You are on page 1of 7

PEMBERONTAKAN PPRI DAN PERMESTA

Pemberontakan PPRI dan Permesta terjadi karena adanya ketidakpuasan beberapa daerah di Sumatra dan Sulawesi terhadap alokasi biaya pembangunan dari pemerintah pusat. Ketidakpuasan tersebut didukung oleh beberapa panglima militer.

Selanjutnya mereka membentuk dewan-dewan militer daerah, seperti : 1. Dewan Banteng di Sumatra Barat dipimpin oleh Kolonel Achmad Husein (Komandan Resimen Infanteri 4) dibentuk pada 20 Desember 1956 2. Dewan Gajah di Medan dipimpin oleh Kolonel Maludin Simbolon, Panglima Tentara dan Teritorium I (TTI) pada tanggal 22 Desember 1956. 3. Dewan Garuda di Sumatra Selatan dipimpin oleh Letkol Barlian.

Sementara itu di Indonesia bagian timur juga terjadi pergolakan. Tanggal 2 Maret 1957 di Makassar, Panglima TT VII Letkol Ventje Sumual

memproklamasikan Piagam Perjoangan Rakyat Semesta (Permesta). Piagam tersebut ditandatangani oleh 51 tokoh. Wilayah gerakannya meliputi Sulawesi, Nusa Tenggara, dan Maluku. Untuk memperlancar gerakannya dinyatakan bahwa daerah Indonesia bagian timur dalam keadaan bahaya. Seluruh pemerintahan daerah diambil alih oleh militer pemberontak.

Untuk meredakan pergolakan di daerah maka pada tanggal 14 September 1957 dilaksanakan Musyawarah Nasional (Munas) yang dihadiri tokoh-tokoh nasional baik di pusat maupun di daerah. Membicarakan mengenai masalah pemerintahan, masalah daerah, ekonomi, keuangan, angkatan perang, kepartaian, serta masalah dwitunggal Soekarno-Hatta. Sebagai tindak lanjut Munas maka diselenggarakan Musyawarah Nasional Pembangunan (Munap) yang bertempat di Gedung Olah raga Medan Merdeka Selatan Jakarta. Dengan Tujuan merumuskan usaha-usaha pembangunan sesuai dengan keinginan daerah-daerah. Untuk membantu mengatasi persoalan di lingkungan Angkatan Darat dibentuklah panitia Tujuh, akan tetapi sebelum panitia tujuh mengumumkan hasil pekerjaannya terjadilah peristiwa Cikini. Peristiwa Cikini ini semakin memperburuk keadaan di Indonesia. Daerahdaerah yang bergejolak semakin menunjukkan jati dirinya sebagai gerakan melepaskan diri dari pemerintah pusat. Bahkan pada tanggal 9 Januari 1958 diselenggarakan pertemuan di Sumatra Barat yang dihadiri tokoh-tokoh sipil dan militer daerah. Pada 10 Januari 1958 diselenggarakan rapat raksasa di Padang. Dalam pidatonya, Ketua Dewan Banteng, Achmad Husein menyampaikan ultimatum kepada pemerintah pusat yang berisi. 1. Dalam waktu 5 x 24 jam kabinet Djuanda menyerahkan mandat kepada presiden.

2. Presiden menugaskan kepada Moh. Hatta dan Sultan Hamengkubuwono IX untuk membentuk Zaken Kabinet. 3. Meminta Konstitusional. presiden kembali kepada kedudukannya sebagai Presiden

Menanggapi

ultimatum

tersebut,

Sidang

Dewan Menteri memutuskan untuk menolaknya dan memecat secara tidak terhormat perwiraperwira TNI-AD yang duduk dalam pimpinan gerakan sparatis, yaitu Letkol Achmad Husein, Kolonel Zulkifli Lubis, Kolonel Dachlan Djambek, dan Kolonel Simbolon. Pada 12 Februari 1958, KSAD A.H Nasution mengeluarkan perintah untuk membekukan Kodim Sumatra Tengah dan selanjutnya dikomando langsung oleh KSAD. Sementara itu pada, 15 Februari 1958, Achmad Husein memproklamasikan berdirinya Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) dengan Syarifudin Prawiranegara sebagai perdana menterinya. Proklamasi PRRI mendapatkan sambutan dari Indonesia bagian Timur. Dalam rapat-rapat raksasa yang dilaksanakan di beberapa daerah Komando Daerah Militer Sulawesi Utara dan Tengah, Kolonel D. J Somba mengeluarkan pernyataan bahwa sejak tanggal 17 Februari 1958 Kodim Sulawesi Utara dan Tengah (KDMSUT) menyatakan putus hubungan dengan pemerintah pusat dan mendukung PRRI. Untuk memulihkan keamanan Negara, pemerintah bersama dengan KSAD memutuskan untuk melakukan operasi militer. Operasi gabungan AD-AL-AU terhadap PRRI ini diberi nama Operasi 17 Agustus yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Ahmad Yani. Operasi pertama kali ditujukan ke Pekanbaru untuk

mengamankan sumber-sumber minyak. Pada tanggal 14 Maret 1958 Pekanbaru berhasil dikuasai. Operasi militer kemudian dikembangkan ke pusat pertahanan PRRI. Pada tanggal 4 Mei 1958 Bukittinggi berhasil direbut kembali. Selanjutnya, pasukan TNI membersihkan daerah-daerah bekas kekuasaan PRRI. Banyak anggota PRRI yang melarikan diri ke hutan-hutan. Untuk mengatasi pemberontakan PERMESTA, KSAD sebagai Penguasa Perang Pusat memecat Kolonel Somba dan Mayor Runturambi, sedangkan Batalion yang berada di bawah KDMSUT diserahkan kepada Komando Antardaerah Indonesia Timur. Untuk menumpas aksi Permesta, pemerintah melancarkan operasi gabungan yang disebut Operasi Merdeka yang dipimpin oleh Letkol Rukminto Hendraningrat pada bulan April 1958. Gerakan Permesta diduga mendapat bantuan dari petualang asing terbukti dengan jatuhnya pesawat yang dikemudikan oleh A.L. Pope (seorang warganegara Amerika) yang tertembak jatuh di Ambon pada 18 Mei 1958. Pada 29 Mei 1961, Achmad Husein menyerahkan diri. Pada pertengahan tahun 1961 tokoh-tokoh Permesta juga menyerahkan diri.

Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (biasa disingkat dengan PRRI) merupakan salah satu gerakan pertentangan antara pemerintah daerah dengan pemerintah pusat (Jakarta) yang dideklarasikan pada tanggal 15 Februari 1958 dengan keluarnya ultimatum dari Dewan Perjuangan yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Ahmad Husein di Padang, Sumatera Barat, Indonesia. Dan kemudian gerakan ini mendapat sambutan dari wilayah Sulawesi Utara dan Sulawesi Tengah, dimana pada tanggal 17 Februari 1958 kawasan tersebut menyatakan mendukung PRRI.[1]

Konflik yang terjadi ini sangat dipengaruhi oleh tuntutan keinginan akan adanya otonomi daerah yang lebih luas. Selain itu ultimatum yang dideklarasikan itu bukan tuntutan pembentukan negara baru maupun pemberontakan, tetapi lebih kepada konstitusi dijalankan.[2] Pada masa bersamaan kondisi pemerintahan di Indonesia masih belum stabil pasca agresi Belanda. Hal ini juga memengaruhi hubungan pemerintah pusat dengan daerah serta menimbulkan berbagai ketimpangan dalam pembangunan, terutama pada daerah-daerah di luar pulau Jawa. Dan sebelumnya bibit-bibit konflik tersebut dapat dilihat dengan dikeluarkannya Perda No. 50 tahun 1950 tentang pembentukan wilayah otonom oleh provinsi Sumatera Tengah waktu itu yang mencakup wilayah provinsi Sumatera Barat, Riau, Kepulauan Riau, dan Jambi sekarang.[3] Namun apa yang menjadi pertentangan ini, dianggap sebagai sebuah pemberontakan[1] oleh pemerintah pusat yang menganggap ultimatum itu merupakan proklamasi pemerintahan tandingan dan kemudian dipukul habis dengan pengerahan pasukan militer terbesar yang pernah tercatat di dalam sejarah militer Indonesia. Pengaruh dari peristiwa ini juga menyebabkan timbulnya eksodus besar-besaran suku Minangkabau ke daerah lain[4] serta kemudian menimbulkan efek psikologis yang besar pada sebagian besar masyarakat Minangkabau masa tersebut, yaitu melekatnya stigma pemberontak[5], padahal kawasan Minangkabau sejak zaman Belanda termasuk kawasan yang gigih menentang kolonialis serta kawasan Indonesia yang setia dan banyak melahirkan pemimpin-pemimpin nasionalis masa pra kemerdekaan. Selain beberapa tindakan kekerasan yang dialami oleh masyarakat juga menguncang harga diri, harkat dan martabat yang begitu terhina

dan dihinggapi mentalitas orang kalah [6] serta trauma atas kekalahan PRRI. Sampai hari ini para pelaku peristiwa PRRI tetap menolak dianggap sebagai pemberontak atas tindakan yang mereka lakukan.

Pemberontakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia/ Perjuangan Rakyat Semesta (PRRI/Permesta)

Pemberontakan PRRI/Permesta didahului dengan pembentukan dewan-dewan di beberapa daerah di Sumatera, antara lain Dewan Banteng di Sumatera Barat oleh Letnan Kolonel Achmad Husein (20 Desember 1956) ; Dewan Gajah di Medan oleh Kolonel Maludin Simbolon (22 Desember 1956) dan Dewan Manguni di Manado oleh Letnan Kolonel Ventje Sumuai (18 Februari 1957). Tanggal 10 1958 didirikan organisasi yang bernama Gerakan Perjuangan Menyelamatkan Negara Republik Indonesia yang diketuai oleh Letnan Kolonel Achamad Husein. Gerakan Husein ini akhirnya mendirikan PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia) yang berkedudukan di Bukittinggi dengan Syafruddin Prawiranegara sebagai pejabat presiden. Permesta (Perjuangan Rakyat Semesta) pada hari berikutnya mendukung dan bergabung dengan PRRI sehingga gerakan bersama itu disebut PRRI/Permesta. Permesta yang berpusat di Manado tokohnya adalah Letnan Kolonel Vantje Sumual, Mayor Gerungan, Mayor Runturambi, Letnan Kolonel D.J. Samba, dan Letnan Kolonel Saleh Lahade. Untuk menumpas pemberontakan PRRI/Permesta dilaksanakan operasi gabungan yang terdiri atas unsur-unsur darat, laut, udara, dan kepolisian. Serangkaian operasi yang dilakukan adalah sebagai berikut :

1. Operasi Tegas dengan sasaran Riau dipimpin oleh Letkol Kaharudin Nasution. Tujuan mengamankan instansi dan berhasil menguasai kota. Pekanbaru pada tanggal 12 Maret 1958. 2. Operasi 17 Agustus dengan sasaran Sumatera Barat dipimpin oleh Kolonel Ahmad Yani berhasil menguasai kota Padang pada tanggal 17 April 1958 dan menguasai Bukittinggi 21 Mei 1958. 3. Operasi Saptamarga dengan sasaran Sumatera Utara dipimpin oleh Brigjen Jatikusumo. 4. Operasi Sadar dengan sasaran Sumatera Selatan dipimpin oleh Letkol Dr. Ibnu Sutowo. 5. Sedangkan untuk menumpas pemberontakan Permesta dilancarkan operasi gabungan dengan nama Merdeka di bawah pimpinan Letkol Rukminto Hendraningrat, yang terdiri dari :

Operasi Saptamarga I dengan sasaran Sulawesi Utara bagian Tengah, dipimpin oleh Letkol Sumarsono.

Operasi Saptamarga II dengan sasaran Sulawesi Utara bagian Selatan, dipimpin oleh Letkol Agus Prasmono.

Operasi Saptamarga III dengan sasaran Kepulauan Sebelah Utara Manado, dipimpin oleh Letkol Magenda.

Operasi Saptamarga IV dengan sasaran Sulawesi Utara, dipimpin oleh Letkol Rukminto Hendraningrat

You might also like