You are on page 1of 21

EXECUTIVE SUMMARY

KEARIFAN LOKAL SEBAGAI SIMBOL MANAJEMEN RESIKO BENCANA DI KAWASAN RAWAN BENCANA GUNUNG MERAPI

HENDRAWAN SEPTYONO MPKD 33

Timeline penelitian

Realisasi Penelitian

SEJARAH PENELITIAN :
Sebagai konsep awal penelitian, penulis melakukan penelitian tentang kearifan local masyarakat merapi tentang penanggulangan bahaya gunung merapi. Penelitian difokuskan pada kearifan lokal sebagai wujud pengetahuan local yang menyangkut pengalaman mengalami bahaya bencana, pola adaptasi dan mitos yang beredar sebagai suatu simbol yang dimaknai oleh para pelaku sosial yang berkepentyingan di lereng gunung merapi, dan kaitannya dengan upaya penanggulanagn bahaya letusan gunung berapi Lokasi penelitain awalnya berada di areal pekerjaan penulis yaitu di daerah pembangunan proyek Proyek Pencegahan/Penanggulangan Darurat Bencana Alam di Gunung Merapi, penulis terlibat di 2 loksi proyek pengerjaan sarana penanggulangan bahaya sedimen yaitu di pengerjaan Dam Konsolidasi (SERD6) di kali Senowo, Ds Keningar, Kec Dukun, Kabupaten Magelang dan di Dam Konsolidasi (GE-C9) juga di Kali Gendol, Ds Sindumartani, Kecamatan Ngemplak, Kab. Sleman.

Kondisi daerah penelitian pasca erupsi merapi Ds Keningar, Kec Dukun, Kabupaten Magelang

Ds Sindumartani, Kecamatan Ngemplak, Kab. Sleman.

METODE ANALISIS :
Interaksi SImbolik : Pada penelitian masyarakat di kawasan rawan bencana Gunung Merapi ini, penulis sebagai praksis dan observer di lapangan mengalami beberapa hambatan yang ternyata disebabkan oleh sebuah fenomena. Fenomena tersebut yang mendorong penulis membuat suatu penelitian dengan kerangka analisis interaksi simbolik dengan perspektif fenomologis. Secara metodologi, analisis interaksi simbolik ini mencoba menangkap suatu pemahaman yang sama dengan simbol yang berbeda yang terkandung dalam fenomena di lapangan. Perbedaan ini bisa menjadi sebuah bencana bila dikaitkan dengan keadaaan darurat yang mengharuskan respon secara cepat. Simbol yang berbeda tersebut masingmasing berasal dari komunitas yang berbeda tetapi berada dalam satu ranah kepentingan yang sama, hal ini menjadi rumit apabila masing-masing pihak tidak dapat mengerti apa yang dimaksudkan simbolsimbol tersebut, walaupun notabene-nya mengandung pemahaman yang sama dan dengan tujuan yang sama. Melalui pendekatan kerangka pikir analisis interaksi simbolik ini, pemahaman yang sama tentang simbol yang berbeda tersebut dapat ditelusuri akar persamaannya, dalam artian maksud dan tujuan yang sama tetapi disampaikan dengan bahasa yang berbeda. Dengan demikian, model interaksionis simbolik akan menganalisis berbagai hal tentang simbol yang terdapat dalam interaksi pelaku. Mungkin sekali pelaku budaya menggunakan simbol-simbol ,unik atau spesial yang hanya dapat dipahami ketika mereka saling berinteraksi tetapi menjadi tidak dapat dimengerti bila berhadapan dengan skala komunitas yang lebih besar dalam suatu ruang lingkup kepentingan yang sama, demikian pula sebaliknya.

Masyarakat SIMBOL Pemerintah Stakeholders

MERAPI

Pemberian makna yang tepat pada suatu simbol yang menjadi penghubung antara para pihak yang berkepentingan dalam pemanfaatan Merapi dan sumber daya di dalamnya adalah ide dasar dari penelitian ini, sehingga tidak terjadi miskonsepsi antara pihak-pihak yang bekepentingan dalam pemanfaatan Merapi. Miskonsepsi terhadap Manajemen pengelolaan disini bisa menimbulkan perbedaan pemaknaan dan tindakan terhadap pengelolaan Merapi, dikarenakan pemberian makna yang berbeda terhadap Kearifan Lokal sebagai simbol, akibatnya adalah program yang tidak tepat sasaran, kesalahpahaman kebijakan, eksploitasi berlebihan dan kerentanan terhadap bencana yang meningkat.

PEMBAHASAN:

Sebelum Bencana

Bencana

transisi

Pasca Bencana

Pada masa transisi, yaitu masa di antara setelah bencana dan masa sebelum bencana, adalah masa dimana kerentanan suatu daerah mengalami fluktuasi, bisa semakin naik atau semakin rendah, tegantung dari penanganannya. Di masa ini kearifan lokal memegang peranan penting, untuk menstabilkan keadaan pasca bencana, dan senantiasa mengingatkan agar bisa mencegah atau mengurangi resiko bila terjadi bencana nantinya. Kearifan lokal yang tumbuh di masyarakat lereng Merapi merupakan buah dari pengamatan dan pengalaman berulang leluhur masyarakat Merapi dalam menyikapi kegiatan Merapi yang selalu aktif.. Pada dasarnya kearifan lokal adalah pengetahuan masyarakat dalam mengkategorikan lingkungan, termasuk nilai-nilai yang harus diketahui sebagai rasionalisasi. Hal ini terkait prinsip kearifan lokal yang didukungnya dan menerjemahkan ilmu pengetahuan modern ke dalam bahasa lokal. Pengetahuan tersebut berkembang menjadi sebuah sistem yang terintegrasi di masyarakat yang kemudian dikenal sebagai kearifan lokal. Sebagai sebuah sistem yang terintegrasi di masyarakat, kearifan lokal memiliki relevansi dengan hal praktis kehidupan sehari-hari warga di daerah rawan bencana. Kearifan lokal merupakan perangkat pengetahuan pada suatu komunitas untuk menyelesaikan persoalan atau kesulitan yang dihadapi yang diperoleh dari generasi-generasi sebelumnya secara lisan atau melalui contoh tindakan. Bentuk Kearifan Lokal di lereng merapi :

Kearifan Lokal kaitannya dengan penanganan Bencana alam

Lisan : Dongeng Petuah Larangan

Tulisan : Kitab Primbon Penanggalan Pranatamangsa

Tindakan: Arsitektur bangunan Pemanfaatan SDA Penataan wilayah

Lisan

Tulisan

Tindakan

Masing-masing bentuk tersebut saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya. Contoh yang paling umum dalam mendeskrpsikan pengaruh bentuk kearifan local terhadap kehidupan di Lereng Merapi : Dongeng yang menyebutkan bahwa Merapi adalah Keraton Gaib, sehingga dipantangkan untuk membangun rumah menghadap utara, karena diartikan menantang, dan sebaiknya membangun rumah menghadap selatan, karena menghadap kraton kesultanan Yogyakarta, raja Mataram pengayom masyarakat Merapi. Pembangunan rumah menghindari hari Nas (buruk) yang sesuai dengan primbon jawa, dikarenakan masyarakat Merapi butuh penghidupan merka mulai bercocok tanam, pengalamnpengalaman sebelumnya membuat mereka mampu membuat penanggalan musim yang cocok dengan kontur dan iklim lereng Merapi sekaligus menghitung probabilitas terjadinya bencana seperti kekeringan, banjir bahkan gunung meletus. Bentuk kearifan local yang paling umum dan paling banyak diketahui oleh masyarakat Merapi maupun pihak luar, adalah bentuk Lisan. Bentuk ini merupakan perpaduan antara cerita, mitos dan petuah tua, sehingga sulit dibuktikan secara nalar karena sifatnya yang irrasional dan sukar dilacak sejarahnya. Sebagai contoh : Masyarakat Merapi meyakini bahwa, bila ada peningkatan aktivitas kegunungapian di Merapi, itu pertanda kalau Penunggu Merapi sdeang ada gawe atau hajatan. Penunggu Merapi sebagaimana dipercayai adalah Keraton Mahluk halus, mereka tidak menganggap itu sebagai suatu bencana yang menakutkan, bahkan sebagai berkah. Jadi apabila ada erupsi merapi merusak tanaman atau lahan mereka justru ditanggapi dengan keikhlasan sekedar dipinjam buat kendurian keraton Merapi, balasannya pasti berlipat ganda Mitos-mitos semacam ini sebenarnya bisa meningkatkan kewaspadaan masyarakat, tapi di sisi lain mitos tersebut dapat meningkatkan kerentanan di masyarakat di saat mitos tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan sumber maupun isinya. Contohnya adalah : Beberapa orang yang tinggal di lereng Merapi memiliki cemeti yang dia percaya bila dilecutkan ke tanah, maka rumahnya akan aman dari dampak letusan Gunung Merapi. Atau menyiapkan sesajen berupa bubur merah dan putih yang diletakkan di halaman rumah agar tidak terdampak bencana Merapi

Sayangnya mitos ini sudah melekat di masyarakat Merapi, sehingga sulit untuk memisahkan mana mitos yang berkaitan dengan arti Kearifan local sebenarnya, dan mana yang merupakan hanya mitos belaka. Hal tersebut diperparah, kepercayaan berlebih pada sosok Local Genius seperti Juru Kunci ataupun Orang Pintar ataupun tokoh masyarakat yang disegani. Terkadang perbedaan penyampaian dan penelaahan yang sepintas lalu terhadap anjuran dan perkataan sang Local Genius mengakibatkan kesalahpahaman yang mengakar dalam menyikapi suatu ancaman bahaya Gunung Merapi. Dalam hal ini para Local Genius tersebut adalah sebagai agen penyampai dan pemberi makna Kearifan Lokal di lereng Merapi sekaligus penghubung spiritual antara masyarakat dengan penunggu Merapi, oleh karena itulah posisi Local Genius tersebut sangat vital di masyarakat "Mitos beragam dan berkembang. Setiap ada letusan lahir mitos. Ada yang sengaja memunculkan mitos untuk mencari keselamatan supaya selamat dari amukan lahar, dan Itu keyakinan. Mungkin 1-2 kali kebetulan cocok. Setiap kelompok punya mitos yang berbeda dan beragam," - Suwardi Endraswara Perbedaan metode dalam pemberian makna dalam Kearifan Lokal oleh masing-masing Local Genius tersebut mengakibatkan pemahaman yang berbeda pula di masyarakat. Ada yang condong ke ranah mistik dan metafisik, ada yang condong ke ranah supranatural agama dan kejawen, ada yang condong terhadap ilmiah dan ilmu modern. Kearifan lokal lisan dimaknai secara tidak tepat ini memicu suatu konflik horizontal antar masyarakat dan vertical dengan pemerintah sebagai pembuat kebijakan. Kerentanan sosial diperparah dengan Kerentanan alam dikarenakan eksploitasi berlebihan terhadap alam Merapi tanpa mengindahkan Kearifan Lokal baik tindakan maupun tulisan juga lisan sebagai rambu dan batasan dalam pemanfaatan SDA Merapi. Akibat lebih lanjut adalah, kearifan lokal berupa tindakan yang berdasarkan lisan maupun tulisan menjadi salah kaprah, tidak dimaknai secara dalam tetapi hanya ditelaah begitu saja. Sebagai contoh, arsitektur bangunan dan penataan wilayah di desa, sudah di disain sedemikian rupa, agar mampu mengurangi resiko bila terjadi bencana, misalnya penataan bangunan rumah yang menghadap ke selatan dan jalur utama jalan yang menghubungkan antara jalan kampong dan dan jalan utama untuk memdahkan evakuasi. Hal tersebut menjadi kurang dimaknai karena porsi mistis dan klenik yang begitu besar dalam memahami kearifan lokal sebagai sarana penanggulangan bencana Merapi. Akibatnya masyarakat merapi sulit untuk menerima paradigm baru dalam menanggapi ancaman bahaya Merapi. Pemernintah menggunakan paradigm penanggulangan bencana dalam menanggapi ancaman tersebut sedangkan masyarakat Merapi menganggapnya sebagai berkah dan cobaan karena pada dasarnya masyarakat Merapi menganut pola pikir Jawa yaitu nrimo dalam menghadapi ancaman tersebut. Sehingga upaya pemerintah dalam penanggulangan bencana seperti berjalan sendiri tanpa melibatkan masyarakat dalam perencanaannya. Akibatnya kerentanan meninggi dan korban jiwa dan harta benda menjadi besar bila terjadi bencana gunung meletus.

Gambaran situasi interaksi antar pelaku di lereng merapi kaitannya dengan Kearifan lokal KAWASAN GUNUNG MERAPI
LOCAL WISDOM

1. Masyarakat local yang masih menjunjung kearifan local dalam hubungannya dengan alam 2. Pekerja local yangjuga masyarakat lokal di kawasan tambang pasir, mengetahui tentang kearifan local, tapi tak bisa berbuat banyak untuk mencegah kerusakan alam, mereka berada di grey area antara kepentingan pembangunan desa secara berkelanjutan atau pemenuhan kebutuhan pribadi 3. Industri : pengusaha tambang pasir yang mendorong terjadinya kerusakan alam akibat eksploitasi berlebihan, yang berakibat terjadinya kerentanan wilayah akan bencana 4. Pemerintah : yang tidak menyentuh langsung masyarakat local, hanya bergerak berdasarkan rekomendasi Dalam Konstalasi Penanganan Bencana DI daerah rawan bencana Gunung Merapi terdapat 3 pihak yang saling berkaitan antara satu sama lain dalam ranah kepentingan yang berbeda. 3 pihak tersebut adalah Masyarakat lereng Merapi, Pemerintah dan Industri.

Pengaruh Kearifan lokal terhadap 3 Pihak yang berkepentingan di wilayah Merapi : Pengaruh Kuat : Berpengaruh tetapi tidak disikapi secara benar : Tidak terlalu berpengaruh

KEARIFAN LOKAL

Masyarakat

Pemerintah

Industri

Penjelasan interaksi simbolik terhadap kearifan lokal kaitannya denga pengurangan resiko bencana 1. Masyarakat lereng Merapi :

MASYARAKAT

BUDAYA / TRADISI

KEARIFAN LOKAL

PEMAHAMAN

nitni

MITIGASI

ADAPTATION

PROTECTION

ANTICIPATION

Masyarakat lereng Merapi seperti orang jawa pada umumnya suka melakukan nitni atau memprediksi suatu kejadian atau gejala yang sedang dan akan terjadi dengan berpijak pada pengalaman masa lalu sebagai upaya tanggap kejadian. Mereka mengembangakan suatu metode khusus, yang merupakan ekstraksi dari nilai-nilai kearifan lokal yang berkembang di kawasan Lereng Merapi, terutama dalam bidang mitigasi bencana. 1. Adaptation Masyarakat lereng Merapi, mempunyai kemampuan adaptif terhadap daerah yang ditinggalinya. Penerapannya misalnya dalam bentuk bangunan dan pola mata pencaharian yang mengikuti ketersediaan SDA di lereng merapi 2. Protection Masyarakat lereng Merapi, mempunyai aturan/ norma adat seperti larangan memasuki tempattempat tertentu, penmanfaatan SDA merapi secara berlebihan biasanya dengan alasan berbau mistis, tetapi tujuan sebenarnya adalah untuk melindungi keseimbangan lingkungan Merapi untuk mencegah terjadi pengerusakan SDA Merapi 3. Anticipation Masyarakat lereng Merapi mempunya early warning system yang dikembangkan berdasarkan pengalaman generasi yang lampau untuk kemudian dibuat menjadi primbon yang didalamnya mencakup, ramalan dengan perhitungan, tanda-tanda alam yang mengindikasikan akan terjadinya bencana dan panduan-panduan untuk melakukan ritual yang berhubungan dengan dunia tak kasat mata yang dipercaya menjadi bagian dari konstalasi Merapi secara makro.

KL

My

M = Merapi KL = Kearifan Lokal My = Masyarakat

Masyarakat lereng merapi cenderung menganggap Keraifan lokal adalah suatu pedoman dalam menjalani kehidupan di Lereng Merapi yang notabene-nya merupakan daerah berbahaya bencana gunung berapi. Telah bertahun-tahun merapi menjadi sumber berkah dan sumber kehidupan. Telah bertahun-tahun pula warga belajar mengekpresikan relasi, rasa hormat dan cinta kepada Merapi melalui berbagai macam kesenian dan kearifan lokal. Masyarakat di sekitar Merapi mempercayai bahwa gunung Merapi tidak hanya merupakan sebuah gunung belaka. Merapi dipercayai sebagai Keraton makhluk halus. Warga lereng Merapi mempercayai bahwa yang tinggal di lereng merapi bukan hanya manusia, tetapi juga roh leluhur, dhanyang dan lelembut. Roh leluhur, danyang dan lelembut ini menghuni dan memelihara (mbaureksa) Kraton Merapi. Cerita-cerita mengenai danyang dan lelembut disampaikan secara turun-temurun, generasi ke genaerasi. Cerita-cerita ini merupakan strategi budaya untuk mengemas pesan-pesan penting dalam kehidupan. Melalui kisah-kisah yang berbau mistis, orang tua biasanya ingin menyampaikan pesan perlunya menjaga diri dan perlunya menghargai kehadiran Merapi sebagai bagian dari hidup warga Menurut Pengamatan penulis, di lereng Merapi ini, pola kearifan lokal yang umum di masyarakat terhadap bencana adalah sebagai berikut : 1. Merapi adalah sumber berkah 2. Merapi adalah suatu Keraton Ghaib yang mengendalikan seluruh aktivitas di kawasan tsb 3. Aktivitas merapi adalah sarana sang penguasa merapi untuk mengolah berkah yang akan diberikan pada warga desa 4. Karena merapi adalah sumber berkah maka harus dijaga dengan baik 5. Merapi juga punya perasaan, bila sudah diberi berkah, tapi tidak berterima kasih atau menjaga pemberiannya, maka penguasa merapi akan murka 6. Merapi selalu memberikan informasi-informasi yang berkaitan dengan kegiatan vulkanis Merapi dalam cara-cara non-ilmiah. 7. Cara-cara tersebut bisa merupakan pertanda alam atau bisikan ghaib kepada beberapa local genius yang bisa memaknai informasi yang diberikan merapi 8. Para local genius tersebeut kemudain menyampaikan informasi yang telah ditelaah dari pertanda yang diberikan oleh merapi kepada masyarakat lereng merapi Seharusnya dengan pola kearifan local seperti di atas, proses manajemen resiko bencana secara tradisional sudah terjalin dengan rapi, tetapi faktanya seiring dengan perkembangan zaman, hal-hal

yang berbau mistis dan tidak ilmiah dianggap sudah tidak relevan lagi dengan kondisi Merapi saat ini. Ditambah dengan masuknya pengaruh luar yang berpotensi negative menyebabkan degradasi alam gunung merapi, yang menyebabkan pola-pola prediksi bencana tradisional tersebut terkadang sulit untuk dicari dan dibuktikan keakuratannya. Penghormatan terhadap merapi hanya sebagi simbol kultus, yang tidak dimaknai secara mendalam oleh sebagia masyarakat merapi. Hal tersebut mengakibatkan kesimpangsiuran dan konflik antara warga masyarakat yang mempunyai pemahaman berbeda tentang kearifan local tesebut. Hal tersebut dapat menimbulkan ancaman kerentanan yang besar bila terjadi bencana gunung meletus, masyarakat dan pemerintah sebagai fasilitator dalam hal penanggulangan bencana, sering bersebrangan pendapat, yang mengakibatkan potensi korban yang besar bila terjadi bencana gunung meletus. Pemahaman yang hanya sepintas lalu terhadap kearifan lokal, melahirkan pola pikir pragmatis di masyarakat, ketika dihadapkan oleh pemahaman baru yang bersifat modern tentang bencana Merapi oleh pemerintah, mereka bersikap tertutup dan konservatif dalam menelaah kebijakan pemerintah. Hal ini diperparah oleh ketidak tanggapan pemerintah dalam membaca konflik sosial masyarakat ini, pemerintah terkesan memaksakan kebijakan yang berdasar sains dan masyarakat juga demikian dengan pemahaman tentang bencana yang lebih bersifat klenik dan metafisik tanpa memahami lebih dalam arti dari kearifan lokal yang menjadi dasar pemahaman mereka. 2. Pemerintah PEMERINTAH BUDAYA / TRADISI KEARIFAN LOKAL

PEMAHAMAN

Riset dan Teknologi

MITIGASI

TIDAK ILMIAH

RESISTEN

BUDAYA SETEMPAT

Dari sisi pemerintah : 1. Pembanguanan sarana penanggulangan bencana di desa tsb dianggap menemui sasaran, dengan anggapan bahwa, masyarakat tidak takut untuk tetap tinggal di daerah rentan karena merasa sudah terlindungi dengan sarana yang dibangun tersebut 2. Kebijakan pemerintah daerah untuk membuka keran pemodal luar untuk menggali bahan tambang pasir, dianggap sebagai penyebab aktivitas penggalian pasir yang berlebihan sehingga menyebabbkan kerusakan lingkungan

3. Dalam hal penanganan bencana, pemerintah melakuakan kebijakan Top-Down, dimana pemerintah mepelajari Aktivitas Merapi secara ilmiah, membuat kesimpulan dan rancangan kegiatan penanggulangan bencana. 4. Pemerintah kesulitan dalam pelaksanaan keigitan penanggulangan bencana, dikarenakan adanya faktor non teknis dari masyarakat lereng Merapi, yang lebih condong untuk percaya kepada local genius daripada rekomendasi pemerintah

KL

My

P = Pemerintah M = Merapi KL = Kearifan Lokal My = Masyarakat Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pemerintah dalam rangka mitigasi bencana terfokus pada kegiatan penyelamatan, dan tahap pengurangan resiko bencana secara teknis, seperti membangun sarana dan prasarana fisik mitigasi bencana. Pemerintah melakukan kegiatan mitigasi belum menyentuh masyarakat secara utuh dikarenakan adanya jeda atau jarak antara pemerintah dan masyarakat. Akibatnya kebijakan pemerintah tidak dianggap mengakomodasi keinginan masyarakat secara keseluruhan. Masalah seperti di atas berpotensi menyebabkan konflik vertikal yaitu pemerintah dan masyarakat dan horizontal anta warga masyarakat. Akibat yang ditimbulkan bisa menyebabkan bencana sosial diluar bencana alam yang memang alamiah terjadi. Pemerintah yang mengambil kebijakan berdasarkan ilmu sains modern menganggap pengetahuan lokal masyarakat sebagai sesuatu yang tidak ilmiah karena erat kaitannya dengan hal-hal berbau mistis dan irrasional. Pengetahuan lokal juga dianggap sebagai sesuatu yang resisten, dalam artian kekuatan pengetahuan lokal tersebut dapat mempengaruhi masyarakat dalam skala besar dan sifatnya tidak tergoyahkan dan bisa memicu pergerakan sosial yang biasanya bertentangan dengan kebijakan pemerintah Pola kebijakan pemerintah yang berisfat Top-Down sudah terbukti kurang tanggap untuk menyelesaikan sebuah permasalahan sosial di masyarakat, terlebih penanganan suatu bencan yang membutuhkan reaksi cepat dan terpadu dalam penangannanya. Keengganan pemerintah sebagai pembuat keputusan, untuk mengakuisisi elemen-elemen lokal dalam proses sebuah produk kebijakan dapat menjadi sebuah celah yang bisa dimanfaatkan pihak-pihak tertentu untuk mengambil keuntungan di lereng Merapi. Dalam kaitannya dengan manajemen resiko bencana, pemerintah tidak bisa bekerja sendiri, sebagai pihak yag dianggap bertanggung jawab dalam manajemen bencana modern, pemerintah harus merangkul dan mengambil elemen-elemen penting dari para stakeholders. Paradigma top down disaster reduction mestinya diganti dengan community based disaster risk management, yang memungkinkan untuk mengakomodir masukan dan aspirasi dari masyarakat merapi sebagi subjek disaster risk

management. Sejauh ini peranan pemerintah pusat dalam mengatasi korban bencana tidak dilakukan dengan persiapan matang, lemahnya koordinasi di lapangan dengan sejumlah unsur masyarakat ataupun pemerintah daerah pun menjadi pemicu masalah ini. Mobilisasi pengungsi maupun relawan kurang terkoodinir dan distribusi bantuan yang kurang merata, menguatkan bahwa kebijakan pemerintah dalam menangani bencana kurang tepat. Kegiatan penanganan bencana justru lebih kuat di level lokal yaitu di lokasi bencana, dan dilakukan oleh elemen lokal dan stakeholder . Peran serta pemerintah sebagai penanggungjawab dan pemberi wewenang dalam penanganan bencana sudah dijelaskan secara gamblang dalam Undang-Undang no 24 tahun 2007. Seharusnya tidak ada masalah dalam birokrasi karena payung hukumnya sudah jelas, permasalahan terjadi pada garis kebijakan yang saling tumpang tindih dan sarat atas kepentingan. Mulai dari alokasi dana untuk penanggulangan bencana, kesiapan pemerintah lokal dalam menghadapi bencana, hingga rumitnya alur birokrasi dalam tanggap darurat yang menyebabkan lambannya proses mitigasi. Pemerintah bukan satu-satunya pihak yang bertanggung jawab atas besarnya kerugian material dan non-material bila bencana terjadi, tetapi porsi pemerintah sebagai pemeganag keputusan membuat posisi pemerintah sangat vital dan menjadi tumpuan masyarakat bila terjadi bencana. 3. Industri INDUSTRI BUDAYA / TRADISI KEARIFAN LOKAL

PEMAHAMAN

PROFIT BISNIS

DAMPAK NEGATIF

TIDAK MENOLAK

TIDAK DIPATUHI

Potensi tambang pasir Merapi tidak dapat dipungkiri adalah aset terbersar Gunung Merapi. Dengan kualitas yang tinggi dan jumlah yang berlimpah menjadikan pasir sebagai tumpuan beberapa warga Merapi untuk mengais rezeki. Menambang pasir bagi sebagian orang merupakan cara mudah untuk mendapatkan uang, karena menurut mereka, aktivitas dalam menambang pasir tidak memerlukan keterampilan (skill) khusus. Di tahap inilah tahap industrialisasi berkembang. Pemodal besar dari luar daerah masuk, dan mengubah secara keseluruhan proses penambangan di Merapi, seiring dengan dibukanya keran perizinan oleh pemerintah setempat. Proses penambangan di Merapi, beralih dari aktivitas penambangan sederhana ke cara modern dengan menggunakan back hoe (begoe) memberikan tekanan besar bagi perubahan kondisi alam di kawasan ini. Berbeda dari aktivitas penambangan yang hanya mengandalkan tenaga manusia, yang relatif lambat, mengunakan peralatan seadanya dan memanfaatkan sebagian besar

material letusan Merapi, maka penambangan dengan menggunakan back hoe lebih cepat mengeruk, menggali dan mengubah bentang alam Dalam hal ini Industri, tahu dan paham akan adanya kearifan lokal yang mempunyai batasan batasan dalam pengolahan dan pengelolaan sumber daya alam Merapi, dikarenakan ada pekerja tambang atau pemilik tambang yang merupakan warga merapi. Tetapi karena orientasi awalnya adalah murni bisnis, maka pihak industri tidak mengindahkan adanya kearifan lokal tersebut, yang berimbas pada memunculkan ancaman bahaya bencana yang timbul karena kerusakan alam disebabkan oleh kegiatan industri tersebut. Industri menganggap bahwa kearifan local yang berkembang di lereng Merapi hanya sebagai budaya setempat, alih-alih menjadikannya sebagai batasan atau norma dalam proses penambangan sumber daya alam Merapi. Pengabaian ini menyebabkan eksplorasi yang tidak terkendali terhadap sumber daya alam Merapi yang berujung pada ekploitasi berlebihan terhadap alam Merapi. Di satu sisi masyarakat merapi tidak bisa menahan laju eksploitasi alam oleh industry, dikarenakan sebagian dari warga merapi juga mendapatkan penghasilan materi dari industry tersebut. Baik sebagai pekerja, pemilik lahan, hingga retribusi untuk kompensasi desa sebagai tempat penambangan. Secara kasat mata, kegiatan industry di lereng merapi tidak berkontribusi secara positif dalam lingkup manajemen resiko bencana di lereng Merapi, malah cenderung menghasilkan dampak negative terutama dalam proses mitigasi bencana.

KL

My

I P = Pemerintah M = Merapi KL = Kearifan Lokal ; My = Masyarakat ; I = Industri Kerusakan fisik yang terjadi akibat penambangan pasir meliputi 1. Perubahan kondisi alam, kondisi alam berubah dan meninggalkan kerusakan dengan pemandangan yang buruk 2. Hilangnya kesuburan tanah, permukaan tanah yang merupakan lapisan tanah paling subur yang memiliki kandungan humus akan hilang disebabkan penggalian atau pengerukan pasir 3. Perubahan tata air tanah. Tanah diseputaran lokasi penambangan pasir rata-rata merupakan areal perbukitan gundul dan tanah gersang, mengakibatkan turunnya cadangan air tanah setempat. 4. Rusaknya jalan untuk jalur evakuasi bencana bila terjadi bencana gunung meletus, dikarenakan dilalui setiap hari oleh kendaraan berat dan truk pengangkut pasir

Kerusakan Non fisik meliputi 1. Konflik Horizontal antara industri dengan masyarakat sekitar, yang mata pencahariannya terampas oleh industrialisasi tambang pasir merapi 2. Konflik vertikal antara masyarakat dengan pemerintah, karena pemerintah dianggap melakukan pembiaran terhadap industrialisasi yang berujung eksploitasi Celah kebijakan dan kepentingan antara Pemerintah dan Masyarakat dikarenakan tidak samanya pemahaman tentang merapi sebagai aset bersama, menyebabkan industri dengan leluasa masuk di antara celah tersebut, memanfaatkan kelonggaran pengawasan pemerintah dan keuntungan finansial yang dijanjikan kepadan masyarakat Merapi untuk mengekploitasi Sumber Daya Alam Merapi. Industri sebenaranya bukan hal yang negatif, bila dikendalikan secara arif. Industri di Merapi menyimpan potensi yang luar biasa besar, tidak hanya industri Tambang tapi juga industri pariwisata. Potensi tersebut bisa menjadi modal sosial dalam pembangunan yang berkelanjutan di lereng Merapi, baik secara finansial maupun kehidupan sosial masyarakat.

KESIMPULAN

Bila dihadapkan pada fenomena alam kembali kearifan local memegang peranan penting, apakah menganggap fenomena tersebut sebagai Berkah atau Ancaman? Bila menganggapnya sebagi berkah maka terjadi suatu siklus yang mengembalikan semua kembali ke alam. Bila menganggapnya sebagai ancaman, kondisi alam yang sudah tereksploitasi dan termanipulasi mendorong terjadinya kerentanan. Bila menganggap fenomena alam sebagai ancaman bencana maka serta merta memandang alam sebagai musuh atau ancaman serius terhadap kehidupan.

Alam dalam hal ini Gunung Merapi berhubungan langsung dengan kehidupan manusia. Manusia dalam hal ini adalah 3 pelaku utama di lereng Merapi yaitu masyarakat, pemerintah dan industry, membutuhkan suatu symbol untuk menyatakan sikap terhadap alam. Symbol disini adalah Kearifan Lokal. Bagaimana Manusia memandang atau memaknai kearifan local tersebut menentukan sikapnya terhadap alam, apakah sebagai teman atau sebagai objek eksploitasi dan manipulasi untuk memenuhi kebutuhan manusia. Pemahaman yang berbeda terhadap Kearifan local oleh masing-masing pihak yang berkepentingan di lereng merapi, menyebabkan konflik yang menyebabkan kerentanan social yang semakin memperburuk keadaan lereng merapi yang sebenarnya merupakan daerah yang rentan secara fisik karena ancaman bahaya gunung berapi. Bencana alam beserta dampaknya harus disikapi secara bijak dan tepat. Bencana tidak saja sebagai akibat fenomena alam tetapi juga oleh tangan manusia yang lalai dalam memelihara lingkungan atau gabungan dari keduanya. Pemahaman yang sama terhadap kearifan local oleh pihakpihak yang berkepentingan dapat menjadikan kearifan local sebagai panduan dan control kegiatan manajemen bencana di lereng merapi. Pemerintah disini memegang kunci dalam pemahaman terhadap Kearifan local kaitannya dengan kebijakan yang dikeluarkan sesuai dengan manajemen resiko bencana. Para pembuat kebijakan di pemerintah harus sensitive dalam membuat suatu keputusan yang menyangkut pengurangan resiko bencana di wilayah lereng Merapi. Kebijakan top-down yang dilakukan pemerintah belum menyentuh level masyarakat karena masih terdapat konflik mendasar perihal pemahaman tentang bencana itu sendiri. Pemerintah seharusnya meningkatkan aktivitas lokal dengan dilandasi inovasi kemitraan, terutama melakukan analisis lanjutan tentang persepsi berbeda terkait resiko bencana untuk memaksimalkan pengetahuan masyarakat local, yang sudah mengembangkan suatu system tradisional terhadap penanganan bencana. Selain itu, pemerintah juga berwenang untuk membatasi kegiatan industry yang sudah melampaui ambang batas yang ditentukan oleh norma-norma kearifan local. Eksploitasi berlebihan terhadap alam merapi mendorong untung peningkatan kerentanan dan penurunan kapasitas dalam menghadapi resiko bencana di wilayah Lereng Merapi. Masyarakat lereng Merapi yang bernaung di bawah kearifan local yang telah melekat bergenerasi dalam kehidupan sehari-hari, seharusnya lebih memaknai arti kearfian local itu sendiri, tidak haya terpaku pada kearifan local sebagai sebuah symbol kultus dan mistisme. Memaknai kearifan local harus dengan melihat perkembangan terkini, baik gunung Merapi itu sendiri maupun teknologi yang berkembang di sekitarnya. Gunung merapi tidak dapat dipungkiri telah berubah secara morfologis, baik secara fisik

bentuk maupun pola letusan, dan hal ini tidak dapat diprediksi dengan ilmu tradisional yang notabenenya hanya sebagian kecil dari kearifan local sebagai manajemen resiko bencana tradisional. Kearifan local merapi telah di artikan sebagai sebuah cara praksial untuk menyelesaikan masalah resiko bencana, hal itu tidak salah tapi tidak sepenuhnya benar. Karena yang terjadi adalah pembenaran yang menutup diri dari masukan dari luar, ketidapercayaan terhadap pemerintah dan pengabaian yang menyebabkan kerentanan social maupun fisik dalam masyarakat. Kearifan local sebagaimana ilmu-ilmu lainnya di muka bumi ini, adalah bukan sesuatu yang ajeg dan dapat diterima sebagai dogma, karena ini adalah buah dari proses panjang dan pengalaman orang-orang terdahulu yang semestinya terus berkembang mengikuti perubahan fisik dan zaman. Percampuran antara kearifan local dan agama serta kepercayaan membuat kearifan local diterima sebagai dogma dan mentah-mentah di artikan sebagai cara untuk menghadapi resiko bencana gunung Merapi. Kearifan local Merapi harusnya dikembalikan kepada makna kontekstual yang membutuhkan proses yang sangat lama dan kemudian menjadi sebuah acuan, filosofi, dan pegangan hidup, bukan sebagai pembenaran sempit tidak memperhatikan dunia luar. Industri dalam hal ini adalah pihak ketiga yang masuk di antara celah pemerintah dan masyarakat Merapi, mereka mangakomodir kebutuhan materi masyarakat merapi dan memanfaatkan izin dari pemerintah untuk mengelola sumber daya alam Merapi terutama pasir merapi yang merupakan komoditi andalan di lereng Merapi. Industri mulai berdampak negative dikala mereka tidak mengindahkan kearifan local yang menjadi nilai-nilai luhur masyarakat Merapi dengan mengeksploitasi penambangan pasir dengan berlindung dibalik longgarnya jaring hukum yang membatasi kegiatan penambangan di merapi, baik legal maupun illegal. Kearifan local dipahami dengan kacamata bisnis dan profit, batasan-batasan oleh kearifan local dalam proses penggarapan lahan Merapi dianggap membatasi ruang lingkup dan volume pekerjaan yang berbuntut pada kurangnya keuntungan bila ditaati.

Pemerintah Industri

Masyarakat

Good Disaster Risk Management

Sustainable Development

Kearifan lokal adalah wadah yang tepat untuk mewujudkan Manajemen Resiko Bencana yang efektif dan efisien di daerah rawan bencana. Kearifan Lokal sebagai simbol yang dipahami dan diapresiasi secara positif oleh elemen-elemen yang ada di daerah tersebut. Peran kearifan lokal sangat vital karena merupakan jembatan penghubung antara kebijakan pemerintah, kepentingan industri dan kehidupan masyarakat. Bila Manajemen Resiko Bencana yang baik dapat terwujud di daerah yang notabenenya adalah daerah rawan Bencana, maka pembangunan yang berkelanjutan dapat terwujud. Sebagaimana diketahui pembangunan berkelanjutan atau Sustainable Development adalah sebuah konsep pembangunan yang bertujuan untuk untuk menciptakan kesimbangan diantara dimensi pembangunan, seperti ekonomi, sosial dan lingkungan. Hal tersebut dapat terwujud bila daerah rawan bencana menerapkan disaster risk management secara terpadu antara elemen-elemn yang ada di dalam lingkup daerah tersebut. Dengan disaster risk management yang terpadu dan efektif maka pemanfaatan SDA bisa dilakukan dengan bijaksana, kerentanan masyarakat dan lingkungan akan dapat diminimalisir dan mampu recovery secara cepat bila bencana terjadi. Kearifan lokal yang dimaknai secara tepat bisa secara langsung berdampak positif pada pembangunan yang berkelanjutan. Kearifan lokal dapat melahirkan penataan lingkungan yang berkelanjutan (Sustaianble). Oleh sebab itu kearifan lokal tentu saja mengarah pada sustainable development secara keseluruhan. Kondisi Masyarakat yang hidup di daerah rawan bencana, mengharuskan masyarakat merapi berupaya mencapai suatu tatanan kehidupan yang berkelanjutan. Keberlanjutan tersebut berkaitan erat dengan pengelolaan sumber alam. Semakin tidak terkendali pengelolaan sumber daya alam, maka penataan lingkungan yang berkelanjutan tidak dapat tercapai, maka secara berkesinambungan mengakibatkan penurunan kualitas kehidupan di daerah rawan bencana dan secara langsung mempengaruhi keberlanjutan pembangunan daerah lereng Merapi. Pada pembahasan inilah pemerintah, kalangan indsutri dan peneliti mestinya berpijak. Bila mempertimbangkan bahasan tersebut, pemerintah sebagai pembuat keputusan dapat menghasilkan produk kebijakan yang dapat mengakomodir kearifan lokal sebagai sarana pendukung sustainable development. Dari analisa di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa seharusnya Kearifan Lokal memegang peranan penting dalam suatu siklus manajemen bencana di Lereng Merapi, yaitu : 1. Pertama, berbagai praktik dan strategi spesifik masyarakat asli yang terkandung di dalam kearifan lokal, yang telah terbukti sangat berharga dalam menghadapi bencana-bencana alam, dapat ditransfer dan diadaptasi oleh komunitas-komunitas lain yang menghadapi situasi serupa. 2. Kedua, pemaduan kearifan lokal ke dalam praktik dan kebijakan yang ada akan mendorong partisipasi masyarakat yang terkena bencana dan memberdayakan para anggota masyarakat untuk mengambil peran utama dalam semua kegiatan pengurangan risiko bencana. 3. Ketiga, informasi yang terkandung di dalam kearifan lokal dapat membantu memberikan informasi yang berharga tentang konteks setempat. 4. Keempat, cara penyebarluasan kearifan lokal yang bersifat non-formal memberi sebuah contoh yang baik untuk upaya pendidikan lain dalam hal pengurangan risiko bencana

REKOMENDASI
masyarakat KEBIJAKAN industri
Riset & Teknologi Kearifan lokal

Pemerintah

Pemerintah sebagai pemegang otoritas tertinggi dalam proses pembuatan kebijakan yang berhubungan dengan Merapi dan aktivitas di dalamnya harus menyertakan unsur kerarifan lokal di dalam proses-nya untuk kemudian dipadankan dengan teknologi dan riset modern dalam proses pembuatan kebijakan. Perpaduan unsur tersebut bisa berbentuk partisipasi masyarakat yang lebih aktif dengan melibatkan tokoh masyarakat dan local genius untuk menyampaikan program pemerintah dalam bahasa yang tepat sasaran atau mencoba berkompromi dengan ilmu-ilmu lokal yang telah berkembang dalam pendeteksian bencana dengan mengesampingkan unsur mistis di dalamnya. Dengan adanya kebijakan yang relative tepat sasaran, masyarakat lereng Merapi dapat hidup dengan tenang dan bila sewaktu waktu terjadi ancaman bencana, mereka sudah mengetahui langkah-langkah yang tepat karena pemerintah telah mensosialisasikan kegiatan dan program mereka kepada masyarakat, baik sebagai perlindungan, penanggulangan ataupun penyelamatan. Pihak industry sebagaipihak yang berorientasi dengan financial akan dibatasi pengelolaannya agar tidak sampia berlebihan, hal ini diperlukan peran serta masyarakat mulai dari pekerja hingga tokoh masyarakat agar sama-sam mengawasi dan mengendalikan industry agar tidak semakin merusak alam Merapi.

Mt. MERBABU

Mt. MERAPI : RAIN GAUGE STN. : DEBRIS SENSOR STN. BABADAN REP./RF STN. GEMER 1 G. MARON KALIADEM PLAWANGAN GEMER 2 SALAMSARI WISMA PU PROV. DIY KALIURANG (REP. STN) DELES : WATER LEVEL STN.

KANTOR KABUPATEN MAGELANG

KOPEN

PULOWATU

KANTOR KABUPATEN SLEMAN (KEC. PAKEM)

KANTOR KABUPTNEN KLATEN

Kantor BBWSSO

RCS / BALAI SABO

You might also like