You are on page 1of 27

BAB I PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang Madrasah dan Pesantren adalah institusi pendidikan yang berada di bawah pimpinan seorang atau beberapa kiai dan dibantu oleh sejumlah santri senior serta beberapa anggota keluarganya. Pesantren menjadi bagian yang sangat penting bagi kehidupan kiai sebab ia merupakan tempat bagi sang kiai untuk mengembangkan dan melestarikan ajaran tradisi, dan pengaruhnya di masyarakat. Menurut Nurcholish Madjid, pesantren adalah salah satu lembaga pendidikan yang ikut mempengaruhi dan menentukan proses pendidikan nasional. Dalam perspektif historis, pesantren tidak hanya identik dengan makna keislaman, tetapi juga mengandung makna keaslian Indonesia (indigenous) sebab lembaga yang serupa pesantren ini sudah ada di Nusantara sejak zaman kekuasaan Hindu-Budha. Dalam hal ini, para kiai tinggal meneruskan dan mengislamkan lembaga-lembaga tersebut. Sedangkan tujuan pendidikan pesantren adalah membentuk manusia yang memiliki kesadaran yang tinggi bahwa ajaran Islam bersifat komprehensif. Selain itu, produk pesantren juga dikonstruksi untuk memiliki kemampuan yang tinggi dalam merespons tantangan dan tuntutan hidup dalam konteks ruang dan waktu, dalam ranah nasional maupun internasional. Sesuai dengan tujuan pendidikan nasional yaitu berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (UU Sisdiknas No 20 Tahun 2003 Pasal 3).

B.

Rumusan Masalah 1. Bagaimana Kendala Perkembangan pendidikan di Madrasah pondok pesantren? 2. Bagaimana hambatn Perkembangan pendidikan di Madrasah dan pondok pesantren?

C.

Tujuan 1. Untuk mengetahui dan memahami Bagaimana Kendala Perkembangan pendidikan di Madrsah dan pondok pesantren 2. Untuk mengetahui dan memahami Bagaimana hambatn Perkembangan pendidikan di Madrsah dan pondok pesantren

BAB II PEMBAHASAN

A. Pesantren 1. Pondok Pesantren Di Indonesia Sejak awal masuknya Islam ke Indonesia, pendidikan Islam merupakan kepentingan tinggi bagi kaum muslimin. Tetapi hanya sedikit sekali yang dapat kita ketahui tentang perkembangan pesantren di masa lalu, terutama sebelum Indonesia dijajah Belanda, karena dokumentasi sejarah sangat kurang. Bukti yang dapat kita pastikan menunjukkan bahwa pemerintah penjajahan Belanda memang membawa kemajuan teknologi ke Indonesia dan memperkenalkan sistem dan metode pendidikan baru. Namun, pemerintahan Belanda tidak melaksanakan kebijaksanaan yang mendorong sistem pendidikan yang sudah ada di Indonesia, yaitu sistem pendidikan Islam. Malah pemerintahan penjajahan Belanda membuat kebijaksanaan dan peraturan yang membatasi dan merugikan pendidikan Islam. Ini bisa kita lihat dari kebijaksanaan berikut. Pada tahun 1882 pemerintah Belanda mendirikan Priesterreden (Pengadilan Agama) yang bertugas mengawasi kehidupan beragama dan pendidikan pesantren. Tidak begitu lama setelah itu, dikeluarkan Ordonansi tahun 1905 yang berisi peraturan bahwa guru-guru agama yang akan mengajar harus mendapatkan izin dari pemerintah setempat. Peraturan yang lebih ketat lagi dibuat pada tahun 1925 yang membatasi siapa yang boleh memberikan pelajaran mengaji. Akhirnya, pada tahun 1932 peraturan dikeluarkan yang dapat memberantas dan menutup madrasah dan sekolah yang tidak ada izinnya atau yang memberikan pelajaran yang tak disukai oleh pemerintah. (Dhofier 1985:41, Zuhairini 1997:149)

Peraturan-peraturan

tersebut

membuktikan

kekurangadilan

kebijaksanaan pemerintah penjajahan Belanda terhadap pendidikan Islam di Indonesia. Namun demikian, pendidikan pondok pesantren juga menghadapi tantangan pada masa kemerdekaan Indonesia. Setelah penyerahan kedaulatan pada tahun 1949, pemerintah Republik Indonesia mendorong pembangunan sekolah umum seluas-luasnya dan membuka secara luas jabatan-jabatan dalam administrasi modern bagi bangsa Indonesia yang terdidik dalam sekolah-sekolah umum tersebut.. Dampak kebijaksanaan tersebut adalah bahwa kekuatan pesantren sebagai pusat pendidikan Islam di Indonesia menurun. Ini berarti bahwa jumlah anak-anak muda yang dulu tertarik kepada pendidikan pesantren menurun dibandingkan dengan anak-anak muda yang ingin mengikuti pendidikan sekolah umum yang baru saja diperluas. Akibatnya, banyak sekali pesantren-pesantren kecil mati sebab santrinya kurang cukup banyak (Dhofier 1985:41). Jika kita melihat peraturan-peraturan tersebut baik yang dikeluarkan pemerintah Belanda selama bertahun-tahun maupun yang dibuat pemerintah RI, memang masuk akal untuk menarik kesimpulan bahwa perkembangan dan pertumbuhan sistem pendidikan Islam, dan terutama sistem pesantren, cukup pelan karena ternyata sangat terbatas. Akan tetapi, apa yang dapat disaksikan dalam sejarah adalah pertumbuhan pendidikan pesantren yang kuatnya dan pesatnya luar biasa. Seperti yang dikatakan Zuhairini (1997:150), ternyata jiwa Islam tetap terpelihara dengan baik di Indonesia. 2. Sistem Pendidikan Pondok Pesantren: Dulu, pusat pendidikan Islam adalah langgar masjid atau rumah sang guru, di mana murid-murid duduk di lantai, menghadapi sang guru, dan belajar mengaji. Waktu mengajar biasanya diberikan pada waktu malam hari biar tidak mengganggu pekerjaan orang tua sehari-hari. Menurut Zuhairini (1997:212), tempat-tempat pendidikan Islam nonformal seperti inilah yang menjadi embrio terbentuknya sistem pendidikan pondok pesantren. Ini

berarti bahwa sistem pendidikan pada pondok pesantren masih hampir sama seperti sistem pendidikan di langgar atau masjid, hanya lebih intensif dan dalam waktu yang lebih lama. Pendidikan pesantren memiliki dua sistem pengajaran, yaitu sistem sorogan, yang sering disebut sistem individual, dan sistem bandongan atau wetonan yang sering disebut kolektif. Dengan cara sistem sorogan tersebut, setiap murid mendapat kesempatan untuk belajar secara langsung dari kyai atau pembantu kyai. Sistem ini biasanya diberikan dalam pengajian kepada murid-murid yang telah menguasai pembacaan Qurn dan kenyataan merupakan bagian yang paling sulit sebab sistem ini menuntut kesabaran, kerajinan, ketaatan dan disiplin pribadi dari murid. Murid seharusnya sudah paham tingkat sorogan ini sebelum dapat mengikuti pendidikan selanjutnya di pesantren (Dhofier, 1985: 28). Metode utama sistem pengajaran di lingkungan pesantren ialah sistem bandongan atau wetonan. Dalam sistem ini, sekelompok murid mendengarkan seorang guru yang membaca, menerjemahkan, dan menerangkan buku-buku Islam dalam bahasa Arab. Kelompok kelas dari sistem bandongan ini disebut halaqah yang artinya sekelompok siswa yang belajar dibawah bimbingan seorang guru (Dhofier, 1985: 28). Sistem sorogan juga digunakan di pondok pesantren tetapi biasanya hanya untuk santri baru yang memerlukan bantuan individual. Pesantren sekarang ini dapat dibedakan kepada dua macam, yaitu pesantren tradisional dan pesantren modern. Sistem pendidikan pesantren tradisional sering disebut sistem salafi. Yaitu sistem yang tetap

mempertahankan pengajaran kitab-kitab Islam klasik sebagai inti pendidikan di pesantren. Pondok pesantren modern merupakan sistem pendidikan yang berusaha mengintegrasikan secara penuh sistem tradisional dan sistem sekolah formal (seperti madrasah).

Tujuan proses modernisasi pondok pesantren adalah berusaha untuk menyempurnakan sistem pendidikan Islam yang ada di pesantren. Akhir-akhir ini pondok pesantren mempunyai kecenderungan-kecenderungan baru dalam rangka renovasi terhadap sistem yang selama ini dipergunakan. Perubahanperubahan yang bisa dilihat di pesantren modern termasuk: mulai akrab dengan metodologi ilmiah modern, lebih terbuka atas perkembangan di luar dirinya, diversifikasi program dan kegiatan di pesantren makin terbuka dan luas, dan sudah dapat berfungsi sebagai pusat pengembangan masyarakat (Hasbullah, 1999:155). 3. Masalah dan Kendala Menurut Prof. DR. Sayid Agil Siroj, MA, terdapat beberapa hal yang selalu ada dan sangat sulit diatasi dan melakukan pengembangannya, salah dihadapi oleh Pesantren dalam satunya adalah manajemen

kelembagaan. Manajemen merupakan unsur penting dalam pengelolaan pesantren. Pada saat ini masih terlihat bahwa pondok pesantren dikelola secara sederhana dan tradisional. Manajemen dan administrasinya masih bersifat kekeluargaan dan semuanya ditangani oleh kiainya, apalagi dalam penguasaan informasi dan teknologi yang masih belum optimal. Hal tersebut dapat dilihat dalam proses pendokumentasian (data base) santri dan alumni pondok pesantren yang masih kurang terstruktur. Dalam hal ini, pesantren perlu menata ulang dan terus berusaha berbenah diri.. Manajemen pendidikan pesantren tidak lagi bisa dianggap sebagai manajemen sosial yang bebas dari keharusan pencapaian target dan dikendalikan oleh subyek yang berwawasan sempit, misalnya dengan pendekatan kekeluargaan seperti yang penulis jumpai di sebagian pesantren di Indonesia Sesuatu yang dapat dikembangkan mengenai peran madrasah, pesantren bahkan sekolah Islam sekalipun, adalah pada peran strategisnya dalam mengelola pola manajemen strategik yang dapat menghasilkan rumusan (formulasi) dan pelaksanaan (implementasi) rencana-rencana untuk

mencapai sasaran-sasaran perusahaan dalam hal ini disebut dengan Madrasah, Pesantren dan Sekolah Islam (Agus Maulana, 1997: 20). Sesuatu yang dapat dikembangkan dalam pengelolaan pendidikan Islam ( pesantren, madrasah dan sekolah Islam) adalah pola manajemen srategik keputusan dan tindakan yang menghasilkan perumusan (formulasi) dan pelaksanaan (implementasi) rencana-rencana untuk mencapai sasaran sasaran perusahaan dalam hal ini disebut madrasah (Agus Maulana, 1997: 20) Dalam konteks pendidikan pesantren, madrasah dan sekolah Islam, apabila penerapan manajemen instruksional dirumuskan dalam pola-pola praktis yang kaku oleh pemegang kebijakan, akan mengakumulasikan kerawanan masalah. Seperti proses pembelajaran yang kurang memadai, pengembangan sumber daya manusia (SDM) yang tidak profesional dan lain sebagainya. Membiarkan pola seperti ini berkembang (tanpa ada solusi alternatif menuju perkembangan pesantren, madrasah dan sekolah Islam ke depan) pada saatnya akan mengancam eksistensi pesantren, madrasah dan sekolah Islam itu sendiri. Yang terpenting dari semua ini dalam melaksanakan pengelolaan manajemen madrasah terutama pada perannya yang seluruh potensi yang dimiliki stakeholder dan kemudian secara bersama menyusun program dan rencana pengembangan pesantren, madrasah dan sekolah Islam secara bertahap serta meneguhkan kembali komitmen stakeholder kepada pentingnya pendidikan Islam (madrasah) dalam rangka mempersiapkan subyek didik yang cerdas, bermoral dan memiliki ketrampilan, sehingga dapat memberikan kontribusi pemikiran perkembangan zaman. Sekilas apabila diperhatikan, era globalisasi yang dijumpai masyarakat ternyata lebih memperkuat perhatian orang terhadap pesantren. Di antara penyebabnya adalah dimungkinkan karena adanya semangat untuk mencari pendidikan alternatif . Era global seakan mengharuskan seseorang atau bahkan kepada komunitas masyarakat secara luas untuk mencari , menggali dan mengembangkan pendidikan alternatif tersebut dan sekaligus untuk memperbesar peluang keunggulan terutama yang

terkait dengan peran pesantren ,madrasah dan sekolah Islam yang ada di Indonesia ini. Di tengah kompetisi sistem pendidikan yang ada, pesantren sebagai lembaga pendidikan tertua yang masih bertahan hingga kini tentu saja harus sadar bahwa penggiatan diri yang hanya berorientasi pada wilayah keagamaan tidak lagi memadai. Maka pesantren harus proaktif dan memberikan ruang bagi pembenahan dan pembaharuan sistem pendidikan pesantren dengan senantiasa harus selalu apresiatif sekaligus selektif dalam menyikapi dan merespons perkembangan dan pragmatisme budaya yang kian menggejala. Hal ini bisa dijadikan pertimbangan lain bagaimana seharusnya pesantren mensiasati fenomena tersebut. Sistem pendidikan pesantren yang ada sekarang begitu bervariasi hal ini terjadi karena pesantren harus selalu waspada terhadap pargamatisme budaza dalam mengembangkan sistem pendidikanya agar tidak keluar dari ruh pesantren itu sendiri dan tujuan dari sistem pendidikan nasional. Disamping itu, bervariasinya sistem pendidikan pesantren terjadi karena beberapa faktor Pertama, kolonialisme dan sistem pendidikan liberal. Sebagaimana diketahui, pada dasawarsa terakhir abad ke-19, Belanda mulai memperkenalkan sistem pendidikan liberal. Tentu saja, dengan hadirnya lembaga pendidikan tersebut, posisi pesantren semakin terancam. Meskipun demikian, kecurigaan pesantren terhadap ancaman lembaga pendidikan kolonial tidak selalu berwujud penolakan yang a priori. Karena, di balik penolakannya, ternyata diam-diam pesantren melirik metode yang digunakannya untuk kemudian mencontohnya. Fenomena menolak sambil mencontoh, demikian Karel Steenbrink (1994) mengistilahkannya, tampak dalam perkembangan pesantren di Jawa. Ini terlihat, misalnya, dengan diajarkannya pengetahuan umum semisal bahasa Melayu dan Belanda, sejarah, ilmu hitung, ilmu bumi, dan sebagainya. Kedua, perubahan orientasi keilmuan pendidikan pesantren. Tidak seperti pada abad XVI-XVIII, orientasi keilmuan pesantren abad XX tidak

lagi terpusat ke Hijaz, melainkan merambah ke wilayah Timur Tengah lainnya, semisal Mesir, Baghdad, atau bahkan ke Eropa. Perluasan jaringan intelektual yang tidak saja ke Hijaz ini, tetapi juga ke wilayah lainnya, turut mewarnai produk keilmuan pesantren dan diversivikasi literatur yang dihasilkannya. Lahirnya karya-karya intelektual dengan ragam disiplin keilmuan, misalnya, menjadi bukti luasnya cakupan keilmuan pesantren abad ini. Tidak seperti pada abad-abad sebelumnya di mana intelektual pesantren hanya melahirkan karya-karya tentang akidah, fiqih, dan tasawuf, intelektual pesantren abad ini di samping tiga disiplin itu telah menghasilkan khazanah intelektual yang kaya, meliputi ilmu falak, mantiq, sejarah, kritik sosial, dan semacamnya. Ketiga, gerakan pembaharuan Islam. Munculnya gerakan pembaharuan Islam di tanah air sebagai pengaruh pembaharuan Islam di belahan dunia lainnya mulai tampak pada awal abad ke-20 ini lagi-lagi menjadikan pesantren sebagai sasaran kritik. Sebagai dampak dari situasi ini, pesantren meresponsnya secara beragam, mulai dari penolakan dan konfrontasi hingga kekaguman dan peniruan naif terhadap pola pendidikan Barat. Oleh karena itu, tidak sedikit pesantren yang tetap pada pola lamanya dengan menolak segala hal yang berbau Barat. Bertahannya pesantren-pesantren dengan sistem salaf, misalnya, dapat dijadikan contoh fenomena ini. Sebalikya, di pihak lain, munculnya sejumlah pesantren dengan label dan simbol-simbol yang tampak modern menjadi contoh lain kuatnya pengaruh pendidikan Barat yang diusung para pembaharu bagi dunia pesantren. Namun juga jangan dilupakan, ada respon lain di mana pesantren tetap mempertahankan keunikankannya yang masih relevan (al-muhafadzah ala al-qadim al-shalih), namun di pihak yang lain, ia secara selektif mengadaptasi pola-pola baru yang bisa menopang kelanggengan sistem pendidikan pesantren (al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah). Akibat dari 3 faktor tersebut dan perbedaan cara merespon keadaan tersebut, munculah variasi sistem pendidikan pesantren yang terjadi sekarang

ini ke dalam 3 bagian; Pertama, Sistem pendidikan pesantren salafiyah (pesantren-pesantren yang berada di pedalaman pedesaan). Kedua, sistem pendidikan pesantren modern (Pesantren Gontor). Ketiga, Sistem pendidikan pesantren kombinasi/gabungan (Pesantren Tebu Ireng Jombang). Lunturnya pamor Hijaz sebagai pusat kosmik ngelmu -yang bisa jadi karena mundurnya sistem madrasah di tanah Arab selama abad ke18 dan abad ke-19 (Van Bruinesen, 1995)- juga dapat dijadikan faktor munculnya beragam variasi sistem pendidikan pesantren berikut diversifikasi kurikulum yang

diajarkannya. Dan ternyata, dalam perkembangannya, pesantren (diharapkan) mampu melerai kesenjangan, atau bahkan pertentangan, antara pendidikan agama di satu pihak dan pendidikan umum di pihak yang lain. 4. Hambatan Di tengah pergulatan masyarakat informasional, pesantren 'dipaksa' memasuki ruang kontestasi dengan institusi pendidikan lainnya, terlebih dengan sangat maraknya pendidikan berlabel luar negeri yang menambah semakin ketatnya persaingan mutu out-put (keluaran) pendidikan. Kompetisi yang kian ketat itu, menghambat institusi pesantren untuk mempertaruhkan kualitas out-put pendidikannya agar tetap unggul dan menjadi pilihan masyarakat, terutama umat Islam. Ini mengindikasikan, bahwa pesantren perlu banyak melakukan pembenahan internal dan inovasi baru agar tetap mampu meningkatkan mutu pendidikannya. Tujuan pendidikan pesantren adalah membentuk manusia yang memiliki kesadaran yang tinggi bahwa ajaran Islam bersifat komprehensif. Selain itu, produk pesantren juga dikonstruksi untuk memiliki kemampuan yag tinggi dalam merespons tantangan dan tuntutan hidup dalam konteks ruang dan waktu, dalam ranah nasional maupun internasional.

10

B. Madrasah 1. Sejarah Madrasah Madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam di Indonesia relatif lebih muda dibanding pesantren. Ia lahir pada abad 20 dengan munculnya Madrasah Manba'ul Ulum Kerajaan Surakarta tahun 1905 dan Sekolah Adabiyah yang didirikan oleh Syekh Abdullah Ahmad di Sumatera Barat tahun 1909 (Malik Fadjar, 1998). Madrasah berdiri atas inisiatif dan realisasi dari pembaharuan sistem pendidikan Islam yang telah ada. Pembaharuan tersebut, menurut Karl Sternbrink (1986), meliputi tiga hal, yaitu: (Karl Sternbrink : 1986) a. Usaha menyempumakan sistem pendidikan pesantren, b. Penyesuaian dengan sistem pendidikan Barat, dan c. Upaya menjembatani antara sistem pendidikan tradisional pesantren dan sistem pendidikan Barat. Madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam kini ditempatkan sebagai pendidikan sekolah dalam sistem pendidikan nasional. Munculnya SKB tiga menteri (Menteri Agama, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, dan Menteri dalam Negeri) menandakan bahwa eksistensi madrasah sudah cukup kuat beriringan dengan sekolah umum. Di samping itu, munculnya SKB tiga menteri tersebut juga dinilai sebagai langkah positif bagi peningkatan mutu madrasah baik dari status, nilai ijazah maupun kurikulumnya (Malik Fadjar, 1998). Di dalam salah satu diktum pertimbangkan SKB tersebut disebutkan perlunya diambil langkah-langkah untuk meningkatkan mutu pendidikan pada madrasah agar lulusan dari madrasah dapat melanjutkan atau pindah ke sekolah-sekolah umum dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi.

11

2. Permasalahan Madrasah 3. Munculnya kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi dalam bidang pendidikan yang bertujuan untuk memberi peluang kepada peserta didik untuk memperoleh keterampilan, pengetahuan, dan sikap yang dapat memberikan kontribusi kepada masyarakat, tidak mengagetkan para pengelola madrasah. Madrasah juga lebih survive dalam kondisi perubahan kurikulum yang sangat cepat, karena kehidupan madrasah tidak taklid kepada kurikulum nasional. Manajemen desentralisasi memberikan kewenangan kepada sekolah untuk melaksanakan PBM sesuai dengan kebutuhan yang dikondisikan untuk kebutuhan lokal. Dengan demikian, maka madrasah mendapatkan angin segar untuk bisa lebih exist dalam mengatur kegiatannya tanpa intervensi pemerintah pusat dalam upaya mencapai peningkatan mutu pendidikannya. Melalui proses belajar mengajar yang didasari dengan kebutuhan lokal, kurikulum tidak terbebani dengan materi lain yang sesungguhnya belum atau bahkan tidak relevan bagi peningkatan pengetahuan dan keterampilan peserta didik pada jenjang tersebut. Efektivitas proses belajar mengajar diharapkan bisa tercapai sehingga menghasilkan prestasi belajar yang lebih tinggi. Adapun meningkatnya keterlibatan pemerintah dalam pendidikan menyebabkan para pengelola madrasah memfokuskan pada programprogram tambahan sebagai sarana meningkatkan kualitas pendidikan. Program remidial dan kursus untuk meningkatkan perkembangan kognitif, sosial dan emosional dari siswa yang berkemampuan rendah dalam taraf perekonomian dan hasil belajar merupakan program-program kompensasi, bukan untuk menggantikan program-program yang ada. Sebagai lembaga pendidikan yang lahir dari masyarakat, madrasah lebih mudah mengintegrasikan lingkungan eksternal ke dalam organisasi

12

pendidikan, sehingga dapat menciptakan suasana kebersamaan dan kepemilikan yang tinggi dengan keterlibatan yang tinggi dari masyarakat. Keterlibatan masyarakat bukan lagi terbatas seperti peranan orang tua siswa (POMG) yang hanya melibatkan diri di tempat anaknya sekolah. Melainkan keterlibatan yang didasarkan kepada kepemilikan lingkungan. Sesuai dengan jiwa desentralisasi yang menyerap aspirasi dan partisipasai masyarakat dalam pengembangan dan peningkatan kualitas pendidikan, masyarakat dituntut untuk memiliki kepedulian yang tinggi memperhatikan lembaga pendidikan yang berada di lingkungan setempat. Hal ini dapat menumbuhkan sikap kepemilikan yang tinggi dengan memberikan kontribusi baik dalam bidang material, kontrol manajemen, pembinaan, serta bentuk partisipasi lain dalam rangka meningkatkan eksistensi madrasah yang selanjutnya menjadi kebanggaan lingkungan setempat. Akhirnya madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam yang hidup dari, oleh dan untuk masyarakat belum mendapatkan sentuhan pikiran dan tangan kita semua. Peningkatan mutu tidak akan terealisir tanpa andil semua pihak. Untuk itu, demi peningkatan mutunya maka madrasah perlu dibantu, dibela dan diperjuangkan. Persepsi masyarakat terhadap madrasah di era modern belakangan semakin menjadikan madrasah sebagai lembaga pendidikan yang unik. Di saat ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang pesat, di saat filsafat hidup manusia modern mengalami krisis keagamaan dan di saat perdagangan bebas dunia makin mendekati pintu gerbangnya, keberadaan madrasah tampak makin dibutuhkan orang. (Haedar Nashir, 1999) Terlepas dari berbagai problema yang dihadapi, baik yang berasal dari dalam sistem seperti masalah manajemen, kualitas input dan kondisi sarana prasarananya, maupun dari luar sistem seperti persyaratan akreditasi yang kaku dan aturan-aturan lain yang menimbulkan kesan

13

madrasah sebagai 'sapi perah', madrasah yang memiliki karakteristik khas yang tidak dimiliki oleh model pendidikan lainnya itu menjadi salah satu tumpuan harapan bagi manusia modern untuk mengatasi keringnya hati dari nuansa keagamaan dan menghindarkan diri dari fenomena demoralisasi dan dehumanisasi yang semakin merajalela seiring dengan kemajuan peradaban teknologi dan materi. Sebagai jembatan antara model pendidikan pesantren dan model pendidikan sekolah, madrasah menjadi sangat fleksibel diakomodasikan dalam berbagai lingkungan. Di lingkungan pesantren, madrasah bukanlah barang yang asing, karena memang lahirnya madrasah merupakan inovasi model pendidikan pesantren. Dengan kurikulum yang disusun rapi, para santri lebih mudah mengetahui sampai di mana tingkat penguasaan materi yang dipelajari. Dengan metode pengajaran modern yang disertai audio visual aids, kesan kumuh, jorok, ortodok, dan exclusive yang selama itu melekat pada pesantren sedikit demi sedikit terkikis. Masyarakat metropolit makin tidak malu mendatangi dan bahkan memasukkan putra-putrinya ke pesantren dengan model pendidikan madrasah. Baik mereka yang sekedar berniat menempatkan putra-putrinya pada lingkungan yang baik (agamis) hingga yang benar-benar menguasai ilmu yang dikembangkan di pesantren tersebut, orang makin berebut untuk mendapatkan fasilitas di sana. Pondok Pesantren Modern Gontor Ponorogo, misalnya, penuh dengan putra putri konglomerat, sekali daftar tanpa mikir bayar, lengkap sudah fasilitas didapat. Ma'had Al-Zaitun yang berlokasi di daerah Haurgelis (sekitar 30 KM dari pusat kota Indramayu), yang baru berdiri pada tahun 1994, juga telah menjadi incaran masyarakat modern kelas menengah ke atas, bahkan sebagian muridnya berasal dari negara-negara sahabat, seperti Malaysia, Singapura dan Brunai Darussalam. Dengan demikian, model pendidikan madrasah di lingkungan pesantren telah memiliki daya tawar yang cukup tinggi.

14

Model-model pondok pesantren modern seperti itu, kini telah bermunculan di berbagai daerah. Di Kecamatan Sukorejo, Kabupaten Kendal misalnya, juga ada pondok pesantren "Darul Amanah" yang mengutamakan penguasaan bahasa asing yakni Bahasa Arab dan Inggris. Pondok Pesantren yang didirikan oleh para alumni Pondok Pesantren Modem Gontor Ponorogo pada tahun 1990 itu telah menampung sekitar 1300 santri (siswa). Melihat kenyataan seperti itu, tuntutan pengembangan madrasah akhirakhir ini dirasa cukup tinggi. Pengembangan madrasah di pesantren yang pada umumnya berlokasi di luar kota dirasa tidak cukup memenuhi tuntutan masyarakat. Oleh karena itu banyak model pendidikan madrasah bermunculan di tengah kota, baik di kota kecil maupun di kota-kota metropolitan. Meskipun banyak madrasah yang berkembang di luar lingkungan pesantren, budaya agamanya, moral dan etika agamanya tetap menjadi ciri khas sebuah lembaga pendidikan Islam. Etika pergaulan, perilaku dan performance pakaian para santrinya menjadi daya tarik tersendiri, yang menjanjikan kebahagiaan hidup dunia akhirat

sebagaimana tujuan pendidikan Islam (Al-Abrasyi, 1970; Jalaluddin dan Said, 1996). Realitas menunjukkan bahwa praktek pendidikan nasional dengan kurikulum yang dibuat dan disusun sedemikian rupa bahkan telah disempurnakan berkali-kali, tidak hanya gagal menampilkan sosok manusia Indonesia dengan kepribadian utuh, bahkan membayangkan realisasinya saja terasa sulit. Pendidikan umum (non madrasah) yang menjadi anak emas pemerintah, di bawah naungan Depdiknas, telah gagal menunjukkan kemuliaan jati dirinya selama lebih dari tiga dekade. Misi pendidikan yang ingin melahirkan manusia-manusia cerdas yang menguasai kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan kekuatan iman dan taqwa plus budi pekerti luhur, masih tetap berada pada tataran

15

ideal yang tertulis dalam susunan cita-cita (perundang-undangan). Tampaknya hal ini merupakan salah satu indikator dimana pemerintah kemudian mengakui keberadaan madrasah sebagian dari sistem

pendidikan nasional. Pendidikan moral yang dilaksanakan melalui berbagai cara baik kurikuler (Pendidikan Nasional dan Ketahanan Nasional atau PPKN) maupun ko kurikuler (Penataran P-4) telah melahirkan elit politik yang tidak mampu tampil sebagai uswatun hasanah (teladan yang baik) bahkan memberikan kesan korup dan membodohi rakyat. Kegiatan penataran dan cerdas cermat P-4 (Pedoman Penghayatan dan pengamalan Pancasila) tidak lebih dari aktivitas ceremonial karakteristik. Disebut demikian karena kegiatan tersebut telah meloloskan para juara dari peserta yang paling mampu menghafal buku pedoman dan memberikan alasan pembenaran, bukan mereka yang mampu mengimplementasikan nilai-nilai Pancsila dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, para peserta penataran atau cerdas cermat P-4 berlomba-lomba menghafal butir-butir Pancasila tanpa berusaha melaksanakannya di dalam kehidupan nyata. Itulah di antara faktor yang mempengaruhi turunnya moralitas bangsa ini (Dradjat, 1971). Setelah kebobrokan moral dan mental merebak dan merajalela, orang baru bangun dan sadar bahwa pendidikan moral yang selama ini dilakukan lebih berorientasi pada pendidikan politik pembenaran terhadap segala pemaknaan yang lahir atas restu regim yang berkuasa. Upaya pembinaan moral yang bertujuan meningkatkan harkat dan martabat manusia sesuai dengan cita-cita nasional yang tertuang dalam perundang-undangan telah dikesampingkan dan menjadi jauh dari harapan. Keberhasilan pendidikan secara kuantitatif didasarkan pada teori Benjamin S. Bloom (1956) yang dikenal dengan nama Taxonomy of Educational Objectives, yang mencakup tiga domain yaitu kognitif, afektif

16

dan psikomotor. Meskipun demikian, keberhasilan output (lulusan) pendidikan hanyalah merupakan keberhasilan kognitif. Artinya, anak yang tidak pemah shalat pun, jika ia dapat mengerjakan tes PAl (Pendidikan Agama Islam) dengan baik maka ia bisa lulus (berhasil), dan jika nilainya baik, maka ia pun dapat diterima pada tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Lain halnya dengan outcome (performance) seorang alumni Madrasah, bagaimanapun nilai raport dan hasil ujiannya, moral keagamaan yang melekat pada sikap dan perilakunya akan menjadi tolok ukur bagi keberhasilan lembaga pendidikan yang menjadi tempat ia belajar. Karena itulah keberhasilan out-come disebut keberhasilan afektif dan psikomotorik. Bagi lembaga pendidikan "Madrasah", kedua standar keberhasilan (output dan outcome) yang mencakup tiga domain taxonomy of educational objectives, tidak dapat dipisahkan. Di samping Madrasah mendidik kecerdasan, ia juga membina moral dan akhlak siswanya (AlAbrasyi, 1970; Abdullah, 1994). Itulah nilai plus madrasah dibandingkan sekolah umum yang menekankan pembinaan kecerdasan intelek (aspek kognitif). 4. Peran Masyarakat dalam Peningkatan Kualitas Madrasah Munculnya kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi dalam bidang pendidikan yang bertujuan untuk memberi peluang kepada peserta didik untuk memperoleh keterampilan, pengetahuan, dan sikap yang dapat memberikan kontribusi kepada masyarakat, tidak mengagetkan para pengelola madrasah. Madrasah juga lebih survive dalam kondisi perubahan kurikulum yang sangat cepat, karena kehidupan madrasah tidak taklid kepada kurikulum nasional. Manajemen desentralisasi memberikan kewenangan kepada sekolah untuk melaksanakan PBM sesuai dengan kebutuhan yang dikondisikan untuk kebutuhan lokal. Dengan demikian, maka madrasah mendapatkan angin segar untuk bisa lebih exist dalam mengatur kegiatannya tanpa intervensi pemerintah pusat dalam upaya

17

mencapai peningkatan mutu pendidikannya. Melalui proses belajar mengajar yang didasari dengan kebutuhan lokal, kurikulum tidak terbebani dengan materi lain yang sesungguhnya belum atau bahkan tidak relevan bagi peningkatan pengetahuan dan keterampilan peserta didik pada jenjang tersebut. Efektivitas proses belajar mengajar diharapkan bisa tercapai sehingga menghasilkan prestasi belajar yang lebih tinggi. Adapun meningkatnya keterlibatan pemerintah dalam pendidikan menyebabkan para pengelola madrasah memfokuskan pada programprogram tambahan sebagai sarana meningkatkan kualitas pendidikan. Program remidial dan kursus untuk meningkatkan perkembangan kognitif, sosial dan emosional dari siswa yang berkemampuan rendah dalam taraf perekonomian dan hasil belajar merupakan program-program kompensasi, bukan untuk menggantikan program-program yang ada. Sebagai lembaga pendidikan yang lahir dari masyarakat, madrasah lebih mudah mengintegrasikan lingkungan eksternal ke dalam organisasi pendidikan, sehingga dapat menciptakan suasana kebersamaan dan kepemilikan yang tinggi dengan keterlibatan yang tinggi dari masyarakat. Keterlibatan masyarakat bukan lagi terbatas seperti peranan orang tua siswa (POMG) yang hanya melibatkan diri di tempat anaknya sekolah. Melainkan keterlibatan yang didasarkan kepada kepemilikan lingkungan. Sesuai dengan jiwa desentralisasi yang menyerap aspirasi dan partisipasai masyarakat dalam pengembangan dan peningkatan kualitas pendidikan, masyarakat dituntut untuk memiliki kepedulian yang tinggi memperhatikan lembaga pendidikan yang berada di lingkungan setempat. Hal ini dapat menumbuhkan sikap kepemilikan yang tinggi dengan memberikan kontribusi baik dalam bidang material, kontrol manajemen, pembinaan, serta bentuk partisipasi lain dalam rangka meningkatkan eksistensi madrasah yang selanjutnya menjadi kebanggaan lingkungan setempat.

18

Akhirnya madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam yang hidup dari, oleh dan untuk masyarakat belum mendapatkan sentuhan pikiran dan tangan kita semua. Peningkatan mutu tidak akan terealisir tanpa andil semua pihak. Untuk itu, demi peningkatan mutunya maka madrasah perlu dibantu, dibela dan diperjuangkan. 5. Peluang dan Tantangan Sebagai upaya inovasi dalam Sistem Pendidikan Islam, madrasah tidak lepas dari berbagai problema yang dihadapi. Problema-problema tersebut, menurut Darmu'in (1998), antara lain: 1. Madrasah telah kehilangan akar sejarahnya, artinya keberadaan madrasah bukan merupakan kelanjutan pesantren, meskipun diakui bahwa pesantren merupakan bentuk lembaga pendidikan Islam pertama di Indonesia. 2. Terdapat dualisme pemaknaan terhadap madrasah. Di satu sisi, madrasah diidentikkan dengan sekolah karena memiliki muatan secara kurikulum yang relatif sama dengan sekolah umum. Di sisi lain, madrasah dianggap sebagai pesantren dengan sistem klasikal yang kemudian dikenal dengan madrasah diniyah. Dengan demikian, sebagai sub sistem pendidikan nasional, madrasah belum memiliki jati diri yang dapat dibedakan dari lembaga pendidikan lainnya. Efek pensejajaran madrasah dengan sekolah umum yang berakibat berkurangnya proporsi pendidikan agama dari 60% agama dan 40% umum menjadi 30% agama dan 70% umum dirasa sebagai tantangan yang melemahkan eksistensi pendidikan Islam. Beberapa permasalahan yang muncul kemudian, antara lain: 1. Berkurangnya muatan materi pendidikan agama. Hal ini dilihat sebagai upaya pendangkalan pemahaman agama, karena muatan

19

kurikulum agama sebelum SKB dirasa belum mampu mencetak muslim sejati, apalagi kemudian dikurangi. 2. Tamatan Madrasah serba tanggung. Pengetahuan agamanya tidak mendalam sedangkan pengetahuan umumnya juga rendah. Diakui bahwa model pendidikan madrasah di dalam perundangundangan negara, memunculkan dualisme sistem Pendidikan di Indonesia. Dualisme pendidikan di Indonesia telah menjadi dilema yang belum dapat diselesaikan hingga sekarang. Dualisme ini tidak hanya berkenaan dengan sistem pengajarannya tetapi juga menjurus pada keilmuannya. Pola pikir yang sempit cenderung membuka gap antara ilmu-ilmu agama Islam dan ilmu-ilmu umum. Seakan-akan muncul ilmu Islam dan ilmu bukan Islam (kafir). Padahal dikhotomi keilmuan ini justru menjadi garapan bagi para pakar pendidikan Islam untuk berusaha menyatukan keduanya. Dualisme pendidikan Islam juga muncul dalam bidang

manajerialnya, khususnya di lembaga swasta. Lembaga swasta umumnya memiliki dua top manager yaitu kepala madrasah dan ketua yayasan (atau pengurus). Meskipun telah ada garis kewenangan yang memisahkan kedua top manager tersebut, yakni kepala madrasah memegang kendali akademik sedangkan ketua yayasan (pengurus) membidangi penyediaan sarana dan prasarana, sering di dalam praktik terjadi overlapping. Masalah ini biasanya lebih buruk jika di antara pengurus yayasan tersebut ada yang menjadi staf pengajar. Di samping ada kesan mematai-matai

kepemimpinan kepala madrasah, juga ketika staf pengajar tersebut melakukan tindakan indisipliner (sering datang terlambat), kepala madrasah merasa tidak berdaya menegumya. Praktek manajemen di madrasah sering menunjukkan model manajemen tradisional, yakni model manajemen paternalistik atau feodalistik. Dominasi senioritas semacam ini terkadang mengganggu perkembangan dan peningkatan kualitas pendidikan. Munculnya

20

kreativitas inovatif dari kalangan muda terkadang dipahami sebagai sikap yang tidak menghargai senior. Kondisi yang demikian ini mengarah pada ujung ekstrem negatif, hingga muncul kesan bahwa meluruskan langkah atau mengoreksi kekeliruan langkah senior dianggap tabiat su'ul adab. Dualisme pengelolaan pendidikan juga terjadi pada pembinaan yang dilakukan oleh departemen yaitu Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) dan Departemen Agama (Depag). Pembinaan Madrasah di bawah naungan Depag berhadapan dengan Sekolah umum di bawah pembinaan Depdiknas sering menimbulkan kecemburuan sejak di tingkat (SD dan MI) hingga perguruan tinggi. Dari alokasi dana, perhatian, pembinaan manajerial, bantuan buku dan media pembelajaran, serta penempatan guru, hingga pemberian beasiswa pendidikan lanjut sering tidak sama antara yang diterima oleh sekolah umum (Depdiknas) dengan madrasah (Depag). Kesenjangan antara madrasah swasta dan madrasah negeri pun tampaknya juga menjadi masalah yang belum tuntas diselesaikan. Gap tersebut meliputi beberapa hal seperti pandangan guru, sarana dan prasarana, kualitas input siswa dan sebagainya yang kesemuanya itu berpengaruh baik langsung maupun tidak langsung kepada mutu pendidikan. Yang demikian ini karena munculnya SKB tiga menteri tersebut belum diimbangi penyediaan guru, buku-buku dan peralatan lain dari departemen terkait (Malik Fadjar, 1998).

21

BAB III PENUTUP

A.

Kesimpulan Sebagai sebuah lembaga yang bergerak dalam bidang pendidikan dan sosial keagamaan, pengembangan pesantren harus terus didorong. Karena pengembangan pesantren tidak terlepas dari adanya kendala yang harus dihadapinya. Pembaharuan dan pengembangan pesantren dalam menjawab tuntutan perubahan jaman akan trelisasi apabila : 1. pengelolaannya tidak secara sederhana dan tradsional melainkan dengan pola manajemen strategik yang dapat menghasilkan rumusan (formulasi) dan pelaksanaan (implementasi) rencana-rencana untuk mencapai sasaransasaran pesantren. 2. Sistem pendidikan yang dilaksanakan harus melakukan pembenahan internal dan inovasi baru, di samping mempertahankan kurikulum yang berbasis agama, juga melengkapinya dengan kurikulum yang menyentuh dan berkait erat dengan persoalan dan kebutuhan kekinian umat agar tetap mampu meningkatkan mutu pendidikannya.

B.

Saran Keanekaragaman lembaga pendidikan Islam yaitu pesantren merupakan khazanah yang perlu dilestarikan. Setiap pesantren mempunyai ciri khas dan orientasi masing-masing, namun demikian harus ada satu komitmen, yaitu memberi pemahaman Islam secara kaffah. Dan hal ini juga harus didorong oleh kemauan dari para pengelola pesantren itu sendiri untuk melakukan pembaharuan pada aspek teknis operasional-nya, bukan pada substansi pendidikan pesantren itu sendiri.

22

DAFTAR PUSTAKA

Dhofier, Zamakhsyari. Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai. Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES). Jakarta. 1982. Ismail, S.M (et al). Dinamika Pesantren dan Madrasah. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. 2002. Rahardjo, Dawam M (Ed). Pergulatan Dunia Pesantren: Membangun Dari Bawah. Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M). Jakarta. 1985. Suryo, Djoko Dr. Tradisi Santri Dalam Historiografi Jawa: Pengaruh Islam di Jawa. (diluncurkan pada acara Seminar Pengaruh Islam Terhadap Budaya Jawa, 31 Nopember 2000) Amin Haedari dalam Jurnal Pondok Pesantren Mihrab, vol. II No. 1 Juli 2007 , Masud Abdurrahman; Dinamika Pesantren dan Madrasah;2002, Yogyakarta: Pustaka Pelajar Azyumardi Azra dalam Jurnal Pondok Pesantren Mihrab, vol. II No. 2 November 2007

Sarijo, M. Sejarah Pondok Pesantren di Indonesia. Jakarta: Dharma Bakti, 1980 Sternbrink. K.APesantren, Madrasah dan Sekolah. Jakarta: LP3ES. 1986.

23

KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah Penyusun Panjatkan Kehadirat Allah SWT, karena dengan Rahmat dan Karunia-Nya Penyusun dapat menyelesaikan makalah ini kekurangan dalam makalah ini. Hal ini disebabkan kurangnya ilmu pengetahuan dan pengalaman yang penyusun miliki, oleh karena itu, kritik dan saran yang konsruktif sangat penyusun harapkan demi kesempurnaan makalah ini dimasa yang akan datang. Penyusun juga berharap makalah ini mudah-mudahan berguna dan bermamfaat bagi kita semua. Amin Ya Rabbal Alami

Penulis

i24

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ....................................................................................... KATA PENGANTAR ..................................................................................... DAFTAR ISI .................................................................................................... BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ A. Latar Belakang .................................................................................... B. Tujuan .................................................................................................. C. Rumusan Masalah ................................................................................ BAB II PEMBAHASAN A. Pesantren ............................................................................................. B. Madrasah .............................................................................................. BAB III PENUTUP A. Kesimpulan .......................................................................................... B. Kritik dan Saran .................................................................................. 22 22 3 11 i ii 1 1 2 2

DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................

iii

ii 25

MAKALAH FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM Analisis Permasalahan Pendidikan Di Indonesia (Pesantren Dan Madrasah)

Disusun Oleh Gita Maryani Fitri Novita Sari B

Dosen Ahmad Irfan, M.Pd.I

PRODI PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDIAYAH FAKULTAS TARBIYAH DAN TADRIS INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI IAIN BENGKULU 2013

26

iii

27

You might also like