Professional Documents
Culture Documents
keseluruhan atau melihat berbagai potensi wilayah yang beragam dan bagaimana
kedua ilmu ini mengenal dan menggunakan beberapa istilah yang sama, seperti
keberadaan suatu kegiatan di suatu lokasi dan bagaimana wilayah sekitar bereaksi
penggunaan ruang (space) yang berlaku umum. Prinsip-prinsip ini dapat dipakai
dalam membuat kebijakan tata-ruang yang efektif dan efisien berdasarkan tujuan
Thunen (1826), Weber (1929), Ohlin (1939), dan Losh (1939), namun pemikiran
tahun 1956, disertasi Walter Isard di Harvard University yang berjudul Location
and Space Economics diterbitkan dan dengan itu ia dipandang sebagai orang
Kerangka landasan ilmu ekonomi regional yang dibangun Walter Isard pada
berbeda.
prinsip ekonomi yang telah digariskan akan berlaku umum di segala tempat, baik
di kota ataupun di desa, di daerah yang telah maju ataupun di daerah yang
sebagainya.
dan ekonomi pembangunan). Namun sangat naïf apabila seluruh materi ilmu
utama kebijakan ekonomi adalah (1) full-employment, (2) economic growth, dan
(3) price stability. Ketiga tujuan kebijakan ekonomi ini tidak mungkin seluruhnya
dengan wilayah di dalam suatu negara tertentu. Dalam hal ini, yang dapat
15
dimasukkan ke dalam kajian ekonomi regional suatu negara hanyalah (1) full-
employment dan (2) economic growth, sedangkan price stability di luar jangkauan
pemerintah pusat. Selain dua tujuan tersebut, ada beberapa tujuan pokok lainnya
yang dapat dikelola oleh pemerintah daerah secara lebih baik dibandingkan bila
dikelola oleh pemerintah pusat. Tujuan pokok kebijakan yang dimaksud meliputi
(Tarigan, 2004): (1) penetapan sektor unggulan wilayah, (2) membuat keterkaitan
perekonomian terbuka, di mana arus barang, arus modal, dan arus tenagakerja
diantaranya adalah : (1) teori kutub pertumbuhan (growth pole theory) oleh
development theory) oleh Boudeville, dan (3) teori titik pertumbuhan (growth
dielakkan dari suatu unit ekonomi terhadap unit-unit ekonomi lainnya. Perrox
menganggap bahwa industri pendorong sebagai titik awal dan merupakan elemen
esensial untuk pembangunan selanjutnya. Ada tiga ciri pokok yang mendasari
pertumbuhan ekonomi.
cepat.
penduduk dan berbagai kegiatan ekonomi dan sosial, memiliki daya tarik yang
cukup kuat bagi urbanisasi. Akibatnya, terjadi dampak negatif terhadap wilayah
movements). Arus modal dan tenagakerja yang mengalir dari satu daerah ke
Dalam analisis dinamik, tingkat pertumbuhan suatu daerah dapat jauh lebih tinggi
tingkat pertumbuhan modal (k) dan tingkat pertumbuhan penduduk (n) harus sama
tabungan yang direncanakan harus terus menerus sama dengan investasi yang
I S S Y s
= = • =
K K Y K v
produksi dan tabungan suatu daerah dapat disalurkan ke daerah-daerah lain, yang
tercermin dari ekspor netto. Selanjutnya, jika penduduk suatu daerah mengalami
pertumbuhan yang terlalu cepat dibandingkan dengan daya serap tenagakerja pada
S+M=I+X
(s + m)Y = I + X
atau
I X
= ( s + m) −
Y Y
19
Ekspor suatu daerah (Xi) dapat dirumuskan sebagai impor daerah-daerah lain,
sebagai berikut:
X = ∑M ij = ∑mij Y j
j =1 j =1
kembali menjadi:
si + mi − (∑mij Yi ) / Yi
j =1
gi =
vi
keseimbangannya adalah:
gi = ni ± ri
di mana r adalah tingkat migrasi yang merupakan jumlah netto dari migrasi-keluar
dan migrasi-masuk dalam tiap periode waktu sebagai persentase dari jumlah
R
∑R
j =1
ij
r= i =
Pi Pi
penduduk.
bersangkutan tidak dapat diprediksi dari model seperti itu. Ada atau tidaknya
tendensi ke arah pertumbuhan mantap (steady state) tergantung pada apakah arus
telah digunakan secara luas dalam analisis regional, yang antara lain oleh Borts
(1960), Borts dan Stein (1964), dan Romans (1965). Namun demikian, beberapa
di antara asumsi-asumsi mereka tidak tepat. Asumsi tentang full employment yang
struktur pasar yang lebih lazim (Richardson, 2001). Model neoklasik menarik
persaingan sempurna adalah bahwa modal dan tenagakerja akan berpindah apabila
adanya kemungkinan substitusi antara modal dan tenagakerja, yang berarti adanya
akumulasi modal, (2) pertumbuhan penawaran tenagakerja, dan (3) residu, yang
dapat diartikan sebagai kemajuan teknologi, tetapi yang mencakup segala sesuatu
teknologi. Sedangkan α adalah bagian yang dihasilkan oleh faktor modal dan
Yi
MPK i = α = p …………………………………………………… (3)
Ki
di mana, MPK = marginal productivity of kapital. Jika p sudah tertentu dan α
n n
∑I
i =1
i = ∑ Si
i =1
sekalipun demikian tabungan yang dihasilkan suatu daerah secara individual tidak
mesti sama dengan investasinya; sebab suatu daerah akan mengimpor modal jika
tingkat pertumbuhan modalnya lebih kecil dari rasio tabungan domestik terhadap
modal.
neoklasik mengandung teori mobilitas faktor. Cara untuk menjelaskan hal ini
secara tepat adalah dengan komparatif statik. Asumsikan bahwa dua daerah
tertentu dan tidak ada kemajuan teknologi; fungsi produksi identik, dan
tenagakerja (MPLi) adalah fungsi langsung tetapi besifat terbalik dari produk
marginal modal (MPKi). Hal ini bisa dilihat dari rasio modal - tenagakerja (K/L).
Dengan asumsi persaingan sempurna, MPL adalah sama dengan upah ril. Karena
tiap daerah menghasilkan output yang homogen dan dengan fungsi produksi yang
identik, maka di daerah di mana K/L lebih tinggi terdapat upah ril yang lebih
tinggi dan MPK yang lebih rendah. Adapun daerah yang K/L nya rendah terdapat
upah ril yang rendah tetapi MPK yang tinggi. Akibatnya modal akan mengalir
dari daerah yang upahnya tinggi ke daerah yang upahnya rendah, karena akan
memberikan balas jasa terhadap modal yang lebih ringgi. Sebaliknya, tenagakerja
akan mengalir dari daerah yang upahnya rendah ke daerah yang upahnya tinggi.
Mekanisme ini pada akhirnya menciptakan balas jasa faktor-faktor produksi yang
statik dilepas maka prediksinya tidak dapat dipastikan akan berlaku. Dalam
atau berpindahnya faktor itu karena kekuatan-kekuatan lain, (2) mobilitas faktor
tidak dapat dianalisis secara komprehensif di dalam kerangka model dua faktor.
regional yang paling sederhana. Sekalipun sederhana, namun teori ini dapat
memberikan kerangka teoretis yang berguna bagi banyak studi empirik mengenai
multiplier regional. Teori ini menyederhanakan suatu sistem regional menjadi dua
24
pokok dari teori ini adalah bahwa ekspor merupakan satu-satunya unsur otonom
fungsi dari pendapatan. Selain itu diasumsikan pula bahwa fungsi pengeluaran
dan fungsi impor tidak mempunyai intersep tetapi bertolak dari titik nol. Dengan
adalah pengeluaran impor daerah i, (Ei – Mi) adalah pengeluaran domestik daerah
Yi = eiYi −miYi + X i
Dengan demikian
Χi
Υi = ……………………………………………………… (8)
1 − ei + mi
Jadi, pendapatan regional adalah kelipatan dari ekspor jika marginal propensity to
Yi 1
=
Xi 1 − ei + mi
25
Menurut teori ini dan, khususnya asumsi yang mendasarinya, tidak ada
unsur-unsur eksogen lainnya selain daripada ekspor, maka rasio rata-rata sama
1
Ki =
1 − ei + m i
basis, yakni bahwa ekspor bukan lagi merupakan satu-satunya unsur otonom,
dimasukkan ke dalam model maka logis kalau pajak juga dimasukkan ke dalam
modifikasi atas rumus pendapatan yang dikemukakan pertama kali oleh Keynes,
Yi = Ci + Ii + Gi + Xi – Mi …………………………………………… (9)
26
consume wilayah i;
Ii = Ii ……………………………………………………………… (11)
GI = GI ……………………………………………………………… (12)
Ai = a i + I i + Gi .................................................................................... (17)
Ai + ∑mij Y j (1 − t j )
j =1
Yi = …………………………………………… (18)
1 − (ci − ∑mij )(1 − t i )
j =1
1
K =
1 − (ci − ∑mij )(1 − t i ) …………………………………………. (19)
j =1
Yi = Ai + KiXi
lain di dalam suatu sistem yang berkaitan, yang akan terlihat dalam perubahan
penerimaan pajak total. Syarat-syarat stabilitas bagi sistem yang bersangkutan dan
kecil dari satu, maka sistem yang bersangkutan adalah stabil. Sebaliknya, jika
marginal propensity to consume lebih besar dari satu, maka sistem yang
daerah (i, j, ……….., n) maka multiplier interregional adalah sama dengan rumus
hanya akan mempengaruhi tingkat pendapatan regional. Akan tetapi jika ci ≠ cj,
terkebelakang).
ini belum merupakan efek netto yang terakhir. Kenaikan pendapatan di daerah-
daerah lain akan memperbesar ekspor daerah i. Hal ini dapat dirumuskan sebagai
berikut:
∆Yi
∑m
j =1
ij
∆Αi
(1 − ti )
29
sekunder (kenaikan ekspor). Dalam banyak hal, kenaikan sekunder tidak akan
haruslah lebih besar dari satu. Sudah lazim diasumsikan bahwa mekanisme
instrumen kebijakan seperti yang dipunyai oleh bangsa-bangsa (seperti kurs mata
tinggi, dan bahwa arus faktor dapat berfungsi sebagai kekuatan yang
daerah terkebelakang, arus modal dan tenagakerja. Efek harga agaknya tidak
daripada pasar regional dan harga yang mereka tetapkan cenderung untuk berlaku
di mana saja. Efek pendapatan juga mungkin tidak cukup kuat untuk memulihkan
suatu daerah dapat bersumber dari kenaikan pendapatan, seperti dalam model
tinggi, akan tetapi hal ini hanya akan menyeimbangkan jika model yang relevan
merupakan defisit yang bersifat kronis. Sebab dalam kondisi ini modal cenderung
31
mengalir keluar daripada mengalir masuk. Jika tenagakerja dapat berpindah maka
peningkatan, sehingga impor daerah tersebut akan meningkat. Hal ini akan
modal dan tenagakerja akan bergerak ke arah yang sama. Namun demikian, arus
pemerataan tidak banyak. Justru yang banyak adalah negara yang berhasil
Ismail, 1995). Misalkan bahwa pendapatan nasional (Y) didistribusikan dalam dua
bentuk, yaitu yang diterima kelompok pekerja berupa upah (W) dan yang diterima
masyarakat tersebut mempunyai hasrat menabung yang berbeda (sW ≠ sF, dimana
I = (sWW) + (sFF)
I = sW(Y – F) + (sFF)
I
= ( s F − sW ) F + sW …………………………………………….. (21)
Y Y
Ini berarti bahwa tingkat investasi (I/Y) merupakan fungsi dari tingkat
keuntungan (F/Y). Bila hasrat menabung dari kelompok buruh sama dengan nol
S ( s F F ) + ( sW W ) F
s= = = sW + ( s F − sW ) ………………………… (22)
Y Y Y
sW + ( s F − sW )(F )
g= Y ……………………………………………. (23)
v
dua hal yang bertentangan. Jika dikehendaki tingkat pertumbuhan (g) yang tinggi,
maka proporsi pendapatan nasional yang diterima kelompok kapitalis (F/Y) harus
cukup tinggi pula; begitu sebaliknya bila dikehendaki distribusi pendapatan yang
lebih merata.
Dalam literatur, paling sedikit ada tiga konsep distribusi pendapatan, yakni:
(1) distribusi fungsional, (2) distribusi fungsional yang diperluas, dan (3)
yang diterima pemilik faktor produksi tradisonal dalam proses produksi (tanah,
menurut sektor ekonomi (antara sektor pertanian dan sektor industri), atau
menurut teknik produksi dalam sektor tertentu (antara industri modern dan
fungsional. Teori semacam ini tidak sepenuhnya relevan bila digunakan sebagai
berkembang. Hal ini disebabkan oleh dua hal. Pertama, penggolongan penerima
terbatas pada buruh dan pemilik modal, dan umumnya hanya meliputi mereka
yang tergabung dalam sektor formal. Pembagian semacam ini mengabaikan aspek
di sektor tradisonal dan informal, dan kegiatan mereka biasanya tidak dimasukkan
yang didasarkan pada teori distribusi fungsional hanya akan menyentuh lapisan
menonjol, dan biasanya hal ini berkaitan dengan strategi pembangunan yang
konflik antara upah dan modal, tetapi lebih mengarah pada konflik, misalnya
antara desa dan kota, antara sektor industri dan sektor pertanian, antara sektor
yang dilindungi dan sektor yang tidak dilindungi, antara industri substitusi impor
dan industri untuk ekspor, dan sebagainya. Karena itu teori distribusi fungsional
alternatif lain yang bisa digunakan sebagai dasar untuk menganalisis kaitan antara
diikuti oleh semakin buruknya pembagian pendapatan dan setelah mencapai titik
variabel yang dijelaskan) dengan pendapatan per kapita dan variabel struktural
didasarkan pada model pembangunan yang dualis (model dua sektor). Maksudnya
dualisme ekonomi.
kebijakan ekonomi (fiskal dan moneter) yang melemahkan posisi mereka. Karena
orang miskin tidak bisa diserap untuk menjadi buruh di sektor moderen, maka
dihindari.
tidak semua ahli ekonomi pembangunan setuju dengan prediksi Kuznets. Temuan
Gary S. Field (dalam Ismail, 1995) menunjukkan bahwa ada negara yang
timpang. India dan Sri Langka, pertumbuhan rendah diiringi dengan pemerataan
Taiwan dan Costa Rica, pertumbuhan tinggi tidak hanya diikuti oleh menurunnya
37
sektor pertanian ke sektor industri yang berjalan dengan baik. Dalam tahap awal
Dana ini diambil dari surplus sektor pertanian yang dikumpulkan oleh pemerintah.
tersebut. Kedua, industrinya bersifat padat karya dan berorientasi ekspor. Terus
56 persen kenaikan kesempatan kerja berasal dari sektor industri. Di sektor ekspor
persen dari perluasan total. Ketiga, lokasi industri yang tidak mendorong
38
perkotaan. Akibatnya, distribusi kesempatan kerja antar desa dan kota relatif
berkembang. Reformasi tanah dilakukan dalam tiga bentuk: penurunan sewa tanah
pertanian, penjualan tanah negara, dan penjualan tanah milik tuan tanah
(landlord) kepada petani kecil. Tuan tanah menerima 70% dari harga tanah dalam
bentuk “Land Bond” dan 30 persen berupa saham industri dari empat perusahaan
negara. Dampak ekonomi dari land-reform adalah hari kerja dan produktifitas
tenagakerja meningkat, bagian pendapatan dari pemilik tanah dan pemilik modal
dilakukan oleh banyak pihak dengan berbagai model dan pendekatan. Namun,
model yang akan digunakan dalam studi ini dan kemiripan issues yang hendak
dikaji.
menggunakan data PDRB tahun 1968 sampai dengan 1972 dari 26 provinsi.
mengenai hal yang sama pada beberapa negara di Eropa, Asia, dan Amerika.
PDRB beberapa provinsi yang kaya sumberdaya alam dari kalkulasi indeks
menjadi setara dengan Prancis, India, dan Jepang. Sebaliknya, jika income dari
dibandingkan Brazil. Selain itu, Esmara juga menegaskan bahwa disparitas harga
provinsi yang kaya sumberdaya. Jika income per kapita pada masing-masing
provinsi yang pertumbuhannya tinggi dan incomenya tinggi, (2) provinsi yang
40
tinggi tapi incomenya rendah, dan (4) provinsi yang pertumbuhannya rendah dan
rata-rata pada tingkat nasional. Hasil yang diperoleh Esmara adalah bahwa hanya
sebagian kecil saja penduduk yang tinggal di daerah yang incomenya rendah
ini akan beralih ke dalam kelompok daerah-daerah yang incomenya tinggi dengan
1976-1980 yang dipublikasikan oleh BPS (dalam MacAndrews dan Amal, 2003)
menunjukkan bahwa banyak provinsi yang income per kapitanya di bawah rata-
incomenya tinggi dan kaya sumberdaya, pertumbuhannya rendah. Hal ini dapat
dilihat dari adanya korelasi negative (walaupun tidak signifikan) antara PDRB per
pertumbuhan ekonomi yang tinggi telah diramalkan oleh Williamson pada tahun
di suatu negara berjalan pesat dan terjadi mobilitas tenagakerja dari sektor
pertanian ke sektor industri, maka disparitas output per kapita antardaerah akan
Menurut Anne Booth (dalam MacAndrews dan Amal, 2003) sumber utama
subsidi-subsidi bagi daerah, terutama berupa dana inpres. Kedua, alokasi sektoral
organnya di daerah. Perbedaan utama antara kedua dana tersebut terletak pada
berbagai program dan proyek yang dikelola oleh badan-badan sektoral, ditetapkan
pengaruh kedua faktor tersebut sedikit banyak akan menurun. Hal ini antara lain
Indonesia masih akan tetap tinggi, lebih tinggi daripada rata-rata internasional.
(KTI) dilakukan oleh Budiharsono (1996) dalam rangka meraih gelar Doktor pada
Institut Pertanian Bogor. Ada tiga issues yang dikaji dalam penelitian ini, yakni:
menelaah pengaruh besarnya Penerimaan Asli Daerah (PAD) dan Inpres (Dati I
Riau, Bengkulu, DKI Jakarta, Kalimantan Tengah, Kalimatan Timur, Maluku, dan
Sulawesi Selatan, Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur. Menurut
dan sektor industri mempunyai daya saing kurang baik dibandingkan dengan
pertumbuhannya lambat, selain faktor di atas juga disebabkan oleh daya saing
wilayah untuk sektor pertanian, industri, dan jasa kurang baik. Pada periode ini,
terjadi penurunan pangsa relatif sektor pertanian dan sektor industri terhadap
seperti Jambi, Lampung, Jawa Barat, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, dan
pertumbuhannya cepat, kecuali Maluku dan Irian Jaya adalah sektor jasa
kemudian disusul oleh sektor industri. Untuk Maluku dan Irian Jaya, motor
pangsa relatif di sebagian besar provinsi serta meningkatnya pangsa relatif sektor
adalah: DI Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Bengkulu, DKI Jakarta, Jawa
Tenggara Timur, Maluku, dan Irian Jaya. Pada kurun waktu ini daya saing sektor
pertanian pada seluruh provinsi kurang baik jika dibandingkan dengan sektor
industri dan sektor jasa. Keadaan ini menunjukkan bahwa pangsa relatif sektor
pertanian menurun, sedangkan sektor industri dan sektor jasa meningkat. Hal ini
terjadi karena pada periode ini harga minyak bumi di pasar dunia meningkat dan
industrialisasi berkembang. Dampak dari kedua hal ini adalah provinsi DI Aceh,
Sumatera Barat, Jawa Barat, Jawa Tengah, Kaliamatan Selatan, Sulawesi Utara,
Sulawesi Tenggara, dan Bali yang pada periode 1969-1974 berada pada tingkat
1982. Sedangkan provinsi yang semula berada pada tingkat pertumbuhan cepat
Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Kalimantan Barat, Kalimanta Tengah, Bali,
Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Irian Jaya. Mengacu pada periode
dan Kalimantan Barat. Sedangkan provinsi yang beralih dari pertumbuhan lambat
Barat. Dalam kurun waktu ini, harga minyak bumi menurun, sehingga motor
daerah-daerah yang bertumpu pada produksi minyak bumi tanpa didukung oleh
industri dan sektor jasa (terutama sektor perdagangan dan keuangan) yang kuat
tidak mempunyai sumber minyak bumi tetapi mempunyai struktur sektor jasa
kehutanan), sektor industri, dan sektor jasa (perdagangan dan keuangan). Secara
normal ini agak berbeda dengan pola normal transformasi srtuktur produksi antar
negara dari Chenery-Syrquin. Perbedaan ini terjadi karena: (1) pada pola normal
per kapita) beberapa provinsi (DI Aceh, Riau, Kalimantan Timur, dan Irian Jaya)
47
permintaan domestik terhadap industri rendah, (4) struktur industri yang bersifat
pasar dunia, (5) kebijaksanaan liberalisasi perbankan pada awal dasawarsa 1980-
mendorong investasi yang lebih besar ke arah industri. Namun industri tersebut
adalah industri substitusi impor. Pada periode 1981-1988, jumlah investasi pada
industri substitusi impor sebesar 79.8 persen dan hanya 20.2 persen yang bersifat
terhadap total tenagakerja menurun dengan meningkatnya PDRB per kapita. Pada
oleh investasi pada sektor industri lebih ditekankan kepada industri padat modal
maupun investasi dari sektor primer ke sektor sekunder dan akhirnya ke sektor
sektor tersier (terutama jasa informal). Pola ini terjadi karena tenagakerja yang
bergeser dari sektor pertanian sebagian besar tidak memiliki keterampilan yang
memadai untuk masuk ke sektor industri, sehingga memilih sektor jasa informal
industri maupun sektor jasa. Produktivitas tenagakerja sektor industri dan sektor
struktur produksi, tenagakerja, dan distribusi pendapatan. Ini berarti Inpres tidak
ekonomi. Hanya saja, untuk beberapa jenis Inpres, sistem alokasi antardaerah
masih perlu diperbaiki. Sebab, alokasi dana Inpres masih bias terhadap provinsi-
provinsi di pulau Jawa yang sebagian besar merupakan daratan (Azis, 1990;
Penerimaan Asli Daerah (PAD) berpengaruh negatif terhadap sektor pertanian dan
berpengaruh positif terhadap sektor industri maupun sektor jasa. Ini berarti bahwa
dan meningkatkan pangsa relatif sektor industri dan sektor jasa. Dengan kata lain,
diarahkan pada pemenuhan pasar, baik pasar domestik maupun pasar luar negeri.
Sedangkan sektor industri diarahkan kepada industri hilir yang padat karya, yakni
per tahun sebesar US$ 75 sebagai ukuran kemiskinan yang biasa disebut batas
ekivalen beras 240 kilogram per kapita per tahun untuk daerah pedesaan dan 360
konsumsi energi minimum sebanyak 2 100 kilo kalori per kapita per hari sebagai
kelompok lain. Ukuran-ukuran yang biasa digunakan adalah rasio gini atau
51
ukuran World Bank. Indeks gini mempunyai selang nilai antara nol dan satu. Bila
indeks gini bernilai nol berarti distribusi pendapatan berada pada tingkat yang
sangat merata; sedangkan bila bernilai satu berarti distribusi pendapatan berada
pada tingkat yang sangat tidak merata. Biasanya, indeks gini jarang sekali
mempunyai nilai nol atau satu. Oleh karena itu Todaro (1987) mengelompokkan
ke dalam tiga kriteria, yaitu: (1) koefisien gini antara 0.20 – 0.35, distribusi
pendapatan merata, (2) koefisien gini antara 0.35 – 0.50, distribusi pendapatan
tidak merata, (3) koefisien gini antara 0.50 – 0.70, distribusi pendapatan sangat
tidak merata.
Indikator kemiskinan relatif yang lain adalah ukuran World Bank. Dalam
kaitan ini World Bank membagi penduduk suatu wilayah ke dalam tiga kelompok,
persen penduduk berpendapatan rendah menerima kurang dari 12 persen dari total
Sutomo melakukan studi terhadap dua provinsi, yakni provinsi Riau dan
Nusa Tenggara Timur dengan menggunakan referensi data tahun 1990. Provinsi
Riau dimaksudkan untuk mewakili Kawasan Barat Indonesia dan provinsi Nusa
dipilih sebagai wilayah target karena provinsi ini tergolong salah satu provinsi
yang kaya sumberdaya alam, sedangkan provinsi Nusa Tengga Timur dipilih
karena provinsi ini tergolong termiskin berdasarkan PDRB per kapita pada tahun
52
pendapatan per kapita rumahtangga di provinsi Nusa Tenggara Timur pada tahun
1990 sebesar Rp 247.87 ribu per tahun dengan rincian: (a) rumahtangga bukan
tahun 1990 sebesar Rp 510.71 ribu per tahun dengan rincian: (a) rumahtangga
bukan buruh di sektor pertanian Rp 243.61 ribu; (b) rumahtangga buruh di sektor
ribu. Dari hasil ini nampak bahwa baik di provinsi Nusa Tenggara Timur maupun
kelompok rumahtangga bukan buruh di sekor pertanian. Selain itu, nampak pula
bahwa pendapatan per kapita kelompok rumahtangga bukan buruh di sektor non-
pertanian di provinsi Nusa Tenggara Timur lebih baik daripada yang berada di
provinsi Riau. Nampak pula bahwa baik di provinsi Nusa Tenggara Timur
pendapatan per kapita per tahun sebagai batas miskin untuk provinsi Nusa
Tenggara Timur sebesar Rp 324.60 ribu dan untuk provinsi Riau sebesar Rp
419.00 ribu. Perbedaan ukuran batas miskin ini disebabkan oleh perbedaan tingkat
biaya hidup di masing-masing provinsi. Dari sisi total penduduk miskin pada
tahun 1990, kondisi provinsi Riau relatif lebih baik dari provinsi Nusa Tenggara
Timur. Jumlah penduduk miskin di provinsi Nusa Tenggara Timur tahun 1990
adalah 28.9 persen dari jumlah penduduk setempat, dan provinsi Riau sebanyak
19.6 persen dari jumlah penduduknya. Hal ini berarti bahwa jumlah penduduk
yang terbatas. Karena faktor ini, rumah tangga tidak dapat melakukan
peroleh dari hasil usaha atau menjual jasa tenanga kerja juga menjadi rendah.
Pada gilirannya, proses ini berulang kembali dalam bentuk efek sirkular, sehingga
54
dalam keadaan yang sangat tidak merata, di mana koefisien gini provinsi Nusa
ekonomi yang berpusat pada strategi pertumbuhan ekonomi ternyata lebih banyak
dinikmati oleh kelompok rumah tangga tidak miskin dan relatif sedikit kelompok
rumahtangga miskin yang bisa menikmatinya. Hal ini terjadi karena strategi
pengusaha yang memiliki banyak modal atau yang memiliki akses ke sumber-
sumber permodalan. Akibat dari keadaan ini adalah: pertama, sebagian besar
menjadi hilang.
kemiskinan yang spesifik bagi wilayah bersangkutan; dan bukan merupakan suatu
solusi yang unik bagi semua wilayah. Ini berarti bahwa solusi kemiskinan harus
mengelompokkan semua provinsi yang berada di pulau Jawa dan pulau Sumatera
ke dalam Kawasan Barat Indonesia dan semua provinsi-provinsi di luar Jawa dan
dan basis data tahun 1993, Hadi menelaah hal-hal berikut: (1) Ketimpangan
ekonomi intra maupun antar KBI dengan KTI, (3) Dampak perubahan kebijakan
pembangunan terhadap disparitas KBI dengan KTI, dan (4) Merumuskan strategi
ekonomi KTI memerlukan input dari sektor-sektor ekonomi KBI rata-rata 29.0
persen dari total input yang dibutuhkan oleh sektor-sektor ekonomi KTI yang
terdiri atas: sektor primer 32.1 persen, sektor industri 28.6 persen, dan sektor jasa-
memerlukan input dari sektor-sektor ekonomi KTI rata-rata 4.80 persen dari total
input yang dibutuhkan oleh sektor-sektor ekonomi KBI yang terdiri atas: sektor
primer 6.40 persen, sektor industri 5.30 persen, dan sektor jasa-jasa sebesar 2.80
persen. Hal ini menggambarkan bahwa terdapat suatu kendala terhadap investasi
di KTI yaitu ketergantungan KTI terhadap bahan baku hasil industri di KBI.
tahun 1993 menujukkan bahwa 39.1 persen total output sektor industri KBI dijual
ke KTI, namun sebaliknya tidak ada hasil industri KTI yang mengalir ke KBI.
Hasil sektor primer KTI yang mengalir ke KBI sebanyak 12.2 persen dan
sebaliknya hanya sebesar 3.4 persen. Sektor jasa-jasa yang mengalir dari KBI ke
KTI sebanyak 9.3 persen dan sebaliknya hanya 3.0 persen. Selanjutnya
diungkapkan pula bahwa input yang diperlukan KBI yang berasal dari KTI
sebagian besar berbentuk bahan baku primer, yakni sebanyak 92.9 persen untuk
input sektor primer, 89.3 persen untuk input sektor industri, dan 48.0 persen untuk
input sektor jasa-jasa di KBI. Sebaliknya, aliran input dari KBI ke KTI sebagian
besar berbentuk bahan baku hasil industri, yaitu: 89.7 persen untuk input sektor
primer, 89.9 persen untuk input sektor industri, dan 86.6 persen untuk input sektor
bahwa aliran output (barang dan jasa) dari sektor-sektor ekonomi KBI ke sektor-
sektor ekonomi KTI sebagian besar untuk input sektor-sektor industri di KTI,
yang terdiri atas: 85.4 persen output sektor primer untuk input sektor industri;
51.8 persen output sektor industri untuk input sektor industri. Sedangkan bagian
terbesar dari output sektor jasa-jasa KBI yang mengalir ke KTI digunakan sebagai
input sektor jasa-jasa, yakni sebesar dan 42.7 persen. Sebaliknya, bagian terbesar
57
dari output sektor primer KTI yang mengalir ke KBI digunakan untuk input sektor
industri yakni sebesar 58.5 persen. Bagian terbesar dari output sektor jasa-jasa
KTI yang mengalir ke KBI digunakan untuk input sektor jasa-jasa yakni sebesar
51.1 persen. Sedangkan output sektor industri KTI tidak ada yang mengalir ke
KBI.
(backward linkage) menunjukkan bahwa dari tiga sektor ekonomi secara agregat,
maka terdapat keterkaitan yang lebih tingggi di sektor industri antara kedua
wilayah. Artinya, sektor industri di kedua region membutuhkan input bahan baku,
baik bahan baku primer, industri sendiri, maupun dari sektor jasa-jasa yang
dihasilkan masing-masing (kecuali sektor industri dari KTI). Selain itu, juga
terdapat ketimpangan aliran barang dan jasa pada perdagangan domestik antara
kedua wilayah.
Temuan lain dari Hadi adalah bahwa struktur pemilikan faktor produksi
pedesaan KTI. Hal yang sama juga berlaku bagi golongan rumahtangga perkotaan
5.0 persen dari total pengeluarannya atas output sektor produksi KTI dan
neraca endogen (neraca faktor produksi; neraca institusi; dan neraca sektor
produksi) di KBI hampir dua kali lebih besar disbanding di KTI. Sedangkan
rupiah neraca eksogen di KTI akan kembali ke KBI rata-rata 31.4 persen dari total
nilai tambah setiap sektor. Sebaliknya penambahan satu rupiah neraca eksogen di
KBI, maka nilai tambah yang mengalir ke KTI rata-rata hanya 4.9 persen dari
digunakan oleh Achjar, Hewings, dan Sonis (2003) untuk menyelidiki sifat
Structural Path Analysis. Mereka menggunakan IRSAM Lima Pulau tahun 1995
yang telah dibangun untuk pertama kali bagi Indonesia. Wilayah yang diliput
adalah: Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan lainnya (Other Island) yang
meliputi lima tipe faktor produksi (empat tipe tenagakerja dan satu tipe kapital),
lima tipe institusi (tiga tipe rumahtangga, perusahaan dan pemerintah masing-
hasil dilakukan dalam tiga fragmen, yakni: (1) output dan pendapatan secara
global (Global Output and Income), (2) injeksi terhadap institusi oleh wilayah
Pada fragmen Global Output and Income ditemukan bahwa injeksi institusi
menghasilkan nilai pendapatan institusi sebesar 17.7 persen dari total pendapatan
institusi dalam suatu sistem. Sebagai perbandingan, injeksi pada aktivitas dalam
sistem, menghasilkan nilai pendapatan institusi sebesar 81.2 persen dari total
institusi hanya mengahasilkan permintaan output sebesar 8.2 persen dari total
output, injeksi terhadap aktivitas menghasilkan 91.3 persen dari total output. Rata-
hampir 99 persen dari total output dan pendapatan di Indonesia; tinggal satu
Injeksi di atas berasal dari blok matrik institusi dan aktivitas produksi secara
mengenai share instiutsi dan aktivitas produksi terhadap hasil output global dalam
suatu sistem ekonomi. Dengan demikian diperlukan suatu dekomposisi yang baru
makro, sehingga besarnya pengaruh dari suatu region ke region lainnya dapat
ditelusuri.
bahwa injeksi terhadap institusi di Sumatera menghasilkan 79.7 persen dari total
langsung antara institusi di Sumatera dengan di Jawa, akan tetapi injeksi institusi
dari total pendapatan di Sumatera sebagai hasil dari keterkaitan langsung antara
dampak dari injeksi terhadap wilayahnya sendiri, pulau Jawa memperoleh bagian
tertinggi, yakni 94.2 persen dari total pendapatan, Sumatera (79.7 persen),
Kalimantan (74.9 persen), Sulawesi (75.5 persen), dan Other Island (72.2 persen).
Observasi lebih lanjut menunjukkan bahwa injeksi dari setiap empat region
tersebut lebih terkait dengan Jawa daripada tiga wilayah lainnya. Hal tersebut
dihasilkan oleh sektor produksi di Jawa. Hal ini dapat ditunjukkan dari
persen dari aktivitas produksi di Sumatera, dan sisinya diambil dari Jawa. Pola
yang sama juga berlaku di Kalimantan di mana 17 persen dari total permintaan
output datang dari Jawa. Keterkaitan antara Other Island dengan Jawa sangat kuat
Island dengan Sulawesi atau Other Island dengan Kalimantan. Injeksi terhadap
61
dari tiga persen. Observasi terakhir dari rantai reaksi atas dampak injeksi institusi
persen dari output manufaktur berasal dari Jawa. Di samping itu, juga
menghasilkan sekitar 17 persen dari jasa keuangan, dan 17 persen dari sektor
tentang output agregat sebagai hasil dari injeksi pada sektor aktivitas produksi
setiap wilayah makro dan pengaruhnya terhadap wilayah lainnya. Pada tingkat
total output yang dihasilkan dalam wilayah sendiri (self-generating output), 35.8
persen berasal dari Jawa, sedangkan sisanya yang jumlahnya sangat kecil berasal
dari wilayah lain. Berlawanan dengan Kalimantan, 39 persen aktivitas berasal dari
memberikan kontribusi sebesar 49 persen dari total output. Analisis yang lebih
rinci dalam fragmen ini menunjukkan bahwa perekonomian Sumatera dan Jawa
memiliki keterkaitan yang relatif lebih kuat dibandingkan dengan tiga wilayah
makro lainnya, karena secara geografis kedua wilayah tersebut yang demikain
output pertanian berasal dari Sumatera, diikuti oleh Kalimantan (tujuh persen),
Sulawesi (tujuh persen), and Other (3.64 persen). Selanjutnya diungkapkan bahwa
62
persen dari total output internal, selebihnya lebih dari 40 persen dihasilkan di
Jawa, dan proporsi yang sangat kecil berasal dari wilayah lainnya. Hasil ini
Kesimpulan akhir dari analisis ini adalah bahwa injeksi institusi dan aktivitas
wilayah lain dengan persentasi yang tinggi. Sebaliknya, injeksi institusi atau
antarwilayah. Suatu temuan penting dari analisis ini adalah bahwa struktur
terutama dalam manufaktur dan beberapa jasa. Dengan self-influence yang tinggi
Permintaan wilayah Jawa tidak sensitif terhadap perubahan output wilayah lain,
(IRSAM). Dalam model ini Indonesia dikelompokkan kedalan dua wilayah makro
(macro region), yakni wilayah Jawa dan wilayah Luar Jawa, dan tujuh wilayah
mikro (micro region) yakni Jawa Barat (termasuk Jakarta dan Banten), Jawa
63
mengUpdate data IRSAM 1990 (102 x 102) yang dibangun oleh Wuryanto pada
besardi wilayah Jawa (77.93 persen berasal dari daerah dan 77.807 persen dari
pusat). Dampak Spillover adalah sisanya (22.069 persen dari daerah dan 22.192
persen dari pusat). Jika injeksi neraca pemerintah di luar Jawa, dampak
distribusinya lebih berimbang antara Jawa dan luar Jawa. Perilaku dari multiplier
effect di Jawa mencapai 45.066 persen dan sisanya di wilayah asal (origin region),
ditunjukkan oleh penggunaan tenagakerja dan modal oleh Luar Jawa yang
Bila diamati lebih jauh, strategi terbaik (the best strategy) dalam injeksi
neraca pemerintah melalui transfer antar pemerintah dari luar jawa, pengeluaran
pemerintah lokal (current and investment) memiliki efek yang lebih besar
neraca pemerintah melalui lokal, pada umumnya pendapatan intra region lebih
baik.
belanja rutin (current account) pemerintah (pusat dan daerah) pada semua wilayah
dapat disimpulkan bahwa pengaruh yang paling kuat dari pengeluaran rutin
pemerintah (Jawa dan Luar Jawa) selalu ditemukan pada sektor jasa. Bila
pengeluaran berasal dari Jawa, multiplier effect mencapai 85.67 persen di Jawa,
dan sisanya di Luar Jawa sebesar 14.321 persen. Di pihak lain bila injeksi itu
berasal dari Luar Jawa, wilayah Jawa memperoleh 38.856 persen dari output
multiplier.
adalah belanja rutin atau pembelian secara reguler. Dalam perspektif pengeluaran
investasi pemerintah di kedua wilayah, nilai tertinggi dari output multiplier selalu
ditemukan pada sektor manufaktur. Kondisi ini sama bagi pemerintah pusat
maupun daerah. Ini terjadi karena kebanyakan dari pengeluaran investasi adalah
produksi.
berasal dari Jawa mempunyai spillover effect yang lebih kecil daripada
65
pengeluaran yang berasal dari Luar Jawa. Kondisi yang sama juga terjadi pada
neraca investasi pemerintah pusat. Hal ini menunjukkan bahwa penawaran barang
modal dan jasa (kapital goods and services) di Luar Jawa demikian tergantung
pada industri-industri di Jawa. Dalam kaitan ini, Rahman dan Utama memandang
dana investasi ke luar Jawa. Injeksi alokasi dana investasi ini akan mengurangi
Jawa.
daerah untuk tahun fiskal 2002 yang dibandingkan dengan matriks awal (the
initial matrix) dari IRSAM 99. Tujuannya adalah untuk mengetahui apakah
nasional. Untuk keperluan ini digunakan sejumlah asumsi dalam simulasi sebagai
berikut : (1) Variabel shock menggunakan DAU, DAK, dan Dana Perimbangan
(balancing finance) dari fiskal tahun 2002, (2) Semua pembayar transfer
didistribusikan pada belanja rutin dan investasi pemerintah daerah, (3) DAK harus
digunakan melalui neraca nengeluaran investasi regional, (4) DAU adalah dana di
dari DAU. Dengan asumsi tersebut, studi ini menetapkan 90 persen dari DAU
dialokasikan sebagai investasi, (5) dana perimbangan yang terdiri atas income
sharing on tax dan natural resources yang tidak memiliki jadual penerimaan yang
tetap, juga pembayaran dana perimbangan tidak semuanya pada setiap tahun
fiskal. Dalam kondisi ini, diasumsikan bahwa semua dana dialokasikan pada
pengeluaran investasi daerah, dan (6) neraca pemerintah pusat menggunakan data
dari APBN. Proses distribusi terhadap daerah mengikuti proporsi distribusi DAK,
Didasarkan pada data income multiplier dan output multiplier di atas, income
multiplier selalu di bawah satu pada semua level, yang berarti bahwa pendapatan
rumahtangga aktual yang diterima selalu lebih rendah dari jumlah pengeluaran
pemerintah atas itu. Dalam konteks output multiplier, nilainya bervariasi dari di
bawah satu dan diatas dua. Akumulasi dari multiplier belanja rutin dan investasi
pemerintah selalu nilainya lebih besar dari satu. Ini menggambarkan bahwa
multiplier dan output multiplier di atas, kemudian analisis dibatasi pada skenario
berikut ini:
balik tujuan simulasi ini adalah untuk memperkirakan pendapatan aktual dari
rumahtangga.
antarwilayah.
sektor sedemikian melebar. Dari data dapat dicatat bahwa semua distribusi
pendapatan hanya berdampak pada wilayah itu sendiri. Pada simulasi kedua,
Bila injeksi belanja rutin berasal dari Jawa hanya memberikan pengaruh
terhadap pendapatan di luar Jawa sebesar 1.52 persen, tetapi bila berasal dari luar
27.32 persen. Fenomena yang sama juga terjadi pada neraca investasi regional,
bila injeksi dari Jawa hanya memberikan pengaruh terhadap penambahan output
di luar Jawa sebesar 1.47 persen, sedangkan sebaliknya sebesar 18.59 persen.
sektor dominan dalam alokasi anggaran dan juga memperoleh porsi tertinggi dari
output multiplier dari Luar Jawa. Sektor jasa, manufaktur, pertambangan, dan
mempunyai keterkaitan inter dan intra yang luas pada berbagai sektor dan
68
berbagai wilayah. Kesimpulan akhir dari studi Rahman dan Utama adalah bahwa
dapat dicatat bahwa kekurangan kapasitas SDM di Luar Jawa perlu ditingkatkan.