You are on page 1of 9

PENGAMANAN WILAYAH PERBATASAN NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA DAN KEPASTIAN HUKUM BAGI PERTAHANAN WILAYAH NEGARA

Sobar Sutisna1

Abstract Securing NKRI territory, especially in border areas, has get serious attention. This time come from defense security, related to integration problem and state sovereignty in some outer islands. NKRI territory has sovereign borders and rights which oftenly become sensitive issues in Indonesian society, from executive, legislative into political elite (national and local), and also defense officials. This sensitivity complicates problems and results in difficulties in taking decision when the main problem cannot be understood rightly and proportionately. Reviewing some public officials statement, related to the need for special constitution for state border in order to depress possibility of annexation by other country, it needs special geospatial information settlement carefully and accurately so that can response NKRI border problems. This paper will analyse some border cases which oftenly become public debate, especially related to status and ownership of NKRI outer island. Based on study and analysis describes in this paper, it concludes that some of our legislations can be used as legal basic for integrity of NKRI territory. The actual problem at the moment is how to protect, to supervise, to secure, and to manage rightly from many aspects of government and development, including the readiness of defense security officers that need to be supported by complete and adequate alutsista. Keywords : border security, NKRI, law determination, defense.

Pendahuluan Pengamanan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) bukan hanya masalah pertahanan dan keamanan, melainkan menyangkut masalah politik, hukum, ekonomi, sosial budaya, kesejahteraan, dan dokumentasi informasi geospasial. Layaknya sebuah lukisan zamrud khatulistiwa yang dibingkai, wilayah NKRI memiliki

Sobar Sutisna, Ir., M.Surv.Sc., Ph. D., Peneliti Utama Bakosurtanal dan praktisi perbatasan.

batas kedaulatan dan hak berdaulatnya sebagai bingkai. Batas wilayah NKRI belakangan ini menjadi isu yang sangat sensitif, baik di kalangan eksekutif, legislatif, aparatur pertahanan, maupun masyarakat umum, termasuk kalangan elite politik (pusat dan daerah). Sensitivitas tersebut kemudian diikuti dengan sentimental dan emosional yang kadang dapat membuat kehilangan konteks terhadap permasalahan yang sebenarnya. Akibatnya, pengambil keputusan dapat keliru. Menyimak pernyataan Pangdam Udayana yang dikutip oleh harian Kompas tanggal 4 Januari 2006 dinyatakan bahwa dukungan undang-undang khusus perbatasan wilayah NKRI kini terasa kian mendesak.2 Undang-undang itu ibarat sertifikat tanah untuk keabsahan kepemilikan lahan guna menekan kemungkinan terjadinya penyerobotan. Sentimen dan emosi itu berkembang sejak diputuskannya kasus Sipadan dan Ligitan oleh Mahkamah Internasional serta mencuatnya kasus Ambalat beberapa waktu lalu. Hal itu tentunya merupakan suatu tanda masih adanya kepekaan nasionalisme yang baik dari setiap anggota masyarakat Indonesia. Namun, hal itu juga memerlukan suatu penanganan khusus yang tenang, cermat, dan cerdas. Informasi permasalahan batas NKRI yang beredar di masyarakat hendaknya ditanggapi secara arif oleh para pemimpin bangsa, baik di tingkat nasional maupun daerah, baik legislatif maupun eksekutif,dengan memberikan informasi yang jelas dan benar berdasarkan data/informasi dari instansi atau pakar yang kompeten. Rancangan Undang-Undang Perbatasan: Sebuah Polemik Masa Lalu Pada saat ini, di masyarakat ataupun di jajaran eksekutif dan legislatif sedang gencar membicarakan isu tentang perlunya sebuah undang-undang khusus tentang perbatasan sebagai dasar hukum dari wilayah kedaulatan NKRI. Dengan merujuk pernyataan yang dikeluarkan oleh Pangdam Udayana yang dikutip oleh harian Kompas tanggal 4 Januari 2006, dinyatakan bahwa dukungan undang-undang khusus perbatasan wilayah NKRI kini terasa kian mendesak. Undang-undang itu ibarat

Kompas, 4 Januari 2006.

sertifikat tanah untuk keabsahan kepemilikan lahan guna menekan kemungkinan terjadinya penyerobotan. Pernyataan dari Pangdam Udayana tersebut perlu dicermati dengan saksama. Di satu sisi pentingnya dasar hukum sebuah wilayah negara sangat penting. Namun, apabila melihat perundang-undangan kita, sesungguhnya apa yang dimaksud dengan undang-undang perbatasan sudah dimiliki oleh Indonesia, baik yang menunjukkan klaim integritas wilayah NKRI maupun perundangan yang merupakan hasil kesepakatan dengan negara tetangga. Sebagai contoh perundangan nasional terkait dengan batas wilayah NKRI adalah Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2002 tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-Titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia (kini telah diperbarui dengan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2008). Di dalam Peraturan Pemerintah tersebut dicantumkan daftar koordinat geografis dari titik-titik garis pangkal Kepulauan Indonesia. Garis pangkal dimaksud adalah garis yang menghubungkan titik-titik terluar dari pulau terluar dari wilayah NKRI. Selanjutnya, titik-titik tersebut dihubungkan satu dengan yang lain sehingga membentuk garis pangkal Kepulauan Indonesia sebagai fondasi pagar batas wilayah negara di laut. Dari garis pangkal tersebut diukur lebar laut teritorial sejauh 12 mil laut (nm) atau sesuai dengan kesepakatan apabila terjadi overlapping dengan laut teritorial negara tetangga. Dari batasan itu jelas bahwa segala sesuatu yang berada di dalam zona laut teritorial Indonesia mutlak merupakan wilayah kedaulatan NKRI. Di samping Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2002 dan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2008, masih banyak peraturan perundangan lain yang terkait dengan batas wilayah NKRI. Sebagai contoh adalah Undang-Undang Nomor2 Tahun 1971 tentang Pengesahan Perjanjian antara Republik Indonesia dengan Malaysia tentang Penetapan Garis Batas Laut Wilayah Kedua Negara di Selat Malaka, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1973, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1973, dan empat belas peraturan perundang-undangan lain yang mengesahkan perjanjian batas kedaulatan dan hak berdaulat Indonesia dengan negara tetangga.

Dengan adanya berbagai perundangan tersebut, ditambah dengan status Indonesia yang juga negara pihak terhadap UNCLOS 1982, tampaknya tidak perlu adanya keraguan tentang batas terluar dari NKRI. Perundangan yang telah ada tersebut juga dapat menjadi dasar bagi TNI untuk menjalankan tugas dan fungsi pengamanan wilayah NKRI. Permasalahan bagi TNI sekarang ini bukanlah berada pada kurangnya landasan hukum untuk menjalankan tugas dan fungsinya, melainkan lebih pada sarana dan prasarana yang dapat menunjang perannya tersebut. Hal itu dapat diketahui bahwa alat tempur dan sistem pertahanan yang dimiliki oleh TNI masih jauh dari memadai untuk dapat mengamankan seluruh wilayah NKRI yang luas daratannya sekitar 2 juta km2 dan luas laut wilayahnya sekitar 3 juta km 2 serta ditambah sekitar 3 juta km2 luas wilayah hak berdaulatnya di lautan. Untuk itu, seharusnya yang diperlukan adalah sebuah komitmen dan kebijakan politik dari pemerintahan NKRI (eksekutif dan legislatif) untuk dapat memperlengkapi kekuatan alutsista TNI pada masa yang akan datang. Polemik RUU tentang Perbatasan Negara kini telah berlalu dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara pada tanggal 14 November 2008 dan disahkan Perpres Nomor 12 Tahun 2010 kemudian dibentuk Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP). Pulau Batek dan Pulau Mengkudu: Polemik atau Isu Dalam menanggapi status Pulau Batek dan Pulau Mengkudu yang keduanya berada di wilayah Provinsi Nusa Tenggara Timur dan kemudian ramai diberitakan di media massa sebagai adanya kejadian penguasaan wilayah Indonesia oleh negara asing, seharusnya tidak perlu menjadi polemik berkepanjangan. Kedua pulau tersebut tidak perlu diragukan status kedaulatannya, yaitu berada dan merupakan bagian dari wilayah NKRI. Isu tentang kepemilikan kedua pulau tersebut juga dikaitkan dengan isu yang sebelumnya diberitakan tentang status Pulau Batek yang oleh sementara pejabat pemerintah Timor Leste dan UN PKF pernah melakukan penjajakan klaim terhadap Pulau Batek.

Namun, hal itu telah diprotes oleh pemerintah Indonesia dan hal itu sudah dibicarakan dengan Timor Leste. Dalam hal itu, dasar hukum yang menunjang status Pulau Batek sebagai bagian dari wilayah NKRI adalah sangat kuat karena adanya Lembaran Negara Hindia Belanda (Staatsblad/Ordonansi) Nomor 331 Tahun 1916 yang secara eksplisit menyebut bahwa Pulau Batek berada di bawah kedaulatan dan administrasi pemerintah Hindia Belanda. Dari penjelasan itu tidak perlu diragukan dan dipermasalahkan lagi tentang status Pulau Batek yang merupakan bagian dari wilayah NKRI. Pulau Mengkudu atau disebut juga Pulau Mangudu keberadaannya juga sudah sangat jelas, yaitu berada di wilayah NKRI. Hal itu didasarkan pada Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2002 yang mencantumkan Pulau Mangudu sebagai salah satu pulau lokasi titik dasar Kepulauan Indonesia. Di Pulau Mangudu terdapat dua buah titik dasar, yaitu TD 125 dan TD 125 A. Apabila polemik yang ada saat ini terkait dengan adanya warga negara Australia yang bernama David yang tinggal di pulau itu dan mendirikan resor berskala internasional, hal itu perlu dicermati dengan saksama karena dia tinggal di tempat itu juga karena sudah menikah dengan anak raja dari Sumba Timur. Apabila David pada saat ini mendirikan resor berskala internasional, hal itu juga perlu ditinjau dari sistem perundangan yang berlaku di Indonesia. Salah satunya adalah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria dan peraturan pelaksanaannya berkenaan dengan Pendaftaran Tanah (Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 sebagaimana telah diganti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1994). Perlu dikaji apakah pengelolaan resor internasional tersebut menggunakan kepemilikan tanah keluarga dari istrinya atau tanah yang dimiliki oleh David. Perlu diingat bahwa dalam hukum agraria kita, status kepemilikan tanah yang dilarang bagi non-WNI hanyalah status hak milik. Oleh karena itu, polemik tentang kepemilikan (apalagi kedaulatan) Indonesia atas Pulau Mangudu atau Pulau Mengkudu tidak perlu diperpanjang dan dikaitkan dengan status kedaulatan NKRI atas pulau tersebut. Keadaan yang saat ini mendesak

bukan meragukan kedaulatan atas Pulau Mengkudu, melainkan lebih pada bagaimana pengelolaan pulau tersebut (sebagai pulau terluar) dari sisi hukum nasional Indonesia. Dalam hal itu, pihak pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur hendaknya dapat melihat kawasan Pulau Mangudu dan Pulau Batek sebagai aset dan potensi wilayah yang dapat dikembangkan dan yang mungkin dapat memberikan pendapatan (revenue) yang besar bagi pemerintah daerah apabila dikelola dengan baik. Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan: Suatu Kehilangan atau Kegagalan Memiliki Di dalam setiap polemik tentang perbatasan NKRI, masih banyak masyarakat kita yang selalu merefleksikan terhadap kasus Pulau Sipadan dan Ligitan sebagai sebuah kehilangan kedautan Indonesia atas kedua pulau tersebut. Benarkah demikian? Bukankah hal itu adalah sebagai suatu kegagalan memiliki kedua pulau tersebut yang kita sengketakan dengan Malaysia, kemudian diputus oleh Mahkamah Internasional pada Desember 2002. Indonesia kini menunggu undang-undang perbatasan hingga pulau-pulau kecil dekat perbatasan dengan negara lain tidak mengalami nasib seperti Sipadan dan Ligitan. Untuk merefleksikan masalah kedaulatan terhadap kasus Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan perlu dilihat dari konteks permasalahannya. Kasus Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan (Siplig) adalah kasus yang bersifat unik dan khusus. Kedua pulau tersebut menjadi objek sengketa kepemilikan antara Indonesia dan Malaysia yang berawal pada tahun 1969 ketika kedua negara merundingkan perbatasan landas kontinen di antara kedua negara. Dalam perundingan tersebut ditemukan bahwa Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan merupakan pulau yang tidak bertuan (terranulius). Hal itu mengingat bahwa kedua negara tidak memasukkan kedua pulau tersebut ke dalam wilayah masing-masing. Indonesia sendiri melalui Undang-Undang Nomor 4/Prp/1960 tidak mencantumkan Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan sebagai bagian dari wilayah NKRI. Atas dasar saling klaim tersebut, kedua negara sepakat untuk menempatkan kedua

pulau tersebut ke dalam status quo yang pada akhirnya pada tahun 1997 kedua negara bersepakat untuk dibawa ke Mahkamah Internasional (ICJ) untuk diputuskan tentang kepemilikannya. Pencantuman Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2002 merupakan langkah yang sudah terlambat, kemudian dikoreksi pada tahun 2008 dengan Peraturan Pemerintah Nomr 37 Tahun 2008. Dari uraian tersebut dapat dilihat bahwa pemahaman yang perlu ditanamkan adalah bahwa Indonesia bukan kehilangan Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan, melainkan Indonesia gagal di dalam upaya memasukkan keduanya ke dalam wilayah NKRI. Perlu pula dipahami bahwa kasus Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan bukanlan kasus sengketa batas wilayah negara, melainkan kasus sengketa kepemilikan pulau tersebut. Kasus Siplig yang unik dan khusus itu hendaknya menjadi pembeda dan tidak menjadi refleksi terhadap keraguan atas kedaulatan wilayah NKRI atas pulau terluar lainnya yang telah masuk di dalam sistem hukum Indonesia. Kesimpulan Masyarakat Indonesia tidak perlu ragu atas status kedaulatan dari wilayah Indonesia, terutama yang berada di perbatasan dengan negara tetangga, karena semuanya telah jelas diatur dalam peraturan perundang-undangan yang sah. Yang masih belum tuntas adalah sebagian kecil dari perbatasan laut wilayah, seperti di Selat Malaka bagian selatan, Selat Singapura bagian timur, di sekitar perairan Tanjung Datu, perairan Selat Letti, Selat Wetar, Selat Ombay, dan Laut Sawu. Daerah lain yang belum tuntas adalah wilayah perairan hak berdaulat, terutama Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE). Berbagai ketentuan perundangan yang kita miliki telah cukup menjadi landasan integritas wilayah NKRI. Masalah aktual sekarang ini adalah bagaimana menjaga, mengawasi, mengamankan, dan mengelolanya dengan baik dari berbagai aspek pemerintahan dan pembangunan. Dalam pandangan penulis, pada saat ini yang perlu dikedepankan oleh para pengambil keputusan (politik dan anggaran) adalah bagaimana Indonesia mengelola

wilayah perbatasan dengan sebaik-baiknya. Apabila ingin menempatkan wilayah perbatasan sebagai beranda depan wilayah NKRI, pengawasan, pengamanan, pengembangan, dan pembangunan wilayah perbatasan tersebut menjadi hal yang sangat penting. Namun, karena masih terdapat segmen batas maritim yang belum tuntas dirundingkan dengan negara tetangga, pemerintah perlu terus melanjutkan kebijakan border diplomacy oleh seluruh instansi yang terkait yang dikoorinasikan pelaksanaannya oleh Kementerian Luar Negeri RI. Daftar Pustaka Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1994. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2002 tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-Titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia. Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2002. Sobar Sutisna (Ed.). 2006. Pandang Wilayah Perbatasan Indonesia. Jakarta: Pusat Pemetaan Batas Wilayah, Bakosurtanal. Staatsblad Hindia Belanda Nomor 331 Tahun 1916. Undang-Undang Nomor 4/Prp. Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia, sebagaimana telah diganti dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 . Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1971 tentang Ratifikasi Perjanjian Batas Laut Wilayah antara Indonesia dengan Malaysia di Selat Malaka. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1973 tentang Ratifikasi Perjanjian Batas Wilayah Negara antara Indonesia dengan Australia atas Perbatasan Darat antara Indonesia-Papua Nugini. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1973 tentang Ratifikasi Perjanjian Batas Laut Wilayah antara Indonesia dengan Singapura di Selat Singapura.

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Ratifikasi UNCLOS 1982. Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1971 Wirajuda, Hassan. 2006. Memaknai Penyelesaian Sengketa Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan. Pandang Wilayah Perbatasan Indonesia. Jakarta: Pusat Pemetaan Batas Wilayah, Bakosurtanal.

You might also like