You are on page 1of 46

1

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Setiap hari, orang normal rata-rata berkemih sebanyak 5 hingga 6 kali dengan volume kurang lebih 300 ml setiap miksi. Frekuensi atau poliksuria adalah frekuensi berkemih yang lebih dari 8 kali perhari, keadaan ini merupakan keluhan yang paling sering dialami oleh pasien urologi (Basuki, 2011). Keluhan yang dirasakan pasien pada saat miksi meliputi keluhan dari mekanisme penyimpanan, pengeluaran, dan pasca miksi. Keluhan

penyimpanan meliputi urgensi, polakisuria atau frekuensi, nokturia dan disuria (Basuki, 2011). Polakisuria dapat disebabkan karena produksi urin yang berlebihan (poliuria) atau karena kapasitas buli-buli yang menurun (Basuki, 2011). Penurunan ini disebabkan oleh 2 faktor, yaitu rasa sakit akibat peregangan buli-buli dan hilangnya komplians buli-buli akibat inflamasi (Smith, 2010). Survey yang dilakukan di Negara Asia didapatkan bahwa prevalensi di Negara Asia adalah rata-rata 12,2% ( 14,8 pada wanita dan 6,8% pada pria) untuk inkontinensia urin (Basuki, 2011). Pengobatan untuk kelainan frekuensi berkemih didasari oleh

penyebabnya, contohnya jika diabetes, pengobatan akan melibatkan kontrol gula darah. Kita sebagai dokter harus dapat menegakkan diagnosis, atau menentukan penyebab terjadinya kelainan frekuensi berkemih. Jika pasien tidak segera di obati sesuai penyebabnya, maka akan berdampak buruk bagi pasien, dan mengganggu aktivitas sehari-hari pasien (Ratini, 2012).

1.2 Tujuan 1.2.1 Tujuan Tujuan penulisan referat ini adalah: A. Mengetahui pendekatan klinis terhadap pasien dengan keluhan perubahan frekuensi berkemih. B. Mengetahui mekanisme, patofisiologi, penegakkan diagnosa dan penatalaksanaan perubahan frekuensi berkemih.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan fisiologi Traktus Urinarius 2.1.1 Anatomi traktus urinarius Sistem perkemihan merupakan suatu sistem dimana terjadinya proses penyaringan darah sehingga darah bebas dari zat-zat yang yang tidak dipergunakan oleh tubuh dan menyerap zat-zat yang masih dipergunakan oleh tubuh. Zat-zat yang tidak dipergunakan lagi oleh tubuh larut dlam air dan dikeluarkan berupa urin (air kemih) (Snell, 2006). Susunan traktus urinarius Sistem perkemihan terdiri dari: a) dua ginjal (ren) yang menghasilkan urin, b) dua ureter yang membawa urin dari ginjal ke vesika urinaria (kandung kemih), c) satu vesika urinaria (VU), tempat urin dikumpulkan, dan d) satu urethra, urin dikeluarkan dari vesika urinaria (Snell, 2006). Ginjal Ginjal terletak pada dinding posterior abdomen di belakang peritoneum pada kedua sisi vertebra thorakalis ke 12 sampai vertebra lumbalis ke 3. Bentuk ginjal seperti biji kacang. Ginjal kanan sedikit lebih rendah dari ginjal kiri, karena adanya lobus hepatis dexter yang besar.

Gambar 1. Anatomi Ginjal

Fungsi ginjal adalah Memegang peranan penting dalam pengeluaran zat-zat toksis atau racun, Mempertahankan suasana keseimbangan cairan, Mempertahankan keseimbangan kadar asam dan basa dari cairan tubuh, Mengeluarkan sisa-sisa metabolisme akhir dari protein ureum, kreatinin dan ammonia (Guyton, 2007)

Ureter Terdiri dari 2 saluran pipa masing-masing bersambung dari ginjal ke vesika urinaria. Panjangnya 25-30 cm, dengan penampang 0,5 cm. Ureter sebagian terletak pada rongga abdomen dan sebagian lagi terletak pada rongga pelvis.

Gambar 2. Anatomi Ureter

Lapisan dinding ureter terdiri dari: 1. Dinding luar jaringan ikat (jaringan fibrosa) 2. Lapisan tengah lapisan otot polos 3. Lapisan sebelah dalam lapisan mukosa Lapisan dinding ureter menimbulkan gerakan-gerakan peristaltic yang mendorong urin masuk ke dalam kandung kemih.

Vesika urinaria Vesika urinaria bekerja sebagai penampung urin. Organ ini berbentuk seperti buah pir (kendi). letaknya d belakang simfisis pubis di dalam rongga panggul. Vesika urinaria dapat mengembang dan mengempis seperti balon karet (Snell, 2006).

Gambar 3. Anatomi vesica urinaria

Dinding vesica urinaria terdiri dari: 1. Lapisan sebelah luar (peritoneum). 2. Tunika muskularis (lapisan berotot). 3. Tunika submukosa. 4. Lapisan mukosa (lapisan bagian dalam).

Urethra Merupakan saluran sempit yang berpangkal pada vesika urinaria yang berfungsi menyalurkan air kemih ke luar.

Gambar 4. Anatomi Urethra Laki-laki

Pada laki-laki panjangnya kira-kira 13,7-16,2 cm, terdiri dari: 1. Urethra pars Prostatica 2. Urethra pars membranosa ( terdapat spinchter urethra externa) 3. Urethra pars spongiosa. Urethra pada wanita panjangnya kira-kira 3,7-6,2 cm (Taylor), 3-5 cm (Lewis). Sphincter urethra terletak di sebelah atas vagina (antara clitoris dan vagina) dan urethra disini hanya sebagai saluran ekskresi (Snell, 2006).

Gambar 5. Urethra wanita

2.1.2. Fisiologi traktus urinarius Proses pembentukan urin 1. Proses filtrasi diglomerulus Terjadi penyerapan darah, yang tersaring adalah bagian cairan darah kecuali protein. Cairan yang tersaring ditampung oleh simpai bowmen yang terdiri dari glukosa, air, sodium, klorida, sulfat, bikarbonat dll, diteruskan ke tubulus ginjal. cairan yang di saring disebut filtrate gromerulus (Guyton, 2007). 2. Proses Reabsorbsi Pada proses ini terjadi penyerapan kembali sebagian besar dari glikosa, sodium, klorida, fospat dan beberapa ion bikarbonat. Prosesnya terjadi secara pasif (obligator reabsorbsi) di tubulus proximal. sedangkan pada tubulus distal terjadi kembali penyerapan sodium dan ion bikarbonat bila diperlukan tubuh. Penyerapan terjadi secara aktif (reabsorbsi fakultatif) dan sisanya dialirkan pada papilla renalis (Guyton, 2007). 3. Proses sekresi Sisa dari penyerapan kembali yang terjadi di tubulus distal dialirkan ke papilla renalis selanjutnya diteruskan ke luar (Guyton, 2007).

Urin (Air kemih) Ciri ciri urin normal Jumlah ekskresi dalam 24 jam 1.500 cc tergantung dari pemasukan (intake) cairan dan faktor lainnya. Warnanya bening oranye tanpa ada endapan. Bau, bau khas air kemih bila dibiarkan lama akan berbau amoniak. Berat jenis 1,015-1,020 Rata-rata dalam satu hari 1-2 liter, tapi berbeda-beda sesuai dengan jumlah cairan yang masuk. Reaksinya sedikit asam terhadap lakmus dengan pH rata-rata 6.

2.2 Perubahan frekuensi berkemih 2.2.1 Inkontinensia Urin


A. Definisi Prevalensi kelainan ini cukup tinggi yakni pada wanita kurang lebih 10-40% dan 4-8% sudah dalam keadaan cukup parah pada saat datang berobat. Pada pria prevalensinya lebih rendah dari pada wanita. Survey yang dilakukan di Negara Asia didapatkan bahwa prevalensi di Negara Asia adalah rata-rata 12,2% ( 14,8 pada wanita dan 6,8% pada pria). ( Basuki, 2003) Inkontinensia urin adalah ketidakmampuan seseorang untuk menahan keluarnya urin. Keadaan ini dapat menimbulkan berbagai permasalahan, antara lain masalah medik, sosial maupun ekonomi. B. Klasifikasi inkontinensia urin Kegagalan pada saat fase pengisian urin ke vesica, yang menyebabkan gangguan pengeluaran urin pada sfingter uretra. Kelainan yang berasal dari buli-buli menyebabkan suatu inkontinensia urge sedangkan kelainan dari jalan keluar memberikan manifestasi berupa inkontinensia stress. Skema penyebab inkontinensia urin: Inkontinensia Urin Kelainan pada buli-buli 1. Overaktifitas detrusor Hiperrefleksia detrusor Instabilitas detrusor Idiopatik 2. Menurunnya komplians buli-buli ( SUI ) Inkontinensia Urin Stress Kelainan pada uretra 1.Hipermobilitas uretra 2.Defisiensi sfingter intrinsik

Inkontinensia Urin Urge ( UUI )

Gambar 6: Skema Klasifikasi Inkontinensia Urin ( Basuki, 2003)

1. Inkontinensia Urge Inkontinensia urge 22% menyerang pada wanita. Pasien dengan inkontinensia urge mengeluh tidak dapat menahan kencing segera setelah timbul sensasi ingin kencing. Keadaan ini disebabkan oleh otot detrusor sudah mulai mengadakan kontraksi pada saat kapasitas buli-buli belum terpenuhi. Jadi Frekuensi miksi menjadi lebih sering dan disertai dengan perasaan urgensi. Selain itu penyebab inkontinensia urin urge adalah kelainan yang berasal dari buli-buli, diantaranya adalah overaktivitas detrusor dan menurunnya komplians buli-buli. Overaktivitas detrusor dapat disebabkan oleh kelainan neurologik disebut sebagai hiperrefleksi detrusor dan kelainan non neurologik disebut instabilitas detrusor. Istilah overaktifitas detrusor dipakai jika tidak dapat diketahui penyebabnya. Hiperrefleksia detrusor disebabkan oleh kelainan neurologis diantaranya adalah penyakit stroke, penyakit Parkinson, cedera korda spinalis sklerosis multiple. Sedangkan instabilitas detrusor disebabkan oleh obstruksi intravesika, batu ginjal, tumor buli-buli, dan sistitis.( Basuki, 2003) Adanya kelainan neurologis itu disebabkan oleh penurunan kemampuan buli-buli dalam mempertahankan tekanannya pada saat pengisian urin karena kandungan kolagen pada matriks detrusor

bertambah. Penambahan kandungan kolagen terdapat pada sistitis tuberkulosa, sistitis pasca radiasi, pemakaian kateter menetap alam jangka waktu lama dan obstruksi intravesika karena hyperplasia prostat. Tidak jarang inkontinensia urge menyertai sindroma overaktivitas buli-buli yang ditandai dengan frekuensi, urgensi, dan terkadang inkontinensia urin. ( Basuki, 2003) 2. Inkontinensia Urin stress Inkontinensia Urin stress ( SUI ) adalah keluarnya urin dari uretra pada saat terjadi peningkatan tekanan intraabdominal. Terjadinya inkontinensia ini karena faktor sfingter uretra yang tidak mampu mempertahankan tekanan intrauretra pada saat tekanan intravesica

10

meningkat sehingga buli-buli terisi. Oleh sebab itu, peningkatan tekanan intraabdominal dapat dipacu dengan batuk, bersin, tertawa, berjalan, dan mengangkat beban berat. Inkontinensia stress banyak di jumpai pada wanita kurang lebih 8-33%. ( Basuki, 2003) Pada pria kelainan pada uretra yang menyebabkan inkontinensia adalah kerusakan sfingter uretra eksterna pasca prostatektomi, sedangkan pada wanita penyebab kerusakan uretra di bedakan menjadi dua keadaan yakni hipermobilitas uretra dan defisiensi intrinsik uretra. Hipermobilitas uretra disebabkan karena kelemahan otot-otot dasar panggul yang berfungsi sebagai penyanggah uretra dan buli-buli. Kelemahan otot ini menyebabkan terjadinya penurunan ( herniasi) dan angulasi leher buli-buli uretra pada saat terjadinya peningkatan intraabdomen sehingga

menyebabkan bocornya urin dari buli-buli meskipun tidak ada peningkatan intravesika. ( Basuki, 2003) 3. Inkontinensia paradoksa Inkontinensia paradoksa (overflow ) adalah keluarnya urin tanpa dapat di kontrol pada keadaan volume urin di buli-buli melebihi kapasitasnya. Pada inkontinensia parakdosa ini otot detrusor mengalami kelemahan sehingga terjadi atonia atau arefleksia. Di tandai dengan overdistensi buli-buli tetapi karena buli-buli tidak mampu lagi

mengosongkan isinya, tampak urin selalu menetes dari meatus uretra. Kelemahan otot detrusor ini dapat disebabkan karena obstruksi uretra, neuropati diabetes, efek samping pemakain obat dan pasca bedah pada daerah pelvik. ( Basuki, 2003) 4. Inkontinensia urin kontinua atau continus incontinence Inkontinensia urin kontinua adalah urin yang selalu keluar setiap saat dan dalam berbagai posisi keadaan ini paling sering disebabkan oleh fistula sistem urinaria yang menyebabkan urin tidak melewati sfingter uretra. Pada fistula vesikovagina terdapat lubang yang menghubungkan buli-buli dan vagina. Jika lubangnya cukup besar buli buli tidak pernah terisi oleh urin karena urin yang berasal dari kedua ureter tidak sempat

11

tertampung dibuli-buli dan keluar melalui fistula ke vagina. ( Basuki, 2003) Penyebab lain inkontinensia urin kontinua adalah muara ureter ektopik pada anak perempuan karena kelainan kongenital ini salah satu ureter bermuara pada uretra disebelah distal dari sfingter uretra eksternum. Jadi, urin yang disalurkan melalui ureter ektopik langsung keluar tanpa melalui hambatan sfingter uretra eksterna sehingga selalu bocor. Gejala khas pada muara ureter ektopik sama dengan fistula uterovagina yaitu urin selalu merembes keluar tetapi pasien masih bisa melakukan miksi seperti orang normal. ( Basuki, 2003) 5. Inkontinensia urin fungsional Sebenarnya pasien ini kontinen, tetapi karena adanya hambatan tertentu, pasien tidak mampu untuk menjangkau toilet pada saat keinginan miksi timbul sehingga kencingnya keluar tanpa dapat ditahan. Hambatan itu dapat berupa gangguan fisis, gangguan kognitif, maupun pasien yang sedang mengkonsumsi obat-obatan tertentu.

Tabel 1. Jenis obat-obatan yang mempengaruhi kontinensi( Basuki, 2003) Jenis obat Diuretikum Antikolinergik Sedative / hipnotikum Narkotik Antagonis adregenik alfa Efek pada kontinensia Buli buli cepat terisi Gangguan kontraksi detrusor Gangguan kognitif Gangguan kontraksi detrusor Menurunkan internus Penghambat kanal kalsium Menurunkan kontraksi detrusor tonus sfingter

Penegakkan Diagnosa Inkontenensia Urin A. Anamnesis Anamnesis merupakan bagian yang sangat penting dalam melakukan evaluasi inkontinensia. Perlu ditanyakan sampai seberapa jauh inkontinensia ini mengganggu kehidupannya dan berapa banyak urin yang

12

dikeluarkan pada saat inkontinensia. Apakah pasien menggunakan pempers ? pada malam hari berapa kali terbangun untuk miksi ? adakah faktor pencetus seperti batuk, bersin atau aktivitas lain yang masuk ke dalam inkontinensia urin. ( Basuki, 2003 ). Keluhan adanya urgensi dan frekuensi merupakan pertanda overaktifitas detrusor. Pasien dianjurkan mencatat tentang aktifitas miksi dan volume asupan cairan yang diminum setiap harinya di dalam catatan harian miksi ( micturation diary) . ( Basuki, 2003) Riwayat Penyakit Dahulu Adanya riwayat penyakit yang lalu harus dicari. Diabetes mellitus (terutama jika ada neuropati), kelainan neurologi, infeksi saluran kemih berulang, penyakit pada rongga pelvis, dan atrofi genitourinaria pada menopause kesemuanya merupakan predisposisi terjadinya inkontinensia urin. Operasi-operasi maupun radiasi di daerah pelvis dan abdomen merupakan salah satu petunjuk yang cukup penting. Perlu diperhatikan riwayat pada saat melahirkan, antara lain: apakah melahirkan multipara, partus kasep, dan bayi yang besar; kesemuanya merupakan predisposisi terjadinya inkompetensi sfingter dan kelemahan rongga panggul. ( Basuki, 2003) B. Pemeriksaan fisik Pemeriksaan meliputi pemeriksaan abdominal, daerah

urogenitalia, clan pemeriksaan neurologis. Pada pemeriksaan abdomen dicari kemungkinan dijumpai adanya distensi buli-buli yang merupakan tanda dari inkontinensia paradoksa atau adanya massa di pinggang dari suatu hidronefrosis. Mungkin diketemukan jaringan parut bekas operasi pelvis atau abdomen. Pada regio urogenitalia, perhatikan orifisium uretra dan vagina. Dengan mempergunakan spekulum vagina dicari

kemungkinan adanya kelainan dinding vagina anterior maupun posterior. Perhatikan adanya perubahan warna dan penebalan mukosa vagina yang merupakan tanda dari vaginitis atrofikans akibat defisiensi estrogen; hal ini biasanya disertai dengan peningkatan sensitifitas buli-buli dan uretra yang dapat terlihat pada inkontinensia urge. Perhatikan kemungkinan

13

adanya sistokel, enterokel, prolapsus uteri, atau rektokel yang menyertai suatu SUI. Pemeriksaan palpasi bimanual untuk mencari adanya massa pada uterus atau adneksa. Perhatikan posisi orifisium eksternum. Jika didapatkan penonjolan dari orifisium eksternum mungkin merupakan suatu proses inflamasi atau divertikulum. Mintalah pasien untuk melakukan manaver Valsava; jika terdapat penurunan leher buli-buli-uretra dan dijumpai urin yang keluar, kemungkinan pasien menderita suatu SUI. ( Basuki, 2003) C. Laboratorium Pemeriksaan urinalisis, kultur urin dan kalau perlu sitologi urin dipergunakan untuk menyingkirkan kemungkinan adanya proses

inflamasi/infeksi atau keganasan pada saluran kemih. D. Pemeriksaan lain Pemeriksaan penunjang membantu dalam menentukan jenis maupun derajat inkontinensia dan dipergunakan untuk melakukan evaluasi pada waktu sebelum maupun setelah terapi. Pemeriksaan itu di antaranya adalah pemeriksaan urodinamik yang terdiri atas pemeriksaan uroflometri, pengukuran profil tekanan uretra, sistometri, valsava leak point pressure, serta video urodinamika.Pemeriksaan pencitraan yang meliputi pielografi intravena maupun sistografi miksi diperlukan untuk mencari kemungkinan adanya fistula ureterovagina, muara ureter ektopik, dan penurunan leher buli-buli-uretra pada sistografi. Pemeriksaan residu urin dilakukan untuk mengetahui

kemungkinan adanya obstruksi infravesika atau kelemahan otot detrusor. Pemeriksaan itu dilakukan dengan melakukan kateterisasi atau dengan ultrasonografi sehabis miksi. ( Basuki, 2003) E. Terapi Inkontinensia urin merupakan gejala manifestasi klinis dari suatu kelainan yang ada di buli-buli dan uretra. Untuk itu terapi yang di tujukan pada penyakit yang menyebabkan timbulnya inkontinensia urin. Pada inkontinensia yang disebabkan oleh obstruksi intravesika terapinya adalah desobstruksi. Sedangkan, pada terapi inkontinensia stress dan urge, pilihan

14

terapi tergantung dari derajat keparahan inkontinesia. Terapi yang dapat dipilih meliputi (1) latihan/rehabilitasi, (2) medikamentosa, dan (3) operasi. ( Basuki, 2003) Tabel 2. Pilihan Terapi Pada Inkontinensia Urin Jenis inkontinensia UUI Behavioral Bioedback Bladder drill Antikolinergik Augmentasi Bulibuli Neuromodulasi Rhizolisis SUI Pelvic floor exercise Agonis adregenik alfa Antidepresan trisiklik Hormonal Paradoksa Total Desobstruksi Sfingter Artifisial Kolposuspensi Injeksi kolagen Latihan Medikamentosa Tindakan invasif

1. Latihan/rehabilitasi Bantuan ahli rehabilitasi medik sangat diperlukan untuk

keberhasilan program latihan ini. Pelvic floor exercise atau disebut Kegel exercise bertujuan untuk meningkatkan resistensi uretra dengan cara memperkuat otot-otot dasar panggul dan otot periuretra. Pasien dilatih belajar cara melakukan atau mengenal kontraksi otot dasar panggul dengan cara mencoba menghentikan aliran urin (melakukan kontraksi otot-otot pelvis) kernudian mengeluarkan kembali urin melalui relaksasi otot sfingter. Setelah itu pasien diinstruksikan untuk melakukan kontraksi otot dasar panggul (seolah-olah menahan urin) selama 10 detik sebanyak 10 - 20 kali kontraksi dan dilakukan dalam 3 kali setiap hari. ( Basuki, 2003)

15

Dikatakan bahwa latihan ini dapat menyebabkan terjadinya hipertrrofi otot-otot dasar panggul. Selain itu, dapat meningkatkan tekanan mekanik pada uretra sehingga memperbaiki fungsi sfingter uretra. Hipertrofi otot dasar panggul dapat meningkatkan kemampuannya dalam menyanggah organ-organ pelvis sehingga mampu mencegah desensus buli-buli-uretra. Latihan ini dapat dipakai sebagai prevensi terjadinva inkontinensia urin pada wanita-wanita muda sebelum melahirkan. Pada terapi behavioural pasien diberi pengetahuan tentang fisiologi sistem urinary sebelah bawah dan kemudian mengikuti jadwal miksi seperti yang telah ditentukan. Dalam hal ini pasien dilatih untuk mengenal timbulnya sensasi urgensi, kemudian mencoba menghambatnya, dan selanjutnya menunda saat miksi. Jika sudah terbiasa dengan cara ini, interval di antara miksi menjadi lebih lama dan didapatkan volume miksi yang lebih banyak. ( Basuki, 2003) 2. Medikamentosa Inkonintensia Urge Tujuan terapi pada inkontinensia urge adalah: meningkatkan

kapasitas buli-buli, meningkatkan volume urin yang pertama kali memberi sensasi miksi, dan menurunkan frekuensi kencing. Dipilih obatobatan yang dapat menghambat kontraksi otot polos detrusor yang mampu menghambat impuls aferen buli-buli. Pemberian obat-obatan itu dapat diberikan secara topikal ataupun intravesika. Obat obatan yang berpengaruh pada inkontinensia urge meliputi antikolinergik, pelemas otot polos, antidepresan trisiklik, antiprostaglandin dan penghambat kanal kalsium. Antikolinergik adalah obat penghambat sistem parasimpatik eferen pada otot detrusor. Obat ini bekerja dengan cara meningkatkan kapasitas bulibuli dan menunjukkan hasil yang cukup baik pada overaktivitas buli-buli. Jenis obat yang dipergunakan adalah Propantheline bromide, Oksibutinin (Ditropan), dan Tolterodine lartrate. Dalam hal ini oksibutinin dapat diberikan secara sistemik ataupun intravesika. Tetapi obat ini memiliki efek samping yang dapat terjadi berupa mulut kering, konstipasi,

16

pandangan kabur, takikardia,'drowsiness, dan meningkatnya tekanan intraokuli. ( Basuki, 2003) Dicylomine dan flavoxate digunakan pada inkontinensia urge. Cara kerja obat ini sebagai pelemas otot polos yang mempunyai efek antispasmodik. Selain itu obat ini berguna pada keadaan hiperrefleksia otot detrusor. Tetapi obat ini memberikan efek samping berupa efek antikolinergik. Imipramin merupakan obat golongan antidepresan trisiklik yang mempunyai berbagai macam efek pada inkontinensia urge. Selain itu obat ini dapat berfungsi sebagai pelemas otot, memberikan anastesi local pada buli-buli dan mempunyai efek antikolinergik. Obat ini bekerja dengan cara menurunkan kontraktilitas buli-buli dan meningkatkan resistensi uretra. Tetapi obat ini mempunyai efek samping yaitu mudah lelah, hipotensi postural, pusing dan sedasi. Penghambat kanal kalsium . Kalsium dikenal sebagai ion yang keberadaannya di dalam set dapat menyebabkan terjadinya kontraksi otot. Kadar ion kalsium di dalam set dapat diturunkan dengan menghalangi masuknya ke intraseluler melalui hambatan pada kanal kalsium. Turunnya kadar kalsium intraseluler diharapkan dapat

menurunkan kontraAi otot detrusor pada., instabilitas buli-buli. Tetapi obat ini memiliki efek samping berupa pusing, palpitasi, hipotensi, dan reflek takikardi. Obat-obatan lain sebagai penghambat prostaglandin (Flurbiprofen) saat ini mulai dipergunakan sebagai terapi pada inkontinensia urge. ( Basuki, 2003) Tabel 3. Obat Pilihan Pada Inkontinensia Urge Secara Sistemik 1.Antikolinergik ( Oksibutinin, propantheline bromide, tolterodine tartrate ) 2.Pelemas otot polos ( Diclomine, flavoxate) 3.Antidepresan trisiklik ( Secara Topikal 1.Menghambat jalur eferen ( transmisi kolinergik nervus pelvikus detrusor) - Oksibutinin - Atrofin 2.Menghambat jalur aferen

17

imipramine ) 4.Anti prostaglandin 5.Penghambat kanal kalsium

Anastesi local Capsaicin Resiniferatoxin

3. Medika mentosa Inkontinensia stress Tujuan terapi pada inkontinensia stress adalah meningkatkan tonus otot sfingter uretra dan resistensi bladder outlet. Jenis Obat-obatan yang digunakan yaitu agonis adrenergik alfa, estrogen, dan antidepresan trisiklik. Agonis adrenergik alfa merupakan suatu obat stimulator reseptor adrenergik alfa yang dapat menyebabkan kontraksi otot polos pada leher buli-buli dan uretra posterior. Jenis obat yang diberikan adalah efedrin, pseudoefedrin, dan fenilpropanolamin. Obat ini cukup efektif jika diberikan pada Inkontinensia stress derajat ringan dan sedang. Tetapi ketiga obat ini memiliki efek samping yang dapat menyebabkan anoreksia, nausea, insomnia, konfusi dan peningkatan tekanan darah. ( Basuki, 2003) 4. Pembedahan Inkontinensia urge dan inkontinensia stress tindakan pembedahan dilakukan jika terapi konservatif tidak memberikan hasil yang maksimal. Pada inkontinensia urge untuk mengurangi overaktivitas buli-buli dapat dilakukan rhizolisis, sedangkan penurunan kornplians buli-buli dilakukan augmentasi buli-buli. Hipermobilitas uretra dikoreksi dengan melakukan suspensi leher buli buli dengan berbagai teknik, antara lain: MarshallMarchetti-Kranzt (MMK), Burch, Stamey, dan tension-free vaginal tape (TVT). ( Basuki, 2003).

18

2.2.2 Peningkatan frekuensi berkemih (polakisuria) A. Definisi Polakisuria adalah peningkatan frekuensi berkemih yang lebih dari 8 kali perhari. (Basuki, 2011) B. Patofisiologi Polakisuria adalah keadaan yang bisa sangat menggangggu pasien. Frekuensi berkemih dapat dikeluhkan yaitu kurang dari dua jam sekali. Polakisuria dapat disebabkan karena adanya produksi urin yang berlebihan (poliuria) atau karena kapasitas buli-buli yang menurun. Pada poliuria biasanya disebabkan karena adanya penyakit diabetes insipidus, diabetes melitus, atau asupan cairan yang berlebihan. Pada menurunnya kapasitas buli-buli dapat disebabkan karena adanya obstruksi infravesika,

menurunnya komplians buli-buli, dan buli-buli yang mengalami iritasi atau inflamasi oleh benda asing dalam lumen buli-buli. (Basuki, 2011) C. Keadaan yang dapat menyebabkan polakisuria C.1 Sindrom poliuria Poliuria adalah suatu keadaan dimana volume air kemih dalam 24 jam meningkat melebihi batas normal disebabkan gangguan fungsi ginjal dalam mengkonsentrasi air kemih. Volume air kemih biasanya lebih dari 3 liter/hari, biasanya menunjukkan gejala klinik bila jumlah air kemih antara 4-6 liter/hari. Poliuria biasanya disertai dengan gejala lain akibat kegagalan ginjal dalam memekatkan air kemih seperti rasa haus dan dehidrasi. (Sudoyo, 2009) Menurut Brenner poliuria dibagi 2 macam : a) Poliuria non fisiologis : pada orang dewasa, poliuria didapatkan bila air kemih lebih dari 3 liter/ hari b) Poliuria fisiologi : volume air kemih dibandingkan dengan volume air kemih yang diharapkan karena rangsangan yang sama, dikatakan poliuri bila volume air kemih lebih besaer dari volum yang diharapkan. (Sudoyo, 2009)

19

Bila kemampuan ginjal untuk memekatkan air kemih terganggu maka terjadi peningkatan jumlah air kemih yang bisa disebabkan oleh beberapa keadaan antara lain: a. Ketidak mampuan sekresi ADH oleh hipofise posterior b. Kerusakan mekanisme arus balik c. Ketidak mampuan tubulus distal dan tubulus koligentes untuk merespons ADH. Ada dua reseptor ADH yaitu vasopresin 1 (V1) memiliki aktivitas vasokontriksi dan prostaglandin. Vasopresin 2 (V2) memiliki aktivitas antidiuretik, vasodilator dan mediator faktor koagulasi. Bila reseptor V2 yang aktif maka akan terjadi peningkatan permeabilitas terhadap air sehingga air kemih berkurang. Bila reseptor V1 yang aktif maka permeabilitas turun dan akibatkan jumlah air kemih meningkat. (Sudoyo, 2009) Poliuria terdapat pada berbagai keadaan seperti diabetes insipidus, diabetes melitus, dan polidipsi primer. (Sudoyo, 2009)

C.1.1 Diabetes insipidus Diabetes insipidus adalah suatu penyakit yang jarang ditemukan. Penyakit ini diakibatkan oleh berbagai penyebab yang dapat mengganggu mekanisme neurohypophyseal-renal reflux sehingga mengakibatkan kegagalan tubuh dalam mengkonversi air. Diabetes insipidus disebabkan adanya insufisiensi atau tidak adanya hormon anti diuretik (ADH/AVP) atau tidak pekanya tubulus ginjal terhadap rangsangan AVP. Biasanya pasien tidak sanggup mempertahankan air bila mendapatkan tambahan cairan. (Sudoyo, 2009) Kekurangan AVP (arginin vasopressin) atau efek AVP

dihubungkan dengan ketidak adekuatan mengkonsentrasikan urin akan meningkatkan pengeluaran urin (poliuria) dan rasa haus (polidipsi). Bila mekanisme haus mengalami gangguan maka akan terjadi kenaikan osmolalitas dengan kenaikan natrium plasma (hipernatremi). Kekurangan AVP atau diabetes insipidus akan mempunyai sindroma

20

klinik seperti kenaikan pengeluaran urin, yang hipotonik dan hal ini berbeda dengan diabetes melitus yang bersifat hipertonik. (Sudoyo, 2009) Beberapa perbedaan patofisiologi terjadinya poliuri hipotonik menjadikan poliuri hipotonik dibagi menjadi : a. Diabetes insipidus sentral (DIS) b. Disfungsi osmoreseptor (variasi DIS) c. Gestasional diabetes insipidus d. Diabetes insipidus nefrogenik (DIN) e. Polidipsi primer (dipsogenik/ psikogenik). (Sudoyo, 2009)

A. Diabetes insipidus sentral Diabetes insipidus sentral disebabkan oleh kegagalan penglepasan hormon anti-diuretik ADH yang secara fisiologis dapat merupakan kegagalan sintesis atau penyimpanan. Secara anatomis kelainan ini terjadi karena kerusakan nukleus supraoptik, paraventrikular dan filiformis hipotalamus yang menyintesis ADH. Selain itu DIS juga timbul karena gangguan pengantukan ADH akibat kerusakan pada akson traktus supraoptikohipofisealis dan akson hipofisis posterior dimana ADH disimpan untuk sewaktu-waktu dilepaskan kedalam sirkulasi jika dibutuhkan. (Sudoyo, 2009) Secara biokimiawi DIS terjadi karena: a. Tidak adanya sintesis ADH b. Sintesis ADH yang kuantitatif tidak mencukupi kebutuhan c. Kuantitatif cukup tetapi ADH tidak dapat berfungsi sebagai ADH yang normal. d. Sintesis neurifisin suatu biDINng protein yang abnormal dapat mengganggu penglepasan ADH e. Adanya antibodi terhadap ADH. (Sudoyo, 2009)

21

Patofisiologi Pada umumnya basal ADH harus turun kurang dari 10-20% dari normal sebelum osmolality urin basal turun kurang dari 300mOsm/kg H2O dan aliran urin naik ke level simptomatik (>50ml/KgBW/day). Hasil dari hilangnya air akan menaikkan osmolalitas plasma dan akan merangsang rasa haus, terjadi polidipsi. (Sudoyo, 2009) Karena konversi ginjal terhadap natrium tidak terganggu maka adanya kekurangan ADH tidak disertadi natrium. Pada kasus dimana ADH sama sekali tidak di sekresi (DI komplit) pasien akan tergantung seluruhnya pada intake air untuk keseimbangan air dalam tubuh. Diabetes insipidus sentral ada 2 macam yaitu: a. Diabetes insipidus idiopatik (autosomal dominan) autoimun b. Diabetes insipidus didapat karena kelainan intrakranial (trauma, pembedahan, tumor di kepala), infeksi (tuberkulosis, ensefalitis, meningitis). Istilah lain untuk ADH meningkat diluar batas fisiologis karena sebab yang bermacam-macam disebut SIADH (syndrome of inappropriate secretion of ADH). (Sudoyo, 2009)

B. Diabetes insipidus nefrogenik Diabetes insipidus nefrogenik (DIN) biasanya dipakai pada diabetes insipidus yang tidak berespons pada ADH eksogen. DIN terjadi karena adanya resistensi anti diuretika ADH. Pertama kali dikenal pada tahun 1945 pada pasien dengan kelainan genetik yaitu (sex-linked). Poliuria didapati sejak lahir sedangkan level plasma ADH normal atau normal, resistensi efek antidiuretik ADH bisa parsial maupun komplit, biasanya paling banyak pada laki-laki, 90% kasus kongenital DIN disebebkan mutasi ADHV2. (Guyton, 2009) Kongenital DIN juga dapat disebbakan karena mutasi gen autosomal yang mengkode AQP2 yaitu protein yang membentuk kanal air di tubukus kolektivus di medulla. (Sudoyo, 2009)

22

DIN adalah ketidakmampuasn ginjal (tubulus distal dan koligentes) untuk merespons ADH. Banyak jenis penyakit ginjal yang dapat mengganggu mekanisme pemekatan air kemih terutama yang mengenai medula ginjal. Kerusakan ansa henle pada diuretika yang menghambat reabsorpsi elektrolit oleh segmen. Obat-obat tertentu seperti lithium dan tetrasiklin dapat merusak kemampuan segmen tubulus distalis untuk berespons terhadap ADH. (Sudoyo, 2009) Diabetes insipidus nefrogenik dibagi menjadi 2 macam : a. Idiopatik/familial/genetik: ada 2 macam gen yaitu ADHV2 (arginin vasopresin reseptor)-(x-linked) dan AQP2 (autosomal resesif dan autosomal dominan). DIN yang paling sering ditemukan diturunkan secara x-linked (90%). DIN yang diturunkan secara autosomal resesif (9%) dan autosomal dominan (1%). b. Didapat biasanya akibat obat (lithium, demeklisiklin,

metoksifluran), metabolik (hipokalemisa, hiperkalsiuri dengan hiperkalemia), penyakit ginjal (polikistik ginjal, pielonefritis kronis, gagal ginjal kronik). (Sudoyo, 2009) Patofisiologi Seperti pada DIS, sensitivitas ginjal terhadap efek antidiuretika ADH juga menghasilkan kenaikan ekskresi dilusi urin, penurunan urin dalam tubuh dan kenaikan osmolalitas plasma, hal ini akan merangsang rasa haus untuk mengkompensasi meningkatkan intake air. Besarnya poliuri maupun polidipsi tergantung sensitivitas ginjal terhadap ADH, setiap idividu berbeda sesitivitasnya, sensitivitas rasa haus dan sekresi ADH. (Sudoyo, 2009) Mekanisme dilusi (pelarutan) terjadi jika ADH tidak di sekresi pada orang normal, struktur distal tidak permeabel terhadap air sehingga sewaktu urin yang hipotonis melewati tubulus distal, natrium akan lebih banyak dikeluarkan sehingga osmolalitas urin semakin berkurang. Urin yang sangat hipotonis memasuki collecting duct yang

23

juga relatif tidak permeabel sehingga memungkinkan ekskresi sejumlah besar urin yang terdilusi. (Sudoyo, 2009) C. Polidipsi primer Etiologi a. Psikogenik (schizophrenia, obsessive-compulsive behaviours) b. Dipsogenik ( idiopatik, kelainan pengaturan rasa haus). (Sudoyo, 2009) Patofisiologi Patofisiologi polidipsi primer berbeda dengan DIS, intake air yang berlebihan mengakibatkan cairan tubuh sedikit encer (slight dilutes), menekan sekresi ADH dan urin menjadi encer (dilutes urin). Besar kecilnya poliuria dan polidipsi bervariasi tergantung intensitas rangsangan untuk minum. Pada pasien dengan abnormalitas rasa haasu, polidipsi dan poliuria relatif konstan dari hari ke hari tetapi pada psikogenik polidipsi intake air dan output urin cenderung fluktuatif, kadang bisa sangat besar. Dengan intake yang tinggi maka akan terjadi dilutional hyponatremia. (Sudoyo, 2009) Anamnesis Gejala dan keluhan utama diabetes insipidus Adalah poliuria dan polidipsia. Jumlah cairan yang diminum maupun produksi urin per 24 jam sangat banyak, dapat mencapai 5-10 liter perhari. DIN memiliki gejala klinis sering haus akan air dingin, nokturia, berat jenis urin <1.005 dengan osmolaritas air kemih <200. Biasanya mulainya bertahap, sejak bayi sering muntah, rasa tercekik, tidak suka makan, konstipasi, gangguan pertumbuhan, panas yang tidak diketahui penyebabnya, letargi dan iritabilitas. Mayoritas didiagnosis pada tahun pertama kehidupannya . (Sudoyo, 2009) Pada DIS poliuria bisa lebih dari 15 liter/hari. Gejala bisa timbul tiba-tiba bisa karena tumor atau idiopatik. Biasanya pria: perempuan adalah 3:2 dengan kemumculan rata-rata pada umur 16 tahun. Pada DIS muncul 3 fase yaitu poliuri/ fase hipotonik, peningkatan perusakan

24

sel hipofisis dan akhirnya terjadi diabetes insipidus permanen. (Sudoyo, 2009) Pemeriksaan fisik Pada DIN ditemukan bayi gangguan pertumbuhan, letargi dan irritabilitas. Pada DIS tidak ditemukan tanda spesifik selama penderita belum mengalami dehidrasi berat. (Sudoyo, 2009) Pemeriksaan penunjang 1. Tes pemekatan air kemih a) Adanya peningkatan serum natrium b) Berat jenis air kemih rendah c) Tidak ada pemasukan natrium yang berlebihan dan kadar vasopresi yang tinggi Bila terjadi ketiga keadaan tersebut maka diagnopsis DIN dapat ditegakkan. (Sudoyo, 2009) 2. Tes genetik Gen gen yang ditemukan sampai sekarang Adalah ADHV2 dan AQP2. AVPV2 merupakan satu-satunya gen yang

berhubungan dengan x-linked DIN. AQP2 merupakan satu-satunya gen yang berhubungan dengan DIN autosomal resesif dan autosomal dominan. (Sudoyo, 2009) 3. Tes penunjang Laboratotium klinik dan radiologi. (Sudoyo, 2009) Terapi Pengobatan diabetes insipidus harus disesuaikan dengan gejala yang ditimbulkannya. Pada pasien DIS parsial dengan mekanisme rasa haus yang utuh tidak diperlukan terapi apa apa selama gejala nokturia dan poliuria tidak mengganggu aktivitas. Pasien dengan gangguan pada pusat rasa haus harus diterapi dan diberi pengawasan ketat untuk mencegah dehidrasi. (Sudoyo, 2009) Pada DIS komplit biasanya diperlukan terapi hormon pengganti (hormonal replacement). DDAVP (1-desamino-8-darginin

vasopresin) merupakan obat pilihan utama untuk DIS. Obat ini

25

merupakan analog arginin vasopresin manusia sintetik, mempunyai lama kerja yang panjang dan hanya mempunyai sedikit efek samping, jarang menimbulkan alregi. (Sudoyo, 2009) Dapat juga di beri terapi adjuvan untuk mengatur keseimbangan air dengan cara : a) Mengurangi jumlah air ke tubulus distal dan collecting duct b) Memacu penglepasan ADH endogen c) Menignkatkan efek ADH endogen yang masih ada pada tubulus ginjal. (Sudoyo, 2009) Obat obatan yang biasa dipakai adalah a) Diuretik tiazid Menyebabkan natriuresis sementara dan penurunan GFR. Menyebabkan peningkatan reabsorpsi natrium dan air pada nefron yang lebih priksimal sehingga menyebabkan berkurangnya air yang masuk ke tubulus distal dan collecting duct. Obat ini dapat dipakai pada DIS maupun DIN. b) Klorpropamid Meningkatkan efek ADH yang masih ada terhadap tubulus ginjal dan meningkatkan pelepasan ADH dari hipofisis. Obat ini tidak dapat dipakasi pada DIS. Dapat dikombinasi dengan tiazid untuk mencapai efek maksimal. (Sudoyo, 2009) D. Diabetes Melitus Diabetes melitus adalah gangguan metabilsme yang secara genetis dan klinis termasuk heterogen dengan manifestasi berupa hilangnya toleransi karbohidrat. Diabetes melitus ditandai dengan hiperglikemi puasa dan postprandial, aterosklerotik dan penyakit vaskular mikroangiopati dan neuropati. (Sylvia, 2005)

26

Etiologi Etiologi diabetes melitus bermacam-macam, tetapi determinan genetik biasanya memegang peranan penting pada mayoritas penderita diabetes melitus. Diabetes melitus tipe 1 adalah penyakit autoimun yang ditentukan secara genetik dengan gejala-gejala yang pada akhirnya menuju proses bertahap perusakan imunologi sel-sel yang memproduksi insulin. Kejadian pemicu yang menentukan proses autoimun pada individu yang peka yang peka secara genetik dapat berupa infeksi coxsackie B4 atau gondongan atau virus lain. Dengan memproduksi autoantibodi terhadap sel-sel beta yang mengakibatkan berkurangnya sekresi insulin yang dirangsang oleh glukosa.

Manifestasi klinis diabetes melitus terjadi jika lebih dari 90% sel-sel beta menjadi rusak. (Sylvia, 2005) Bukti untuk determinan genetik diabetes tipe 1 adalah adanya kaitan dengan tipe-tipe histokompibilitas human leukocytes antigen (HLA) spesifik. Tipe dari gen histokompibilitas yang berkaitan dengan diabetes tipe 1 adalah yang memberi kode kepada protein-protein yang berperanan penting dalam interaksi monosit dan limfosit. Proteinprotein inii mengatur respon sel T yang merupakan bagian normal dari respons imun. Juga terdapat bukti adanya peningkatan antibodiantibodi terhadap sel-sel pulau langerhans yang ditujukan untuk komponen antigenik tertantu dari sel beta. (Sylvia, 2005) Pada pasien dengan diabetes melitus tipe 2, penyakitnya mempunyai pola familial yang kuat. Resiko berkembangnya diabetes tipe 2 pada saudara kandung mendekati 40% dan 33% untuk anak cucunya. Transmisi genetik adalah yang paling kuat dan contoh terbaik terdapat pada diabetes awitan dewasa muda yaitu subtipe penyakit diabetes yang diturunkan dengan pola autosomal dominan. Jika orang tua menderita diabetes tipe 2, rasio diabetes dan non diabetes pada anak Adalah 1:1, dan sekitar 90% pasti membawa (carrier) diabetes tipe 2. (Sylvia, 2005)

27

Diabetes tipe 2 ditandai dengan kelainan sekresi insulin, serta kerja insulin. Pada awalnya tampak terdapat resistensi dari sel-sel sasaran terhadap kerja insulin. Insulin mla-mula mengikat dirinya kepada reseptor-reseptor permukaan sel tertentu, kemudian terjadi reaksi intraseluler yang menyebabkan mobilisasi GLUT4 glukosa dan meningkatkan trasnpor glukosa menembus membran sel. Pada pasienpasien dengan diabetes tipe 2 terdapat kelainan dalam pengikatan insulin dengan reseptor. Kelainan ini dapat diakibatkan oleh berkurangnya jumlah tempat reseptor pada membran sel yang selnya responsif terhadap insulin atau akibat ketidaknormalan reseptor insulin intrinsik. Akibatnya terjadi penggabungan abnormal antara kompleks reseptor insulin dengan sisten transpor glukosa. Ketidaknormalan postreseptor dapat mengganggu kerja insulin. Pada akhirnya timbul kegagalan sel beta dengan menurunnya jumlah insulin yang beredar dan tidak lagi memadai untuk mempertahankan euglikemi. (Sylvia, 2005) Sekitar 80% pasien diabetes tipe 2 mengalami obesitas, karena obesitas bertakitan dengan resistensi insulin, maka akan timbul kegagalan toleransi glukosa yang menyebakan diabetes tipe 2. (Sylvia, 2005) Patofisiologi Kadar glukosa serum puasa normal adalah 70-110 mg/dl. Hiperglikemia didefinisikan dengan kadar glukosa puasa yang lebih tinggi dari 110 mg/dl, sedangkan hipoglikemia bila kadarnya lebih rendah dari 70 mg/dl. Glukosa difiltrasi oleh glomerulus ginjal dan hampir semuanya di reabsorpsi oleh tubulus ginjal selama kadar glukosa dalam plasma tidak melebihi 160 sampai 180 mg/dl. Jika konsentrasi serum naik melebihi kadar ini, glukosa tersebut akan keluar bersama urin, dan keadaan ini disebut glikosuria. (Sylvia, 2005) Pasien dengan defisiensi insulin tidak dapt mempertahankan kadar glukosa plasma puasa normal, atau toleransi kadar glukosa detelah maka karbohidrat. Glikosuria mengakibatkan diuresis osmotik yang

28

meingkatkan pengeluaran urin (polyuria) dan timbul rasa haus (polodipsi). Karena glukosa hilang bersama urin, maka pasien mengalami keseimbangan kalori negatif dan berat badan berkurang. Rasa lapar yang semakin besar (polifagia) mungkin akan timbul sebagai akibat kehilangan kalori. Pasien mengeluh lelah dan mengantuk. (Sylvia, 2005) Anamnesis Pasien dengan diabetes tipe 1 sering menunjukkan awitan gejala yang exsplosif dengan polidipsia, poliuria, turunnya berat badan, polifagia, lemah, somnolen yang terjadi beberapa hari atau minggu. Pasien dapat mengalami sakit berat dan ketoasidosis, serta dapat meninggal bila tidak diberi pengobatan segera. (Sudoyo, 2009) Pasien dengan diabetes tipe 2 mungkin sama seklai tidak menunjukkan gejala apapun, dan diagnosis dibuat berdasarkan pemeriksaan darah di laboratoium dan melakukan tes toleransi glukosa. Pasien tidak mengalami ketoasidosis karena pasien tidak defisiensi insulin secara absolut hanya relatif. (Sudoyo, 2009) Pemeriksaan fisik Pemeriksaan fisik khas adanya poliuria, polidipsi, polifagia dan berat badan menurun tanpa sebab yang jelas. Pemeriksaan fisik

tidak khas pada DM diantaranya lemas, kesemutan, luka yang sulit sembuh, gatal, mata kabur, disfungsi ereksi (pria) dan pruritus vulva (wanita). (Sudoyo, 2009) Pemeriksaan penunjang Apabila ditemukan gejala khas pada diabetes melitus maka pemeriksaan glukosa darah abnormal satu kali saja sudah cukup untuk menegakkan diagnosis, namun apabila tidak ditemukan gejala khas diabetes melitus, maka diperlukan dua kali pemeriksaan glukosa darah abnormal. Cara pelaksanaan tes glukosa darah (WHO 1994): a. Tiga hari sebelum pemeriksaan tetep makan seperti kebiasaan sehari-hari (dengan karbohidrat yang cukup)

29

b. Berpuasa paling sedikit 8 jam (mulai malam hari) sebelum pemeriksaan, minum air putih tanpa gula tetap diperbolehkan c. Diperiksan konsentrasi glukosa darah puasa d. Diperiksa glukosa 75 gram (orang dewasa) atau 1,75 gram/kg/bb (anak-anak) dilarutkan dalam air 250ml dan diminum dalam waktu 5 menit e. Berpuasa kembali sampai pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan 2 jam setelah minum larutan glukosa selesai f. Diperiksa glukosa darah dua jam setelah minum larutan glukosa selesai g. Selama pemeriksaan proses pemeriksaan subyek yang diperiksa tetap istirahat dan tidak merokok. (Sudoyo, 2009) Hasil pemeriksaan glukosa darah 2 jam pasca pembebanan dibagi menjadi 3 yaitu: a. < 140 mg/dl normal b. 140- < 200 mg/dl toleransi glukosa terganggu c. > 200mg/dl diabetes. (Sudoyo, 2009) Terapi 1. Rencana diet 2. Latihan fisik dan pengaturan aktivitas fisik 3. Agen-agen hipoglikemik oral 4. Terapi insulin 5. Pengawasan glukosa dirumah 6. Pengetahuan tentang diabetes dan perawatan diri 7. Pemberian insulin. (Sudoyo, 2009)

C.2 Hiperplasia Prostat Benigna Etiologi Hingga sekarang masih belum diketahui secara pasti penyebab terjadinya hiperplasia prostat. Tetapi terdapat beberapa hipotesis menyebutkan bahwa hiperplasia prostat erat kaitannya dengan

30

peningkatan (Basuki, 2011)

dihidrotestosteron

(DHT)

dan

proses

penuaan.

Beberapa kemungkinan terjadinya hipotesis adalah : a. Teori dihidrotestosteron Dihidrotestosteron atau DHT Adalah metabolit androgen yang sangat penting pada pertumbuhan sel-sel kelenjar prostat. Dibentuk dari testosteron di dalam sel prostat oleh enzim 5-alfareduktase dengan bantuan enzim NADPH. Dihidrosteron yang telah terbentuk berikatan dengan reseptor androgen membentuk kompleks DHT-RA pada inti sel dan selanjutnya terjadi sintesis protein growth factor yang menstimulasi pertumbuhan sel prostat. Pada BPH, aktivitas enzim 5-alfa-reduktase dan jumlah resptor androgen lebih banyak pada BPH. Hal ini menyebabkan sel-sel prostat pada BPH lebih sensitif terhadap DHT sehingga repliksi sel lebih banyak terjadi dibadingkan dengan prostat normal. b. Ketidakseimbangan antara estrogen-testosteron Pada usia semakin tua, kadar testosteron menurun sedangkan kadar estrogen relatif tetap sehingga perbandingan antara estrogen dan testosteron relatif meningkat. Estrogen dalam prostat berperan dalam terjadinya proliferasi sel-sel kelenjar prostat dengan cara meningkatkan sensitifitas sel-sel prostat terhadap rangsangan hormon androgen, meningkatkan jumlah resptor anderogen, dan menurunkan jumlah kematian sel-sel prostat (apoptosis). Meskipun rangsangan terbentuknya sel-sel baru akibat rangsangan testosteron menurun, tetapi sel-sel prostat yang telah ada mempunyai umur yang lebih panjang sehingga massa prostat jadi lebih besar. (Basuki, 2011) Patofisiologi Pembesaran prostat menyebabkan penyempitan lumen uretra pars prostatika dan menghambat aliran urin. Keadaan ini menyebabkan peningkatan tekanan infravesika. Untuk dapat mengeluarkan urin, buli-

31

buli harus berkontraksi lebih kuat guna melawan tahanan ini. Kontraksi terus menerus ini dapat menyebabkan perubahan anatomik buli-buli berupa hipertrofi otot detrusor, trabekulasi, selula, sakula, divertikel bulibuli. Perubahan struktur buli-buli tersebut oleh pasien dirasakan sebagai keluhan pada saluran kemih sebelah bawah atau lower urinary tract symptom (LUTS) . Tekanan intravesika yang tinggi diteruskan ke seluruh bagian buli-buli tak terkecuali pada kedua muara ureter. Tekanan pada kedua muara ureter ini dapat menimbulkan aliran balik urin dari buli-buli ke ureter atau terjadi refluks vesiko-ureter.jika keadaan ini terus berlangsung dapat

mengakibatkan hidroureter dan hidronefrosis, bahkan hingga gagal ginjal. (Basuki, 2011) Anamnesis Obstruksi prostat dapat menimbulkan keluhan pada saluran kemih maupun keluhan di luar saluran kemih. a. Keluhan pada saluran kemih bawah LUTS teridir atas gejala voiding, storage, pasca miksi. Untuk menilai derajat gejala prostat para ahli/organisasi membuat sistem skoring I-PSS. Dalam skor itu dapat dikelompokkan gejala LUTS dalam 3 derajat yaitu : 1) Ringan : skor 0-7 2) Sedang : skor 8-19 3) Berat : skor 20-35 Timbulnya gejala LUTS merupakan manifestasi kompensasi otot bulibuli untuk mengeluarkan urin. Pada suatu saat bila otot buli-buli mengalami fatigue sehingga jatuh ke dalam fase dekompensasi yang terjadi adalah retensi urin. b. Gejala pada saluran kemih bagian atas berupa gejala obstruksi antara lain nyeri pinggang, benjolan di pinggang (tanda hidronefrosis) atau demam (tanda infeksi/urosepsis) c. Pasien mengelih adanya hernia inguinalis atau hemoroid karena sering mengejan saat miksi sehingga mengakibatkan peningkatan tekanan intraabdominal. (Basuki, 2011)

32

Pemeriksaan fisik Pada pemeriksaan fisik didapatkan buli-buli yang terisi penuh dan teraba masa kistus didaerah suprasimfisis akibat retensi urin. Kadang terdapat urin yang menetes tanpa disadari yang merupakan pertanda inkontinensia paradoksa. Pada colok dubur diperhatikan: a. Tonus otot sfingter ani/refleks bulbo-kavernosus untuk menyingkirkan adanya kelainan buli-buli neurogenik b. Mukosa rektum c. Keadaan prostat : nodul, krepitasi, konsistensi prostat, simetri antar lobus dan batas prostat. (Basuki, 2011) Colok dubur pada pembesaran prostat biasa menunjukkan konsistensi prostat kenyal seperti meraba ujung hidung, lobus kanan kiri simetris dan tidak didapatkan nodul. Pada karsinoma prostat didapatkan konsistensi prostat keras, teraba nodul, kemungkinan di antara lobus prostat tidak simetris. (Basuki, 2011) Pemeriksaan penunjang a. Laboratorium b. Faal ginjal c. Pencitraan d. Uroflometri. (Basuki, 2011) Terapi a. Untuk mengurangi resistensi otot polos prostat sebagai komponen dinamik penyebab obstruksi infravesika dengan obat-obatan

penghambat adrenergik alfa b. Mengurangi volume prostat dengan cara menurunkan kadar hormon testosteron/DHT melalui penghambat 5-alfa-reduktase c. Pembedahan dapat dilakukan dengan operasi terbuka, reseksi prostat transuretra atau insisi prostat transuretra. Pembedahan

direkomendasikan pada pasien-pasien BPH: 1. Tidak menunjukkan perbaikan setelah terapi medikamentosa 2. Retensi urin 3. ISK berulang

33

4. Hematuria 5. Gagal ginjal 6. Timbul penyulit lain. (Basuki, 2011)

C.3 Sistitis Akut Etiologi Sistitis akut disebabkan oleh bakteri penyebab infeksi terutama E coli, Enterococcus, Proteus, dan Staphylococcus aureus yang masuk ke buli-buli secara ascending melalui uretra. Sistitis akut mudah terjadi pada pertahanan tubuh lokal yang menurun, yaitu pada diabetes melitus atau trauma lokal minor pada saat senggama. (Sudoyo, 2009) Patofisiologi Wanita lebih sering mengalami serangan sistitis daripada pria karena uretra wanita lebih pendek daripada pria. Reaksi inflamasi menyebabkan mukosa buli-buli menjadi kemerahan, edema, dan hipersensitif sehingga jika buli-buli terisi burin akan mudah terangsang untuk segera mengeluarkan isinya, hal ini menimbulkan keluhan peningkatan frekuensi berkemih. Kontraksi buli-buli akan menyebabkan rasa sakit didaerah suprapubik dan eritem mukosa buli-buli mudah berdarah dan menimbulkan hematuria. (Sudoyo, 2009) Anamnesa Pada anamnesis didapatkan gejala peningkatan frekuensi berkemih, sakit atau nyeri pada daerah suprapubik, jarang ada demam, mual,

muntah, badan lemah dan kondisi umum yang menurun. (Sudoyo, 2009) Pemeriksaan fisik Pada pemeriksaan fisik biasanya tidak ditemuka kelainan yang khas tetapi dapat ditemukan nyeri tekan suprapubik di beberapa kasus. (Sudoyo, 2009) Pemeriksaan penunjang Pada pemeriksaan urin berwarna keruh, berbau, piuria, hematuria dan bakteriuria. Kultur urin untuk mengetahui jenis kuman penyakit dan sensitifitas terhadap antibiotik. (Sudoyo, 2009)

34

Terapi Sisititis tanpa penyulit dapat diberikan terapi dengan antimikroba dosisi tunggal atau jangka pendek (1-3 hari). Kadang diperlukan obatobatan golongan antikolinergik untuk mencegah hiperiritabilitas buli-buli dan fenazopiridin hidroklorida sebagai antiseptik pada saluran kemih. (Sudoyo, 2009) 2.2.3 Retensi Urin A. Definisi Retensi urin adalah ketidak mampuan seseorang untuk mengeluarkan urin yang terkumpul di dalam buii-buli hingga kapasitas maksimal buli-buli terlampaui. Proses miksi terjadi karena adanya koordinasi harmonik antara otot detrusor buli-buli sebagai penampung dan pemompa urin dengan uretro yang bertindak sebagai pipa untuk menyalurkan urin (Basuki, 2011). Retensi urin adalah suatu keadaan penumpukan urin di kandung kemih dan tidak mempunyai kemampuan untuk mengosongkannya secara sempurna. Retensio urin adalah kesulitan miksi karena kegagalan urin dari fesika urinaria. (Kapita Selekta Kedokteran). B. Patofisiologi Adanya penyumbatan pada uretra, kontraksi buli-buli yang tidak adekuat, atau tidak adanya koordinasi antara buli-buli dan uretra dapat menimbulkan terjadinya retensi urin (Basuki, 2011). C. Keadaan yang mengakibtakan retensi urin 1) Benign Prostat Hyperplasia Patofisiologi Pembesaran prostat menyebabkan penyempitan lumen uretra

prostatika dan menghambat aliran urin. Keadaan ini menyebabkan peningkatan tekanan intravesikal. Tekanan intravesikal yang tinggi diteruskan ke seluruh bagian buli-buli tidak terkecuali pada kedua muara ureter. Tekanan pada kedua muara ureter dapat menimbulkan alliran balik urin dari buli-buli ke ureter (Basuki, 2011).

35

Anamnesis Obstruksi prostat dapat menimbulkan keluhan pada traktus urinarius maupun keluhan di luar traktus urinarius. Keluhan pada traktus urinarius bagian bawah

Gambar 8. International Prostate Symptoms Score

Gejala pada traktus urinarius bagian atas Keluhannya berup gejala obstruksi, antara lain nyeri pinggang, ataupun demam sebgai tanda infeksi.

Gejala diluar traktus urinarius Tidak jarang pasien berobat ke dokter karena mengeluh adanya hernia inguinalis atau hemoroid. Timbulnya gejala ini diakibatkan karena sering mengejan pada saat miksi.

36

Pemeriksaan Fisik Colok dubur pada pembesaran prostat menunjukkan konsistensi prostat kenyal seperti meraba ujung hidung, lobus kanan dan kiri simetris dan tidak diapatkan nodul.

Gambar 8 . Benign Prostate Hyperplasia

Laboratorium Faal ginjal diperiksa untuk mencari kemungkinan adanya penyulit yang mengenai traktus urinarius bagian atas. Jika dicuigai keganasan prosptat perlu diperiksa kadar penanda tumor prostate specific antigen. Pencitraan Pemeriksaan USG dapat dilakukan melalui trans abdominal dan trans uretra. Pada pemeriksaan ini diharapkan mendapat informasi mengenai perkiraan volume prostat, panjang protrusi prostat ke buli-buli, menghitung sisa residu urin pasca miksi, atau adanya kerusakan ginjal akibat obstriksi prostat. Terapi Penghambat adrenergik-1 dapat mengurangi penyulit sistemik yang diakibatkan oleh efek hambatan pada 2 dari

37

fenoksibenzamin. Beberapa golongan obat seperti prazosin diberikan dua kali sehari, terazosin, afluzosin, dan doksazosin yang diberikan sekali sehari Penghambat 5 -reduktase, obat ini bekerja dengan ca mengambat dihidrotestoteron. Menurunnya kadar DHT menyebabkan sintesis protein dan replikasi sel-sel prostat mennurun Prostatektomi terbuka dapat dilakukan melalui pendekatan suprubik transvesikal (Freyer) atau retropubik intravesikal (Millin). Prostatektomi dianjurkan untuk prostat yang sangat besar (>100 gram). 2) Batu Uretra Patofisiologi Batu uretra biasnya berasal dari batu ginjal/ureter yang turun ke bulibuli, kemudian masuk ke uretra. Anamnesis Keluhan yang terjadi adalah miksi tiba-tiba berhenti hingga terjadi retensi urin, yang mungkin sebelumnya terjadi nyeri pinggang. Jika batu berasal dari ureter yang turun ke buli-buli kmeudian ke uretra, bisanya pasien mengeluh kesulitan miksi. Pemeriksaan Fisik Jika batu berada uretra anterior seringkali dapat diraba berupa benjolan keras, dan kadang tampak di meatus uretra eksterna. Nyeri dirasakan pada glans penis atau pada tempat batu berada. Terapi Tindakan mengeluarkan batu tergantung pada posisi, ukuran, dan bentuk batu. Batu pada MUE dapat diambil dengan forsep setelah terlebih dahulu dilakukan meatotomi, sedangkan batu kecil di uretra anterior dapat dicoba dikeluarkan dengan melakukan lubrikasi terlebih dahulu dengan memasukan campuran jelly dan lidokain 2% intrauretra dengan harapan batu dapat keluar spontan (Basuki, 2011).

38

2.2.3. Anuria A. Definisi Anuria berarti tidak keluarnya urin, dalam klinisnya di definisikan air urin keluar kurang dari 50 ml dalam sehari (Beximco, 2011). B. Patofisiologi Anuria sering disebabkan oleh kegagalan dalam fungsi ginjal. Hal ini juga dapat terjadi karena beberapa obstruksi berat seperti batu ginjal atau tumor (Beximco, 2011). C. Keadaan yang dapat menyebabkan Anuria 1. Gangguan ginjal akut a. Definisi Penurunan mendadak faal ginjal dalam 48 jam yaitu berupa kemaikan kadar kreatinin serum > 0,3 mg/dl (>26,4 mol/l), presentasi kenaikan kreatinin serum > 50% (1,5 x kenaikan dari nilai dasar), atau pengurangan produksi urin (oliguria yang tercatat < 0,5 ml/kg/jam dalam waktu lebih dari 6 jam (sudoyo, 2009). Gangguan ginjal akut dapt dibagi menjadi tiga kategori: 1) Gangguan Ginjal Akut Pra-renal GGA Prarenal adalah terjadinya penurunan aliran darah ginjal (renal hypoperfusion) yang mengakibatkan

penurunan tekanan filtrasi glomerulus dan kemudian diikuti oleh penurunan Laju Filtrasi Glomerulus (LFG). Keadaan ini umumnya ringan yang dengan cepat dapat reversibel apabila perfusi ginjal segera diperbaiki. Pada GGA prarenal aliran darah ginjal walaupun berkurang masih dapat memberikan oksigen dan substrat metabolik yang cukup kepada sel-sel tubulus. Apabila hipoperfusi ginjal tidak segera diperbaiki, akan mengakibatkan NTA. GGA prarenal merupakan kelainan fungsional, tanpa adanya kelainan histologik atau morfologi pada nefron.

39

2) Gangguan Ginjal Akut Renal GGA renal yaitu kelainan yang berasal dari dalam ginjal dan yang secara tiba-tiba menurunkan pengeluaran urin. Katagori GGA ini selanjutnya dapat dibagimenjadi : a. Keadaan yang mencederai kapiler glomerulus atau pembuluh darah kecil ginjal lainnya b. Keadaan yang merusak epitel tubulus ginjal, c. Keadaan yang menyebabkan kerusakan interstisium ginjal. Tubulus ginjal merupakan tempat utama penggunaan energi pada ginjal, yang mudah mengalami kerusakan bila terjadi iskemia atau oleh obat nefrotoksik, oleh karena itu kelainan tubulus yang disebut Nekrosis Tubular Akut (NTA) merupakan penyebab terbanyak GGA renal. 3) Gangguan Ginjal Akut post-renal GGA postrenal adalah suatu keadaan dimana

pembentukan urin cukup, namun alirannya dalam saluran kemih terhambat. Penyebab tersering adalah obstruksi. Obstruksi aliran urin ini akan mengakibatkan kegagalan filtrasi glomerulus dan transpor tubulus sehingga dapat mengakibatkan kerusakan yang permanen, tergantung berat dan lamanya obstruksi (Sudoyo, 2009).

Gambar 9 . Klasifikasi Gangguan ginjal akut

40

b. Patofisiologi Perjalanan klinis GGA di bagi menjadi 3 stadium, yaitu : Stadium Oliguria Stadium oliguria biasanya timbul dalam waktu 24 sampai 48 jam sesudah terjadinya trauma pada ginjal. Produksi urin normal adalah 1-2 liter/24jam. Pada fase ini pertama-tama terjadi penurunan produksi urin sampai kurang dari 400cc/24 jam. Tidak jarang produksi urin sampai kurang dari 100cc/24 jam, keadaan ini disebut dengan anuria. Pada fase ini penderita mulai memperlihatkan keluhan-keluhan yang diakibatkan oleh penumpukan air dan metabolit-metabolit yang seharusnya diekskresikan oleh tubuh, seperti mual, muntah, lemah, sakit kepala, kejang dan lainsebagainya. Perubahan pada urin menjadi semakin kompleks, yaitu penurunan kadarurea dan kreatinin. Di dalam plasma terjadi perubahan biokimiawi berupa peningkatan konsentrasi serum urea, kreatinin, elektrolit (terutama K dan Na). Stadium Diuresis Stadium diuresis dimulai bila pengeluran kemih meningkat sampai lebih dari 400 ml/hari, kadang-kadang dapat mencapai 4 liter/24 jam. Stadium ini berlangsung 2 sampai 3 minggu. Volume kemih yang tinggi pada stadium ini diakibatkan karena tingginya konsentrasi serum urea, dan juga disebabkan karena masih belum pulihnya kemampuan tubulus yang sedang dalam masa penyembuhan untuk mempertahankan garam dan air yang difiltrasi. Selama stadium dini diuresi, kadar urea darah dapat terus meningkat, terutama karena bersihan urea tak dapat mengimbangi berlanjutnya produksi diuresis, urea endogen. sedikit Tetapi demi dengan sedikit

azotemia

menghilang, dan pasien mengalami kemajuan klinis yang benar.

41

Stadium Penyembuhan Stadium penyembuhan GGA berlangsung sampai satu tahun, dan selama masa itu, produksi urin perlahanlahan kembali normal dan fungsi ginjal membaik secara bertahap, anemia dan kemampuan pemekatan ginjal sedikit demi sedikit membaik, tetapi pada beberapa pasien tetap menderita penurunan glomerular filtration rate (GFR) 2009). a. Diagnosis a) Gejala klinis yang terjadi pada penderita GGA, yaitu : b) Penderita tampak sangat menderita dan letargi disertai mual, muntah, diare, pucat (anemia), dan hipertensi. c) Nokturia (buang air kecil di malam hari). d) Pembengkakan tungkai, kaki atau pergelangan kaki. Pembengkakan yang menyeluruh (karena terjadi yang permanen (Markum,

penimbunan cairan). e) Berkurangnya rasa, terutama di tangan atau kaki. f) Tremor tangan. g) Kulit dari membran mukosa kering akibat dehidrasi. h) Nafas mungkin berbau urin (foto uremik), dan kadangkadang dapat dijumpai adanya pneumonia uremik. i) Manisfestasi sistem saraf (lemah, sakit kepala, kedutan otot, dan kejang). j) Perubahan pengeluaran produksi urin (sedikit, dapat mengandung darah, berat jenis sedikit rendah, yaitu 1.010 gr/ml) k) Peningkatan konsentrasi serum urea (tetap), kadar kreatinin, dan laju endap darah (LED) tergantung katabolisme (pemecahan protein), perfusi renal, serta asupan protein, serum kreatinin meningkat pada

kerusakan glomerulus.

42

l) Pada kasus yang datang terlambat gejala komplikasi GGA ditemukan lebih menonjol yaitu gejala kelebihan cairan berupa gagal jantung kongestif, edema paru, perdarahan gastrointestinal berupa hematemesis,kejangkejang dan kesadaran menurun sampai koma. b. Pengelolaan Tujuan pengelolaan adalah mencegah terjadinya kerusakan ginjal, mempertahankan komestatis, melakukan resusitasi, mencegah komplikasi metabolik dan infeksi serta

mempertahankan pasien tetap hidup sampai faal ginjalnya sembuh secara spontan. Prinsip pengelolaannya dimulai dengan mengidentifikasi pasien beresiko GGA, mengatasi penyakit penyebab GGA, mempertahankan homeostatis, keseimbangan cairan dan elektrolit, kemudian mengevaluasi obat-obat yang dipakai. 1) Pengaturan Diet Selama 48-72 jam pertama fase oligurik terjadi peningkatan urea darah akibat pemecahan jaringan yang hebat. Selama periode ini pemberian protein dari luar harus dihindarkan. Umumnya untuk mengurangi katabolisme, diet paling sedikit harus mengandung 100 gram karbohidrat per hari. Seratus gram glukosa dapat menekan katabolisme protein endogen sebanyak kira-kira 50%. Setelah 3-4 hari oligurik, kecepatan katabolisme jaringan berkurang dan pemberian protein dalam diet dapat segera dimulai. Dianjurkan pemberian 20-40 gram protein per hari yang mempunyai nilai biologis yang tinggi (mengandung asam amino esensial) seperti telur, susu dan daging. Pada saat ini pemberian kalori harus dinaikkan menjadi 2000-2500 kalori per hari, disertai dengan

multivitamin. Batasi makanan yang mengandung kalium dan fosfat (pisang, jeruk dan kopi).Pemberian garam dibatasi yaitu, 0,5 gram per hari.

43

2) Pengaturan kebutuhan cairan dan keseimbangan elektrolit 1. Air (H2O) Pada GGA kehilangan air disebabkan oleh diuresis, komplikasi-komplikasi (diare, muntah). Produksi air endogen berasal dari pembakaran karbohidrat, lemak, dan protein yang banyak kira-kira 300-400 ml per hari. Kebutuhan cairan perhari adalah 400-500 ml ditambah pengeluaran selama 24 jam. 2. Natrium (Na) Selama fase oligurik asupan natrium harus dibatasi sampai 500 mg per 24 jam. Natrium yang banyak hilang akibat diare, atau muntah-muntah harus segera diganti. 3) Dialisis Tindakan pengelolaan penderita GGA disamping secara konservatif, juga memerlukan dialisis, baik dialisis peritoneal maupun hemodialisis. Tindakan ini dilaksanakan atas indikasiindikasi tertentu. Pemilihan tindakan dialisis peritonial atau hemodialisis didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan

indivual penderita. 4) Operasi Pengelolaan GGA postrenal adalah tindakan pembedahan untuk dapatmenhilangkan obstruksinya. Kadang-kadang untuk dapat dilakukan operasidiperlukan persiapan tindakan dialisis terlebih dahulu Markum, 2009). c. Pencegahan GGA dapat dicegah pada beberapa keadaan misalnya penggunaan zat kontras yang dapat menyebabkan nefropati kontras. Pencegahan nefropati akibat zat kontras adalah menjaga hidrasi yang baik, pemakaian N-asetylcystine serta

44

pemakaian furosemid pada penyakit tropik perlu diwaspadai kemungkinan GGA pada gastrointeritis akut, malaria dan demam berdarah. Pemberian kemoterapi dapat menyebabkan ekskresi asam urat yang tinggi sehingga menyebabkan GGA (Sudoyo, 2009).

45

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan Kelainan frekuensi merupakan keluhan yang sering dikeluhkanpasien urologi. Keluhan ini dapat disebabkan oleh berbagai macam hal seperti infeksi, kelemahan otot pada traktus urinarius, metabolik dan endokrin.

Kelainan ini desertai gejala yang khas berdasarkan masing-masing etiologi. Kelainan frekuensi seperti inkonintensia banyak terjadi karena melemahnya kerja otot detrusor dan biasanya terjadi pada orangtua dan wanita. Pada frekuensi kemih yang meningkat sering terjadi pada individu yang memiliki higienitas diri yang buruk dan bisa juga karena kateterisasi atau bahkan kelainan endokrin dan metabolik. Kelainan pada polakisuria menyebabkan air tidak dapat di reabsorbsi lagi oleh tubuh. Retensi biasanya terjadi pada obstruksi infravesika yang sering ditemukan pada penyakit BPH (Benign Prostate Hyperplasia). Anuria terjadi pada ginjal akut, hal in disebabkan penurunan fungsi ginjal. Penatalaksanaan yang tepat sesuai dengan etiologi dan keluhan pasien dapat mengurangi keluhan yang dirasakan pasien. Untuk mempermudah menegakkan diagnosa dapat dilakukan pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan urin, darah rutin, Ultrasonografi.

46

DAFTAR PUSTAKA

Basuki, purnomo. 2011. Dasar-dasar Urologi. Jakarta: FKUI Guyton, C. Hall. 2008. Buku ajar fisiologi kedokteran. Jakarta : EGC Price, sylvia. 2005. Dasar-dasar petofisiologi: jilid 2. Jakarta EGC Sudoyo, dkk. 2011. Ilmu penyakit dalam. Jakarta : Interna publishing Snell, dkk. 2007. Anatomi klinis. Jakarta : EGC

You might also like