumber belajar satu-satunya. Konsekuensinya guru juga dituntut untuk segera meningkatkan kemampuannya dalam penguasaan teknolog i inform asi , ji ka t idak ing in tertinggal dari siswanya. Hal ini dapat dilakukan secara bertahap. Saran Saran yang diajukan pada tulisan ini diarahkan pada upaya menjamin efektivitas implementasi Pengemb angan Kuri kulum 201 3. Be rkenaan dengan hal tersebut , sa ran seca ra spesi fik memusatkan pada sudut pandang Kurikulum 2013 sebagai entitas kebijakan publik bidang pendidikan. Di katakan demikian, ka rena ketika Kurikulum 2013 diimplementasikan akan melibatkan guru dan siswa seluruh Indonesia. Orang tua sebagai salah satu pemangku kepentingan

constituent Kurikulum 2013. Mereka merupakan pihak yang secara langsung menjadi target utama pelaksanaan hasil Pengembangan Kurikulum 2013 dan bertanggung jawab terhadap keberhasil peserta didik. Pendapat dari orang tua siswa patut mendapatkan perhatian karena mereka juga menjadi constituent dari orang hasil pendidikan anaknya. Pendapat dari kelompok lain merupakan refleksi stake holders. Untuk mengakomodasikan pe ndap at m erek a di har apka n ti dak seca ra signifikan mengubah masukan dari consituent . Pendapat stakeholder melengkapi pendapat guru, kepala sekolah, dan orang tua dan bukan sebagai subsitusi pendapat mereka. Pada tingkat implementasi, sebagaimana dikemukakan pada diskusi, faktor manajemen sekolah dan kelas menjadi determinan untuk menjamin efektivitas implementasi Kurikulum 2013. Inti dari manajemen pada kedua tingkat tersebut yai tu kep emimpi nan. O leh k arena itu, a gar implementasi Kuriklum 2013 dapat didukung dengan kepemimpinan yang efektif di dua tingkat tersebut, disarankan bahwa implementasi Kurikulum 2013 membawa dampak positif terhadap peningkatan profesionalisme kepala sekolah dan guru. Profesionalisme yang dimaksudkan yaitu sistem pengangkatan kepala sekolah dan guru menuju jabatan profesional agar lebih terukur dan transparan. Dengan dua kriteria tersebut, maka mekanisme pengangkatan kepala sekolah dan guru pada jabatan profesional dapat meminimalir unsur politik, terutama politik pemerintah daerah. Bagi kepala sekolah dan guru yang telah mendapatkan jabatan fungsional, maka sesuai dengan prinsip Manajemen Berbasis Sekolah, perlu untuk diberikan diskresi dalam mengelola sekolah bagi kepala sekolah dan kelas bagi guru secara independen. Ketika diskresi sudah diberikan kepada kepala sekolah dan guru maka mer eka dapa t di tunt ut untuk menetap kan benchmark yang akan dicapai pada periode tertentu. Dengan pencapaian benchmark tidak hanya mendorong kepala sekolah dan guru lebih transparan dalam menjalankan tugas yang telah me njad i ta nggungja wab nya. Akuntab ilit as menjadi kriteria pertanggungjawaban pelaksanaan tugasnya.

( stake holder) pendidikan sangat berkepentingan


terhadap kemanjuran Kurikulum 2013 sebagai upaya untuk meningkatkan prestasi akademis siswa. Saran yang kedua yaitu pada tingkat strategi dengan mempertimbangkan faktor manajemen pada tingkat sekolah dan kelas. Faktor utama yang akan diketengahkan yakni kepemimpinan kepala sekolah dan guru. Oleh karena Pengembangan Kurikulum 2013 telah menjadi keputusan Pemerintah, maka posisi pengembangan ini telah berada pada tahap point of no return. Saran yang diajukan yaitu: uji publik se cara ekstensif m enja di suatu keharusan sebelum Kurikulum 2013 ditetapkan sebagai kebijakan efektif. Tujuan utama uji publik yaitu menggali pendapat dari berbagai pihak dan mengakomodasikan pendapat tersebut dalam fi nali sasi konsep. Nam un, dala m me ngak omodasikan pendapat tersebut, terdapat berbagai kelompok yang antara lain terdiri atas guru, kepala sekolah, pengamat pendidikan, orang tua siswa, anggot a or gani sasi pr ofesi, d an a nggota masyarakat pada umumnya. Dari berbagai kelompok tersebut, tulisan ini mengajukan pendapat guru dan kepala sekolah perlu mendapatkan prioritas utama untuk diakomodasikan dalam penyempurnaan dokumen. Pertimbangan utama karena guru dan kepala sekolah merupakan

450

Bambang Indriyanto, Pengembangan Kurikulum sebagai Intervensi Kebijakan Peningkatan Mutu Pendidikan

Ketika teknologi informasi telah bagian yang ti dak terp isahkan dala m ke giat an b elaj ar mengajar, maka penggunaan teknologi informasi pada sebagian besar sekolah di Indonesia hanya masalah waktu. Implikasi dari situasi ini baik kepala sekolah maupun guru tidak bisa lagi imun dari penggunaan teknologi informasi; atau pilihan lain mereka merelakan dirinya tertinggal oleh kemajuan zaman yang semakin berorientasi pada penggunaan teknologi informasi. Penguasaan dan penguasaan teknologi bagi kepala sekolah dan guru merupakan suatu keharusan. Bagi kepala sekolah penggunaan teknologi informasi diarahkan pada penyusunan program yang didasarkan pada data yang akurat dan tepat waktu, sehingga implementasi Kurikulum 2013 dapat berlangsung secara tepat waktu. Bagi guru, pemanfaatan teknologi informasi diarahkan pada visualisasi konsep abstrak men-

jadi lebih visual sehingga siswa, terutama untuk siswa SD dan SMP pada kelas-kelas awal, dapat menangk ap m akna dar i suatu konsep y ang dijelaskan oleh guru. Dengan teknologi informasi guru diharapkan dapat melakukan penilaian yang lebih obyektif dalam arti mempertimbangkan proses daripada hasil akhir dari suatu pekerjaan. Dalam skenario Pengembangan Kurikulum 2013, pendekatan kegiatan belajar mengajar SD akan menggunakan pendekatan tematik. Berdasarkan pendekatan ini siswa tidak akan secara spesifik belajar konsep, tetapi tema bahasan. Dengan teknologi informasi ada dua informasi yang diharapkan dapat diperoleh oleh guru tentang siswa yaitu proses akumulasi pengetahuan yang diperloleh oleh siswa, dan pemahaman komprehensif siswa terhadap apa yang dipelajari.

Pustaka Acuan Anonim. 29 November 2012. Plans for New Curriculum Have Led To Confusion, Lack of Confidence. Jakarta Globe. Hal. 10. Amelung, C. 2007. Using Social Context and E-Learner Identity as a Framework for an E-Learning. International Journal on ELearning; 6, 4; Hal. 501-517. Boediono, 27 Agustus, 2012. Pendidikan Kunci Pembangunan. Kompas. Hal 5. Centre for Educational Research and Innovations (CERI). 2009. Beyond Textbooks: Digital learning resources as systemic innovation in the Nordic countries. OECD: CERI. Checchi, D. 2005. The Economics of Education: Human Capital, Family Background and Inequality. Cambridge: Cambridge University Press Coleman, P. 2010. Management Briefs: Management and Leadership Theory Made Simple. Bookboon.com. Coleman Patterson & Ventus publishing Apps. Conger, J.A. dan Xin, K. 2000. Executive Education in the 21st century. Journal of Management. 24, 1. Hal.73-101. Departemen Pendidikan Nasional. 2003. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Jakarta. Danielson, C. 2006. Teacher Leadership that Strengthens Professional Practice. Alexandria, VA: ASCD publications Dewey, J. 2004. Democracy and Education. Mineola, New York: Dover Publication. Inc. Drucker, P.F. 1999. Management Challenges for the 21st Century. New York: Harper Collins Publishers Inc.

451

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012

Duignan, P.A. & Macpherson, R.J.S. 1992. Educational Leadership for Curriculum Development: A Synthesis and a Comentary. Dalam Educative Leadership: A Practical Theory for New Administrators and Managers. London: The Falmer Press. Hal. 83-84. Earley, P. & Weindling, D. P. 2004. Understanding School Leadership. London: Chapman Publishing Flap, H. & Boxman, E. 2001. Getting Started: The Influence of Social Capital on the Start of the Occupational Career. Dalam Lin, N; Cook; K; dan Burt, R.S. (Eds). Social capital; theory and research. New York: Aldine de Gruyter. Halpin, D. 2006. Understanding Curriculum as Utopian Text. Dalam Moore, A.(eds) Schooling, Society and Curriculum, New York: Routledge. Hausman, D.M. & McPherson, M.S. 2006. Economic Analysis, Moral Philosophy, and Public Policy (Second Edition). Cambridge: Cambridge University Press Holland, R. 2001. How to Build a Better Teacher. Policy Review; 106. Hal. 37-47. Hopkins, D. 2001. School Improvement for Real. New York: Routledge Falmer. Hutchin, R.M. 1999. Pendidikan Liberal Sejati. Dalam Freire, P; Illich, I, dan Fromm, E. (eds, terjemahan). Menggugat Pendidikan: Fundamentalis, Konservatif, Liberal, Anarkis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Leung, W. M. 2003. The Shift from a Traditional to a Digital Classroom: Hongkong Kindergarteens. Childhood Education; 80, 1. Hal 12-17. Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa. 1977. (Cetakan ke 2). Karya Ki Hadjar Dewantar. Bagian pertama: Pendidikan. Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa. McInstosh, S 2008. Education and Employment in OECD Countries. UNESCO, International Institute for Educational Planning. Petters, M.A., 2010. Creativity, Openess, and The Global Knowledge Economy: The Advent of Usergenerated Cultures. Economic, Management and Financial Markets. Vol. 5 (3). Hal. 15-36. Powell, W. W & Snellman. K 2004. The Knowledge Economy. Annual Review of Sociology. 30. Hal. 199220. Pultorak. E. G. (eds). The Purposes, Practices, and Professionalism of Teacher Reflectivity: Insights for Twenty-First-Century Teachers and Students. Lanham: Rowman & Littlefield Education Reid, J. 2005. Negotiating Education. Dalam Boomer, G et.al. (2005). Negotiating the Curriculum: Educating for the 21st Century. London: The Falmer Press. Rohman, S. 3 Agustus, 2012. Kurikulum Berbasis Kekerasan. Kompas. Hal. 6. Rose, C. & Nicholl, M.J. 1997. Accelerated Learning for the 21st century. New York: Delacorte Press. Schultz, T.W. 1977. Investment in Human Capital. Dalam Karabel, J. dan Halsey A.H. Power and Idelology in Education. New York: Oxford University Press. Scott, D. 2006. Six Curriculum Discourses: Contestation and Edification. Dalam Moore, A. (eds) Schooling, Society and Curriculum New York: Routledge. Suwignyo, A. 26 November 2012. Prospek Kurikulum Baru. Kompas, hal. 7. Walker. J.C. 1992. A Philosophy of Leadership in Curriculum Development: A Pragmatic and Holistic Approach. Dalam Educative Leadership: A Practical theory for new administrators and managers. London: The Falmer Press.

452

Bambang Indriyanto, Pengembangan Kurikulum sebagai Intervensi Kebijakan Peningkatan Mutu Pendidikan

Wisnu. A. 22 Mei 2009. Character Bulding: The Missing Link in Indonesias Public School Curriculum, The Jakarta Post. Hal. 19. Wisnu, A. 7 Juni 2012. Pendidikan Sains Masih Sebatas Teori. Kompas. Hal. 7. __________. 1977. (Cetakan ke 2). Karya Ki Hadjar Dewantar. Bagian pertama: Pendidikan. Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa. __________. 29 November 2012. menyajikan judul artikel yang cenderung menyampaikan pesan pesimisme, sabagai berikut Plans for New Curriculum Have Led to Confusion, Lak of Confidence. Jakarta Globe. Hal, 10.

453

Sri Tatminingsih dan Sudarwo, Pengembangan Paket dan Strategi Pembelajaran IPA melalui Permainan Tradisional untuk Siswa Kelas 3 SD di Daerah Rawan Bencana

PENGEMBANGAN PAKET DAN STRATEGI PEMBELAJARAN IPA MELALUI PERMAINAN TRADISIONAL UNTUK SISWA KELAS 3 SD DI DAERAH RAWAN BENCANA Studi Kasus di SD Puncak Manis, Kecamatan Kadudampit, Sukabumi (DEVELOPMENTOFSCIENCELEARNINGPACKAGEANDSTRATEGYTHROUGH TRADITIONAL GAME FOR THIRD GRADE STUDENTS IN DISASTER PRONE AREA Case Study at Puncak Manis Primary School, Kadudampit District, Sukabumi)
Sri Tatminingsih dan Sudarwo Universitas Terbuka, Jl. Raya Pondok Cabe, Tangerang Selatan e-mail: tatmi@ut.ac.id
Diterima tanggal: 15/10/2012, Dikembalikan untuk revisi: 3/11/2012, Disetujui tanggal: 20/12/2012 Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi permainan tradisional, karakteristik, dan mengembangkan ujicoba paket dan strategi pembelajaran kelas 3 SD di wilayah rawan bencana di Propinsi Jawa Barat. Sampel penelitian terdiri atas siswa dan guru kelas 3 di SDN Puncak Manis dan Pemuka masyarakat di Kecamatan Kedungpi, Kabupaten Sukabumi Jawa Barat. Teknik pengumpulan data dengan wawancara dan observasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hampir semua siswa tidak mengenal permainan tradisional di wilayahnya, namun terdapat beberapa permainan tradisional yang masih dikenal oleh masyarakat di Kecamatan Kadudampit, di antaranya Oray-orayan, Cing Ciripit, Pacici Putri, Sonda dan Egrang. Karakterisitik siswa SD di daerah rawan bencana umumnya pasif dan kurang kreatif, bergantung pada guru. Paket pembelajaran yang sesuai siswa kelas 3 SD di wilayah rawan bencana berupa bahan ajar cetak, buku bergambar, dan video. Hasil ujicoba menunjukkan adanya peningkatan pemahaman siswa terhadap materi pembelajaran IPA untuk materi banjir sebesar 0,58 dan untuk materi gempa bumi sebesar 0,76. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan paket pembelajaran yang berupa booklet dan buku siswa tentang materi mitigasi dan sanitasi terkait dengan bencana banjir dan gempa bumi yang disampaikan melalui permainan tradisional membantu siswa dalam memahami materi tersebut. Kata kunci : paket dan strategi pembelajaran IPA, permainan tradisional, daerah rawan bencana, dan sekolah dasar Abstract: This research aims to identify traditional games and the characteristics of third grade elementary school students, as well as to develop packages and learning strategies that are appropriate for third grade elementary school students in the disaster-prone area in West Java Province. This study employed research and development as the research design by using third grade students and teachers in elementary school Puncak Manis as well as the community of district Kadudampit, Sukabumi in West Java as the samples. Interviews and observation were used as data collection techniques. The results showed that almost all students are not familiar with the games, but there are some traditional games that are still known by the community of district Kadudampit such as Oray-orayan, Cing Ciripit, Pacici Putri, Sonda and Egrang. The characteristics of elementary school students in the area of disaster-prone are generally passive, dependent on teachers and less creative. Learning packages in a form of printed or picture books and videos that are appropriate for the third grade elementary school students in disaster-prone areas were delivered through traditional games as the strategy. The try out results showed an increase in students understanding of science teaching materials especially for the topics of flood that is 0.58 and for earthquake that is 0.76. This suggests that the use of the learning package in the form of booklets and books students on material

427

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012

related to disaster mitigation and sanitation floods and earthquakes which are delivered through traditional games (like Oray-orayan, Ciripit and Cing Pacici-cici Putri) assisted students in understanding the material about mitigation and sanitation related floods and earthquakes. Keywords: packages and learning strategies for science, traditional games, disaster-prone area, dan elementary school

Pendahuluan Pada saat ini, teknologi canggih sudah merambah hampir seluruh wilayah tanah air seperti televisi, komputer dan internet mulai masuk ke rumahrumah dan semakin menyempitnya lahan untuk arena bermain anak membuat kegiatan bermain anak-anak semakin berkurang. Anak lebih suka duduk diam di depan televisi untuk menonton ataupun bermain game atau permainan di dalam rumah lainnya yang bersifat individu. Hal ini banyak terjadi di daerah perkotaan. Sekarang ini jarang sekali kita melihat anak-anak di daerah perkotaan yang bermainmain bersama dengan temantemannya, berlari-lari ataupun bersenangsenang berkelompok. Mereka umumnya sudah terlalu sibuk dengan kegiatannya masing-masing seperti sekolah, kursus piano, musik, les bahasa Ing gris, le s ma tema tika , te nnis, be rena ng ataupun kegiatan lainnya yang membuat anak tidak sempat menikmati indahnya dunia anak anak melalui bermain dengan teman sebayanya. (Tatminingsih, 2009). Pesatnya perkembangan teknologi informasi (TI) ini secara langsung maupun tidak langsung me njad i sa lah satu pe nyeb ab t ergusurnya berbagai permainan tradisional yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya anak-anak yang lebih banyak, bahkan cenderung lebih menyukai permainan berbasis TI. Permainan tradisional pun kini sudah ditinggalkan, bahkan hampir dilupakan. Kenyataan ini dapat dib uktika n dengan ja waban anak- anak saat ditanyakan apakah mereka mengetahui aneka permainan tradisional. Banyak anak yang tidak tahu beragam permainan tradisional yang dulu diwariskan turun temurun. Pembelajaran IPA merupakan salah satu mata pelajaran yang sudah mulai dikenalkan sejak anak duduk di kelas 3 sekolah dasar (SD). Mata pelajaran ini diberikan dengan bobot 2 jam per minggu. Materi yang diajarkan meliputi beberapa hal di antaranya adalah tentang ciri-ciri dan

kebutuhan mahluk hidup, penggolongan makhluk hi dup, benda d an sifa tnya dan kesehat an lingkungan, gerak benda dan energi, penerapan energi, permukaan bumi, cuaca dan sumber daya ala m da n li ngkungannya (Rositaw aty dan Muharam, 2008). Dalam materi sumber daya alam dan lingkungan disi nggung sedik it t enta ng bencana alam namun hanya jenis-jenisnya saja. Padahal, bencana alam merupakan materi yang sifatnya nyata dan kemungkinan terjadi di negara kita sangat besar. Indonesia merupakan negara yang rentan terhadap bencana alam, sehingga berada di urutan atas ranking bencana dunia. Bencana yang sering terjadi di Negara Indonesia di antaranya adalah gempa bumi, letusan gunung berapi, tsunami, badai, banjir, kekeringan, tanah longsor, gel omba ng p anas dan penyaki t ep idem ik. Minimnya infrastruktur ditambah kepadatan berlebihan dalam suatu area dengan risiko tinggi seperti dataran rawan banjir, muara sungai, lereng terjal dan tanah reklamasi menjadi penyebab tertinggi terjadinya bencana. Selain itu, tingkat kesadaran penduduk terhadap kondisi lingkungan se kita r juga m endukung se baga i pe nyeb ab terjadinya bencana alam. Indonesia sebagai Negara yang rentan dengan bencana alam, setiap warganegaranya seharusnya memiliki pengetahuan yang memadai tentang bencana alam ini, termasuk anak-anak. Untuk wilayah Jawa Barat, pada saat terjadi ge mpa besa r ya ng t erj adi pada tanggal 2 September 2009 dengan pusat sumber gempa di Tasikmalaya, berdasarkan data Satkorlak Jawa Bar at, tercatat jum lah sekolah yang rusak sebanyak 1.314 sekolah. Dari jumlah tersebut, 32 sekolah di antaranya hancur, 674 sekolah lainnya rusak berat, dan 608 bangunan sekolah rusak ringan dan sedang (Kompas, 12 September 2009 (dalam Rahayu, dkk. 2010a). Dengan kondisi yang demikian, maka tidak dapat dihindari bahwa terpaksa kegiatan belajar menjadi terhambat.

428

Sri Tatminingsih dan Sudarwo, Pengembangan Paket dan Strategi Pembelajaran IPA melalui Permainan Tradisional untuk Siswa Kelas 3 SD di Daerah Rawan Bencana

Tid ak m enut up k emungkinan sekol ah a tau ke giat an p embe laja ran la tar ter paksa bela kang be rhenti ter sebut, sementara (Rahayu, dkk. 2010a). Be rdasarka n te rdap at b eber apa masa lah yang dap at d iidentifikasi terkait dengan pembelajaran di daerah ra wan bencana, per mainan t radi sional d an strategi pembelajaran pada anak-anak SD yang sekolah atau wilayahnya terkena bencana alam. Permasalahan yang muncul dirumuskan sebagai berikut. Per masa laha n ya ng d irum uska n da lam penelitian ini, yaitu: 1) Apa saja permainan tradisional yang terdapat di Propinsi Jawa Barat?; 2) Bagaimana karakteristik siswa SD kelas 3 di wilayah rawan bencana di Propinsi Jawa Barat?; 3) Bagaimana paket pembelajaran IPA yang sesuai untuk siswa SD kelas 3 di wilayah rawan bencana di Propinsi Jawa Barat?; 4) Bagaimana st rate gi p embe laja ran berb asis per mainan tradisional bagi siswa SD kelas 3 di wilayah rawan bencana di Propinsi Jawa Barat?; dan 5) Bagaimana hasil ujicoba strategi pembelajaran berbasis permainan tradisional terhadap siswa SD kelas 3 di wilayah rawan bencana di Propinsi Jawa Barat? Tujuan penelitian ini dimaksudkan untuk: 1) mengidentifikasi permainan trasisional yang ter dapa t di Propinsi Ja wa Barat ; 2) mengidentifikasi karakteristik siswa SD kelas 3 di wilayah rawan bencana di Propinsi Jawa Barat; 3) mengidentifikasi paket pembelajaran yang sesuai untuk siswa SD kelas 3 di wilayah rawan bencana di Propinsi Jawa Barat; 4) mengembangkan str ateg i pe mbel ajar an b erba sis permainan tradisional bagi siswa SD kelas 3 di wilayah rawan bencana di Propinsi Jawa Barat; da n 5) menguji coba str ateg i pe mbel ajar an berbasis permainan tradisional bagi siswa SD kelas 3 di wilayah rawan bencana di Propinsi Jawa Barat. Artikel ilmiah ini merupakan bagian dari laporan penelitian Strategis Nasional yang dilakukan oleh Ucu Rahayu, Sri Tat mini ngsi h, M esti ka Sekarwinahyu dan Amalia Sapriati dengan judul Pengembangan Paket Pembelajaran untuk Siswa Sekolah Dasar di Daerah Rawan Bencana tahun 2010 .

Kajian Literatur Bencana Alam (Gempa Bumi dan Banjir) Bencana adalah situasi dan kondisi yang terjadi dalam kehidupan masyarakat. Tergantung pada cakupannya, bencana ini bisa mengubah pola kehidupan dari kondisi kehidupan masyarakat yang normal menjadi rusak, menghilangkan harta benda dan jiwa manusia, merusak struktur sosial masyara kat, ser ta m enim bulk an l onja kan kebutuhan dasar (Yayasan IDEP, 2007a). Bencana alam di antaranya adalah gempa bumi dan banjir. Gemp a bumi terjadi karena pergesekan antara lempeng-lempeng tektonik yang berada jauh di bawah permukaan bumi. Pergesekan ini me ngel uark an e nerg i y ang luar bia sa d an menimbulkan goncangan di permukaan. Indonesia sangat rawa n ge mpa kare na b erad a de kat dengan lempeng-lempeng yang aktif dan saling berhubungan satu sama lain, serta karena adanya gunung-gunung berapi yang juga aktif. Gempa bumi dapat menyebabkan kerusakan sarana seperti bangunan dan jalan-jalan yang hebat dan luas. Gempa juga dapat diikuti bencana alam berbahaya seperti tanah longsor dan tsunami. Korban jiwa biasanya terjadi karena tertimpa bagian-bagian bangunan yang roboh atau objek berat yang lain seperti pohon dan tiang listrik. Or ang bany ak y ang terp erangkap dal am bangunan yang runtuh. Gempa bumi sering diikuti oleh gempa susulan dalam beberapa jam atau hari atau bahkan minggu setelah yang pertama, walaupun sering tidak sekuat yang pertama. Bahaya gempa susulan adalah penghancuran banguna n ya ng t elah goy ah a kiba t ge mpa pertama (Yayasan IDEP, 2007a). Banjir merupakan bencana alam yang paling sering terjadi dan paling banyak merugikan, baik dalam segi kemanusiaan maupun ekonomi. Sekitar 90% dari kejadian bencana alam (tidak termasuk be ncana ke keri ngan), berhubungan deng an banjir. Banjir dapat disebabkan antara lain oleh hujan dalam jangka waktu yang panjang atau hujan deras selama berhari-hari, erosi tanah atau buruknya penanganan sampah yang menyebabkan air dari sungai dan saluran-saluran meluap dan membanjiri daerah sekitarnya, pembangunan dan perkembangan tempat permukiman, di mana tanah kosong diubah menjadi jalan atau tempat parkir yang menyebabkan hilangnya daya serap

429

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012

air hujan, bendungan dan saluran air yang rusak, tertutupnya tanah oleh semen, paving atau aspal sehingga sama sekali tidak menyerap air (Yayasan IDEP, 2007b). Menurut Kodoatie dan Sugiyanto (2002) secara umum penyebab terjadinya banjir dapat diklasifikasikan dalam 2 kategori, yaitu banjir yang disebabkan oleh sebab-sebab alami dan banjir yang diakibatkan oleh tindakan manusia. Hal-hal yang termasuk sebab-sebab alami di antaranya curah hujan, pengaruh fisiografi, erosi dan sedimentasi, kapasitas sungai, kapasitas drainase yang tid ak me madai , pe ngaruh air pasa ng. Sementara itu, yang termasuk sebab-sebab banjir karena tindakan manusia adalah perubahan Daerah Aliran Sungai (DAS), kawasan kumuh, sampah, drainase lahan, bendung dan bangunan air, kerusakan bangunan pengendali banjir, dan perencanaan sistem pengendalian banjir yang tidak tepat. Di daerah yang gersang di dunia, tanahnya mempunyai daya serapan air yang buruk, atau jumlah curah hujan melebihi kemampuan tanah untuk menyerap air. Ketika hujan turun, yang kadang terjadi adalah banjir secara tiba-tiba yang diakibatkan terisinya saluran air kering dengan air. Banjir semacam ini disebut banjir bandang. Banjir tidak dapat sepenuhnya dihindari, namun masyarakat dapat mengurangi kemungkinan terjadinya banjir dan mengurangi dampaknya dengan melakukan tindakan-tindakan gahan atau mitigasi. pence-

bent uk per mainannya sendiri ya ng ber beda dengan daerah lainnya. Walaupun mungkin saja ada beberapa permainan tradisional suatu daerah mempunyai kemiripan dengan permainan daerah yang lainnya. Misalnya Sonda (Betawi), Engklek (Jawa Tengah), Ultop (Sumatra Utara) dan Dor Pletok (Jawa Tengah). Permainan tradisional/rakyat merupakan salah satu kekayaan budaya bangsa Indonesia, maka tugas kitala h untuk melest arikannya. Mengingat saat ini berbagai macam permainan tradisional tampaknya banyak yang mulai tergusur dengan hadirnya permainan-permainan impor yang lebih modern serta semakin menyempitnya lahan untuk berm ain dita mbah lagi dengan enggannya orangtua jika melihat anaknya bermain dengan sesuatu yang kotor dan tampak jorok. Permainan tradisonal merupakan simbolisasi da ri p enge tahuan y ang tur un t emur un d an mempunyai bermacam-macam fungsi atau pesan di baliknya, di mana pada prinsipnya permainan anak tetap merupakan permainan anak. Dengan demikian bentuk atau wujudnya tetap menyenangkan dan menggem birakan anak karena tujuannya sebagai media permainan. Aktivitas permainan yang dapat mengembangkan aspekaspek psikologis anak dapat dijadikan sarana belajar sebagai persiapan menuju dunia orang dewasa (Tatminingsih, 2009). Karakteristik Siswa Sekolah Dasar Masa usia sekolah dasar sebagai masa kanakkanak akhir yang berlangsung dari usia enam tahun hingga kira-kira usia sebelas tahun atau dua belas tahun. Karakteristik utama siswa se kola h da sar adal ah mere ka m enam pilk an perbedaan-perbedaan individual dalam banyak segi dan bidang, di antaranya, perbedaan dalam intelegensi, kemampuan dalam kognitif dan bahasa, perkembangan kepribadian dan perkembangan fisik anak. Menurut Piaget, ada empat aspek dalam perkembangan kognitif seseorang, yaitu 1) kematangan, sebagai hasil perkembangan susunan syaraf; 2) pengalaman, yaitu hubungan timbal balik antara orgnisme dengan dunianya; 3) interaksi sosial, yaitu p engaruh-pengar uh yang diperoleh dalam hubungannya dengan lingkungan social, dan 4) ekullibrasi, yaitu adanya kemam-

Mitigasi yaitu mengurangi kerugian yang akan ditimbulkan oleh bencana. Usaha mitigasi adalah meningkatkan ketahanan dan kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi bencana alam sehingga resiko bencana alam dapat dikurangi. Kearifan lokal sangat membantu kesuksesan mit igasi (Ri dwan, 2 008) . K egi atan mi tiga si bencana hendaknya merupakan kegiatan yang bersifat rutin dan berkelanjutan. Permainan Tradisional Indonesia sebagai negara yang terdiri dari ribuan pulau, budaya dan berbagai suku bangsa yang berbeda antara satu dengan lainnya memiliki ba nyak sek ali perm aina n tr adisiona l at au permainan rakyat. Kekayaan ini dimungkinkan karena setiap daerah biasanya memiliki ciri dan

430

Sri Tatminingsih dan Sudarwo, Pengembangan Paket dan Strategi Pembelajaran IPA melalui Permainan Tradisional untuk Siswa Kelas 3 SD di Daerah Rawan Bencana

puan atau sistem mengatur dalam diri organisme aga r di a se lalu mem pau memp erta hank an keseimbangan dan penyesuaian diri terhadap lingkungannya (dalam Utomo, 2011). Piaget (dalam Utomo, 2011) mengidentifikasikan tahapan perkembangan intelektual yang dilalui anak, yaitu: a) tahap sensorik motor usia 0-2 tahun; b) tahap operasional usia 2-6 tahun; c) tahap operasional kongkrit usia 7-11 atau 12 tahun; d) tahap operasional formal usia 11 atau 12 tahun ke atas. Berdasarkan hal tersebut, siswa sekolah dasar berada pada tahap ope rasi onal kongkri t, p ada taha p ini anak mengembangkan pemikiran logis, masih sangat terikat pada fakta-fakta perseptual, artinya anak mampu berfikir logis, tetapi masih terbatas pada objek-objek kongkrit, dan mampu melakukan konservasi Menurut Darmodjo (dalam Rahayu, dkk. 2010a) anak usia sekolah dasar adalah anak yang sed ang meng alam i pe rtum buha n ba ik p ertum buha n intele ktua l, e mosi onal maupun pertumbuhan badaniyah, di mana kecepatan pertumbuhan anak pada masing-masing aspek tersebut tidak sama, sehingga terjadi berbagai variasi tingkat pertumbuhan dari ketiga aspek tersebut. Ini suatu faktor yang menimbulkan adanya perbedaan individual pada anak-anak sekolah dasar walaupun mereka dalam usia yang sama. Dengan karakteristik siswa tersebut, guru dituntut untuk dapat mengemas perencanaan dan pengalaman belajar yang akan diberikan kepada siswa dengan baik, menyampaikan hal-hal yang ada di lingkungan sekitar kehidupan siswa seharihari, sehingga materi pelajaran yang dipelajari tidak abstrak dan lebih bermakna bagi anak. Selain itu, siswa hendaknya diberi kesempatan untuk pro aktif dan mendapatkan pengalaman langsung baik secara individual maupun dalam kelompok. Strategi Pembelajaran Pe ndek atan pem bela jar an d apat dia rtik an

teoretis tertentu. Dilihat dari pendekatannya, pembelajaran terdapat dua jenis pendekatan, yai tu: 1) p ende kata n pe mbel ajar an y ang berorientasi atau berpusat pada siswa ( student centered approach ) dan 2) pendekatan pembelajaran yang berorientasi atau berpusat pada guru (teacher centered approach) (Samsyudin, 2003 dalam Rahayu, dkk.2010a). Dari pendekatan pembelajaran yang telah ditetapkan selanjutnya diturunkan ke dalam strategi pembelajaran. Newman dan Logan (dalam Rahayu, 2010a) merumuskan: 1) Menetapkan spesifikasi dan kualifikasi tujuan pembelajaran yakni perubahan profil peri laku dan pri badi peserta did ik; 2) Memp erti mbangkan dan mem ilih sistem pendekatan pembelajaran yang dipandang paling efektif; 3) Mempertimbangkan dan menetapkan langkah-langkah atau prosedur, metode dan teknik pembelajaran; dan 4) Menetapkan normanorma dan batas minimum ukuran keberhasilan atau kriteria dan ukuran baku keberhasilan. Sementara itu, Kemp (dalam Senjaya, 2008) mengemukakan bahwa strategi pembelajaran adalah suatu kegiatan pembelajaran yang harus dikerjakan guru dan siswa agar tujuan pembelajaran dapat dicapai secara efektif dan efisien. Selanjutnya, dengan mengutip pemikiran David (dalam Senjaya, 2008) menyebutkan bahwa dalam strategi pembelajaran terkandung makna per enca naan. Ar tiny a, b ahwa str ateg i pa da dasarnya masih bersifat konseptual tentang keputusan-keputusan yang akan diambil dalam suatu pelaksanaan pembelajaran. Dilihat dari strateginya, pembelajaran dapat dikelompokkan ke dalam dua bagian pula, yaitu: 1) expositiondiscovery learning dan 2) group-individual learning (Rowntree dalam Senjaya, 2008). Ditinjau dari cara penyajian dan cara pengolahannya, strategi pembelajaran dapat dibedakan antara strategi pembelajaran induktif dan strategi pembelajaran deduktif. Metodologi Penelitian Desain penelitian yang digunakan termasuk Penelitian dan Pengembangan (R&D). Menurut De Villiers (dalam Rahayu, dkk. 2010a) penelitian ini memfokuskan pada: 1) pengembangan cara-cara pra ktis dan inovati f untuk meme cahk an permasalahan nyata dan 2) pengajuan prinsip-

sebagai titik tolak atau sudut pandang kita terhadap proses pembelajaran, yang merujuk pada pandangan tentang terjadinya suatu proses yang sifatnya masih sangat umum, di dalamnya mewadahi, menginsiprasi, menguatkan, dan melatari metode pembelajaran dengan cakupan

431

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012

prinsip rancangan umum untuk menginformasikan keputusan di masa yang akan datang. Dalam hal ini, peneliti mencoba mengembangkan cara-cara praktis dan inovatif dalam memecahkan masalah yang terjadi dalam kegiatan belajar pada anakanak SD di daerah rawan bencana. Penelitian dilakukan dalam periode waktu dari April 2010 sa mpai dengan Dese mbe r 20 10. Pene liti an dilakukan di SD Puncak Manis, Desa Puncak Manis, Kecamatan Kadudampit, Kabupaten Sukabumi dengan siswa dan guru kelas 3 SD Puncak Manis, Desa Puncak Manis, Kecamatan Kadudampit, Sukabumi Jawa Barat sebagai responden. Populasi penelitian ini mencakup siswa dan guru kelas 3 dan kelas 5 di wilayah Jawa Barat. Sampel penelitian terdiri atas siswa dan guru SD kelas 3 dan kelas 5 di Cirebon (SDN Kebon Baru 4) yang mewakili wilayah rawan bencana tsunami dan banjir, lalu di Sukabumi (SDN Puncak Manis dan SDN Cibunar 2) yang mewakili wilayah rawan gunung meletus dan tanah longsor serta di

karakteristik siswa, dan bahan kepustakaan lainnya; 3) Kuesioner, untuk mengetahui kondisi sebelum dan setelah dilaksanakannya uji coba. Kuesioner diberikan kepada guru dan siswa kelas 3 yang menjadi sampel dalam penelitian; 4) Pretes dan postes, dilakukan untuk mengetahui ada atau tidak adanya peningkatan kemampuan belajar siswa; dan 5) Observasi, dilakukan untuk mengetahui pelaksanaan pembelajaran dengan menggunakan permainan tradisional. Tahapan Penelitian dapat dilihat pada Gambar 1. Teknik Pengolahan Data Data mengenai penggunaan buku siswa dan petunjuk guru yang terkumpul dianalisis secara kualitatif prosentase dengan analisis deskriptif, dan data hasil belajar siswa yang berupa pretes dan postes dianalisis secara kuantitatif dengan menggunakan t-tes untuk mengetahui ada tidak adanya peningkatan pemahaman siswa terhadap materi yang disampaikan (Rahayu, dkk. 2010a).

Studi Pendahuluan: Identifikasi kearifan lokal dan karakteristik siswa.

Pengembangan Paket dan strategi Pembelajaran untuk siswa SD di wilayah rawan bencana Berbasis permainan tradisional.

Uji Coba penerapan strategi pembelajaran dengan menggunaka n permainan tradisional.

Uji Coba Penerapan Paket dan strategi Pembelajaran untuk siswa SD di wilayah rawan bencana Berbasis permainan tradisional.

Analisis dan Interpretasi Data.

Penyusunan Laporan

Gambar 1. Tahapan Penelitian (Rahayu, dkk.2010a)

Pengalengan (SDN Pengalengan 4 dan 8) yang mewakili wilayah rawan longsor, gempa bumi dan banjir. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data dilakukan dengan berbagai macam teknik, yaitu: 1) Wawancara, dilakukan untuk mend apatkan data tentang ker akte rist ik b elaj ar siswa dan per mainan tradisional anak yang dilakukan terhadap guru, siswa dan pemuka adat setempat; 2) Studi dokumentasi, dilakukan untuk mengumpulkan da ta t enta ng p erma inan tra disi onal ana k,

Hasil Penelitian dan Pembahasan Identifikasi Permainan Tradisional Mengenai permainan tradisional, melalui salah satu pertanyaan dalam kuesioner terhadap siswa, menunjukkan bahwa sebag ian besa r si swa menjawab tidak tahu dan tidak mengenal budaya di daerahnya. Sedangkan berdasarkan hasil wawancara dengan pemuka masyarakat, 4 orang guru SD di Kecamatan Kadudampit (SD Cibunar 2 dan SD Puncak Manis), diidentifikasikan bahwa kaulinan barudak (permainan anak) tradisional di Kecamatan Kadudampit, Kabupaten Sukabumi Jawa Barat, yaitu Bancakan, Perepet Jengkol, Oray-

432

Sri Tatminingsih dan Sudarwo, Pengembangan Paket dan Strategi Pembelajaran IPA melalui Permainan Tradisional untuk Siswa Kelas 3 SD di Daerah Rawan Bencana

orayan, Loncat Tinggi, Sonda, Egrang, Cing Ciripit dan Pacici Putri. Setelah dianalisis lebih lanjut maka pe rmai nan trad isional yang mungkin unt uk diterapkan yaitu Oray-orayan, Cing Ciripit dan Pacici Putri. Dari permainan yang teridentifikasi tersebut, dipilih permainan Oray-orayan, Cing Ciripit dan Pacici Putri. Ketiga permainan ini dipilih, karena

para guru yang akan menerapkan permainan ini menyatakan bahwa mereka mengenal dan tahu tentang memainkan permainan ini. Dengan demikian, para guru akan dapat mengajarkan permainan ini pada anak-anak didiknya. Ketiga permainan tersebut dijabarkan pada Tabel 1.

Tabel 1. Jenis Permainan Tradisional

Oray-orayan Cara bermain (asli) Permainan ini seperti permainan ular naga, anak yang berada paling akhir kemudian ditangkap dan ditanya mau pilih bulan atau bintang (2 pilihan yang lain juga bisa) kalau anak yang ditangkap tersebut pilih bintang misalnya, maka anak tersebut harus ikut di belakang orang yang punya pilihan bintang.

Pacici-cici Putri Permainan ini melibatkan 3 anak atau lebih. Satu orang berperan sebagai pemimpin. Anak-anak yang lain menelungkupkan kedua telapak tangannya, dan anak yang jadi pemimpin menekan punggung tangan anak buahnya memakai telunjuk sambil kawih ketika di akhir lagu kalau mau kembang apa anak yang tangannya terakhir ditunjuk harus menjawab setelah menjawab tangan yang ditunjuk harus disimpan di pundaknya (kalau tangan kanan disimpan di pundak kiri, kalau tangan kiri disimpan di pundak kanan) Pacici-cici putri trlk kembang celempung ada nona ada tuan kalau mau kembang apa........?" "Hayang kembang naon?" ck Inah nanya ka Titi bari nyekel kana leungeun katuhu Titi. "Hayang kembang seb........!" tmbal Titi. "Heeh........kabogohna ka anak Mang Leb ... !"

Cing Ciripit Permainan ini melibatkan 3 anak atau lebih. Satu orang menelentangkan telapak tangan kirinya, anak-anak yang lain menekan telapak tangan anak tersebut dengan telunjuk mereka sambil menyanyika lagu. Ketika di akhir lagu : mawa wayang jrekjreknong telapak tangan tersebut mencoba untuk menangkap telunjuk yang menempel di tangannya

Lagu pengiring (Bahasa Sunda) Oray-orayan luar leor mapay sawah Entong ka sawah parena keur sedeng beukah Oray-orayan luar leor mapay sawah, Entong ka sawah parena keur sedeng beukah, Mending ge teuleum, Di leuwi loba nu mandi, Saha nu mandi, Anu mandina pandeuri. Kokkokkok.

Cingciripit tulang bajing kacapit Kacapit ku bulu pare Bulu pare seuseukeutna Jol Pa Dalang Mawa wayang, jrekjreknong!

433

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012

Cara bermain (dalam penerapan pembelajaran) Sebelum permainan ini dimulai, Sebelum permainan ini Sebelum permainan ini tentukan dua anak yang akan dimulai, tentukan satu anak dimulai, tentukan satu menjadi penjaga. Permainan yang akan menjadi pemimpin anak yang akan menjadi dilakukan seperti permainan permainan. Di akhir lagu, anak pemimpin permainan. Di aslinya. yang tangannya ditunjuk akhir lagu, pemimpin harus menjawab pertanyaan permainan akan menangkap Anak yang berada di paling dari kartu pertanyaan yang telunjuk salah satu peserta belakang akan ditangkap oleh dua dipilih. Bila anak menjawab permainan, dan anak penjaga. Anak yang tertangkap benar, maka dia akan masuk tersebut harus menjawab tersebut akan diberikan pertanyaan kelompok Pemenang, bila pertanyaan dari kartu sesuai dengan kartu yang anak tersebut menjawab salah pertanyaan yang dipilih. dipilihnya yang dipegang oleh salah maka dia akan masuk Bila anak menjawab benar, satu dari anak yang menjadi kelompok Kalah. Permainan maka dia akan masuk penjaga. Bila anak yang tertangkap ini berakhir jika semua anak kelompok Pemenang. Bila menjawab benar, maka dia akan sudah masuk menjadi anggota anak tersebut menjawab masuk kelompok Pemenang, bila kelompok. salah, maka dia akan masuk anak tersebut menjawab salah kelompok Kalah. maka dia akan masuk kelompok Bagi anak-anak yang masuk Permainan ini berakhir jika Kalah. kelompok kalah maka ia semua anak sudah masuk akan mendapat hukuman, menjadi anggota kelompok. Permainan ini berakhir jika semua yaitu menirukan salah satu anak sudah tertangkap dan masuk gerakan penyelamatan diri Bagi anak-anak yang masuk menjadi anggota kelompok. Bagi saat terjadi bencana gempa kelompok kalah maka ia anak-anak yang masuk kelompok bumi dan banjir. akan mendapat hukuman, kalah maka ia akan mendapat yaitu menirukan salah satu hukuman, yaitu menirukan salah gerakan penyelamatan diri satu gerakan penyelamatan diri saat terjadi bencana gempa saat terjadi bencana gempa bumi bumi dan banjir. dan banjir. Setelah kegiatan permainan selesai, guru akan mengulas kembali jawaban-jawaban siswa dalam kegiatan permainan tersebut.
Sumber: Rahayu, dkk. 2010b)

Identifikasi Karateristik dan Gaya Belajar Siswa SD Kelas 3 Untuk mengidentifikasi karakteristik dan gaya belajar siswa SD kelas 3, digunakan kuesioner yang sifatntya terbuka dan tertutup. Terbuka arinya pertanyaan yang diajukan dapat dijawab siswa secar a be bas sesuai d enga n pe mahamannya sendiri. Tartutup artinya pertanyaan dalam kuesioner dapat dijawab siswa dengan memilih salah satu atau lebih jawaban yang sudah disediakan dalam kuesioner tersebut. Kuesioner tentang karakteristik dan gaya belajar siswa diberikan kepada siswa kelas 3 SD. Untuk mengisi kuesioner tersebut, siswa dibantu oleh guru. Caranya, yaitu dengan membacakan tiap pertanyaan lalu guru menjelaskan

maksud dari pertanyaan tersebut. Pada saat menjawab, guru dan peneliti tidak melakukan intervensi sama sekali terhadap jawaban yang dituliskan siswa. Be rdasarka n kuesioner yang me ngga li pendapat siswa tentang karakteristik dan gaya belajar mereka, yang disebar kepada 28 siswa kelas 3 SD Puncak Manis Kabupaten Sukabumi diperoleh hasil sebagai berikut. Sebanyak 20% siswa dapat menerima pembelajaran dengan cepat dan 10% menerima pembelajaran dengan lambat dan 70% menyatakan antara cepat dan lambat. Ketika ditanyakan apakah mereka pernah meminta bantuan guru untuk menje lasakan materi pembelajaran yang disampaikan, sebagian

434

Sri Tatminingsih dan Sudarwo, Pengembangan Paket dan Strategi Pembelajaran IPA melalui Permainan Tradisional untuk Siswa Kelas 3 SD di Daerah Rawan Bencana

besar 70% menyatakan tidak pernah bertanya at au m eminta b antuan guru. Al asan siswa bertanya atau meminta bantuan kepada guru adalah 48% siswa menginginkan pengulangan penjelasan, 26% siswa mengharapkan klarifikasi dari yang dijelaskan guru, dan 20% mengharapkan diberikan contoh atau pendalaman atau pengayaan. Data tentang lamanya siswa dapat berkonsentrasi pada pelajaran menunjukan bahwa 50% siswa menyatakan dapat berkonsentrasi sampai dengan pelajaran selesai. Selama guru menjelaskan pelajaran di kelas 100% siswa memperhatikan penjelasan guru dan mencatat. Selain itu, 90% siswa menyatakan bahwa orang tuanya membiasakan mereka untuk belajar pada jam tertentu. Tindakan orang tua apabila anak tidak belajar setiap hari: 30% menasehati dan menemani 30% memarahi dengan kata-kata, 20% mendiamka n saj a, dan sisinya (2 0%) ti dak me njaw ab. Wakt u ya ng disukai anak unt uk belajar: 70% pada malam hari. Alasannya adalah karena pada malam hari waktunya lebih panjang, tidak panas dan bisa belajar sambil bertanya pada orang tua/orang lain. Lama belajar pada waktu yang disukai adalah 30% siswa belajar selama 30 menit - 1 jam, 50% siswa belajar selama 1-2 jam dan 30% siswa belajar lebih dari 3 jam. Hasil tersebut menunjukkan bahwa siswa SD di daerah tersebut memiliki karakteristik antara cepat dan lambat dan dapat berkonsetrasi dalam menerima pel ajar an y ang d isam paik an. Adapun untuk belajar di rumah, mereka hanya akan belajar jika ada PR atau tugas dari sekolah. Mereka juga lebih nyaman belajar pada malam hari antara 30 menit hingga 2 jam. Orang tua tidak memaksa anaknya untuk belajar, namun hanya mengarahkan saja. Selain itu, bila anak mereka tidak belajar orang tua akan menasehati dan menemani hingga memarahi anak mereka. Identifikasi Paket Pembelajaran yang Sesuai untuk Siswa SD Kelas 3 Identifikasi paket pembelajaran yang sesuai untuk siswa SD kelas 3 didapat dari hasil kuesioner yang diberikan kepada siswa SD kelas 3 dengan sampel yang sama. 26% siswa menyatakan bahwa guru sering menggunakan alat peraga, 38% siswa menyatakan bahawa guru jarang menggunakan

alat peraga, dan 36% siswa menyatakan bahawa guru tidak pernah menggunakan alat peraga. 92% siswa menyatakan bahwa mereka memperhatikan penjelasan yang disampaikan guru pada saat guru menggunakan alat peraga dan 8% lainnya tidak memperhatikannya. Media yang paling disukai untuk digunakan dalam pembelajaran oleh 26% siswa adalah gambar, 21% siswa menyukai buku, 17% siswa menyukai benda sebenarnya, 13% siswa menyukai film, 8% siswa menyukai benda tiruan (model), 8% siswa menyukai benda yang mengandung unsur seni, dan 7% siswa menyukai media audio/ radio. Berdasarkan data tersebut, maka paket pe mbel ajar an y ang dap at d igunakan dal am penelitian ini antara lain berupa bahan ajar cetak (buku yang dilengkapi gambar), audio (kaset atau compact disk) dan video Pengembangan Paket dan Strategi Pembelajaran Da lam pene liti an i ni, dike mbangkan pak et pembelajaran adalah materi yang terkait dengan materi pelajaran IPA SD yang dikaitkan dengan bencana ala m. Paket pem bela jara n da lam penelitian yang dikembangkan dijabarkan sebagai berikut: 1) Buku petunjuk guru yang di dalamnya me muat tentang Rancang an Pelak sana an Pembelajaran (strategi) dengan model PAKEM; 2) Buku siswa yang memuat materi dan petunjuk kerja bagi siswa yang dikaitkan dengan permainan anak dengan lagu pengiring berbahasa Sunda; 3) Booklet seri bencana yang terdiri atas 5 booklet. yaitu Bencana Gempa Bumi, Bencana Banjir, Bencana Longsor, Bencana Gunung Meletus, dan Bencana Tsunami. Booklet ini dirancang bergambar dan berwarna, serta menggunakan bahasa yang komunikatif. Dalam artikel ini booklet yang digunakan hanya booklet yang diterapkan di SDN Puncak Manis, yaitu booklet tentang Bencana Gempa Bumi, Bencana Banjir; 4) Program video yang menggambarkan/mencontohkan permainan anak yang diintegrasikan ke dalam pembelajaran yang aktif kreatif dan menyenangkan terkait dengan topik bencana; 5) Perangkat kartu soal untuk materi bencana: gempa bumi dan banjir. Pertanyaan yang ada pada kartu soal meliputi materi bencana itu sendiri, mitigasi dan sanitasi. Kartu soal memuat pertanyaan dan jawaban.

435

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012

Kartu soal dibuat dengan menggunakan kertas warna agar menarik bagi siswa (Rahayu, dkk. 2010a). Selain Paket Pembelajaran, dikembangkan pula strat egi dala m me mbel ajar kan mate ri tersebut dengan mengintegrasikan permainan tradisional anak. Strategi pembelajaran digambarkan pada Gambar 2.

memahami materi. Untuk materi mitigasi dan sanitasi terkait bencana banjir, penguasaan dan pemahaman siswa kelas 3 SDN Puncak Manis mengalami peningkatan sebesar 0,58%. Hal ini

menunjukkan bahwa isi materi booklet mitigasi dan


sanitasi terkait bencana banjir sesuai untuk siswa kelas 3 SD dan penggunaan permainan tradisional (Oray-orayan, Cing Ciripit dan Pacici-cici Putri) dapat membantu siswa memahami materi tersebut.

Pretest Kuesioner siswa awal

Menjelaskan Tujuan Topik Manfaat

Mengondisikan kelas

Membagi dan belajar booklet Nonton DVD

Posttest Kuesioner siswa akhir

Mengulas kembali materi Melengkapi buku siswa

Bermain: Orayorayan Pacici Putri Cing caripit

Menegaskan cara bermain Membagi siswa menjadi 3 kelompok Mengisi buku siswa

Gambar 2. Alur Strategi Pembelajaran

Uji Coba Penerapan Pembelajaran Melalui Kegiatan Permainan Tradisional bagi Siswa Kelas 3 SD Hasil Pretest dan posttest

Nilai

Materi Gempa Bumi Pretes 3,15 Postes 3,95 0,79

Materi Banjir

Keterangan

Pretes 2,89

Postes 3,47

Rata-Rata Peningkatan dalam%

0.58

Dari data tersebut tampak bahwa untuk materi mitigasi dan sanitasi terkait bencana gempa bumi, rata-rata pemahaman siswa kelas 3 SDN Puncak Manis Sukabumi mengalami peningkatan sebesar 0,79%. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan paket pembelajaran yang berupa booklet dan buku siswa tentang materi mitigasi dan sanitasi terkait bencana gempa bumi yang disampa ikan mel alui keg iata n pe rmai nan tradisional seperti Oray-orayan, Cing Ciripit dan Pacici-cici Putri , dapat lebih membatu siswa

Hasil kuesioner siswa sebelum ujicoba penerapan pembelajaran melalui permainan tradisional Sebelum strategi pembelajaran diterapkan, siswa diberikan kuesioner dengan pertanyaan terbuka. Be rikut ad alah rangkuman jawa ban sisw a. Sebagian besar siswa menyatakan menyukai pelajaran IPA, dengan alasan pelajaran IPA sangat menarik, menyenangkan, asyik dan tidak membosankan. Hanya 10% siswa yang tidak menyukai pelajaran IPA dengan alasan pelajaran

436

Sri Tatminingsih dan Sudarwo, Pengembangan Paket dan Strategi Pembelajaran IPA melalui Permainan Tradisional untuk Siswa Kelas 3 SD di Daerah Rawan Bencana

IPA sulit dipelajari. Sebagian besar siswa (95%) juga menyatakan kesulitan dalam mempelajari IPA, karena mata pelajaran tersebut memang sulit dan tidak mudah dimengerti. Hasil kuesioner siswa dan guru setelah ujicoba penerapan paket pembelajaran melalui permainan tradisional Setelah selesai penerapan pembelajaran melalui permainan tradisional, siswa diberikan kuesioner untuk mengetahui pendapat mereka terhadap pelaksanaan pembelajaran melalui permainan tradisional. Berikut adalah rangkuman jawaban siswa. Sebanyak 26% siswa menyatakan tidak menyukai pelajaran IPA melalui permainan, karena menurut mereka, belajar IPA seharusnya tidak sambil bermain karena akan mengganggu konsentrasi dan 74% siswa yang menyatakan senang atau suka jika pelajaran IPA dilakukan melalui permainan dengan bernyanyi dan bermain karena akan semakin menyenangkan. Selain itu, sebanyak 65% siswa menyatakan mer eka tida k me ngal ami kesulita n da lam mempelajari pelajaran IPA dengan alasan ada buku bergambar yang membantu mereka belajar, dilakukan dengan permainan sehingga perasaan mereka senang dan gembira, serta belajarnya di dalam d an di luar kel as. Ketika dit anyakan tentang pe rasaan mereka saat p elaksanaan pembelajaran melalui permainan, sebagian besar siswa (85%) menyatakan sangat menyukai dan menyenanginya karena pelajaran IPA menjadi tidak sulit, tidak menegangkan, menyenangkan, gembira dan bisa lebih bebas bermain. Ada 15% siswa yang tetap menyatakan bosan, alasan me reka ada lah deng an b elaj ar I PA m elal ui permainan tradisional, menjadi tidak serius, tidak bi sa k onse ntra si d an k egia tannya m enja di membosankan dan membuat mereka berpikir terus. Hasil i ni m enunjukk an b ahwa dengan menggunakan permainan tradisional dengan cara yang menyenangkan dalam pembelajaran IPA di SD aka n me mbua t se bagi an b esar siswa menyukai pelajaran IPA ini. Selain itu, penggunaan paket berupa booklet berupa buku bergambar akan membuat siswa semakin tertarik untuk mempelajari dan memahami materi pelajaran IPA.

Menurut pendapat guru, penerapan pembelajaran IPA dengan fokus materi Banjir dan Gempa bumi untuk siswa kelas 3 SD adalah sangat baik dan sangat membantu guru dalam menyampai kan mate ri p embe laja ran. Str ateg i ya ng di kemb angk an j uga sang at m udah unt uk diterapkan dan tidak membutuhkan pelatihan yang panjang. Namun, untuk menerapkannya diperlukan perangkat multi media, seperti video pl ayer aga r ke seluruha n ma teri dan pak et pembelajaran yang disediakan dapat dimanfaatkan lebih optimal. Namun, dengan bahan ajar

cetak yang tersedia ( booklet, buku siswa dan buku


petunjuk guru serta kartu soal) materi tersebut da pat tersampa ikan de ngan bai k. Apala gi diterapkannya melalui permainan tradisional yang membuat kegiatan pembelajaran menjadi menarik dan menyenangkan. Dengan cara ini juga, anakanak dapat lebih kreatif dan semangat mengikuti pembelajaran. Kondisi Sekolah Puncak Manis t erle tak di D esa Suka Manis Kecamatan Kadudampit, Kabupaten Sukabumi. Lokasi sekolah ini terletak di puncak bukit di kaki Gunung Gede. Kelas-kelas terdapat dalam dua lokasi yang berbeda. Kelas 1, 2, 3, 6 terletak di bagian atas dan terlihat bagus dengan bangunan tembok yang permanen. Meskipun di beberapa tempat terdapat retakan yang menurut guru dan siswa adalah akibat gempa yang terjadi padqa tanggal 2 September 2009 (yang berpusat di Tasikmalaya). Dua kelas lainnya terletak di bagian bawah. Antara kelas bagian atas dan kelas bagian bawah di hubungkan dengan anak tangga yang terbuat dari adukan semen. Kemiringan letak antara kelas di atas dan di bawah adalah sekitar 90
0

dan berjarak kurang lebih 50 meter. Kondisi

ruang kelas yang terdapat pada bagian bawah merupakan dua ruangan yang terpisah. Salah satunya berukuran kurang lebih 6X6 meter dan yang satunya lagi berukuran 4 X 5 meter. Dinding di kedua ruangan itu cukup memprihatinkan. Bagian temboknya sudah berlubang dan ditutupi papan triplek. Di antara kelas yang terletak di atas dan kelas yang di bawah, pada bagian tengah terdapat kamar mandi yang terdiri dari 2 kamar mandi. Meski kondisinya kurang bagus, namun kamar mandi ini tampak bersih dengan

437

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012

sumber air yang jernih dan mengalir lancar. SD N Puncak Manis memiliki 177 murid yang terdiri dari kelas 1 hingga kelas 6 masing-masing yang tergabung dalam satu rombongan belajar.

hasil belajar siswa. Menurut guru, strategi ini mudah diterapkan, hanya kendalanya adalah tidak adanya perangkat untuk memutar video yang terdapat dalam paket pembelajaran ini. Kelima, hasil uji coba penerapan pembelajaran melalui permainan tradisional ini menunjukkan adanya peningkatan pemahaman siswa kelas 3 SDN Puncak manis terhadap materi yang disampaikan, yaitu untuk materi gempa bumi terjadi peningkatan sebesar 0,79 dan untuk materi banjir terjadi peningkatan sebesar 0,58 dengan rentang nilai 0-10. Skor tertinggi yang diperoleh siswa adalah 8 (dari sepuluh soal yang diberikan) Saran Ber dasar kan simpul an ya ng te lah d iurai kan tersebut, rekomendasi yang dapat disampaikan adalah sebagai berikut. Pertama, sebaiknya kearifan lokal diintegrasikan dalam kegiatan pembelajaran, khususnya permainan trasisional anak. Selain untuk melestarikan kearifan masing-masing daerah juga unt uk m engenalka n dan menanamk an p ada si swa tent ang buda ya l okal yang di mili ki daerahnya masing-masing. Pengintegraian ini juga da pat digunaka n untuk mem buat pel ajar an menjadi lebih bervariasi, menarik dan menyenangkan. Kedua, karakteristik siswa di tiap wilayah berbeda-beda. Sebaiknya dalam menyampaikan pelajaran, mengembangkan suatu model atau paket pembelajaran pengembang perlu memperhatikan karakteristik yang dimiliki oleh siswa yang akan menggunakannya. Ketiga, sebaiknya dikembangkan paket pembelajaran yang bisa mengoptimalkan belajar anak yang meliputi bahan ajar cetak, video dan audio sehingga kemampuan belajar siswa yang berupa auditif, visual dan audio visual dan reading, writing dapat terakomodasi dengan baik. Keempat, meskipun strategi pembelajaran ini dapat meningkatkan kreativitas, keaktifan dan hasil belajar siswa namun peran guru/pendamping tetap tidak dapat dig anti kan deng an m edia . Ke lima , St rate gi pembelajaran ini masih jauh dari sempurna, semoga ada pihak lain yang merasa berkepentingan yang akan melakukan penelitian dan pengemb anga n la njuta n se hing ga hasil ny a semakin sempurna dan apat diterapkan pada siswa SD kelas 3.

Simpulan dan Saran Simpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dengan populasi siswa SD kelas 3 SDN Puncak Ma nis Keca mata n Ka duda mpit Suk abum i, diperoleh hasil yang disimpulkan sebagai berikut. Pertama, permainan tradisional anak-anak

( Kaulinan Barudak) termasuk budaya yang hampir


dilupakan oleh sebagian masyarakat Jawa Barat, khususnya anak-anak sebagai generasi penerus bangsa. Hampir seluruh siswa kelas 3 di SDN Puncak Manis t idak me nget ahui per mainan tra disi onal yang ad a di dae rahnya. Kedua, karakteristik siswa di SDN Puncak Manis Kecamatan Kadudampit-Sukabumi yang dapat teridentifikasi adalah bahwa sebagian besar siswa merasakan trauma terhadap bencana, khususnya gempa bumi dan banjir. Selain itu, siswa di daerah sampel memiliki ketergantungan yang cukup tinggi dengan guru, kurang kreatif, kurang memiliki keb eranian untuk ber tany a da n me njaw ab pertanyaan. Selain itu, kemampuan membacanya masih belum mahir dan kemampuan memahami materi masih cukup terbatas sehingga materi yang akan disampaikan harus jelas dan rinci serta menarik. Ketiga, berdasarkan hasil identifikasi karakteristik siswa dan permainan tradisional di wilayah sampel, maka paket pembelajaran yang paling sesuai untuk siswa kelas 3 SDN Puncak Manis adalah paket dengan multi media, yaitu berupa bahan ajar cetak yang juga dilengkapi dengan media video. Paket pembelajaran yang dikembangkan meliputi materi pembelajaran IPA dengan fokus pada bencana gempa bumi dan banjir yang dirancang dalam bentuk buku siswa dan buku petunjuk guru serta booklet bergambar yang diintegrasikan dengan permainan trasisional anak (Oray-orayan, Cing Ciripit dan Pacici Putri) yang dikemas dalam bentuk video sehingga menarik dan menyenangkan. Keempat, hasil penerapan st rate gi p embe laja ran berb asis per mainan tradisional ini cukup memuaskan. Hal ini dapat dilihat dari hasil kuseioner untuk siswa dan guru diperoleh hasil bahwa paket pembelajaran ini dapat meningkatkan keaktifan, kreativitas dan

438

Sri Tatminingsih dan Sudarwo, Pengembangan Paket dan Strategi Pembelajaran IPA melalui Permainan Tradisional untuk Siswa Kelas 3 SD di Daerah Rawan Bencana

Pustaka Acuan Kodoatie Robert J. dan Sugiyanto. 2002. Banjir Berberapa Penyebab dan Metode Pengendaliannya dalam Perspektif Lingkungan, Jogjakarta: Pustaka Pelajar.

Rahayu. U, Sekarwinahyu, M., Tatminingsih, S. 2010a. Pengembangan Paket Pembelajaran untuk Siswa
Sekolah Dasar di Daerah Rawan Bencana, Laporan Penelitian Strategis Nasional, Jakarta: Kemendiknas. Rahayu. U, Sekarwinahyu, M., Tatminingsih, S. 2010b. Paket Pembelajaran di Daerah Rawan Bencana (Petunjuk Guru). Bagian dari Laporan Penelitian Strategis Nasional, Jakarta: Kemendiknas.

Ridwan N. A. 2008. Landasan Keilmuan Kearifan Lokal, Diambil 9 Pebruari 2009 dari http://
ibda.files.wordpress.com/2008/04/2-landasan-keilmuan-kearifan-lokal.pdf Rositawaty dan Muharam, Anis. 2008. Senang Belajar Ilmu Pengetahuan Alam 3 (untuk Sekolah

Dasar/Madrasah Ibtidaiyah KelasIII). Jakarta: Pusat Perbukuan Depdiknas. Senjaya, Wina. 2008. Strategi Pembelajaran; Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Tatminingsih, Sri. 2009. Membisikan Pesan-Permainan Sederhana Berguna Luar Biasa: Modifikasi Permainan Tradisional Sebagai Sarana Pengembangan Kemampuan Anak. Jurnal Online Jendela. Jakarta: Pusat Studi Psikologi dan Pendidikan Anak. Utomo, Pristiadi. 2011. Ilmuwan Muda, Piaget dan Teorinya. Diunduh pada 15 Desember, 2011 pkl

15.33. http://ilmuwanmuda.wordpress.com/piaget-dan-teorinya. Yayasan IDEP. 2007a. Gempa Bumi! Cerita Tentang Peran Masyarakat Desa Saat Menghadapi Bencana Gempa. Bali: Yayasan IDEP. Yayasan IDEP. 2007b. Banjir! Cerita tentang Peran Masyarakat Saat Terjadi Banjir. Bali: Yayasan IDEP.

439

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012

PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN SEJARAH SMA BERBASIS PENDIDIKAN KARAKTER DI SOLO RAYA (DEVELOPMENT HISTORY OF SMA-BASED LEARNING MODEL IN SOLO RAYA CHARACTER EDUCATION)
Leo Agung S. Program Studi Pendidikan Sejarah Jurusan P.IPS FKIP-UNS Jl.Ir. Sutami No.36 A, Kentingan, Surakarta e-mail: leo.agung56@yahoo.co.id
Diterima tanggal: 1/10/2012, Dikembalikan untuk revisi: 3/11/2012, Disetujui tanggal: 20/12/2012 Abstrak: Penelitian eksploratif ini bertujuan untuk: 1) mengetahui tujuan, materi, metode, media, dan evaluasi pembelajaran Sejarah di Sekolah Menengah Atas (SMA); 2) mengidentifikasi faktor-faktor pendukung dan penghambat pembelajaran Sejarah di SMA; 3) mengeksploitasi pemahaman guru-guru Sejarah di SMA terhadap model-model pembelajaran Sejarah; dan 4) menyusun model Pembelajaran Sejarah Berbasis Pendidikan Karakter. Subjek penelitian adalah guru-guru Sejarah SMA Solo Raya. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah observasi, wawancara, analisis dokumen, angket dan Focus Group Discussion. Metode analisis data menggunakan analisis kualitatif model interaktif. Hasil penelitian menunjukkan, bahwa: 1) tujuan pembelajaran Sejarah menanamkan semangat kebangsaan, cinta bangsa dan tanah air; materi sesuai dengan Standar Isi; metode ceramah bervariasi, media power point, film dan Liquid Crystal Display, sedangkan evaluasinya masih banyak pada aspek kognitif; 2) Faktor pendukung pembelajaran Sejarah, yaitu adanya model-model pembelajaran inovatif, faktor penghambatnya buku BSE yang minim, dan adanya diskriminatif mata pelajaran; 3) sebagian besar guru-guru SMA telah memahami model-model pembelajaran; dan 4) tersusunnya model Kritis, Kreatif, Berantai dan Berkarakter (KKBB). Kata kunci: pembelajaran Sejarah, guru Sejarah, Sekolah Menengah Atas, dan pendidikan karakter Abstract: This exploratory study aims to: 1) determine objectives, materials, methods, media and evaluation of history teaching in senior secondary schools; 2) identify factors that support and inhibit history teaching in senior secondary schools; 3) exploit the understanding of history teachers of senior secondary schools on history teaching models; and 4) establish a model for character education based-history learning. Research subjects are history teachers of senior secondary schools in Solo Raya. Data were collected using observation, interviews, document analysis, questionnaire and Focus Group Discussion techniques, and analyzed using the method of qualitative interactive model. The results showed that: 1) purpose of history teaching inculcate the spirit of nationalism, love of nation and homeland; materials in accordance with the Content Standards; lecture methods varies, power point media, film and Liquid Crystal Display, while the evaluation is still tend to focus on cognitive aspects; 2) supporting factor of history teaching is the development of innovative learning models, while the inhibiting factors are the lack number of BSE book and discrimination on the subjects; 3) majority of history teachers of senior secondary schools have understood the learning models, and 4) completion of the Critical, Creative, Chain and Character model (KKBB). Keywords: history teaching, the history teacher, senior secondary schools, and character education

412

Leo Agung S., Pengembangan Model Pembelajaran Sejarah SMA Berbasis Pendidikan Karakter di Solo Raya

Pendahuluan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dijelaskan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan ke mamp uan dan memb erik an w atak ser ta peradaban bangsa yang bermart abat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta di dik agar menjadi manusia yang be rima n, bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri , da n me njad i wa rga nega ra y ang demokratis serta bertanggung jawab (Pasal 3, UU Nomor 20/2003). Rumusan tujuan pendidikan tersebut sangat ideal dan komprehensif. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan suasana kebatinan dan semangat serta memberi motivasi bagi setiap komponen manusia yang terkait untuk terus berusaha mencapai cita-cita yang ideal. Dalam pelaksanaannya pendidikan sebagai proses pembinaan bangsa, masih sangat memprihatinkan. Perkembangan kehidupan masyarakat masih ditandai dengan berbagai ketimpangan moral, akhlak, masalah-masalah sosial, ekonomi, politik dan jati diri bangsa. Inilah problem-problem yang kini banyak meng emuk a di Ind onesia. Hal ini menunjukkan bahwa pe ndid ikan kit a be lum ma mpu meng emba ngk an Indonesi a m anusia d an ya ng masyara kat 2006). Hal ini tid ak sesua i de ngan mak na d an maksud pembelajaran Sejarah. Mata pelajaran Sejarah memiliki arti strategis dalam pembentuk an w atak dan per adab an b angsa ya ng bermartabat serta dalam pembentukan manusia Indonesia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air. Menurut Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006 materi Sejarah: 1) Mengandung nilainilai kepahlawanan, keteladanan, kepeloporan, patriotisme, nasionalisme, dan semangat pantang menyerah yang mendasari proses pembentukan watak dan kepribadian peserta didik; 2) Memuat khasanah mengenai peradaban bangsa-bangsa, termasuk peradaban Bangsa Indonesia. Materi tersebut merupakan bahan pendidikan yang me ndasar b agi proses p embe ntuk an d an penciptaan peradaban Bangsa Indonesia di masa se baga imana

depan; 3) Menanamkan kesadaran persatuan dan persaudaraan serta solidaritas untuk menjadi perekat bangsa dalam menghadapi ancaman disintegrasi bangsa; 4) Sarat dengan ajaran moral dan kearifan yang berguna dalam mengatasi krisis multidimensi yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari; dan 5) Berguna untuk menanamkan dan mengembangkan sikap bertanggung jawab dalam memelihara keseimbangan dan kelestarian lingkungan hidup. Merujuk pendapat Kartodirdjo (1988) bahwa dalam rangka pembangunan bangsa, pengajaran Sejarah tidak semata-mata berfungsi untuk me mber ikan pengeta hua n Se jara h, sebag ai kumpulan informasi fakta Sejarah tetapi juga be rtuj uan meny adar kan pese rta didi k at au membangkitkan kesadaran Sejarahnya. Sebab, seperti yang tertuang dalam Peraturam Menteri Pe ndid ikan Nasiona l N omor 22 Tahun 20 06 tentang Standar Isi, pelajaran Sejarah atau pengetahuan masa lampau tersebut mengandung nilai-nilai kearifan yang dapat digunakan untuk melatih kecerdasan, membentuk sikap, watak, dan kepribadian peserta didik. Untuk itu, nilai-nilai Sejarah harus dapat tercermin dalam pola perilaku nyata peserta didik. Dengan melihat pola perilaku yang tampak, dapat mengetahui kondisi kejiwaan berada pada tingkat penghayatan pada makna dan hakikat Sejarah pada masa kini dan masa mendatang. Dengan kata lain, pembelajaran Sej arah mem ilik i pe rana n pe nting da lam pembentukan karakter peserta didik. Berkaitan dengan pendidikan karakter, telah dilakukan beberapa penelitian, antara lain oleh Ghufron (2010) menyatakan bahwa salah satu masalah krusial Bangsa Indonesia, terutama yang berka itan denga n penyiapa n SDM siap berkompetitif di era global adalah krisis nilai-nilai karakter bangsa. Oleh karena itu, perlu adanya integr asi nila i-ni lai kar akte r ba ngsa dal am keg iata n pe mbel ajar an untuk sem ua m ata pelajaran di sekolah. Penelitian Wardhani (2010) menyatakan bahwa upaya mewujudkan peradaban bangsa melalui pendidikan karakter tidak pernah terlepas dari lingkungan pendidikan baik di dalam keluarga, sekolah, dan masyarakat. Guru memiliki tanggung jawab besar dalam menghasilkan generasi yang berkarakter, berbudaya, dan bermoral. Untuk

diharapkan (Rokhman, Nurhadi, dan Muhsinatun,

413

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012

mewujudkan manusia Indonesia yang berkarakter kuat, perlu kiranya diterapkan konsep pendidikan Ki Hajar Dewantara dengan sistem among, tutwuri handayani, dan tringa (ngerti, ngroso, nglakoni). Penelitian Syukur (2010) menyatakan bahwa pad a ta hun 2010 Kem ente rian Pendidi kan Nasional RI menetapkan pembangunan karakter bangsa menjadi program pendidikan nasional untuk menyelamatkan Bangsa Indonesia dari keterpurukan akibat krisis multidimensional yang masih berlangsung hingga saat ini. Meskipun cukup banyak penelitian tentang pe ndid ikan karakte r, namun dar i be rbag ai penelitian tersebut masih sangat sedikit penelitian yang mengimplementasikan nilai-nilai karakter dalam pembelajaran Sejarah. Dengan demikian, pe neli tian tentang : Peng emba ngan Mod el Pembelajaran Sejarah SMA Berbasis Pendidikan Karakter di Solo Raya perlu dilakukan dalam mendukung program pemerintah umumnya dan program kebijakan Wali Kota Surakarta khususnya tentang implementasi pendidikan karakter dalam pembelajaran yang mulai dicanangkan pada tahun pelajaran 2011-2012 (Solo Pos, 19 Juni 2011). Berdasarkan paparan seperti yang telah dijelaskan di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian, yaitu: 1) bagaimanakah tujuan, materi, me tode , me dia dan eva luasi pe mbel ajar an Sejarah yang dilaksanakan di SMA Solo Raya?; 2) apakah yang menjadi faktor penghambat dan faktor pendukung terhadap pembelajaran Sejarah yang dilaksanakan di SMA Solo Raya?; 3) bagaimanakah pemahaman guru-guru Sejarah SMA di Solo Raya terhadap model-model pembelajaran?; dan 4) bagaimanakah merumuskan rancangan model pembelajaran Sejarah berbasis pendidikan karakter di SMA sebagai upaya memperkuat diri bangsa. Secara umum, penelitian dan pengembangan ini ber tujuan untuk menghasilka n model pembelajaran Sejarah SMA Berbasis Pendidikan Karakter. Adapun secara khusus, tujuan yang hendak dicapai melalui penelitian dan pengembangan ini, sebagai berikut: 1) mengidentifikasi tujuan, materi, metode, media dan evaluasi pembelajaran Sejarah; 2) mengeksplorasi faktor penghambat dan faktor pendukung terhadap pembelajaran Sejarah; 3) mengekplorasi pemajati

haman guru-guru Sejarah SMA terhadap modelmod el p embe laja ran; dan 4) merumusk an rancangan model Pembelajaran Sejarah Berbasis Pe ndid ikan Kar akte r di SMA seb agai upa ya meningkatkan kualitas pembelajaran Sejarah dan memperkuat jati diri bangsa. Kajian Literatur Pa sal 3 Undang Und ang Sistem Pend idik an Nasional No. 20 Tahun 2003 disebutkan, bahwa Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga neg ara ya ng de mokrat is ser ta be rtangg ung jaw ab. Ama nah UU Sisdi knas tahun 2 003 ber maksud a gar pend idik an t idak hanya membentuk insan Indonesia yang cerdas, namun juga berkepribadian atau berkarakter, sehingga nantinya akan lahir generasi bangsa yang tumbuh berkembang dengan karakter yang bernafas nilainilai luhur bangsa serta agama (Suyanto, 2010). Tujuan pendidi kan nasi onal itu mer upak an rumusan mengenai kualitas manusia Indonesia yang harus dikembangkan oleh setiap satuan pendidikan. Oleh karena itu, rumusan tujuan pe ndid ikan nasiona l m enja di d asar dal am pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa. Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa Budaya diartikan sebagai keseluruhan sistem berpikir, nilai, moral, norma, dan keyakinan (belief) manusia yang dihasilkan masyarakat (Kemdiknas, 2010a). Sistem berpikir, nilai, moral, norma, dan keyakinan itu adalah hasil dari interaksi manusia dengan sesamanya dan lingkungan alamnya. Karakter adalah watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebajikan ( virtues) yang diyakini dan digunakan sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir, bersikap, dan bertindak (Kemdiknas, 2010b). K ebajikan terdiri atas sejumlah nilai, moral, dan norma, seperti jujur, berani bertindak, dapat dipercaya, dan hormat

414

Leo Agung S., Pengembangan Model Pembelajaran Sejarah SMA Berbasis Pendidikan Karakter di Solo Raya

kepada orang lain. Interaksi seseorang dengan orang lain menumbuhkan karakter masyarakat dan kar akte r ba ngsa . Ol eh k arena it u, p enge mbangan kara kter bangsa hany a da pat di lakukan mela lui pengemb anga n ka rakt er individu seseorang. Akan tetapi, karena manusia hi dup dala m li ngkungan sosial dan buda ya tertentu, maka pengembangan karakter individu se sera ng hanya dap at d ilak ukan dal am lingkungan sosial dan budaya yang bersangkutan. Lingkungan sosial dan budaya bangsa adalah Pancasila; jadi pendidikan budaya dan karakter bangsa haruslah berdasarkan nilai-nilai Pancasila. Dengan kata lain, mendidik budaya dan karakter ba ngsa ada lah meng emb angk an nilai -nil ai Pancasi la p ada diri peserta did ik m elal ui pendidikan hati, otak, dan fisik. Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa (YME), diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun keba ngsa an sehingga menjadi manusia insan kamil (Kemdiknas, 2010b). Berdasarkan pengertian budaya, karakter bangsa, dan pendidikan yang telah dikemukakan di atas, maka pendidikan budaya dan karakter ba ngsa dim akna i se bag ai p endi dika n ya ng mengembangkan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa pada diri peserta didik, sehingga memiliki nilai dan karakter, menerapkan nilai-nilai tersebut da lam kehi dupa nnya , ba ik sebag ai a nggota masyarakat, maupun sebagai warganegara yang re ligi us, nasi onal is, prod ukti f da n kr eati f. Pengembangan nilai-nilai pendidikan budaya dan karakater bangsa diintegrasikan dalam setiap pokok bahasan dari setiap mata pelajaran. Nilainilai tersebut dicantumkan dalam silabus dan RPP. Model Pembelajaran Jacobsen, Eggen, dan Kauchak (2009) menyatakan bahwa model pembelajaran dimaksudkan sebagai strategi perspektif pembelajaran yang dirancang untuk mencapai tujuan pembelajaran. Ar ends (19 77) meny atak an b ahwa m enga cu p ada mod el pe mbel ajar an pend ekat an

oleh Arends, yaitu: 1) rasional teoritis yang bersifat logis yang bersumber dari perancangan; 2) dasar pemikiran tentang tugas pembelajaran yang hendak dicapai dan bagaimana siswa belajar untuk mencapai tujuan tersebut; 3) aktivitas guru yang diperlukan agar model pembelajaran dapat dilaksanakan; dan 4) lingkungan belajar yang diperlukan untuk mencapai tujuan pembelajaran. Dari rumusan di atas dapat diketahui bahwa model pembelajaran merupakan petunjuk bagi guru dalam merencanakan dan melaksanakan pembelajaran di kelas. Lebih lanjut Joyce, Weil, dan Showers (2002) mengemukakan adanya lima unsur penting dari suatu model pembelajaran, kelima unsur tersebut adalah syntac, social system, principle of reaction, support system dan instructional and nurturent effecs. Terkait dengan model-model pembelajaran, Joyce, Weil dan Calhoun (2009) mengemukakan adanya empat family /rumpun, yaitu: 1) rumpun sosial, 2) rumpun proses informasi, 3) rumpun pe rsonal, dan 4) r ump un p eril aku. Mod el Pembelajaran Sejarah SMA Berbasis Pendidikan Kar akte r ini me ngacu ke pada mod el y ang dikemukakan oleh Joyce, Weil dan Calhoun (2009) se pert i ya ng d ikem uka kan di a tas, yak ni perubahan perilaku ke arah yang diharapkan, baik dalam aspek kognitif maupun aspek afektif. Oleh karena itu, model ini lebih mengacu pada Rumpun Perilaku. Pendidikan Nilai dan Pendekatan Klarifikasi Nilai Menurut Kaswadi (1993) pendidikan nilai adalah penanaman dan pengembangan nilai-nilai pada diri seseorang. Mardiatmadja (1996) mendefinisikan pendidikan nilai sebagai bantuan terhadap peserta didik untuk menyadari dan mengalami nilai-nilai serta menempatkannya secara integral dalam keseluruhan hidupnya. Pendidikan nilai, pada dasarnya merupakan proses penanaman nilai kepada peserta didik dengan harapan agar peserta didik dapat berperilaku sesuai dengan pandangan yang dianggapnya baik dan tidak bertentangan dengan norma-norma yang berlaku (Sanjaya, 2010). Da ri b eber apa pend apat di atas dap at disimpulkan bahwa pendidikan nilai adalah proses penanaman nilai-nilai luhur kepada peserta didik

pembelajaran yang akan diterapkan. Ada empat ciri khas model pembelajaran yang dikemukakan

415

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012

de ngan har apan aga r p eser ta d idik dap at berperilaku sesuai norma-norma yang berlaku. Oleh karena itu, untuk dapat melahirkan peserta didik yang mampu memilah dan memilih secara cerdas terhadap nilai-nilai moral atau nilai-nilai karakter adalah dengan pendekatan klarifikasi

2)

peng amat an

l angsung

atau

obe rvasi;

3) analisis dokumen; dan 4) FGD. Untuk memperoleh derajad validitas tinggi, dilakukan dengan teknik trianggulasi, recheck dan peer debriefinf (Sutopo, 2002). Pengolahan data hasil penelitian eksploratif dilakukan dengan teknik analisis model interaktif (Miles dan Huberman, 1984). Anal isis interaktif meliputi tahapan: 1) pengumpulan data; 2) reduksi data; 3) sajian data; dan 4) verifikasi/menarik kesimpulan. Pengembangan ini dilakukan atas dasar hasil temuan ekslporatif, kemudian dikembangkan untuk mencari model pembelajaran Sejarah melalui Focus Group Discussion (FGD). Hasil Penelitian dan Pembahasan Tujuan, Materi, Metode, Media dan Evaluasi Pembelajaran Sejarah Terkait dengan tujuan, materi, metode, media dan evaluasi pembelajaran Sejarah yang dilaksanakan di SMA di Solo Raya saat ini, dapat diungkapkan seperti uraian berikut ini. Tujuan Pembelajaran Sejarah Terkait dengan tujuan pembelajaran Sejarah SMA, hasil angket, rekaman observasi, dan wawancara dari guru-guru Sejarah SMA dan beberapa kepala sekolah dan kepala seksi kurikulum di Solo Raya serta dari studi pustaka dapat dikemukakan sebagai berikut. Ib u Sa ra d ari SMA Nege ri 8 Sur akar ta menyata kan: ba hwa tujuan p embe laja ran Sejarah adalah untuk membentuk pribadi yang tidak lupa akan masa lampau untuk mewujudkan masa depan dan menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa. Bapak Darmono dari SMA Negeri 2 Sukoharjo menyatakan bahwa tujuan pembelajaran di SMA adalah untuk meningkatkan rasa jiwa kebangsaan dan nasionalisme, patriotisme, serta meningkatkan perasaan persatuan dan kesatuan bagi peserta didik. Ibu Titik dari SMA Negeri Ngemplak Boyolali menyatakan bahwa tujuan pembelajaran Sejarah SMA adalah selain mengemb angk an k ompt ensi kog niti f juga pengembangan sikap, terutama menumbuhkembangkan rasa nasionalisme, cinta tanah air dan penghargaan terhadap pahlawan bangsa pendahulu negeri ini tegasnya.

nilai ( Values Clarification Technique= VCT).


Pendekatan klarifikasi nilai (VCT) adalah suatu pendekatan yang bertujuan untuk menumbuhkan kesadaran dan mengembangkan kemampuan peserta didik dalam mengidentifikasi nilai-nilai mereka sendiri dan nilai-nilai orang lain (Zuriah, 2007, dan Zaim 2008). Proses pemahaman nilai dilakukan melalui proses analisis nilai yang sudah ada sebelumnya dalam diri peserta didik kemudian menyelaraskannya dengan nilai-nilai baru yang hendak dita namk an k epad a pe sert a di dik (Sanjaya, 2010). Metodologi Metode penelitian tahun pertama ini dilakukan dengan dua tahapan tindakan, yakni: 1) penelitian penjelajahan (eksploratif ); dan 2) melakukan penyusunan draf model pengembangan dengan car a Focus G roup Discussi on ( FGD) . Loka si penelitian SMA Solo Raya yang meliputi: 1) Kota Surakarta; 2) Kabupaten Klaten; 3) Kabupaten Sukoha rjo; 4) Kabupat en K arangnya r; d an 5) Kabupaten Boyolali. Sumber data meliputi: 1) sumber informan; 2) sumber tempat dan peristiwa; dan 3) sumber dok umentasi /arsip. Informan yang di mint ai keterangan meliputi Kadinas, Kasubdin SMA, Ketua MKKS SMA, Kepala SMA dan Guru-guru Sejarah SMA. Sumber tempat dan peristiwa yang digunakan sebagai fokus informasi adalah ruang pembelajaran Sejarah di kelas. Sumber dokumen/ arsip terkait dengan kurikulum, silabus dan RPP serta buku-buku sumber. Sesuai dengan metode penelitian kualitatif, maka teknik sampling (cuplikan) yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis purposive sampling (Sutopo, 2002). Teknik pengumpulan data pada awalnya digunakan metode penyebaran angket kepada responden, yakni guru-guru SMA Solo Raya, kemudian ditindaklanjuti dengan teknik wawancara, pengamatan dan mencatat dokumen. Dengan demikian, teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara: 1) wawancara mendalam;

416

Leo Agung S., Pengembangan Model Pembelajaran Sejarah SMA Berbasis Pendidikan Karakter di Solo Raya

Masih terkait dengan tujuan pembelajaran Sejarah SMA, lebih lanjut Ibu Anik dari SMA negeri 2 Karanganyar secara rinci menyatakan: bahwa tuj uan proses pemb elaj aran Sej arah SMA yai tu: 1) menumbuhkan cinta tanah air; 2) mengetahui terbentuknya sebuah Negara Indonesia; 3) Mema hami proses kema juan per adab an manusia Indonesia; dan 4) menanamkan sikap patriotisme ungkapnya. Da ri b eber apa pend apat di atas dap at disimpulkan bahwa tujuan pembelajaran Sejarah di SMA antara lain: 1) menanamkan semangat cinta tanah air ; 2) m engeta hui pr oses t erbentuknya Negara Indonesia; 3) meningkatkan rasa persatuan dan kesatuan bagi peserta didik; dan 4) mengetahui proses peradaban manusia Indonesia, khususnya dan masyarakat dunia pada umumnya dari masa dulu hingga sekarang. Materi Pembelajaran Sejarah Materi mata pelajaran Sejarah untuk sekolah menengah atas (SMA) meliputi aspek-aspek sebagai berikut: a) Prinsip dasar ilmu Sejarah; b) Pera daba n aw al m asya raka t dunia dan Indonesia; c) Perkembangan negara-negara

tradisional di Indonesia; d) Indonesia pada masa penjajahan; e) Pergerakan kebangsaan, dan f) Prok lama si d an p erke mbangan nega ra kebangsaan Indonesia. Dalam penelitian dan pengembangan ini memfokuskan kelas X, sebab: 1) Kelas X masih merupakan kelas yang umum, dan semua kelas mendapatkan materi yang sama; 2) Kelas X mer upak an k elas awa l si swa masuk SM A, sehingga sebagai pijakan untuk penanaman nilai; khususnya nilai karakter dan jati diri bangsa. Khusus untuk kelas X, cakupan materinya terdiri atas: 1) Prinsip dasar ilmu Sejarah; 2) Peradaban awal masyarakat duni a dan Indonesia yang tercemin dalam Standar Kompetensi (SK) dan Komptensi Dasar (KD) (Permendiknas Nomor 22/ 2006) yakni seperti Tabel 1. Terkait dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) selain materi seperti yang tertera dalam KD-KD tersebut, semestinya guru mengemb angk an a pa y ang menj adi local wisdom . Ada beberapa guru yang menyatakan belum, dengan alasan materi Sejarah sudah sangat banyak; namun ada beberapa guru yang menyatakan sudah. Bagi guru Sejarah yang

Tabel 1. Materi Pembelajaran Sejarah Kelas X

Kelas X , Semester 1 Standar Kompetensi 1. Memahami prinsip dasar ilmu Sejarah Kompetensi Dasar 1.1 Menjelaskan pengertian dan ruang lingkup ilmu Sejarah 1.2 Mendeskripsikan tradisi Sejarah dalam masyarakat Indonesia masa praaksara dan masa aksara 1.3 Menggunakan prinsip-prinsip dasar penelitian Sejarah Kelas X , Semester 2 Standar Kompetensi 2. Menganalisis peradaban Indonesia dan dunia Kompetensi Dasar 2.1 Menganalisis kehidupan awal masyarakat Indonesia 2.2 Mengidentifikasi peradaban awal masyarakat di dunia yang berpengaruh terhadap peradaban Indonesia 2.3 Menganalisis asal-usul dan persebaran manusia di kepulauan Indonesia
Sumber: Permendiknas No.22/2006

417

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012

menuliskan dan menyatakan sudah, seperti Bapak Darmono dari SMA Negeri 2 Sukoharjo, dari materi Sejarah Kelas XI tentang Perlawanan Untung Suropa ti k etik a me nghadap i Be land a ya ng dipimpin oleh Kapten Tack, dan Boyongan Kraton da ri K arta sura ke Sura kart a Ha dini ngra t. Menying gung Per lawa nan Untung Surap ati termasuk local wisdom lebih lanjut Bapak Darmono menyatakan bahwa Untung sebagai pemimpin perlawanan berhasil menghancurkan tentara Belanda dan berhasil membunuh Kapten Tack merupakan suatu prestasi yang gemilang. Dari peristiwa ini, banyak nilai-nilai karakter yang perlu diteladani oleh bangsa Indonesia, khususnya para peserta didik, seperti nilai keberanian karena benar, jiwa kepahlawanan, jiwa nasionalisme membela bangsa dan Negara, rela berkorban dengan senjata seadanya mampu menghancurkan tentara Belanda dengan pasukan lengkap ungkapnya. Lebih lanjut, Ibu Titik dari SMA Ngemplak Boyolali, menyatakan ada local wisdom yang dikembangkan yakni Penulisan tentang Sejarah Boyolali. Guru memberikan tugas untuk menelusuri, baik lewat wawancara, angket atau pun dokumentasi yang selanjutnya membuat laporan tentang Sejarah Boyolali dan dipresentasikan di kelas tuturnya. Dengan gambaran di atas, dapat diketahui bahwa dengan diberlakukannya KTSP, member ikan kel elua saan bag i guru untuk dap at mengembangkan materi-materi Sejarah lokal yang dapat menunjang materi pembelajaran Sejarah secara nasional. Metode Pembelajaran Terkait dengan metode pembelajaran yang sering digunakan guru-guru SMA di Solo Raya, antara lain: ceramah, tanya jawab, diskusi, bermain peran, problem solving, dan pemberian tugas baik te rstr uktur ma upun mandiri . Se pert i ya ng diungkapkan Bapak Teguh dari SMA Negeri Sragen bahwa Guru Sejarah kebanyakan menggunakan metode Ceramah atau Ceramah Bervariasi, yakni me tode cer amah yang d ivar iasi kan deng an metode lain, seperti diskusi, tanya jawab dan pemberian tugas. Hal senada juga diungkapkan Ibu Sara dari SMA Negeri 8 Surakarta:karena materi Sejarah

yang banyak, sedangkan jamnya sedikit, oleh karenanya metode mengajar yang digunakan adalah Cermah Bervariasi, katanya. Metode cem arah, kemud ian di kombi nasik an dengan metode lain, seperti diskusi, tanya jawab dan pemberian tugas, termasuk misalnya ada eventevent tertentu, seperti 1 Muharam, dan Sekaten sering menugaskan anak-anak untuk membuat klipping, tambahnya. Terkait dengan metode mengajar Sejarah, dalam prakteknya tidak digunakan sendiri-sendiri, melainkan merupakan kombinasi dari beberapa metode mengajar, seperti ceramah, diskusi, tanya jawab, dan pemberian tugas; sosiodrama, dan lain sebagainya (Suryani, 2012). Media Pembelajaran Sejarah Pembelajaran akan berlangsung dengan efektif da n ef isie n ji ka d itunjang de ngan med ia pembelajaran. Terkait dengan media pembelajaran yang digunakan oleh guru-guru Sejarah SMA Solo Raya antara lain: gambar, peta Sejarah, peta Indonesia, peta dunia, peta konsep, media pohon pintar, kartu soal/pernyataan, microsof power point, CD film, LCD . Seperti yang diungkapkan ibu Tatik dari SMA Negeri Ngemplak bahwa untuk media pembelajaran Sejarah yang sering saya gunakan adalah media pohon pintar, kartu soal/pernyataan, microsof power point, CD film, LCD tegasnya. Ibu Ida dari SMA Negeri Kartasura, menyatakan terkait media yang sering saya gunakan adalah media kartu soal atau pernyataan, peta konsep, dan LCD dengan power point dan ternyata ini sangat menarik bagi anak-anak katanya. Dengan power point kita sebagai guru juga enak hanya perlu persiapan yang matang, sedangkan bagi siswa ternyata sangat menarik, perhatian anak-anak terpusat tambahnya. Di liha t da ri m edia pem bela jara n ya ng diterapkan guru-guru Sejarah di Solo Raya, untuk penggunaan media dalam pembelajaran Sejarah tampaknya sudah bervariasi mulai dari yang sederhana seperti gambar/foto sampai dengan LCD. Evaluasi Pembelajaran Sejarah Terkait dengan evaluasi pembelajaran Sejarah guru-guru Sejarah SMA Solo Raya menang-

418

Leo Agung S., Pengembangan Model Pembelajaran Sejarah SMA Berbasis Pendidikan Karakter di Solo Raya

gapinya bervariasi. Ada beberapa guru yang menyata kan bahw a ev alua si y ang seri ng digunakan dalam pembelajaran Sejarah adalah tes lisan dan tes tertulis yang meliputi obyektif tes dan essay. Hal ini seperti yang dikemukakan Ibu Tita dari SMA Negeri 5 Surakarta:untuk evaluasi pembelajaran Sejarah tes lisan dan tes tertulis yang meliputi obyektif tes dan essay atau uraian katanya. Ada juga yang menyebutkan tes pilihan ganda atau obyektif dan uraian atau essay, bahkan ada yang menyebutkan penilaian kognitif dan penilaian afektif. Hal ini seperti yang dikemukakan Bapak Heri dari SMA Negeri Surakarta bahwa untuk evaluasi pembelajaran Sejarah soal pilihan ganda atau obyektif dan uraian atau essay paparnya. Faktor Penghambat dan Pendukung Pembelajaran Sejarah SMA Untuk menelusuri faktor-faktor penghambat dan faktor pendukung dalam pembelajaran Sejarah SMA di Solo Raya dapat dijelaskan sebagai berikut. Faktor Penghambat Pembelajaran Sejarah Terkait dengan faktor penghambat dari hasil ang ket dan wawa ncar a da pat dike muka kan sebagai berikut. Bapak Darmono dari SMA Negeri 2 Sukoharjo menyata kan: pemb elaj aran ba hwa Sej arah, fakt or yai tu pengham bat

1) kurangnya buku Sejarah yang dimiliki siswa, 2) adanya d iskr iminasi dari pub lik tent ang pelajaran yang di-UAN-kan dan tidak di-UAN-kan; 3) siswa kurang semangat membaca; 4) kurang mengikuti p erke mbangan teknolog i; d an 5) sarana yang disediakan sekolah untuk IPS/ Sejarah kurang. Ibu Titik dari SMA Ngemplak Boyola li m enya taka n: fak tor peng hamb at pembelajaran Sejarah, yakni: 1) Buku Paket BSE tidak ada; 2) minimnya literatur Sejarah; 3) LCD yang terbatas sehingga power point yang telah disiapkan terkadang tidak dapat disampaikan secara optimal, dan 4) guru Sejarah sendiri yang dalam mengajarnya monoton, sehingga berlaku stigma Sejarah membosankan. Terkait dengan minimnya jam pelajaran untuk Sejar ah, sebe narnya g uru seba gai de sainer pembelajaran diharapkan mampu untuk mengemas materi dan menyusun atau mengatur waktu sedemikian rupa, sehingga keterbatasan jam dapat diatasi. Demikian pula agar pembelajaran Sejarah dapat manarik dan menyenangkan, guru Sej arah har us m ampu mem buat mukjizat (M eule n, 1 987) ; se bab Sej arah mer upak an peristiwa masa lampau, peristiwa yang sudah mati, maka tugas guru membuat peristiwa masa lampau yang mati itu seolah-olah hidup kembali. Faktor Pendukung Pembelajaran Sejarah Terkait faktor pendukung ada gambaran yang bervariasi juga, antara lain ada yang menyebutkan bahwa faktor pendukung pembelajaran Sejarah adalah adanya semangat siswa untuk memiliki atau membeli buku dan LKS Sejarah sebagai pegangan. Ada yang menyebutkan faktor pendukung adalah adanya tambahan pengetahuan dari internet. Lain lagi seperti yang dikemukan oleh Ibu Titik dari SMA Negeri Ngemplak bahwa faktor pendukung pembelajaran Sejarah ada lah adanya p ener apan ber baga i model pembelajaran yang diterapkan, sehingga pembe laja ran Seja rah menj adi fun dan siswa menunggu seorang guru Sejarah tegasnya. Pemahaman Guru Sejarah SMA Terhadap Model-Model Pembelajaran Te rkai t de ngan mod el- mode l pe mbel ajaran inovatif, sebagian besar guru-guru Sejarah SMA di Solo Raya telah memahami, namun dalam

terbatasnya waktu, khususnya untuk kelas X jam pelajaran Sejarah hanya 1 jam yakni 1 x 45 menit, dan kelas XI-IPA juga hanya 1 jam (1 x 45 menit). Padahal materi Sejarah Kelas X dan materi Sejarah Kelas XI IPS sangat banyak, sehingga pembahasannya sering tidak tuntas tegasnya. It ulah seb abny a me tode mengaja r ya ng di guna kan adal ah cera mah, dan pem beri an tugas. Bapak Sarjoko dari SMA Negeri 2 Boyolali me nyat akan: b ahwa fak tor peng hamb at pe laksanaa n pe mbel ajar an Sejar ah, yait u: 1) minimnya buku-buku sumber, khususnya pegangan siswa maupun referensi lain yang me nunj ang pemb elaj ara n; 2 ) ti dak adanya laboratorium atau lab IPS/Sejarah; dan 3) sulit dan mahalnya mengakses arsip nasional. Masih terkait dengan faktor penghambat pembelajaran Sejarah, Ibu Ana dari SMA Negeri 2 Karanganyar menyatakan: bahwa yang menjadi faktor penghambat pembelajaran Sejarah adalah:

419

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012

pra ktek pem bela jara n be lum bany ak y ang menerapkannya. Model-model pembelajaran yang pernah dipraktekkan antara lain: Pembelajaran Kontekstual atau Contextual Teaching and Learning (CTL), Pembelajaran Kooperatif, seperti Student Team Achievement Division (STAD), Jigsaw, Model Index Card Macth, Teams Games Tournament (TGT), Metode Struktural seperti Mencari Pasangan, Benar Salah Berantai dan Peta Konsep. Variasi model-model pembelajaran inovatif dapat dilihat pada Tabel 2.

Bagaimana kesan para siswa ketika guru menerapkan model-model pembelajaran inovatif, seperti sangat menyenangkan, bersemangat, pembelajaran Sejarah menjadi hidup, siswa menjadi lebih aktif dalam pembelajaran. Seperti yang diungkapkan Bapak Sriyanto dari SMA Negeri Ngemplak Boyolali, bahwa pembelajaran dengan model-model pembelajaran yang inovatif sangat menyenangkan, siswa menjadi lebih aktif dan pembelajaran menjadi bermakna ungkapnya. Hal senada juga diungkapkan Ibu Tatik dari SMA Neg eri Ngemp lak Boyol ali, bahw a kal au

Tabel 2. Model-Model Pembelajaran Inovatif yang pernah dipraktekkan

No. 1 2 Kontekstual

Pernyataan

Frekuensi 20 15

Prosentase 80 60

Kooperatif: STAD, Jigsaw, Model Index Card Macth, Metode Struktural seperti Mencari Pasangan, dan Benar Salah Berantai Quantum: Peta Konsep Model lainnnya

3 4

10 15

40 60

Dari data di atas dapat diketahui bahwa guruguru SMA di Solo Raya sebagian besar pernah menerapkan model pembelajaran Kontekstual. De ngan dem ikia n, pemb elaj aran Se jar ah diharapkan menjadi lebih menarik dan bermakna bagi peserta didik. Untuk model-model yang lain masih banyak yang belum dipraktekkan secara optimal. Alasan guru-guru klasik, yakni materinya sa ngat banyak, sed angk an j amny a se diki t. Padahal dengan mempraktekkan model-model pembelajaran dapat menghemat waktu dan bagi siswa sanga t me nari k da n me nyenangk an (Sugiyanto, 2010).

menerapkan model pembelajaran yang inovatif anak-anak senang, ceria; mereka aktif dan kreatif dalam pembelajaran, sehingga pembelajaran menjadi menarik, bermakna, dan menyenangkan. Terkait dengan rumusan 1 ,2 dan 3 yang erat kaitanya dengan upaya guru Sejarah di Solo Raya meningkatkan kualitas pembelajarannya adalah kegiatan mengikuti Penataran, Seminar, Lokakar ya, Work shop dan sej enisnya seba gai tambahan wawasan pengetahuan. Seperti yang dilakukan oleh Ibu Ana dari SMA 2 Karanganyar.

Tabel 3. Kegiatan Seminar/Diklat/Workshoup Ibu Ana

No 1 2 3 4 5 6 7

Jenis Kegiatan Seminar Seminar Diklat Seminar Diklat Diklat Workshop

Judul Kegiatan Eksistensi Mata pelajaran Sejarah dalam KTSP Profesionalisme Guru Analisis Hasil Tes Revitalisasi Nilia-Nilai Perjuangan RA Kartini dalam Pendidikan Basic Hipno Class Length of Time for Studying Percepatan Belajar siswa In House Training (IHT)

Tahun 2008 2008 2008 2009 2009 2009 2010

420

Leo Agung S., Pengembangan Model Pembelajaran Sejarah SMA Berbasis Pendidikan Karakter di Solo Raya

Adapun budaya yang telah ditanamkan di SMA se-Solo Raya terkait dengan penanaman nilai-nilai karakter kepada warga SMA, khususnya peserta didik, seperti yang diungkapkan oleh Bapak Darmono dari SMA Negeri 2 Sukoharjo, Di SMA Negeri 2 Sukoharjo, upaya untuk menamkan nilainilai karakter siswa, misalnya: 1) berjabat tangan dengan Bapak/Ibu guru yang sedang tugas piket di depan pintu gerbang sekolah pada pagi hari; 2) Mengucapkan salam kepada Bapak/Ibu guru; 3) Pembelajaran diawali dan diakhiri dengan doa, 4) Bagi siswa yang terlambat diadakan pembinaan sebelum diijinkan masuk, dan 5) Melepas jaket ap abil a me masuki l ingk unga n se kola h ungkapnya. Dengan demikian, secara implisit terkait dengan pembelajaran yang mengimplementasikan pendidikan karakter, sekolah-sekolah SMA di Solo Raya telah menanamkan pendidikan karakter kepada warga SMA, khususnya kepada peserta didik. Pembelajaran Sejarah sarat dengan nilai, oleh karena itu guru Sejarah tidak hanya sekedar transfer of knowledge , tetapi juga transfer of values (Sardiman, 2002). Nilai-nilai karakter seperti religius, semangat kebangsaan, cinta tanah air, rela berkorban, rasa tanggung jawab, disiplin, toleransi, kerja sama, cinta damai, kerja keras dan kreatif perlu ditumbuhkembangkan ter us l ewat pem bela jara n Se jara h. H al i ni diperkuat oleh penelitian Ghufron (2010) yang menyatakan bahwa salah satu masalah krusial bangsa Indonesia, terutama yang berkaitan dengan penyiapan SDM siap berkompetitif di era global adalah krisis nilai-nilai karakter bangsa. 4. Oleh karena itu, perlu adanya integrasi nilai-nilai karakter bangsa dalam kegiatan pembelajaran untuk semua mata pelajaran di sekolah, termasuk mata pelajaran Sejarah. Dengan ini diharapkan para peserta didik kelak menjadi anak-anak bangsa dan cerdas dan beraklak mulia, guna me ncap ai mendatang. Prosedur Penyusunan Model Pembelajaran Sejarah SMA Berbasis Pendidikan Karakter Prosedur dimaksud meliputi: 1) Pengembangan model Pembelajaran Sejarah SMA Berbasis Pendidikan Karakter di Solo Ra ya, pada tahap a wal nya dirumusk an I ndonesia ema s di masa-ma sa 3. 2. 3. 2)

berdasarkan data yang dikumpulkan melalui wawancara; Tahap berikutnya perumusan model final yang dilakukan secara partisifatif dengan melibat-

kan seluruh pemangku kepentingan ( stakeholder) terkait, yakni dinas pendidikan, Kepala Sekolah, dan guru-guru Sejarah SMA di Solo Raya sebagai ujung tombak pelaksanaan pembelajaran di kelas; Perumusan model tahap akhir dilaksanakan melalui diskusi kelompok terarah ( FGD) . Di FGD ini akhirnya disepatai model yang akan diimplementasikan, yakni Model Kritis, Kreatif, Berantai dan Berkarakter (KKBB). Contoh Silabus Sejarah SMA berkarakter (Kelas X Semester 1) dan sintak atau langkahlangkah model KKBB, dapat dilihat pada Contoh 1. Sintak/Langkah-langkah Model Pembelajaran Kritis Kreatif Berantai dan Berkarakter (KKBB) Sebelum pelaksanaan pembelajaran Model KKBB, guru perlu menginformasikan kepada siswa: 1. Topik yang aka n di pela jari dan bahan bacaannya. Da ri b ahan yang di bahas a kan dibuat pertanyaan/pernyataan (40-45 soal) yang mengandung unsur kritis dan kreatif, dan terbagi menjadi 8-9 Kartu Soal. Kelas akan dibagi menjadi 8-9 kelompok dan masing- masi ng k elom pok meng guna kan nama pahlawan nasional, dan nama tersebut ditulis dalam Kartu Soal. Setiap kartu soal diberi tanda A, B, C, D, E, F, G, H,dan I. Langkah-langkah Model Pembelajaran Kritis Kreatif Berantai dan Berkarakter (KKBB) dapat dilihat pada Contoh 2.

421

422
Silabus Pembelajaran Sejarah Berbasis Pendidikan Karakter Kelas X Semester 1
, .2012 Guru Sejarah .. NIP

Contoh 1.

Nama Sekolah

: SMA..

Mata Pelajaran Kelas Semester

: Sejarah : X/ 1

Standar Kompetensi

: 1. Memahami Prinsip Dasar Ilmu Sejarah.

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012

Mengetahui Kepala Sekolah

NIP.

Leo Agung S., Pengembangan Model Pembelajaran Sejarah SMA Berbasis Pendidikan Karakter di Solo Raya

Contoh 2. Langkah-langkah Model Pembelajaran Kritis Kreatif Berantai dan Berkarakter (KKBB)

No 1

Fase Fase 1 Menyampaikan tujuan pembelajaran dan memotivasi siswa

Kegiatan Guru a. Guru menyampaikan tujuan pembelajaran yang ingin dicapai dan memotivasi belajar siswa b. Guru menyampaikan nilai-nilai karakter yang ingin dikembangkan

Kegiatan Siswa a. Siswa memperhatikan tujuan pembelajaran dan merespon motivasi belajar dari guru. b. Memperhatikan dan memahami Nilai

Fase 2 Penyajian materi dan pembagian kartu soal yang berisi materi dan nailai-nailai karakter yang dapat dipetik dan dikembangkan

a. Guru menjelaskan garis besar materi Prinsip-prinsip Dasar Penelitian Sejarah b. Guru menjelaskan langkahlangkah model pembelajaran Kritis Kreatif Berantai dan Berkarakter (KKBB). c. Guru membagi siswa dalam 9 kelompok, dan setiap kelompok terdiri dari 4 orang. Cara membagi kelompok yakni siswa satu persatu menyebutkan nomor urut 1 s.d 9. Siswa yang menyebut angka 1 berkumpul menjadi satu kelompok, siswa yang menyebut angka 2 berkumpul menjadi satu kelompok, dan seterusnya. d. Nama-nama kelompok diambil dari nama pahlawan Indonesia, yakni kelompok Soekarno, Moh. Hatta, Dr Soetomo. Dr Wahidin Sudirohusodo, Dowes Dekker, Moh Yamin, RA Kartini. Ki Hajar Dewantara, dan Slamet Riyadi. Setiap kelompok memilih dan mengambil satu kartu nama kelompok tersebut.

a. Siswa pemperhatikan dan merespon penjelasan guru, baik mengenai materi, sintak pembelajaran, maupun nilai-nilai karakter b. Siswa merespon dengan mengelompok menjadi 9 kelompok, dan namanama masing-masing kelompok ditulis dalam kartu soal. c. Setiap kelompok memilih dan mengambil satu kartu nama kelompok tersebut. d. Memilah dan memilih nilai

423

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012

Fase 3 Mengorganisir ke dalam kelompokkelompok belajar

a. Guru memberikan satu kartu yang berisi 5 pernyataan untuk setiap kelompok. Kelompok pertama diberi kartu A, kelompok kedua diberi kartu B, dan seterusnya b. Guru meminta siswa untuk setiap kelompok mendiskusikan pernyataan tersebut, kemudian mengkritisi apakah pernyataan tersebut Benar atau Salah. c. Guru menginformasikan, jika jawaban salah, maka tugas tiap kelompok menuliskan jawaban yang benar.

a.

Setiap kelompok mendapat satu kartu yang berisi 5 pernyataan, Kelompok pertama diberi kartu A, kelompok kedua diberi kartu B dan seterusnya, hingga kartu I b. Tugas setiap kelompok adalah mendiskusikan pernyataan tersebut, kemudian mengkritisi apakah pernyataan tersebut Benar atau Salah. c. Siswa merespon informasi guru untuk mencermati setiap jawaban, dan jika jawaban salah, maka tugas tiap kelompok menuliskan jawaban yang benar. d. Mengidentifikasi dan mengklarifikasi nilai

Fase 4 Membimbing kelompok kerjasama dan mengerjakan tugas

a. Guru menginformasikan setelah semua kelompok selesai melakukan tugas, kartu soal diputar untuk diberikan kelompok di sampingnya. Dengan demikian, kelompok 2 akan mendapatkan kartu pernyataan baru, yakni kartu C, dan seterusnya. b. Setelah masing-masing kelompok menerima kertas yang baru, tugas seperti pada langkah nomor 6 diulangi sampai pada kartu soal kesembilan, artinya sampai semua kelompok mendapatkan semua kartu pernyataan.

a.

Siswa merespon informasi guru. b. Masing-masing kelompok menerima kartu soal yang baru, dan mengerjakan tugas tersebut sampai pada kartu soal kesembilan. c. Mengekpresikan dan menghargai nilai

Simpulan dan Saran Simpulan Mengacu pada hasil penelitian dan pembahasan, disimpulkan sebagai berikut. Tujuan pembelajaran Se jara h di maksudka n untuk mena namk an semangat kebangsaan, cinta bangsa dan tanah air. Dalam penyampaian materi Sejarah telah sesuai dengan Standar Isi (SI) Kurikulum Sejarah SMA. Pa da umumnya m etod e pe mbel ajar an

Sejarah dilakukan melalui ceramah bervariasi, dan medianya menggunakan IT dalam bentuk media power point, film, dan LCD. Adapun pelaksanaan eva luasi pe mbel ajar anny a pa da umumnya cenderung masih didominasi aspek kognitif, dibandingkan dengan aspek afektif dan spikomotoriknya. Faktor pendukung keberhasilan pembelajaran Sejarah, yaitu adanya model-model pembelajaran

424

Leo Agung S., Pengembangan Model Pembelajaran Sejarah SMA Berbasis Pendidikan Karakter di Solo Raya

inovatif dari guru Sejarah sendiri, sedangkan faktor penghambatnya antara lain buku BSE yang minim, jam pelajaran yang kurang (hanya 1 jam pelajaran/minggu) khususnya Kelas X dan kelas XI IPA), serta materinya banyak. Bahkan terkesan terjadi diskriminatif antara mata pelajaran yang di UAN-kan dan yang tidak di UAN-kan. Sebagian besar guru-guru SMA di Solo Raya telah memahami dan mempraktikkan model-model pembe lajaran yang inovatif. Terkait d engan pengembangan model, telah tersusun model pembelajaran Sejarah SMA berbasis pendidikan karakter, yakni Model Kritis, Kreatif Berantai, dan Berkarakter (KKBB). Saran Ber dasa rkan pad a si mpul an p enel itia n, di sara nkan aga r: 1 ) Guru Sejar ah sebag ai

menyajikan materi dengan baik dan menarik, disarankan agar guru Sejarah menguasai materi dan media pembelajaran Sejarah; 2) Untuk mengatasi kekurangan buku sejarah, sekolah dapat menyarankan kepada setiap lulusan SMA, baik secara orang per orang atau kelompok memberikan sumbangan buku Sejarah yang diperlukan oleh adik kelasnya. Di samping itu, setiap SMA wajib menganggarkan sekurangkurangnya 5% dari RAPBS diperuntukkan untuk pembelian buku-buku pelajaran SMA secara proporsional; 3) Pembelajaran Sejarah sarat dengan nilai, oleh karena itu guru Sejarah tidak hanya sekedar transfer of knowledge, akan tetapi juga transfer of values. Nilai-nilai karakter yang dap at d ikem bang kan lewa t pe mbel ajar an Sejarah, antara lain: religius, semangat kebangsaan, cinta tanah air, rela berkorban, rasa tanggung jawab, menghargai prestasi, disiplin, toleransi, kerja keras, mandiri dan kreatif. Dalam hal model pembelajaran, guru Sejarah diwajibkan untuk mengembangkan model-model pembelajaran Sejarah lainnya, sehingga pembelajaran Sejarah akan lebih efektif dan efisien serta menarik siswa untuk belajar lebih aktif.

seorang disainer harus mampu mengemas materi


dan mengatur waktu dengan baik. Di samping itu, guru berusaha mengoptimalkan penggunaan model- mode l pe mbel aja ran, kar ena deng an menerapkan model-model pembelajaran dapat meminimalkan waktu, sehingga pembelajaran menjadi menarik dan menyenangkan. Untuk dapat

Pustaka Acuan Arends, Ricahrd I. 2000. Learning to Teach. New York: Mc Graw Hill. Elmubarok, Zaim. 2008. Membumikan Pendidikan Nilai. Bandung: Alfabeta. Ghufron, Anik. 2010. Integrasi Nilai-Nilai Karakter Bangsa Pada Kegiatan Pembelajaran. Cakrawala Pendidikan. Mei 2010. Tahun XXIX. Edisi Khusus Dies Natalis UNY. Jacobsen, David A, Eggen, Paul, and Kauchak, Donald. 2009. Methods For Teaching. New Jersey: Pearson Education, Inc. Joyce, Bruce; Weil, Marsha, & Showers, B. 2002. Models of Teaching. Seventh Edition. Boston: Alylyn & Bacon. Joyce, Bruce, Weil, Marsha, and Calhoun, Emily.2009. Models of Teaching. New Jersey: Pearson Education, Inc. Kartodirdjo, Sartono. 1988. Fungsi Pengajaran Sejarah dalam Pembangunan Nasional. Harian Kompas, 26 September 1988. Kaswadi, E.K. 1993. Pendidikan Nilai Memasuki Tahun 2000. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indoensia. Kementerian Pendidikan Nasional. 2010a. Bahan Pelatihan Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat Kurikulum.

425

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012

Kementerian Pendidikan Nasional. 2010b. Pembinaan Pendidikan Karakter di Sekolah Menengah Pertama. Jakarta: Kemendiknas. Mardiatmadja, B.S.1996. Tantangan Dunia Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius Meulen, van der. 1987. Ilmu Sejarah dan Filsafat. Yogyakarta: Kanisius. Miles, Matthew B & Huberman, A Michael. 1984. Qualitative Data Analysis. London-New Delhi: Sage Publications. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi untuk Pendidikan

Dasar dan Menengah. Rokhman, Nurhadi, dan Muhsinatun S. 2006. Pengembangan Kurikulum Pengetahuan Sosial Terpadu secara Tematik di Tingkat SLTP: Sebuah Pemikiran Awal. ISTORIA. Jurnal Pendidikan dan Ilmu Sejarah. Vol.1 No.2, Maret 2006. Yogyakarta: FISE. Sanjaya, Wina. 2010. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Cetakan ke-7. Jakarta: Prenada Media Group. Sardiman, A.M. 2002. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: Rajawali Pers. Solo Pos. 19 Juni, 2011. Pendidikan Karakter Dicanangkan: Siswa Harus SMK.

Sugiyanto. 2010. Model-Model Pembelajaran Inovatif. Surakarta: Panitia Sertifikasi Guru (PSG) Rayon 13 Surakarta. Suryani, Nunuk. 2012. Strategi Belajar Mengajar. Yogyakarta: Ombak. Sutopo, H.B. 2002. Metode Penelitian Kualitatif. Surakarta: Sebelas Maret University Press. Suyanto. 2010. Urgensi Pendidikan Karakter. http://www.mandikdasmen. depdiknas.go.id/web/pages/ urgensi.html, diunduh 11 April 2011. Syukur, Abdul. 2010. Membangun Karakter Bangsa Lewat Sejarah (Refleksi 65 Tahun Pengajaran Sejarah di Indonesia. Artikel. diunduh, 21 Juni 2012. Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. 2005.

Jakarta: Penerbit Pustaka Pelajar. Wardhani, Kristi. 2010. Peran Guru dalam Pendidikan Karakter Menurut Konsep Pendidikan Ki Hajar Dewsantara. Proceeding of The 4th International Conference on Teacher Education; Join Conference UPI & UPSI Bandung, 8-10 November 2010, diunduh 21 Juni 2012. Zuriah, Nurul. 2007. Pendidikan Moral dan Budi Pekerti dalam Perspektif Perubahan. Jakarta: Bumi Aksara.

426

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012

MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA MELALUI MODEL KOOPERATIF NUMBERED HEADS TOGETHER (NHT) DI KELAS X SMA NEGERI 1 BEDUAI KABUPATEN SANGGAU IMPROVING STUDENTS ACHIEVMENTS BY USING COOPERATIVE MODEL OF NUMBERED HEADS TOGETHER (NHT) AT CLASS X OF PUBLIC SENIOR HIGHT SCHOOL 1 BEDUAI SANGGAU
Ahmad Jamalong STKIP PGRI Pontianak e-mail: ahmadjamalong@yahoo.co.id
Diterima tanggal: 4/04/2012, Dikembalikan untuk revisi: 6/08/2012 Disetujui tanggal: 20/12/2012 Abstrak: Penelitan ini bertujuan untuk menganalisis hasil belajar siswa dengan penggunaan sebuah model kooperatif Numbered Heads Together (NHT). Penelitian dilakukan pada Kelas X di SMAN 1 Beduai Kabupaten Sanggau tahun pelajaran 2011/2012 dengan menggunakan metode Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Subyek penelitian sebanyak 38 siswa kelas X yang dipilih secara random sampling. Data dikumpulkan dengan menggunakan tes, kemudian dilakukan tindakan menggunakan Penelitian Tindakan Kelas. Tindakan penelitian dilakukan sebanyak 2 siklus dengan materi Sistem Hukum Nasional untuk siklus I, Peran dan Fungsi Lembaga Peradilan untuk siklus II. Setiap siklus terdiri dari perencanaan, pelaksanaan tindakan, observasi, dan refleksi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hasil belajar siswa sebelum dilaksanakan tindakan tidak ada satu pun siswa yang mencapai tingkat ketuntasan. Setelah dilaksanakan tindakan pada siklus I terjadi peningkatan hasil belajar pada siswa yang mencapai ketuntasan sebanyak 11 siswa (34,38%) dan tindakan pada siklus II terdapat 20 siswa (54,82%) yang mencapai ketuntasan belajar. Hal ini dinyatakan bahwa model kooperatif Numbered Heads Together (NHT), sangat efektif dapat meningkatkan hasil belajar siswa, khususnya pada pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn). Kata kunci: model kerja sama, teknik belajar mengajar kepala bernomor, hasil belajar, dan Pendidikan Kewarganegaraan Abstract: The purpose of the research is to analyze the students achievements by using Cooperative Model of Numbered Heads Together (NHT). The research was applied to class X of Public Senior High School 1 Beduai Sanggau in academic year of 2011/2012 by using classroom action research (CAR). The research subject consist of 38 students of class X that were chosen by using random sampling. The data were collected by using test, then action was applied by using classroom action research. Action research was applied for 2 cycles with Sistem Hukum Nasional in the first cycle and Peran dan Fungsi Lembaga Peradilan in the second cycle. Every cycle consist of planning, action, observation and reflection. The result of study shown that there were no students achievements before the action applied. In the cycle 1 there were an increasing achievements to 11 students (34.38%) dan action in the cycle II shown there were an increasing achievement to 20 students (54.82%). It can be stated that Cooperative Model of Numbered Heads Together (NHT) is very effective to improve students achievements especially in Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) subject. Keywords: model, cooperative numbered heads together (NHT), achievements, and Civics Education.

394

Ahmad Jamalong, Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Melalui Model Kooperatif NHT di Kelas X SMA Negeri 1 Beduai Kabupaten Sanggau

Pendahuluan Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional disebutkan bahwa Pendidik an adalah usaha sada r dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan bernegara (Depdiknas, 2003) Pendidikan sebagai suatu upaya mencerdaskan kehidupan bangsa diharapkan mampu memberikan peran dan andilnya dalam meningkat kan pemba ngunan. Oleh kare na i tu, pe ndid ikan har usla h ma mpu memb erik an kontribusi yang nyata terhadap pembangunan tersebut. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka wujud nyata dari kebijakan Pemerintah dengan menetapkan Undang-Undang Nomor 20 tahun 20 03 t enta ng Siste m Pendi dika n Na sional seb agai mana Pasal 3 bahwa: Pendidi kan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermatabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkemba ngny a pe sert a di dik agar dap at m enja di manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta b ertanggung jawab (Depdiknas, 2003). Guru merupakan komponen yang paling penting perannya dalam kegiatan pembelajaran yang mengendalikan suasana di kelas. Oleh karena itu, sedini mungkin guru haruslah mampu be rper an sebag ai p elak u da lam proses pe mbel ajar an d an j uga sek alig us sebag ai evaluator terhadap proses pembelajaran yang diberikan kepada siswa. Sebagai pelaku, guru merupakan orang yang bertindak sebagai sumber belajar yang menyimpan dan menyalurkan pesan kepada siswa. Guru juga sebagai perantara dalam menyampaikan pesan kep ada sisw a. materi atau bahan belajar p enge lola proses Sebag ai

belajar, dan penerapan. Sebagai evaluator, guru melakukan tes, pengukuran dan penilaian atau evaluasi untuk dapat melihat ketercapaian dan ketuntasan tujuan pendidikan dan pengajaran. Pendidikan kewarganegaraan (PKn) di SMA bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan membentuk sikap positif terhadap kepribadian dirinya dalam kehidupan sehari-hari baik dalam keluarga, masyarakat, dan negara, memupuk sikap ilmiah yang jujur, objektif, terbuka, kritis dan dapat bekerja sama dengan orang lain. Melalui mata pelajaran PKn diharapkan agar siswa dapat mem aham i konsep dan pri nsip PKn ser ta ket erka itannya hari. Pe neli tian ter hada p pe mbel ajar an Pkn diperoleh antara lain temuan yang menunjukkan bahwa dalam mengajar guru sering menggunakan metode direct interaction (pembelajaran langsung) dengan mode l ce rama h, t anya jaw ab, dan penyampaiaan informasi, sehingga guru monoton pada saat proses pembelajaran berlangsung. Pembelajaran diawali dengan perkenalan diri ter lebi h da hulu. Pa da saat peny ajia n, g uru langsung memberikan informasi tentang tata tertib saat proses belajar berlangsung, kemudian guru langsung menyampaikan materi yang akan disampaikan selama satu semester dan guru mencatat di papan tulis. Keadaan seperti ini, mengakibatkan siswa lebih banyak mencatat apa yang dicatat di papan tulis dan mendengarkan apa yang dijelaskan. Bahkan pada saat guru menjelaskan, masih ada juga siswa yang masih me ncat at. Pemb elaj aran sep erti ini dap at mengakibatkan siswa tidak bergairah untuk mengikuti p elaj aran ber lang sung , se hing ga mer eka menj adi kura ng b erse mang at d an bermalas-malasan. Permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini yaitu apakah dengan penerapan model kooperatif Numbered Heads Together (NHT) dapat meningkatkan hasil belajar siswa kelas XA SMA Negeri 1 Beduai Kabupaten Sanggau? Secara khusus masalah dalam penelitian ini yaitu: Bagaimana hasil belajar siswa kelas XA SMA Negeri 1 Beduai Kab upat en Sangg au sebel um d an sesud ah dilaksanakannya tindakan? dan pene rapa nnya unt uk menyelesaikan masalah dalam kehidupan sehari-

pembelajaran, guru mengatur dan menciptakan kondisi belajar yang kondusif dengan melakukan pe rencanaa n pe ngaj ara n, p enyi apan med ia

395

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012

Kajian Literatur Pembelajaran Kooperatif menurut Slavin (1995) adalah pembelajaran yang dilakukan secara berkelompok, siswa dalam satu kelas dijadikan dalam kelompok-kelompok kecil yang terdiri dari 4 sampai 5 orang untuk memahami konsep yang difasilitasi oleh guru (dalam Yuliarni, 2009). Menurut Riyanto (2010) bahwa pembelajaran kooperatif merupakan model pembelajaran yang di rancang untuk me mbe laja rkan kecakap an ak adem ik, seka ligus ke tera mpil an sosia l. Sementara itu, Hayati (2002) menyatakan bahwa pembelajaran kooperatif merupakan strategi pembelajaran yang melibatkan partisipasi siswa da lam suat u ke lomp ok keci l untuk sali ng berinteraksi. Dalam sistem kooperatif, siswa belajar bekerja sama dengan anggota lainnya. Dalam model ini, siswa memiliki dua tanggung jawab, yaitu mereka belajar untuk dirinya sendiri dan membantu sesama anggota kelompok untuk belajar. Siswa belajar bersama dalam sebuah kelompok kecil dan mereka melakukan seorang diri (Rusman, 2011). Cooperative learning merupakan kegiatan be laja r si swa yang dil akuk an d enga n ca ra berkelompok. Model pembelajaran kelompok adalah rangkaian kegiatan belajar yang dilakukan oleh siswa dalam kelompok-kelompok tertentu untuk mencapai tujuan pembelajaran yang telah dirumuskan (Senjaya dalam Yatim Riyanto, 2010). Dari pendapat para ahli, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran kooperatif adalah bentuk pembelajaran dengan cara siswa belajar dan bekerja sama dalam kelompok-kelompok kecil secara kolaboratif yang anggotanya terdiri atas empat sampai lima orang siswa dengan struktur kelompok yang bersifat heterogen. Unsur-unsur Pembelajaran Kooperatif Unsur-unsur pembelajarn kooperatif (Rusman, 2011) yaitu sebagai berikut: 1) siswa dalam kel ompoknya har usla h be rang gapa n ba hwa mer eka sehi dup sepe nang gung an b ersa ma; 2) siswa bertanggung jawab atas segala sesuatu dalam kelompoknya seperti milik mereka sendiri; 3) siswa haruslah melihat bahwa semua anggota di dalam kelompoknya memiliki tujuan yang sama; 4) siswa haruslah membagi tugas dan tanggung jawab yang sama di antara anggota kelompoknya;

5) siswa akan dikenakan evaluasi atau diberikan hadiah/penghargaan yang akan dikenakan untuk semua anggota kelompok; 6) siswa berbagi ke pemi mpinan d an m ere ka da n 7) m embutuhk an siswa d iminta keterampilan untuk belajar bersama selama pr oses bel ajar nya; mempertanggungjawabkan secara individual materi yang ditangani dalam kelompok kooperatif. Menurut Riyanto (2010) unsur-unsur dalam pe mbel ajar an k oope rati f se baga i be rikut: 1) mengembangkan interaksi yang silih asah, silih asih, dan silih asuh antar sesama sebagai latihan hidup bermasyarakat; 2) saling ketergantungan positif antara individu (setiap individu mempunyai kontribusi dalam mencapai tujuan); 3) tanggung jawab secara individu; 4) temu muka dalam proses pembelajaran; 5) komunikasi antara anggot a ke lomp ok; dan 6) e valuasi proses pembelajaran kelompok. Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa unsur-unsur yang penting dalam pembelajaran kooperatif, yaitu: 1) adanya rasa tanggung jawab antaranggota kel ompok; 2 ) ad anya tenggang ra sa d an menghar gai anta rang gota kel ompok da lam belajar, sehingga tercipta komunikasi yang baik; 3) adanya rasa kebersamaan dalam belajar sehingga setiap siswa bisa memahami makna dan hasil belajar mereka; dan 4) adanya presentasi hasil kerja sama antaranggota kelompok yang kemudian hasil itu akan menentukan mereka terhadap evaluasi/penghargaan dari guru. Prinsip Pembelajarn Kooperatif Ada lima prinsip yang mendasari pembelajaran kooperatif (Riyanto, 2010), yaitu: 1) Positive independence, artinya adanya saling ketergantung an p osit if, yakni anggot a ke lomp ok menyada ri p enti ngny a ke rja sama dal am mencapai tujuan; 2) Face to face interaction, artinya antaranggota berinteraksi dengan saling berhadapan; 3) Individual accountability, artinya setiap anggota kelompok harus belajar dan aktif memberi kan kontribusi untuk menca pai keberhasilan kelompok; 4) Use of collaborative/social skill, artinya harus menggunakan keterampilan bekerja sama dan bersosialisasi. Antara siswa mampu berkolaborasi perlu adanya bimbingan guru; dan 5) Group processing, artinya siswa perlu

396

Ahmad Jamalong, Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Melalui Model Kooperatif NHT di Kelas X SMA Negeri 1 Beduai Kabupaten Sanggau

menilai bagaimana mereka bekerja sama secara efektif. Langkah-langkah Pembelajaran Kooperatif Yat im R iyanto ( 2010 ) be rpendapa t ba hwa langkah-langkah pembelajaran kooperatif sebagai berikut: 1) berikan informasi dan sampaikan tujuan sera skenario pembelajaran; 2) organisasikan siswa/peserta didik dalam kelompok kooperatif; 3) bimb inga n si swa/ pese rta didi k untuk melakukan kegiatan/berkooperatif; 4) evaluasi; dan 5) berikan penghargaan. Dengan kata lain, pendapat tersebut mengandung makna bahwa la ngka h-la ngka h me ncak up: pe mbe laja ran koop erat if mate ri d an 1) m enya mpai kan

Langkah-langkah model kooperatif Numbered Heads Together sebagai berikut: 1) siswa dibagi dalam kelompok, setiap siswa dalam setiap kelompok mendapat nomor; 2) guru memberikan tugas dan masing-masing kelompok mengerjakannya; 3) kelompok mendiskusikan jawaban yang be nar dan mema stik an t iap angg ota kel ompok da pat meng erja kannya; 4) g uru memanggil salah satu nomor siswa dengan nomor yang dipanggil dan melaporkan hasil kerja sama mereka; 5) meminta tanggapan dari teman yang lain, kemudian guru menunjuk nomor yang lain; dan 6) kesimpulan. Pengertian Belajar dan Hasil Belajar Belajar Plato (1986), melihat bahwa pengetahuan sebagai suatu yang ada dalam diri manusia dibawa sejak lahir. Sementara itu, Aristoteles (1992), melihat pengetahuan sebagai suatu yang ada dalam dunia fisik bukan dalam pikiran. Kedua pendapat tersebut memberikan gambaran tentang belajar. Bagi penganut falsafah idealisme hakikat realita yang terdapat dalam pikiran, sumber pengetahuan yaitu ide dalam diri manusia. Proses belajar merupakan pengembangan ide yang telah ada dalam pikiran. Bagi penganut realisme, realita terdapat dalam dunia fisik, sumber pengetahuan merupakan pengalaman sensori, dan belajar merupakan kontak atau interaksi individu dengan lingkungan fisik. Belajar pada hakikatnya proses perubahan pe rila ku b erka t pe ngal aman dan pel atihan (Ahmadi, Abu., dan Tri Prasetya, Joko, 2005). Artinya, tujuan kegiatan belajar yaitu perubahan tingkah laku baik yang menyangkut pengetahuan,

melaksanakan pembelajaran; 2) membentuk kelompok siswa; 3) memberikan arahan kepada siswa; 4) memberikan penilaian/evaluasi; dan 5) memberikan penghargaan atau pengakuan tim. Model-Model Pembelajaran Kooperatif Ad a be bera pa v aria si mode l pe mbel ajar an kooperatif (Hamdani Mulya, 2012), walaupun prinsip dasar dari pembelajaran kooperatif ini tidak berubah. Je nis-jenis mod el tersebut ad alah seb agai ber ikut : 1) Tip e Student Tea ms Achievement Division (STAD), 2) Tipe Team Game Tournament (TGT), 3) Tipe Jigsaw, 4) Tipe kelompok Investigasi, 5) Tipe Numbered Heads Together (NHT), 6) Tipe Think-Pair-Share (TPS) , 7) Tipe Debat, dan 8) Tipe Picture and Picture (PP). Dalam penelitian ini, dilakukan penerapan pembelajaran kooperatif model Numbered Heads Together pada mata pelajaran PKn di kelas XA SMA Negeri 1 Beduai Kabupaten Sanggau. Kooperatif Numbered Heads Together Teknik belajar mengajar kepala bernomor (Number Heads Together) dikembangkan oleh Kagan (1992). Teknik ini memberikan kesempatan kepada siswa untuk saling membagikan ide-ide dan mempertimbangkan jawaban yang paling tepat. Selain itu, te knik ini mendorong siswa unt uk m eningkatkan semangat kerja sama mereka. Teknik ini bisa digunakan dalam semua materi pada pe mbel ajaran PKn. Tek nik ini juga dap at dilaksanakan pada semua tingkatan usia anak didik (Lie, 2010).

keterampilan, maupun sikap, dan bahkan meliputi segenap aspek pribadi yang dimiliki oleh individu. Sementara itu, Gagne (1989) menyatakan bahwa b elaj ar m erup akan kecende rung an per ubahan p ada diri manusia yang da pat di pert ahankan sela ma proses p ertumbuhan (dalam Riyanto, 2010). Dalam penjelasan Gagne, belajar merupakan suatu peristiwa yang terjadi di dalam kondisi yang dapat diamati, diubah, dan dikontrol. Dari pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa belajar merupakan proses yang mengacu pada perubahan perilaku akibat dari proses

397

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012

pengalaman, baik yang dialami ataupun yang sengaja dirancang. Hasil Belajar Menurut Hamalik (1995), hasil belajar adalah perubahan tingkah laku subjek yang meliputi kemampuan kognitif, afektif, dan psikomotor dalam situasi tertentu berkat pengalamannya berulangulang. Adapun menurut Sudjana (2010), hasil belajar adalah suatu akibat dari proses belajar dengan menggunakan alat pengukuran, berupa tes yang disusun secara terencana, baik, tes ter tuli s, t es l isan, ma upun tes per buat an. Pendapat tersebut mengartikan bahwa hasil belajar tersebut diperoleh dari alat ukur yang telah direncanakan sebelumnya dan dilakukan se tela h pr oses pem bela jara n be rlangsung. Sementara itu, Bloom (dalam Sudjana, 2010) untuk mend apat kan hasi l be laja r kognit if seseorang memiliki enam tingkatan kognitif, yakni: 1) Pengetahuan ( knowledg e), yaitu sebagai perilaku mengingat atau mengenali informasi (m ater i pe mbel ajar an) yang tel ah d icap ai sebelumnya; 2) Pemahaman ( Comprehension), yaitu sebagai kemampuan memperoleh makna dari materi pembelajaran. Hal ini ditujukan melalui penerjemahan materi pembelajaran; 3) Penerapa n ( app lica tion) , yait u p ener apa n ya ng mengacu pad a ke mamp uan meng guna kan pembelajaran yang telah dipelajari di dalam situasi baru dan konkrit. Ini mencakup penerapan hal-hal seperti aturan, metode, konsep, prinsipprinsip, dalil, dan teori; 4) Analisis (analysis), yaitu mengacu pada kemampuan memecahkan materi ke dalam bagian-bagian, sehingga dapat dipahami st rukt ur organisasinya . Ha l ini me ncak up identifikasi bagian-bagian, analisis antarbagian, dan mengenali prinsip-prinsip pengorganisasian; 5) Sintesis ( synthesis) , yaitu mengacu pada kem ampuan m engg abungkan bag ian- bagi an dalam rangka membentuk struktur yang baru. Hal ini mencakup komunikasi yang unik (tema atau percakapan), perencanaan operasional (proposal), atau seperangkat hubungan yang abstrak (skema untuk mengklasifikasi informasi); dan 6) Penilaian (e valuation ), yaitu mengacu pada kemampuan membuat keputusan tentang nilai materi pembelajaran untuk tujuan tertentu.

Dal am pem belaja ran sebagai mana y ang dijelaskan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa untuk mendapatkan hasil belajar harus memper hati kan evaluasi. Lebih lanjut Gagne, (dalam Sudjana, 2010) hasil belajar pada proses belajar ditentukan oleh aspe k kognit if, yait u ingata n, pengetahuan, analisis, aplikasi, sintesis, dan

lima faktor, yaitu: 1) I nformasi Verbal ( Verbal


Information) yaitu pengetahuan awal/dasar yang dimiliki seseorang dan dapat diungkapkan dalam bentuk bahasa, lisan, dan tulisan. Apabila siswa hendak belajar/menerima pelajaran suatu pokok bahasan, maka pengetahuan awal sebelum pokok bahasan diberikan siswa harus sudah menguasai; 2) Kemahiran Intelektual (Intelectual Skill) adalah kem ampuan untuk ber hubungan dengan lingkungan hidup dan dirinya sendiri dalam bentuk suatu representasi. Intelektual atau kecerdasan bila dikembangkan dapat berupa Intellegence Quotient (IQ), Emotional Intelligence (EI), Spiritual Int elli gence (I S). IQ b erhubungan deng an intelegensi atau kecerdasan otak, EI berkaitan dengan emosi atau tingkat pengendalian diri, IS berhubungan dengan tingkat keyakinan kepada Tuhan, strategi kognitif (pengaturan kegiatan kognitif) merupakan aktivitas mentalnya sendiri, sedangkan ruang gerak kemahiran intelektual mer upak an r epre sent asi dala m ke sada ran terhadap lingkungan hidup dan diri sendiri; 3) Strategi kognitif mencakup penggunaan konsep dan kaidah yang telah dimiliki, terutama bila sedang menghadapi suatu problem; 4) Keterampilan Motorik (Motor Skill) yaitu kemampuan melakukan suatu rangkaian gerak-gerik jasmaniah dalam urutan tertentu yang terkoordinasikan dan terpadu. Ciri khas dari keterampilan motorik yakni otomatisme, yaitu rangkaian gerak-gerik berlangsung secara teratur dan berjalan secara la ncar dan luw es t anpa banyak dibutuhk an refleksi tentang apa yang harus dilakukan dan mengapa diikuti gerak-gerik tertentu; dan 5) Sikap ( attitude ) yaitu kecenderungan menerima atau menolak suatu objek b erdasarkan pe nilaian terhadap objek itu serta berguna/berharga atau tidak sering dinyatakan sebagai suatu sikap dan bila dimungkinkan adanya berbagai tindakan. Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa hasil belajar siswa dilihat dari 5 faktor utama, yaitu:

398

Ahmad Jamalong, Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Melalui Model Kooperatif NHT di Kelas X SMA Negeri 1 Beduai Kabupaten Sanggau

informasi verbal, kemahiran intelektual, strategi kognitif, keterampilan motorik dan sikap. Hasil belajar dapat dilihat dari hasil ulangan ha rian (te s format if ), ni lai ulangan teng ah semester (subtes sumatif), dan ulangan semester (tes sumatif). Dalam penelitian tindakan kelas ini yang dimaksud dengan hasil belajar siswa adalah hasil nilai yang diberikan pada awal pembelajaran (pre test) dan di akhir pembelajaran (post test). Pendidikan Kewarganegaraan Hakikat Pendidikan Kewarganegaraan Hakikat Pendidikan Kewarganegaraan adalah upaya sadar dan terencana untuk mencerdaskan kehidupan bangsa bagi warga negara dengan menumbuhkan jati diri dan moral bangsa sebagai landasan pelaksanaan hak dan kewajiban dalam bela negara, demi kelangsungan kehidupan dan kejayaan bangsa dan negara (dalam http:// tharra.wordpress.com/2010/02/24/ ). Hal ini berarti Pkn mempersiapkan peserta didik untuk memahami moral bangsa, serta memahami hak da n ke waji ban seba gai war ga negar a ya ng Pancasilais. Darmadi (2010) mengatakan bahwa hakikat Pendidikan Moral Pancasila dari berbagai segi, ya ng k esel uruhanny a m enja di ciri khusus Pendidi kan Mora l Pa ncasila, dal am hal i ni pendidikan tidak terlepas dari proses interaksi belajar, karena pendidikan akan tercapai apabila ada interaksi yang baik antara siswa dan guru di kelas. Pendidikan Kewarganegaraan berdasarkan pendapat di atas dapat merupakan salah satu mata pelajaran yang dilakukan secara sadar, di mana untuk mempersiapkan peserta didik menjadi warga negara yang memahami hak dan kewaj iban dan dap at m enge mbangkan ser ta melestarikan nilai-nilai luhur bangsa dalam bentuk perilaku dalam kehidupan sehari-hari. Tujuan Pendidikan Kewarganegaraan Tujuan PKn dalam Depdiknas (2006) yaitu untuk memberikan kompetensi sebagai berikut: a) berpikir kritis, rasional, dan kreatif dalam menggapai isu kewarganegaraan; b) berpartisipasi secara cerdas dan tanggung jawab serta bertindak secara sadar dalam kegiatan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara; c) berkembang secara

positif dan demokratis untuk membentuk diri berdasarkan karakter-karakter masyarakat di Indonesia agar hidup bersama dengan bangsabangsa lain; dan d) berinteraksi dengan bangsa la in d an m emat uhi pera tura n dunia seca ra langsung de ngan mem anfa atka n te knol ogi informatika dan komunikasi. Darmadi (2010) juga menjelaskan bahwa tujuan PKn yai tu untuk: a ) me ning katk an kesadaran dan kemampuan diri pribadi siswa sebagai insan pancasilais; dan b) meningkatkan diri siswa sebagai warga negara yang pancasilais yang mahir dalam hubungan sosial. Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa tujuan PKn secara garis besar: a) mempersiapkan peserta didik untuk berpikir kritis; rasional, dan kreatif; b) berpartisipasi secara cerdas dan bertanggung jawab; c) berkembang secara demokratis untuk membentuk karakter diri yang sesua i denga n masy arakat Indone sia; d) berinteraksi dengan sesama, baik nasional dan internasional; e) meni ngka tkan kesadar an sebagai manusia pancasilais; dan f) meningkatkan kesadaran sebagai makhuk sosial. Metode Penelitian Me tode yang di guna kan ada lah pene liti an tindakan kelas yang dilaksanakan pada kelas X di SMA Negeri 1 Beduai Kabupaten Sanggau, yang terletak di Jalan Raya Beduai. Penelitian ini dilaksanakan selama 8 bulan, yaitu mulai bulan Maret sampai bulan Agustus 2011. Subjek dalam penelitian ini yaitu siswa kelas X yang berjumlah 38 orang dengan rincian 17 orang siswa laki-laki dan 21 orang siswa perempuan, dengan obyek hasil belalar-mengajar melalui penerapan model Kooperatif Numbered Heads Together (NHT). Pelaksanaan Penelitian Pelaksanaan penelitian tindakan kelas meliputi beberapa siklus. Tiap siklus tersebut meliputi: Pertam a, perenca naan tinda kan (pl anning): a) Penyusunan rencana pembelajaran yang berisi langkah-langkah pembelajaran model Kooperatif Numbered Heads Together yang akan digunakan pada siklus I dan siklus selanjutnya; b) Membuat instrumen penelitian (LKS, kisi-kisi soal post test, dan post test tindakan) yang digunakan dalam siklus I dan siklus selanjutnya; c) Penyusunan

399

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012

ala t-al at e valuasi tind akan ber upa lemb ar observasi KBM dan lembar jawaban siswa. Ked ua, pela ksanaan tind akan (acting ) : a) Pendahuluan; b) Guru menyampaikan tujuan pembelajaran dan memotivasi siswa; dan c) Guru menjelaskan secara singkat tentang model NHT Kegiatan inti: a) Guru menyampaikan materi pembelajaran kepada siswa; b) Mengorganisasikan siswa dalam kelompok belajar; c) Guru meminta siswa untuk berdiskusi dengan kelompok yang telah ditentukan; d) Membimbing siswa untuk menyelesaikan soal; dan e) Melakukan evaluasi, meliputi: 1) Guru memanggil siswa untuk mengambil nomor kelompok dan nomor siswa; 2) Siswa yang nomornya terpilih mengambil nomor soal dan mempresentasikan jawaban dari soal ter sebut be rdasarka n ha sil kerj a ke lomp ok mereka di depan kelas; 3) Siswa dari kelompok lain menanggapi dan guru bertindak sebagai fasilitator ; 4) Guru memanggil nomor yang ber beda dar i ke lomp ok y ang sama unt uk membantu menjelaskan; 5) Guru mengulangi kegiatan di atas, sehingga semua kelompok mendapatkan giliran untuk melaporkan hasil kerja mereka; dan 6) Memberikan penghargaan berupa pujian,atau motivasi lainnya. Kegiatan Penutup Guru bersama-sama siswa menarik kesimpulan dar i 1) ma teri yang te lah dipe laja ri, yait u; Obse rvasi pe laksanaa n pe mbel ajar an instrum en

dan memutuskan apakah siklus dilanjutkan atau tidak. Jika siklus dilanjutkan, maka akan disusun kembali perencanaan untuk tindakan pada siklus selanjutnya. Untuk kegiatan pembelajaran pada siklus kedua dipengaruhi oleh hasil kegiatan pada siklus pertama, begitu pula kegiatan siklus ketiga akan di peng aruhi ol eh hasi l si klus ked ua d an seterusnya. Setiap siklus selalu diakhiri dengan tes. Jika siklus menunjukkan jumlah siswa yang mencapai ketuntasan belajar minimal 50% maka siklus berakhir. Teknik Pengumpulan Data Sugiyono (2011) menjelaskan teknik pengumpulan data merupakan lang kah yang p aling strategis dalam penelitian, karena tujuan utama dari penelitian yaitu mendapatkan data. Dari penjelasan tersebut peneliti harus menentukan teknik yang digunakan dalam penelitannya. Sehubungan dengan itu, Nawawi (2007) mengatakan teknik pengumpulan data dapat di beda kan menj adi enam tek nik pene liti an seb agai car a ya ng d apat dit empuh untuk mengumpulkan data, yaitu: 1) teknik observasi langsung; 2) observasi tidak langsung; 3) komunikasi langsung; 4) komunikasi tidak langsung; 5) teknik p engukura n; d an 6 ) te knik studi dokumenter. Menurut Tri anto (20 11) meny ebut kan be bera pa t ekni k pe ngum pula n da ta, yakni: 1) Catatan Lapangan; 2) Angket (questionnaire); 3) Daftar Cocok atau Ceklis (Checklist); 4) Lembar Pe ngam atan (ob servasi) ; 5) Waw anca ra (interview); dan 6) Tes Hasil Belajar. Dar i pe ndap at y ang ada, penelit ian ini menggunakan teknik pengumpul data observasi langsung, komunikasi langsung, pengukuran, dan studi dokumenter. Nawawi (2007) menjelaskan bahwa teknik observasi langsung merupakan cara mengumpulkan data yang dilakukan melalui pengamatan dan pencatatan gejala-gejala yang ta mpak pad a ob jek pene liti an yang pela ksa naannya lang sung pad a te mpat sua tu peristiwa, keadaan, atau situasi yang sedang terjadi. Teknik ini digunakan untuk melihat aktivitas guru maupun siswa. Nawawi (2007) menjelaskan bahwa teknik komunikasi langsung merupakan cara mengum-

dilakukan secara kolaboratif antara guru dan penelit i de ngan menggunakan monitoring yang te lah dir enca naka n; d an 2) Refleksi ini dilakukan dengan cara berdiskusi antara guru dan peneliti terhadap masalah yang diperoleh pada saat observasi dan melihat apakah tindakan yang telah dilakukan dapat meningkat kan hasi l be laja r si swa dala m me ncap ai ketuntasan belajar. Melalui refleksi inilah, peneliti akan menentukan keputusan untuk melaksanakan siklus lanjutan ataukah berhenti. Dalam setiap siklus, tindakan dilakukan secara bervariasi dan disertai dengan lembar pengamatan/observasi. Hal ini dimaksudkan untuk melihat apakah tindakan yang dilakukan dapat memberikan peningkatan hasil belajar siswa. Pada tahap refleksi, pengajar dan peneliti berdiskusi tentang hasil yang didapat pada siklus tersebut

400

Ahmad Jamalong, Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Melalui Model Kooperatif NHT di Kelas X SMA Negeri 1 Beduai Kabupaten Sanggau

pul kan

data

yang

me ngha rusk an

p enel iti

pencapaian hasil belajar (dalam Yuliarni, 2009). Dokumentasi ini digunakan untuk mengumpulkan data berupa dokumen-dokumen seperti RPP, si labus, soal, hasil b elaj ar, foto, da n la in sebagainya yang dapat memperkuat data oleh pe neli ti d alam pel aksa naan keg iata n pe m-

mengadakan kontak langsung secara lisan atau tatap muka ( face to face) dengan sumber data, baik dalam situasi yang sebenarnya maupun dalam situasi yang sengaja dibuat untuk keperluan tersebut. Selanjutnya, Nawawi (2007) menjelaskan bahwa teknik pengukuran adalah cara mengumpulkan data yang bersifat kuantitatif untuk mengetahui tingkat atau derajad aspek tertentu dibandingkan dengan norma tertentu pula sebagai satuan ukur yang relevan. Teknik ini digunakan untuk melihat tingkat hasil belajar siswa. Lebih lanjut, Nawawi (2007) menjelaskan bahwa teknik studi dokumenter adalah cara mengumpulkan data yang dilakukan dengan kategori dan klasifikasi bahan-bahan tertulis yang berhubungan dengan masalah penelitian, baik dari sumber dokumen maupun buku-buku, koran, dan lain-lain. Teknik ini untuk mengumpulkan data hasil belajar dan mendokumentasikan setiap kegiatan dilakukan saat penelitian berlangsung. Alat Pengumpul Data Alat pengumpul data dalam penelitian ini yaitu: lembar observasi langsung, panduan wawancara, tes, dan dokementasi. Lembar observasi digunakan sebagai alat mengukur at au m enil ai d alam pem bela jara n be rlangsung mel akuk an mod el pengamatan aktivitas siswa pada saat kegiatan de ngan Kooperatif Numbered Heads Together (NHT) dimulai dar i ke giata n aw al, i nti, dan penut up y ang dilakukan oleh peneliti. Panduan waw anca ra d igunakan unt uk menghimpun data, terutama untuk mengetahui tanggapan, pendapat, keyakinan, perasaan, motivasi bagi objek yang akan diwawancarai, setel ah kegia tan pemb elajaran berlang sung dengan model kooperatif Numbered Heads Together (NHT). Trianto (2011) mengatakan bahwa pemberian tes dilakukan dua kali, yaitu sebelum proses pembelajaran dimulai (pretest) dan sesudah proses pembelajaran ( post test). Soal tes yang digunakan dalam penelitian ini yaitu tes tertulis dalam bentuk essai. Menurut Arikunto (2010) instrumen yang berupa tes dapat digunakan unt uk m engukur kema mpua n da sar dan

belaj aran model kooperat if Numbered Heads


Together (NHT). Teknik Analis Data Data yang diperoleh melalui hasil belajar diolah menjadi nilai dan persentase ketuntasan. Untuk mengola h ha sil bela jar berupa nilai siswa digunakan rumus sebagai berikut: Rumus : KB Keterangan: KB S TS : Ketuntasan Belajar : Skor : Total Skor Untuk melihat persentase ketuntasan belajar siswa menggunakan rumus persentase, yaitu: Rumus %

S x100 TS

( Trianto; 2011)

A x100% . B

Keterangan: % A B : Persentase siswa : Jumlah siswa yang tuntas : Jumlah siswa seluruhnya

(Trianto:2011) Hasil Penelitian dan Pembahasan Bentuk penelitian ini yaitu penelitian tindakan kelas, bertujuan untuk meningkatkan hasil belajar siswa pada mata pelajaran PKn. Penelitian ini dilakukan pada kelas XA SMAN 1 Beduai Kabupaten Sanggau yang mengambil populasi 38 siswa. Pelaksanaan penelitian menggunakan 2 siklus, di mana setiap siklusnya terdiri atas tahap perencanaan, tindakan, observasi, dan refleksi. Satu siklus terdiri atas satu pertemuan menggunakan alokasi waktu 2 x 45 menit dengan menggunakan satu rencana pelaksanaan pembelajaran yang telah disiapkan dan materi yang di bahas sesuai dengan rencana pembelajaran. Pad a pe neli tian ini , pe neli ti d an g uru berkolaborasi membuat rencana pelaksanaan pem bela jara n de ngan menyusun sk enar io tindakan dengan model pembelajaran kooperatif

401

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012

Numbered Heads Together (NHT). Dalam pembahasan ini akan dij abarkan perke mbangan kegiatan belajar mengajar mulai dari prasiklus sampai pelaksanaan siklus terhadap hasil belajar siswa selama tindakan berlangsung. Prasiklus Berdasarkan hasil observasi yang dilaksanakan pada praobservasi tanggal 6 Agustus 2011, guru lebih dominan menggunakan metode ceramah, dan mencatat materi di papan tulis, sehingga siswa kurang bersemangat dalam pelaksanaan pembelajaran. Banyak di antara siswa tidak memperhatikan guru menjelaskan, dan ada juga yang berbicara pada teman sebangkunya. Hasil post test yang dilaksanakan pada tanggal 22 Oktober 2011, menunjukkan bahwa tidak ada satu pun siswa yang tuntas. Oleh karena itu, diperlukan strategi yang dapat meningkatkan hasil belajar siswa melalui model kooperatif Numbered Heads Together (NHT).

Siklus 1 Siklus I dilakukan dalam 1 kali pertemuan dan dilakukan pada hari Sabtu tanggal 5 September 2011 dari pukul 07.0008.30 WIB. Siklus I ini membahas tentang materi Sistem Hukum Nasional. Siklus ini terdiri atas tahap perencanaan, tindakan, observasi, dan refleksi. Pa da t ahap per enca naan dir anca ng perangkat dan instrumen pembelajaran (rencana pelaksanaan pembelajaran model kooperatif Numbered Heads Together , LKS, post test , dan lembar observasi). Perangkat ini disusun oleh peneliti dan didiskusikan bersama guru mata pelajaran PKn SMA Negeri 1 Beduai Kabupaten Sanggau. Sebelum tahap tindakan pada siklus I, terlebih dahulu dilakukan post test dengan alokasi waktu 45 menit. Post test ini dilakukan untuk me liha t ke mamp uan awal siswa sebel um dilakukan tindakan. Pemberian post test diberikan pada tanggal 22 Okober 2011, untuk melihat ke mamp uan awal siswa d an p embe ntuk an kelompok belajar siswa. Dalam pemberian post test diikuti siswa sebanyak 23 orang. Hasil post test tidak ada satu pun siswa yang mencapai ketuntasan belajar. Adapun hasil post test dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Hasil Post Test

No

Nama

JK

Kelas

Skor 1 1 2 0 1 2 0 0 2 0 2 0 5 0 0 0 0 0 0 2 10 2 0 8 5 0 10 5 0 7 0 1 0 0 0 0 0 0 3 1 1 0 2 2 0 0 2 0 1 0 1 0 0 0 0 0 0

Jumlah Skor 12 5 0 11 9 0 10 9 0 10 0 7 0 0 0 0 0 0

Nilai

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18

Ali Imran Andi Sopianus Andreas Enggi Anis Yuniasari Marselinus Aprianus Bayu Alhuda Budi Irawan Clara Erna Dessy Andri Yani Emilia Tiwi Erni Faleria Selvi Fransiskus Leonardo Hilarius Aprianto Indah Roida Simaremare Kornelius A'ad Kristina Kaleng Mariana Kartini

L L L P L L L P P P P P L L P L P P

XA XA XA XA XA XA XA XA XA XA XA XA XA XA XA XA XA XA

48 20 0 44 36 0 40 36 0 40 0 28 0 0 0 0 0 0

402

Ahmad Jamalong, Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Melalui Model Kooperatif NHT di Kelas X SMA Negeri 1 Beduai Kabupaten Sanggau

19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38

Marselius Silvester Marsiana Kamsiar Muhamad Tri Hanafi Nataria Donata Palentinus Rulli Junardi Pasiah Tatah Pransiskus Eki Ratmiyati Sele Endah Lestari Silvester Sandika A. Suliyani Tasiana Meri Uvi Srirahayu Viktor Use Yohana Yohanes Vicky Yosep Wely Yuli Herlina Yuliana Yulia Adhi Prabowo

L P L P L P L P P P P P P L P L P L P L

XA XA XA XA XA XA XA XA XA XA XA XA XA XA XA XA XA XA XA XA

0 0 0 5 2 2 2 1 1 2 1 1 0 2 1 1 0 1 1 0

0 0 0 5 8 2 2 8 5 1 10 2 0 2 2 5 0 10 5 10

0 0 0 1 2 1 2 1 2 2 2 2 0 1 2 2 0 0 1 1

0 0 0 11 12 5 6 10 8 5 13 5 0 5 5 8 0 11 7 11

0 0 0 44 48 20 24 40 32 20 52 20 0 20 20 32 0 44 28 44

Tahap selanjutnya adalah tindakan dengan menggunakan model kooperatif Numbered Heads Together (NHT). Tindakan dilakukan dengan alokasi waktu selama 2 x 45 menit. Pertama-tama guru membuka pelajaran dengan mengabsen siswa. Selanjutnya, menyampaikan tujuan pembelajaran dan memotivasi siswa dengan mengulas materi sebelumnya, yaitu tentang konsepsi dari hukum. Namun, g uru tid ak mena nya kan LKS ya ng diberikan sudah dipelajari atau belum. Kegiatan ini memakan waktu kurang lebih 10-12 menit. Dalam pembelajaran kooperatif Numbered Heads Together (NHT) terdapat 6 fase, yaitu: dalam fa se 1 , di awa l pe laksanaa n pe mbel ajar an berlangsung disampaikan tujuan dan motivasi siswa dengan mengulas sedikit materi sebelumnya, yakni dengan melontarkan pertanyaan seperti konsepsi hukum, sumber hukum, dan pasal berapa yang menyatakan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum. Siswa masih bel um a ktif dal am m enja wab pert anya anpertanyaan oleh guru dan mereka sibuk untuk mencari jawaban. Setelah beberapa lama, barulah mereka menjawab pertanyaan guru. Waktu yang digunakan dalam fase 1 ini selama sekitar10 menit. Dalam fase 2, guru menyampaikan informasi kepada siswa selama 20 menit (07.1007.30

WIB). Guru menjelaskan bahwa penggolongan hukum dapat dibagi menjadi beberapa aspek, yaitu berdasarkan bentuk, waktu, subjek, isi, dan fungsinya. Pada saat guru menyampaikan materi, guru sering meminta siswa untuk berpendapat tentang contoh hukum berdasarkan isi, ruang lingkup, tugas, dan fungsinya. Selanjutnya, guru menjelaskan tentang sumber hukum, hukum ter diri ata s undang -und ang, keb iasa an, keputusan hakim, traktat, dan dokrin. Guru juga menyelipkan sedikit pertanyaan kepada siswa agar siswa mengeluarkan pendapat sendiri. Materi sel anjutnya mengena i ur utan per atur an perundang-undangan menurut Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 dan menurut Undang-Undang No 10 Tahun 2004. Namun, selama guru menjelaskan materi tidak ada siswa yang bertanya kepada guru terhadap materi yang kurang difahami. Pada fase 3, mengorganisasikan siswa dalam kelompok belajar. Pada saat pembagian kelompok, suasana kelas menjadi ribut dan waktu yang dibutuhkan 5 menit (07.3007.35). Pada saat pembagian kelompok guru hanya mengarahkan posisi kel ompok ma sing-ma sing . Ke lomp ok tersebut sudah dibentuk seminggu sebelumnya oleh guru. Setelah pembagian kelompok, guru menjelaskan mekanisme pembelajaran pada saat evaluasi. 403

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012

Fase 4, membimbing kelompok belajar siswa. Pada fase ini guru terlihat tidak memberi bimbingan kepada kelompok belajar siswa dalam berdiskusi menyelesaikan soal-soal yang ada di LKS, tetapi guru hanya memberikan kesempatan kepada siswa untuk menyelesaikan tugas pada LKS. Pada saat diskusi guru hanya memberikan waktu 10 menit (07.35-07.45 WIB) untuk menyelesaikan diskusi. Pada fase 5, yaitu tahap evaluasi terlihat siswa lebih bersemangat untuk belajar dan siswa masih mengerjakan soal di LKS. Waktu yang diperlukan dalam fase ini adalah 30 menit (07.45 08.15 W IB). Guru meny uruh si swa unt uk mem angg il nomor kel ompok ya ng a kan mempresentasikan di depan kelas. Kemudian guru memberikan kepada kelompok yang lain untuk memanggil nomor-nomor siswa dan nomor soal. Begitu seterusnya sampai waktu yang ditentukan selesai, dan bagi kelompok yang belum mendapat giliran dipanggil minggu depan. Kelompok yang pertama maju yaitu kelompok D dan nomor siswa yang dipanggil yang pertama D1 dengan nomor soal nomor 11, yaitu bagaimana pendapat anda mengenai hukum di Indonesia? Kemudian D1 menjelaskan pendapatnya mengenai hukum di Indonesia, selanjutnya guru meminta tanggapan dari kelompok lain dengan nomor yang sama, yaitu nomor 1. Setelah semua kelompok me mber i ta ngga pan guru tid ak m embe ri penghargaan kepada siswa yang telah memberi tanggapannya. Selanjutnya, guru meminta kepada siswa kembali untuk mengambil nomor siswa dan nomor soal. Nomor yang dipanggil yaitu nomor D4 dan soal nomor 3, yaitu sebutkan penggolongan hukum. Guru melakukan hal yang sama pada pelak sanaan seb elumnya. Setelah 15 menit berakhir guru memanggil kelompok selanjutnya, kelompok yang dipanggil, yakni kelompok G. Hal yang sama dilakukan seperti yang dilaksanakan dalam kelompok D sebelumnya. Fase 6, pemberian penghargaan kepada sisw a. Nam un, da lam pela ksanaannya g uru kurang memberikan penghargaan kepada siswa baik yang menjawab, memberikan tanggapan, maupun kelompok yang telah berpresentasi di depan kelas.

Pada kegiatan penutup selama 15 menit (08.15-18 30 WIB), yakni penarikan simpulan terlihat siswa kurang memperhatikan guru, karena sib uk untuk mencari tem pat duduk. G uru menanyakan sedikit kepada siswa tentang apa yang telah dipelajari tadi dan siswa pun menjawab dengan baik dari pertanyaan yang disampaikan guru. Selanjutnya, guru memberikan post test untuk mengukur hasil belajar siswa. Pada tahap ketiga observasi guru melakukan tindakan, sedangkan peneliti bertugas sebagai observer. Tujuan dari observasi dalam penelitian ini yaitu untuk mengetahui dan memperoleh ga mbar an l engk ap secar a ob jekt if t enta ng perkembangan proses dan pengaruh tindakan ya ng d ipil ih t erha dap pem bela jara n ya ng dilakukan pendidik dalam menyampaikan materi sistem hukum nasional dengan model kooperatif Numbered Heads Together (NHT). Secara lengkap hasil observasi sebagai berikut: a) Pada siklus 1, ada fase yang tidak dilakukan oleh guru, yaitu fase 4 mengenai bimbingan guru kepada siswa dalam kel ompok be laja r me reka ; b) Pad a sa at menyampaikan informasi (fase 2) guru terlihat terburu-buru, sehingga membuat siswa kurang terfokus terhadap apa yang disampaikan oleh guru; c) Pada saat pengorganisasian kelompok, sua sana kel as m enja di r ibut ; d) Pad a sa at menyelesaikan tugas, terlihat hanya 6 kelompok yang me laksanak an d iskusi d enga n ba ik, sedangkan 2 kelompok lainnya masih belum berdiskusi dengan baik karena hanya sebagian dari kelompoknya yang mengerjakan tugas yang ada di LKS. Terlihat mereka kurang bertanggung jawab terhadap pekerjaan kelompoknya; e) Pada saat membahas hasil kerja kelompok, hanya 2 orang siswa yang memberikan tanggapan lain dari nomor soal yang ada; f ) Setelah siswa menjawab pertanyaan ataupun tanggapan, guru kurang memberikan penghargaan kepada siswa; dan g) Di akhir pelajaran guru tidak menarik simpulan, namun langsung menanyakan kepada siswa apa yang telah dipelajari. Alangkah baiknya guru menyimpulkan sedikit dari pembahasan kelompok, terutama soal-soal yang diambil. Berdasarkan hasil observasi pada tindakan, peneliti melakukan refleksi dengan guru pada siklus I (pertama), walaupun hasil belajar dan proses pembelajaran sudah mengalami sedikit

404

Ahmad Jamalong, Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Melalui Model Kooperatif NHT di Kelas X SMA Negeri 1 Beduai Kabupaten Sanggau

per ubahan,

kekurang an-k ekur anga n

ma sih

memberikan motivasi dan mendorong siswa untuk dapat bekerja sama dengan kelompoknya; e) Siswa masih terlihat canggung dalam menjawab pertanyaan dan mengeluarkan pendapat. Ini dikarenakan mereka tidak terbiasa untuk bertanya atau mengemukakan pendapat. Disepakati pada sikus II guru dapat memancing siswa untuk berani ber tany a da n me njaw ab p erta nyaa n ya ng diberikan; f ) Guru kurang memberikan penghargaan kepada siswa yang telah menjawab pertanyaan maupun memberikan tanggapan. Untuk siklus II guru lebih sering memberikan penghargaan kepada siswa yang mengemukakan pendapat dan menjawab pertanyaan, serta sudah berani tampil. Untuk mengetahui hasil belajar siswa pada siklus I diberikan post test. Kemampuan akhir siswa dalam menguasai materi sistem hukum nasional setelah melalui pembelajaran dengan tindakan kel as b erup a pe mbel ajar an d enga n model kooperatif Numbered Heads Together (NHT) pada sikus I mengalami peningkatan dapat dilihat pada Tabel 2.

ditemui. Berikut hasil refleksi peneliti dengan guru, yaitu: a) pada awal pembelajaran guru masih belum menanyakan kepada siswa apakah LKS yang dibagikan sudah dipelajari. Solusinya, pada siklus II guru terlebih dahulu menanyakan kepada siswa sudah atau belum mempelajari LKS; b) guru belum membimbing siswa dalam kelompok ketika diskusi kelompok. Hal ini dikarenakan guru belum pernah melaksanakan model kooperatif Numbered Heads Together (NHT) . Di siklus II, guru lebih bersifat sosial terhadap siswa dalam membimbing kelompok belajar siswa untuk menyelesaikan soalsoal yang ada pada LKS; c) guru terlihat terburuburu dalam penyampaian materi. Ini dikarenakan guru t akut kehabisan w aktu yang ak an di laksanak an p ada fase ber ikut nya. Unt uk mengatasi hal tersebut, guru meminta siswa untuk mempelajari LKS yang telah diberikan; d) siswa canggung dalam berinteraksi dengan siswa lain dalam berdiskusi kelompok, sehingga masih banyak terdapat kelompok yang pasif. Hal ini dikarenakan siswa jarang melakukan diskusi kelompok. Solusinya, pada siklus II guru lebih

Tabel. 2 Hasil Post Test Prasiklus dan Siklus I

Nilai No Nama JK Kelas Pra tindakan Skor 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 Ali Imran Andi Sopianus Andreas Enggi Anis Yuniasari Marselinus Aprianus Bayu Alhuda Budi Irawan Clara Erna Dessy Andri Yani Emilia Tiwi Erni Faleria Selvi Fransiskus Leonardo Hilarius Aprianto Indah Roida Simaremare Kornelius A'ad Kristina Kaleng Mariana Kartini L L L P L L L P P P P P L L P L P P XA XA XA XA XA XA XA XA XA XA XA XA XA XA XA XA XA XA 12 5 0 11 9 0 10 9 0 10 0 7 0 0 0 0 0 0 Nilai 48 20 0 44 36 0 40 36 0 40 0 28 0 0 0 0 0 0 Siklus I Skor 40 18 40 43 39 33 0 29 16 31 0 12 31 20 33 33 22 32 Nilai 80 36 80 86 78 66 0 58 32 62 0 24 62 40 66 66 44 64

405

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012

19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38

Marselius Silvester Marsiana Kamsiar Muhamad Tri Hanafi Nataria Donata Palentinus Rulli Junardi Pasiah Tatah Pransiskus Eki Ratmiyati Sele Endah Lestari Silvester Sandika A. Suliyani Tasiana Meri Uvi Srirahayu Viktor Use Yohana Yohanes Vicky Yosep Wely Yuli Herlina Yuliana Yulia Adhi Prabowo JUMLAH Rata-rata

L P L P L P L P P P P P P L P L P L P L

XA XA XA XA XA XA XA XA XA XA XA XA XA XA XA XA XA XA XA XA

0 0 0 11 12 5 6 10 8 5 13 5 0 5 5 8 0 11 7 11

0 0 0 44 48 20 24 40 32 20 52 20 0 20 20 32 0 44 28 44 780 32,5

35 35 0 34 0 28 18 32 33 43 43 32 32 32 0 29 0 35 35 48

70 70 0 68 0 56 36 64 66 86 86 64 64 64 0 58 0 70 70 96 2032 61,58

Dari Tabel 2, dapat dilihat perkembangan hasil belajar yang diperoleh oleh siswa saat diberikan pretest dan post test pada siklus I. Siswa yang mengala mi k etuntasa n be laja r at au y ang memperoleh nilai ketuntasan 70-100 pada siklus I sekitar 11 siswa dari jumlah keseluruhan (32 siswa yang hadi r dari 38 siswa) dan da pat persentasi siswa yang tuntas yaitu 34,38%. Hasil tindakan pada siklus I menunjukkan bahwa hasil belajar yang didapat belum mencapai

dilakukan pada siklus II sama dengan tahap siklus I, yaitu perencanaan, tindakan, observasi, dan tanggal diakhiri dengan refleksi. Pada siklus II terjadi perubahan hari dan jam, karena pada 10-12 Nopember 2011 sekolah tidak melaksanakan pembelajaran. Berdasarkan hasil diskusi bersama dengan guru mata pelajaran PKn, bahwa jadwalnya diubah dari hari Sabtu menjadi hari Senin. Perencanaan merupakan kegiatan lanjutan dar i si klus I. Berd asar kan pada be bera pa permasalahan dan solusi yang sudah didiskusikan oleh peneliti dan guru dirancanglah kegiatan pembelajaran siklus II. Tahap-tahap kegiatan pembelajaran sama dengan siklus I, namun sebelum dilaksanakan siklus II siswa diminta mengerjakan soal di LKS di rumah terlebih dahulu. Hal ini bertujuan agar siswa mempelajari materi yang diberikan dan pada saat penyampaikan materi tidak memakan waktu yang lama. Tahap tindakan pada siklus II sudah lebih baik dari siklus I. Sama seperti siklus I, pada kegiatan pendahuluan guru mengulas materi yang telah disampaikan pada siklus I tentang Sistem Hukum Nasional. Sebelumnya, guru terlebih dahulu

indikator yang ditentukan untuk hasil belajar ( >


50% dari siswa yang mencapai ketuntasan belajar KKM = 70 pada materi yang disampaikan) dan pada proses pembelajaran masih banyak kekurangan dan berdasarkan hasil kesepakatan antara peneliti dengan guru PKn SMAN 1 Beduai Kabupaten Sanggau, diputuskan untuk melanjutkan pada siklus II Siklus 2 Siklus II ter diri atas 1 kali pertemua n dan dilaksanakan pada hari Senin, 14 Nopember 2011, dengan alokasi waktu 2 x 45 menit (10.30 12.00 WIB.) dan materi yang diajarkan adalah lembagalembaga peradilan nasional. Tahap-tahap yang

406

Ahmad Jamalong, Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Melalui Model Kooperatif NHT di Kelas X SMA Negeri 1 Beduai Kabupaten Sanggau

menanyakan kepada siswa apakah LKS yang telah dibagikan sudah dipelajari. Pada saat mengulas materi, siswa terlihat aktif dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh guru tentang materi sebelumnya. Setiap pertanyaan yang diberikan guru langsung dijawab oleh siswa. Kemudian dilanjutkan dengan menyampaikan tujuan pembelajaran. Pada siklus II ini tidak dilakukan lagi pembagian kelompok. Dalam fase 1, terlihat lebih baik dari siklus se belumnya , guru m enya mpai kan tujuan dengan pem bela jara n da n motiva si siswa

di LKS kepada siswa. Pada saat diskusi guru hanya memberikan waktu 10 menit (11.0011.10 WIB) untuk menyelesaikan diskusi. Pada fase 5, tahap evaluasi terlihat siswa lebih bersemangat untuk belajar dan siswa masih ada kelompok yang mengerjakan soal di LKS. Waktu yang diperlukan dalam fase ini adalah 30 menit (11.1011.40 WIB). Guru menyuruh siswa untuk memanggil nomor kelompok yang akan mempresentasikan di depan kelas. Kemudian guru memberikan kepada kelompok yang lain untuk memanggil nomor siswa dan nomor soal. Begitu seterusnya sampai waktu yang ditentukan selesai. Kelompok yang terpanggil yaitu kelompok A dan nomor siswa yang dipanggil adalah yang pertama A3 dengan nomor soal nomor 10, yaitu menurut anda apakah peradilan yang ada di Indonesia sudah berjalan dengan baik sesuai dengan prosedur, tugas dan wewenang dari suatu peradilan? Kemudian A3 menjelaskan pendapa tnya , se lanj utny a guru m eminta tanggapan dari kelompok lain dengan nomor yang sama, yaitu nomor B3, C3, D3, E3, F3, dan G3. Setelah semua kelompok memberi tanggapan gur u ta mpak sud ah m embe ri p engharga an kepada siswa yang telah memberi tanggapan. Selanjutnya, guru meminta kepada siswa kembali untuk mengambil nomor siswa dan nomor soal. Nomor yang dipanggil adalah nomor A4 dan soal nomor 8, yaitu sebutkan dan jelaskan tugas dan wewenang pengadilan agama dan pengadilan tinggi agama. Guru melakukan hal yang sama pada pelaksanaan sebelumnya. Setelah 15 menit berakhir, guru memanggil kelompok selanjutnya, kelompok yang dipanggil adalah kelompok C. Hal yang sama dilakukan seperti yang dilaksanakan dalam kelompok A sebelumnya. Fase 6, pemberian penghargaan kepada siswa. Dala m pe laksanaa nnya gur u sudah memberikan penghargaan berupa pujian kepada siswa, baik yang me njaw ab, memb erik an yang tel ah tanggap an, maup un k elom pok

mengul as sedikit m ateri sebel umnya, ya kni dengan melontarkan pertanyaan seperti konsepsi hukum, sumber hukum, dan pasal berapa yang menyatakan bahwa negara Indonesia adalah ne gara huk um. Sisw a te rlihat a ktif dal am menjawab pertanyaan-pe rtanyaan gur u dan sudah berani mengeluarkan pendapatnya. Waktu yang digunakan dalan fase 1 ini adalah 10 menit. Dalam fase 2, guru menyampaikan informasi kepada siswa selama 15 menit (10.4010.55 WIB). G uru menj elaskan lemb aga- lemb aga peradilan yang ada di Indonesia, dimulai dari pengadilan tingkat 1, tingkat banding atau tingkat 2, dan tingkat kasasi. Sama seperti di siklus sebelumnya saat guru menyampaikan materi, guru sering meminta siswa untuk berpendapat tentang peradilan nasional ini. Guru juga menyelingkan sedikit pertanyaan kepada siswa agar siswa me ngel uark an p enda pat send iri. Saa t guru melontarkan kesempatan kepada siswa untuk bertanya, siswa sudah mau bertanya hal yang bel um me reka keta hui aka n ma ter i ya ng disampaikan. Pada fase 3, mengorganisasikan siswa dalam kelompok belajar. Pada saat pembagian kelompok, suasana kelas masih seperti siklus I, namun siswa langsung mencari anggota kelompoknya dan waktu yang dibutuhkan 5 menit (10.5511.00 WIB). Set ela h p emba gia n ke lom pok , guru menjelaskan mekanisme pembelajaran pada saat evaluasi. Sama seperti siklus I, fase 4 membimbing kelompok belajar siswa. Pada fase ini guru sudah terlihat memberi bimbingan kepada kelompok belajar siswa dalam berdiskusi menyelesaikan soal-soal yang ada di LKS, guru juga memberikan sedikit pengarahan untuk menyelesaikan soal-soal

berpresentasi di depan kelas. Pada fase ini siswa tampak senang dan antusias lebih dari siklus I. Pada kegiatan penutup diperlukan waktu 20 menit (11 .401 2.00 W IB), y akni penari kan simpulan dima na terli hat sisw a lebih memperhatikan guru. Guru meminta siswa untuk menyimpulkan sendiri materi yang disampaikan

407

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012

pada hari ini dengan bertanya kepada setiap kelompok. Sedikit guru menanyakan kepada siswa tentang apa yang telah dipelajari. Siswa pun menjawab dengan baik dari pertanyaan yang di samp aika n guru, yang sel anjutnya , guru memberikan postes untuk mengukur hasil belajar siswa. Sama seperti siklus I, observasi pada siklus II juga memerlukan observer. Pada siklus II ini telah banyak mengalami perubahan. Hal ini dapat dilihat dari hasil observasi sebagai berikut: 1) Pada siklus II semua langkah-langkah pembelajaran (fase-fase) telah dilaksanakan; 2) Pengalokasian waktu sesuai dengan yang direncanakan; 3) Terlihat sebagian siswa telah dapat mengikuti pembelajaran dan memperhatikan guru saat menyamp aika n mat eri deng an ba ik. Hal ini menunjukkan bahwa mereka telah merasa ikut ambil bagian dalam pembelajaran ini; 4) Keaktifan siswa dalam bertanya ataupun menjawab mulai te rlat ih, terl ihat siswa suda h be rani unt uk mengeluarkan pendapatnya masing-masing, baik dalam penyampaian materi maupun dalam diskusi kelompok; 5) Dari 11 soal di LKS, hanya soal nomor 11 saja mereka sedikit keliru mengerjakannya; dan 6) Guru telah memberikan penghargaan kepada siswa yang menjawab, ataupun yang bertanya kepada guru atau kepada temannya sa at m enya mpai kan mate ri d an d iskusi berlangsung; 7) Guru telah meminta siswa untuk

bersama-sama menyimpulkan tentang materi yang telah dipelajari; dan 8) Setelah pelaksanaan pembelajaran berlangsung, dilanjutkan dengan refleksi untuk membahas hasil observasi. Proses pem bela jara n ya ng m enga lami per ubahanper ubahan k e ar ah y ang lebi h ba ik p ada pembelajaran dengan metode Numbered Heads Tog ether PKn. Hasil refleksi antara guru dan peneliti sebagai berikut: a) Guru telah memberikan bimbingan kepada siswa saat dalam berdiskusi kelompok; b) Guru sudah dapat mengalokasikan waktu dengan baik; c) Siswa sudah tidak canggung unt uk b erintera ksi deng an siswa dal am kel ompoknya , da n untuk bert anya maupun menjawab; serta d) Siswa sudah aktif dalam bertanya dan menjawab pertanyaan dari guru. Suasana pembelajaran dirasakan lebih baik dibandingkan siklus I. Hal ini tampak dari hasil observasi pada kegiatan belajar-mengajar. Sama halnya dengan siklus I, untuk melihat hasil belajar dilakukan post test. Kemampuan akhir siswa dalam menguasai materi lembaga peradilan nasional setelah melalui pembelajaran dengan tindakan kelas yang berupa pembelajaran dengan model kooperatif Numbered Heads Together (NHT) pada sikus I dan II mengalami peningkatan. Dapat dilihat pada Tabel 3. (NH T) sete lah 2 sikl us dap at meningkatkan hasil belajar siswa pada pelajaran

Tabel. 3 Hasil Post Test dari Prasiklus, Siklus 1 dan Siklus 2

Nilai No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 Ali Imran Andi Sopianus Andreas Enggi Anis Yuniasari Marselinus Aprianus Bayu Alhuda Budi Irawan Clara Erna Dessy Andri Yani Emilia Tiwi Erni Faleria Selvi Fransiskus Leonardo Nama JK L L L P L L L P P P P P L Kelas XA XA XA XA XA XA XA XA XA XA XA XA XA Pra tindakan Skor 12 5 0 11 9 0 10 9 0 10 0 7 0 Nilai 48 20 0 44 36 0 40 36 0 40 0 28 0 Siklus I Skor 40 18 40 43 39 33 0 29 16 31 0 12 31 Nilai 80 36 80 86 78 66 0 58 32 62 0 24 62 Siklus 2 Skor 35 35 32 38 35 35 30 38 35 38 45 37 32 Nilai 70 70 64 76 70 70 60 76 70 76 90 74 64

408

Ahmad Jamalong, Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Melalui Model Kooperatif NHT di Kelas X SMA Negeri 1 Beduai Kabupaten Sanggau

14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38

Hilarius Aprianto Indah Roida Simaremare Kornelius A'ad Kristina Kaleng Mariana Kartini Marselius Silvester Marsiana Kamsiar Muhamad Tri Hanafi Nataria Donata Palentinus Rulli Junardi Pasiah Tatah Pransiskus Eki Ratmiyati Sele Endah Lestari Silvester Sandika A. Suliyani Tasiana Meri Uvi Srirahayu Viktor Use Yohana Yohanes Vicky Yosep Wely Yuli Herlina Yuliana Yulia Adhi Prabowo

L P L P P L P L P L P L P P P P P P L P L P L P L

XA XA XA XA XA XA XA XA XA XA XA XA XA XA XA XA XA XA XA XA XA XA XA XA XA

0 0 0 0 0 0 0 0 11 12 5 6 10 8 5 13 5 0 5 5 8 0 11 7 11

0 0 0 0 0 0 0 0 44 48 20 24 40 32 20 52 20 0 20 20 32 0 44 28 44 780 32,5

20 33 33 22 32 35 35 0 34 0 28 18 32 33 43 43 32 32 32 0 29 0 35 35 48

40 66 66 44 64 70 70 0 68 0 56 36 64 66 86 86 64 64 64 0 58 0 70 70 96 2032 61,58

45 40 64 33 0 40 0 0 35 34 38 30 45 38 32 38 34 34 30 34 33 0 34 38 40

90 80 64 66 0 80 0 0 70 68 76 60 90 76 64 76 68 68 60 68 66 0 68 76 80 2444 71,88

JUMLAH RATA-RATA

Dari Tabel 3 dapat dilihat perkembangan hasil belajar yang diperoleh oleh siswa saat diberikan post test, yaitu post test pada siklus I, dan post test siklus II. Siswa yang mengalami ketuntasan belajar atau yang memperoleh nilai ketuntasan 70-100 pada siklus II sekitar 20 siswa dari jumlah keseluruhan (34 siswa yang hadir dari 38 siswa) dan dapat persentasi siswa yang tuntas sebesar 54,82%. Hasil tindakan pada siklus II menunjukkan bahwa hasil belajar yang didapat sudah mencapai indikator yang ditentukan untuk hasil belajar (>50% dari siswa yang mencapai ketuntasan belajar KKM = 70 pada materi yang disampaikan) Tabel. 4

dan pada proses pembelajaran sudah banyak me ngal ami perubaha n ya ng l ebih bai k da ri sebelumnya. Berdasarkan hasil kesepakatan antara peneliti dengan guru PKn SMAN 1 Beduai Kabupaten Sanggau, maka siklus pembelajaran tidak dilanjutkan. Peningkatan Hasil Belajar Peningkatan hasil belajar dapat diketahui dari hasi l post te st y ang dib eri kan set iap akhir pembelajaran dengan model Kooperatif Numbered Heads Together (NHT) pada pra tindakan, siklus I, dan siklus II. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 4.

Ketuntasan Belajar Siswa pada Setiap Siklus

No 1 2 3

Siklus Pra siklus I II

Jumlah siswa 38 38 38

Nilai 70 38 27 18 70 0 11 20

Rata-rata kelas 32,50 61,58 71,88

Ketuntasan belajar (%) 0% 34,38% 54,82%


409

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012

Pada siklus I diketahui siswa yang tuntas hanya 34,38%. Hal ini disebabkan siswa belum menguasai materi dan tingkat soal yang diberikan tergolong kateg ori tinggi, sehing ga tam pak banyak yang tidak tuntas. Ketuntasan belajar siswa meningkat menjadi 54,82%, karena siswa sudah lebih memahami materi dibandingkan siklus sebelumnya dan soal yang diberikan tingkatannya sedikit direndahkan.

pratindakan. Nilai minimal yang diperoleh siswa 20, dan nilai maksimal yang diperoleh siswa 48 dari KKM yang ditetapkan, yaitu 70. Ha sil bela jar sisw a ke las XA sesud ah dilaksanakan tindakan dengan Model Kooperatif Numbered Heads Together (NHT) dapat meningkatkan hasil belajar. Hal ini dapat dilihat dari nilai Post Test siswa setelah dilaksanakan siklus 1 dan siklus 2 menunjukkan adanya peningkatan. Pada siklus 2 indikator keberhasilan yang ditentukan dapat tercapai, sebanyak 20 siswa (54,82%) sudah mencapai ketuntasan dalam belajar, nilai minim al yang diperole h siswa 64, dan nilai maksimal yang diperoleh siswa 90 dari KKM yang ditetapkan, yaitu 70. Saran Berdasarkan tindakan yang telah dilakukan pada ti ndak an k elas, pe neli ti sa at p enel itia n

Dari hasil perolehan post test pratindakan,


si klus 1 d an siklus 2 , ba nyak dit emuk an pe ruba han- perubaha n pa da p erol ehan hasil belajar siswa. Ada beberapa siswa memiliki nilai statis dan ada yang mengalami peningkatan maupun penurunan. Hal ini disebabkan kekeliruan dalam menganalisis soal, sehingga hasil jawaban yang dimaksud tidak mencapai skor maksimal. Simpulan dan Saran Simpulan Be rdasarka n ha sil tind akan dan dat a ya ng diperoleh dari tes hasil belajar pada siklus I dan siklus II dapat ditarik kesimpulan bahwa secara umum ba hwa pene rapa n Model Koop erat if Numbered Heads Together (NHT) dapat meningkatkan hasil belajar siswa kelas XA SMA Negeri 1 Beduai, Kabupaten Sanggau, sedangkan secara khusus sebagai berikut. Ha sil bela jar sisw a ke las XA sebel um dilaksanakan tindakan dengan Model Kooperatif Numbered Heads Together (NHT) dapat dikatakan sangat rendah, tidak ada satu siswa yang tuntas dilihat dari post test yang diberikan pada saat

menyarankan hal-hal sebagai berikut. Pertama, pembelajaran melalui model kooperatif teknik numbered heads together dapat menjadi salah satu alternatif bagi guru. Dalam pelaksanaannya guru harus merencanakan alokasi waktu untuk setiap fase-fase dalam pembelajaran, sehingga tidak menyebabkan kurangnya waktu. Guru harus membimbing siswa dalam kegiatan diskusi, dan siswa sebaiknya ditugaskan untuk mempelajari materi yang akan disampaikan terlebih dahulu. Pengelompok an siswa har us b enar -benar heterogen dari segi tingkat kecerdasan karena sangat menentukan keberhasilan kelompok.

Pustaka Acuan Ahmadi, Abu dan Tri Prasetya, Joko. 2005. Strategi Pembelajaran. Bandung: Pustaka Setia Aristoteles. 1992. The Story of Philosophy, Kinsington Publishing Corp: Citadel Press Astilia Pratiwi. 2010. Pentingnya Mata Kuliah Pendidikan Kewarganegaraan bagi Mahasiswa. Makalah dipublikasikan melalui http://tharra.wordpress.com. Diakses pada tanggal 24 Pebruari 2010.

Darmadi, Hamid. 2010. Pengantar Pendidikan Kewarganegaraan. Bandung: Alfabeta. Departemen Pendidikan Nasional. 2003. Undang-Undang Republik Indodesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta. Departemen Pendidikan Nasional. 2006. Pendidikan Kewargarnegaraan. http:// www.gudangmateri.com /2011 /05/tujuan-pendidikan-kewarganegaraan.html. 11 oktober 2011) Diakses tanggal

410

Ahmad Jamalong, Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Melalui Model Kooperatif NHT di Kelas X SMA Negeri 1 Beduai Kabupaten Sanggau

Departemen Pendidikan Nasional. 2009. Undang-Undang Republik Indonesia No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Bandung Gagne, Robert, M. 1989. The Conditions of Learning and Teory of Instruction. Fourth edition. Publisher by Horlt, Rinehart and Wiston. Diterjemahkan oleh Pusat Antar University Pengembangan dan Peningkatan Aktivitas Instruksional (PAU-PPAI) Universitas Terbuka. Ibrahim, H. Muslimin. 2000. Pembelajaran Kooperatif. Surabaya: University Press Hamalik. 1995. Teori Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Bumi Aksara Hayati, Nurul. 2002. Model Cooperative Learning. Jakarta: Erlangga Lie, Anita. 2010. Cooperative Learning Mempraktikkan Cooperative Learning di Ruang-Ruang Kelas. Jakarta: PT. Grasindo. Kagan, Spencer. 1992. The Structural Approach to Cooperative Learning, in Cooperative Learning: A Response to Linguistic and Cultural Diversity. Edited by Daniel D. Holt. McHenry, Ill. and Washington, D.C.: Delta Systems and Center for Applied Linguistics, Mulya, Hamdani. 2012. Metode Pembelajaran Kooperatif. STAIN Malikussaleh Lhokseumaweh: Unimal Press. Nawawi, Hadari. 2007. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: Gajahmada University Press. Plato.1986. Ilmu Filsafat. Bandung: Sinar baru Undang-Undang Republik Indonesia nomor Perundang-Undangan. Jakarta Ketetapan MPR. Nomor III/MPR/2000. Peraturan Perundang Undangan tentang Sumber dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan Riyanto, Yatim. 2010. Paradigma Baru Pembelajaran. Jakarta: Kencana. Rusman, 2011. Model-model Pembelajaran Mengembangkan Profesional Guru. Jakarta: PT Raja Grafindo. Slavin. 1995. An Introduction to Cooperative Learning Research. London: Plenum Press. Sudjana, Nana. 2010. Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya Offset. Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta. Trianto. 2011. Panduan Lengkap Penelitian Tindakan Kelas (Classrooom Action Research).Surabaya: Prestasi Pustakaraya. Yuliarni, Asri. 2009. Meningkatkan Minat dan Hasil Belajar Siswa melalui Model Kooperatif Teknik Think Pair Share (TPS) pada Materi Hidrokarbon Kelas X SMAN 02 Sekayam. Skripsi Sarjana Pendidikan pada Universitas Tanjungputa Pontianak. Widyaningsih, Wahyu. 2008. Kel. 3 Cooperative Learning sebagai Model Pembelajaran Alternatif untuk Meningkatkan Motivasi Siswa pada Mata Pelajaran Matematika. Makalah dipbulikasikan melalui http://tpcommunity05.blogspot.com. Diakses pada tanggal 10 Januari 2013). 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan

411

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012

KINERJA KEPALA SEKOLAH DAN GURU DALAM MENGIMPLEMENTASIKAN PENDIDIKAN INKLUSIF (TEACHER AND HEADMASTER PERFORMANCE ON THE IMPLEMENTATION OF INCLUSIVE EDUCATION)
Munawir Yusuf Universitas Sebelas Maret Surakarta e-mail: munawir_uns@yahoo.co.id
Diterima tanggal: 29/10/2012, Dikembalikan untuk revisi: 3/11/2012, Disetujui tanggal: 3/12/2012 Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan kinerja kepala sekolah dan guru dalam mengimplementasikan pendidikan inklusif di sekolah dasar (SD). Untuk mencapai tujuan tersebut, dilakukan penelitian survei ke SD penyelenggara pendidikan inklusif di 4 (empat) wilayah kabupaten/kota, yaitu Surakarta, Karanganyar, Sukoharjo, dan Boyolali, Provinsi Jawa Tengah. Jumlah sampel dalam penelitian ini 51 SD Inklusi, 51 kepala sekolah, dan 103 guru kelas. Data dikumpulkan dengan menggunakan angket dan diolah secara statistik deskriptif. Validitas angket kepala sekolah berada dalam rentang 0.312 - 0.796 dengan reliabilitas 0.962. Validitas angket guru berada dalam rentang 0.290 - 0.815 dengan reliabilitas 0.956. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: 1) kinerja kepala sekolah dalam mengimplementasikan pendidikan inklusif berada dalam kategori sedang; 2) kinerja guru kelas dalam mengimplementasikan pendidikan inklusif berada dalam kategori sedang; dan 3) skor kinerja kepala sekolah rata-rata (65,45%), lebih tinggi dibanding skor rata-rata yang dicapai guru (62,3%). Kata kunci: pendidikan inklusif, sekolah inklusif, kinerja guru, kepala sekolah, dan SD Abstract: This study aimed to describe the performance of school principals and teachers in implementing inclusive education in primary school. To achieve these objectives, a research survey has been conducted at primary schools that organize inclusive education in 4 area districts, namely Surakarta, Karanganyar, Sukoharjo and Boyolali, in Central Java Province. The numbers of samples in this study were 51 inclusion elementary schools, 51 school principals, and 103 classroom teachers. Data were collected and processed using questionnaires and descriptive statistics, respectively. Questionnaire Validity for School Principals is in the range of 0312-0796 with 0962 reliability. Questionnaire Validity for Teachers is in the range of 02900815 with 0956 reliability. The results can be summarized as follows: 1) The performance of school principals in implementing inclusive education is in the medium category; 2) performance of classroom teachers in implementing inclusive education is in the medium category; and 3) Principal performance score average (65.45 %), higher than the average score achieved by teachers (62.3%). Keywords: inclusive education, school Inclusive, teacher and school principal performance, elementary school

Pendahuluan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pend idik an N asional tela h me ngamanatkan bahwa pendidikan bagi anak yang mengalami hambatan belajar karena kelainan fisik, mental, intelektual, emosi dan sosial atau yang

memiliki potensi-potensi kecerdasan dan bakat istimewa, diselenggarakan secara inklusif atau berupa satuan pendidikan khusus (penjelasan Pasal 15). Sesuai dengan Peraturan Menteri Pe ndid ikan Nasiona l N omor 70 Tahun 20 10 tentang Pendidikan Inklusif. Pendidikan Inklusif

382

Munawir Yusuf, Kinerja Kepala Sekolah dan Guru dalam Mengimplementasikan Pendidikan Inklusif

adalah sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi ke cerd asan dan/ata u ba kat isti mewa unt uk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam satu lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya (Pasal 1). Salah satu tujuan pendidikan inklusif dikembangkan di Indonesia, yaitu untuk mewujudkan penyelenggaraan pendidikan yang menghargai keanekaragaman dan tidak diskriminatif bagi semua peserta didik (Pasal 2). Berdasarkan pada ketentuan tersebut, maka setiap sekolah reguler yang menyelenggarakan pendidikan inklusif perlu melakukan penyesuaianpenyesuaian, baik dari aspek manajemen sekolah yang merupakan tugas dan tanggung jawab kepala sekolah maupun manajemen kelas dan pembelajaran yang merupakan tugas dan tanggung jawab guru. Manajemen sekolah termasuk di dalamny a: 1) manajemen kur ikulum dan pembelajaran; 2) manajemen kesiswaan; 3) manajemen sarana dan prasarana; 4) manajemen SDM; 5) manajemen keuangan; dan 6) manajemen kerja sama dan kehumasan. Ada pun mana jeme n ke las term asuk di dal amny a: 1 ) pe nyusunan per angk at p embelajaran; 2) pelaksanaan pembelajaran; 3) penilaian; 4) penggunaan media dan sumber belajar; dan 5) pengaturan tempat duduk. Beberapa dimensi manajemen sekolah dan manajemen kelas tersebut akan mengalami penyesuaian, perubahan, dan/atau adaptasi ketika sekolah regular biasa berubah menjadi sekolah inklusi. Oleh karena itu, pihak sekolah perlu memiliki pe maha man yang sam a t enta ng a pa d an bagaimana mengelola sekolah inklusi yang baik dan benar berdasarkan standar dan/atau kriteria yang diakui dan berlaku secara nasional, serta dapat dipertanggung jawabkan secara akademik maupun administratif. Keb erha sila n da lam peny elenggar aan pend idikan inklusi f sang at terg antung pada banyak faktor. Di tingkat satuan pendidikan, kunci keberhasilan pendidikan inklusif terletak pada kepala sekolah dan guru. Dengan demikian, kinerja kepala sekolah dan guru sangat penting menja di perhati an bagi se mua pihak dalam

rangka mewujudkan pendidikan inklusif yang lebih baik pada tingkat sekolah. Be rdasarka n la tar bela kang pem ikir an tersebut, dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut: 1) bagaimana tingkat kinerja kepala sekolah dalam mengimplementasikan pendidikan inklusif? 2) bagaimana tingkat kinerja guru dalam me ngim plem enta sika n pe ndid ikan ink lusi f ? 3) apakah ada perbedaan kinerja kepala sekolah dan guru dalam mengimplementasikan pendidikan inklusif? Dengan mengacu pada rumusan masalah tersebut, maka tujuan penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui: 1) tingkat kinerja kepala sekolah dalam mengimplementasikan pendidikan inklusif; 2) untuk mengetahui tingkat kinerja Guru dalam mengimplementasikan pendidikan inklusif; dan 3) untuk mengetahui perbedaan kinerja kepala sekolah dan guru dalam mengimplementasikan pendidikan inklusif di tingkat satuan pendidikan. Kajian Literatur Pendidikan Inklusif Pendidikan inklusif pada dasarnya merupakan seb uah evol usi, yak ni p rose s pe ruba han paradigma pendidikan bagi Anak Berkebutuhan Khusus (ABK). Paradigma lama memandang ABK seb agai sum ber hamb atan unt uk k emaj uan pendidikannya. Oleh karena itu, agar mudah dalam pengelolaannya, pendidikan bagi ABK harus dipisahkan dari anak lain yang sebaya. Dengan memisahkan ABK dari komunitas peer groupnya dianggap dapat menjadi solusi terbaik untuk kemajuan pendidikannya. Model pendidikan yang memisahkan ABK dari komunitas peer group nya disebut model segregatif . Dalam perspektif keilmuan Pendidikan Berkebutuhan Khusus, model pendidikan segregatif bagi ABK dikenal dengan pendekatan medis (Barnes & Mercer, 2003). Anak-anak penyandang disabilitas dipandang sebagai problem medis sebagai akibat kekurangan atau kerusakan fisik dan mental (impairment) dan oleh sebab itu mereka harus di semb uhka n. Pand anga n te rseb ut d ikenal dengan istilah personal tragedy theory, individual model atau medical model (Oliver, 1990, Barnes & Mercer, 2003). Inti dari pandangan lama tersebut

383

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012

yaitu: 1) disabilitas merupakan problem pada level individu (individual model); 2) disabilitas disamakan dengan kekurangan atau keterbatasan fisik/ mental (impairment); dan 3) solusi yang dianggap paling tepat untuk mengatasi disabilitas intervensi medis, psikologis, dan psikiatris. Parad igma baru muncul sebagai sebuah pr otes ata s ke tida kad ilan dan per lakuan diskriminatif akibat pandangan medis terhadap disabilitas. Sekitar tahun 1976 UPIAS (Union of the Physically Impaired Against Segregation) sebuah organisasi para difabel Inggris, mengusung ide baru bahwa disabilitas merupakan problem yang diakibatkan oleh hambatan-hambatan lingkungan dan sosial (social barriers). Disabilitas adalah keterbatasan aktivitas yang disebabkan oleh karena pengaturan/pengorganisasian masyarakat kontemporer yang tidak atau sangat sedikit me mper timb angk an i ndi vidu yang me mili ki ke kura ngan fisik d an b ahka n ke mudi an mengucilkan mereka dari aktivitas sosial (UPIAS, dalam Rofah, dkk. 2010). Persepsi UPIAS ini kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh ilmuwan-ilmuwan penyandang disabilitas di Inggris, di antaranya Michael Oliver (1990) dan Barnes, Colin (2003) sehingga menjadi sebuah pendekatan baru yang kemudian dikenal luas dengan istilah Social Model of Disability . Pendekatan baru meyakini bahwa faktorfaktor lingkungan dan peng orga nisa sian sosial merupakan kunci pendidikan bagi penyandang disabilitas (ABK). Jika kondisi lingkungan dan pengorganisasian sosial dapat diubah sedemikian rup a se hing ga m emungkinkan seti ap a nak mendapatkan akses dan pelayanan pendidikan yang sesuai dan layak, maka ABK akan tumbuh dan berkembang secara optimal seperti anakanak lain pada umumnya. Im plik asi dari per geseran par adig ma pendidikan ABK dari model medis ke model sosial, maka sistem pendidikan ABK bergeser dari sistem segregasi ke sistem integrasi dan inklusi. Sistem segregasi, adalah sebuah sistem pendidikan yang melayani ABK berdasarkan jenis kelainannya dalam satu atau beberapa unit sekolah untuk satu atau beberapa jenis kelainan. Anak-anak dengan jenis kelainan tertentu dikelompokkan dalam satu sa tuan pendidi kan khusus sepanjang har i, sehingga membatasi mereka untuk secara bebas

ber gaul dan ber tema n de ngan te man sebayanya. Secara sadar atau tidak sadar sistem ini telah menempatkan ABK ke dalam komunitas yang eksklusif, mengurangi hak mereka untuk hidup secara wajar dalam komunitas masyarakat yang normal. Pendidikan integrasi atau terpadu adalah sistem yang dikembangkan untuk mengatasi kelemahan dari sistem segregasi. Pendidikan terpadu memberikan kesempatan yang lebih luas bagi ABK untuk mengikuti pendidikan di sekolah reguler bersama-sama dengan anak-anak sebaya yang lain. Banyak hal positif dapat diperoleh dalam pendidikan terpadu, terutama berkembangnya dimensi soft skills ABK, misalnya kemandirian, ket eram pila n sosial , komuni kasi , si kap dan perilaku, kepemimpinan, dan lain-lain. Stainback & Stainback (1996) mengatakan bahwa all children are enriched by having the opportunity to learn from one another, grow to care for one another, and gain the attitudes, skills, and values necessary for our communities to support the inclusion of all citizens (p. 4). Per kemb anga n tek nologi d alam il mu bid ang p enge tahuan pend idik an d an ABK,

menemukan banyak bukti baru, bahwa ABK de ngan ber baga i ha mba tan fisi k da n/at au int elek tual nya, mer eka mamp u me ngik uti pendidikan di sekolah-sekolah reguler setelah guru dan sumberdaya lain tersedia di sekolah, kurikulum dan pembelajaran didesain khusus sehingg a me mung kink an setia p indivi du mendapa tkan lay anan yang se suai dengan kebutuhan masing-masing (Ding, et.al., 2006). Te muan sem acam ini mem perj elas bahwa pendekatan sosial dapat mengatasi hambatan pendidikan bagi ABK dan sekaligus mempertegas bahwa pendekatan medis bukan satu-satunya solusi dalam mengatasi hambatan pendidikan bagi ABK. Lahirnya paradigma pendekatan sosial dalam pelayanan pendidikan bagi semua anak, menjadi salah satu titik tolak kelahiran pendidikan inklusif. Pendidikan inklusif adalah sistem pendidikan yang memberikan kesempatan yang sama kepada sem ua a nak untuk da pat bela jar bersama meskipun de ngan tuntuta n kurikulum dan pembelajaran yang berbeda. Pendidikan inklusif merupakan filosofi dan sekaligus metodologi

384

Munawir Yusuf, Kinerja Kepala Sekolah dan Guru dalam Mengimplementasikan Pendidikan Inklusif

dalam mewujudkan sebuah lingkungan sosial dan pendidikan yang memungkinkan semua anak akan mendapatkan pelayanan yang sesuai dengan keb utuhan m asing-ma sing ind ivid u. M elal ui asesmen profesional, kurikulum dan pembelajaran yang diadaptasi, sistem penilaian yang adil, serta media dan sarana prasarana yang disesuaikan, mak a se tiap ana k ak an d apat mengikuti pendidikan yang layak dan bermutu dalam setting pendidikan inklusif (Yusuf dan Indianto, 2009). Dengan demikian, pendidikan inklusif tidak saja bernilai penting untuk pemerataan pendidikan, akan tetapi juga mutu dan relevansi pendidikan. Kinerja Kepala Sekolah dan Guru Kinerja atau sering juga disebut performance secara etimologis adalah the act of performing atau tindakan menampilkan, penampilan kerja, unjuk kerja, melaksanakan suatu pekerjaan atau per ilak u ke rja. Menurut Dir ektorat Tena ga Kependidikan (2008) kinerja dapat diartikan sebagai prestasi kerja, atau pelaksanaan kerja atau hasil unjuk kerja. Kinerja kep ala sekolah dan guru dal am penelitian ini dimaknai sebagai pelaksanaan kerja atau unjuk kerja kepala sekolah dan guru dalam mengimplementasikan program pendidikan inklusif di tingkat satuan pendidikan. Untuk mengetahui tingkatan unjuk kerja perlu ada standar atau kriteria yang dijadikan ukuran. Menurut Ivancevich dalam Direktorat Tenaga Kependidikan (2008) patokan atau ukuran dalam menentukan tingkat kinerja kepala sekolah atau guru, berhubungan dengan: 1) hasil, mengacu pada ukuran output ; 2) efisien, mengacu pada penggunaan sumber daya; 3) kepuasan, mengacu pada pelayanan; 4) keadaptasian, mengacu pada inovasi dan perubahan. Pendapat ini juga sejalan dengan Piet A. Sahertian dalam Direktorat Tenaga Kependidikan (2008), bahwa standar kinerja guru mengacu pada kualitas guru dalam menjalankan tugasnya, seperti: 1) bekerja dengan siswa secara ind ividual; 2) p ersi apa n da n p erencana an pembelajaran; 3) pendayagunaan media pembelajaran; 4) melibatkan siswa dalam berbagai pengalaman belajar; dan 5) kepemimpinan yang efektif. Studi tentang unjuk kerja kepala sekolah dan guru dalam pendidikan inklusif, telah banyak

dilakukan, baik di luar maupun dalam negeri. Studi terhadap 72 guru sekolah reguler di Serbia (Kalyva et.al., 2007) menyimpulkan bahwa guru-guru sekolah reguler lebih bersikap negatif dibanding dengan guru-guru yang telah berpengalaman dalam menangani anak SEN (Special Educational Needs) dalam memandang pendidikan inklusif. Dalam hal ini sosialisasi dan pelatihan dianggap cukup membantu dalam rangka mewujudkan pendidikan inklusif yang lebih baik. Salah satu studi yang dilakukan oleh Mdikana, et.al. (2007) terhadap sejumlah mahasiswa semester akhir di Uni versitas Wit wate rsra nd d i Johannesburg progr am Post Gr adua te C erti fica te d al am pendidikan, B. Phys. Ed. Dan BA (Ed.) dengan 22 mahasiswa pria dan 17 mahasiswa perempuan, rata-rata mempersepsi pendidikan inklusif sebagai hal yang positif. Tidak ada perbedaan sikap positif antara lak i-la ki d an pere mpua n. H al i ni menggambarkan bahwa penting bagi calon guru mendapatkan bekal mengenai pendidikan inklusif dalam kurikulum mereka. Sementara guru-guru ya ng sedah bek erja , ra ta-r ata belum me ndap atka n ma teri pendidi kan inkl usif ket ika mengikuti kuliah. Masih rendahnya persepsi dan sikap guru terhadap pendidikan inklusif, sebagian disebabkan karena menyangkut inovasi dan perubahan nilai. Charema (2010) dalam penelitiannya tentang pendidi kan inkl usif di Sub Saha ran Afri ka, menyimpulkan bahwa jalan menuju inklusi tidak mudah karena melibatkan perubahan sikap, perubahan nilai, perubahan program pelatihan guru dan perubahan sistem sekolah. Sementara it u, p erub ahan mer upak an salah sat u da ri beberapa aspek permanen dalam kehidupan dan tidak banyak orang yang nyaman dengan itu. Studi yang dilakukan Andrews dan Frankel (2010) di Guyana menyimpulkan bahwa ada empat faktor utama yang menjadi hambatan potensial untuk pelaksanaan pendidikan inklusif, yaitu: 1) sikap dan persepsi terhadap ABK; 2) agen perubahan; 3) sumber daya; dan 4) pengalaman dalam pelibatan dengan ABK. Studi yang dilakukan oleh Yusuf dan Indianto (2010) tentang profil sekolah inklusi di salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Tengah, menemukan bahwa dari 74 SD inklusi yang diteliti, dalam hal im plem enta si p enye lenggar aan pend idik an

385

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012

inklusif, termasuk kategori baik (24,18%), dan sisanya (74,82%) masuk kategori sedang dan kurang baik. Penelitian serupa dilakukan oleh Sunardi, dkk (2010) telah mengkaji 184 sekolah penyelenggara pendidikan inklusif di beberapa provinsi di Indonesia. Ada 7 (tujuh) aspek yang diukur untuk menggambarkan kinerja sekolah berdasarkan kriteria ideal sekolah inklusif, yaitu: 1) aspek manajemen dan kelembagaan; 2) aspek kesiswaan; 3) aspek identifikasi dan asesmen; 4) aspek kurikulum; 5) aspek pembelajaran; 6) aspek penilaian; dan 7) aspek dukungan. Berdasarkan aspek-aspek tersebut, tingkat kinerja sekolah inklusi sebagai berikut: 1) skor aspek manajemen dan kelembagaan 61%; 2) skor aspek kesiswaan 38%; 3) skor aspek identifikasi dan asesmen 46,6%; 4) skor aspek kurikulum 34,6%; 5) aspek pembelajaran 63,6%; 6) aspek penilaian 69,4%; dan 7) aspek dukungan 67,9%. Temuan ini menunjukkan bahwa di lapangan masih banyak permasalahan dalam implementasi pendidikan inklusif. Be rdasarka n fe nome na t erse but, dap at disimpulkan bahwa dalam implementasi pendid ikan ink lusi f, hampi r se mua aspe k ya ng diharapkan berubah, masih jauh dari terlaksana dengan baik. Faktor-faktor persepsi yang masih beragam, kebijakan Pemerintah yang kurang tersosialisasi ke tingkat pengambil kebijakan di level bawah, terbatasnya instrumen pendukung yang di sedi akan Pem erintah, sik ap d an penerimaan masyarakat terhadap ABK yang belum merata, tentu saja berakibat pada kinerja sekolah yang kurang optimal dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif. Untuk mencapai kinerja sekolah yang efektif dan ideal sebagai sekolah inklusi, maka perlu dicarikan solusi mendasar yang dapat membantu meningkakan kinerja kepala sekolah da n guru dalam mengelola sek olah inklusif secara efektif dan efisien. Model pengukuran kinerja kepala sekolah dan guru yang digunakan dalam penelitian ini, akan mengadopsi studi Sunardi dkk (2010) melalui LP2M UNS. Setidaknya, ada tujuh dimensi atau aspek yang mengalami perubahan sebagai implikasi manajerial sekolah inklusi. Ketujuh dimensi atau aspek tersebut yaitu: 1) aspek manajemen dan kelembagaan; 2) aspek kesiswaan; 3) aspek identifikasi dan asesmen; 4) aspek kurikulum; 5)

aspek pembelajaran; 6) aspek penilaian; dan 7) aspek dukungan. Ketujuh dimensi ini akan dilakukan penysuaian sehingga menjadi enam dimensi. Dim ensi kel emba gaan, me ncak up e nam indikator, yaitu: surat legalitas; struktur organisasi sekolah; sosialisasi; perencanaan; koordinasi; dan pengendalian. Dimensi kurikulum, pembelajaran, dan evaluasi, mencakup tiga indikator, yaitu: modifikasi kurikulum; modifikasi pembelajaran; dan modifikasi penilaian. Dimensi kesiswaan, mencakup em pat indi kator, yaitu: se leksi; identifikasi dan asesmen; tindak lanjut; serta pengembangan bakat khusus. Dimensi guru dan tenaga kependidikan, mencakup empat indikator, yaitu: kualifikasi dan kompetensi; komitmen; keb erad aan guru pem bimb ing khusus; dan keberadaan tenaga terapis atau ahli lain. Dimensi sarana dan prasarana sekolah, mencakup empat indikator, yaitu: keberadaan kelas khusus; sarana pe mbel ajar an; akse sibi lit as f isik ; da n pe rpustakaan. Dimensi pembiayaan, mencakup tiga indikator, yaitu: alokasi pembiayaan; dukungan pembiayaan; dan laporan penggunaan dana. Aspek-aspek ini akan digunakan sebagai kriteria dalam mengukur kinerja kepala sekolah dan guru dalam mengimplementasikan pendidikan inklusif di sekolah dasar. Untuk mengukur kinerja kepala sekolah dan guru, akan digunakan indikator manajemen sekolah dalam implementasi pendidikan inklusif ya ng t erdi ri a tas aspe k: 1 ) ke lemb agaa n; 2) kurikulum; pembelajaran; dan penilaian; 3) kesiswaan; 4) sarana dan prasarana; 5) sumber daya manusia (SDM); dan 6) keuangan. Seberapa ba nyak dan ber kual itas dar i se tiap asp ek terimplementasi di sekolah mengindikasikaan tinggi rendahnya kinerja kepala sekolah dan guru dalam mengimplementasikan pendidikan inklusif. Garis arah dari kotak kinerja kepala sekolah menuju kotak kinerja guru mengindikasikan secara hipotetik kinerja kepala sekolah akan berdampak positif atau negatif terhadap kinerja guru. Secara skematik kerangka berpikir dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1.

386

Munawir Yusuf, Kinerja Kepala Sekolah dan Guru dalam Mengimplementasikan Pendidikan Inklusif

PENDIDIKAN INKLUSIF DI SEKOLAH Indikator Manajemen Sekolah dalam Implementasi Pendidikan Inklusif dari Perspektif Kepala Sekolah: 1. Aspek kelembagaan 2. Aspek kurikulum, pembelajaran dan penilaian 3. Aspek kesiswaan 4. Aspek sarana dan prasarana 5. Aspek SDM 6. Aspek keuangan

Tingkat Keterlaksanaannya di Sekolah oleh Kepala Sekolah

Kinerja Kepala Sekolah di Sekolah Inklusif

PENDIDIKAN INKLUSIF DI SEKOLAH Indikator Implementasi Pendidikan Inklusif dari Perspektif Guru: 1. Aspek kelembagaan 2. Aspek kurikulum, pembelajaran dan penilaian 3. Aspek kesiswaan 4. Aspek sarana dan prasarana 5. Aspek SDM

Tingkat Keterlaksanaannya di Sekolah oleh Guru

Kinerja Guru di Sekolah Inklusif

Gambar 1. Kerangka Berfikir Metodologi Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian survei dengan melibatkan banyak subyek di beberapa wilayah yang relatif luas. Alasan memilih jenis Suvei karena sesuai tujuan penelitian, yaitu untuk mendeskripsikan tentang fenomena yang ada sehingga dapat dijadikan titik tolak dalam kegiatan maupun kajian lebih lanjut yang bersifat kebijakan dan/ atau pengembangan. Penelitian ini mengambil lokasi di Solo Raya yang terdiri atas tujuh kabupaten/kota. Karena luasnya wilayah, selanjutnya diambil empat wilayah secara random sebagai sampel wilayah, terpilih Solo, Karanganyar, Sukoharjo, dan Boyolali. Jumlah SD penyelenggara pendidikan inklusif di empat wilayah tersebut ada sekitar 185 sekolah. Dengan berbagai pertimbangan, akhirnya dipilih secara acak proporsional sehingga diperoleh lima puluh satu (51) SD sebagai sampel sekolah. Semua kepala sekolah dijadikan responden, sedangkan untuk responden guru, ditetapkan dua orang setiap sekolah. Penetapan dua orang guru setiap sekolah diserahkan penunjukannya oleh ke pala sek olah ber dasa rkan kri teri a ya ng ditetapkan peneliti. Kriteria itu antara lain status guru sebagai guru tetap/PNS, guru kelas, masa kerja di atas lima tahun. Dengan demikian, sampel gur u di ambi l de ngan menggunakan tek nik purposif. Jumlah sampel guru akhirnya ada 103 orang karena satu sekolah ada yang terlanjur menunjuk tiga guru sebagai responden. Teknik pengumpulan data menggunakan angket dengan empat pilihan jawaban yang dari setiap jawaban yang tersedia menggambarkan tingkat frekuensi atau kualitas dalam mengimplementasikan aspek-aspek yang telah dijabarkan ke dalam butir angket. Ada enam aspek yang diukur dari kinerja Kepala Sekolah (lihat kerangka berpikir), dan dikembangkan menjadi enam puluh tiga (63) butir pernyataan/pertanyaan. Angket Guru dikembangkan dari enam aspek implement asi pendidikan inklusif (lihat kera ngka berpikir), dan dikembangkan menjadi empatpuluh delapan (48) butir pernyataan/pertanyaan. Hasil hitung validitas dan reliabilitas angket de ngan menggunakan tek nik Chronbach, disimpulkan telah memenuhi persyaratan validitas dan reliabilitas yang terlihat pada Tabel 1. 387

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012

Tabel 1. Validitas dan Reliabilitas

No

Skala Indeks Daya Beda

Validitas Item Valid 61 48

Reliabilitas Item Gugur 2 (no 30, 54) 0,962 0,956

1 2

Kepala sekolah (pilihan a,b,c,d) Guru (pilihan a,b,c,d)

0,312 - 0,796 0,290 - 0,815

Hasil Penelitian dan Pembahasan Kinerja Kepala Sekolah dalam Implementasi Pendidikan Inklusif Tabel 2. Kinerja Kepala Sekolah dalam Mengimplementasikan Pendidikan Inklusif (N = 51 Responden Kepala Sekolah)

No

Aspek

Skor Rata-rata

Skor Ideal 40 76 40 44 20 24 244 (100%)

1 2 3 4 5 6

Kelembagaan Kurikulum & Pembelajaran Kesiswaan Sumber Daya Manusia Sarana Prasarana Pembiayaan Rata-rata semua aspek

31 (77,5%) 48 (63,3%) 26 (64,7%) 30 (67,8%) 10 (50,0%) 15 (62,3%) 160 (65,5%)

Dari enam aspek implementasi pendidikan inklusif yang diukur, dapat disimpulkan bahwa rata-rata kinerja kepala sekolah mencapai 65,5%. Kinerja tertinggi kepala sekolah ada pada aspek kelembagaan (77,5%) dan sumber daya manusia

(67 ,8%) serta aspek pembi ayaan (62,3 %). Adapun kinerja terrendah ada pada aspek sarana prasarana (50%). Dengan bantuan diagram balok, hasil penelitian ini dapat digambarkan seperti pada Diagram 1.

388

Munawir Yusuf, Kinerja Kepala Sekolah dan Guru dalam Mengimplementasikan Pendidikan Inklusif

Pertanyaan berikutnya yang harus dijawab, yaitu apakah skor yang dicapai oleh kepala sekolah sudah memenuhi standar atau kriteria ideal seperti yang diharapkan. Untuk menjawab pe rtanyaan ter sebut di lak ukan uji sta tist ik deskriptif, yang hasilnya dapat ditunjukkan pada Tabel 3 .

cukup baik di kalangan sekolah dan terus semakin meningkat. Jika dibandingkan dengan penelitian sebelumnya (lihat Yusuf dan Indianto, 2009 dan 2010; Sunardi, dkk. 2010), sangat jelas ada pergeseran yang sangat berarti dalam bentuk pe ning kata n kualit as dala m im plem enta si pendidikan inklusif. Kalau penelitian sebelumnya

Tabel 3. Kategorisasi Tingkat Kinerja Kepala Sekolah Dibandingkan dengan Kriteria Ideal

Kuesioner

Kategorisasi Skor Kategori Sangat rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat tinggi

Subjek Frek (N) 1 12 16 19 3 Prosen (%) 2.0 23.5 31.4 37.3 5.9

Rerata Empirik

Kepala Sekolah

61< X <97,6 97,6 < X <134,2 134,2 < X < 170,8 170,8 < X <207,4 207,4 < X <244

159,76

Berdasarkan Tabel 3, dapat diketahui bahwa kinerja kepala sekolah, cenderung berada dalam kategori sedang dan tinggi (68,7%), tetapi jika dilihat dari rerata empirik, dengan skor 159,76 berada pada posisi sedang. Temuan dalam penelitian ini sedikit banyak memberikan pemahaman dan penguatan kepada peneliti bahwa pendidikan inklusif yang dikembangkan di Indonesia, telah diterima dengan Kinerja Guru dalam Mengimplementasikan Pendidikan Inklusif

menemukan rata-rata implementasi pendidikan inklusif masih di bawah 50% dengan angka tertinggi pada aspek kelembagaan yang hanya (52,2%), sedangkan penelitian saat ini telah mencapai skor rata-rata (65,5%) dengan skor tertinggi (77,5%) pada aspek yang sama yaitu kelembagaan. Dapat disimpulkan bahwa semakin tahun kinerja kepala sekolah semakin baik dalam mengimplementasikan pendidikan inklusif.

Tabel 4. Kinerja Guru dalam Mengimplementasikan Pendidikan Inklusif (N = 103 Responden Guru)

No 1 2 3 4 5 6

Aspek Kelembagaan Kurikulum & Pembelajaran Kesiswaan Sumber Daya Manusia Sarana Prasarana Pembiayaan Rata-rata semua aspek

Skor Rata-rata 14 (70,3%) 47 (62,3%) 21 (59,4%) 25 (62,3%) 6 (56,1%) 5 (61,7%) 118 (61,45%)

Skor Edeal 20 76 36 40 12 8 192 (100%)

389

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012

Dari Tabel 4 diketahui bahwa dari semua aspek implementasi pendidikan inklusif yang diukur, da pat disi mpul kan rata -rat a ki nerj a guru mencapai (61,45%). Aspek-aspek yang mendapatkan skor rata-rata tinggi ada pada aspe kel emba gaan (70 ,3%) , aspek kuri kulum, pembelajaran dan penilaian (62,3%), aspek sumberdaya manusia (62,3%), aspek pembiayaan (61,7%). Dua aspek yang lain berada dalam kategori rendah, yaitu aspek kesiswaan (59,4%) dan sarana prasarana (56,1%). Berdasarkan hasil penelitian pada Tabel 3. Selanjutnya, dapat dilukiskan dalam bentuk Diagram 2.

Pada Tabel 5 dapat diketahui bahwa tingkat kinerja guru dalam implementasi pendidikan inklusif memperoleh rerata empirik 119,43 berada dalam kategori sedang. Temuan ini masih cukup konsisten jika dilihat dari hasil hitung persentase, yaitu jika diakumulasi persentase antara yang sedang ke atas dan sedang ke bawah, hasil hitung tampaknya tetap cukup berimbang, yang berarti rata-rata. Sebagai studi awal tentang kinerja guru dalam implementasi pendidikan inklusif, temuan ini cukup pent ing kar ena dapa t me njaw ab permasalahan di lapangan. Ketika masa-masa

Untuk mengetahui di posisi mana kinerja guru dilihat dari standar ideal, maka berdasarkan uji stat istik deskri ptif la njutan, hasi lnya d apat digambarkan pada Tabel 5.

awal sosialisasi pendidikan inklusif disodorkan kepada guru, pada umumnya mereka merasa berkeberatan, bahkan ada yang menolak untuk menjadi guru di kelas inklusi. Namun, setelah

Tabel 5. Posisi Kinerja Guru dibandingkan dengan Kriteria Ideal

Kuesioner Skor Guru

Kategorisasi Kategori Sangat rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat tinggi

Subjek Frek (N) 4 34 26 33 6 Persen (%) 3.9 33.0 25.2 32.0 5.8

Rerata Empirik

48< X <76,8 76,8< X <105,6 105,6< X <134,4 134,4< X <163,2 163,2< X <192

119,43

390

Munawir Yusuf, Kinerja Kepala Sekolah dan Guru dalam Mengimplementasikan Pendidikan Inklusif

di lakukan pene lusuran ke sekol ah-sekol ah penyelenggara pendidikan inklusif, dari enam aspek yang memiliki tingkat relevansi dengan tugas dan tanggung jawab guru, rata-rata berada dalam kategori sedang. Ini menunjukkan bahwa me skip un d enga n se gal a ke terb atasan d an diawali dengan rasa berat, akhirnya guru dapat bekerja dengan baik dalam mengimplementasikan pendidikan inklusif. Perbedaan kinerja Kepala Sekolah dan Guru Dari Tabel 2 dan Tabel 4 dapat diketahui bahwa ada perbedaan tingkat kinerja kepala sekolah dan gur u da lam meng impl ementasi kan prog ram pe ndid ikan ink lusi f. K ine rja kepa la sekol ah cenderung lebih tinggi dibanding dengan kinerja guru. Meskipun rerata empirik kinerja kepala sekolah dan guru sama-sama berada dalam ka tegori sedang, namun per sent ase kepa la sekolah sedikit di atas persentase guru. Jika skor kinerja kedua kelompok subyek disandingkan melalui grafik, dapat dilihat seperti pada Grafik 1.

yang sama. Ini menunjukkan bahwa telah terjadi kesamaan pemahaman antara kedua subyek dalam mengimplementasikan pendidikan inklusif. Aspek kedua, yaitu kurikulum, pembelajaran dan penilaian. Pada aspek yang ketiga (C) yaitu ketenagaan subyek kepala sekolah kembali lebih tinggi dari subyek guru. Ketenagaan juga lebih merupakan wilayah tugas dari kepala sekolah. Pada aspek yang keempat (D) yaitu kesiswaan, skor kepala sekolah masih lebih tinggi dari skor guru. Temuan i ni a gak unik kar ena urusan ke sisw aan sesungguhny a le bih deka t pa da urusan guru dari pada kepala sekolah. Rupanya dalam aspek pendidikan inklusif, pelayanan ABK sej ak a wal anak masuk sampa i poses pe mbel ajar an d an k elul usan, pe ran kepa la sekolah sebagai pengambil kebijakan masih sangat diperlukan oleh guru. Adapun interaksi guru dengan siswa ABK lebih banyak dalam konteks pembelajaran di kelas. Pada aspek yang kelima (E) yaitu sarana prasarana, justru kinerja guru lebih tinggi dari kepala sekolah. Hal ini

Grafik 1. Kinerja KepalaSekolah dan Guru Keterangan: A (kelembagaan), B (kurikulum, pembelajaran dan penilaian), C (ketenagaan), D (kesiswaan), E (sarana prasarana), F (keuangan). Aspek kelemba gaan kedua subyek agak berbeda, yaitu subyek kepala sekolah lebih tinggi dari subyek guru. Hal ini wajar karena aspek kelembagaan lebih banyak menyangkut wilayah kerja kepala sekolah. Yang menarik, yaitu pada aspek kedua (B), kedua subyek berada dalam titik di seba bkan kar ena penggunaan sara na d an prasarana khusus untuk melayani ABK lebih banyak dila kuka n guru untuk kep erluan pembelajaran daripada kepala sekolah yang lebih ba nyak pad a ta tara n p enga daannya, buk an penggunnaannya. Pada aspek yang keenam (F)

391

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012

pembiayaan, kedua subyek memiliki kinerja yang sama, yaitu sama-sama menggunakan sumberdana yang ada secaa bai k untuk keper luan program pendidikan inklusif pada wilayahnya masing-masing. Secara umum dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi perbedaan yang cukup menyolok pada kinerja kepala sekolah dan guru untuk hampir semua aspek yang dijadikan kriteria implementasi pendidikan inklusif. Kepala sekolah memiliki persepsi dan kebijakan tertentu untuk keberhasilan program pendidikan inklusif, dan ternyata diikuti oleh sikap dan penerimaan guru untuk mengimplementasikannya dalam pelayanan ABK di sekolah inklusi dengan baik. Meskipun demikian, secara deskriptif, kinerja kepala sekolah relatif sedikit lebih baik dibandingkan dengan kinerja guru. Perbedaan ini diduga kuat terkait dengan fr ekue nsi kepa la sekol ah d alam mengikuti berbagai forum dan pertemuan yang berhubungan dengan penidikan inklusif. Hasil wawancara dan analisis data profil responden, diketahui bahwa di Kabupate n Ka rang anya r da n Ka bupa ten Boyolali, telah terbentuk forum sekolah inklusi ya ng setia p bulan sek ali kepa la sekol ah menyelenggarakan pertemuan bulanan. Perte muan-per temuan t erse but memp erkuat kesadaran dan komitmen kepala sekolah dalam mengembangkan pendidikan inklusif yang lebih maju. Sayangnya, untuk kelompok guru belum terbangun kesadaran seperti itu. Simpulan dan Saran Simpulan Kinerja kepala sekolah dalam mengimplementasikan pendidikan inklusif, untuk semua aspek/ dimensi berdasarkan analisis deskriptif kategorik, rerata empirik berada dalam kategori sedang. Demikian juga kinerja guru dalam mengimplementasikan pendidikan inklusif untuk semua aspek/dimensi cenderung berada dalam kategori sedang. Meskipun demikian, dilihat dari skor capaian prosentasi masing-masing aspek (6

aspek), kedua subyek sedikit berbeda kepala sekolah memiliki skor capaian rata-rata (65,45%) lebih baik dibanding dengan skor capaian guru (62,3%). Perbedaan i ni kemungkinan besar karena kepala sekolah lebih sering mengikuti forum pertemuan sekolah inklusi, sedangkan guru relatif jarang mendapatkan kesempatan untuk terlibat dalam forum pendidikan inklusif. Saran Mengacu pada simpulan, maka disarankan agar ke pala sek olah masih perl u me ning katk an kinerjanya dalam mengimplementasikan program pendidikan inklusif agar semakin optimal. Skor capaian rata-rata (65,45%) menunjukkan masih ada sekitar (35%) cakupan pekerjaan yang berhubungan dengan program iklusi yang belum dapat dijalankan dengan baik. Upaya untuk memperbaiki kinerja kepala sekolah tersebut da pat dila kuka n de nga n se ring mel akuk an evaluasi diri, yaitu melihat kembali apa yang sudah dan perlu ditingkatkan dan apa yang belum dan perlu dilakukan. Kepala sekolah perlu lebih memainkan peran dan kewenangannya dalam mendorong para guru aga r me ning katk an k iner ja m erek a da lam mengimplementasikan pendidikan inklusif yang lebih baik. Kepala sekolah juga diharapkan dapat memberikan kesempatan yang lebih banyak kepada para guru untuk mengikuti berbagai kegiatan yang berhubungan dengan peningkatan pengetahuan dan kompetensi mereka dalam pendidikan inklusif. Guru sekolah re gular per lu lebih sering diberikan kesempatan dan dilibatkan dalam be rbag ai f orum pendid ikan ink lusi f ag ar pemahaman dan kompetensinya dalam menangani ABK semakin meningkat. Skor pelayanan kesiswaan ABK yang masih rendah oleh Guru, seharusnya tidak perlu terjadi jika Guru lebih sering diberikan pelatihan tentang bagaimana menangani ABK di sekolah inklusi.

392

Munawir Yusuf, Kinerja Kepala Sekolah dan Guru dalam Mengimplementasikan Pendidikan Inklusif

Pustaka Acuan Andrews, Amanda Ajodhia & Frankel, Elaine: Ryerson University. 2010. Inclusive Education in

Guyana: A Call For Change, International Journal of Special Education, Vol. 25 No. 1, 2010. Barnes, C. & Mercer, G. 2003. Disability Cambridge, UK: Polity Press (Chapter 1-Disability and Choices of Model). Charema, John: Mophato Education Centre. 2010. Inclusive Education in Developing Countries in The Sub Saharan Africa: From Theory to Practice, International Journal of Special Education, Vol. 25 No. 1, 2010. Direktorat Tenaga Kependidikan, Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan. 2008. Penilaian Kinerja Guru, Kementerian Pendidikan Nasional, Jakarta. Kalyva, Efrosini; Gojkovic, Dina; & Tsakiris, Vlastaris City Liberal Studies, Thessaloniki, Greece. 2007. Serbian Teachers Attitudes Towards Inclusion, International Journal of Special Education, Vol. 22, No. 3, 2007. Mdikana, Andile; Ntshangase, Sibusiso & Mayekiso, Tokozile: University of the Witwatersrand (2009), International Journal of Special Education, Vol.22, No. 1. 2007. Oliver, M. 1990. The Politics of Disablement: A Sociological Approach, New York: St Martins Press. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 tahun 2010 tentang Pendidikan Inklusif bagi Peserta Didik Berkelainan dan/atau Peserta Didik dengan Potensi Kecerdasan dan Bakat Istimewa. Rofah, Andayani, dan Muhrisun. 2010. Membangun Kampus Inklusif, Best Practices Pengorganisasian Unit Layanan Difabel, Diterbitkan oleh Pusat Studi dan Layanan Difabel (PSLD) UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Stainback, Susan & Stainback, William. 1996. Inclusion, A Guide for Educators, Paul. H. Brokes Pubisihing, Co. Baltimore, London, Toronto, Sydney. Sunardi; Yusuf, Munawir; Gunarhadi; Priono. 2010. The Implementation of Inclusive Education in Indonesia, Research Report International Collaborative Research Grant Funded by World Class University Project DIPA Sebelas Maret University. Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Yi Ding; Gerken, Kathryn C.; VanDyke Don C.; and Fei Xiao. 2006. Parents and Special Education Teachers Perspectives of Implementing Individualized Instruction in P.R. China: An Empirical and Sociocultural Approach, International Joournal of Special Education, Vol.21 No. 3, 2006. Yusuf, Munawir dan Indianto, R. 2009. Kajian tentang Implementasi Pendidikan Inklusif sebagai Alternatif Penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar bagi Anak Berkebutuhan Khusus di Kabupaten Boyolali, Laporan Penelitian, Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Universitas Sebelas Maret. Yusuf, Munawir dan Indianto, R. 2010. Kajian tentang Implementasi Pendidikan Inklusif sebagai Alternatif Penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar bagi Anak Berkebutuhan Khusus di Kabupaten Boyolali, Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 16, Edisi Khusus II, Agustus, 2010, Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan Nasional, hal. 136-148.

393

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012

PENINGKATAN PEMAHAMAN KONSEP GRAFIK FUNGSI TRIGONOMETRI SISWA SMK MELALUI PENEMUAN TERBIMBING BERBANTUAN SOFTWARE AUTOGRAPH (THE INCREASE OF SMK STUDENTS CONCEPTUAL UNDERSTANDING OF TRIGONOMETRIC FUNCTION GRAPH THROUGH GUIDED INQUIRY USING AUTOGRAPH)
Sahat Saragih PPs. UNIMED Jl. Wilem Iskandar Psr. V Medan e-mail: saragihpps@gmail.com Vira Afriati SMA Negeri 13 Medan Jl. Brigjen Zein Hamid Km.7, Medan e-mail: viraafriati@gmail.com
Diterima tanggal: 1/10/2012, Dikembalikan untuk revisi: 2/11/2012, Disetujui tanggal: 14/12/2012 Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: 1) apakah peningkatan pemahaman konsep siswa pada grafik fungsi trigonometri dengan penemuan terbimbing berbantuan Software Autograph lebih tinggi daripada siswa yang diberi pendekatan biasa; dan 2) bagaimana ketuntasan dan aktivitas belajar siswa dengan penemuan terbimbing berbantuan Software Autograph. Penelitian ini merupakan studi eksperimen di SMK Telkom Sandhy Putra dan SMK Sandhy Putra II Medan (Kelompok Pariwisata) dengan mengambil sampel 2 kelas dari masingmasing sekolah secara acak. Data yang diperoleh secara ternormalisasi dinalisis dengan menggunakan uji t. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: 1) peningkatan pemahaman konsep siswa pada grafik fungsi trigonometri yang memperoleh pendekatan penemuan terbimbing berbantuan Software Autograph lebih tinggi dari siswa yang memperoleh pendekatan biasa; dan 2) ketuntasan dan aktivitas belajar siswa yang memperoleh pendekatan penemuan terbimbing berbantuan Software Autograph lebih tinggi dari siswa yang memperoleh pendekatan biasa. Kata kunci: pemahaman konsep, konsep grafik, penemuan terbimbing, fungsi trigonometri, software autograph, dan SMK Abstract: This research is aimed to know 1) if the increase of students conceptual understanding on trigonometric function graph through guided inquiry using Autograph software is greater than those with usual approach, 2) how the students mastery in learning and students learning activity are. This is an experimental research conducted in SMK Telkom Sandhy Putra and SMK Sandhy Putra II Medan (tourism group) with the population are all the students in grade XI of the schools and two classes from each school were randomly taken as samples. t test is applied to analyze the normalized gain of students conceptual understanding. The research shows that the increase of students conceptual understanding on trigonometric function graph through guided inquiry using Autograph software is greater than those with usual approach, 2) the mastery in learning and learning activity of students implementing guided inquiry using Autograph is greater than those with usual approach So, teachers should apply guided inquiry approach using Autograph as one of learning approach alternatives. Keywords: conceptual understanding, graphic concept, guided inquiry, trygonometry function, autograph software, and vocational school

368

Sahat Saragih dan Vira Afriati, Peningkatan Pemahaman Konsep Grafik Fungsi Trigonometri Siswa SMK melalui Penemuan Terbimbing Berbantuan Software Autograph

Pendahuluan Matematika disadari sangat penting peranannya. Namun, tingginya tuntutan untuk menguasai matematika tidak berbanding lurus dengan hasil belajar matematika siswa. Kenyataan yang ada menunjukkan hasil belajar siswa pada bidang studi matematika kurang menggembirakan. Ratarata nilai ulangan harian 1 seluruh siswa kelas 2 SMK Telkom Sandhy Putra dan SMK Sandhy Putra II Medan (Kelompok Pariwisata) belum mencapai ketuntasan, yaitu 66,58 padahal KKM sekolah tersebut 70 (Sumber: dokumentasi SMK Telkom Sandhy Putra Medan dan SMK Sandhy Putra - 2 Medan) Ke nyat aan yang kurang mem uask an ter sebut, salah sat unya disebab kan kare na pemahaman konsep Matematika siswa masih rendah. Siswa pada umumnya belum memiliki pemahaman konsep yang baik, khususnya pada materi grafik fungsi trigonometri. Hal ini terlihat dari jawaban siswa 2TS1 SMK Telkom Sandhy Putra saat ulangan harian 1 untuk kompetensi dasar menggambar atau membaca grafik fungsi trigonometri. Misalnya, ketika siswa diminta untuk menggambar grafik fungsi trigonometri, siswa tidak mampu menggambarnya dengan benar, sehingga tidak dapat memberikan alasan atau penjelasan yang benar atas grafik tersebut, seperti terlihat pada gambar berikut.

menginv esti gasi ,

me ncob a,

d an

a khir nya

menemukan sendiri konsep Matematika yang dimaksud. Para pakar matematika berpendapat bahwa pengetahuan tidak diterima secara pasif seperti sebuah hadiah, tetapi harus secara aktif diciptakan, ditemukan atau dikonstruksi siswa. Piaget (Reys, 2001) menyatakan, mathematics ia made (constructed) by children, not found like a rock nor received from others as a gift. Reys (2001) mengata kan hal serupa, knowle dge is not passively received; rather, knowledge is actively created or invented (constructed) by students. Be gitu jug a Fr uede ntha l (M arka ban, 200 6) mengatakan, mathematics as a human activity. Education should give students the guided opportunity to reinvent mathematics by doing it. Berdasarkan pendapat para pakar Matematika tersebut, maka Guided Inquiry atau pendekatan penemuan terbimbing dapat menjadi salah satu alternatif yang dapat meningkatkan pemahaman konsep siswa. Pada pendekatan ini siswa t erli bat akti f be kerj a sa ma m enca ri, me ngga li, meng eksp lor asi, mencoba -cob a, me nyel idik i da ri b erba gai kead aan, unt uk menemuk an d an m engk onst ruksi id e ba ru, pengetahuan baru, berdasarkan berbagai sumber informasi dan pengetahuan awal atau konsep yang telah dikuasai sebelumnya, dan selanjutnya menyimpulkan, menguji simpulannya dan memberi laporan atas hasil kerjanya. Selama melakukan proses inquiry, siswa akan leb ih m udah mel akuk anny a ji ka p enem uan terbimbing dipadu dengan penggunaan ICT . Penggunaan ICT termasuk salah satu dari enam pri nsip sekola h Mate matika . Menurut N CTM (1991), Technology is essential in teaching and

Salah satu penyebab rendahnya pemahaman konsep siswa adalah proses pembelajaran yang berpusat pada guru. Siswa tidak banyak terlibat dalam mengkonstruksi pengetahuannya, hanya menerima informasi yang disampaikan searah dari guru. Dengan pembelajaran konvensional seperti ini siswa cenderung cepat lupa pada materi yang telah diajarkan guru. Jika siswa diberi soal yang berbeda dengan contoh soal mereka kebingungan karena tidak tahu harus mulai dari mana mereka bekerja (Mettes dalam Ansari, 2009). Berbeda halnya jika siswa mengkonstruksi pengetahuannya sendiri. Siswa m enyelidiki,

learning mathematics; it influences the mathematics that is taught and enhances students learning. Untuk penerapan di kelas, penggunaan ICT dapat diintegrasikan dengan beberapa pendekatan belajar. Seperti dikatakan Karnasih (2008), There are four different approaches can be implemented in integrating ICT teaching and learning mathematics: 1) Expository learning; 2) Inquiry based learning; 3) Cooperative learning; and 4) Individual learning. Pe rnya taan Kar nasi h d i at as m enunjukk an penggunaan ICT sangat cocok jika diintegrasikan dengan penemuan terbimbing. Software Matematika yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu

369

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012

Autograph. Autograph sendiri telah direkomendasikan oleh NCTM (the National Council of Teachers of Mathematics) pada Curriculum and Evaluation Standards for School Mathematics (1989) yang menyarankan: All student should have a calculator, posibly one that has graphing capabilities, a computer should be available at all times in every classroom for demonstration purposes and all students should have access to computers for individual and group work. Dengan Autograph siswa dapat melakukan eksplorasi, investigasi, dan pencarian. Siswa dapat menguji lebih banyak contoh dalam waktu singkat daripada hanya menggunakan tangan, sehingg a da ri e kper imennya sisw a da pat menemukan, mengkonstruksi dan menyimpulkan prinsip-prinsip matematika, dan akhirnya paham bagaimana menggambar dan membaca grafik fungsi trigonometri dengan benar. Sayangnya penggunaan media komputer di sekolah-sek olah m asih be lum dioptimal kan, terutama saat belajar Matematika. Malah banyak guru y ang mene ntang pe nggunaan med ia berbasis ICT dalam pembelajaran Matematika dikarenakan masalah waktu dan ketidakmampuan dalam memanfaatkan media tersebut. Minimnya pengetahuan guru dalam pemanfaatan media komputer dan Software Matematika menjadi salah sat u fa ktor tida k di gunak anny a IC T d al am pembelajaran Matematika. Ketika mempelajari grafik fungsi trigonometri guru lebih memilih menggambarnya di papan tulis dan siswa menggambar di bukunya masingmasing. Tentunya cara ini memakan waktu lama dan siswa hanya menggambar sedikit contoh grafik fungsi trigonometri tersebut. Dengan mengandalkan apa yang disampaikan guru, tak jarang siswa lupa atau bingung ketika diminta menggam bark an k emba li a tau menulisk an pe rsam aan fung si d ari gamb ar g rafi k ya ng tersedia. Sebaliknya jika menggunakan Autograph siswa d apat ber ulangkal i me ncob a-coba me ngha silk an b anya k contoh gra fik fung si tri gonometr i, sampa i ak hirnya siswa dap at mengambil simpulan tentang bagaimana gambar grafik sinus, grafik cosinus, grafik tangen, berapa nilai maksimum dan minimumnya, dan jika siswa ragu siswa dapat mencoba lagi berulang kali

sampai yakin dan terbukti benar simpulan yang diambilnya. Berdasarkan uraian pada latar belakang, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: 1) apakah peningkatan pemahaman konsep Matematika siswa dengan penemuan terbimbing berbantuan Software Autograph lebih tinggi daripada siswa yang diberi pendekatan biasa? 2) bagaimanakah ketuntasan dan aktivitas belajar siswa dengan penemuan ter bimbing berbantuan Software Autograph? Ber dasa rkan ura ian lata r be laka ng d an rumusan masalah, maka tujuan dari penelitian ini yaitu 1) untuk mengetahui apakah peningkatan pemahaman konsep siswa dengan penemuan terbimbing berbantuan Software Autograph lebih tinggi daripada siswa yang diberi pendekatan bi asa; 2) untuk me nge tahui ba gaim anak ah ketuntasan dan aktivitas belajar siswa dengan pe nemuan t erbi mbing be rbantuan Softwa re Autograph. Kajian Literatur Pemahaman Konsep Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, kata pem aham an m enga ndung ar ti k esanggup an intelegensi untuk menangkap makna suatu situasi atau perbuatan (Depdikbud, 1989). Menurut Driver dan Leach (dalam Hasanah, 2004) pemahaman adalah kemampuan untuk menjelaskan suatu sit uasi ata u suatu tind akan. Pe maha man termasuk dalam ranah kognitif taksonomi Bloom yang dikenali dari kemampuan untuk membaca dan mem aham i ga mbar an, laporan, tab el, diagram, arahan, dan sebagainya. Konsep adalah suatu abstraksi yang mewakili kel as objek-obj ek, keja dian-kej adia n, a tau hubungan-hubungan yang mempunyai atribut yang sama (Rosser dalam Dahar, 1996). Dahar (19 96) m enyi mpulk an konsep adal ah suatu abstraksi mental yang memiliki suatu kelas stimulus-stiimulus. Adapun pengertian konsep menurut Soedjadi (dalam Ahmad, 2011) adalah ide abstrak yang da pat digunaka n untuk mengadakan klasifikasi atau penggolongan. Jadi, konsep adalah suatu ide abstrak yang memungkinkan seseorang untuk mengklasifikasikan objekobjek atau kejadian-kejadian, sehingga dapat menentukan apakah objek atau kejadian itu

370

Sahat Saragih dan Vira Afriati, Peningkatan Pemahaman Konsep Grafik Fungsi Trigonometri Siswa SMK melalui Penemuan Terbimbing Berbantuan Software Autograph

merupakan contoh atau bukan contoh dari ide tersebut. Dalam kurikulum 2004 (Depdiknas, 2003) dinyatakan bahwa ...beberapa kemampuan yang perlu diperhatikan dalam penilaian Matematika ada lah pema hama n konsep yang me liputi kemampuan mendefinisikan konsep, mengidentifikasi konsep dan memberi contoh dan bukan contoh dari konsep. Adapun tujuh indikator pemahaman konsep menurut Depdiknas (Tim PLPG, 2008) yaitu: 1) menyatakan ulang sebuah konsep; 2) mengklasifikasikan objek menurut sifat tertentu; 3) memberi contoh dan bukan contoh; 4) menyajikan konsep dalam berbagai representasi matematik; 5) mengembangkan syarat perlu dan syarat cukup suatu konsep; 6) menggunakan, memanfaatkan, dan memilih prosedur atau operasi tertentu; dan 7) mengaplikasikan konsep ke pemecahan masalah. Berdasarkan uraian tersebut maka yang menjadi indikator pemahaman konsep dalam penelitian ini yaitu: 1) menyatakan ulang sebuah konsep; 2) memberi contoh dan bukan contoh; dan 3) mengaplikasikan konsep ke pemecahan masalah. Pendekatan Penemuan Terbimbing Pemb elajar an penemuan t erbimb ing di kembangkan berdasarkan pandangan kognitif tentang pembelajaran dan prinsip-prinsip konstruktivis. Menurut prinsip ini siswa dilatih dan didorong untuk dapat belajar secara mandiri. Secara tegas Amin (dalam Suriadi, 2006) mengemukakan bahwa suatu kegiatan discovery atau penemuan ialah sua tu k egia tan atau pem bela jara n ya ng dirancang sedemikian rupa, sehingga siswa dapat menemukan konsep-konsep dan prinsip-prinsip melalui proses mentalnya sendiri. Dalam hal ini penemuan terjadi apabila siswa dalam proses mentalnya seperti mengamati, menggolongkan, mem buat dug aan, mengukur, m enje lask an, menarik kesimpulan dan sebagainya menemukan beberapa konsep atau prinsip. Sementara Suryosubroto (dalam Suriadi, 2006) mengemukakan bahwa salah satu metode mengajar yang akhir-akhir ini banyak digunakan di sekolah-sekolah yang sudah maju adalah metode discovery. Hal ini disebabkan metode ini: 1) merupakan suatu cara untuk mengembangkan cara belajar siswa aktif; 2) dengan menemukan

dan menyelidiki sendiri, maka hasil yang diperoleh akan setia dan tahan lama dalam ingatan, tidak mudah dilupakan anak ; 3) pengertian yang ditemukan sendiri merupakan pengertian yang betul-betul dikuasai dan mudah digunakan atau ditransfer dalam situasi lain; 4) dengan menggunakan strategi discovery anak belajar menguasai sa lah satu met ode ilmi ah y ang akan dap at dikembangkan sendiri; dan 5) dengan metode ini, anak belajar berpikir analisis dan mencoba memecahkan masalah yang dihadapi, kebiasaan ini akan ditransfer dalam kehidupan bermasyarakat. Ruseffendi (dalam Suriadi, 2006) menyatakan bahwa belajar melalui penemuan itu penting sebab: 1) pada hakikatnya ilmu-ilmu itu diperoleh melalui penemuan; 2) Matematika adalah bahasa yang abstrak, konsep dan lain-lainnya itu akan lebih melekat bila melalui penemuan dengan jalan memanipulasi dan pengalaman benda-benda kongrit; 3) generalisasi itu penting, karena melalui penemuan generalisasi yang diperoleh akan mantap; 4) dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah; 5) setiap anak adalah makhluk kreatif; dan 6) menemukan sesuatu oleh siswa dapat menumbuhkan rasa percaya dirinya sendiri, dapat meningkatkan motivasi, melakukan pengkajian lebih lanjut, dan dapat menumbuhkan sikap positif terhadap manusia. Dalam pendekatan penemuan terbimbing, siswa dan guru berkolaborasi bekerja sama untuk mene mukan ide-ide . Sisw a beker ja seb agai komunitas belajar, saling membantu dan belajar satu sama lain, tidak hanya sebagai individuindividu yang bekerja sendirian menyelesaikan tugas pribadinya. Ciri-ciri penemuan terbimbing da pat lebi h je las dili hat dar i enam p rinsip penemuan terbimbing yang dijabarkan Kuhlthau (2007), yaitu: 1) siswa belajar secara aktif dilibatkan dalam pengalaman dan merefleksikan pengalaman tersebut; 2) siswa belajar dengan membangun pengetahuan berdasarakan dari apa yang telah mereka ketahui; 3) siswa mengembangkan kemampuan berfikir tingkat tinggi melalui bimbingan dalam proses belajarnya; 4) siswa mempunyai banyak cara belajar; 5) siswa belajar melalui interaksi sosial dengan yang lain; dan 6) siswa belajar melalui petunjuk dan pengalaman yang sesua i denga n perk embanga n kognitif mereka.

371

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012

Langkah-langkah dalam Penemuan Terbimbing Ag ar p elak sana an yang p ende kata n dite mpuh pe nemuan ole h guru terbimbing ini berjalan dengan efektif, beberapa langkah pe rlu matematika dijabarkan Markaban (2006), yaitu: 1) merumuskan masalah yang akan diberikan ke pada siswa d enga n da ta secuk upny a, perumusannya harus jelas, hindari pernyataan yang menimbulkan salah tafsir sehingga arah yang ditempuh siswa tidak salah; 2) dari data yang diberikan guru, siswa menyusun, memproses, mengorganisir, dan menganalisis data tersebut. Dalam hal ini, bimbingan guru dapat diberikan sejauh yang diperluka n saja. Bimbingan ini sebaiknya mengarahkan siswa untuk melangkah ke arah yang hendak dituju, melalui pertanyaanpertanyaan, atau lembar aktivitas siswa (LAS); 3) siswa menyusun konjektur (prakiraan) dari hasil analisis yang dilakukannya; 4) bila dipandang perlu, konjektur yang telah dibuat siswa tersebut di atas dip erik sa oleh gur u. H al i ni p enti ng dilakukan untuk meyakinkan kebenaran prakiraan siswa, sehingga akan menuju arah yang hendak dicapai; 5) apabila telah diperoleh kepastian tentang kebenaran konjektur tersebut, maka verbalisasi konjektur sebaiknya diserahkan juga kepada siswa untuk menyusunnya; 6) di samping

itu per lu d iing at p ula bahw a induksi ti dak menjamin 100% kebenaran konjektur; 7) sesudah siswa menemukan apa yang dicari, hendaknya guru m enye diak an soal lat ihan ata u soal tam baha n untuk meme riksa ap akah hasil penemuan itu benar. Dalam penemuan terbimbing guru dapat me nggunaka n st rate gi i nter vensi ya ng m emungkinkan sisw a me ngkonstr uksi pem ahamannya sendiri. Strategi ini membantu siswa mencari fakta, menjelaskan dan sintesa terhadap fakta-fakta. Strategi yang dimaksud menurut Kuhlthau (2007) terlihat pada Tabel 1. Kekuatan dan Kelemahan Pendekatan Penemuan Terbimbing Manfaat pembelajaran penemuan terbimbing bagi siswa dan guru menurut Khulthau (2007) sebagai berikut. Manfaat untuk siswa: a) mengembangkan kemampuan berinteraksi sosial; b) berbahasa dan membaca; c) menyusun pemahaman mereka sendiri; d) m ening katk an ke bebasan da lam meneliti dan belajar; e) mengembangkan motivasi dan keterlibatan tingkat tinggi; dan f) mempelajari strategi dan kemampuan mentransfer ke bentuk penemuan yang lain. Keuntungan untuk guru: berb agi ta nggung jawab dengan teman tim pengaja r la inny a, b erba gi k eahl ian anta ra

Tabel 1. Strategi Penemuan Terbimbing Intervention Strategies for Guided Inquiry

Intervention Strategies for Guided Inquiry The Six Cs 1. collaborate kolaborasi 2. converse membicarakan 3. continue berkesinambungan 4. choose memilih 5. chart grafik Work jointly with others Bekerja sama dengan yang lain Talk about ideas for clarity and further questions Membicarakan tentang kejelasan ide dan pertanyaan lebih jauh Develop understanding over a period of time Mengembangkan pemahaman terus-menerus Select what is intere sting and pertinent Memilih apa yang penting dan cocok Visualize ideas using pictures, timelines, and graphic organizers Menggambarkan ide-ide menggunakan gambar, time line, dan grafik 6. compose menyusun Write all the way along, not just at end; keep journals Menuliskan semua langkah-langkah, tidak hanya hasilnya, buat jurnalnya.

Sumber: Kuhlthau (2007)

372

Sahat Saragih dan Vira Afriati, Peningkatan Pemahaman Konsep Grafik Fungsi Trigonometri Siswa SMK melalui Penemuan Terbimbing Berbantuan Software Autograph

anggota tim, memunculkan ide dan membuat perencanaan dengan lebih kreatif, meningkatkan pengalaman terhadap keluasan isi kurikulum. Selain manfaat di atas, dapat diidentifikasi kekuatan dan kelemahan pendekatan penemuan te rbim bing . Soedja na (198 6) m enguraik an kekuatan dan kelemahan tersebut. Kekuatannya yaitu: 1) siswa aktif dalam kegiatan belajar, sebab ia berpikir dan menggunakan kemampuan untuk menemukan hasil akhir; 2) siswa memahami benar bahan pelajaran, sebab mengalami sendiri proses menemukannya. Sesuatu yang diperoleh dengan cara ini lebih lama diingat; 3) menemukan sendiri menimbulkan rasa puas. Kepuasan intrinsik ini mendorongnya ingin melakukan penemuan lagi hingga minat belajarnya meningkat; 4) siswa yang me mper oleh pengeta huan dengan metode penemua n ak an l ebih mam pu m entr ansf er pe negt ahua nnya ke ber baga i kontek s; d an 5) metode ini melatih siswa untuk lebih banyak belajar sendiri. Adapun kelemahannya yaitu: 1) metode ini banyak menyita waktu, juga tidak menjamin siswa tetap bersemangat menemukan; 2) tidak setiap guru mempunyai selera atau kemampuan mengajar dengan cara penemuan, selain itu tugas guru sekarang cukup sarat; 3) tid ak semua ana k m ampu mel akuk an penemuan. Apabila bimbingan guru tidak sesuai dengan kesiapan intelektual siswa, ini dapat merusak struktur pengetahuannya. Bimbingan yang terla lu bany ak jug a dapat memat ikan inisiatifnya; 4) metode ini tidak dapat digunakan untuk mengajarkan setiap topik; 5) kelas yang banyak muridnya akan sangat merepotkan guru dalam memberikan bimbingan dan pengarahan belajar dengan metode penemuan. Bruner (dalam Dahar, 1996) mengemukakan pengetahuan yang diperoleh dengan belajar discovery menunjuk kan beberapa k ebaikan. Pertama, pengetahuan itu bertahan lama atau lama diingat, atau lebih mudah diingat. Kedua, hasil belajar discovery mempunyai efek transfer yang lebih baik daripada hasil lainnya. Ketiga, secara menyeluruh belajar discovery meningkatkan penalaran siswa dalam kemampuan untuk berfikir secara bebas. Dar i ur aian di atas mak a pe nemuan terbimbing yang dimaksud dalam penelitian ini yaitu proses di mana siswa berfikir, mengamati,

mencerna, mengerti, membuat dugaan, menjelaskan, menganalisis, sehingga dapat mengkonstruksi dan menemukan sendiri prinsip umum yang diinginkan dengan bimbingan dan petunjuk dari guru dan lembar kerjanya, berupa pertanyaan-pertanyaan yang mengarahkan. Pendekatan penemuan terbimbing ini tentunya berbeda dengan pendekatan biasa atau konvensional yang sering diterapkan guru di kelas. Pendekatan Biasa Pe ndek atan bia sa d iseb ut j uga pend ekat an konvensional atau pendekatan tradisional, yaitu pendekatan belajar yang biasa diterapkan guru. Menurut Turmudi (2008) pendekatan pembelajaran tradisional yang sering digunakan lebih menekankan guru mendemonstrasikan materi, siswa dianggap berhasil apabila menyelesaikan lat ihan deng an l angka h-la ngka h yang te lah diajarkan guru. Menurut Ruseffendi (dalam Suriadi, 20 06) pemb elaj aran bi asa diaw ali deng an pemberian informasi (ceramah). Guru memulai dengan menerangkan suatu konsep, mendemonstrasikan keterampilannya mengenai pola/ aturan/dalil tentang konsep itu, kemudian siswa bertanya, guru memeriksa (mengecek) apakah siswa sudah mengerti atau belum. Kegiatan selanjutnya ialah guru memberikan contoh-contoh soal aplikasi konsep itu. Selanjutnya meminta siswa untuk menyelesaikan soal-soal di papan tulis atau di mejanya . Siswa dapat bekerja individual atau bekerja sama dengan teman yang duduk di sampingnya, dan sedikit ada tanya jawab. Hal senada juga diungkapkan oleh Saragih (2007) yang menjelaskan ciri-ciri dari pendekatan matematika biasa adalah guru berperan sebagai sumber belajar, menjelaskan konsep, menjelaskan contoh soal, memberi soal-soal latihan yang harus dikerjakan dan mengevaluasi hasil belajar siswa. Berdasarkan uraian di atas maka pendekatan biasa yang dimaksud dalam penelitian ini adalah prosedur yang pada umumnya digunakan guru dal am m enga jar yang langkah-langkahnya menjelaskan materi pelajaran, guru memberi contoh, siswa diberikan kesempatan bertanya, siswa mengerjaka n latihan, guru dan siswa mem baha s la tiha n. Sedangkan pendeka tan penemuan terbimbing yang telah dijabarkan

373

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012

sebelumnya menitikberatkan pada aktivitas siswa untuk menemukan dan mengkonstruksi sendiri pe nget ahua nnya , me nga mbil sim pula n da ri percobaan-percobaannya, dengan bimbingan dan petunjuk dari guru berupa pertanyaan-pertanyaan yang mengarahkan. Perbedaan pendekatan penemuan terbimbing dan pendekatan biasa di atas sejalan dengan perbedaan yang diberikan Kuhlthau (2007) yang mengataka n bel ajar d engan pene muan t erbimbing berbeda dengan belajar konvensional. Penemuan terbimbing merupakan persiapan untuk belajar seumur hidup, menggunakan banyak sumber, menyertakan siswa dalam setiap tahap pembelajaran dari perencanaan sampai hasil akhir, tercipta komunitas belajar yang bekerja bersama, guru dan siswa bekerja sama dan penemuan terbimbing menekankan pada proses dan hasil. Pada bel ajar konvensiona l si swa dip ersi apka n ha nya untuk te s, m enja wab pertanyaan, berpegangan hanya pada satu buku teks, siswa secara individu bekerja untuk tugas tertentu, pembelajaran terjadi searah dari guru dan terlalu menekankan pada hasil akhir saja. 2. Media Software Autograph Autograph merupakan program komputer baru yang di kemb angk an oleh Doug las Butl er. 3. Ditawarkan 3 pilihan dalam penggunaannya, yaitu 1D untuk statistika, 2D untuk grafik, koordinat, transformasi dan geometri, 3D untuk grafik, koordinat, dan transformasi. Autograph sebagai salah satu media pembelajaran menitikberatkan peran aktif siswa dalam belajar eksplorasi dan investigasi. Desain Autograph melibatkan tiga prinsip utama dalam belajar, yaitu fleksibilitas, berulang-ulang, dan menarik simpulan. Prinsip ini sa ngat sel aras dengan ciri -cir i pe nemuan ter bimb ing yang mengara hkan siswa p ada pengalaman investigasi dalam belajar Matematika. Dengan menggunakan Software Autograph diharapkan dapat membantu para pendidik dan anak didik dalam proses belajar dan pembelajaran di sekolah, sebagaimana dinyatakan Karnasih (2008) mengatakan bahwa Most teachers find Autograph as a powerful tool in teaching students of different age groups or different ability group so as to inject pace and animation into a challenging topic for the less motivated student.

Autograph membentuk siswa untuk belajar de ngan eksplor asi dan inve stig asi. Siswa menggunakan teknologi yang memerlukan klik dan point . Program Autograph menggunakan warna dan animasi dan menyediakan fasilitas help sebagai bantuan saat menggunakannya. Siswa dapat menggunakan autograph untuk menggambarkan sendiri grafik yang mereka ingink an d an m enge mbangkan pem aham an mereka sendiri. Misalnya, siswa diminta menggambar grafik fungsi trigonometri, menuliskan kembali gambar grafik yang diperolehnya dan memberi penjelasan terhadap grafik tersebut. Pembelajaran Grafik Fungsi Trigonometri dengan Pendekatan Penemuan Terbimbing Berbantuan Software Autograph Adapun contoh kegiatan siswa selama belajar grafik fungsi trigonometri dengan penemuan ter bimb ing b erba ntua n Sof twar e Autog ra ph sebagai berikut: 1. Masing-masing kelompok siswa menggunakan komputer yang telah diinstal Software autograph Masing-masing siswa mendapatkan lembar aktivitas siswa (LAS) yang juga berguna se baga i percobaan Siswa membuka autograph dengan mendouble clik ikon Autograph yang ada pada desktop at au d enga n m eng- klik ST ART => PROGRAMS => AUTOGRAPH 3.0. Akan muncul worksheet dua dimensi seperti berikut. pa ndua n se lama mel akuk an

374

Sahat Saragih dan Vira Afriati, Peningkatan Pemahaman Konsep Grafik Fungsi Trigonometri Siswa SMK melalui Penemuan Terbimbing Berbantuan Software Autograph

4.

Jika ingin mengganti axes maka siswa mengklik axes => edit axes => mengganti range maksimum minimum sesuai yang diinginkan, misal sumbu x dari 0 sampai 2 dan sumbu y dari -1 sampai 1

5.

Klik ok, akan terlihat sheet sebagai berikut.

375

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012

6.

Untuk meng gamb ar g rafi k, siswa dap at mengklik kanan =>ENTER EQUATION, atau

10. mengklik CONSTANT CONTROLLER , akan muncul kotak

mengklik 7. Siswa menuliskan persamaan y=sin x pada baris kosong yang disediakan, OK 11. Siswa mengklik tombol untuk menambah

nilai a menjadi semakin besar dan mengklik tombol untuk mengurangi nilai a menjadi

semakin kecil 12. Siswa akan melihat bahwa nilai maksimum grafik fungsi sinus sama dengan nilai a dan nilai minimum sama dengan a, begitu juga amplitudonya.

8.

Akan muncul tampilan grafik y = sin x seperti berikut.

13. Setiap kali siswa mendapat hasil berupa gambar grafik, siswa menggambarkannya di lem bar akti vita s si swa (LAS). Setel ah 9. Siswa menggambar grafik y = a sin x, hingga muncul grafik y = a sin x dengan a = 1 seperti di bawah ini. beberapa kali percobaan siswa berfikir untuk mengambil simpulan dan menuliskannya di lembar aktivitas siswa (LAS), misalnya siswa menyimpulkan cara menggambar grafik y = a sin x 14. Akhirnya, siswa menguji simpulannya, yaitu de ngan menggam bar terl ebih dahulu di lembar aktivitas siswa (LAS), misalnya grafik y = a sin x dengan konstanta a yang dipilihnya. Se tela h se lesa i me ngga mbar di lemb ar akt ivit as siswa (LAS) siswa mem erik sa dengan Autograph apakah gambar di lembar aktivitas siswa (LAS) sama dengan yang ditunjukkan Autograph.

376

Sahat Saragih dan Vira Afriati, Peningkatan Pemahaman Konsep Grafik Fungsi Trigonometri Siswa SMK melalui Penemuan Terbimbing Berbantuan Software Autograph

Metodologi Penelitian Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa SMK kelas XI se Kodya Medan yang terakreditasi A p ada tahun 2 010. Da ri sekol ah-sekol ah berakreditasi A, terpilihlah SMK Telkom Sandhy Putra Medan dan SMK Sandhy Putra II Medan (Kelompok Pariwisata). Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret April 2011. Teknik pengambilan sampel kelompok secara acak (cluster random sampling) . Sampel yang terpilih di SMK Telkom Sandhy Putra Medan adalah siswa kelas 2 TKJ 2 seb agai kel ompok eksperi men dan 2 TK J 3 sebagai kelompok kontrol. Adapun di SMK Sandhy Putra II Medan (kelompok pariwisata) siswa kelas 2 AP sebagai kelompok eksperimen dan 2 UPJ sebagai kelompok kontrol. Kelompok eksperimen terdiri atas 73 siswa diberi perlakuan pendekatan pe nemuan t erbi mbing be rbantuan Softwa re Autograph, sedangkan kelompok kontrol terdiri dari 71 siswa diberi perlakuan pendekatan biasa. Penelit ian ini dika tegorika n ke dal am penelitian eksperimen semu ( quasi experiment) dengan rancangan penelitian Pretes Posttest Control Group Design. Menurut Saragih (2007) rancangan penelitian tersebut dapat digambarkan seperti dalam diagram berikut: A O X O A O O Pada rancangan ini, pengelompokan subjek peneli tian dilak ukan secara acak kela s (A), kelompok eksprimen d iberi pe rlakuan pembe laja ran deng an p ende kata n pe nemuan terbimbing berbantuan Software Autograph (X), dan kelompok kontrol diberi perlakuan pende-katan biasa, kemudian masing-masing kelompok diberi pretes dan postes (O). Da ta d iper oleh mel alui tes pem aham an konsep berupa soal-soal grafik fungsi trigonometri sebanyak 4 soal uraian yang disusun berdasarkan indika tor pema hama n k onse p se rta lemb ar observa si ak tivi tas siswa . Untuk me nguji

perbeda an peningkat an pemahaman konsep antara kedua kelompok digunakan uji beda, dengan sebelumnya menguji normalitas dan homogenitas dari data gain ternormalisasi skor pretes-postest. Selain itu, data skor postest pem aham an k onse p juga d igunakan unt uk menjela skan tentang ket unta san, apa kah

mencapai kriteria ketuntasan minimal (KKM) > 65.


Peneliti juga mengkaji keaktivan belajar siswa dari hasil lembar observasi aktivitas siswa. Hasil Penelitian dan Pembahasan Analisis Peningkatan Pemahaman Konsep Siswa Dari hasil uji persyaratan analisis terhadap data peningkatan ( gain ternormalisasi) pemahaman konsep pada masing-masing kelompok perlakuan diperoleh data berdistribusi normal, tetapi tidak homogen maka dengan demikian untuk melihat perbeda an peningkat an pemahaman konsep antara kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol dapat dilakukan statistik parametrik uji t pada taraf signifikan

=0,05, dengan kriteria

pengujian Ho yang menyatakan tidak terdapat perbeda an peningkat an pemahaman konsep antara siswa kelompok eksperimen dengan siswa kelompok kontrol diterima jika t hit ung < t Tab el sedangkan untuk hal lain Ho ditolak. Rangkuman hasil perhitungan uji beda dengan uji t disajikan pada Tabel 2. Berdasarkan hasil pengujian di atas diperoleh thitung = 4,82 > tTabel = 1,65, dengan demikian Ho ditolak. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat perbeda an peningkat an pemahaman konsep si swa anta ra e kspe rim en d enga n ke lomp ok kontrol . De ngan kat a la in p eningkat an p emahaman konsep siswa yang diajar melalui pe nemuan t erbi mbing be rbantuan Softwa re Autograph lebih tinggi dibandingkan siswa yang diajar melalui pendekatan pembelajaran biasa.

Tabel 2. Rangkuman Uji Perbedaan Rerata Peningkatan Pemahaman Konsep

Aspek

Kelompok Eksperimen 0,668

Kelompok Kontrol 0,532

thitung

tTabel

Simpulan

Peningkatan Pemahaman Konsep

4,82

1,65

Tolak Ho

377

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012

Analisis Ketuntasan Klasikal Pemahaman Konsep Hasil perhitungan rerata skor peningkatan (gain) dan persentase ketuntasan pemahaman konsep siswa pada materi grafik fungsi trigonometri untuk kelompok eksperimen dan kelompok kontrol dirangkum dalam Tabel 3. Pada Tabel 3 dapat dilihat bahwa peningkatan (gain) di kelompok eksperimen lebih tinggi dari kelompok kontrol dan secara klasikal siswa kelompok eksperimen telah memenuhi kriteria ketuntasan, sedangkan pada kelompok kontrol belum memenuhi ketuntasan. Hal ini menunjukkan ba hwa pene muan ter bimb ing berb antuan Software Autograph lebih dapat meningkatkan pemahaman konsep dan mampu membantu siswa me ncap ai k etuntasa n be laja r di band ingk an pendekatan biasa. Analisis Aktivitas Siswa Selama Proses Pembelajaran Rerata keaktifan siswa yang mendapat pembelajaran dengan penemuan terbimbing berbantuan Software Autograph sebesar 4,15 atau 83% yang berarti siswa beraktivitas dengan baik. Sedangkan rerata keaktifan siswa yang mendapat pembelajaran biasa sebesar 3,44 atau 68,78% yang berarti siswa beraktivitas dengan cukup baik. Hasil penelitian di atas menunjukkan bahwa peningkatan pemahaman konsep siswa serta ketuntasan dan keaktifan belajar siswa melalui pendekatan penemuan terbimbing berbantuan Software Autograph lebih tinggi dari siswa yang memperoleh pendekatan biasa. Hal ini dikarenakan penemuan terbimbing berbantuan Software Autoraph memiliki keunggulan dibandingkan pendekatan biasa. Keunggulan tersebut dapat dilihat dari lima hal, yaitu bahan ajar, guru, keaktifan siswa, interaksi siswa, dan media Autograph.

Perta ma, b ahan aj ar d alam pe nemuan terbimbing berupa LAS yang dirancang untuk membantu siswa melakukan proses pencarian dan investigasi, sehingga dengan melakukan penemuan siswa mengkontruksi sendiri pengetahuannya. LAS berperan sebagai panduan (guided) ya ng b erisi pe rtanyaa n-pe rtanyaan unt uk mengarahkan siswa mengambil kesimpulan dari beberapa percobaannya. LAS diberikan ke tiap siswa agar semua siswa mengerjakannya, tidak hanya asyik dengan Autograph . Dengan mengerjakan LAS tersebut siswa melakukan proses inquiry . Karena siswa sendiri yang menemukan suatu konsep, maka siswa memperoleh pemahaman konsep yang lebih baik dibanding jika siswa hanya mendengar dari guru. Berbeda dengan pendekatan biasa di mana bahan ajar yang digunakan adalah buku paket yang biasa dipakai gur u. Buk u pa ket ter sebut m emb erik an pengetahuan dalam bentuk jadi, memberikan contoh-contoh soal dan pertanyaan latihan. Bahan ajar dalam buku paket membuat siswa sebagai penerima informasi pasif yang belajar dengan cara meniru contoh soal untuk mengerjakan soal-soal latihan yang tersedia. Kedua, guru dalam penemuan terbimbing berbantuan Software Autograph berperan sebagai fasilitator, mediator, dan partner yang mendampingi siswa dalam proses inquirynya. Dibutuhkan kreativitas guru yang tinggi dalam merancang bahan ajar agar pengetahuan tidak disajikan dalam bentuk jadi. Guru diharapkan untuk tidak mendominasi, dan tidak terlalu banyak memberi pe njel asan yang ak hirnya k emba li seper ti pendekatan biasa. Guru memberikan bantuan be rupa per tany aan- per tany aan pancinga n, pembenaran setuju atau tidak setuju, refleksi dan evaluasi. Peran guru di atas memberi kesempatan bagi siswa untuk lebih kritis, lebih mandiri, mencari, menemukan dan membangun sendiri pengetahuannya, bukan menghafal rumus dan

Tabel 3.

Rangkuman Rerata Skor Gain dan Persentase Ketuntasan Pemahaman Konsep

Kelompok Pretest Eksperimen Kontrol 34,3 32,2 Postest 77,74 66,66

Aspek Gain 43,44 34,46 Jumlah siswa tuntas 67 dari 73 44 dari 71 % ketuntasan 91,78% 61,97%

378

Sahat Saragih dan Vira Afriati, Peningkatan Pemahaman Konsep Grafik Fungsi Trigonometri Siswa SMK melalui Penemuan Terbimbing Berbantuan Software Autograph

meniru contoh. Sebaliknya, dengan pendekatan biasa guru berperan sebagai sumber belajar menjelaskan konsep, memberikan contoh soal, memberikan soal-soal latihan yang mirip contoh da n me meri ksanya. Pera n guru seper ti i ni mengaki batk an siswa menghaf al p rose dur penyelesaian soal bukan memahaminya. Siswa menjadi robot yang harus mengikuti cara guru. Ketiga, siswa lebih berperan aktif dalam

siswa terpaksa harus aktif bekerja dan harus memahami hasil kerjanya agar dapat menyelasaikan LAS dan memperoleh kesimpulannya. Dengan demikian, siswa pada kelompok eksperimen lebih sering berinteraksi, yaitu berdiskusi dengan temannya dan tidak sungkan bertanya pada guru. Kelima, media be lajar Autograph dal am pe nemuan t erbi mbing be rbantuan Softwa re Autograph membantu siswa lebih mudah melakukan proses inquiry . Siswa dapat mengumpulkan banyak gambar grafik untuk dianalisis. Siswa dapat lebih fokus pada proses inquiry, mengana lisi s ga mbar -gam bar graf ik y ang dihasilkan melalui media Autograph daripada meng habiskan waktu menggam bar di b uku, memindahkan gambar guru yang ada di papan tulis. Hal ini sesuai dengan pernyataan Evan (Karnasih, 2008) yang menjabarkan keunggulan Autograph, This package can support most graph topics and has a good statistic section. One of the most powerful features is its ability to draw graphs quickly and accurately, allowing the student to concentrate on the outcome, rather than the manual task of drawing the graph.. Per nyat aan Evan menjela skan bahwa Autograph dapat membantu di topik-topik grafik. Autograph mampu menggambar grafik dengan cepat dan akurat, sehingga membuat siswa dapat lebih berkonsentrasi pada analisis grafik daripada menggambar grafik secara manual. Berbeda dengan pendekatan biasa yang tidak menggunakan media belajar, guru hanya menggunakan papan tulis untuk menjelaskan gambar-gambar grafik dan siswa mencatat grafik tersebut ke buku tulisnya. Tentu saja visualisasi yang manual ini tidak sejelas jika menggunakan Software Autograph dan waktu lebih banyak terpakai untuk menggambar bukan menganalisis gambar tersebut. Simpulan dan Saran Simpulan Berdasarkan hasil temuan yang telah dikemukakan dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1) siswa yang memperoleh pembelajaran dengan pend ekat an p enem uan Sof twar e terb imbi ng me mili ki ber bantua n Autog rap h

penemuan t erbimbing berbant uan Softwa re


Autograph. Siswa lebih dituntut untuk berfikir, menemukan sendiri suatu konsep dan bukan menghapal materi yang diberikan guru. Proses penemuan terjadi ketika siswa dalam proses me ntal nya mela kuka n seper ti: meng amat i, menggolongkan, membuat dugaan, mengukur, menjelaskan, menarik simpulan dan sebagainya untuk menemukan beberapa konsep atau prinsip. Kegiatan penemuan terbimbing tersebut membuat siswa lebih memahami materi, menguasai materi tersebut, lebih ingat dan mampu mentransfernya. Seperti yang dikatakan Suryosubroto (dalam Suriadi, 2006) bahwa dengan menemukan sendiri, menyelidiki sendiri, maka hasil yang diperoleh ak an t etap dan tahan l ama dala m ingata n, sehingga tak mudah dilupakan siswa. Pengertian yang ditemukan sendiri merupakan pengertian yang betul-betul dikuasai dan mudah digunakan atau ditransfer dalam situasi lain. Sebaliknya, dengan pend ekat an b iasa siswa b erpe ran sebagai penerima informasi yang diberikan guru, mendengarkan penjelasan guru, memperhatikan contoh soal yang diberikan dan mengerjakan latihan. Pengetahuan jadi yang diterima siswa seperti ini akan lebih mudah hilang dan siswa pun belum tentu memahami konsepnya. Siswa lebih memilih menghapal prosedur penyelesaian soal untuk mendapatkan jawaban soal tersebut. Keempat, interaksi siswa kepada temannya dan kepada guru di kelompok eksperimen jauh lebih dinamis dan multiarah. Siswa yang mendapat pendekatan biasa hanya mendengar penjelasan guru dan mencatat. Sedikit sekali siswa yang bertanya agar lebih memahami penjelasan guru te rseb ut. Adap un siswa pad a ke lomp ok pe nemuan t erbi mbing be rbantuan Softwa re Autograph silih berganti bertanya kepada guru dan berdiskusi dengan temannya dalam menyelesaikan LASnya. Dalam pembelajaran ini semua

379

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012

peningkatan pemahaman konsep secara signifikan lebih baik jika dibandingkan dengan siswa yang memperoleh pembelajaran pendekatan biasa; 2) ketuntasan dan aktivitas belajar siswa yang memperoleh pembelajaran dengan pendekatan pe nemuan t erbi mbing be rbantuan Softwa re Autograph secara signifikan lebih tinggi daripada siswa yang memperoleh pembelajaran dengan pendekatan biasa. Lebih lanjut, sisw a yang memperoleh pembelajaran dengan pendekatan pe nemuan t erbi mbing be rbantuan Softwa re Autograph telah mencapai ketuntasan, sedangkan siswa yang memperoleh pembelajaran dengan pendekatan biasa belum mencapai ketuntasan.

Saran Berdasarkan simpulan di atas, disarankan: 1) Pendek atan penemua n te rbim bing ber bant uan sof twar e Autogr aph s ang at p otensial unt uk diterapkan dalam pembelajaran matematika, khususnya pada materi grafik fungsi trigonometri maupun pada materi matematika yang sesuai; dan 2) Untuk lebih meningkatkan ketuntasan dan aktivitas belajar siswa, sebaiknya guru dan siswa menerapkan pendekatan penemuan terbimbing berbantuan software Autograph dengan bahan ajar dan perangkat pembelajaran yang dirancang secara khusus dalam bentuk lembar aktivitas siswa (LAS).

Pustaka Acuan Ansari, B.I. 2009. Komunikasi Matematik. Banda Aceh: Yayasan Pena. Ahmad, B. 2011. Penerapan Model Pembelajaran Berbasis Masalah Sebagai Upaya Meningkatkan Kemampuan Pemahaman Konsep Matematika dan Komunikasi Matematik Siswa Sekolah Menengah.Tesis. Medan: Program Pascasarjana UNIMED Medan. Dahar, R.W. 1996. Teori-Teori Belajar. Jakarta: Erlangga. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1989. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka. Departemen Pendidikan Nasional. 2003. Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta: Pusat Kurikulum Balitbang Depdiknas. Dokumentasi SMK Telkom Sandhy Putra Medan dan SMK Sandhy Putra - 2 Medan. Hasanah, A. 2004. Mengembangkan Kemampuan Pemahaman dan Penalaran Matematika Siswa Sekolah Menengah Pertama melalui Pembelajaran Berbasis Masalah yang Menekankan pada Representasi Matematik. Tesis. Bandung: Program Pascasarjana UPI Bandung. Karnasih, I. 2008. Paper Presented in International Worksop : ICT for Teaching and Learning Mathematics, Unimed, Medan. (In Collaboration between UNIMED and QED Education Kuala Lumpur, Malaysia, 23-24 May 2008). Kuhlthau, C. C. 2007. Guided Inqury: Learning in The 21st Century School. Wesport, CT: Libraries Unlimited. Markaban. 2006. Model Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan Penemuan Terbimbing, (http:// p4tkmatematika.org /downloads /ppp/ PPP Penemuan-terbimbing.pdf, diakses pada 25 Maret 2010). National Council of Teachers of Mathematics. 1989. Curriculum and Evaluation Standard for School Mathematics. Reston, VA: NCTM. National Council of Teachers of Mathematics. 1991. Professional Standar for Teaching Mathematics. Reston, VA: NCTM

380

Sahat Saragih dan Vira Afriati, Peningkatan Pemahaman Konsep Grafik Fungsi Trigonometri Siswa SMK melalui Penemuan Terbimbing Berbantuan Software Autograph

Reys, E.R. 2001. Helping Children Learn Mathematics, John Wiley and Sons, Inc, United States of America. Saragih, S., 2007. Mengembangkan Kemampuan Berpikir Logis dan Komunikasi Matematik Siswa Sekolah Menengah Pertama Melalui Pendekatan Matematika Realistik. Disertasi. Bandung: Pendidikan Matematika UPI Bandung. Suriadi. 2006. Pembelajaran dengan Pendekatan Discovery yang Menekankan Aspek Analogi untuk Meningkatkan Pemahaman Matematik dan Kemampuan Berpikir Kritis Siswa SMA. Tesis. Bandung: Program Pascasarjana UPI Bandung. Soedjana, W. 1986. Strategi Belajar Mengajar Matematika, Modul 1-3, Jakarta: Karunika. Tim PLPG. 2008. Metodologi Pembelajaran Matematika, Modul Pelatihan Pendidikan Guru. Medan: Jurusan Pendidikan Matematik, Unimed. Turmudi. 2008. Landasan Filsafat dan Teori Pembelajaran Matematika (Berparadigma Eksploratif dan Investigatif). Jakarta: Leuser Cita Pustaka.

381

Mieske Theresia Tulung dan L. Kaluge, Suasana Kerja dan Pengaruh Kepemimpinan dalam Konteks Pendidikan Dasar

SUASANA KERJA DAN PENGARUH KEPEMIMPINAN DALAM KONTEKS PENDIDIKAN DASAR (WORKING CLIMATE AND THE EFFECT OF LEADERSHIP IN THE CONTEXT OF BASIC EDUCATION)
Mieske Theresia Tulung SMPK Renya Rosari Lilitira Rantepao Toraja Utara, Sulawesi Selatan e-mail: teresiatulung@yahoo.or.id L. Kaluge Universitas Kanjuruhan Malang e-mail: lrnsklg@gmail.com
Diterima tanggal: 1/10/2012, Dikembalikan untuk revisi: 3/11/2012, Disetujui tanggal: 20/12/2012 Abstrak: Penelitian ini bertujuan mengungkap suasana kerja di sekolah yang dikondisikan oleh persepsi kepemimpinan. Fokus dari tujuan tersebut, yaitu: gambaran suasana kerja, persepsi para guru, dan hubungan kausal antara keduanya. Metode yang ditempuh bersifat kuantitatif. Sampel sebanyak 386 guru diambil dari 24 SMP Negeri dan Swasta di kota Manado secara acak dengan memperhatikan cluster proportionate. Data dianalisis secara deskriptif serta inferensial. Delapan konstrak kepemimpinan dan dua konstrak suasana kerja terbukti valid dan reliabel. Dengan rentangan 0-4, rerata suasana kerja di sekolah sebesar 2,9 untuk semangat kerja, dan 2,8 untuk suasana kreatif. Juga dengan rentangan yang sama, rerata kedelapan subskala kepemimpinan berkisar 2,55 dan 3,19. Analisis regresi mengungkapkan tidak semua komponen kepemimpinan merupakan faktor signifikan untuk pengembangan suasana kerja di sekolah. Kepemimpinan yang mendisiplinkan, mendengarkan, dan mendukung berpengaruh signifikan terhadap semangat kerja para guru, dan pengembangan suasana kreatif dipengaruhi secara signifikan oleh kepemimpinan yang mendisiplinkan, mendengarkan, mendukung, dan memberdayakan. Temuan ini bermanfaat bagi kebijakan pendidikan dan pengembangan sekolah. Kata kunci: persepsi kepemimpinan, kepala sekolah, suasana kerja, guru, dan sekolah menengah pertama. Abstract: This study aimed at discovering the leadership perception in conditioning the working climate at schools. Three objectives of the aim were describing working climate, teachers perception on leadership, and the causal relationship between them. The cluster proportionate random sampling obtained 386 teachers from 24 state and private junior-secondary-schools in the city of Manado. Data were collected through questionnaire administration and analyzed using descriptive and inferential methods. Eight leadership constructs and two working climate were proven to be valid and reliable. Using range criteria of 0-4, the averages of working climate were 2.9 and 2.8 for working spirit and creative climate. On the other hand, using the same criteria, the average of the eight leadership sub-scales ranged between 2.55 and 3.19. The regression analyses found that not all of the leadership components were significant factors for developing the school working climate. Disciplining, listening, and supporting were significant factors for teachers working spirit. Whereas, the creative climate of teachers was affected significantly by disciplining, listening, supporting, and empowering factors. The results would be of benefit for educational policies and school improvement. Keywords: perceived leadership, school principals, working climate, teachers, and junior secondary school.

353

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012

Pendahuluan Kualitas pendidikan selalu menjadi topik menarik bagi masyarakat Indonesia karena pendidikan memiliki andil masa depan dan martabat bangsa. Diakui bahwa kualitas pendidikan pada umumnya dan pre stasi be laja r si swa di sekol ah p ada khususnya merupakan hasil dari proses interaksi berbagai faktor seperti guru, siswa, kurikulum, buku paket, laboratorium, metodologi pembelajaran, peraturan perundang-undangan di bidang pendidikan dan berbagai input serta kondisi proses lainnya (Agung, 2009; Ismail, 2006; Koster, 2006). Sekolah Menengah Pertama (SMP) sebagai bagian dari pendidikan dasar sembilan tahun merupakan sektor esensial dalam pembangunan pendidikan. Penyelenggaraan pendidikan SMP di Indonesia mempunyai misi luhur, yaitu sesuai dengan misi pendidikan nasional yang bertujuan agar peserta didik memiliki akhlak mulia, bersifat kreatif dan inovatif, berwawasan kebangsaan, cerdas dan sehat, berdisiplin dan bertanggung jawab. Oleh sebab itu, penyelenggaraannya dimaksudkan sebagai upaya menangkal nilai-nilai budaya dari luar yang tidak sesuai dengan nilainilai yang dianut oleh bangsa Indonesia sebagai dampak globalisasi yang tidak mengenal batasan ruang dan waktu. Salah satu syarat yang tak ka lah pent ing adal ah p enge tahuan d an kemampuan para kepala sekolah memimpin sekolahnya. Rimba masalah pembangunan pendidikan saat ini amat kompleks. Kurangnya pembinaan memadai tentang kepemimpinan kepala sekolah berada dalam rimba tersebut. Sesungguhnya, se besa r ap a pun ma suka n pe rsek olahan ditambah atau diperbaiki, keluarannya tetap tidak akan optimal, apabila faktor kepemimpinan kepala sekolah yang merupakan aspek sangat strategis dalam proses belajar mengajar dibiarkan terlantar atau tidak diberikan perhatian yang serius. Kepemimpinan merupakan suatu kekuatan penting dalam menggerakkan orang lain untuk menjalankan kegiatan manajemen. Kepemimpinanlah yang menentukan arah dan tujuan, memberikan bimbingan dan menciptakan iklim ke rja yang mendukung pela ksanaan proses manajemen secara keseluruhan (Hoy & Miskel, 2008; McBeath, 2005). Dengan demikian, dapatlah

dikatakan bahwa kepala sekolah adalah pelaku kep endi dika n ya ng b erpe ran besa r ba gi keb erha sila n pe ngel olaa n se kola h. K uali tas kepemimpinan kepala sekolah yang di dalamnya termasuk kepribadian dan keterampilan menangani masalah terasa di sekolah. Kemampuan menjalin hubungan antara manusia serta gaya kepemimpinan sangat menentukan dan memiliki pengaruh yang besar terhadap pencapaian tujuan sekolah. Namun, kenyataannya tidak semua kepala sekolah ketika mengelola sekolah yang dipimpinnya mampu berperan sesuai dengan fungsi yang sebenarnya karena terlalu memfokuskan diri pada pengelolaan administrasi rutin semata. Keefektifan kepemimpinan kepala sekolah memiliki pengaruh yang besar dalam penciptaan iklim kerja yang kondusif bagi pencapaian tujuan yang dicita-citakan. Dengan demikian, diharapkan dapat terwujud semangat kerja maksimal dari seluruh komponen personal yang ada di sekolah. Agar relevan dan efisien, diperlukan pemberdayaan kepala sekolah, yaitu berupa pembenahan kepemimpinan kepala sekolah sebagai unsur utama dalam manajemen peningkatan mutu berbasis satuan pendidikan, sehingga sekolah dap at m andi ri, krea tif dan inov atif dal am me laksanak an k egia tan pendidi kan sesuai dengan daya pendidikan yang ada (Sidi, 2001; Suraji, 2010). Apalagi bekerja dengan kondisi para guru di tanahair yang saat ini terungkap memprihatinkan (Emy, 2012; Wedhaswary, 2012). Ulasan di atas mengandung masalah penelitian yang dirumuskan dalam tiga pertanyaan berikut. Pertama, bagaimanakah suasana kerja di sekolah? Kedua, bagaimana persepsi para guru tentang kepemimpinan kepala sekolah? Ketiga, apakah kepemimpinan berpengaruh terhadap pe ngem bang an suasa na kerj a pa ra g uru di sekolah? Ketiga pertanyaan tersebut bertujuan untuk memahami lebih rinci persepsi kepemimpinan kepala sekolah dan situasi lingkungan kerja para guru.

354

Mieske Theresia Tulung dan L. Kaluge, Suasana Kerja dan Pengaruh Kepemimpinan dalam Konteks Pendidikan Dasar

Kajian Literatur Suasana Kerja dan Persepsi Kepemimpinan di Sekolah Suasana Kerja Para Guru Ada banyak cara membahas dan mencermati suasana kerja para guru di sekolah dari berbagai aspek. Lazimnya, suasana lingkunga n kerja di baha s da ri segi fisi k da n sosio- psik olog is (Ivancevich, Konopaske, & Matteson, 2005; Owens, 2004). Pada kesempatan ini dicermati aspek sosio-psikologis. Suasana lingkungan kerja di sekolah, dalam artikel ini dibataskan dalam dua tema pokok, yaitu semangat kerja kelompok dan kreativitas kerja. Pertama, semangat kerja . Semangat kerja merupakan gejala psikologis, seperti perasaan, sikap, suasana batin, dan reaksi mental yang diekspresikan dalam rasa senang atau tidak senang, rasa bergairah atau tidak bergairah, dan bergejolak atau sebaliknya. Semangat kerja muncul dar i ke puasan para pek erja dal am menjalankan pekerjaan dan interrelasi mereka dengan lingkungan tempat kerjanya. Dalam sat uan pend idik an, kepa la sekol ah sebag ai pemimpin berperan penting dalam memberi semangat kepada guru-guru yang dipimpinnya (Sion, 2007; Sulton, 2006). Semangat kerja kelompok yang tinggi ditandai dengan kegairahan para guru dalam menjalankan tugasnya. Pimpinan sekolah dapat membina kerja sama kelompok dalam memecahkan masalah, melibatkan warga sekolah dalam mengambil keputusan dan seluruh staf didorong untuk mencapai potensinya (Adams, 2006). Kedua, kreativitas kerja. Dari segi proses, secara garis besar kreativitas kerja mengacu pada upaya-upaya menciptakan kondisi yang menggalakan kerja kelompok, menumbuhkan rasa saling percaya, dan melibatkan anggota dalam kegiatan-kegiatan sekolah. Dengan demikian, terjalin hubungan interpersonal yang baik antara sesama anggota, dan terwujud suasana kerja yang kondusif (Fink & Brayman, 2006). Salah satu faktor penting dalam memimpin bawahan adalah faktor kreativitas. Dari segi dampak, kreativitas se ring mengand ung arti kem ampuan d an kekuasaan untuk mengem-bangkan gagasangagasan baru.

Dem i

suasana

se kola h

ya ng

k ondusif

seyogyanya para guru merasa diperlakukan sesuai dengan bakat dan keterampilan, kemampuan dan minat masing-masing, dan memberi dorongan sehingga mereka leluasa untuk mengemukakan keluhan, pendapat, harapan yang semuanya itu mendukung lancarnya proses pencapaian tujuan sekolah. Melalui kepemimpinan kepala sekolah segenap potensi staf dikembangkan dan dimanfaatkan untuk membina mutu organisasi. Kepemimpinan Kepala Sekolah Posisi jabatan kepala sekolah pada dasarnya tidak lepas dari aspek kepemimpinan pada umumnya. Me nurut de fini siny a, k epem impi nan kepa la sekolah diartikan sebagai kemampuan dalam me meng aruhi, m endorong , me ngar ahka n, memacu, berkomunikasi dan membimbing stafnya (terutama guru) dalam rangka mencapai tujuan sekolah (Nawawi, 2003). penelit ian. Sek urangSeluk-beluk kepemimpinan dijelaskan dalam se juml ah t eori dan kur angnya a da t iga klasifik asi dasa r te ori kepemimpinan, yaitu pendekatan sifat, perilaku, dan sit uasi onal (conti nge ncy) . Pende kat an pertama memandang kepemimpinan sebagai kom bina si si fat- sifa t (tr aits) y ang ta mpa k. Pendeka tan kedua be rmak sud meng identifikasikan perilaku-perilaku (behaviors) pribadi yang berhubungan dengan k epemimpinan efektif. Ked ua p ende kata n ini be rang gapa n ba hwa seorang individu yang memiliki sifat-sifat tertentu atau memperagakan perilaku-perilaku tertentu akan muncul sebagai pemimpin dalam situasi kelompok apa pun di mana ia berada. Pendekatan yang ke tiga , ya itu pand anga n si tuasiona l. Pandangan ini menganggap bahwa kondisi yang menentukan keefektifan kepemimpinan bervariasi dalam situasi tugas-tugas yang dilakukan, keterampilan dan pengharapan bawahan, dan se baga inya . Pa ndangan ini terw ujud dal am pendekatan contingency pada kepemimpinan dengan menjelaskan faktor-faktor situasional yang menentukan keefektifan gaya kepemimpinan tertentu. Kepemimpinan situasional menjadi fokus utama dalam artikel ini lantaran dua alasan. Pertama, teori ini didasarkan atas asumsi bahwa

355

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012

keberhasilan memimpin suatu lembaga tidak hanya bergantung pada perilaku dan sifat-sifat pemimpin. Tiap lembaga memiliki ciri-ciri yang unik. Bahkan, lem baga yang se jeni s pun da pat menghad api masa lah yang ber beda kar ena lingkungan, semangat dan watak bawahan yang berbeda. Kedua, pertimbangan bahwa salah satu faktor yang menunjukkan adanya perbedaan situasi organisasi adalah tingkat kematangan dan perilaku kelompok atau bawahan (Purwanto, 2003). Tinggi rendahnya tingkat kematangan kelompok turut menentukan ke mana kecenderungan gaya kepemimpinan seorang pemimpin harus diarahkan. Gaya kepemimpinan kepala sekolah sangat tergantung pada situasi dan kondisi staf yang dipimpinnya. Jika menghadapi staf yang memiliki kemampuan yang kurang baik dan motivasi kerja juga kurang baik maka gaya kepemimpinan telling paling efektif. Artinya, kepala sekolah lebih banyak memberi petunjuk yang spesifik dan secara ketat mengawa si staf/ guru dal am m elak sana kan tugasnya. Jika menghadapi staf yang memiliki kemampuan yang kurang baik, tetapi memiliki motivasi kerja baik maka gaya kepemimpinan selling paling efektif. Artinya, kepala sekolah ba nyak mem beri kan bimb inga n se hing ga kemampuan staf secara bertahap meningkat. Jika menghadapi staf yang memiliki kemampuan kerja yang baik, tetapi motivasi kerjanya kurang maka kepemimpinan participating paling efektif. Artinya, kep ala sekolah berp arti sipa si a ktif dal am mendorong staf untuk menggunakan kemampuan secara optimal. Jika menghadapi staf yang memiliki kemampuan baik dan motivasi kerja juga baik maka gaya kepemimpinan delegating paling efektif. Artinya, kepala sekolah lebih banyak memberikan duk unga n da n me ndel egasikan wewenang kepada staf/guru. Kondisi kepemimpinan tersebut mengandung delapan makna generik, yaitu: menjelaskan, mengara hkan, me liba tkan, me ndisipli nkan, me ndengark an, me mant au, memb erik an tug as d an

Pertama, menjelaskan. Menjelaskan adalah proses komunikasi dari pimpinan kepada para bawahan, rekan sejawat, dan pihak luar yang memberi kontribusi penting kepada kegiatan unit ke rja agar tid ak t erja di k esal ahpa hama n. Menjelaskan kepada bawahan menyangkut komunikasi rencana-rencana, kebijakan-kebijakan, serta harapan peran serta instruksi tentang pekerjaan. Empat buah subkategori mengenai menjelaskan, yaitu: a) menetapkan tanggung jawab kerja bagi para bawahan atau anggota tim; b) menetapkan tujuan-tujuan kinerja dan otorisasi re ncana ti ndak an untuk me ncap ainy a; c) menugaskan pekerjaan; dan d) memberikan instruk si m enge nai cara sua tu t ugas har us dil akuk an prosedur, m enya ngkut pe mbag ian tuga s, ta nggung j awab pek erj aan, per atur an d an m engk omunikasikan pri orit as, menetapkan tujuan-tujuan kinerja yang spesifik bagi seorang bawahan, menetapkan batas-batas waktu yang spesifik untuk suatu penugasan, memberi persetujuan atau menguji kembali re ncana-re ncana ti nda kan untuk me ncap ai tuj uan- tujuan p rest asi kerj a, d an m embe ri instruksi dalam mengerjakan tugas. Kedua, mengarahkan. Untuk menjaga agar apa yang telah direncanakan dapat berjalan se pert i ya ng d ikehenda ki m aka dipe rluk an pengarahan. Semua orang bekerja demi tujuan yang ditetapkan dan secara konsisten berpacu me nuju tuj uan itu. Ka dang -kad ang kare na beberapa faktor, perumusan tujuan tidak jelas, sehingga upaya pencapaiannya pun tidak jelas. Aga r pe ngar ahan ini sesuai deng an y ang dite tapkan, penga rah pe rlu mem punyai kemampuan kepemimpinan, yaitu memengaruhi orang lain sehingga mau bekerja sebaik-baiknya dalam mencapai tujuan bersama (Suryosubroto, 2004). Ketiga, mendisiplinkan. Menegakkan kedisiplinan adalah hal yang penting bagi suatu organisasi pendidikan. Dengan kedisiplinan, diharapkan peraturan-peraturan dilaksanakan secara efektif dan efisien. Sekolah yang tertib, aman, dan teratur merupakan prasyarat agar siswa dapat belajar secara optimal. Kondisi semacam ini terjadi jika disiplin di sekolah berjalan dengan baik (Watson & Scribner, 2007). Kepala se kola h me mega ng p eran penting dal am

dukungan dan memberdayakan (Ivancevich, Konopaske, & Matteson, 2005; Owens, 2004). Kedelapan elemen itu umumnya diterapkan oleh kepala sekolah dalam kepemimpinannya. Berikut ini akan diulas setiap elemen tersebut.

356

Mieske Theresia Tulung dan L. Kaluge, Suasana Kerja dan Pengaruh Kepemimpinan dalam Konteks Pendidikan Dasar

mendisiplinkan sekolah, mulai dari merancang, melaksanakan dan menjaganya. Kee mpat , me mant au. Mema ntau ada lah kegiatan mengumpulkan data dalam rangka mengetahui seberapa jauh kegiatan pendidikan telah mencapai tujuannya dan kesulitan apa yang ditemui dalam kegiatan sekolah. Pemantauan dilakukan untuk memastikan apakah tujuan bakal tercapai atau tidak (McBeath, 2005). Data itu dipakai untuk mengidentifikasikan apakah proses pencapaian tujuan berjalan dengan baik, apakah ada penyimpangan dalam kegiatan itu serta kelemahan apa yang didapatkan dalam penyelenggaraan kegiatan tersebut. Kelima, melibatkan. Pengambilan keputusan merupakan kegiatan yang selalu dijumpai dalam setiap kegiatan kepemimpinan. Bahkan, dapat juga dikatakan, cara pengambilan keputusan yang dilakukan seseorang pemimpin menunjukkan ga ya k epem impi nannya. Keb erha sila n da ri kep utusan y ang tepa t ma upun pem ecahan masalah organisasi secara memuaskan hanya dapat dicapai melalui kadar usaha pemimpin melibat kan anggota-anggotanya. Hasi l-hasil penelitian menunjukkan bahwa pengambilan keputusan yang berpartisipatif dapat meningkatkan keefektifan organisasi atau lembaga (Owens, 2004). Kee nam, mendeng arka n. M ende ngar kan adalah kegiatan penting yang untuk memastikan bahwa seseorang berkomunikasi dengan baik unt uk m empe role h pe nger tian yang sa ma. Pengert ian yang sam a ini ad alah int i da ri komunikasi dan harus dicapai bila ingin menjadi pemimpin yang sukses (Adams, 2006). Mendengarkan merupakan metode utama dalam menerima pesan-pesan. Carl Rogers (dalam Tir tami hard ja, 2005 ) me ngat akan bahwa ketidakmampuan orang berkomunikasi merupakan hasil dari kegagalan mendengarkan secara efektif, kurang terampil dan kurang memiliki pengertian pada orang lain. Ket ujuh, me mber i dukung an. Memb eri dukungan termasuk perilaku pemimpin yang memperlihatkan pertimbangan, penerimaan, dan perhatian terhadap kebutuhan dan perasaan orang lain. Perilaku memberi dukungan membantu membangun dan mempertahankan hubungan antar pribadi yang efektif, serta merupakan

komponen inti dari kepemimpinan yang suportif (Clarke, 2009; McBeath, 2005). Sasaran lain dari per ilak u me mber i dukung an a dala h untuk meningkatkan kepuasan kerja para bawahan atau para rekan sejawat. Pemberian dukungan dip erli hatk an m elal ui p ujia n da n ap resi asi terhadap orang lain demi kinerja yang efektif, keberhasilan yang memadai, serta kontribusi kepada organisasi. Ked elap an, memb erda yaka n. M embe rdayakan adalah perwujudan dari ide bahwa ka ryaw an m erup akan kontri butor be rhar ga terhadap kesuksesan organisasi. Keadaan ini memungkinkan karyawan belajar dari kesalahan mereka dan secara efektif bekerja lebih baik dan lebih cerdas. Tipe pemimpin yang paling baik adalah yang memanfaatkan potensi dari para pekerja. Pemimpin mendorong, meyakinkan, dan membantu mengembangkan berbagai keterampilan dan bakat mereka. Keberhasilan dalam memimpin bergantung juga pada kemampuan dalam mendelegasikan tugas dan tanggung jawab kepada bawahan secara efektif. Yang jelas, pemimpin yang baik tidaklah melakukan tugas-tugas yang bersifat te knis-ope rasi onal yang se mest inya cuk up didele gasikan ke pada bawahan (Holtap pels, 2009; Precey & Entrena, 2011). Keuntungan dari proses pende lega sian juga dap at di rasa kan dalam mempersiapkan kader-kader pimpinan se hing ga secar a kontinu pe mbia saan kep emimpinan staf dapat terwujud dan pada gilirannya mereka akan memberikan pengaruh yang positif bagi peningkatan mutu lembaga. Persepsi Kepemimpinan dan Suasana Kerja di Sekolah Sekolah adalah suatu sistem interaksi sosial, yang terdiri atas pribadi-pribadi yang berinteraksi bersama di dalam hubungan keorganisasian. Sebagai sistem sosial, sekolah ditandai oleh saling ketergantungan antara bagian-bagiannya, di mana populasinya didefinisikan secara jelas. Sekolah memiliki lingkungannya sendiri, suatu jaringan hubungan sosial yang kompleks dan budayanya yang unik (Hoy & Miskel, 2008). Watson dan Scribner (2007) juga menjelaskan bahwa esensi dari hubungan antarpribadi, antara lain saling pengertian dan kedekatan untuk

357

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012

me ncap ai t ujua n be rsa ma. Seme ntar a it u, keefektifan kepemimpinan juga memberi penekanan pada hubungan antarpribadi dan upaya unt uk m enca pai tujuan. Fakt or-f aktor ya ng be rpengaruh pa da k omunikasi antarp riba di antara lain hubungan antarpribadi, rasa simpati dan empati, keterbukaan dan saling percaya antarpersonal yang terlibat. Sementara itu, salah satu orientasi utama dari keefektifan kepemim pina n ad alah hub unga n antarp impi nan dengan bawahan yang menekankan pada aspek humanis. Ura ian di a tas meng indi kasi kan adanya hubungan secara teoretis antara komunikasi antarpribadi dengan keberhasilan kepemimpinan kepala sekolah. Wiyono (2000) mengemukakan bahwa para guru ataupun staf lainnya akan dapat bekerja dengan baik dan penuh semangat bila kepala sekolah mampu menerapkan kepemimpinan yang efek tif. Ole h ka rena itu, untuk me ning katk an semangat ker ja g uru, per lu diperhatikan kepemimpinan yang diterapkan oleh kepala sekolah. Hal ini sejalan dengan temuan Sulaiman (1992) yang memperlihatkan adanya hubungan antara dimensi perilaku kepemimpinan dengan semangat guru, dan Darmadi (1994) yang menyatakan bahwa perilaku kepemimpinan akan sangat efektif untuk mengarahkan guru. Sementara untuk mendukung terciptanya sua sana sekol ah ya ng k ondusif se yogya nya seorang pemimpin memperlakukan bawahan sesuai deng an b akat dan ket eram pila n, kem ampuan d an m inat masing- masi ng d an memberi dorongan sedemikian sehingga mereka le luasa me ngem ukak an keluhan, pendapa t, ha rapa n ya ng semua nya itu mendukung lancarnya proses pencapaian tujuan sekolah. Sela njutny a, menurut te ori si tuasi atau kontingensi ada lima prinsip dasar yang perlu diperhatikan dan penting untuk dipahami serta dilaksanakan oleh para pemimpin. Pertama, kepemimpinan yang efektif selalu menyesuaikan diri dengan tingkat kematangan bawahan. Kedua, pemimpin yang efektif selalu membantu bawahan untuk berkembang dari tidak atau belum dewasa menjadi dewasa. Ketiga, perilaku pemimpin yang cenderung berbeda-beda dari satu situasi ke situasi lain. Keempat, pemimpin melakukan diagnosis dengan baik terhadap situasi. Kelima,

pemimpin mampu mengubah-ubah perilakunya sesuai dengan situasi dan memperlakukan sesuai tingkat kematangannya. Penerapan gaya kepemimpinan yang tepat akan berdampak pada peningkatan keefektifan kepemimpinan dalam mencapai tujuan lembaga. Hal ini didukung oleh penelitian Goleman (2003) yang menunjukkan bahwa semakin banyak gaya yang dipraktikkan oleh seorang pimpinan maka akan semakin baik hasilnya. Para pimpinan yang menguasai empat atau lebih gaya kepemimpinan, terutama gaya otoriter, demokratis, afiliatif, dan coaching , akan mendapat suasana kerja dan kinerja bisnis yang terbaik. Pimpinan paling efektif akan mampu mengganti gaya kepemimpinannya secara fleksibel dari satu gaya ke gaya lain sebagaimana dibutuhkan. Persepsi Aktivitas Kepemimpinan

X1 Menjelaskan X2 Mengarahkan X3 Mendisiplinkan X4 Memantau X5 Melibatkan X6 Mendengarkan X7 Memberi dukungan X8 Memberdayakan Y1 Semangat Kerja Y2 Suasana kreatif Lingkungan Kerja

Ilustrasi 1. Diagram Rancangan Penelitian Metode Penelitian Pendekatan Penelitian Pendekatan penelitian ini adalah kuantitatif. Dengan pendekatan ini dijabarkan hubungan sebab-akibat antara persepsi aktivitas kepemimpinan kepala sekolah terhadap lingkungan kerja para guru SMP. Ilustrasi 1 memaparkan rancang an p enel itia n ini. L ingk unga n ke rja meliputi semangat kerja dan suasana kreatif. Faktor persepsi kepemimpinan mencakup delapan variabel aktivitas, yaitu menjelaskan, mengarahkan, mendisiplinkan, memantau, melibatkan, me ndengark an, memberdayakan. memb eri duk unga n, d an

358

Mieske Theresia Tulung dan L. Kaluge, Suasana Kerja dan Pengaruh Kepemimpinan dalam Konteks Pendidikan Dasar

Populasi dan Sampel Populasi adalah kelompok yang menjadi perhatian peneliti untuk rujukan generalisasi hasil penelitian (Fraenkel & Wallen, 2008). Sehubungan dengan hal tersebut, populasi dalam penelitian ini adalah guru SMP Kota Manado, baik negeri maupun swasta. Jumlah SMP di Kota Manado sebanyak 78 sekolah dengan tenaga pengajar sebanyak 1.360 orang. Pengambilan sampel guru ditempuh dengan proportionate random sampling. Teknik ini selain dilakukan secara acak, juga diperhatikan proporsi sampel di tiap sekolah, sehingga sebanding dengan besarnya dalam populasi. Jumlah sampel guru sebanyak 386 orang, sekitar 28,4% dari populasi guru SMP. SMP yang dijadikan sampel dalam penelitian ini sebanyak 24 sekol ah de ngan r incian 12 berstatus negeri dan 12 swasta. Pengambilan sampel SMP dilakukan dengan cluster proportionate random sampling . Dengan teknik ini sampel diambil secara acak dari sekolah negeri dan swasta. Pengembangan Instrumen dan Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan berkaitan dengan dua hal, yaitu persepsi aktivitas pemimpin dan suasana kerja SMP baik di sekolah negeri maupun swasta. Oleh karena itu, angket yang disusun berisi butirbutir pernyataan yang mencerminkan kedua hal tersebut dengan empat urutan pilihan jawaban yaitu selalu, sering, jarang, dan tidak pernah. Butirbutir kedua hal tersebut disusun oleh peneliti dan dik aji oleh pak ar y ang memb idanginy a. dirumusk an Per nyat aan- pernyata an y ang

instrumen yang disusun perlu diuji validitas dan reliabilitasnya. Uji validitas dilakukan dengan memeriksa koefisien korelasi antarbutir dan skor total, apabila rendah (r < 0,3), maka butir bersangkutan gugur. Berdasarkan hasil analisis korelasi uji validitas diketahui bahwa berkaitan dengan kedelapan kom pone n da ri k epem impi nan kont inge nsi diperoleh 47 butir yang valid, sedangkan pada kedua komponen suasana kerja diperoleh butirbutir valid sebanyak 20 buah. Reliabilitas dalam penelitian ini diartikan sebagai konsistensi internal antarbutir dalam sebuah komponen tertentu. Uji reliabilitas yang digunakan yaitu untuk mengestimasi alpha ( ) Cronbach. Patok an y ang dipa kai iala h 0,65 sebagai suatu kewajaran minimum (Mehrens & Lehmann, 1984) untuk skala instrumen demikian. Apabila

lebih besar daripada patokan tersebut,

maka dapat dikatakan reliabel. Analisis Data Masalah penelitian yang terumus di depan perlu dijawab lewat pengana lisisan data. Sebagai penelitian kuantitatif, digunakan analisis statistik deskriptif dan inferensial. Analisis deskriptif dilakukan untuk memaparkan gambaran umum pe rsep si r esponden te ntang ke pemi mpinan kontingensi dan suasana kerja di lingkungan SMP Kota Manado. Diawali dengan analisis deskriptif berupa rerata, deviasi baku; diikuti korelasi antara fak tor untuk me mast ikan ada nya peluang multikoliniaritas antar variabel pada analisis berikutnya. Kemudian analisis statistik inferensial, regresi ganda, dipakai untuk menguji hubungan sebab ak ibat ant ara kedua k onse p be sar, yai tu kepemimpinan kontingensi dan suasana kerja di sekolah. Sesuai dengan karakteristik data setiap komponen yang dijadikan variabel utama, dipilihlah analisis regresi ganda setelah teruji asumsi dasarnya. Hasil dan Pembahasan Penelitian Hasil Penelitian Data yang terkumpul dideskripsikan sebagai berikut. Dalam hal suasana kerja, sebagian besar kepala SMP di Manado menciptakan suasana kreatif (sebesar 82%); dan mendorong semangat

tergambar dalam Tabel 1 agar tercermin skema kedua konsep utama beserta komponennya. Untuk pernyata an yang mendukung (favourable), pemberian skor dimulai dari sering dengan angka 4 dan bergerak ke tidak pernah dengan angka 1. Sebaliknya untuk pernyataan yang tidak mendukung (unfavourable), pemberian skor terbalik, yaitu 1 untuk sering dan 4 untuk tidak pernah. Validitas dan Reliabilitas Agar data yang diperoleh mempunyai tingkat akurasi dan keajegan yang tinggi, oleh karenanya

359

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012

kerja (sebesar 77%). Data tersebut menunjukkan bahwa tingkat keefektifan kepemimpinan para kepala sekolah memiliki kualitas yang berkategori baik. Mengenai persepsi para guru, terungkap bahwa sebagian besar kepala sekolah menerapkan perilaku kepemimpinan kontingensi yang sangat tinggi, yaitu telling dan selling yang mencakup: menjelaskan sebesar 82%; mengarahkan sebesar 83%, dan mendisiplinkan sebe sar 82%. Yang di kat akan tinggi, yak ni participating dan delegating yang mencakup: melibatkan 83%, mendengarkan 85%; memberi dukung an 8 8% d an m emb erda yaka n 85 %. Dikatakan agak tinggi, yaitu memantau sebesar 74%. Data tersebut menunjukkan bahwa pada dasarnya para kepala sekolah dalam menjalankan pr akte k ke pemi mpinannya t elah mam pu menerapkan gaya kepemimpinan kontingensi. Deskripsi pada Tabel 1 menjelaskan bahwa kedelapan komponen kepemimpinan kontingensi yang dipersepsi para guru reratanya berkisar 2,553,19 dengan simpangan bakunya berkisar 0,370,52. Selain itu, kedua komponen suasana kerja di sekolah reratanya berkisar 2,82,9 dengan simpangan bakunya berkisar 0,36-0,45. Dengan mempertimbangkan rerata, deviasi baku, mnimum dan maksimum, disimpulkan distribusi kesepuluh konstrak umumnya masih wajar walau ada kecenderungan skewed atau tidak terdistribusi secara normal.

Ta bel 1 me nunj ukka n a lpha ked elap an komponen persepsi kepemimpinan kontingensi berkisar 0,65 0,84, sedangkan kedua komponen suasana kerja sekolah berkisar 0,71 (dorongan semangat kerja) dan 0,82 (suasana kreatif ). Dengan demikian, kesepuluh komponen tersebut reliabel dan dapat digunakan untuk analisis selanjutnya. Korelasi antara kedua konstrak dependen, ya itu suasana kerj a da n dorong an k reat if signifikan dengan besaran r = 0.38 (p <0,00). Interkorelasi antarkedelapan konstrak indepe nden, pa da Tabel 2 b erki sar 0,01 0,6 2, dianggap sebagai hal yang wajar dalam artian tidak terlampau tinggi, sehingga tidak berpeluang menimbulkan masalah multikoliniaritas dalam analisis regresi ganda. Matriks interkorelasi menunjukkan bahwa semua koefisien korelasi signifikan (p<0,05), kecuali dua koefisien. Kedua koefisien yang tidak signifikan ialah korelasi mengara hkan-m ende ngar kan (r= 0,01 0, p>0 ,05) , da n me liba tkan- m end enga rka n (r=0,094, p>0,05). Hal ini mencerminkan bahwa hubungan antara keempat konstrak tersebut bersifat ortogonal dan baik untuk digunakan seb agai var iabe l indepe nden pad a analisis inferensial berikutnya.

Tabel 1. Deskripsi Konstrak dalam Penelitian

No 1

Konstrak setiap konsep Kepemimpinan kontingensi Menjelaskan Mengarahkan Mendisiplinkan Memantau Melibatkan Mendengarkan Memberi dukungan Memberdayakan

Rerata

Deviasi baku 0.39 0.53 0.39 0.46 0.52 0.46 0.37 0.52

Minimum

Maksimum

Alpha

2.83 3.19 2.65 2.73 2.82 2.55 2.71 2.82

1.50 1.33 1.17 1.33 1.67 1.14 1.57 1.33

9.00 4.00 3.83 4.00 7.33 9.14 4.00 4.00

0.77 0.84 0.65 0.74 0.77 0.73 0.78 0.79

Suasana kerja di sekolah Semangat kerja Suasana kreatif

2.9 2.8

0.45 0.36

1.67 10.00

7.50 22.00

0.71 0.82

Keterangan: setiap konstrak terdiri atas 6 butir pernyataan yang valid.

360

Mieske Theresia Tulung dan L. Kaluge, Suasana Kerja dan Pengaruh Kepemimpinan dalam Konteks Pendidikan Dasar

Tabel 2. Interkorelasi Konstrak Persepsi Aktivitas Kepemimpinan Kontingensi (N = 386)

JLS ARH DSP MMN LBT DNG DKN BRD

JLS 1.00 .595 .424 .448 .283 .124 .387 .233

ARH 1.00 .481 .461 .399 .010* .466 .218

DSP

MMN

LBT

DNG

DKN

BRD

1.00 .622 .334 .159 .494 .247 1.00 .339 .156 .445 .211 1.00 .094* .416 .179 1.00 .202 .136 1.00 .298 1.00

Keterangan: JLS=menjelaskan, ARH=mengarahkan, DSP=mendisiplinkan, MMN= memantau, LBT=melibatkan, DNG=mendengarkan, DKN=mendukung, BRD=memberdayakan. Semua koefisien signifikan, p<0,01 kecuali yang bertanda* memiliki p>0,05 sehingga tidak signifikan.

Penggunaan analisis regresi dimaksudkan untuk memp redi ksi nila i va riab el t erik at berdasarkan nilai variabel bebas atau prediktor. Gambaran tentang pengaruh atau hubungan kausal variabel prediktor (menjelaskan, mengarahkan, mendisiplinkan, memantau, melibatkan, mendengarkan, memberi dukungan dan memberdayakan) terhadap suasana kerja sekolah (dorongan semangat kerja, dan penciptaan suasana kreatif) diperoleh lewat analisis regresi ganda. Ana lisi s re gresi ha nya tepa t di guna kan apabila memenuhi asumsi dasar tertentu. Asumsi itu ialah adanya hubungan linear, data terdistribusi secara normal dan heteroskedasitas. Pengujian asumsi itu telah dilakukan dan ternyata hasilnya memenuhi syarat penggunaan analisis regresi ganda.

Dalam hal dorongan semangat, pada Tabel 3, tampak tiga faktor yang signifikan, yaitu mendisipli nkan, me ndengark an, dan memb eri dukungan; sedangkan empat faktor lainnya, yaitu: menjelaskan, mengarahkan, memantau, melibatkan, dan memberdayakan tidak signifikan. Koefisien regresi sebesar 0,169 (mendisiplinkan), 0,112 (mendengarkan) dan 0,212 (mendukung) menggambarkan besarnya pengaruh faktor-faktor tersebut terhadap tingkat keefektifan kepribadian ke pala sek olah dal am mela ksanakan kep emim pina nnya . Koefisien R2 pa da Tabel 3 menunjukkan bahwa kontribusi faktor-faktor pada variabel bebas secara bersama-sama terhadap tingkat keefektifan kepribadian sebesar 16,2%, suatu gambaran yang moderat.

Tabel 3. Regresi Ganda antara Dorongan Semangat Kerja dan Kepemimpinan Kepala Sekolah

Estimasi regresi Variabel bebas X1-Menjelaskan X2-Mengarahkan X3-Mendisiplinkan X4-Memantau X5-Melibatkan X6-Mendengarkan X7-Mendukung X8-Memberdayakan B -.031 .074 .169 .024 -.002 .112 .212 .072 SE B .068 .054 .074 .061 .045 .047 .073 .043 Beta -.027 .086 .144 .024 .002 .113 .172 .083

Kebermaknaan t -.452 1.344 2.269 .390 .052 2.344 2.905 .692 Signifikansi .65 .18 .02* .69 .95 .02* .003* .09

Intersep =0.964 (SE= 4.487);

R2= .162; F = 9.473 (df = 9), p < 0,000

Keterangan: * signifikan (p <0,05).

361

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012

Tabel 4. Regresi Ganda antara Suasana Kreatif dan Kepemimpinan Kepala Sekolah

Estimasi regresi Variabel bebas X1-Menjelaskan X2-Mengarahkan X3-Mendisiplinkan X4-Memantau X5-Melibatkan X6-Mendengarkan X7-Mendukung X8-Memberdayakan B .045 .103 .095 .063 .056 .083 .106 .097 SE B .049 .039 .054 .044 .033 .034 .053 .031 Beta .051 .155 .104 .083 .084 .107 .111 .142 t

Kebermaknaan Signifikansi .65 .17 .02* .69 .95 .02* .003* .01* p < 0,000 .912 2.601 1.762 1.432 1.704 2.393 2.007 3.121

Intersep = 0.976 (SE = 0.156); R2= 0,28; F =19.049 (df = 9), Keterangan: * signifikan (p <0,05).
Suasana sekolah yang kreatif, pada Tabel 4, secara signifikan dipengaruhi oleh empat faktor. Kee mpat fak tor itu, yak ni m endi sipl inka n, mendengarkan, memberi dukungan, dan memberdayakan. Koefisien regresi masing-masing sebesar 0,095 (mendisiplinkan), 0,083 (mendengarkan), 0,106 (memberi dukungan), dan 0,097 (memberdayakan). Determinasi kelima faktor tersebut sebesar 28%. Secara umum dap at d ikat akan bahwa: 1) mendorong semangat kerja dipengaruhi oleh perilaku mendisiplinkan, mendengarkan, memberi dukungan dan memberdayakan; dan 2) suasana kreatif dipengaruhi oleh perilaku menjelaskan, memantau, melibatkan, mendengarkan, dan memberdayakan. Patut diwaspadai, pemberian dukungan tidak selalu berdampak positif. Dalam upa ya m endorong sem anga t ke rja, mal ah pemberian dukungan berpengaruh negatif dan signifikan. Dengan kata lain, pemberian dukungan dari pihak kepala sekolah dapat menurunkan semangat kerja para staf pendidik. Tiga hal yang hendak diulas dalam pembahasan ini, yakni pelaksanaan dan pengaruh kepemimpinan kontingensi kepala sekolah serta keterbatasan penelitian untuk peluang tindak lanjut. Pertama, pelaksanaan kepemimpinan kontingensi kepala sekolah. Perilaku kepemimpinan kontingensi yang ditunjukkan melalui kemampuan para kepala sekolah dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya sudah mencerminkan suatu pola kerja yang dapat meningkatkan mutu pendidikan ke arah yang lebih baik. Denga n perilaku tersebut ditunjukkan 362

bahwa pada saat tertentu para kepala sekolah mampu mengambil gaya kepemimpinan yang paling tepat sesuai dengan kondisi yang terjadi, sehingga kepemimpinannya efektif. Pada keadaan tertentu gaya yang satu lebih menonjol daripada gaya yang lainnya, dan ini tergantung pada ba waha n ya ng d ihad api sert a pa da t ingk at kedewasaan bawahan tersebut. Keyakinan ini dibuktikan dengan besarnya persentase para kep ala sekolah yang mem ilik i ke mamp uan menerapkan perilaku kepemimpinan kontingensi yang sangat tinggi sesuai dengan lingkungan pendidikan dasar. Temuan ini didukung oleh teori Hersey dan Blanchard (Hersey, Blanchard, & Johnson, 2012) yang mengemukakan bahwa kepemimpinan yang efektif dapat diwujudkan melalui kemampuan memilih dan menyerasikan perilaku atau gaya kepemimpinan yang tepat berdasarkan tingkat kesiapan (readiness) dan kematangan (maturation) anggota organisasi atau bawahan. Tinggi rendahnya tingkat kematangan kelompok turut menentukan ke m ana kece nder unga n ga ya ke pemi mpinan diarahkan. Dari temuan penelitian ini terungkap bahwa pemilihan dan penggunaan gaya kepemimpinan harus disesuaikan dengan situasi dan kondisi masing-masing sekolah. Semakin mampu kepala sekolah menyesuaikan kepemimpinannya dengan situasi dan kebutuhan para bawahannya, semakin efektif ia dapat mencapai tujuan yang telah ditetapkan sekolahnya (Raharjo, 2008; Safari, 2008). seora ng pemi mpin har us

Mieske Theresia Tulung dan L. Kaluge, Suasana Kerja dan Pengaruh Kepemimpinan dalam Konteks Pendidikan Dasar

Penelitian ini menemukan bahwa para kepala se kola h te lah memi liki kem ampuan d an ke tera mpil an y ang bai k untuk mewujudk an peranannya sebagai pemimpin dalam upaya memajukan dan meningkatkan suasana kerja di sekolahnya. Dengan kata lain, bahwa para kepala sekolah mampu melaksanakan perannya secara profesional. Hal ini sejalan dengan pendapat yang dikemukakan Sanusi dkk (dalam Winardi, 2000) bahwa kepemimpinan kepala sekolah yang efektif sesungg uhny a ad alah kep emim pina n ya ng profesional. Untuk disebut sebagai kepala sekolah yang profesional diperlukan persyaratan yang khusus, yaitu: 1) kemampuan untuk menjalankan tanggung jawab yang diserahkan kepadanya; 2) kemampuan untuk menerapkan keterampilanketerampilan konseptual, manusiawi dan teknis; 3) kemampuan memotivasi para bawahan untuk be kerj a sa ma secar a sukare la; dan 4) k emampuan untuk memahami implikasi-implikasi dari pe ruba han pendidikan. Hasil penelitian ini juga mendukung hasil penelitian terdahulu, yaitu Sulaiman (1992) yang mem perl ihat kan adanya hubungan anta ra perilaku kepemimpinan dengan semangat kerja guru dan Darmadi (1994) yang menyatakan bahwa perilaku kepemimpinan akan sangat efektif dalam mengarahkan guru; serta Ekosiswoyo (2007) yang mengungkapkan bahwa kepemimpinan, upaya-upaya strategis demi penciptaan kondisi yang kondusif memungkinkan kepala sekolah memiliki motivasi untuk berprestasi yang tinggi. Di samping itu, komunikasi antara pribadi perlu menjadi keterampilan dasar bagi calon kepala sekolah. Ketiga penelitian tersebut sama-sama menunjukkan bahwa k epem impi nan kepa la se kola h sa ngat ber pengaruh te rhad ap k eefektifan pengelolaan sekolah. Kedua, pengaruh kepemimpinan kontingensi kepala sekolah . Hasil analisis data memperlihatkan ba hwa faktor-faktor ke pemimpinan kontingensi berhubungan fungsional dan efektif terhadap suasana kerja di sekolah. Kenyataan ini memberikan pemahaman bahwa keefektifan kepemimpinan kepala sekolah tidak berdiri sendiri, melainkan sangat dipengaruhi oleh elemenelemen kegiatan berupa interaksi sosial yang terjadi di antara pemimpin dan bawahan dengan sosi al, ekonomis, politi k, d an

komponen yang lain dalam sekolah. Namun, pengaruh dari beberapa faktor tersebut tidak semua pada tingkatan yang sama, artinya nilai yang dihasilkan ada perbedaan antara satu faktor dengan faktor yang lain. Bahkan, ada beberapa fa ktor yang ti dak memi liki pengaruh ya ng signifikan. Hal ini dapat dimengerti karena adanya perbedaan karakteristik individu yang berinteraksi di dalam sekolah. Masalah semangat kerja amat penting dalam setiap usaha kerja sama sekelompok orang dalam mencapai tujuan tertentu dari kelompok tersebut. Temuan dalam penelitian ini menunjukkan bahwa hub unga n antara gay a ke pemi mpinan d an semangat kerja kelompok timbul di antaranya dengan memb erik an d orongan, sed angk an dorongan itu sendiri adalah kegiatan pimpinan. Temuan ini mendukung penelitian Sulaiman (1992) dan Sulton (2006) yang mengatakan salah satu faktor yang berhubungan dengan semangat kerja bawahan adalah bagaimana hubungan antara bawahan dengan pemimpinnya. Dengan kata lain, salah satu faktor yang berpengaruh terhadap sem anga t ke rja bawa han adal ah p eril aku kepemimpinan atasannya. Dalam konteks ini kepala sekolah sebagai pem impi n da lam suat u se kola h me mpunyai peranan yang penting dalam memberi dorongan semangat kerja guru-guru yang dipimpinnya. Hal ini sejalan dengan temuan Diana (2009) bahwa ke pala sek olah seb agai fig ur k unci dal am me ndor ong sekolah. Berdasarkan hasil penelitian ini diketahui bahwa terdapat tiga faktor signifikan terhadap semangat kerja, yaitu mendisiplinkan, mende ngar kan, dan mem ber i dukung an. Fakt or menj elaska n, mengarahk an, me mantau dan melibatkan, dan memberdayakan bawahan tidak signifik an. Faktor-fakt or tidak signif ikan ini di kare naka n: 1 ) me njel aska n ti dak bany ak dibutuhkan jika sekolah memiliki bawahan yang terlatih-profesional, berpengalaman dan terampil melakukan pekerjaannya; 2) kepala sekolah cend erung me mbiarkan staf m engalami kebingungan/kesulitan dalam tugas; 3) kepala sek olah menga wasi guru terla lu ke tat; dan 4) kepala sekolah kurang melibatkan guru/staf dalam pengambilan suatu kebijakan. perk emba nga n da n ke majuan

363

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012

Salah satu kondisi yang dapat mendukung terciptanya suasana sekolah yang kondusif, yaitu pra ktik kep emim pina n. Seora ng p emim pin memperlakukan bawahan sesuai dengan bakat dan keterampilan, kemampuan dan minat masingmasing dan memberi dorongan sehingga mereka leluasa untuk mengemukakan keluhan, pendapat, ha rapa n ya ng semua nya itu mendukung lancarnya proses pencapaian tujuan sekolah (Durrant, Ekins, Grimes, & Precey, 2009; Hulpia & Devos, 2009). Dengan kata lain, dalam rangka membina proses pengajaran, kepala sekolah berperan penting. Melalui kepemimpinan kepala sek olah seg enap pot ensi sta f he ndak nya dikembangkan dan dimanfaatkan untuk membina mutu organisasi. Temuan dalam penelitian ini menunjukkan bahwa hubungan antara gaya kepemimpinan dan menciptakan suasana sekolah yang kreatif sangat signifikan dalam mengefektifkan suatu sekolah. Hal ini didukung oleh pendapat beberapa penulis (Goleman, 2003; Holtapples, 2009; Hoy & Miskel, 2008) bahwa untuk mengejar segala ketinggalan akibat pergeseran ilmu pengetahuan teknologi dan peradaban manusia yang begitu drastis, dip erlukan orang-or ang yang mem puny ai kreativitas tinggi. Untuk menumbuhkan sikap demikian sangat ditentukan pula oleh tindaktanduk kepemimpinan yang mampu membangkitkan kreativitas orang-orang yang dipimpinnya (Watson & Scribner, 2007). Berdasarkan hasil penelitian ini empat faktor berpengaruh terhadap suasana sekolah yang kreatif, yakni mendisiplinkan, mendengarkan, memberi dukungan, dan memberdayakan. Faktor menjelaskan, mengarahkan, dan memantau tidak signifikan. Ketidaksignifikansi tersebut disebabkan oleh 1) kegiatan menjelaskan dan mengarahkan merupakan suatu usaha untuk menjaga agar apa yang direncanakan dapat berjalan seperti yang dikehendaki. Bila hal ini terlalu dominan dilakukan oleh pemimpin atau hanya terjadi komunikasi satu arah maka akan mengurangi peluang untuk menciptakan suasana sekolah yang kreatif karena ba waha n be rsif at p asi f; d an 2 ) ke giat an memantau menjadi tidak efektif karena kepala sekolah cenderung mencari kesalahan dan tidak memotivasi guru untuk mengembangkan dan menyalurkan bakat serta potensi yang dimiliki.

Implikasi temuan ini terhadap keefektifan kepemimpinan adalah: diharapkan para kepala sekolah tidak hanya membuat aturan-aturan dan pedoman yang jelas, melainkan juga dituntut untuk menciptakan suasana kerja yang harmonis. Suasana kerja demikian bercirikan suasana penuh keakraban di antara personalia sekolah, mempercayai, dan mendorong staf agar melaksanakan tugas- tuga snya secara ber tang gung jaw ab (McBeth, 2005; Precey & Entrena, 2011). Dalam suasana seperti itu, para staf diberi peluang dan dukungan mengembangkan kemampuannya agar berunjuk kerja sebaik mungkin dan bertumbuh secara berk elanjuta n se hing ga m enca pai pengembangan karier yang maksimal dan optimal. Ket iga, kete rbata san Penel itia n. Kep emimpinan merupakan katalisator bukan pada level individu melainkan pada level lembaga. Penelitian ini masih terbatas pada analisis datar (flat) di mana data para guru dari berbagai sekolah dipadukan dan dianalisis. Hal ini amat lumrah dan terbiasa dilakukan oleh kebanyakan penelitian di negara sed ang berk emba ng, teta pi sesungguhnya mengandung kelemahan serius (Creemers & Kyriakides, 2010). Dengan cara demikian peneliti tida k mampu menganal isis da n mencer mati variabel mana yang berpengaruh terhadap individu gur u, d an m ana yang ber peng aruh besar terhadap suatu lembaga secara umum. Besarnya sumbangan setiap variabel pada masing-masing level tidak dapat diestimasi. Padahal informasi per jenjang tersebut amat penting bagi pembenahan sek olah dan pengemb anga n ke bija kan pendidikan. Te muan dar i pe neli tian dem ikia n bi sa mengungkap lebih banyak apabila menggunakan pendekatan kualitatif. Padahal penelitian ini bersifat kuantitatif semata. Oleh karena itu, data dan analisis kualitatif belum tersentuh dengan baik. Persepsi para guru terkadang tidak dapat didalami dengan mudah karena baru sekedar ekspresi individual, yang masih perlu direnungkan ata u di refl eksi kan lebi h me ndal am seper ti didemonstra sikan oleh Elmeski ( 2012), dan Holtappels (2009). Apalagi dengan banyaknya sam pel sekolah dari beb erap a se tting m emungkinkan terjadinya analisis multisitus, hal tersebut belum dilakukan dalam studi ini.

364

Mieske Theresia Tulung dan L. Kaluge, Suasana Kerja dan Pengaruh Kepemimpinan dalam Konteks Pendidikan Dasar

Simpulan dan Saran Simpulan Simpulan utama merupakan jawaban umum terhadap masalah penelitian yang diutarakan di depan. Ada tiga pertanyaan yang akan dijawab satu per satu dalam konteks pendidikan dasar. Pertama, tentang suasana kerja di sekolah, suasana kreatif paling tinggi (82%) diikuti oleh dorongan semangat kerja (77%). Secara umum suasana kerja di sekolah termasuk positif tinggi. Kedua, gambaran persepsi kepemimpinan para kepala sekolah sebagai berikut. Yang memenuhi

Saran Berdasarkan temuan dan diskusi keterbatasan penelitian ini, diajukan beberapa saran berikut. Pertama, bagi kepala sekolah agar penerapan kepemimpinan kontingensi lebih cermat memperhatikan kondisi kesiapan dan kematangan bawahan. Kedua, dalam situasi perkembangan teknologi komunikasi yang amat unik dan cepat sa at i ni, perl u fl eksi bili tas pimp inan unt uk menyesuaikan pola tindak kepemimpinannya yang bervariasi dan tidak monoton. Ketiga, untuk kepentingan penelitian perlu pengembangan desain hirarkis dari level individu sampai pada level institusi dan geografis; serta pengujian pengaruh langsung dan tidak langsung yang lebih cermat termasuk kondisi berbagai level penelitian. Di samping itu, masih perlu masukan imbangan terkait dari penelitian yang bersifat kualitatif untuk mem perk aya wawa san dan disk usi tent ang pembinaan serta pengembangan suasana kerja para guru dari segi kepemimpinan situasional.

krit eria sangat t inggi ialah telling dan selling ,


kriteria tinggi adalah participating dan delegating, sedangkan agak tinggi adalah monitoring. Ketiga, tidak semua komponen persepsi kepemimpinan kontingensi berpenga ruh terhadap pengembangan suasana kerja para guru di sekolah. Faktor mendisiplinkan, mendengarkan, dan memberi dukungan kepada para guru berpengaruh secara berarti terhadap upaya mendorong semangat kerja. Terhadap penciptaan suasana kerja yang kreatif, faktor-faktor yang signifikan adalah mendisi plinkan, mendeng arka n, m embe ri dukungan, dan memberdayakan staf.

Pustaka Acuan Adams, B. 2006. Memahami Segalanya tentang Kepemimpinan (Terjemahan oleh A. Sindoro). Batam: Penerbit Karisma Publishing Group. Agung, I. 2009. Sekolah sebagai Organisasi Pembelajar (Learning Organization): Strategi Peningkatan Mutu Pendidikan. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, 15(2), 281-312. Clarke, P. 2009. Sustainability and Improvement: A Problem of Education and for Education. Improving Schools. 12(1), 11-17. Creemers, B.P.M., & Kyriakides, L. 2010. Improving Quality in Education: Dynamic Approaches to SchoolI improvement. London: Routledge as an imprint of Taylor & Francis Group. Darmadi, H. 1994. Studi Hubungan antara Perilaku Kepemimpinan Kepala Sekolah dengan Kepuasan Kerja Guru pada Sekolah Menengah Atas Negeri Kotamadya Pontianak. Tesis tidak dipublikasi. Program Pascasarjana IKIP Malang. Diana, N. 2009. Pengaruh Kepemimpinan, Lingkungan Kerja dan Motivasi Kerja terhadap Kepuasan Guru. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, 15(4), 684-705. Durrant, J., Ekins, A., Grimes, P., & Precey, R. 2009. Leadership, Learning and Inclusion: Exploring Innovative Approaches to School Improvement. Paper Presented at the ICSE Conference, 4-7 January 2009, Vancouver-Canada.

365

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012

Ekosiswoyo, R. 2007. Kepemimpinan Kepala Sekolah yang Efektif Kunci Pencapaian Kualitas Pendidikan. Jurnal Ilmu Pendidikan, 14(2), 76-82. Emy. 2012. Pendidikan Kualitas Guru Masih Rendah. (http://www.sstv.co.id/pendidikan-kualitas-gurumasih-rendah)., diakses 17 Juni 2012) Elmeski. M. 2012. The Art of the Possible in the Leadership of Place in Morocco: Case Studies from Three Urban Schools. ICSEI conference paper, Malmo Swedia, 5-8 January 2012. Fink, D., & Brayman, C. 2006. School leadership succession and the challenges of change. Educational Administration Quarterly, 42 (1), 62-89. Fraenkel, J. R., & Wallen, N.E. 2008. How to Design and Evaluate Research in Education. New York: McGraw-Hill. Goleman, D. 2003. Kepemimpinan yang Mendatangkan Hasil (Terjemahan oleh P. D. Nugraheny). Yogyakarta: Penerbit Amara Books. Hersey, P., Blanchard, K.H., & Johnson, D.E. 2012. Management of Organizational Behavior: Leading Human Resources. Englewood Cliffs, N.J.: Prentice Hall. Holtappels, H. G. 2009. School Improvement through Leadership and Professional Collaboration in SelfManaging Schools. Paper presented at the ICSEI Conference, 4-7 January 2009, VancouverCanada. Hoy, W. K., & Miskel, C.G. 2008. Educational Administration: Theory, Research, and Practice. New York: McGraw-Hill. Hulpia, H., & Devos, G. 2009. Does Distributed Leadership Affect Teachers Organizational Commitment? A Multilevel Analysis. Paper presented at the ICSEI Conference, 4-7 January 2009, VancouverCanada. Ismail, H. 2006. Hubungan antara Persepsi terhadap Dunia Usaha, Kecerdasan Emosional, Sikap terhadap Profesi Akuntan dan Motivasi Berprestasi Mahasiswa Akuntansi. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, 12(61), 448-472. Ivancevich, J.M., Konopaske, R., Matteson, M.T. 2005. Organizational Behavior and Management. New York: McGraw-Hill. Koster, W. 2006. Membangun Kemandirian dan Peradaban Bangsa melalui Pendidikan. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, 12(61), 500-511. McBeath, J. 2005. Leadership as Distributed: A Matter of Practice. School Leadership and Management, 25(4), 349-366. Mehrens, W. A., & Lehmann, I.J. 1984. Measurement and Evaluation in Education and Psychology. New York: Holt, Rinehart and Winston. Nawawi, H. H. 2003. Kepemimpinan Mengefektifkan Organisasi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Owens, R. G. 2004. Organizational Behavior in Education - Adaptive Leadership and School Reform. Boston, MA: Pearson Education, Inc. Precey, R., & Entrena, M.J.R. 2011. Developing the Leaders We Want to Follow: Lessons from an

366

Mieske Theresia Tulung dan L. Kaluge, Suasana Kerja dan Pengaruh Kepemimpinan dalam Konteks Pendidikan Dasar

International Leadership Development Programme. ICSEI Conference Paper, Limassol-Cyprus 47 January 2011. Purwanto, N. 2003. Administrasi dan Supervisi Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Raharjo, S. B. 2008. Pengaruh Motivasi Berprestasi, Pengetahuan Pengelolaan Informasi, Gaya Kepemimpinan dan Etos Kerja terhadap Daya Saing Kepala Sekolah Dasar di Kota Malang, Jawa Timur (2004). Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, 14(74), 868-887. Safari. 2008. Leadership Kepala Sekolah dan Tingkat Penguasaan Guru terhadap Materi Ujian Nasional. Jurnal Universitas Paramadina, 5(3), 232-242. Sidi, I. D. 2001. Menuju Masyarakat Belajar, Menggagas Paradigma Baru Pendidikan. Jakarta: Paramadina. Sion, H. 2007. Hubungan Keterampilan Manajerial Kepala Sekolah dan Kepuasan Kerja Guru dengan Performansi Mengajar Guru. Jurnal Ilmu Pendidikan, 14(2), 83-90. Sulaiman. 1992. Hubungan antara Perilaku dan Semangat Kerja Guru-guru Sekolah Dasar Negeri di Kotamadya Banjarmasin. Tesis tidak dipublikasi. Program Pascasarjana IKIP Malang. Sulton, H. M. 2006. Kontribusi Perilaku Kepemimpinan dan Perilaku Supervisi Kepala Sekolah terhadap Semangat Kerja Guru Sekolah Dasar di Kabupaten Jember. Pancaran Pendidikan, 19(63), 438447. Suradji, A. 2010. Pemimpin, Keberanian dan Perubahan. Kompas, 6 September, hlm. 6. Suryosubroto, B. 2004. Manajemen Pendidikan di Sekolah. Jakarta: PT Rineka Cipta. Tirtamihardja. 2005. Seni Kepemimpinan Mendengarkan adalah Emas. Tangerang: YASKI. Wedhaswary, I.D. 2012. Kualitas Guru Masih Rendah. (http://edukasi.kompas.com/read/2012/03/07/ 08304834/Kualitas.Guru.Masih.Rendah, diakses 20 Mei 2012) Watson, S. T., & Scribner, J. P. 2007. Beyond Distributed Leadership: Collaboration, Interaction, and Emergent Reciprocal Influence. Journal of School Leadership, 17(4), 443-468. Winardi. 2000. Kepemimpinan dalam Manajemen. Jakarta: PT Rineka Cipta. Wiyono, B. B. 2000. Gaya Kepemimpinan Kepala Sekolah dan Semangat Kerja Guru dalam Melaksanakan Tugas Jabatan di Sekolah Dasar. Jurnal Ilmu Pendidikan, 27(1), 71-83.

367

Daftar Isi Daftar Vol. 18, Nomor 2,Isi Juni 2012


Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012
Editorial ........................................................................................................................................ Subijanto Lembar Abstrak ............................................................................................................................ Suasana Kerja dan Pengaruh Kepemimpinan dalam Konteks Pendidikan Dasar ............................... Mieske Theresia Tulung dan L. Kaluge Peningkatan Pemahaman Konsep Grafik Fungsi Trigonometri Siswa SMK melalui Penemuan ............ Terbimbing Berbantuan Software Autograph Sahat Saragih dan Vira Afriati Kinerja Kepala Sekolah dan Guru dalam Mengimplementasikan Pendidikan Inklusif ......................... Munawir Yusuf Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Melalui Model Kooperatif NHT di Kelas X ...................................... SMA Negeri 1 Beduai Kabupaten Sanggau Ahmad Jamalong Pengembangan Model Pembelajaran Sejarah SMA Berbasis Pendidikan Karakter di Solo Raya ......... Leo Agung S. Pengembangan Paket dan Strategi Pembelajaran IPA melalui Permainan Tradisional ....................... untuk Siswa Kelas 3 SD di Daerah Rawan Bencana Sri Tatminingsih dan Sudarwo Pengembangan Kurikulum sebagai Intervensi Kebijakan Peningkatan Mutu Pendidikan .................... Bambang Indriyanto Pelaksanaan Pendidikan Kewirausahaan di Pendidikan Tinggi .......................................................... Siswo Wiratno Muatan Pendidikan Holistik dalam Kurikulum Pendidikan Dasar dan Menengah ................................ Herry Widyastono Dikotomi Bebas Nilai dan Nilai Pendidikan dalam Pembelajaran Sejarah .......................................... Yudi Setianto Indeks .......................................................................................................................................... ii-iv

v-xxvii 353-367

368-381

382-393

394-411

412-426

427-439

440-452

453-466

467-476

477-488

489-495

Editorial
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan Edisi-ke 4 Bulan Desember 2012 ini menyajikan sepuluh artikel dari hasil penelitian dan kajian sebagai berikut.

Mieske Theresia Tulung dan L. Kaluge memaparkan hasil penelitiannya tentang suasana kerja dan pengaruh kepemimpinan dalam konteks pendidikan dasar, menunjukkan bahwa delapan konstrak kepemimpinan dan dua konstrak suasana kerja terbukti valid dan reliabel. Dengan rentangan 0-4, rerata suasana kerja di sekolah sebesar 2,9 untuk semangat kerja, dan 2,8 untuk suasana kreatif. Dengan rentangan yang sama, rerata kedelapan subskala kepemimpinan berkisar 2,55 dan 3,19. Analisis regresi mengungkapkan tidak semua komponen kepemimpinan merupakan faktor signifikan untuk pengembangan suasana kerja di sekolah. Kepemimpinan yang mendisiplinkan, mendengarkan, dan mendukung berpengaruh signifikan terhadap semangat kerja para guru. Pengembangan suasana kreatif dipengaruhi secara signifikan oleh kepemimpinan yang mendisiplinkan, mendengarkan, mendukung, dan memberdayakan. Hasil penelitian Sahat Saragih dan Vira Afriati tentang peningkatan pemahaman konsep grafik fungsi trigonometri siswa SMK melalui penemuan terbimbing berbantuan software autograph menunjukkan bahwa: 1) peningkatan pemahaman konsep siswa pada grafik fungsi trigonometri yang memperoleh pendekatan penemuan terbimbing berbantuan software autograph lebih tinggi dari siswa yang memperoleh pendekatan biasa; dan 2) ketuntasan dan aktivitas belajar siswa yang memperoleh pendekatan penemuan terbimbing berbantuan software autograph lebih tinggi dari siswa yang memperoleh pendekatan biasa. Munawir Yusuf memaparkan hasil penelitian tentang pengembangan model evaluasi diri sekolah inklusi untuk meningkatkan kinerja kepala sekolah dan guru menunjukkan bahwa: 1) kinerja kepala sekolah dalam mengimplementasikan pendidikan inklusif berada dalam kategori sedang dan tinggi; 2) kinerja guru kelas dalam mengimplementasikan pendidikan inklusif berada dalam kategori sedang dan rendah; 3) content materi evaluasi diri sekolah inklusi yang disetujui kepala sekolah ada 61 butir (96,8%) dan tidak disepakati ada 2 butir ( 3,2%); 4) content materi evaluasi diri sekolah inklusi yang disetujui guru ada 39 butir (81,25%) dan tidak disepakati ada 9 butir (18,75%). Penelitian Ahmad Jamalong tentang meningkatkan hasil belajar siswa melalui model kooperatif numbered heads together (NHT) di kelas x SMA Negeri 1 Beduai, Kabupaten Sanggau menunjukkan bahwa hasil belajar siswa sebelum dilaksanakan tindakan tidak ada satu pun siswa yang mencapai tingkat ketuntasan. Setelah dilaksanakan tindakan pada siklus I terjadi peningkatan hasil belajar pada siswa yang mencapai ketuntasan sebanyak 11 siswa (34,38%) dan tindakan pada siklus II terdapat 20 siswa (54,82%) yang mencapai ketuntasan belajar. Hal ini menyatakan bahwa model Kooperatif Numbered Heads Together (NHT), sangat efektif dapat meningkatkan hasil belajar siswa khususnya pada pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn). Leo Agung S. memaparkan hasil penelitiannya tentang pengembangan model pembelajaran Sejarah SMA berbasis pendidikan karakter di Solo Raya, menunjukkan bahwa: 1) tujuan pembelajaran Sejarah menanamkan semangat kebangsaan, cinta bangsa dan tanah air; materi sesuai dengan Standar Isi; metode ceramah bervariasi, media power point, film dan Liquid Crystal Display, sedangkan evaluasinya masih banyak ke aspek kognitif; 2) faktor pendukung pembelajaran Sejarah yaitu adanya model-model pembelajaran inovatif, faktor penghambatnya buku BSE yang minim, dan adanya diskriminatif mata pelajaran; 3) sebagian besar guru-guru SMA telah memahami model-model pembelajaran, dan 4) tersusunnya model Kritis, Kreatif, Berantai dan berkarakter (KKBB). Hasil penelitian Tatminingsih dan Sudarwo tentang pengembangan paket dan strategi pembelajaran IPA melalui permainan tradisional untuk siswa kelas 3 SD di daerah rawan bencana,

ii

menunjukkan bahwa hampir semua siswa tidak mengenal permainan tradisional di wilayahnya, namun terdapat beberapa permainan tradisional yang masih dikenal oleh masyarakat di Kecamatan Kadudampit, di antaranya Oray-orayan, Cing Ciripit, Pacici Putri, Sonda dan Egrang. Karakterisitik siswa SD di daerah rawan bencana umumnya pasif dan kurang kreatif, bergantung pada guru. Paket pembelajaran yang sesuai siswa kelas 3 SD di wilayah rawan bencana berupa bahan ajar cetak, buku bergambar, dan video. Hasil ujicoba menunjukkan adanya peningkatan pemahaman siswa terhadap materi pembelajaran IPA untuk materi Banjir sebesar 0,58 dan untuk materi gempa bumi sebesar 0,76. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan paket pembelajaran yang berupa booklet dan buku siswa tentang materi mitigasi dan sanitasi terkait bencana banjir dan gempa bumi yang disampaikan melalui permainan tradisional membantu siswa dalam memahami materi tersebut. Bambang Indriyanto mengkaji tentang pengembangan kurikulum sebagai intervensi kebijakan peningkatan mutu pendidikan, menunjukkan bahwa kurikulum dapat menjadi titik tolak bagi peningkatan mutu pendidikan dengan argumentasi bahwa efektivitas implementasi kurikulum tidak hanya terletak pada isi konsep yang komprehensif, tetapi juga pada kondisi kurikulum tersebut akan dilaksanakan. Kondisi tersebut meliputi kompetensi guru dan kecukupan ketersediaan sarana pendidikan pada tingkat sekolah. Pengembangan Kurikulum 2013 yang sedang dilakukan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sedang dicermati oleh anggota masyarakat. Hal ini tentu saja merupakan konsekuensi kurikulum sebagai bagian dari kebijakan pendidikan. Ada yang mempertanyakan tentang konsepnya tetapi ada juga yang setuju dengan ide Pengembangan Kurikulum 2013. Namun demikian, penulis berpendapat bahwa meskipun ada yang tidak setuju dan ada yang setuju, faktor yang mendasari efektivitas pelaksanaan kurikulum yaitu faktor manajemen. Faktor tersebut meliputi: manajemen pada tingkat sekolah dan kelas. Di samping itu, kehadiran teknologi informasi praktis pada setiap aspek kehidupan membawa dampak yang positif terhadap dunia pendidikan. Hasil kajian Siswo Wiratno tentang pelaksanaan pendidikan Kewirausahaan di pendidikan tinggi menunjukkan bahwa: 1) pelaksanaan pendidikan Kewirausahaan di berbagai perguruan tinggi belum dilaksanakan secara optimal, antara lain disebabkan oleh belum optimalnya peran dan fungsi unit pengelola kewirausahaan; 2) kompetensi lulusan perguruan tinggi masih belum sepenuhnya memenuhi harapan dunia kerja, di mana diharapkan para lulusan perguruan tinggi memiliki kompetensi akademik, keterampilan berpikir, keterampilan manajemen dan keterampilan berkomunikasi. Di samping itu, lulusan belum cukup dibekali dengan keterampilan hidup (live skill), kemampuan beradaptasi dan bersosialisasi dengan lingkungan kerja serta belajar sepanjang hayat (life-long education). Herry Widyastono memaparkan hasil kajiannya tentang muatan pendidikan holistik dalam kurikulum pendidikan dasar dan menengah, menunjukkan bahwa: 1) dokumen kurikulum pendidikan dasar dan menengah pada hakikatnya sudah memuat pendidikan holistik, karena prinsip, acuan, dan prosedur pengembangan kurikulum sejalan dengan pengertian, tujuan, dan prinsip pendidikan holistik; 2) pendidikan holistik belum diimplementasikan secara komprehensif dalam pembelajaran. Dalam rangka mengimplementasikan pendidikan holistik dalam pembelajaran, direkomendasikan agar guru dalam melaksanakan pembelajaran tidak hanya mengembangkan ranah pengetahuan, melainkan juga ranah keterampilan dan sikap, melalui pendekatan belajar siswa aktif. Hasil kajian Yudi Setianto tentang dikotomi bebas nilai dan nilai pendidikan dalam pembelajaran Sejarah menunjukkan bahwa dalam konteks sejarah, objektivitas bisa diterjemahkan sebagai kebenaran dan kejujuran, fakta yang direkonstruksi dituntut dikemukakan secara transparan. Namun, dalam ranah pembelajaran Sejarah, sejarah tidak mungkin dikemukakan secara obyektif. Hal ini bukan berarti jika pembelajaran bersifat subjektif ataupun mengingkari fakta. Bagi tujuan yang lebih bijaksana, polarisasi sejarah yaitu dalam rangka menumbuhkan nasionalisme, patriotisme serta tujuan-tujuan pendidikan lainnya, tidak mungkin disandingkan dengan sejarah sebagai alat legitimasi konflik sosial bahkan disintegrasi bangsa. Ilmu Sejarah tetap bersifat objektif dalam mengungkap fakta sejarah, sementara itu tujuan pelajaran Sejarah merupakan bagian dari tujuan pendidikan. Sejarah sebagai bahan pelajaran harus disusun searah dengan dasar dan tujuan Pendidikan Nasional. Sejarah sebagai mata pelajaran iii

yang mempunyai misi tertentu dan sejarah sebagai ilmu, harus dipadukan dalam konsep yang jelas tanpa mengorbankan prinsip-prinsip salah satunya atau keduanya. Pembelajaran Sejarah menempatkan fakta-fakta sejarah yang disaring, demi tujuan pendidikan agar sejarah menjadikan yang mempelajarinya lebih bijaksana.

Editor Subijanto

iv

Lembar abstrak

LEMBAR ABSTRAK JURNAL PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN VOLUME 18, 2012

375 Al Musanna (Sekolah Tinggi Agama Islam Gajah Putih Takengon, Aceh Tengah, win_moes@yahoo.co.id./ winmoes78@gmail.com) Quo Vadis Praksis Evaluasi Kurikulum: Studi Pendahuluan Terhadap Ranah Kurikulum yang Terlupakan Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Maret 2012, Vol. 18, Nomor 1, hal. 1-11 Abstrak Setiap kurikulum merupakan produk zaman, sehingga keberadaannya senantiasa merepre-sentasikan semangat zaman ketika kurikulum tersebut dikembangkan. Untuk mengetahui relevansi teori dan praktik (praksis) kurikulum dengan tuntutan semangat zaman diperlukan adanya evaluasi kurikulum. Melalui evaluasi kurikulum dapat diketahui apakah kurikulum mampu berkontribusi mempersiapkan peserta didik bertahan hidup dan pada saat bersamaan mampu membekali peserta didik untuk menjalani dan memuliakan kehidupan (nobelling life). Dalam realitas aktualnya, evaluasi kurikulum belum mendapat perhatian proporsional di kalangan akademisi maupun praktisi pendidikan di negara-negara berkembang, termasuk di Indonesia. Untuk itu, upaya memahami dan menyebarluaskan kesadaran mengenai signifikansi evaluasi kurikulum dalam reformulasi kebijakan pendidikan merupakan prasyarat dalam pembenahan pendidikan pada masa-masa mendatang. Tulisan ini bertujuan untuk melakukan studi literatur mengenai dinamika dan kompleksitas teori dan praktik evaluasi kurikulum yang diharapkan dapat memberi secercah terang mengenai salah satu ranah kajian dalam displin ilmu kurikulum. Kata Kunci: evaluasi, kurikulum, positivistik, naturalistik dan pragmatis The curriculum is a product of the time, it has always been a representation of passion of time. The existence of curriculum evaluation plays a strategic role to find out the practical relevance of the curriculum and spirit of the times. The curriculum evaluation can determine not only whether the curriculum can contribute to prepare students to survive but also whether the curriculum is able to equip learners to live a noble life. Actually, the evaluation of the curriculum has not received sufficient attention from both academics and practitioners of education in developing countries, including in Indonesia. Efforts to understand and spread awareness about the significance of curriculum evaluation in reformulation of education policy are prerequisites in the improvement of education. This paper aims to conduct a literature review to give a spotlight on the dynamics of curriculum evaluation praxis. Keywords: curriculum, 375 Hermana Somantrie (hsomantr@hotmail.com/hsomantr@gmail.com) Analisis-Kritis Perlunya Perubahan Kebijakan Terhadap Pelabelan Mata Pelajaran dalam Kurikulum Sekolah Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Maret 2012, Vol. 18, Nomor 1, hal. 12-20 Abstrak Mata pelajaran dalam kurikulum pendidikan dasar dan menengah di Indonesia telah dikelompokkan secara irasional ke dalam dua jenis labeling (penamaan atau pelabelan). Di satu sisi, beberapa mata pelajaran menggunakan label pendidikan; di sisi lain beberapa mata pelajaran tidak menggunakannya. Kedua jenis pelabelan itu perlu dipertanyakan secara kritis melalui pertanyaan filosofis: 1) mengapa pelabelan ini telah terjadi dalam kurikulum sekolah?, dan 2) apa filosofi dasar untuk pelabelan ini? Pada kenyataannya, kurikulum merupakan suatu instrumen penting pendidikan dalam mencapai tujuan pendidikan nasional. Oleh karena itu, semua mata pelajaran dalam kurikulum semestinya mempunyai label pendidikan yang sama atau sebaliknya. Hal ini tampak sebagai suatu masalah krusial dalam dunia pendidikan yang perlu diselesaikan terlebih dahulu sebelum mengembangkan kurikulum baru. Untuk melakukan hal tersebut, semua ahli pendidikan, pengembang kurikulum, birokrasi pendidikan harus memiliki persepktif yang kuat mengenai filsafat pengetahuan. Kata kunci: filsafat, pengetahuan, kurikulum, dan mata pelajaran. The subject matters in Indonesian elementary and secondary education curriculum have been clustered irrationally by two kinds of labeling. On one side, there are some subject matters using education label; on the other side, the rests are without education label. Both kinds of labeling need to be asked critically through philosophical questions: 1) why has this clustering happened in the school curriculum? and 2) what is the basic philosophy for this clustering? As a matter of fact, curriculum is a pivotal instrument of education in attaining the National Education evaluation, positivistic, naturalistic, and pragmatism.

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, 2012

Aim; therefore, all subject matters in the curriculum should have the same education label or should not have one. It seems to be a crucial problem in education world that need to be overcome at the first place before developing a new curriculum. In doing so, all education experts, curriculum developer, and education bureaucracies should have a strong perspective on the matter of knowledge philosophy. Keywords: philosophy; knowledge; perception; conception; curriculum; and subject matters. 375 Bambang Indriyanto (Pusat Penelitian Kebijakan Balitbang, Email: indri_diknas@yahoo.com) Dimensi Pembangunan Karakter Dan Strategi Pendidikan Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Maret 2012, Vol. 18, Nomor 1, hal. 21-33 Abstrak Tujuan penulisan artikel ini adalah untuk mengidentifikasi strategi pendidikan yang mempromosikan pembangunan karakter. Untuk mencapai tujuan tersebut, tulisan ini mengajukan suatu tesis tentang dua peran pendidikan yakni transfer dan transformasi. Peran transfer menekankan pada penyampaian ilmu pengetahuan yang ditujukan untuk mendukung pengembangan kompetensi berpikir analitis, sedangkan peran transformasi menekankan pada penanaman nilai yang mengembangkan kompetensi afektif. Pembangunan karakter yang menjadi pusat perhatian pada tulisan ini berorientasi pada pencapaian kehidupan yang harmonis dan kemampuan mengatasi tantangan ke depan. Dua dimensi pembangunan karakter ini menjadi dasar untuk memelihara stabilitas kehidupan dan kemajuan kehidupan sosial. Kedua dimensi menjadi syarat bagi Indonesia sebagai suatu bangsa dan bangsa Indonesia untuk memasuki kompetisi global. Tulisan ini mengajukan saran bahwa agar strategi pendidikan dapat memberikan sumbangan terhadap dua dimensi pembangunan karakter tersebut yakni pencapaian kehidupan yang harmonis dan kemampuan mengatasi tantangan ke depan maka strategi pendidikan yang dimaksud meliputi misi kurikulum yang komprehensif dan saling berkaitan dengan tujuan dan isi; strategi pengajaran yang relevan, dan penilaian pendidikan yang komprehensif. Kata kunci: karakter, strategi kurikulum, strategi mengajar The objective of this paper is to identify an educational strategy which promotes character buildings. To achieve the objective, this paper proposes a thesis about two roles of education: transferring and transforming. The previous role emphasizes knowledge transfer which boosts analytical thinking competences, while the later emphasizes inculcating values which promotes affective competences. The character buildings being concerned in this matter are oriented in achieving harmonious life and in coping with future challenges. These two dimensions of character building serve as foundations for maintaining social stabilities and social progresses. They are two factors required by the nation of Indonesia and Indonesians to enter a global competition. This paper suggests that the education strategy which contributes to the two dimensions of character building i.e. orientations on achieving harmonious life and coping with future challenges comprise comprehensive and congruence curriculum missions, objectives, and content; relevant teaching strategy, and comprehensive education evaluation. Keywords: characters, curriculum strategy, teaching strategy 371 Hendarman (Balitbang Kemdikbud/FKIP, Universitas Pakuan Bogor email: hendarmananwar@gmail.com) Peran Dewan Pendidikan dalam Meningkatkan Mutu Pelayanan Pendidikan Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Maret 2012, Vol. 18, Nomor 1, hal. 34-44 Abstrak Keberadaan Dewan Pendidikan masih dipertanyakan terkait dengan peningkatan mutu pelayanan pendidikan. Meskipun sudah dibentuk di berbagai provinsi/kabupaten/kota, tampaknya dewan ini masih belum dianggap sebagai mitra bagi berbagai pemangku kepentingan khususnya pemerintah daerah dalam rangka peningkatan mutu pelayanan pendidikan. Penelitian ini mengkaji berbagai kegiatan atau terobosan yang telah dilakukan Dewan Pendidikan khususnya dalam kaitan peningkatan mutu pelayanan pendidikan serta kendala-kendala yang dihadapi untuk melaksanakan peran tersebut. Data dan informasi diperoleh dari data primer dan sekunder yang berasal dari hasil wawancara dan analisis informasi terkait yang dimunculkan dalam berbagai media termasuk surat kabar dan situs-situs. Secara umum, dewan pendidikan telah berpartisipasi dan memberikan kontribusi dalam upaya meningkatkan mutu pelayanan pendidikan dengan merujuk kepada standar nasional pendidikan. Kendalakendala yang dihadapi dewan pendidikan lebih sebagai akibat belum adanya persepsi dan apresiasi yang sama dari pemerintah daerah terhadap keberadaan dan peran dari dewan pendidikan. Kata kunci: dewan pendidikan, mutu pelayanan pendidikan, masyarakat

vi

Lembar abstrak

Board of education has been established the issuance of Minister of National Educations decree number 044/U/ 2002 concerning Board of Education and School Committee and the Government Gazette number 17 year 2010 concerning the implementation and management of education. In principle, this board plays the role as society representatives in improving quality improvement, equality and efficiency of educational management. Also, this board could play as the mediator for the needs and aspiration of society related to educational policies taken by local government and schools. This study focused on the analysis of 2 (two) main research questions, namely to what extent the stakeholders are aware of this board and its roles, and the barriers that this board encounters in its implementation. The findings showed that this board has yet to 1) be the strategic partner of the local government and schools, 2) maximally function in a number of districts/cities, and 3) contribute for the education advancement. It is recommended that the establishment of this board shall be based on the principles of transparent, accountable, and democratic. In addition, it is suggested to encourage the regular meetings between local education authorities and board of education aims for the analysis of critical issues in the local areas for its solutions. Keywords: board of education, educational management, and society 371.2 Handaru Catu Bagus (Puspendik Balitbang Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, e-mail: handcab@gmail.com/ handcab@yahoo.com) Administrasi Ujian Nasional (UN) Dengan Menggunakan Model Computerized Adaptive Testing (CAT) Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Maret 2012, Vol. 18, Nomor 1, hal. 45-53 Abstrak Model Penilaian yang mengabaikan kemampuan variasi individu menyebabkan informasi yang diterima tidak akan optimal. Model computerized adaptive testing (CAT) dapat mengatasi kelemahan ini karena tingkat kesukaran soal menyesuaikan dengan kemampuan penempuh didik. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis efektifitas, efisiensi dan keakuratan model CAT apabila digunakan sebagai alternatif pengganti model penilaian konvensional dalam ujian nasional (UN). Metodologi penelitian adalah kuantitatif komparatif. Penelit ian ini menggunakan data populasi dari jawaban penempuh didik yang mengikuti UN di propinsi Daerah istimewa Yogyakarta (DIY) tahun 2009 dengan mata pelajaran matematika dan fisika. Hasil penelitian ini terlihat bahwa jumlah soal yang dipilih oleh model CAT lebih sedikit dibandingkan dengan model PPT dan soal tersebut menyesuaikan dengan tingkat kemampuan penempuh serta terdapat hubungan yang signifikan dengan model PPT. Oleh karena itu, model CAT lebih efisien dalam hal waktu karena jumlah soal lebih sedikit dibandingkan dengan model PPT, efektif karena menyesuaikan dengan kemampuan peserta dan memiliki keakuratan yang sama dibandingkan dengan model PPT. Kata kunci: komputer, Computerized Adaptive Testing, Ujian Nasional, , penilaian, model adaptif, dan teori respon soal Assessment model that ignores individual variations ability may cause information to be un-optimally received. Model of computerized adaptive testing (CAT) can get over these weaknesses because the level of difficulty of the item is adjusted with the abilities of students. The purpose of this study is to analyze the effectiveness, efficiency and accuracy of CAT models when used as an alternative replacement of conventional assessment models in national examinations (UN). Methodology of this research was quantitative comparative. This research used population of student answers that follow the UN province of Yogyakarta in 2009 with the subjects of mathematics and physics. The results of this study showed that the number of items selected by the CAT model is less than PPT model; the ability is adjusted to the level of participants; and there is a significant correlation with the PPT model.Therefore, CAT model is more efficient in term of time because it has fewer items than PPT model. It is also effective because it is adjusted to the ability of participants yet has the same accuracy compared to the PPT model. Keywords: computerized adaptive testing, national examination, computer, assessment, adaptive model, item response theory. 371.1 Prayekti (prayekti@ut.ac.id) dan Rasyimah (rasyimah@ut.ac.id) Universitas Terbuka Lesson Study Untuk Meningkatkan Hasil Belajar Ilmu Pengetahuan Alam Bagi Siswa Sekolah Dasar Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Maret 2012, Vol. 18, Nomor 1, hal. 54-64 Abstrak Tujuan penelitian ini yaitu untuk meningkatkan hasil belajar IPA siswa sekolah dasar (SD). Pengumpulan data dilakukan pada bulan Maret-April 2011. Peneliti berkolaborasi dengan sekelompok guru IPA kelas IV dan V SD

vii

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, 2012

Negeri

di Jakarta Timur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa setelah lesson study pemahaman para guru menjadi

lebih baik dalam hal: bagaimana siswa belajar dan guru mengajar; pemanfaatan kegiatan refleksi dan pengamatan teman sejawat; pembelajaran secara sistematis berdasarkan refleksi dan masukan dari teman sejawat secara kolaboratif; menimba pengetahuan dari guru lainnya; mendokumentasikan kemajuan kerjanya; memperoleh umpan balik dari teman guru; mampu mempublikasikan dan mendiseminasikan hasil akhir dari lesson study. Hasil yang diperoleh siswa, selain terlibat langsung dalam proses pembelajaran, kreativitas lebih meningkat baik dalam kegiatan diskusi maupun melaksanakan percobaan IPA dengan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan terkait dengan materi yang sedang dibahas. Dalam kegiatan diskusi kelompok nampak siswa-siswa yang lebih menonjol dari temanteman satu kelompoknya, sehingga pembelajaran IPA menjadi hidup dan kegiatan lebih terpusat pada siswa, dan lebih berkembang. Kata Kunci: lesson study, kerja sama, perencanaan, pelaksanaan, refleksi, kegiatan, dan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA). The research objective is to improve science learning outcomes of students in elementary schools. The data was collected in March-April 2011. Researchers collaborated with a group of science teachers in grade IV and V Elementary School in East Jakarta. The results showed the existence of teachers better understanding about how students learn and teachers teach, benefit of the reflection and peer observation, systematic learning improvement based on reflection and input from colleagues in a collaborative manner, knowledge exchange among teachers, teachers documentation of their work progress, feedback exchange among teachers, and publicity and dissemination of the final results of Lesson Study. Meanwhile, the results obtained by students, in addition to direct involvement in the learning process, are the improvement of creativity in both discussion and in the establishment of science experiments upon the posed questions related to the material being discussed. In group discussions, there have been students who stand out their friends in a group. Therefore, the science learning activity becomes developed and focused on students more. Keywords : lesson study, colaborative, plan, do, check, act, and science 371 Ida Kintamani Dewi Hermawan (e-mail idakintamani@yahoo.com) Kinerja Pendidikan Kesetaraan Sebagai Salah Satu Jenis Pendidikan Nonformal Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Maret 2012, Vol. 18, Nomor 1, hal. 65-84 Abstrak Tujuan penulisan ini adalah untuk menganalisis sasaran pendidikan kesetaraan, profil pendidikan kesetaraan, dan kinerja pendidikan kesetaraan. Metode yang digunakan adalah studi dokumentasi menggunakan tiga terbitan, yaitu Profil Pendidikan Kesetaraan dalam Fakta dan Angka, Statistik Pendidikan Nonformal, dan Profil Pendidikan Nonformal. Data yang digunakan pada tingkat nasional dengan menghitung lima indikator pemerataan dan tujuh indikator mutu pendidikan. Kinerja pendidikan kesetaraan diperoleh melalui rata-rata perhitungan nilai pemerataan dan mutu pendidikan kemudian dibagi dua. Hasilnya menunjukkan bahwa pemerataan Paket A yang terbesar dengan nilai 87,22 dan Paket C yang terkecil dengan nilai 79,77 sehingga rata-rata pendidikan kesetaraan sebesar 83,24. Sebaliknya, nilai mutu Paket B yang terbesar dengan nilai 64,61 dan Paket A yang terkecil dengan nilai 48,03 sedangkan rata-rata pendidikan kesetaraan sebesar 54,86. Berdasarkan nilai pemerataan dan mutu maka kinerja Paket B yang terbesar dengan nilai 73,68 dan Paket C yang terkecil dengan nilai 65,85. Dengan demikian, kinerja pendidikan kesetaraan sebesar 69,05 atau hanya tercapai kurang dari 70%. Kata kunci: potensi daerah, pendidikan formal, pendidikan nonformal, pendidikan kesetaraan, kinerja This paper aims to analyze the goals, the profile and the performance of equality education. This study employs the documentation method by using the three publications: facts and figures of educational equality profile, statistics of non-formal education, and profile of non-formal education. This study analyzes the national level data attained by calculating the five indicators of equity and seven indicators of the quality of education. Performance of equality education is attained from the average value of education equity and quality. The results showed that the equity of Package A is the biggest (87.22) and the smallest is Package C (79.77), so that the average value of equity of equality education is 83.24. In contrast, the quality of Package B is the largest (64.61) and Package A is the smallest (48.03) so that the average value of quality of equality education is 54.86. On the basis of the equity and quality value, the largest performance is Package B with the value of 73.68 and the smallest is Package C with the value of 65.85. Thus, the performance of equality education only achieves 69.05 or less than 70%. Keywords: potential regions, formal education, non-formal education, equality education, and performance

viii

Lembar abstrak

371.9 Didi Tarsidi (Universitas Pendidikan Indonesia) Mengatasi Masalah-Masalah Psikososial Akibat Ketunanetraan pada Usia Dewasa Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Maret 2012, Vol. 18, Nomor 1, hal. 85-97 Abstrak Penelitian ini dilakukan berdasarkan berbagai teori dan temuan penelitian yang menyatakan bahwa ketunanetraan yang terjadi pada usia dewasa lebih banyak menimbulkan permasalahan daripada ketunanetraan yang terjadi pada awal kehidupan. Penelitian ini dilakukan untuk menemukan suatu model konseling rehabilitasi yang dapat digunakan untuk membantu para tunanetra dewasa mengatasi secara lebih efektif masalah-masalah psikososial yang diakibatkan oleh ketunanetraannya, agar mereka dapat memperoleh kembali kemandiriannya dan mampu mencapai kehidupan yang bermakna. Model konseling tersebut dikembangkan melalui penelitian yang dilakukan menggunakan exploratory mixed methods research design. Konstruk model dikembangkan berdasarkan data hasil studi kasus terhadap enam orang yang ketunanetraannya terjadi pada usia dewasa dan telah terbukti berhasil dalam kehidupannya, sedangkan model divalidasi dengan expert judgment dan diujicobakan dengan desain singlesubject research pada dua orang klien yang relatif baru mengalami ketunanetraan. Kata Kunci: konseling rehabilitasi, tunanetra dewasa, psikososial, dan strategi coping This research has been conducted based on various theories and research findings revealing that blindness occurring during adulthood cause more problems than that occurring earlier in life. The research has been done to find a rehabilitation counseling model that can be used to help blind adults to more effectively overcome psychosocial problems caused by their blindness so that they will be able to regain their independence and will be able to achieve meaningful life. The rehabilitation counseling Model has been developed through research using exploratory mixed methods research design. The construct of the model has been developed based on the data of case studies on six persons whose blindness occurred during adulthood and they have proved to be successful in their lives. The model has been validated with expert judgment and tried out using single-subject research design on two relatively newly blind clients. Keywords: rehabilitation counseling, adult blindness, and coping strategies. 371.3 Masganti Sit Fakultas Tarbiyah IAIN Sumatera Utara ( masganti@yahoo.com ) Peningkatan Kompetensi Sosial Anak Usia Dini dengan Metode Bermain Peran (Studi Kasus di Raudhatul Athfal Muhajirin-Medan) Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Maret 2012, Vol. 18, Nomor 1, hal. 98-106 Abstrak Tujuan penelitian ini adalah untuk meningkatkan kompetensi sosial anak usia dini dengan menggunakan metode bermain peran. Penelitian dilakukan di Raudhatul Athfal al-Muhajirin pada tahun 2010 dengan jumlah sampel sebanyak 24 orang anak. Penelitian tindakan kelas ini menggunakan model dari Kemmis (1997) dan Taggart dengan tiga siklus. Setiap siklus memiliki empat langkah yaitu:1) perencanaan; 2) tindakan; 3) pengamatan; dan 4) refleksi. Analisis data menggunakan analisis kualitatif dan kuantitatif. Hasil analisis kualitatif menunjukkan bahwa metode bermain peran dilakukan dengan tiga tahapan yaitu bermain peran personifikasi, bermain peran berdua dengan menggunakan media, dan bermain peran dengan situasi sosial. Hasil analisis kuantitatif menunjukkan bahwa terdapat peningkatan nilai rata-rata antara asesmen awal dan akhir tiap siklus pada nilai kompetensi sosial anak usia dini. Kata Kunci: kompetensi sosial, anak usia dini, dan metode bermain peran The objective of this research is to increase early childhoods social competence by using role playing method. The study was conducted at Raudhatul Athfal al-Muhajirin in Medan in the year of 2010 with n = 24. This classroom action research was using Kemmis and Taggart (1997) model with three cycles. Each cycle has four steps. They are follows: 1) plan; (2) action; 3) observe; and 4) reflect. To analyze the data, qualitative and quantitative research method were used. The result of the qualitative analysis shows that the role playing method conducted with three steps are personification role playing, role playing with media, and role playing with social condition. The result of the quantitative analysis shows that there are significant differences between pre and post assessment of early childhoods social competence. Keywords: early childhoods social competence, and role playing method

ix

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, 2012

384 R a s m a d i (Universitas Pamulang) Korelasi Antara Komunikasi Antarpersonal, Etos Kerja, dan Budaya Organisasi Dengan Pelayanan Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Maret 2012, Vol. 18, Nomor 1, hal. 107-119 Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk meneliti hubungan antara komunikasi antarpersonal, etos kerja, dan budaya organisasi dengan pelayanan, baik secara sendiri-sendiri maupun secara bersama-sama. Penelitian dilaksanakan di Pusdiklat Pegawai Departemen Pendidikan Nasional. Penelitian mengambil sampel 90 orang, dilakukan dengan sampel acak. Hasil penelitian ini membuktikan bahwa, terdapat hubungan positif antara komunikasi antarpersonal, etos kerja, dan budaya organisasi dengan pelayanan, baik secara sendiri-sendiri maupun secara bersama-sam a. Semakin tinggi komunikasi antarpersonal, etos kerja, dan budaya organisasi, maka semakin tinggi mutu pelayanan aparatur. Sehubungan dengan itu, upaya untuk meningkatkan mutu pelayanan aparatur, dapat dilakukan dengan meningkatkan pengetahuan komunikasi antarpersonal, etos kerja, dan budaya organisasi. Kata kunci: komunikasi antarpersonal, etos kerja, budaya organisasi, dan pelayanan. The objective of the research is to study the relationship between Interpersonal Communication, Work Ethos, and Organizational Culture with Services. The survey was conducted at Training Center for Employees the Ministry of Education and Cukture (MoEC). Sample of 90 respondents were selected randomly. The study finds out that there are positive correlation, between : a) Interpersonal Comunication (X1) and Services (Y); b) Work Ethos (X2) Services (Y); c) Organizational Culture (X3) and Services (Y); d) and Finally the study concludes that those three

independent variables all together show positive correlation with Services. Furthermore, the employee service could be improved by improving interpersonal communication, Work Ethos, and Organizational Culture. Keywords: interpersonal comunication, work ethos, organizational culture, and services 371.2 Rog e rs Pak p ahan (Pusat Pe nilaian Pe nd id ik an, Jl G unung S ahari Ray a, Jak arta Pusat, e -mail: ropakpakro@yahoo.com) Model Alternatif Ujian Akhir Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Juni 2012, Vol. 18, Nomor 3, hal. 121-131 Abstrak Tulisan ini dimaksudkan sebagai sumbangan pemikiran dalam penyelenggaraan ujian akhir di tingkat satuan pendidikan. Berbagai permasalahan muncul dalam pelaksanaan ujian akhir nasional sehingga diperlukan upaya perbaikan melalui pembentukan lembaga penilaian mandiri dan model penyiapan bahan ujian. Penyusunan bahan ujian dilakukan dalam dua model. Model pertama merupakan penyusunan kisi-kisi oleh sekolah/daerah dan soal disusun oleh lembaga penilaian atau sebaliknya kisi-kisi disusun lembaga penilaian dan soal disusun oleh sekolah atau lembaga independen. Model kedua, soal disediakan oleh lembaga penilaian atau soal disiapkan oleh sekolah. Pada setiap model lembaga penilaian berperan untuk penetapan skor dari seluruh peserta ujian sehingga skala berlaku nasional. Untuk itu, lembaga penilaian menyetarakan skor atau nilai yang dikeluarkan sekolah, sehingga nilai tersebut dapat digunakan untuk sertifikasi, pemetaan mutu, dan untuk seleksi penerimaan siswa baru. Penentuan standar skor dilakukan melalui serangkaian pertimbangan dengan mengacu pada kemampuan peserta ujian. Standar skor setiap tahun dapat diubah sesuai dengan perkembangan pencapaian kompetensi siswa setiap tahun. Kata kunci: ujian akhir, lembaga penilaian, kisi-kisi, bahan ujian moderasi, dan tes This paper is intended as a contribution of idea to the implementation of final examination at the education unit level. Various problems arising in the implementation of the national final examination require improvement efforts through the establishment of an independent assessment agency and an examination material preparation model. Preparation of test materials is done in two models. The first model is the map of questions is prepared by the school/regional office of education and the question is prepared by the assessment body or the map is prepared by the assessment body while the question is prepared by the school/independent body. The second model, the questions are prepared by the assessment body or the questions are prepared by the school. At each model, the assessment body plays its role to set the score for all examinees so that the scale can be applied nationally. It is therefore the assessment body equalizes the score or grade given by the school so that the score can be used for certification, quality mapping, and enrollment. Determination of score standard is done through a series of considerations with reference to the ability of the examinee. The score standard may be changed pursuant to the students competence achievement at every year. Keywords: final exam, assessment agency, map of questions, moderation examination materials, and tests

Lembar abstrak

371.2 S ud ary ono (S TMIK Raharja Tang e rang , Jl. Je nd . S ud irman No. 40 Cik ok ol-Tang e rang , e mail: sudaryono2@yahoo.com) Kajian Metode Deteksi Differential Item Function (DIF) Butir Soal Ujian Nasional dengan Teori Tes Klasik Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Juni 2012, Vol. 18, Nomor 3, hal. 132-144 Abstrak Tujuan umum kajian ini dimaksudkan untuk menjelaskan berbagai metode pendeteksian keberadaan Differential Item Function (DIF) pada butir-butir soal ujian nasional dengan teori tes klasik. Tujuan khusus penulisan ini dimaksudkan untuk menjelaskan: 1) berbagai metode yang dapat digunakan untuk mendeteksi keberadaan DIF pada butir soal ujian nasional berdasarkan teori tes klasik (classical test theory); dan 2) kelebihan dan kekurangan masing-masing metode yang digunakan dan mengetahui metode mana yang paling sensitif dalam mendeteksi keberadaan DIF butir soal ujian nasional. Permasalahan kajian ini adalah: 1) metode apa saja yang dapat digunakan untuk mendeteksi keberadaan DIF pada butir soal ujian nasional berdasarkan teori tes klasik?; 2) metode mana yang paling sensitif dalam mendeteksi keberadaan DIF pada butir soal ujian nasional tersebut berdasarkan teori tes klasik. Metodologi yang digunakan adalah melakukan kajian pustaka dari buku-buku, jurnal-jurnal dan telaah hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan. Ada banyak cara untuk mendeteksi butir bias dan uji tes bias pada skor yang dicapai melalui teori skor klasik, yaitu: korelasi kelompok tunggal, korelasi diferensial, prosedur diskriminasi butir, metode plot delta, metode Standarisasi, metode Chi-square Scheuneman, metode Chi-square Camilli, metode Mantel-Haenszel, prosedur standar yang telah dikembangkan oleh Dorans dan Kulick, dan metode estimasi bias butir dengan Analisis Faktor Konfirmatori. Kata kunci: differential item function, butir soal ujian, teori tes klasik, plot delta, dan estimasi bias butir The general objective of this study is intended to explain the various methods of detecting the existence of Differential Item Function (DIF) in items of national exam with classical test theory. While the specific purpose of writing the article is intended to explain: 1) the various methods that can be used to detect the presence of DIF in items of national exam based on classical test theory, and 2) the advantages and disadvantages of each method used and find out which method is most sensitive in detecting the presence of DIF items the national exam. Problems of this study are: 1) what methods can be used to detect the presence of DIF in items based on the national exam classical test theory? 2) which method is most sensitive in detecting the presence of DIF in items such national exam based on classical test theory. The methodology used is to review literature from books, journals and study the results of research that has been done. There are many ways to detect item bias and bias test the scores achieved by the theory of classical scores, namely: single group validity, differential validity, item discrimination procedure, the delta plot method, methods of standardization, Scheuneman chi-squared approach, Camilli chi-square approach, Mantel-Haenszel method, a standard procedure which has been developed by Dorans and Kulick, and item bias estimation method with Confirmatory factor Analysis. Keywords: differential item function, item national exam, classical test theory, the delta plot, and estimate the DIF 371.3 Leo Agung S. (Program Studi Pendidikan Sejarah Jurusan PIPS FKIP-UNS Surakarta, Jl. Ir. Sutami, Kampus Kentingan Surakarta, e-mail: leo.agung56@yahoo.co.id) Implementasi Model Pembelajaran IPS Terpadu (Suatu Studi Evaluatif di SMP Kota Surakarta) Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Juni 2012, Vol. 18, Nomor 3, hal. 145-155 Abstract Penelitian ini bertujuan untuk: 1) mengetahui implementasi model pembelajaran IPS Terpadu di SMP Kota Surakarta; 2) mengidentifikasi faktor-faktor penghambat, dan 3) mengetahui upaya-upaya yang dilakukan oleh guru IPS dalam meningkatkan profesionalisme. Penelitian ini merupakan studi evaluasi dengan menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif. Bentuk penelitian cenderung menggunakan studi kasus tunggal. Subyek penelitian, yaitu guru-guru IPS di SMP/MTs Kota Surakarta. Teknik dan alat pengumpul data yang digunakan, yaitu: wawancara, observasi, dan mencatat arsip serta dokumen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: 1) dalam implementasinya pembelajaran IPS di SMP/MTs masih terdapat banyak perbedaan. Ada yang melaksanakan pembelajaran IPS terpadu secara penuh, setengah terpadu, dan tidak terpadu; 2) hambatan yang dihadapi, antara lain: (a) kurang pemahaman/penguasaan terhadap materi di luar bidangnya; (b) kurangnya pengetahuan dan pemahaman modelmodel pembelajaran IPS Terpadu; (c) kesulitan dalam menerapkan konsep pembelajaran IPS Terpadu; dan (d) sikap skeptis dari guru IPS itu sendiri; 3) upaya yang dilakukan guru IPS dalam meningkatkan kompete nsi profesionalnya, antara lain: (a) bertanya kepada guru IPS yang lain; (b) membaca buku-buku referensi tentang

xi

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, 2012

IPS; (c) mengikuti pelatihan, sosialisasi, workshop, seminar, semiloka; dan (d) berbagai (sharing) pengalaman. Kata kunci: model pembelajaran, IPS terpadu, studi evaluasi, guru IPS, dan Sekolah Menengah Pertama The objective of this study is: 1) to obtain information in relation to the implementation of instructional model of integrated social science at Junior Secondary School in Surakarta City; 2) to identify the inhibiting factors; and 3) to know some efforts performed by Social Science teachers to enhance their professionalism. This study is an evaluation study using qualitative-descriptive research method. This research tends to use a single case study. The subject of this research is Social Science teachers of SMP/MTs (Junior Secondary School/Islamic Junior Secondary School) in Surakarta City. The data was collected through interviews, observation, and archival records and documents. The findings showed that: 1) there were still many differences in the implementation of Social Science instruction at SMP/MTs. There were teachers who delivered Social Science in integrated way, semi integrated and partially; 2) there were many obstacles faced by the teachers, among others: (a) lack of understanding/mastery of the material outside their competency, (b) lack of knowledge and understanding of instructional models of Integrated Social Science, (c) difficulties to apply the instructional concepts of Integrated Social Science, and (d) a skeptical attitude of Social Science teachers; 3) some efforts performed by Social Science teachers to improve their professionalism, among others: (a) asking other Social Science teachers, (b) reading Social Science-related reference books, (c) attending training, socializaion, seminar, workshop, and (d) sharing experiences. Keywords: instructional model, integrated social science, evaluation study, social science teachers, and Junior Secondary School. 371.3 Munir Tanrere dan Sumiati Side (Jurusan Kimia FMIPA UNM Makassar, Jl. Daeng Tata, Parang Tambung) Pengembangan Media Chemo-Edutainment Melalui Software Macromedia Flash MX pada Pembelajaran IPA Kimia SMP Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Juni 2012, Vol. 18, Nomor 3, hal. 156-162 Abstract Penelitian ini bertujuan untuk: 1) menghasilkan media pembelajaran berupa CD interaktif chemo-edutainment yang memanfaatkan software macromedia flash dalam pembelajaran Kimia SMP; 2) menguji keterandalan dan efektivitas pembelajaran dengan menggunakan CD interaktif chemo-edutainment melalui pembelajaran di sekolah. Hasil penelitian tahun pertama adalah CD pembelajaran interaktif untuk materi pokok asam, basa, dan garam. Kesimpulan hasil penelitian, yaitu: 1) media CD pembelajaran dapat digunakan dengan media CD pembelajaran adalah efektif untuk meningkatkan hasil belajar siswa. Kata kunci: pembelajaran kimia, macromedia flash, CD pembelajaran interaktif, chemo-edutainment, dan hasil belajar. The aims of this research are: 1) to produce an interactive instructional CD - Chemo-edutainment that utilizes macromedia flash software for Chemistry instruction at Junior Secondary School; 2) to examine the reliability and effectiveness of learning by using interactive instructional CD - Chemo-edutainment through instruction at school. The products in the first year of research are an interactive instructional CD for main material of acid, base and salt. The conclusions of the study are: 1) the instructional CD media can be used well by students; and 2) the instructional CD media is effective for improving student learning outcomes. Keywords: teaching learning media, macromedia flash, chemo-edutainment, chemistry instruction, interactive instructional CD, and learning outcomes. 370.1 S ub ijanto (S e kre tariat B alitbang Kemd ik b ud , Jln. Je nde ral S ud irman, Se nayan-Jak arta Pusat, e -mail: subijanto2010@gmail.com) Analisis Pendidikan Kewirausahaan di Sekolah Menengah Kejuruan Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Juni 2012, Vol. 18, Nomor 3, hal. 163-173 Abstract Tujuan penulisan artikel ini dimaksudkan untuk menganalisais perkembangan pelaksanaan pendidikan kewirausahaan di SMK. Permasalahan yang dirumuskan: 1) bagaimana kondisi sarana dan prasarana pelaksanaan pendidikan kewirausahaan di SMK?; 2) bagaimana pola kerjasama yang dilakukan antara SMK dengan dunia usaha/dunia industri? 3) bagaimana pengelolaan SMK khususnya dalam penyelenggaraan pendidikan kewirausahaan? Hasil analisis menunjukkan bahwa: 1) penyelenggaraan pendidikan kewirausahaan belum didukung oleh sarana dan baik oleh siswa; 2)

xii

Lembar abstrak

prasarana pelatihan/praktik yang memadai; 2) pola kerjasama penyelenggaraan pendidikan

kewirausahaan

antara SMK dengan dunia usaha dan industri (DUDI) belum dirumuskan secara operasional; dan 3) penyelenggara pendidikan kejuruan belum dikelola secara optimal, khususnya dalam hal kerjasama dan sharing berbagai sarana pembelajaran. Kata kunci: pendidikan kewirausahaan, sekolah menengah kejuruan, model kolaborasi, dunia usaha/industri The objective of this article is to analyze the development of implementation for entrepreneurship education at senior vocational school. The problem formulation of this article are as follow: 1) how is the condition of facilities and infrastructure for implementation of entrepreneurship education at senior vocational school?; 2) how is the model of collaboration between Senior Vocational School and business/industry?; 3) how is the management of Senior Vocational School particularly for the implementation of entrepreneurship education? The result of analysis shows that: 1) the implementation of entrepreneurship education has not yet supported by sufficient facilities and infrastructure for training/practice; 2) collaboration model for the implementation of entrepreneurship education between Senior Vocation School and business or industry has not formulated operationally; and 3) the vocational education has not yet managed optimally, particularly in term of collaboration and sharing of various learning facilities. Keywords: entrepreneurship education, the model of collaboration, senior vocational school, and business/industry. 371.3 I Made Astra, Umiatin, dan Dian Ruharman (Jurusan Fisika, FMIPA,Universitas Negeri Jakarta Kampus B, Jalan Pemuda Rawamangun, Jakarta Timur, e-mail: imadeastra@gmail.com) Aplikasi Mobile Learning Fisika dengan Menggunakan Adobe Flash Sebagai Media Pembelajaran Pendukung Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Juni 2012, Vol. 18, Nomor 3, hal. 174-180 Abstract Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan media pembelajaran pendukung berbentuk mobile learning p ada materi esensial untuk siswa SMA. Mobile learning yang dibuat dijalankan pada handphone yang mendukung flash player terutama berbasis symbian S60 3rd. Metode yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu metode penelitian dan pengembangan (Research and Development). Tahap pertama dibatasi pada materi perpindahan kalor. Uji coba aplikasi dilakukan kepada 2 orang dosen ahli materi dan 2 orang ahli media, dan 2 guru fisika SMA, serta 44 siswa SMA Diponegoro 1 Jakarta. Indikator yang digunakan untuk menilai media pembelajaran yang dibuat, yaitu kesesuaian isi dan tujuan, kesesuaian pembelajaran dan kualitas teknis . Nilai dari ketiga indikator berada di atas 80%, sehingga mobile learning yang dibuat dikategorikan sangat baik. Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa media pembelajaran berbentuk mobile learning pendukung pada pelajaran Fisika untuk siswa SMA. Kata kunci: media pembelajaran, mobile learning, perpindahan kalor, Fisika, dan SMA The objective of this research is to create a supporting instructional media in the form of mobile learning of main material for Senior Secondary School students. The created mobile learning was played on mobile phone that supports flash player, mainly Symbian S60 3rd-based mobile phone. The method applied in this research was research and development. The first step was limited on material of heat transfer. The trial of application was conducted to 2 specialized lecturers, 2 media experts, 2 Physics teachers of Senior Secondary School, and 44 students of Diponegoro Senior Secondary School, Jakarta. Indicators used to assess the created instructional media were appropriateness of the content to the purpose, appropriateness of instruction to the technical quality. Marks of the three indicators were above 80%, so that the created mobile learning was categorized as very good. Based on the findings, it may be concluded that the instructional media in the form of mobile learning can be used as a supporting instructional media for Senior Secondary School students to learn Physics subject. Keywords: instructional media, mobile learning, heat transfer, physic subject, and Senior Secondary School. 371.7 Hayadin (Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan Kementerian Agama RI. Jl. Lapangan Banteng, Jakarta Pusat) Pengelolaan Guru Pendidikan Agama dalam Konteks Desentralisasi Pendidikan Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Juni 2012, Vol. 18, Nomor 3, hal. 181-191 Abstract Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan proses pengelolaan guru pendidikan agama di era desentralisasi pendidikan di Kota Palangkaraya Provinsi Kalimantan Tengah. Penelitian ini merupakan studi kasus yang bersifat kualitatif dapat dijadikan sebagai media pembelajaran

xiii

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, 2012

yang dilakukan pada tahun 2010. Pengumpulan data dilakukan secara langsung di Kota Palangkaraya, dengan sumber data primer dan sekunder yang berasal dari data dan dokumen yang diperoleh di kantor Kementerian Agama, Dinas Pendidikan dan Badan Kepegawaian Daerah Kota Palangkaraya. Untuk mengumpulkan data tersebut, peneliti menggunakan metode wawancara, dan studi dokumen, dengan instrumen pedoman wawancara dan cheklist kelengkapan dokumen. Proses verifikasi data melalui triangulasi kepada beberapa narasumber terhadap satu isu yang diteliti dilakukan untuk menjamin keabsahan dan kebenaran data yang diambil. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: 1) rekruitmen tenaga pendidik guru pendidikan agama di era desentralisasi turut dilakukan oleh pemerintah daerah Kota Palangkaraya dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan guru agama di daerah tersebut. Hal tersebut karena jumlah tenaga kependidikan yang diangkat oleh pemerintah pusat (c.q, Kementerian Agama RI) masih sangat kurang; 2) dalam proses pembinaan karir dan kesejahteraan, tenaga pendidik guru pendidikan agama mendapatkan perlakuan yang sama dengan guru lainnya; 3) kondisi sosial politik dan kejelasan Peraturan Badan Kepegawaian Daerah tentang Manajemen Pegawai Daerah merupakan salah satu faktor pendukung dari pengelolaan guru pendidikan agama di Kota Palangkaraya. Kata kunci: desentralisasi pendidikan, pengelolaan guru, guru pendidikan agama, pengadaan guru pendidikan agama, dan pembinaan karir guru pendidikan agama. The objective of this study is to describe the process of managing religious education teachers in the era of decentralization of education in Palangkaraya City, Central Kalimantan Province. This study was a case study qualitative in nature which was conducted in 2010. The data was collected directly in Palangkaraya City using primary and secondary data sources, which is information and document from office of the Ministry of Religious Affairs, education office, and local personnel board of Palangkaraya City. To collect the data, the researcher used interview and document study with interview sheets and checklist. The data was verified through triangulation to some resource persons in relation to the one research problem in order to ensure the validity and reliability. The findings showed that: 1) recruitment of religious education teachers was also conducted by Palangkaraya local administration in order to meet the requirement of religious teachers in the city because the number of teachers appointed by the central government (cq, Ministry of Religious Affairs) is so small; 2) In the process of career development and welfare, religious education teacher is treated with the same respect as other teachers; 3) Social-political conditions and the clarity of Regional Personnel Board Regulation concerning management of local personnel are other factors contributing to the management of religious education teachers in Palangkaraya City. Keywords: decentralization of education, teacher management, religious education teachers, provision of religious education teachers, career development of religious education teachers. 791.5 Sunardi (Institut Seni Indonesia Surakarta, mail: gunowijoyo@gmail.com) Konsep Rasa dalam Pertunjukan Wayang Kulit Purwa Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Juni 2012, Vol. 18, Nomor 3, hal. 192-203 Abstrak Tulisan ini bertujuan membahas konsep rasa dalam pertunjukan wayang kulit purwa. Konsep rasa dipergunakan sebagai landasan utama dalam menyajikan dan mengapresiasi pertunjukan wayang. Rasa dihadirkan dalang melalui ekspresi unsur-unsur pertunjukan wayang, yaitu bahasa, gerak, dan musik dalam kesatuan lakon wayang. Ada empat rasa dominan yang selalu muncul dalam pertunjukan wayang, yaitu rasa regu (agung), sedhih (sedih), dan greget (semangat), serta prens (asmara dan humor). Dalam pertunjukan wayang, rasa hadir dalam berbagai pola, seperti: oposisi berpasangan dan siklus. Rasa menjadi konsep kunci untuk memahami pertunjukan wayang. Kata kunci: konsep rasa, pertunjukan wayang, dalang, dan pola estetika This article aims to discuss the concept of rasa in a wayang performance. The concept of rasa is used as the main basis in presenting and appreciating a wayang performance. Rasa is presented by the puppeteer (dalang) through the expression of the wayang performance elements, such as language, movement, and music in the unity of puppet story. There are four dominant rasa, which always emerge in every wayang performance, that is rasa regu (exalted), sedhih (sad), greget (enthusiasm), and prenes (love and humor). In a wayang performance, these rasa present in a various patterns, such as coupled opposition and cycle. The rasa has become the key concept in understanding a wayang performance. Keywords: the sense of concept, wayang performance, puppeteer, and aesthetic patterns Jalan Ki Hajar Dewantara No 19, Kentingan, Jebres Surakarta, e-

xiv

Lembar abstrak

495.5 Fanny Henry Tondo (Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (PMB-LIPI), Email: fhtondo@yahoo.com) Bahasa Minoritas Hamap dalam Perkebunan Jagung: Tinjauan Etnolinguistik Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Juni 2012, Vol. 18, Nomor 3, hal. 204-215 Abstrak Artikel ini mengkaji bentuk-bentuk bahasa yang digunakan oleh orang Hamap di perkebunan jagung. Studi kualitatif ini bersifat interdisipliner, karena menggabungkan dua disiplin ilmu, yaitu linguistik dan antropologi (etnolinguistik). Berdasarkan perspektif ini, ditemukan bahwa dalam era modern sekarang ini orang Hamap masih mempertahankan tradisi asli mereka. Tradisi ini dapat ditemukan pada saat penanaman jagung yang diekspresikan melalui namanama alat perkebunan, jagung dan bagian-bagiannya, proses penanaman jagung, dan nyanyian tradisi yang menyertai penanaman jagung. Bentuk-bentuk bahasa ini secara implisit menggambarkan bahwa meskipun tergolong minoritas dan berpotensi terancam punah, bahasa Hamap masih digunakan dalam perkebunan jagung. Kata Kunci: bahasa minoritas, bentuk bahasa, perkebunan jagung, bahasa yang terancam punah, dan etnolinguistik. This objective of this article is to analyze the linguistic forms used by Hamap people in a corn plantation. This qualitative study is interdisciplinary, because it combines two scientific disciplinaries, namely li nguistics and anthropology (ethnolinguistics). Based on this perspective, it is found that in this modern era Hamap people still retain their original traditions. The traditions can be found in the corn plantation which is expressed by the names of plantation tools, corn and its traditional names, the process of corn plantation, and traditional songs accompanying the corn planting process. These linguistic forms implicitly describe that although Hamap language is minor and includes potential endangered language it is still used in the corn plantation. Keywords: minor language, linguistic forms, corn plantation, potential endangered language, and ethnolinguistics 370.1 Siswantari (Pusat Penelitian Kebijakan, Balitbang Kemdikbud, Jalan Jenderal Sudirman, Senayan - Jakarta Pusat, e-mail: siswantari@yahoo.com ) Kompetensi Keahlian di SMKN 6 Pertanian Jeneponto Sulawesi Selatan Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Juni 2012, Vol. 18, Nomor 3, hal. 216-227 Abstrak Tujuan studi ini dimaksudkan untuk meneliti kesenjangan kompetensi yang dibutuhkan oleh dunia usaha/industri (DUDI) dengan yang dihasilkan oleh SMKN 6 Jeneponto, Sulawesi Selatan. Studi dilaksanakan, karena terdorong oleh rendahnya lulusan SMK yang diserap oleh dunia kerja. Fokus studi terkait dengan kompetensi yang perlu dikembangkan oleh SMK sesuai dengan potensi daerah dan kebutuhan DUDI. Pengumpulan data penelitian dilaksanakan melalui wawancara dengan para pemangku kepentingan. Hasil studi menunjukkan bahwa SMK belum mengembangkan kompetensi yang dibutuhkan oleh mitra kerjasama lokal. Kata kunci: sekolah menengah kejuruan, pengembangan kompetensi, pengembangan pendidikan, dan kebutuhan dunia industri. The aims of this study is to investigate the gap between industrial needs and the competences earned at vocational school of agricultural that has been conducted at SMK 6 Jeneponto, South Sulawesi. The study was motivated by the fact that the SMK 6 alumni are suffered from unemployed. The investigation has been performed through interview with stakeholders and focused on how the competency development conducted at the school could fulfill the local industry needs. It has been found that the school lacks of competences which are required by the local partners. Keywords: vocational school, competency development, education development, local potential, and industry needs. 371.2 Soebagyo Brotosedjati (FKIP Universitas Veteran Bangun Nusantara Sukoharjo Jl. Letjen Sudjono Humardani No. 1 Kampus Jombor Sukoharjo, e-mail: soebagyobs@yahoo.com) Pengaruh Supervisi Kunjungan Kelas oleh Kepala Sekolah dan Kompensasi terhadap Kinerja Guru SD Negeri di Kecamatan Sukoharjo Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, September 2012, Vol. 18, Nomor 3, hal. 229-243 potensi lokal,

xv

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, 2012

Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh supervisi kunjungan kelas oleh kepala sekolah dan kompensasi terhadap kinerja guru. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif korelasional kausal. Sampel penelitian ini adalah 170 guru SD Negeri se Kecamatan Sukoharjo. Pengumpulan data menggunakan angket. Data hasil penelitian dianalisis dengan bantuan komputer program SPSS Versi 17. Hasil peneli tian menunjukkan bahwa: 1) ada pengaruh yang signifikan supervisi kunjungan kelas oleh kepala sekolah terhadap kinerja guru; 2) ada pengaruh yang signifikan kompensasi terhadap kinerja guru; dan 3) secara bersama-sama ada pengaruh yang signifikan supervisi kunjungan kelas oleh kepala sekolah dan kompensasi terhadap kinerja guru. Kompensasi mempunyai pengaruh yang lebih besar daripada supervisi kunjungan kelas oleh kepala sekolah dalam meningkatkan kinerja guru SD. Kata kunci: supervisi kunjungan kelas, kompensasi, dan kinerja guru. This study aimed to determine whether there is an effect of classroom visit supervision by the principal and compensation to teachers performance. This study uses a quantitative approach to causal correlation. The sample was 170 elementary school teachers in Sukoharjo District. Data collection was using questionnaires. Data were analyzed with the aid of a computer program SPSS version 17. The results showed that: 1) there was a significant effect of classroom visit supervision by principals on teacher performance, 2) there is a significant influence of compensation to teachers performance, and 3) simultaneously there is a significant influence of a classroom visit supervision by principals and compensation to teachers performance. Compensation has a greater influence than the classroom visits supervision by principals in improving the performance of elementary school teachers. Keywords: classroom visit supervision, compensation, and teachers performance. 371.1 Herry Widyastono (Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang Kemdikbud Jl. Gunung Sahari IV - Jakarta Pusat, email: herrywidyastono@yahoo.com ) Kemampuan Guru dalam Menyusun Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, September 2012, Vol. 18, Nomor 3, hal. 244-253 Abstrak Studi bertujuan untuk memperoleh informasi tentang kemampuan guru dalam menyusun kurikulum tingkat satuan pendidikan. Studi ini merupakan penelitian deskriptif yang menggunakan pendekatan kualitatif. Pengumpulan data dilaksanakan pada bulan September 2011. Responden berasal dari Jakarta, Bekasi, Depok, Bogor, dan Fisika, Kimia, Tangerang sebanyak 150 orang guru yang dipilih dengan teknik purposive sampling. Terdiri atas 30 orang guru SD, 50 orang guru SMP, dan 70 orang guru SMA, mengajar Matematika, Ilmu Pengetahuan Alam, fokus di dalam kelas (6 kelas), yang kemudian dilanjutkan dengan wawancara mendalam atau Biologi. Teknik pengolahan datanya adalah studi analisis dokumen. Triangulasi dilakukan dengan cara diskusi terhadap orang-orang tertentu untuk memvalidasi data dan informasi. Hasil studi menyimpulkan bahwa kemampuan guru dalam menyusun kurikulum tingkat satuan pendidikan (silabus), yang meliputi komponen: 1) standar kompetensi; 2) kompetensi dasar; 3) materi pokok; 4) kegiatan pembelajaran; 5) indikator; 6) penilaian; 7) alokasi waktu; dan 8) sumber belajar, masih sangat rendah, bahkan kebanyakan hanya mengadopsi kurikulum dari satuan pendidikan lain atau dari penerbit buku yang belum tentu sesuai dengan satuan pendidikannya. Oleh karena itu, disarankan kepada pemerintah pusat agar melakukan penataan ulang kurikulum tingkat satuan pendidikan nasional, provinsi, kabupaten/kota, dan satuan pendidikan. Kata kunci: kemampuan guru, kurikulum tingkat satuan pendidikan, silabus. The objective of the study is to obtain the information on the teachers ability in enacting the school-based menjadi kurikulum tingkat

curriculum. This is a descriptive research using qualitative approach. The data collection was conducted in September 2011. The respondents of the research are from Jakarta, Bekasi, Depok, Bogor, and Tangerang as much of 150 teachers, and they are chosen based on the purposive technique sampling. They consist of 30 primary teachers, 50 junior high teachers, and 70 senior high teachers. Some of whom are teaching Math, Science, Physics, Chemistry, or Biology. The data of the document is analised, and the triangulation was conducted through focus discussion in a classroom (6 classroom), which then be continued by interviewing comprehensively to some of them in order to get the valid data. The research concludes that the teachers ability in writing up school-based curriculum (syllabus) which comprises the components of 1) standard competence; 2) basic competence; 3) core content; 4) learning activities; 5) indicator; 6) evaluation; 7) time allotment; and 8) learning resource are still very low and even most of them merely adobt other school curriculum or using them produced by book-publishers which are not actually suitable to themselves. It is therefore, advisable that the government should do some serious effort to redesign

xvi

Lembar abstrak

the in effect curriculum to become the national, province, district, and school curriculums. Keywords: the teachers ability, school-based curriculum, syllabus. 378.1 Simon Sili Sabon (Puslitjak, Balitbang Kemdikbud, Jl. Jenderal Sudirman, Senayan Jakarta Pusat, e-ma il: simonsilisabon@yahoo.com ) Potensi TIK dalam Meningkatkan Daya Tampung LPTK bagi Guru dalam Jabatan di Sulawesi Selatan Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, September 2012, Vol. 18, Nomor 3, hal. 254-263 Abstrak Tujuan studi ini dimaksudkan untuk: 1) mengidentifikasi berbagai jenis Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) yang saat ini dimanfaatkan LPTK dalam perkuliahan dan 2) mengidentifikasi berbagai jenis TIK lainnya yang berpotensi dapat dimanfaatkan LPTK. Studi ini merupakan suatu studi kasus yang dilakukan di Sulawesi Selatan. Pengumpulan data studi ini menggunakan metode Focus Group Discussion (FGD) dengan pihak-pihak yang berkepentingan dalam peningkatan kualifikasi akademik guru dalam jabatan. Temuan studi adalah: 1) jenis-jenis TIK yang digunakan oleh LPTK saat ini antara lain komputer/laptop, LCD atau in-focus dan juga pemanfaatan teknologi internet. Pada umumnya jenis TIK yang digunakan ini hanya sebagai pelengkap atau suplemen saja, yaitu memperlancar perkuliahan. Pemanfaatan jenis TIK ini belum dapat meningkatkan daya tampung LPTK; 2) dari berbagai jenis TIK yang berpotensi meningkatkan daya tampung LPTK bagi guru dalam jabatan yaitu televisi dan radio. Selain itu, materi kuliah yang disimpan dalam bentuk kaset/CD/VCD/DVD akan sangat bermanfaat dalam meningkatkan daya tampung LPTK. Kata kunci: TIK, guru dalam jabatan, dan kualifikasi akademik guru The goals of this study are: 1) to identify various kinds of Information and Communication Technology (ICT) which are currently used by teachers colleges (TC) in lecturing process, and 2) to identify any other kinds of ICTs which can be used by TC. This study is a case study conducted in South Sulawesi. The data collecting method is Focus Group Discussion (FGD) with the stakeholders of the academic qualification upgrading of the in-service-teachers. Study findings are: 1) the currently ICT used by TC are computer/laptop, LCD/in-focus and also internet technology. The use this kinds of ICT is only as supplement, just for smoothing the lecturing process. The use of this kinds of ICT is not yet for increasing the capacity of TC; 2) among the various kinds of ICT which are potential to increase the capacity of TC are television and radio. Besides that, the lecturing materials saved in the form of cassette/CD/ VCD/DVD will be very useful for increasing the capacity of TC. Keywords: ICT, in-service-teachers, and teachers academic qualification 371.1 Eka Kasah Gordah (Program Studi Pendidikan Matematika, STKIP PGRI Pontianak, e-mail: ekakasah@gmail.com) Upaya Guru Meningkatkan Kemampuan Koneksi dan Pemecahan Masalah Matematis Peserta Didik melalui Pendekatan Open Ended Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, September 2012, Vol. 18, Nomor 3, hal. 264-279 Abstrak Tujuan penelitian ini yaitu untuk melihat peningkatan kemampuan koneksi dan pemecahan masalah matematis peserta didik dalam pembelajaran matematika melalui pendekatan open ended. Penelitian dilaksanakan di SMA Negeri 9 Bandung pada tahun pelajaran 2008/2009. Sampel penelitian dipilih dua kelas dari delapan kelas yang ada pada kelas X semester genap dengan teknik purposive sampling. Metode penelitian yang digunakan adalah metode eksperimen dengan desain penelitian disain kelompok kontrol pretes-postes. Adapun hasil penelitian ini adalah pembelajaran melalui pendekatan open ended dapat meningkatkan kemampuan koneksi dan pemecahan masalah matematis peserta didik yang lebih baik daripada pembelajaran konvensional. Pembelajaran melalui pendekatan open ended dapat meningkatkan kemampuan koneksi dan pemecahan masalah matematis peserta didik dengan kualitas peningkatan tergolong sedang. Kata Kunci: pendekatan open ended, koneksi, pemecahan masalah, dan masalah matematis The purpose of this study is to study increased connections abilities and mathematical problem solving of the student in the learning of mathematics through open-ended approach. This research was conducted at SMA Negeri 9 Bandung in the academic year of 2008/2009. The sample of this research was two classes of the eight available classes of grade X of even semester which were selected by using purposive sampling technique. The method used experimental method by using pretest-postest group control design. The results of this research was

xvii

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, 2012

learning through open-ended approach could increase the ability of connections and solving mathematical problems of the students which was better than conventional learning. Learning through open ended approach could increase the ability of connections and solving mathematical problems of the students in the average level. Keywords: open ended approach, connection, problem solving, and mathematics problems 331.7 Nugroho Trisnu Brata (Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Semarang, e-mail: trisnubrata@yahoo.com) Korelasi Budaya Perkebunan dan Fenomena Buruh Borong Perkebunan Sawit di Kalimantan Barat Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, September 2012, Vol. 18, Nomor 3, hal. 280-293 Abstrak Tujuan penulisan risalah artikel ini mengkaji fenomena kebudayaan masyarakat yang kemudian dihubungkan dengan keberadaan pekerja buruh borong di area perkebunan sawit. Setiap kebudayaan masyarakat diasumsikan memiliki karakter yang tergantung pada konteks spasial (tempat) maupun temporal (waktu). Salah satu aspek kebudayaan adalah nilai budaya. Permasalahan dalam penelitian ini adalah, Nilai apa saja yang menjadi penuntun komunitas buruh borong (BB) dalam bekerja di area perkebunan sawit?. Metode penelitian yang digunak an adalah metode penelitian kualitatif. Penelitian dilakukan selama satu bulan di lapangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa orang-orang yang bekerja di perkebunan sawit latar belakangnya berbeda-beda. Nilai-nilai budaya yang menjadi bagian dari kebudayaan ternyata juga muncul dalam fenomena para pekerja perkebunan. Konsep nilai menjadi konsep kunci dalam teori tindakan (theory of action). Bekerja sebagai fenomena sosial pun bisa diletakkan di atas kerangka pikir orientasi nilai maupun teori tindakan. Pada kelompok pekerja buruh borong terdapat nilai saling percaya, nilai kebersamaan, nilai perlawanan kultural, nilai religi, relasi patron-klien, dan nilai ketekunan. Kata kunci: buruh borong, perkebunan, sawit, nilai, dan fenomena kebudayaan This essay aims at analyzing a connection of a community cultural phenomenon in oil palm plantation area and the existence of buruh borong. Each community cultural phenomenon is assumed to have characteristic which depend on both spatial and temporal context. One of cultural aspects is cultural value. The problem scope of this research is cultural value which guide the buruh borong (BB) in oil palm plantation area. Qualitative method is applied on the research. The research lasts for a month on field. The result of the research shows that the people working in oil palm plantation have various background. Cultural values as parts of culture appear in the phenomenon of plantation workers. The concept of value is the main concept in theory of action. Working as a social phenomenon is also done in the framework of value orientation and theory of action. Among the workers of buruh borong, there are values of trusting each other, togetherness, cultural defence, religion, patron-client relation, and diligence. Keywords: buruh borong, plantation, palm oil, value, and culture phenomena 371.4 Ida Kintamani Dewi Hermawan (Pusat Data dan Statistik Pendidikan, Sekretariat Jenderal Kemdikbud, Jl. Sudirman, Senayan - Jakarta Pusat, e-mail: idakintamani@yahoo.com ) Faktor-Faktor yang Berpengaruh terhadap Pengumpulan Data Pendidikan Nonformal Tidak Tepat Waktu dan Tidak Berkualitas Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, September 2012, Vol. 18, Nomor 3, hal. 294-309 Abstrak Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui faktor-faktor penyebab pengumpulan data pendidikan nonformal (PNF) tidak tepat waktu dan tidak berkualitas. Metode yang digunakan yakni survei dengan populasi dinas pendidikan kabupaten/kota di seluruh Indonesia, sedangkan metode pengambilan sampel yang digunakan adalah purposive sampling dengan teknik analisis deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari tujuh faktor, yaitu pemahaman pendataan, sumber daya manusia, dukungan dinas pendidikan kabupaten/kota, dana, infrastruktur pendataan, monitoring dan evaluasi, dan kondisi geografis yang mempengaruhi pengumpulan data PNF tidak tepat waktu dan tidak berkualitas, terdapat empat faktor yang sangat mempengaruhi. Keempat faktor tersebut ialah dukungan dari dinas pendidikan kabupaten/kota (26,00%), monitoring dan evaluasi (31,57%), dana (32,25%), dan infrastruktur (39,40%). Bila ketujuh variabel tersebut digabungkan, maka rata-rata sebesar 36,75% berarti juga sangat mempengaruhi pengumpulan data PNF tidak tepat waktu dan tidak berkualitas. Dengan demikian, disarankan agar ada dukungan dari dinas pendidikan kabupaten/kota terhadap pendataan PNF, monitoring dan evaluasi pendataan PNF di tingkat satuan pendidikan sampai kabupaten/kota dapat dilaksanakan, dukungan dana bagi pengelola pendataan PNF dan peningkatan infrastruktur, baik dalam kuantitas maupun kualitas. Kata kunci: pendidikan nonformal (PNF), pengumpulan data, tidak tepat waktu, tidak berkualitas, dan dukungan dinas

xviii

Lembar abstrak

The purpose of this research is to find out the cause of the factors in the Non-formal education collection of data not timely and not quality. The method used is the population of the survey in office of education at district level throughout the country. The taking of a sample of the method used is a purposive sampling techniques and of analysis with a descriptive . The result showed that seven of the factors, these are the understanding , human resources , the support of the office of education at district level, the fund, monitoring and evaluation , infrastructure; and geography affect the collection of data of Non-formal education not timely and not quality and there are four factors that are strongly influence. The four factors are the support of the office of education at district level (26,00%), monitoring and evaluation (31,57%), funding (32,25%), and infrastructure (39,40%). When these variables are combined then the average by 36,75% means also greatly affects the data collection of the Non-formal education did not timely and not quality. Thus, it is recommended that the support of the Non-formal Education service by Office of education at district level, monitoring and evaluation at the unit level in the case of the Nonformal Education can be implemented. In addition, the necessary support funding for the logging manager and and the improvement of the infrastructure both in quantity as well as quality. Keywords: nonformal education, data collection, not on time, not qualified, and official support 379.1 Subijanto dan Siswo Wiratno (Pusat Penelitian dan Kebijakan, Balitbang Kemdikbud Jl. Jenderal Sudirman, Senayan-Jakarta, e-mail: subijanto2012@gmail.com; swiratno2002@yahoo com) Analisis Kinerja Badan Akreditasi Nasional Sekolah/Madrasah Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, September 2012, Vol. 18, Nomor 3, hal. 310-318 Abstrak Tujuan dari analisis ini dimakudkan untuk memperoleh data dan informasi tentang kinerja BAN S/M. Permasalahan yang dirumuskan antara lain: 1) berapa banyak satuan pendidikan yang telah diakreditasi oleh Badan Akreditasi Nasional Sekolah/Madrasah bekerja sama dengan Badan Akreditasi Propinsi (BAP); 2) Bagaimana ketersediaan tenaga asesor untuk melakukan akreditasi pada setiap jenis dan jenjang satuan pendidikan; 3) sejauh mana hasil akreditasi pada satuan dan jenis pendidikan disosialisasikan secara internal dan dipergunakan sebagai acuan dalam mencapai layanan pendidikan sesuai dengan Standar Nasional Pendidikan (SNP). Hasil analisis menunjukkan bahwa sekalipun jumlah asesor terbatas: 1) Tata kelola BAN S/M cukup efektif dengan telah diakreditasinya 212.137 satuan pendidikan dan program keahlian selama kurun waktu 5 tahun; 2) Capaian BAN S/M menunjukkan: (a) sebagian kecil dari satuan pendidikan dan program keahlian terakreditasi dapat memenuhi tingkat mutu sesuai SNP; (b) terdapat jumlah satuan pendidikan yang cukup besar tidak memenuhi SNP sehingga memerlukan dukungan dana dari pemerintah agar dapat memenuhi SNP; dan (c) komponen SNP yang belum sepenuhnya dapat dipenuhi terkait dengan: standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan kependidikan, serta sarana prasarana. Kata kunci: asesor, kinerja, Badan Akreditasi Nasional Sekolah/Madrasah, Badan Akreditasi Propinsi, dan Standar Nasional Pendidikan The aim of this analysis is to find data and an information about the performance National Board Accreditation for School/Madrasah. The analysis shows that: 1) the management of the National Board Accreditation for School/ Madrasah is an effective enough with the 212.137 educational unit and study program has been accrediting; 2) the achievenment of this accreditationshows that: (a) the only small education unit and study program shown the quality of national educational standar: (b) Most of the educational unit shown that does not achieve for national education standard therefore the local goverment should be allocated budget for supporting in order to that educational unit can achieve national education standar; (c) a number of national educational standar componens which can not be able to achieve yet are: graduation standar; teacher and education administration; and educational facilities. Keywords: assessors, performance, National Accreditation Board for School/Madrasah, Provincial Accreditation Board, and National Standard of Education 372.2 Oos M. Anwas (Pustekkom, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, e-mail: oos.anwas@kemdikbud.go.id ) Model Paud Posdaya sebagai Alternatif Pelaksanaan Pendidikan Anak Usia Dini Berbasis Masyarakat Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, September 2012, Vol. 18, Nomor 3, hal. 319-327 Abstrak Partisipasi masyarakat dalam mensukseskan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) sangat penting. Pos Pemberdayaan Masyarakat (Posdaya) merupakan forum komunikasi dan wahana pemberdayaan masyarakat di tingkat akar

xix

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, 2012

rumput. Pembentukan Posdaya tidak harus membentuk kelembagaan baru tetapi dapat menguatkan dan menyatukan kelembagaan yang telah ada melalui berbagai kegiatan pemberdayaan. Begitu pula Model PAUD Posdaya dikembangkan dengan cara membentuk PAUD baru dan menguatkan PAUD yang telah ada. Model PAUD Posdaya menjadi kuat karena menyatukan dan menselaraskan berbagai kelembagaan masyarakat dalam wahana Posdaya. Kelembagaan masyarakat tersebut misalnya: Bina Keluarga Balita, Posyandu, Bina Keluarga Remaja, PKK, Koperasi, Kelompok Usaha (UKM), Kelompok Lansia, Kelompok Masjid, Kelompok Arisan, Orsos, dan kelompok masyarakat lainnya. Kelompok masyarakat tersebut menyatu dalam wahana Posdaya guna mensukseskan PAUD sesuai potensi dan perannya masing-masing. Keunggulan lainnya adalah partisipasi masyarakat menjadi meningkat melalui berbagai kegiatan pemberdayaan, baik dalam bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, lingkungan, keagamaan maupun bidang lainnya yang ada dalam wahana Posdaya. Kata kunci: Model PAUD Posdaya, kelembagaan masyarakat, pemberdayaan masyarakat, dan partisipasi masyarakat Community participation in the success of Early Childhood Education (PAUD) is very important. The Family and Community Empowering is a communication forum and vehicle for community empowerment at the grassroots level. The development of a Posdaya can be done by strengthening and unifying the existing institution through empowerment activities instead of developing a new one. Similarly, the PAUD Posdaya model is developed by establishing a new institution or by strengthening the existing Early Chilhood Education. PAUD Posdaya model becomes powerful since it unifies and harmonizes various community institutions within Posdaya vehicle. Among the institutions are: Bina Keluarga Balita, Posyandu, Bina Keluarga Remaja, PKK, Koperasi, Group of enterprises (Kelompok Usaha), Elder Community Group (Kelompok Lansia), Mosque Community Group (Kelompok Masjid), Kelompok Arisan, Social Organization, and other community groups. All the community groups are gathered within Posdaya vehicle in order to succeed the Early Childhood Education according their potential and roles. The other advantage of PAUD Posdaya is the increasing participation of community in various empowering activities such as education, economics, environment, religion, and other sectors within Posdaya. Keywords: early childhood education (PAUD) Posdaya model, community institutions, community empowerment, and community participation 371.1 A l Musanna (S e k olah Ting g i A g ama Islam Ne g e ri G ajah Putih Tak e ng on, A ce h Te ng ah, e -mail: win_moes@yahoo.co.id ) Artikulasi Pendidikan Guru Berbasis Kearifan Lokal untuk Mempersiapkan Guru yang Memiliki Kompetensi Budaya Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, September 2012, Vol. 18, Nomor 3, hal. 328-341 Abstrak Tulisan ini bertujuan mengemukakan model pendidikan guru berbasis kearifan lokal. Signifikansi pembahasan terkait minimnya perhatian akademisi dan praktisi pendidikan untuk mengembangkan praksis (teori dan praktik) pendidikan guru yang berpijak pada kearifan lokal, sehingga berimplikasi pada minimnya kompetensi budaya guru dalam menjalankan tugas profesinya. Terdapat tiga masalah yang menjadi fokus pembahasan tulisan ini: teori yang melandasi pengembangan model pendidikan guru berbasis kearifan lokal; hakikat kompetensi budaya guru, serta prasyarat yang diperlukan untuk mengembangkan model pendidikan guru berbasis kearifan lokal. Hasil penelusuran menunjukkan bahwa kearifan lokal mengandung nilai-nilai potensial yang diperlukan untuk mewujudkan pendidikan yang lebih bermakna dan relevan dengan situasi sosial-budaya. Revitalisasi kearifan lokal melalui pendidikan menuntut adanya guru yang mempunyai kompetensi budaya dan hal ini hanya akan mungkin dicapai apabila pendidikan guru memberi perhatian secara proporsional untuk menginternalisasikan kearifan lokal. Kata Kunci: model pendidikan guru, kearifan lokal, kompetensi budaya, kompetensi budaya guru, dan situasi sosial budaya. The following discussion summarized from the literature review present an alternative model of teacher education based on local wisdom to enhance the cultural competency of teachers. There are three issues that became the focus of this paper: the theory that underlies the development of teacher education based on local wisdom; nature of the cultural competency of teachers, as well as the necessary prerequisite for developing teacher education based on local wisdom. The results indicate that local wisdom contains the values needed to realize the potential of education more meaningful and relevant. Revitalization of local wisdom through education requires teachers who have cultural competence and this will only be achieved if teacher education give proper attention to internalize the local wisdom synergistically. Marginalization of local wisdom in praxis of teacher education has impacted on alienation of teachers from the context of his/her life.

xx

Lembar abstrak

Keywords: teacher education model, local wisdom, cultural competency, culturally competence teacher, and cultural social situation 375 Herry Widyastono (Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang Kemdikbud, Jl. Gunung Sahari - Jakarta Pusat, email: herrywidyastono@yahoo.com) Implikasi RPJMN 2010-2014 Sektor Pendidikan terhadap Manajemen Pengembangan Kurikulum Pendidikan Dasar dan Menengah Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, September 2012, Vol. 18, Nomor 3, hal. 342-351 Abstrak Tujuan penulisan untuk menyusun rencana strategi pengembangan kurikulum nasional, daerah, dan satuan pendidikan sesuai amanah RPJMN 2010-2014 sektor pendidikan. Hasil kajian menyimpulkan: a) Secara umum dibedakan antara manajemen pengembangan kurikulum terpusat satuan pendidikan, dengan mengacu Standar Nasional Pendidikan. (sentralistik), tersebar (desentralistik), dan KTSP merupakan manajemen pengembangan sentral-desentral; b) KTSP adalah kurikulum operasional yang disusun oleh dan dilaksanakan di masing-masing kurikulum sentral-desentral; c) Pada umumnya guru hanya mengadaptasi bahkan mengadopsi KTSP dari satuan pendidikan lain yang belum tentu sesuai dengan karakteristik satuan pendidikannya; d) Pemberian kewenangan lebih baik berjenjang, mulai dari kewenangan pemerintah pusat, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/ kota, dan satuan pendidikan. Berdasarkan kesimpulan tersebut, direkomendasikan agar melakukan: unit-unit kerja terkait, a) penyusunan dan penetapan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tentang Penataan

Kurikulum Nasional, Daerah, dan Sekolah; b) sosialisasi kepada seluruh pemangku kepentingan pendidikan di tingkat pusat dan daerah; c) bantuan profesional pengembangan kurikulum dan pembinaan teknis kepada para penyelenggara pendidikan; d) pelatihan bagi para pendidik dan tenaga kependidikan; dan e) penyiapan dan penggandaan seluruh sarana pembelajaran yang diperlukan. Kata Kunci: strategi manajemen kurikulum nasional, kurikulum daerah, standar nasional pendidikan, dan kurikulum satuan pendidikan. The goal of writing this article is to set a management strategy of national curriculum development, regional curriculum, and school curriculum in accordance with RPJMN 2010-2014 education sector. The results of the study are as follows: a) In general, distinguished between centralized curriculum development management (centralized), spread (decentralized), and central-decentralized; b) KTSP is the operational curriculum developed by and implemented in each school, with reference to the National Education Standards. So the KTSP is the central decentralized management of curriculum development, c) In general, teachers are adapting even adopt KTSP from other schools that do not necessarily correspond to the characteristics of their schools, d) The authorization better tiered, ranging from the authority of the central government, provincial, district/city governments, and schools. Based on these conclusions, it is recommended that the relevant work units, in accordance with the duties and functions, shall: a) preparing and determining the Regulation of Minister of Education and Culture on the National Curriculum Arrangement, District, and School, as well as all the conflicting rules regarding curriculum revoked and is no longer valid; b) socialization to all education stakeholders at national and regional levels, c) giving technical and professional training on curriculum development, d) giving training for educators and education personnel, and (e) prepare and copying all the necessary learning tool. Keywords: management strategy national curriculum, regional curriculum, national standard of education, and school curriculum 371.1 Miesk e Theresia Tulung SMPK Re nya Rosari Lilitira (Rantepao Toraja Utara, Sulawesi Selatan, e-mail : teresiatulung@yahoo.or.id ) dan L. Kaluge Universitas Kanjuruhan Malang, e-mail: lrnsklg@gmail.com ) Suasana Kerja dan Pengaruh Kepemimpinan dalam Konteks Pendidikan Dasar Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Desember 2012, Vol. 18, Nomor 4, hal. 353-367 Abstrak Penelitian ini bertujuan mengungkap suasana kerja di sekolah yang dikondisikan oleh persepsi kepemimpinan. Fokus dari tujuan tersebut, yaitu: gambaran suasana kerja, persepsi para guru, dan hubungan kausal antara keduanya. Metode yang ditempuh bersifat kuantitatif. Sampel sebanyak 386 guru diambil dari 24 SMP Negeri dan Swasta di kota Manado secara acak dengan memperhatikan cluster proportionate. Data dianalisis secara deskriptif serta inferensial. Delapan konstrak kepemimpinan dan dua konstrak suasana kerja terbukti valid dan reliabel.

xxi

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, 2012

Dengan rentangan 0-4, rerata suasana kerja di sekolah sebesar 2,9 untuk semangat kerja, dan 2,8 untuk suasana kreatif. Juga dengan rentangan yang sama, rerata kedelapan subskala kepemimpinan berkisar 2,55 dan 3,19. Analisis regresi mengungkapkan tidak semua komponen kepemimpinan merupakan faktor signifikan untuk pengembangan suasana kerja di sekolah. Kepemimpinan yang mendisiplinkan, mendengarkan, dan mendukung berpengaruh signifikan terhadap semangat kerja para guru, dan pengembangan suasana kreatif dipengaruhi secara signifikan oleh kepemimpinan yang mendisiplinkan, mendengarkan, mendukung, dan memberdayakan. Temuan ini bermanfaat bagi kebijakan pendidikan dan pengembangan sekolah. Kata kunci: persepsi kepemimpinan, kepala sekolah, suasana kerja, guru, dan sekolah menengah pertama. This study aimed at discovering the leadership perception in conditioning the working climate at schools. Three objectives of the aim were describing working climate, teachers perception on leadership, and the causal relationship between them. The cluster proportionate random sampling obtained 386 teachers from 24 state and priv ate junior-secondary-schools in the city of Manado. Data were collected through questionnaire administration and analyzed using descriptive and inferential methods. Eight leadership constructs and two working climate were proven to be valid and reliable. Using range criteria of 0-4, the averages of working climate were 2.9 and 2.8 for working spirit and creative climate. On the other hand, using the same criteria, the average of the eight leadership sub-scales ranged between 2.55 and 3.19. The regression analyses found that not all of the leadership components were significant factors for developing the school working climate. Disciplining, listening, and supporting were significant factors for teachers working spirit. Whereas, the creative climate of teachers was affected significantly by disciplining, listening, supporting, and empowering factors. The results would be of benefit for educational policies and school improvement. Keywords: perceived leadership, school principals, working climate, teachers, and junior secondary school. 371.1 Sahat Saragih PPs. UNIMED Jl. Wilem Iskandar Psr. V Medan, e-mail: saragihpps@gmail.com ) dan Vira Afriati SMA Negeri 13 Medan Jl. Brigjen Zein Hamid Km.7, Medan (e-mail: viraafriati@gmail.com) Peningkatan Pemahaman Konsep Grafik Fungsi Trigonometri Siswa SMK Melalui Penemuan Terbimbing Berbantuan Software Autograph Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Desember 2012, Vol. 18, Nomor 4, hal. 368-381 Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: 1) apakah peningkatan pemahaman konsep siswa pada grafik fungsi trigonometri dengan penemuan terbimbing berbantuan Software Autograph lebih tinggi daripada siswa yang diberi pendekatan biasa; dan 2) bagaimana ketuntasan dan aktivitas belajar siswa dengan penemuan terbimbing berbantuan Software Autograph. Penelitian ini merupakan studi eksperimen di SMK Telkom Sandhy Putra dan SMK Sandhy Putra II Medan (Kelompok Pariwisata) dengan mengambil sampel 2 kelas dari masing-masing sekolah secara acak. Data yang diperoleh secara ternormalisasi dinalisis dengan menggunakan uji t. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: 1) peningkatan pemahaman konsep siswa pada grafik fungsi trigonometri yang memperoleh pendekatan penemuan terbimbing berbantuan Software Autograph lebih tinggi dari siswa yang memperoleh pendekatan biasa; dan 2) ketuntasan dan aktivitas belajar siswa yang memperoleh pendekatan penemuan terbimbing berbantuan Software Autograph lebih tinggi dari siswa yang memperoleh pendekatan biasa. Kata kunci: pemahaman konsep, konsep grafik, penemuan terbimbing, fungsi trigonometri, software autograph, dan SMK This research is aimed to know 1) if the increase of students conceptual understanding on trigonometric function graph through guided inquiry using Autograph software is greater than those with usual approach, 2) how the students mastery in learning and students learning activity are. This is an experimental research conducted in SMK Telkom Sandhy Putra and SMK Sandhy Putra II Medan (tourism group) with the population are all the students in grade XI of the schools and two classes from each school were randomly taken as samples. t test is applied to analyze the normalized gain of students conceptual understanding. The research shows that the increase of students conceptual understanding on trigonometric function graph through guided inquiry using Autograph software is greater than those with usual approach, 2) the mastery in learning and learning activity of students implementing guided inquiry using Autograph is greater than those with usual approach So, teachers should apply guided inquiry approach using Autograph as one of learning approach alternatives. Keywords: conceptual understanding, graphic concept, guided inquiry, trygonometry function, and vocational school autograph software,

xxii

Lembar abstrak

371.9 Munawir Yusuf (Universitas Sebelas Maret Surakarta, e-mail: munawir_uns@yahoo.co.id) Kinerja Kepala Sekolah dan Guru dalam Mengimplementasikan Pendidikan Inklusif Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Desember 2012, Vol. 18, Nomor 4, hal. 382-393 Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan kinerja kepala sekolah dan guru dalam mengimplementasikan pendidikan inklusif di sekolah dasar (SD). Untuk mencapai tujuan tersebut, dilakukan penelitian survei ke SD penyelenggara pendidikan inklusif di 4 (empat) wilayah kabupaten/kota, yaitu Surakarta, Karanganyar, Sukoharjo, dan Boyolali, Provinsi Jawa Tengah. Jumlah sampel dalam penelitian ini 51 SD Inklusi, 51 kepala sekolah, dan 103 guru kelas. Data dikumpulkan dengan menggunakan angket dan diolah secara statistik deskriptif. Validitas angket kepala sekolah berada dalam rentang 0.312 - 0.796 dengan reliabilitas 0.962. Validitas angket guru berada dalam rentang 0.290 - 0.815 dengan reliabilitas 0.956. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: 1) kinerja kepala sekolah dalam mengimplementasikan pendidikan inklusif berada dalam kategori sedang; 2) kinerja guru kelas dalam mengimplementasikan pendidikan inklusif berada dalam kategori sedang; dan 3) skor kinerja kepala sek olah rata-rata (65,45%), lebih tinggi dibanding skor rata-rata yang dicapai guru (62,3%). Kata kunci: pendidikan inklusif, sekolah inklusif, kinerja guru, kepala sekolah, dan SD This study aimed to describe the performance of school principals and teachers in implementing inclusive education in primary school. To achieve these objectives, a research survey has been conducted at primary schools that organize inclusive education in 4 area districts, namely Surakarta, Karanganyar, Sukoharjo and Boyolali, in Central Java Province. The numbers of samples in this study were 51 inclusion elementary schools, 51 school principals, and 103 classroom teachers. Data were collected and processed using questionnaires and descriptive statistics, respectively. Questionnaire Validity for School Principals is in the range of 0312-0796 with 0962 reliability. Questionnaire Validity for Teachers is in the range of 0290-0815 with 0956 reliability. The results can be summarized as follows: 1) The performance of school principals in implementing inclusive education is in the medium category; 2) performance of classroom teachers in implementing inclusive education is in the medium category; and 3) Principal performance score average (65.45 %), higher than the average score achieved by teachers (62.3%). Keywords: inclusive education, school Inclusive, teacher and school principal performance, elementary school 371.3 Ahmad Jamalong (STKIP PGRI Pontianak, e-mail: ahmadjamalong@yahoo.co.id) Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Melalui Model Kooperatif Numbered Heads Together (NHT) di Kelas X Sma Negeri 1 Beduai Kabupaten Sanggau Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Desember 2012, Vol. 18, Nomor 4, hal. 394-411 Abstrak Penelitan ini bertujuan untuk menganalisis hasil belajar siswa dengan penggunaan sebuah model kooperatif Numbered Heads Together (NHT). Penelitian dilakukan pada Kelas X di SMAN 1 Beduai Kabupaten Sanggau tahun pelajaran 2011/2012 dengan menggunakan metode Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Subyek penelitian sebanyak 38 siswa kelas X yang dipilih secara random sampling. Data dikumpulkan dengan menggunakan tes, kemudian dilakukan tindakan menggunakan Penelitian Tindakan Kelas. Tindakan penelitian dilakukan sebanyak 2 siklus dengan materi Sistem Hukum Nasional untuk siklus I, Peran dan Fungsi Lembaga Peradilan untuk siklus II. Setiap siklus terdiri dari perencanaan, pelaksanaan tindakan, observasi, dan refleksi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hasil belajar siswa sebelum dilaksanakan tindakan tidak ada satu pun siswa yang mencapai tingkat ketuntasan. Setelah dilaksanakan tindakan pada siklus I terjadi peningkatan hasil belajar pada siswa yang mencapai ketuntasan sebanyak 11 siswa (34,38%) dan tindakan pada siklus II terdapat 20 siswa (54,82%) yang mencapai ketuntasan belajar. Hal ini dinyatakan bahwa model kooperatif Numbered Heads Together (NHT), sangat efektif dapat meningkatkan hasil belajar siswa, khususnya pada pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn). Kata kunci: model ke rja sama, teknik belajar mengajar kepala bernomor, hasil belajar, dan Pendid ikan Kewarganegaraan The purpose of the research is to analyze the students achievements by using Cooperative Model of Numbered Heads Together (NHT). The research was applied to class X of Public Senior High School 1 Beduai Sanggau in academic year of 2011/2012 by using classroom action research (CAR). The research subject consist of 38 students of class X that were chosen by using random sampling. The data were collected by using test, then action was applied by using classroom action research. Action research was applied for 2 cycles with Sistem Hukum

xxiii

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, 2012

Nasional in the first cycle and Peran dan Fungsi Lembaga Peradilan in the second cycle. Every cycle consist of planning, action, observation and reflection. The result of study shown that there were no students achievements before the action applied. In the cycle 1 there were an increasing achievements to 11 students (34.38%) dan action in the cycle II shown there were an increasing achievement to 20 students (54.82%). It can be stated that Cooperative Model of Numbered Heads Together (NHT) is very effective to improve students achievements especially in Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) subject. Keywords: model, cooperative numbered heads together (NHT), achievements, and Civics Education. 371.3 Leo Agung S. (Program Studi Pendidikan Sejarah Jurusan IPS FKIP-UNS, Jl.Ir. Sutami No.36 A, Kentingan, Surakarta, e-mail: leo.agung56@yahoo.co.id) Pengembangan Model Pembelajaran Sejarah SMA Berbasis Pendidikan Karakter di Solo Raya Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Desember 2012, Vol. 18, Nomor 4, hal. 412-426 Abstrak Penelitian eksploratif ini bertujuan untuk: 1) mengetahui tujuan, materi, metode, media, dan evaluasi pembelajaran Sejarah di Sekolah Menengah Atas (SMA); 2) mengidentifikasi faktor-faktor pendukung dan penghambat pembelajaran Sejarah di SMA; 3) mengeksploitasi pemahaman guru-guru Sejarah di SMA terhadap model-model pembelajaran Sejarah; dan 4) menyusun model Pembelajaran Sejarah Berbasis Pendidikan Karakter. Subjek penelitian adalah guru-guru Sejarah SMA Solo Raya. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah observasi, wawancara, analisis dokumen, angket dan Focus Group Discussion. Metode analisis data menggunakan analisis kualitatif model interaktif. Hasil penelitian menunjukkan, bahwa: 1) tujuan pembelajaran Sejarah menanamkan semangat kebangsaan, cinta bangsa dan tanah air; materi sesuai dengan Standar Isi; metode ceramah bervariasi, media power point, film dan Liquid Crystal Display, sedangkan evaluasinya masih banyak pada aspek kognitif; 2) Faktor pendukung pembelajaran Sejarah, yaitu adanya model-model pembelajaran inovatif, faktor penghambatnya buku BSE yang minim, dan adanya diskriminatif mata pelajaran; 3) sebagian besar guru-guru SMA telah memahami model-model pembelajaran; dan 4) tersusunnya model Kritis, Kreatif, Berantai dan Berkarakter (KKBB). Kata kunci: pembelajaran Sejarah, guru Sejarah, Sekolah Menengah Atas, dan pendidikan karakter This exploratory study aims to: 1) determine objectives, materials, methods, media and evaluation of history teaching in senior secondary schools; 2) identify factors that support and inhibit history teaching in senior secondary schools; 3) exploit the understanding of history teachers of senior secondary schools on history teaching models; and 4) establish a model for character education based-history learning. Research subjects are history teachers of senior secondary schools in Solo Raya. Data were collected using observation, interviews, document analysis, questionnaire and Focus Group Discussion techniques, and analyzed using the method of qualitative interactive model. The results showed that: 1) purpose of history teaching inculcate the spirit of nationalism, love of nation and homeland; materials in accordance with the Content Standards; lecture methods varies, power point media, film and Liquid Crystal Display, while the evaluation is still tend to focus on cognitive aspects; 2) supporting factor of history teaching is the development of innovative learning models, while the inhibiting factors are the lack number of BSE book and discrimination on the subjects; 3) majority of history teachers of senior secondary schools have understood the learning models, and 4) completion of the Critical, Creative, Chain and Character model (KKBB). Keywords: history teaching, the history teacher, senior secondary schools, and character education 371.3 Sri Tatminingsih d an S udarwo (Univ ersitas Terb uka, Jl. Raya Pondok Cabe, Tang erang Se latan, e -mail: tatmi@ut.ac.id) Pengembangan Paket dan Strategi Pembelajaran IPA Melalui Permainan Tradisional untuk Siswa Kelas 3 SD di Daerah Rawan Bencana (Studi Kasus di SD Puncak Manis, Kecamatan Kadudampit, Sukabumi) Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Desember 2012, Vol. 18, Nomor 4, hal. 427-439 Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi permainan tradisional, karakteristik, dan mengembangkan ujicoba paket dan strategi pembelajaran kelas 3 SD di wilayah rawan bencana di Propinsi Jawa Barat. Sampel penelitian terdiri atas siswa dan guru kelas 3 di SDN Puncak Manis dan Pemuka masyarakat di Kecamatan Kedungpi, Kabupaten Sukabumi Jawa Barat. Teknik pengumpulan data dengan wawancara dan observasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hampir semua siswa tidak mengenal permainan tradisional di wilayahnya, namun terdapat

xxiv

Lembar abstrak

beberapa permainan tradisional yang masih dikenal oleh masyarakat di Kecamatan Kadudampit, di antaranya Oray-orayan, Cing Ciripit, Pacici Putri, Sonda dan Egrang. Karakterisitik siswa SD di daerah rawan bencana umumnya pasif dan kurang kreatif, bergantung pada guru. Paket pembelajaran yang sesuai siswa kelas 3 SD di wilayah rawan bencana berupa bahan ajar cetak, buku bergambar, dan video. Hasil ujicoba menunjukkan adanya peningkatan pemahaman siswa terhadap materi pembelajaran IPA untuk materi banjir sebesar 0,58 dan untuk materi gempa bumi sebesar 0,76. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan paket pembelajaran yang berupa booklet dan buku siswa tentang materi mitigasi dan sanitasi terkait dengan bencana banjir dan gempa bumi yang disampaikan melalui permainan tradisional membantu siswa dalam memahami materi tersebut. Kata kunci: paket dan strategi pembelajaran IPA, permainan tradisional, daerah rawan bencana, dan sekolah dasar This research aims to identify traditional games and the characteristics of third grade elementary school students, as well as to develop packages and learning strategies that are appropriate for third grade elementary school students in the disaster-prone area in West Java Province. This study employed research and development as the research design by using third grade students and teachers in elementary school Puncak Manis as well as the community of district Kadudampit, Sukabumi in West Java as the samples. Interviews and observation were used as data collection techniques. The results showed that almost all students are not familiar with the games, but there are some traditional games that are still known by the community of district Kadudampit such as Orayorayan, Cing Ciripit, Pacici Putri, Sonda and Egrang. The characteristics of elementary school students in the area of disaster-prone are generally passive, dependent on teachers and less creative. Learning packages in a form of printed or picture books and videos that are appropriate for the third grade elementary school students in disasterprone areas were delivered through traditional games as the strategy. The try out results showed an increase in students understanding of science teaching materials especially for the topics of flood that is 0.58 and for earthquake that is 0.76. This suggests that the use of the learning package in the form of booklets and books students on material related to disaster mitigation and sanitation floods and earthquakes which are delivered through traditional games (like Oray-orayan, Ciripit and Cing Pacici-cici Putri) assisted students in understanding the material about mitigation and sanitation related floods and earthquakes. Keywords: packages and learning strategies for science, traditional games, disaster-prone area, dan elementary school 375 Bambang Indriyanto (Pusat Penelitian Kebijakan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, e-mail: bambang.indriyanto@kemdikbud.go.id) Pengembangan Kurikulum Sebagai Intervensi Kebijakan Peningkatan Mutu Pendidikan Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Desember 2012, Vol. 18, Nomor 4, hal. 440-452 Abstrak Tujuan dari tulisan ini adalah mengajukan pengertian bahwa kurikulum dapat menjadi titik tolak bagi peningkatan mutu pendidikan. Berdasarkan pernyataan tersebut, tulisan ini mengajukan argumentasi bahwa efektivit as implementasi kurikulum tidak hanya terletak pada isi konsep yang komprehensif, tetapi juga pada kondisi kurikulum tersebut akan dilaksanakan. Kondisi tersebut meliputi kompetensi guru dan kecukupan ketersediaan sar ana pendidikan pada tingkat sekolah. Pengembangan Kurikulum 2013 oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang sekarang sedang berlangsung sedang dicermati oleh anggota masyarakat. Hal ini tentu saja merupakan konsekuensi kurikulum sebagai bagian dari kebijakan pendidikan. Ada yang mempertanyakan tentang konsepnya, tetapi ada juga yang setuju dengan ide Pengembangan Kurikulum 2013. Namun demikian tulisan ini berpendapat, meskipun ada yang tidak setuju atau setuju, bahwa faktor yang mendasari efektivitas pelaksanaan kurikulum adalah faktor manajemen. Faktor manajemen yang dimaksud meliputi manajemen pada tingkat sekolah dan kelas. Kehadiran teknologi informasi praktis pada setiap aspek kehidupan membawa dampak yang positif terhadap dunia pendidikan. Kata kunci: mutu pendidikan, kurikulum, manajemen pendidikan, kepemimpinan The objective of this paper is to foster the notion that curriculum can serve as a standpoint to improving the quality of education. By stating so, it proposes an argument that the effectiveness of their implementations do not only depend on comprehensiveness of the concept, but also on their relevance to the circumstances in which they are going to be implemented. They include teacher competencies and the adequate availability of education facilities at school level. The on going curriculum development called Curriculum 2013 by the Ministry of Education and Culture are undergoing scrutinization by publics. This has been a consequence of curriculum as a part of education

xxv

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, 2012

policies. Some cast doubts about the concept, some other support the idea of the development of curriculum 2013. This paper, however, argues, in spite of pro and cons, that management is an underlying factor which ensures the effectiveness of the implementation of the curriculum 2013. The concept of management consists of that in school and classroom levels. The present of information technology virtually in any walk of life, has positive impacts on education. Keywords: quality education, curriculum, education management, leadership. 378.1 Siswo Wiratno (Pusat Penelitian Kebijakan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, e-mail: wiratno2002@yahoo.com ) Pelaksanaan Pendidikan Kewirausahaan di Pendidikan Tinggi Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Desember 2012, Vol. 18, Nomor 4, hal. 453-466 Abstrak Tujuan kajian ini dimaksudkan untuk menganalisis pelaksanaan pendidikan kewirausahaan di perguruan tinggi, kaitannya dengan kompetensi lulusan yang diharapkan oleh dunia kerja dan kompetensi pendukung lainny a. Permasalahan yang berkaitan dengan pendidikan kewirausahaan antara lain: 1) persiapan dan pelaksanaan program kewirausahaan dan peran unit baru yang berfungsi dan bertugas sebagai pengelola program kewirausahaan belum optimal; 2) penyediaan sarana dan prasarana penyelenggaraan kewirausahaan yang masih terbatas (sarana dan prasarana, mitra kerja, dana,dan tenaga dosen yang berkompetensi dalam memberi bekal keterampilan kewirausahaan Hasil kajian menunjukkan bahwa: 1) pelak-sanaan pendidikan kewirausahaan di berbagai perguruan tinggi belum dilaksanakan secara optimal, antara lain disebabkan oleh belum optimalnya peran dan fungsi unit pengelola kewirausahaan; 2) kompetensi lulusan perguruan tinggi masih belum sepenuhnya memenuhi harapan dunia kerja, di mana diharapkan para lulusan perguruan tinggi memiliki kompetensi akademik, keterampilan berpikir, keterampilan manajemen dan keterampilan berkomunikasi. Di samping itu, lulusan belum cukup dibekali dengan keterampilan hidup (live skill), kemampuan beradaptasi dan belajar sepanjang hayat (life-long education). Kata kunci: pendidikan kewirausahaan, perguruan tinggi, kompetensi lulusan, dan dunia kerja The aims of this study is to analyze the implementation of entrepreneurship education in higher education, in relation to the competencies of graduates as expected by labour market and other supporting competencies. Problems related to entrepreneurship education, among others include: 1) preparation and implementation of entrepreneurship education program as well as the role of a new unit responsible to manage the program is not optimal; 2) provision of facilities and infrastructure for entrepreneurial implementation is still limited (means and infrastructure, partners, funding and competent lecturers in the subject of entrepreneurial skills). The assessment results showed that: 1) implementation of entrepreneurship education in various higher education institutios is not yet optimal, partly due to the failure of entrepreneurial management unit in optimizing its role and function; 2) competency of higher education graduates has not fully meet the expectations of the labour market, as they are expected to have academic competency, thinking skills, management skills and communication skills. In addition, graduates are not equipped with adequate live skills, ability to adapt and socialize with the working environment and life-long education. Keywords: entrepreneurship education, graduate competencies, higher education, and labour market 375 Herry Widyastono (Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang Kemdikbud, e-mail: herrywidyastono@yahoo.com) Muatan Pendidikan Holistik dalam Kurikulum Pendidikan Dasar dan Menengah Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Desember 2012, Vol. 18, Nomor 4, hal. 467-476 Abstrak Pendidikan holistik merupakan pendidikan yang mengembangkan seluruh potensi siswa secara harmonis, meliputi potensi intelektual, emosional, phisik, sosial, estetika, dan spiritual. Kajian ini bertujuan untuk memberikan gambaran tentang ada tidaknya muatan pendidikan holistik dalam kurikulum pendidikan dasar dan menengah. Selain itu juga memberikan gambaran tentang implementasi pendidikan holistik dalam pembelajaran di pendidikan dasar dan menengah. Permasalahan dirumuskan sebagai berikut: 1) Apakah kurikulum pendidikan dasar dan menengah sudah memuat pendidikan holistik? 2) Bila sudah, bagaimana imple-mentasi pendidikan holistik dalam pembelajaran? Kajian menyimpulkan bahwa: 1) Dokumen kurikulum pendidikan dasar dan menengah pada hakikatnya sudah memuat pendidikan holistik, karena prinsip, acuan, dan prosedur pengembangan kurikulum sejalan dengan bersosialisasi dengan lingkungan kerja serta

xxvi

Lembar abstrak

pengertian, tujuan, dan prinsip pendidikan holistik; 2) Pendidikan holistik belum diimplementasikan secara komprehensif dalam pembelajaran. Dalam rangka mengimplementasikan pendidikan holistik dalam pembelajaran, direkomendasikan agar guru dalam melaksanakan pembelajaran tidak hanya mengembangkan ranah pengetahuan, melainkan juga ranah keterampilan dan sikap, melalui pendekatan belajar siswa aktif. Kata kunci: pendidikan holistik, kurikulum, pengetahuan, keterampilan, dan sikap. Holistic education is the education which develops all students potentials in harmony comprises intellectual, emotional, physical, social, esthetic, and spiritual potentials. This article is aimed at describing on whether or not there is the degree of holistic approach in education, particularly for as follows 1) the basic and secondary education. In addition, this describes its implementation at the schools within the basic and secondary education. The problems are formulated whether the basic and secondary education has already been regarded as holistic education?, 2) if yes, how its implementation at the schools concerned. This concludes that: 1) the basic and secondary curriculums have, in principle, been as holistic ones because its principles, reference, and procedure to develop the curriculum are in line with the definition, objective, and the principles which support to it. 2) The holistic education is not yet implemented comprehensively at the schools. In terms of its implementation it is, therefore, advisable that all teachers, while teaching in the classroom, should give the students to have ample opportunities to develop not only their cognitive domain, but their psychomotor and affective ones through active learning. Keywords: holistic education, curriculum, cognitive, psychomotor, and affective. 901 Yudi Setianto (PPPPTK PKn-IPS Malang, Jl. Raya Arhanud, Pendem, Batu, Dikotomi Bebas Nilai dan Nilai Pendidikan dalam Pembelajaran Sejarah Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Desember 2012, Vol. 18, Nomor 4, hal. 477-488 Abstrak Tujuan penulisan artikel ini untuk menemukan win-win solution, dalam rangka memisahkan sekaligus sal ing menghormati antara Sejarah dalam ranah ilmu murni dan Sejarah dalam domain pendidikan atau pembelajaran ke siswa. Penulisan ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif. Sejarah sebagai ilmu dituntut objektif, dan tetap menjaga kebebasan nilai (value-free). Dalam konteks Sejarah, objektivitas bisa diterjemahkan sebagai kebenaran dan kejujuran, fakta yang direkonstruksi dituntut dikemukakan secara transparan. Namun, dalam ranah pembelajaran Sejarah, Sejarah tidak mungkin dikemukakan secara objektif. Hal ini bukan berarti jika pembelajaran bersifat subyektif ataupun mengingkari fakta. Bagi tujuan yang lebih bijaksana, polarisasi Sejarah, yaitu dalam rangka menumbuhkan nasionalisme, patriotisme serta tujuan-tujuan pendidikan lainnya, tidak mungkin disandingkan dengan sejarah sebagai alat legitimasi konflik sosial, bahkan disintegrasi bangsa. Ilmu Sejarah tetap bersifat objektif dalam mengungkap fakta Sejarah, sementara itu tujuan pelajaran Sejarah merupakan bagian dari tujuan pendidikan. Sejarah sebagai bahan pelajaran harus disusun searah dengan dasar dan tujuan Pendidikan Nasional. Sejarah sebagai mata pelajaran yang mempunyai misi tertentu dan Sejarah sebagai ilmu, harus dipadukan dalam konsep yang jelas tanpa mengorbankan prinsip-prinsip salah satunya atau keduanya. Pembelajaran Sejarah menempatkan fakta-fakta Sejarah yang disaring, demi tujuan pendidikan agar Sejarah menjadikan yang mempelajarinya lebih bijaksana. Kata kunci: ilmu Sejarah, bebas nilai, objektivitas sejarah, dan pendidikan Sejarah The aim of writing this article is to offer a win-win solution to put history learning, both as a pure social science as well as an education and learning tools for students. This study used qualitative descriptive approach. As a science, history should be objective and at the same time keep the value-free concept. In the context of history, objectivity means truth and honesty, that is all facts must be disclosed transparantly. However, in history learning, not all the historical facts should be revealed fully. Yet, it does not necessarily mean that history learning is not objective or even denying the facts. For the wiser purpose, the history polarisation aiming at growing students nationalisme, patriotism, and other noble educational objectives, it is not possible to treat history as a tool to legitimate social conflicts or even the nation disintegration. History in learning should keep objective in uncovering historical facts, while also maintain the purpose of the learning itself. History as a learning must be built upon the foundation and aim of the national education system. Thus, history as a school subject having particular education objectives must be put in line, side by side, compromise with its position as a social science, without eliminating the principles of one or both of them. History learning uses filtered historic facts, so the learners are led to be wise people. Keywords: the science of history, value-free, objectivity of history, and history learning e-mail: yudiroyan@gmail.com)

xxvii

ISSN 0215-2673

Mulai 2012 terbit empat kali setahun pada bulan Maret, Juni, September, dan Desember
Penanggungjawab: Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S. Redaktur: Ir. Hendarman, M.Sc., Ph.D. Dr. Bambang Indriyanto Ramon Mohandas, Ph.D Ir. Hari Setiadi, Ph.D. Dr. Hurip Danu Ismadi, M.Pd. Ketua Penyunting: Dr. Subijanto, M.Ed. (Kebijakan Pendidikan dan Kebudayaan) Penyunting: Dr. Herry Widyastono, M.Pd. (Kurikulum untuk Ilmu Pendidikan), Drs. Philip Suprastowo (Kebijakan Pendidikan), Dra. Ida Kintamani Dewi, M.Sc. (Kebijakan Pendidikan), Drs. Sutjipto, M.Pd. (Kurikulum untuk Ilmu Pendidikan), Dra. Nur Listiawati, M.Ed. (Kebijakan Pendidikan), Dr. Sabar Budi Raharjo, M.Pd. (Kebijakan Pendidikan), Dr. Ence Oos Mukhamad Anwas, M.Si. (Komunikasi/Penyuluhan Pembangunan), Dra. Ariani Soelistyarini, M.A. (Penilaian Pendidikan), dan Drs. Nasrudin (Budaya/Sastra) Mitra Bestari: Prof. Dr. Madyo Eko Susilo, M.Ed. (Universitas Veteran Sukoharjo/Manajemen Pendidikan), Prof. Dr. Sugiyono, M.Pd. (Universitas Negeri Yogyakarta/Teknik), Dr. Retno Dwi Suyanti (Universitas Negeri Medan/Kebijakan Pendidikan), Prof. Dr. Muhammad Sidin Ali, M.Pd. (Universitas Negeri Makassar/Evaluasi Pendidikan), Nonny Swediaty, Ph.D. (Institute for Research, Training & Development/Psikometri, PAUD, Educational & Brain) Desain Grafis Dra. Agus Prayitno, Eko Purwanto, Sekretariat: Bandiyah, S.IP., Rochana, S.S., Erwin, S.Pd., Dodi R. Pribadi Nugroho, S.S. Penerbit: Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Izin Terbit: SK MENPEN No. 1045/SK/Ditjen PPG/STT/1986 Tgl. 7 Agustus 1986 dan SK MENPEN No. 88/Ditjen PPG/K/1995 Tgl. 30 Mei 1995 Alamat Penyunting dan Redaksi: Sekretariat Balitbang Kemdikbud Gedung E Jalan Jenderal Sudirman, Senayan Jakarta 10270 Telepon : (021) 5727044, 57900406 Faksimile: (021) 57900406 Email : jurnaldikbud@yahoo.com; jurnaldikbud@kemdikbud.go.id Distribusi: Bagian Hukum dan Kepegawaian, Sekretariat Balitbang Kemdikbud

Sekretariat menerima artikel tentang kebijakan, penelitian, pemikiran, reviu/teori/konsep/metodologi/resensi buku baru, dan informasi lain yang berkaitan dengan permasalahan pendidikan dan kebudayaan Isi sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis

ISSN 0215-2673

Pedoman Penulisan
1. Naskah belum pernah dimuat/diterbitkan di media lain, diketik dengan 2 spasi pada kertas A4 dengan huruf Time Romans berukuran 12, jumlah 10-30 halaman dilengkapi: judul maksimal 14 kata (Bahasa Indonesia dan bahasa Inggris); abstrak sebanyak 100-150 kata (Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris); dan kata kunci sebanyak 3-5 pengertian (deskriptor). Naskah dikirim ke alamat Sekretariat Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan dalam bentuk printout dan disertai softcopynya. Naskah yang dapat dimuat dalam jurnal ini meliputi tulisan tentang kebijakan, penelitian, pemikiran, reviu teori/konsep/metodologi, resensi buku baru, dan informasi lain yang berkaitan dengan permasalahan pendidikan dan kebudayaan. Artikel hasil penelitian memuat judul, nama penulis, abstrak, kata kunci, dan isi. Isi artikel mempunyai struktur dan sistematika serta persentase jumlah halaman sebagai berikut. a. Pendahuluan meliputi latar belakang, perumusan masalah, dan tujuan penelitian (10%). b. Kajian Literatur mencakup kajian teori dan hasil penelitian terdahulu yang relevan (15%). c. Metodologi yang berisi rancangan/model, sampel dan data, tempat dan waktu, teknik pengumpulan data, dan teknik analisis data (10%). d. Hasil dan Pembahasan (50%). e. Simpulan dan Saran (15%). f. Pustaka Acuan. (Sistematika/struktur ini hanya sebagai pedoman umum. Penulis dapat mengembangkannya sendiri asalkan sepadan dengan pedoman ini). Artikel pemikiran/gagasan dan atau reviu teori memuat judul, nama penulis, abstrak, kata kunci, dan isi. Isi artikel mempunyai struktur dan sistematika serta persentasenya dari jumlah halaman sebagai berikut. a. Pendahuluan meliputi latar belakang, perumusan masalah dan tujuan penulisan (10%) b. Kajian literatur dan pembahasan serta pengembangan teori/konsep (70%). c. Simpulan dan saran (20%) d. Pustaka Acuan. (Sistematika/struktur ini hanya sebagai pedoman umum. Penulis dapat mengembangkannya sendiri asalkan sepadan). Artikel resensi buku selain menginformasikan bagian-bagian penting dari buku yang diresensi juga menunjukkan bahasan secara mendalam kelebihan dan kelemahan buku tersebut serta membandingkan teori/konsep yang ada dalam buku tersebut dengan teori/konsep dari sumber-sumber lain. Khusus naskah hasil penelitian yang disponsori oleh pihak tertentu harus ada pernyataan (acknowledgement) yang berisi informasi sponsor yang mendanai dan ucapan terima kasih kepada sponsor tersebut. 80% atau lebih Pustaka yang diacu hendaknya bersumber dari hasil-hasil penelitian, gagasan, teori/konsep) yang telah diterbitkan di jurnal (komposisi sumber acuan dari hasil penelitian lebih banyak daripada sumber yang diacu dari buku teks). Hasil penelitian paling lama 10 tahun terakhir, kecuali Pustaka Acuan yang klasik (tua) yang memang dimanfaatkan sebagai bahan kajian historis. Penulisan pustaka acuan yang bersumber dari internet, agar ditulis secara berurutan sebagai berikut: penulis, judul, alamat web, dan tanggal unduh (down load). Unsur yang ditulis dalam Daftar Rujukan secara berturut-turut meliputi: 1) nama pengarang ditulis dengan urutan: nama akhir, nama awal, dan nama tengah, tanpa gelar akademik; 2) tahun penerbitan; 3) judul, termasuk subjudul; 4) tempat penerbitan; dan 5) nama penerbit. Unsur-unsur tersebut dapat bervariasi tergantung jenis sumber pustakanya. Rujukan dari buku, contoh: Dekker, N. 1992. Pancasila sebagai Ideology Bangsa: dari Pilihan Satu-satunya ke Satu-satunya Azas. Malang: FPIPS IKIP Malang. Jika ada beberapa buku yang dijadikan sumber ditulis oleh orang yang sama dan diterbitkan dalam tahun yang sama pula, data tahun penerbitan diikuti oleh lambang a, b, c, dan seterusnya yang urutannya ditentukan secara kronologis atau berdasarkan abjad judul buku-bukunya. Contoh: Cornet, L. & Weeks, K. 1985a. Career Ladder Plans. Altanta GA: Career Ladder Clearinghouse. Cornet, L. & Weeks, K. 1985b. Planning Carrer Ladder: Lesson from the States. Altanta GA: Career Ladder Clearinghouse. Rujukan dari buku yang berisi kumpulan artikel (ada editornya). Ditambah dengan ed jika satu editor, eds jika editornya lebih dari satu. Contoh: Denzin, N.K., Lincoln, Y. S., ed. 2009. Handbook of Qualitative Research. Terj. Daryatmo. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Rujukan dari artikel dalam buku kumpulan artikel (ada editornya) contoh: Hasan, M.Z. 1990. Karakteristik Penelitian Kualitatif. Dalam Aminuddin (Ed.). Pengembangan Penelitian Kualitatif dalam Bidang Bahasa dan Sastra. Malang: HISKI Komisariat dan YA3. Rujukan dari artikel dalam jurnal, contoh: Dali S, Naga. 1998. Karakteristik Butir pada Alat Ukur Model Dikotomi. Jurnal Ilmiah Psikologi, III 4 34-42 Rujukan dari artikel dalam Majalah atau Koran, contoh: Alka, David Krisna. 4 januari 2011. Republik Rawan Kekerasan? Suara Karya hlm. 11 Rujukan dari Koran tanpa penulis, contoh: Kompas. 19 September, 2011. Sosok: Herlambang Bayu Aji, Berkreasi dengan Wayang di Eropa, hlm. 16
Rujukan dari dokumen resmi pemerintah yang diterbitkan oleh suatu penerbit tanpa pengarang dan tanpa lembaga, contoh:

2.

3.

4.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. 1990. Jakarta: diperbanyak oleh PT Armas Duta Jaya. Rujukan dari lembaga yang ditulis atas nama lembaga tersebut, contoh: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1998. Panduan Manajemen Sekolah. Direktorat Pendidikan Menengah Umum. Jakarta. Rujukan dari karya terjemahan, contoh: Sztompka, Piotr. 2005. Sosiologi Perubahan Sosial (Terjemahan Alimandan) Jakarta: Penerbit Prenada Rujukan berupa skripsi, tesis, atau disertasi, contoh: Indarno, Jasman. 2002. Kontribusi Penerapan Berbasis Sekolah terhadap Kualitas Penyelenggaraan Pendidikan Tingkat Dasar di Jawa Tengah. Tesis. Semarang: Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro. Rujukan berupa makalah yang disajikan dalam seminar, penataran, atau lokakarya, contoh: Siskandar. 2003. Teknologi Pembelajaran dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi. Makalah: Disajikan pada Seminar Nasional Teknologi Pembelajaran pada Tanggal 22-23 Agustus 2003 di Hotel Inna Garuda Yogyakarta.
Rujukan dari internet, contoh:

5.

6.

7.

Wikipedia. 2007. Lesson Study (Online) (http://en.wikipedia.org/wiki/ Lesson_study) diunduh 9 April 2011 8. Naskah diketik dengan memperhatikan aturan tentang penggunaan tanda baca dan ejaan yang dimuat dalam Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (terbaru). Pengiriman naskah disertai dengan alamat, nomor telepon, fax dan E-mail (bila ada). Pemuatan atau penolakan naskah akan diberitahukan secara tertulis. Naskah yang tidak dimuat tidak akan dikembalikan, kecuali atas permintaan penulis. Kepada penulis diberikan 2 eksemplar jurnal sebagai tanda bukti pemuatan.

9.

You might also like