You are on page 1of 17

0

HERMENEUTIKA FAZLUR RAHMAN: DOUBLE MOVEMENT THEORY


A. PENDAHULUAN
Pada dasarnya Hermeneutika merupakan sebuah metode kritik eksploratif untuk
menginterpretasikan realitas teks-teks Kitab Suci baik secara implisit maupun eksplisit di
mana Kitab Suci dipandang mempunyai kedudukan sebagai ultimate truth (kebenaran
yang Agung) namun dalam realitas hermeneutika merupakan suatu teori filsafat tentang
interpretasi makna dikenal sebagai salah satu model spesifik analisa yakni sebagai
pendekatan filosofis terhadap pemahaman manusia. Fokus analisa hermeneutika adalah
persoalan makna teks atau yang dianalogikan sebagai teks. Bahasa menjadi acuan way of
being bagi manusia dalam menggali kebenaran. Keterbatasan manusia dalam
mengungkapkan bahasa Kitab Suci sering suatu pemahaman menjadi invaliditas dan semi
validitas tetapi setiap interpreter mengakui klaim kevaliditasnya.
Aplikasi hermeneutika dalam pemahaman Al-Qur'an merupakan sebuah keniscayaan
sejarah sebagai sebuah evolusi metodologis dari triadik metode penafsiran yang
dikembangkan oleh umat Islam, yaitu tafsir takwil hermeneutika. Artinya, sebagai sebuah
perangkat metodologis pembacaan Al-Qur'an, hermeneutika merupakan bagian integral
perjalanan panjang sejarah perkembangan ilmu-ilmu Al-Qur'an. Sejumlah gagasan
konseptual dalam tradisi hermeneutika seperti keharusan mempertimbangkan konteks
sosial pembaca maupun teks, konsep teks itu sendiri, keragaman potensial makna teks,
mempertimbangkan kondisi audiens sebagai sasaran teks merupakan kumpulan konsep
yang erat kaitannya, bahkan tidak lain merupakan dari istilah-istilah metodologis yang
terdapat dalam tradisi kajian 'Ulum Al-Qur'an.
Penggunaan hermeneutika dalam Al-Quran memberikan orientasi ekspansif
pemahaman Al-Quran dari having religious ke being religious dan being human. Konsep
having religious lebih menitik-beratkan pada formalisme agama, sedangkan being
religious dan being human lebih menitikberatkan pada substansi dan nilai agama.
Kemudian dilakukan suatu transformative value melalui critical thinking yang bersandar
pada landasan atau perspektif kemaslahatan kontemporer. Kecenderungan Al-Quran
dipahami selama ini lebih dominan sebagai kajian hukum Islam (fiqh) dengan pendekatan
teoritis dan normatif dapat disebut melihat hukum dalam konteks law in books, yaitu suatu
1
pemahaman yang melihat hukum sebagai fenomena normatif dalam rangka pencarian atau
penemuan asas dan doktrin hukum, sementara kecenderungan terapan yang bersifat
sosiologis dapat dipahami sebagai model pemahaman yang melihat hukum dalam
kerangka law in action, yaitu suatu pemahaman yang melihat hukum sebagai fenomena
sosial.
Perubahan sosial, ekonomi, budaya, ilmu pengetahuan dan hukum yang terjadi dalam
dunia Islam yang berinteraksi dengan dunia internasional non-Islam, selalu melibatkan
proses dialektika yang intensif antara great tradition (tradisi besar) pada wilayah alam
pikiran, konsep, ide, teori, keyakinan, dan gagasan. Sedangkan little tradition (tradisi
kecil) yang merupakan wilayah aplikasi praktis di lapangan dari teori, konsep, ide,
keyakinan dan gagasan tersebut dalam wilayah kehidupan konkrit pada budaya dan
tatanan sejarah tertentu. Perubahan (change) akan terjadi ketika tradisi baru yang datang
mempunyai kekuatan dan daya dorong yang besar dibandingkan dengan tradisi keilmuan
yang telah ada dan mapan sebelumnya. Jika tradisi baru yang datang mempunyai kekuatan
dan daya dorong yang lebih kecil dibandingkan kekuatan tradisi keilmuan yang lama,
maka yang terjadi adalah tidak adanya perubahan.
Oleh karena itu, perubahan yang sangat mendesak dalam Dunia Islam yaitu pengalihan
pemahaman Al-Quran dari hukum Islam (Fiqh) yang sifatnya teoritis dan normatif
berkisar pada formalisme agama Islam menjadi hukum Islam yang kontekstual sesuai
dengan sosiologis legal formal sekarang ini. Teori double movement Fazlur Rahman
mencoba melakukan terobosan baru dengan merekonstruksi pemahaman terhadap Al-
Quran yang compatible dengan kehidupan kontemporer melalui metode penafsiran
hermeneutika.
B. PEMBAHASAN
1. Biografi Fazlur Rahman
Fazlur Rahman merupakan intelektual muslim kontemporer yang dilahirkan pada
tanggal 21 September 1919, di daerah Hazara ketika India belum terpecah menjadi India
dan Pakistan, daerah tersebut sekarang terletak di sebelah Barat Laut Pakistan (Rahman,
1993 : 13) Ayahnya, Maulana Syahab al-Din, seorang ulama terkenal lulusan madrasah
2
Deoband. Meskipun berpendidikan agama sistem tradisional, Syahab al-Din sangat
menghargai sistem pendidikan modern.
Ada beberapa faktor yang telah membentuk karakter dan kedalaman keberagamaan
Fazlur Rahman, salah satunya adalah pengajaran dari ibunya tentang kejujuran, kasih
sayang, serta kecintaan sepenuh hati seorang ibu. Hal lain adalah ayahnya tekun
mengajarkan agama kepada Fazlur Rahman di rumah dengan disiplin yang tinggi sehingga
ia mampu menghadapi bermacam peradaban dan tantangan di dunia modern (Amiruddin,
2000 : 10)
Fazlur Rahman banyak dididik ilmu agama oleh orang tuanya dengan madzhab fiqh
tertentu yakni mazhab Hanafi. Selain itu ketika Fazlur Rahman hidup di Pakistan telah
lebih dahulu berkembang pemikiran yang agak liberal seperti Syah Waliyullah, Syah
Abdul Aziz, Sayyid Ahmad Syahid, Sayyid Ahmad Khan, Sayyid Amir Ali, dan Sir
Muhammad Iqbal. Dari para pemikir tersebut tentunya juga mempengaruhi pola pikir
Fazlur Rahman.
Pada tahun 1933, Fazlur Rahman melanjutkan studinya ke Lahore dan memasuki
sekolah modern. Pada tahun 1940 Fazlur Rahman menyelesaikan BA-nya dalam bidang
sastra Arab pada Universitas Punjab. Kemudian, dua tahun berikutnya (1942) dia
menyelesaikan Masternya dalam bidang yang sama pada Universitas yang sama pula.
Empat tahun kemudian (1946) Fazlur Rahman berangkat ke Inggris untuk pengembaraan
intelektualnya keluar negeri dengan masuk di Universitas Oxford
1
di bawah bimbingan
1
Ketika kuliah di Oxford University, Fazlur Rahman mempunyai kesempatan untuk mempelajari
beberapa bahasa-bahasa Barat. Paling tidak ia menguasai bahasa Latin, Yunani, Inggris, Jerman, Persia,
Turki, Arab, dan Urdu (Amal, 1992 : 81) Penguasaan bahasa yang bagus sangat membantunya dalam
memperdalam dan memperluas ilmu pengetahuan, terutama dalam studi-studi Islam melalui penelusuran
literatur-literatur keislaman yang ditulis oleh para orientalis dalam bahasa mereka. Dengan pengalaman ini,
Fazlur Rahman tidak menjadikan apologetik, tetapi justru lebih memperlihatkan penalaran yang objektif.
Dengan demikian banyak intelektual Muslim yang menjadikannya sebagai panutan dalam pemikiran Islam.
Kendatipun Fazlur Rahman banyak menimba ilmu dari para sarjana Barat, tidak berarti ia selalu
berfikiran sama dengan pemikiran para sarjana Barat. Ia tetap kritis dalam menilai pandangan-pandangan
yang diajukan para orientalis. Bahkan sejauh formulasi yang dibentuk tidak memiliki argumen yang kuat
atau karena kesalahpahaman mereka terhadap masalah yang sedang dianalisis Fazlur Rahman tidak segan-
segan untuk mengkritiknya. Fazlur Rahman juga mengkritisi praktik dan atausistem politik dan sosial yang
dikembangkan Barat yang secara moral objektif telah jauh dari kebaikan (Amiruddin, 2000 : 11)
Dengan gelar akademik yang disandangnya dan penguasaan bahasa yang sangat bagus, Fazlur Rahman
benar-benar seorang Scholar yang mumpuni dalam berbagai bidang kajian keislaman. Ia menguasai secara
luas dan mendalam sejarah Islam dalam bidang pemikiran, perkembangan sosial politik dan budaya.
Demikian pula ia sanggup membaca dengan cermat khazanah klasik keilmuan Islam di segala bidang, betapa
pun kunonya buku tersebut yang belum menggunakan bahasa yang standar.
3
Prof. S. Van Den Bergh dan H.A.R. Gibb dalam program doctor filsafat Islam (Ph.D).
Pada tahun 1949 Fazlur Rahman menyelesaikan studinya dengan disertasi tentang Ibnu
Sina (Sutrisno, 2006 : 62) Dua tahun kemudian disertasinya diterbitkan oleh Oxford
University Press dengan judul Avecinnas Psychology.
Setelah mendapatkan gelar doctor dalam bidang Filsafat Islam (Ph.D) Fazlur Rahman
tidak langsung pulang kampung, melainkan dia masih tetap tinggal di Inggris dengan ikut
mengembangkan karirnya sebgai seorang dosen studi Persia dan filsafat Islam di
Universitas Durham dari tahun 1950 hingga tahun 1958 (Supena, 2008 : 45) Selanjutnya
pada tahun 1958 ia hijrah ke Kanada, ia di sana diangkat sebagai lector kepala (associate
professor) di Institut Studi Islam Universitas Mc.Gill, Kanada.
Pada tahun 1961 Fazlur Rahman diundang untuk pulang di tanah airnya, Pakistan oleh
seorang Presiden Ayyub Khan yang memerintah pada waktu itu, untuk membantu
pembaruan di Pakistan. Terutama di lembaga Riset Islam Pakistan dan selanjutnya ia
diangkat sebagai direktur lembaga tersebut pada tahun 1961- 1969.
Pada tahun 1964, Fazlur Rahman juga ditunjuk sebagai salah seorang anggota Dewan
Penasehat Ideologi Negara Islam Pakistan yang salah satu tugasnya adalah meninjau
seluruh hukum, baik yang telah ada maupun yang akan dibuat agar selaras dengan pesan-
pesan al-Quran dan Sunnah serta mengajukan rekomendasi kepada pemerintah pusat dan
daerah bagaimana seharusnya kaum muslim Pakistan menjadi muslim yang terbaik. Kedua
lembaga ini yakni lembaga Riset Islam Pakistan dan Dewan Penasehat Ideologi Negara
Islam Pakistan memiliki hubungan yang sangat erat, karena masing-masing dapat meminta
bahan-bahan dan mengajukan saran-saran mengenai suatu rancangan undang-undang yang
diajukan kepadanya.
Fazlur Rahman menerima tawaran Ayyub Khan tersebut dengan harapan ia dapat
mengajukan gagasan-gagasan pembaruan dalam dunia Islam. Gagasan-gagasan tersebut
kemudian ia lontarkan dalam tiga jurnal yang diterbitkan lembaga riset Islam yakni
Dirasah Islamiyah (Arab), Islamic Studies (Inggris) dan Fikr -O-Nazr (Urdu). Melalui
jurnal tersebut, bidang-bidang kajian Islam Fazlur Rahman bukan hanya sejarah filsafat
dan pemikiran Islam pada umumnya, melainkan juga bidang-bidang lain yang lebih
praktis seperti riba dan bunga bank, sistem ekonomi, lembaga perkawinan dan keluarga,
4
masalah-masalah kesehatan pengobatan, sistem politik dan kenegaraan dan sistem
pendidikan.
Usaha-usaha tersebut dilakukannya dengan memberi makna baru terhadap ayat-ayat al-
Quran dengan metodologi tafsir baru. Gagasan pembaruan Fazlur Rahman tersebut yang
pada dasarnya adalah representative kelompok neo-modernis berkaitan dengan al-Sunnah
dan al-Hadith, riba dan bunga bank, zakat, fatwa-fatwa tentang kehalalan binatang yang
disembelih dengan alat mekanik dan sebagainya. Gagasan-gagasan tersebut banyak
mengundang kontroversi berskala nasional, yang puncaknya terjadi pada bulan September
1967 ketika dua bab pertama karya monumentalnya Islam dipublikasikan dalam jurnal
berbahasa Urdu yang bernaung di bawah lembaga Riset Islam. Dalam buku tersebut Fazlur
Rahman mengatakan bahwa secara keseluruhanya al-Quran adalah kalam Allah SWT,
dan dalam pengertian biasa juga seluruhnya merupakan perkataan nabi Muhammad SAW
(Rahman, 1984 : 31 dan Moosa, 2000 : 35)
Pernyataan tersebut seperti bisa diduga akan menimbulkan reaksi keras oleh kalangan
ulama tradisionalis dan fundamentalis di Pakistan. Bahkan tidak sedikit yang menuduh
Fazlur Rahman sebagai munkiru al-Quran. Kondisi itu diperparah dengan terjadinya
demonstrasi masa dan aksi mogok kerja yang berskala massif di beberapa kota di Pakistan
pada awal September 1968. Aksi massa menurut beberapa kalangan dinilai sebagai
bersifat politis, memangdalam waktu yang cukup lama belum juga bisa diredakan. Salah
satu pendapat yang menyatakan aksi masa tersebut bersifat politis adalah Esposito.
Menurutnya Aksi massa tersebut sebenarnya bukan hanya datangnya dari penyataan
Fazlur Rahman, melainkan juga adanya faktor politik yang sebenarnya lebih ditujukan
untuk menentang kepemimpinan Ayyub Khan (Esposito, 1985 : 286)
Akhirnya, karena menemukan dirinya tanpa dukungan dan kurang strategis dalam
mengembangkan pembaruan Islam, Fazlur Rahman mengajukan pengunduran dirinya
2
2
Setidaknya terdapat beberapa faktor yang secara garis besar dapat menjelaskan terjadinya kontroversi
dan oposisi terhadap Fazlur Rahman di Pakistan dan pengunduran dirinya selaku direktur Riset Islam dan
Keanggotaan Dewan Penasehat Ideologi Islam Pakistan. Ulama tradisionalisdan fundamentalis Pakistan dan
oposan Fazlur Rahman yang paling setia dan tangguh selama Fazlur Rahman menetap di Pakistan, tidak
pernah memaafkan dosa Fazlur Rahman karena mendapatkan didikan di Barat dan berhubungan dengan
Barat. Lantaran alasan ini pula, mereka tidak pernah merestui penunjukkannya selaku Direktur Lembaga
Riset Islam Pakistan. Bagi mereka jabatan tersebut adalah hak privilese eksklusif seorang alim yang terdidik
secara tradisional.
5
dari jabatan Direktur Lembaga Riset Islam pada 5 September 1968 yang langsung
dikabulkan oleh Ayyub Khan. Dan setahun kemudian pada tahun 1969 Fazlur Rahman
melepaskan keanggotaannya dari Dewan Penasehat Ideologi Islam Pakistan (Ala, 2003 :
37) Pertimbangan pengunduran dirinya dari kedua lembaga tersebut merupakan faktor
yang sangat menentukan bagi keputusan Fazlur Rahman untuk segera meninggalkan
Pakistan di tengah hujatan dan sorotan kritik atas pandanganpandangannya sebagai
seorang yang dianggap terlalu liberal.
Pada musim semi tahun 1969, Fazlur Rahman diangkat menjadi guru besar tamu di
Universitas California, Los Anggles dan kemudian ditarik Universitas Chicago sebagai
professor pemikiran Islam. Pada tahun 1986, ia direkrut oleh Horald H. Swift menjadi
guru besar di Chicago University hingga wafatnya pada Juli 1988 (Rahman, 1993 : 15)
2. Epistemologi Hermeneutika Fazlur Rahman
Secara epistemologis ada beberapa poin yang bisa ditangkap dari pemikiran
hermeneutika Fazlur Rahman, yaitu : Pertama, dalam memahami al Quran, hermeneutika
Rahman lebih mendahulukan prinsip moral al Quran ketimbang dimensi lahiriyah teks,
meskipun ia tidak meninggalkan teks sama sekali. Dalam hal ini, Rahman menunjuk pada
pengalaman generasi sahabat yang mengambil kesimpulan hokum berdasarkan
pengalaman generasi mereka akan totalitas ajaran al Quran dan baru mengutip ayat-ayat
individual al Quran pada tahap sekunder. Bagi umat Islam yang tidak pernah hidup
bersama Nabi, maka memahami totalitas al Quran dapat dilakukan dengan memahami
latar belakang historis penurunan al Quran tersebut dan kemudian menyusun prinsip-
prinsip moral al Quran tersebut secara sistematis.
Kedua, sumber informasi pengetahuan dalam konsep hermeneutika Rahman bukan
hanya teks, melainkan mencakup tiga horizon sekaligus; dunia teks (world of view), dunia
pengarang (world of the author), dan dunia pembaca (world of the reader). Pertama-tama,
Demikian pula, kolaborasi Fazlur Rahman dengan pemerintahan Ayyub Khan kurang menguntungkan
bagi Fazlur Rahman karena kemarahan para ulama tradisionalis dan fundamentalis kepada Ayyub Khan
ditumpahkan padanya. Di samping itu gagasan-gagasan pembaruan yang dikemukakan Fazlur Rahman
terlalu liberal bagi mereka dan menyudutkan kalangan tradisionalis dan fundamentalis Pakistan. Latar
belakang ketidaksenangan dan penentangan kaum tradisionalis dan fundamentalis Pakistan terhadap
Fazlur Rahman bersifat complicated tersebut, pada akhirnya mendorong Fazlur Rahman untuk
mengembangkan pembaruan pemikiran Islam di negara lain yang dapat menerima pemikiran-pemikiran
progresifnya.
6
seorang hermeneut harus memahami teks al Quran, mengenal tradisi masyarakat Arab
ketika al Quran diturunkan dan seolah-olah hidup di tengah-tengah mereka. Setelah itu
kembali mengajak al Quran dan Muhammad (sebagai penafsir otoritatif atas al Quran)
untuk hidup kembali di masa kini.
Ketiga, hermeneutika rahman lebih mengutamakan validitas pengetahuan yang bersifat
intersubjektif. Hermeneutika tidak mengenal model penafsiran yang bersifat tunggal dan
menjadi hak monopoli kelompok tertentu. Sebaliknya, kebenaran dan pengetahuan
menjadi hak milik semua orang dan semua kelompok sehingga kebenaran dalam sudut
pandang hermeneutika lebih bersifat pluralistik. Karena itu, pesan al Quran yang
dipandang relevan dalam penggalan ruang waktu tertentu belum tentu relevan dalam
penggalan ruang waktu yang lain.
Keempat, intersubjektivitas yang diusung hermeneutika ini tidak akan sampai
melahirkan relativisme, sebab fleksibilitas rumusan hokum Islam tersebut akan selalu
dapat dikembalikan kepada prinsip-prinsip moral (ideal moral). Watak relatisme
hermeneutika secara objektif selalu dipagari oleh prinsip-prinsip moral al Quran yang
selalu dijadikan sebagai pijakan dalam merumuskan hokum islam tersebut (Supena, 2008 :
86-87)
3. Hermeneutika Fazlur Rahman : Double Movement Theory
3
Fazlur Rahman sebenarnya telah merintis rumusannya tentang metodologi sejak dia
tinggal di Pakistan (dekade 60-an). Namun rumusan metodologinya ini secara sistematis
dan komprehensif baru diselesaikannya ketika dia telah menetap di Chicago. Metodologi
yang ditawarkannya ini, yang dia sebut sebagai double movement, merupakan
3
Gerakan ganda yang dimaksud adalah dalam menafsirkan al-Quran dari situasi sekarang ke masa
diturunkannya al-Quran, dan kembali lagi ke masa kini. Dalam penafsiran al-Quran dengan gerakan ganda
tersebut gerakan pertama dimulai dari hal-hal yang spesifik dalam al-Quran ke penggalian dan sistematisasi
prinsip-prinsip umum, nilai-nilai, dan tujuan-tujuan jangka panjangnya, maka gerakan kedua harus
dilakukan dari pandangan umum ini ke pandangan spesifik yang harus diformulasikan dan direalisasikan
sekarang. Maksudnya, yang umum harus ditumbuhkan dalam konteks sosio-historis yang konkrit dewasa ini.
Dalam konteks ini, Rahman merupakan tokoh pembaruan pemikiran yang memiliki wawasan yang
cemerlang dalam menyampaikan pemikiran-pemikirannya. Dengan demikian, yang patut digarisbawahi dari
pemikiran Rahman adalah al-Quran harus ditangkap secara utuh dan mempertimbangkannya secara kritis
latar belakang sosio-kultural turunnya ayat, sehingga pemikiran-pemikiran yang merupakan konstribusi
dalam menjawab tantangan zaman dapat dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu, pemikiran yang
dilontarkan tetap berada pada koridor-koridor Islam.
7
kombinasi pola penalaran induksi dan deduksi; pertama, dari yang khusus (partikular)
kepada yang umum (general), dan kedua, dari yang umum kepada yang khusus.
Pada tahun pada tahun 1982 melalui bukunya yang berjudul Islam and Modernity:
Transformation of an Intellectual Tradition (edisi Indonesianya berjudul Islam dan
Modernitas: tentang Transormasi Intelektual), Rahman mengemukakan metode tafsir
dalam memperoleh pemahaman Alquran, yakni a double movement method (metode
sebuah gerakan ganda). Pada gerakan pertama
4
dari metode sebuah gerakan gandanya
terdapat dua langkah yang harus ditempuh oleh seorang penafsir Al Quran. Untuk
memperjelas pemaparan atas metodenya itu, berikut ini adalah gerakan pertama dari
metode tafsir Al Quran.
Pertama, orang harus memahami arti atau makna dari sesuatu pernyataan dengan
mengkaji situasi atau problem historis di mana pernyataan Al Quran tersebut merupakan
jawabannya. Tentu saja, sebelum mengkaji ayat-ayat spesifik sinaran situasi-situasi
spesifiknya, suatu kajian mengenai situasi makro dalam batasan-batasan masyarakat,
agama adat istiadat, lembaga-lembaga, bahkan mengenai kehidupan secara menyeluruh di
Arabia pada saat kehadiran Islam khususnya di Makkah dengan tidak mengesampingkan
peperangan-peperangan Persia-Byzantium- akan harus dilakukan. Jadi, langkah pertama
dari gerakan yang pertama adalah memahami makna Al Quran sebagai suatu keseluruhan
disamping dalam batas-batas ajaran-ajaran khusus yang merupakan respons terhadap
situasi-situasi khusus. Rumusan gerakan pertama ini diungkapkan Rahman sebagai
berikut:
Langkah pertama, orang harus memahami arti atau makna suatu pernyataan (ayat)
dengan mengkaji stuasi atau problema historis di mana pernyataan Al Quran
tersebut merupakan jawabannya. Tentu saja sebelum mengkaji ayat-ayat spesifik
dalam situasi-situasi spesifiknya, suatu kajian situasi makro dalam batasan-batasan
4
Gerakan pertama dari dua gerakan metodis, yang terdiri dari dua langkah, pada dasarnya merupakan
penjabaran dari tiga pendekatan pemahaman dan penafsiran Alquran, yaitu pendekatan historis, kontekstual,
dan sosiologis. Agaknya gerakan pertama ini lebih dikhususkan terhadap ayat-ayat hukum. Dari gerakan
pertama dalam metode sebuah gerakan gandanya ini, pendekatan Rahman hampir serupa dengan
pendekatan historisisme yang kerap kali digunakan orientalis dalam mengkaji Islam (baca: Al Quran).
Pendekatan ini menyatakan bahwa suatu entitas, baik itu institusi, nilai-nilai maupun agama berasal dari
lingkungan fisik, sosio-kultural, dan sosio-religius tempat entitas itu muncul.
Namun, pendekatan historisisme ini akan nampak sangat berbeda dengan pemikiran Rahman ini jikalau
kita mengkajinya dengan seksama. Perbedaan tersebut ialah bahwa Rahman sama sekali tidak menolak
adanya wahyu yang ikut membentuk suatu aturan-aturan kongkrit dalam Al Quran, justru ia melakukan
metode ini untuk memilah aspek yang sifatnya illahiah dengan entitas yang dibentuk oleh sejarah.
8
masyarakat, agama, adat-istiadat, lembaga bahkan keseluruhan kehiupan
masyarakat di Arabia pada saat Islam datang dan khususnyas di Makkah dan
sekitarnya, harus dilakukan terlebih dahulu. Langkah kedua, adalah
menggeneralisasikan respon-respon spesifik tersebut dan menyatakannya sebagai
ungkapan-ungkapan yang memiliki tujuan moral sosial umum, yang dapat disaring
dari ungkapan ayat-ayat spesifik dalam sinar latar belakang sosio-historis dan
dalam sinar "rationes leges" ('illat hukm) yang sering digunakan. Benarlah bahwa
langkah pertama yaitu memehami makna dari suatu pernyataan spesifik sudah
memperlihatkan ke arah langkah kedua dan membawa kepadanya. Selama proses
ini perhatian harus ditujukan kepada ajaran Al Quran sebagai suatu keseluruhan,
sehingga setiap arti tertentu yang dipahami, setiap hukum yang dinyatakan, dan
setiap tujuan yang dirumuskan akan koheren dengan yang lainnya. Al Quran
sendiri menda'wakan secara pasti bahwa "ajaran tidak mengandung kontradiksi",
melainkan koheren dengan keseluruhan (Rahman, 1979 : 221).
Ide pokok yang terkandung dalam gerakan pertama,s ebagaimana dikutip di atas adalah
penerapan metode berpikir induktif : "berpikir dari ayat-ayat spesifik menuju kepada
prinsip", atau dengan kata lain adalah "berpikir dari aturan-aturan legal spesifik menuju
pada moral sosial yang bersifat umum yang terkandung di dalamnya. Terdapat tiga
perangkat untuk dapat menyimpulkan prinsip moral-sosial. Pertama adalah prangkat ilat
hukum
5
(ratio leges) yang dinyatan dalam Al Quran secara eksplisit; kedua, ilat hukm
yang dinyatakan secara implisit yang dapat diketahui dengan cara menggeneralisasikan
beberapa ungkapan spesifik yang terkait; ketiga adalah perangkat sosio-historis yang bisa
berfungsi untuk menguatkan ilat hukum implisit untuk menetapkan arah maksud
5
Mengenai ilat (ratio logis, alasan hukum) dan hikmat (sasaran), pada prinsipnya Rahman sependapat
dengan Syaikh Yamani, bahwa kedua kata tersebut mengandung implikasi makna yang berbeda jika
dikaitkan dengan aspek ibadah (religious), tetapi jika dikaitkan dengan aspek muamalah (pranata sosial),
eduanya memiliki pengrtian yang erat. Namun Rahman tidak sependapat jika dikatakan bahwa dalam aspek
ibadah tidak terkandung hikamat dan dalam aspek muamalah tidak terkandung ni;ai religius, atau semata-
mata dikatakan sekuler. Hal ini sebagaimna dikatakan oleh mayorits muslim sekularis yang
mengidentifikasikan "aspek religius" sebagai hal-hal yang bersifat abadi, tidak dapat diubah karena
terkandung hikmah di dalamnya, sedangkan muamalah dipandang sebagai hal-hal yang mutlak, dan bebas
mengalami perubahan. Menurut Rahman (1979 : 220), di dalam aspek ibadah terdapat hikmah sebagaimana
terdapat dalam aspek muamalah. Namun antara keduanya mempunyai kualifikasi (standar) yang berbeda.
Standar hikmah dalam aspek muamalah adalah nilai logis, sebaliknya spek-aspek sosial juga mengandung
nilai-nilai religius yang bersifat abadi, tida semata-mata bersifat sekuler. Nilai nilai moral-sosial yang
terkadang dalam aspek muamalah adalah bersifat religius dan abadi. Bahkan hukum-hukum yang ditarik dari
nilai-nilai moral-sosial tersebut sebagai respon terhadap zaman apapun juga brsifat religius, sekalipun ia
tidak bersifat abadi.
Dengan bahasa lain, aturan (hukum) sosial bisa saja sepanjang tidak bertentangan dengan nilai-nilai dan
tujuan moral-sosial. Perubahan hukum yang melanggar nilai-nilai dan tujuan moral-sosial tidak dapat
dibenarkan secara Islam. Rahman sendiri tidak pernah mempermasalahkan nilai-nilai atau prinsip-prinsip
moral-sosial tersebut apakah sebagai ilat ataupun sebagai hikmah.
9
tujuannya, juga dapat berfungsi untuk membantu mengungkapkan ilat hukum beserta
tujuannya yang sama sekali tidak dinyatakan (Rahman, 1979 : 222).
Langkah kedua
6
adalah menggeneralisasikan jawaban-jawaban spesifik tersebut dan
menyatakannya sebagai pernyataan-pernyataan yang memiliki tujuan-tujuan moral-sosial
umum yang dapat disaring dari ayat-ayat spesifik dalam sinaran latar belakang sosio
historis dan ratio-legis yang sering dinyatakan. Rumusan gerakan kedua ini dinyatakan
Rahman sebagai berikut :
Gerakan kedua harus dilakukan dari pandangan umum (yaitu yang telah
disistematisasikan melalui gerakan pertama) menjadi pandangan-pandangan
spesifik yang harus dirumuskan dan direalisasikan sekarang ini. Artinya, ajaran-
ajaran yang bersifat umum tersebut harus dirumuskan dalam konteks sosio-historis
yang konkrik sekarang ini. Sekali lagi kerja ini memerlukan kajian yang cermat
atas situasi sekarang dan analisis berbagai unsur komponennya, sehingga kita dapat
menilai situasi sekarang yang diperlukan dan menentukan prioritas-prioritas baru
untuk bisa mererapkan nilai-nilai Al Quran secara baru pula.
Dari kutipan di atas, terlihat bahwa dalam gerakan kedua ini terdapat dua kerja yang
saling terkait. Pertama adalah kerja merumuskan prinsip umum Al Quran menjadi
rumusan-rumusan spesifik, maksudnya yang berkaitan dengan tema-tema khusus,
misalnya prinsip ekonomi Qurani; prinsip demokrasi Qurani; prinsip hak-hak asasi Qurani
dan lain-lain, di mana rumusan prinsip-prinsip tersebut harus mempertimbangkan konteks
sosio-historis yang konkrit, dan bukan rumusan spekulatif yang mengawang-awang, kerja
pertama tidak mungkin terlaksana kecuali disertai kerja kedua yaitu pembahasan secara
akurat terhadap kehidupan aktual yang sedang berkembang dalam segala aspeknya;
ekonomi, politik, budaya, dan lain-lain.
Kenyataan kehidupan aktual suatu masyarakat atau bangsa memiliki corak-corak
tertentu yang bersifat situasional dan kondisional. Selain itu, ia sarat akan perubahan-
perubahan. Oleh karena itu, tanpa pencermatan situasi dan kondisi aktual, akan cenderung
kepada upaya pemaksaan prinsip-prinsip Qurani, sedangkan yang diinginkan Rahman
6
Gerakan kedua merupakan upaya perumusan prinsip-prinsip umum, nilai-nilai dan tujuan-tujuan Al
Quran yang telah disis tematisasikan melaui gerakan pertama terhadap situasi dan atau kasus aktual
sekarang. Gerakan kedua ini befungsi sebagai pengkoreksi atas hasil-hasil yang dilakukan pada gerakan
pertama, yakni pada tahap penafsiran dan pemahaman atas wahyu Al Quran. Apabila terjadi kegagalan
dalam pengaktualisasian pemahaman yang dihasilkan dari gerakan pertama pada masa sekarang, Rahman
mengklaim bahwa terdapat kesalahan atau kegagalan dalam memperoleh pemahaman atau menilai masa kini
atau situasi masa sekarang ataupun kegagalan dalam memahami pesan Al Quran (Rahman, 2005: 8)
10
bukanlah seperti itu, melainkan hanyalah "perumusan" prinsip umum Al Quran dalam
konteks sosio-historis aktual. Bahkan suatu prinsip tidak dapat diterapkan sebelum ia
dirumuskan kembali.
Pada langkah pertama dari gerakan pertama ini, Rahman hendak menempatkan wahyu
Al Quran dalam konteks kesejarahannya atau konteks lingkungan di mana wahyu tersebut
turun dan menjadi solusi terhadap pelbagai permasalahan yang dialami masyarakat Arab
ketika itu. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa ia hendak membatasi isi pesan dalam
Al Quran dalam konteks masyarakat Arab ketika itu. Langkah pertama dari sebuah
gerakan gandanya ini, menempatkan wahyu sebagai pelbagai respon dari Allah swt.
melalui Muhammad SAW atas stimulus-stimulus yang datang dari problem-problem
historis masyarakat Arab ketika itu.
Pada langkah kedua, seorang penafsir Al Quran harus membuat generalisasi atas solusi-
solusi yang diberikan kepada masayarakat Arab ketika itu dengan dilandasi oleh alasan-
alasan yang terdapat dalam Al Quran ketika memberikan solusi-solusi tersebut. Rahman
menyadari bahwa langkah kedua ini adalah implikasi dari langkah pertama. Langkah
kedua dari gerakan pertama ini merevisi langkah pertama yang membatasi wahyu Al
Quran dalam konteks kesejarahannya, karena pada langkah kedua ini Rahman hendak
mengambil makna moral-sosial yang tidak dibatasi oleh oleh ruang dan waktu.
Maksudnya, jika pada langkah pertama ia membatasi wahyu Al Quran dalam konteks
historis atau sosial tertentu di mana wahyu dinyatakan sebagai solusi-solusi atas problem
historis, maka pada langkah kedua ia hendak mengambil makna dari suatu solusi-solusi
tersebut yang dinilainya merupakan sesuatu hal yang trans-historis atau melampaui batas
kesejarahan pewahyuan.
Menurut Rahman, tidaklah mungkin jika pada masa lalu berhasil diterapkan, namun
pada masa kini tidak dapat diterapkan. Oleh karenanya, ia menyarankan diperlukannya
jihad intelektual, yang dilakukan dengan cara melakukan usaha terus-menerus dalam
memahami makna dari suatu teks atau pernyataan dari masa lampau tersebut (Al Quran)
yang mempunyai suatu aturan, dan kemudian mengubah aturan tersebut yang disesuaikan
pada masa kini atas dasar nilai-nilai yang terkandung dalam teks berserta konteks
historisnya.
11
Moosa (2000 : 31) memandang bahwa metode sebuah gerakan ganda ini terpengaruh
oleh tokoh hermeneutika objektif asal Italia, Emilio Betti. Menurutnya, metode Rahman
tersebut tersebut adalah ringkasan dari empat kaidah
7
penafsiran yang dikemukakan oleh
Betti. Walaupun terdapat pendapat yang menyatakan bahwa kaidah-kaidah penafsiran teks
dalam hermeneutika Betti telah diringkas oleh Rahman dalam wujud metode sebuah
gerakan ganda, terdapat perbedaan yang cukup sifnifikan antara keduanya. Betti percaya
pada makna yang hidup kembali karena penegasan tujuan dalam pikiran penafsir orisinal.
Sedangkan dalam metode sebuah gerakan ganda, Rahman menyakini bahwa terdapat
kebutuhan dalam mengetahui maksud dalam pikiran penafsir, bahkan menegaskan bahwa
konteks sejarah penafsir dengan semua kesulitannya harus diselidiki.
Fazlur Rahman yakin bahwa dengan penerapan teori double movement nya ini di
dalam penafsiran teks, ijtihad dapat dihidupkan kembali. Apabila hal ini dapat dilakukan,
pesan-pesan al-Quran dapat hidup dan menjadi efektif sekali lagi. Gerakan ganda
seperti yang dikemukan oleh Fazlur Rahman memang strategis dalam upaya mengaitkan
kerelevanan teks al-Quran pada konteks kekinian, terutama untuk merumuskan kembali
hukum dari al-Quran. Lebih lanjut, Fazlur Rahman memastikan perlunya pendekatan
multidisiplinary dalam mengkaji pesan-pesan Al-Quran, karena pesan al-Quran
seringkali kompleks sehingga rawan untuk ditafsirkan sewenang-wenang oleh kelompok
tertentu yang berkepentingan dengan model penafsiran tunggal
8
.
7
Kaidah-kaidah penafsiran tersebut ialah sebagai berikut :
a. Kaidah mengenai otonomi objek hermeneutik, artinya pelbagai bentuk yang bermakna harus dipahami
berdasarkan perkembangan logika mereka sendiri, hubungan yang diharapkan, kepentingan, koherensi
dan kesimpulannya. Pada langkah ini seorang penafsir harus melihat suatu objek yang tercipta dari
pengarang dan harus dipandang dari sudut pandang pengarang serta rangsangan-rangsangan yang
membentuknya dalam proses-proses kreatif,
b. Kaidah mengenai koherensi makna (prinsip kemutlakan), artinya keseluruhan dan sebagian dalam
pelbagai bentuk yang bermakna saling berhubungan. Makna keseluruhannya harus diambil dari unsur-
unsur individual, dan unsur individual harus dipahami dengan mengacu pada totalitas, yang menembus
makna keseluruhan di mana ia merupakan bagiannya,
c. Kaidah mengenai aktualitas pemahaman. Artinya, melacak kembali proses kreatif, merekonstruksinya
dalam dirinya sendiri, menerjemahkan kembali pemikiran yang tak berkaitan dengan sebuah yang lain,
sebuah bagian dari masa lalu, sebuah peristiwa yang dapat diingat, yang menjadi aktualitas hidup
seseorang,
Kaidah keharmonisan atau korespondensi hermeneutik dari makna (ketepatan-makna dalam memahami).
Artinya, penafsir harus berusaha membawa aktualitas yang hidup ke dalam harmoni yang paling erat
dengan stimulasi yang ia terima dari objek dengan suatu cara sehingga satu sama lain beresonansi secara
harmonis (Supena, 2012 : 56).
8
Abdullah Saeed (2006 : 58) menulis:
12
4. Aplikasi Teori Double Movement Fazlur Rahman dalam Interpretasi Al-Qur'an
a) Hak istri untuk bercerai dalam keadaan tertentu (khulu)
Contoh sederhana dari teori gerak gandanya Rahman dalam hal hak istri untuk bercerai
dalam keadaan tertentu (khulu) dalam analisisnya terhadapa ayat yang digunakan
mayoritas ulama dalam peniadaan hak wanita ini adalah QS. Al Nisa [IV] : 3 dan QS. Al
Baqarah [II] : 28, yang menerangkan superioritas lelaki atas wanita. Pada gerak
pertamanya Rahman mencoba mengangkat aspek historis ayat dengan latar belakang
sosial budaya yang berlaku tentang status wanita pada waktu turunnya ayat.
Menurutnya masyarakat Arab ketika itu didominasi oleh kaum lelaki dan posisi kaum
wanita sangat lah rendah sehingga wajar saja ketika bunyi teks al-Quran menyesuaikan
dengan kondisi zaman dan konteks turunnya ayat dan hal ini dirasakan sangat bersifat
temporal. Dengan mengambil nilai yang lebih universal dari gerak pertamanya yaitu
tentang persamaan kedudukan antara laki-laki dan perempuan Rahman beranjak ke
gerakan kedua, Menurut Rahman, adalah sangat pelik untuk mempertahankan keadaan
berdasarkan ayat-ayat tersebut bahwa masyarakat harus tetap seperti masyrakat Arrab
abad ke-7 M, atau masyrakat abad pertengahan pada umumnya, dia berpandangan bahwa
anggapan mayoritas ulama tentang monopoli kaum laki-laki atas hak cerai sama sekali
tidak dicuatkan dari al-Quran dan bahwa ketentuan mengenai hak cerai kaum wanita
adalah positif (Amal, 1992 : 90)
b) Poligami
Ayat yang berkaitan dengan poligami adalah QS. Al-Nis [4] : 3 dengan konteks ayat
yang berkaitan dengan permasalahan gadis-gadis yatim yang telah berusia dewasa. QS.
Al-Nis [4] : 2, di mana wali mereka tidak berkenan menyerahkan harta kekayaan anak
yatim yang dikuasainya. QS. Al-Nis [4] : 3 memang menganjurkan poligami dengan
disertai syarat bahwa para suami mampu berbuat adil, dengan diiringi penekanan "jika
The importance of Rahmans double-movement approach is that he takes into account both the
conditions of the time of the revelation and those of the modern period in relating the text to the
community. In utilising this double movement theory, it is expected that not only the traditional
ulama, who should determine what is Islamically acceptable and what is not, will be involved, but
that it will also involve other specialists of relevance from fields as diverse as history, philosophy,
law, ethics, sociology, and anthropology to assist in the process of deriving Islamic law that is
meaningful, relevant and appropriate.
13
engkau kuatir tidak mampu berbuat adil, cukuplah hanya dengan seorang istri".
Selanjutnya sebagaimana pada ayat kedua, yang memerintahkan berbuat adil pada anak-
anak yatim. QS. Al-Nis [4] : 129 juga menegaskan "Kamu sekali-kali tidak akan mampu
berbuat adil kepada isteri-isterimu walaupun sesungguhnya kamu sangat menghendaki
untuk berbuat demikian-(jika engkau tidak mampu berbuat adil sepenuhnya)maka
setidak-tidaknya janganlah kamu cenderung sepenuhnya kepada salah satunya sehingga
yang lain terkatung-katung".
Rahman mencoba mendekati nas ini dengan menggali nilai yang terkandung di dalam
teks formalnya bedasarkan sosio-historis dan kulturalnya. Rahman tidak sependapat
bahwa frasa "berlaku adil" dalam ayat 3 surat Al-Nis hanya terbatas pada perlakuan
lahiriah. Jika frase tersebut hanya bermakna demikian, niscaya tidak mungkin ada
penegasan pada peringatan ayat 129 surat Al-Nis. Frase tersebut hanya tepat jika
ditafsirkan dalam aspek psikis,cinta kasih. Ia beralasan dengan ayat-ayat yang mengatur
poligami sudah menjadi semacam endemic dalam struktur sosial Arab pada masa itu,
maka Alquran secara bijaksana menerima status quo tersebut dengan disertai langkah-
langkah perbaikan melalui sejumlah rancangan hukum. Tetapi bersamaan dengan itu
Alquran juga mengemukakan rancangan moral di mana masyarakat secara gradual
dianjurkan menuju ke arah tersebut, yaitu "monogamy".
Dengan memandang izin poligami bersifat temporer dan memandang bahwa maksud
yang hendak dituju oleh Alquran yang sebenarnya adalah menegakkan "monogami", akan
menyelamatkan ayat 3 dan ayat 129 surat Al-Nis dari pengertian yang kontradiktif.
Masalah poligami berkaitan erat dengan konteks keadilan sosial terhadap wanita.
C. KESIMPULAN
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa, dalam memahami dan menafsirkan
sumber utama Islam dalam hal ini Al Quran, Rahman menggunakan teori double
movement (gerak ganda) dengan pendekatan sosio-historis dan sintetis-logis.
Pendekatan historis disertai dengan pendekatan sosiologis, yang khusus memotret kondisi
sosial yang terjadi pada masa al-Quran diturunkan. Pendekatan ini digunakan untuk
menafsirkan ayat-ayat hukum. Sedangkan sintetis-logis adalah pendekatan yang
membahas suatu tema dengan cara mengevaluasi ayat-ayat yang berhubungan dengan
14
tema yang dibahas. Pendekatan ini digunakan untuk menafsirkan ayat-ayat metafisis-
teologis. Jelas, di sini ditekankan keterpaduan wahyu.
Hubungan yang dialektis antara dua unsur yang terdapat dalam al Quran yaitu wahyu
ketuhanan yang suci di satu sisi dan sebagai sejarah kemanusian yang profane disisi yang
lain. Dua unsur inilah yang menjadi tema sentral metode Rahman. Permasalahannya ada
pada bagaiman cara mendialogkan antara dua sisi tersebut agar nilai-nilai kewahyuan bisa
selalu sejalan dengan sejarah umat manusia.
Gerakan ganda (double movement) adalah masuk ke akar sejarah untuk menemukan
ideal moral suatu ayat dan membawa ideal moral itu ke dalam konteks kekinian. Gerak
pertama pada teori Rahman menghendaki adanya memahami makna al-Quran dalam
konteks kesejarahannya baik secara spesifik dimana kejadian itu berlangsung (mikro)
maupun secara global bagaimana kondisi sekitar kejadian itu pada umumnya (makro).
Dari sini bisa diambil pemahaman yang utuh tentang konteks normative dan historisnya
suatu ayat maka timbullah istilah legal specific (praktis temporal) dan moral ide
(normative universal)
Kemudian gerak kedua yang dilaklukan adalah upaya untuk menerapkan prinsip dan
nilai-nilai sistematik dan umum dalam konteks penafsiran pada era kontemporer yang
tentunya mensyaratkan sebuah pemahaman yang kompleks terhadap suatu permasalahan.
Disini terlihat keberanjakan Rahman dari metodologi ushul fiqh lama yang cenderung
literalistik dan menurutnya perlunya penguasaan ilmu-ilmu bantu yang bersifat kealaman
maupun humaniora agar para penafsir terhindar dari pemahaman yang salah.
Sangat jelas bahwa gagasan yang ditawarkannya bersifat paradigmatik yang berusaha
menghindarkan pemahaman intelektual dari dogma dan batas batas dimensi cultural yang
membelenggu. Dengan ijtihadnya tersebut sesungguhnya Fazlur Rahman telah berjasa
besar dalam merumuskan sebuah pemikiran Islam yang sistematis dan komprehensif.
Pemikiran Fazlur Rahman ini dalam kajian ilmu-ilmu keislaman memiliki arti penting,
di antaranya:
1. Menawarkan metodologi baru dalam pengembangan keilmuan Islam: Hermeneutika
Fazlur Rahman adalah hermeneutika yang memadukan akar tradisional Islam dengan
hermeneutika Barat modern. Dinamakan hermeneutika al-Quran karena hermeneutika
difungsikan sebagai alat untuk menafsirkan kitab suci al-Quran.
15
2. Perubahan paradigma dari metafisik-teologis kepada etis-antropologis.
3. Menegakkan etika sosial dalam Islam modern. Pergeseran paradigma dari dari wilayah
metafisik-teologis ke wilayah etis-antropologis merupakan pembaharuan atas tujuan
etis; tujuan yang akan mengangkat harkat dan martabat manusia sebagai mahluk luhur.
D. PENUTUP
Demikianlah makalah ini penulis buat. Penulis yakin bahwa makalah ini masih jauh
dari kesempurnaan. Untuk itu penulis memohon kritik dan saran yang konstruktif demi
kesempurnaan makalah ini. Semoga bermanfaat. Terima kasih.
DAFTAR PUSTAKA
Ala. Abd. 2003. Dari Neo-Modernisme ke Islam Liberal: Jejak Fazlur Rahman dalam
Wacana Islam di Indonesia. Jakarta: Paramadina.
Amal, Taufiq Adnan. 1992. Islam dan Tantangan Modernitas; Studi Atas Pemikiran
Hukum Fazlur Rahman, Cet III, Bandung : Mizan
Amiruddin, M. Hasbi. 2000. Konsep Negara Islam Menurut Fazlur Rahman, Yogyakarta:
UII Press
Esposito, John L. 1985. Pakistan : Pencarian Identitas Islam, dalam Islam dan Perubahan
Sosial Politik di Negara Berkembang, Terjemahan Wardah Hafiz, Yogyakarta :
PLP2M.
Moosa, Ebrahim. 2000. Introduction dalam Fazlur Rahman, Revival and Reform in Islam :
A Study of Islamic Fundamentalism. Oxford : Oneworld Publication.
Rahman, Fazlur. 1979. Toward Reformulating the Methodology of Islamic Law : Syeikh
Yamani on Public interest Islamic Law, International and Politic Vol. 12
16
---------------, 1984. Islam dan Modernitas: Tentang Transformasi Intelektual. Terj. Ahsin
Muhammad, Bandung: Pustaka.
---------------, 1993. Metode dan Alternatif Neomodernisme Islam, terjm. Taufiq Adnan
Amal, Bandung : Mizan.
Saeed, Abdullah. 2006. Fazlur Rahman: A Framework for Interpreting the Ethico-Legal
Content of the Quran,dalam Suha Taji-Farouki (ed.), Modern Muslim Intellectual
and the Quran. London: Oxford University Press and The Institute of Ismaili
Studies.
Sibawaihi, 2007. Hermeneutika Al-Quran Fazlur Rahman. Yogyakarta: jalasutra.
Sutrisno. 2006. Fazlur Rahman: Kajian Terhadap Metode, Epistomologi dan Sistem
Pendidikan, Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Supena, Ilyas. 2008. Desain Ilmu-ilmu Keislaman dalam Pemikiran Hermeneutika Fazlur
Rahman, Semarang : Walisongo Press
------------------, 2008. Reformasi Epistemologi Ilmu-Ilmu Keislaman. Semarang : Program
Pascasarjana IAIN Walisongo Semarang
------------------, 2012. Bersahabat dengan Makna Melalui Hermeneutika. Semarang :
Program Pascasarjana IAIN Walisongo Semarang

You might also like