You are on page 1of 8

EPISTAKSIS 1.1.

Definisi Epistaksis adalah keluarnya darah dari hidung, bukan merupakan suatu penyakit, melainkan suatu gejala dari suatu kelainan. Epistaksis sering ditemukan sehari-hari dan hampir 90% epistaksis dapat berhenti sendiri atau dengan tindakan sederhana yang dlakukan oleh pasien sendiri dengan jalan menekan hidungnya. Perdarahan bisa ringan sampai serius dan bila tidak segera ditolong dapat berakibat fatal. Epistaksis biasanya terjadi tiba-tiba yang membuat penderita selalu ketakutan sehingga perlu memanggil dokter.1.2.3 Epistaksis bukanlah merupakan suatu penyakit melainkan adalah gejala dari suatu penyakit.4 1.2. Anatomi Vaskuler Suplai darah cavum nasi berasal dari arteri karotis eksterna dan arteri karotis interna. Arteri karotis eksterna memberikan suplai darah terbanyak pada cavum nasi melalui :4 1. Arteri sphenopalatina, cabang terminal arteri maksilaris yang berjalan melalui foramen sphenopalatina yang mendarahi septum tiga perempat posterior dan dinding lateral hidung. 2. Arteri palatina desenden memberikan cabang arteri palatina mayor, yang berjalan melalui kanalis incisivus palatum durum dan menyuplai bagian inferoanterior septum nasi. Sistem karotis interna melalui arteri oftalmika mempercabangkan arteri ethmoid anterior dan posterior yang mendarahi septum dan dinding lateral superior.

1.3. Klasifikasi Walaupun sirkulasi kavum nasi sangat kompleks, epistaksis biasanya dibagi atas pendarahan anterior atau posterior.5,6 o Epistaksis anterior dapat berasal dari pleksus Kiesselbach atau dari arteri etmoid anterior. Pleksus Kiesselbach menjadi sumber perdarahan yang paling sering pada epistaksis, terutama pada anak-anak, biasanya dapat berhenti sendiri (secara spontan) dan mudah diatasi. o Epistaksis posterior dapat berasal dari arteri sfenopalatina dan arteri etmoid posterior. Perdarahan biasanya hebat dan jarang berhenti dengan sendirinya. Sering ditemukan pada pasien dengan hipertensi, arteriosklerosis atau pasien dengan penyakit kardiovaskuler. Perdarahan ini disebabkan oleh pecahnya arteri sfenopalatina. 1.4. Etiologi Perdarahan hidung diawali dengan pecahnya pembuluh darah di selaput mukosa hidung. Delapan puluh persen perdarahan berasal dari pembuluh darah pleksus Kiesselbach. Pleksus Kiesselbach terletak di septum nasi bagian anterior, di belakang persambungan mukokutaneus tempat pembuluh darah yang kaya anastomosis.4 Epistaksis dapat disebabkan oleh sebab-sebab lokal dan umum atau kelainan sistemik.4,7 1. Lokal a. Trauma Epistaksis yang berhubungan dengan trauma biasanya karena mengeluarkan sekret dengan kuat, bersin, mengorek hidung, atau trauma seperti terpukul. Selain itu iritasi oleh gas yang merangsang dan trauma pada pembedahan bisa juga menyebabkan epistaksis.

b. Infeksi Infeksi hidung dan sinus paranasal, rhinitis, sinusitis, serta granuloma spesifik seperti sifilis, lepra, dan lupus dapat menyebabkan epistaksis. c. Neoplasma

Epistaksis yang berhubungan dengan neoplasma biasanya sedikit dan intermiten, kadang-kadang disertai mucus yang bernoda darah. Hemangioma, karsinoma, dan angiofibroma dapat menyebabkan epistaksis berat. d. Kelainan kongenital Kelainan kongenital yang sering menyebabkan epistaksis adalah teleangiektasis hemoragik herediter. Pasien ini juga menderita teleangiektasis di tangan, wajah, atau bahkan di traktus gastrointestinal atau di pembuluh darah paru. e. Sebab-sebab lain termasuk benda asing dan perforasi septum Perforasi septum dan benda asing hidung dapat menjadi predisposisi perdarahan hidung. Bagian anterior septum nasi, bila mengalami deviasi atau perforasi, akan terpapar aliran udara pernafasan yang cenderung mengerikan aliran sekresi hidung. Pembentukan krusta yang keras dan usaha pelepasan krusta dengan jari dapat menimbulkan trauma. Pengeluaran krusta berulang menyebabkan erosi membrane mukosa septum dan menyebabkan perdarahan. f. Faktor lingkungan Misalnya tinggal di daerah tinggi, tekanan udara rendah atau lingkungan udaranya sangat kering.

2. Sistemik a. Kelainan darah misalnya trombositopenia, hemofilia, dan leukemia. b. Penyakit kardiovaskuler Hipertensi dan kelainan pembuluh darah, seperti pada arterisklerosis, nefritis kronis, sirosis hepatis, sifilis, diabetes melitus dapat menyebabkan epistaksis. Epistaksis akibat hipertensi biasanya hebat, sering kambuh dan prognosisnya kurang baik. c. Biasanya infeksi akut pada demam berdarah d. Gangguan endokrin Wanita hamil, menars dan menopause sering juga dapat menimbulkan epistaksis. 1.5. Gambaran Klinis dan Pemeriksaan Pasien sering menyatakan bahwa perdarahan berasal dari bagian depan dan belakang hidung. Perhatian ditujukan pada bagian hidung tempat awal terjadinya perdarahan atau pada bagian hidung yang terbanyak mengeluarkan darah.4,6

Untuk pemeriksaan yang adekuat pasien harus ditempatkan pada posisi dan ketinggian yang memudahkan pemriksa bekerja. Harus cukup sesuai untuk mengobservasi atau mengeksplorasi sisi dalam hidung. Dengan spekulum hidung dibuka dan dengan alat penghisap dibersihkan semua kotoran dalam hidung baik cairan, sekret maupun darah yang sudah beku. Sesudah dibersihkan semua lapangan hidung diobservasi untuk mencari tempat dan faktor-faktor penyebab perdarahan.4 Setelah hidung dibersihkan, dimasukkan kapas yang telah diberi larutan anestesi lokal yaitu larutan pantokain 2% atau larutan lidokain 2% yang ditetesi larutan adrenalin 1/1000 ke dalam hidung untuk menghilangkan rasa sakit dan membuat vasokonstriksi pembuluh darah sehingga perdarahan dapat berhenti sementara. Sesudah 5-10 menit kapas dalam hidung dikeluarkan dan dilakukan evaluasi.4 Pasien yang mengalami perdarahan berulang atau sekret berdarah dari hidung yang bersifat kronik memerlukan fokus diagnostik yang berbeda dengan pasien perdarahan hidung aktif yang prioritas utamanya adalah menghentikan perdarahan.4 Pemeriksaan yang diperlukan berupa :4,6 1. Rinoskopi anterior Pemriksaan harus dilakukan secara teratut dari anterior ke posterior, vestibulum, mukosa hidung, septum nasi, dinding lateral hidung dan konka inferior harus diperiksa dengan cermat. 2. Rinoskopi posterior Pemriksaan nasofaring dengan rinoskopi posterior penting untuk pasien dengan epistaksis berulang dan secret hidung kronik untuk menyingkirkan neoplasma. 3. Pengukuran tekanan darah Tekanan darah perlu diukur untuk menyingkirkan hipertensi. 4. Rontgen sinus Rontgen sinus penting untuk mengenali neoplasma atau infeksi. 5. Skrining terhadap koagulopati 6. Riwayat penyakit

1.6. Penatalaksanaan Tiga prinsip utama penanggulangan epistaksis :7 1. Menghentikan perdarahan

2. Mencegah komplikasi 3. Mencegah berulangnya epistaksis

Penanganan epitaksis yang tepat akan bergantung pada suatu anamnesis yang cermat. Hal-hal penting adalah sebagai berikut :8 1. Riwayat perdarahan sebelumnya 2. Lokasi perdarahan 3. Apakah darah terutama mengalir ke dalam tenggorokan (posterior) ataukah keluar dari hidung depan (anterior) bila pasien duduk tegak 4. Lama perdarahan dan frekuensinya 5. Kecendrungan perdarahan 6. Riwayat gangguan perdarahan dalam keluarga 7. Hipertensi 8. Diabetes mellitus 9. Penyakit hati 10. Penggunaan antikoagulan 11. Trauma hidung yang belum lama 12. Obat-obatan misalnya aspirin dan fenilbutazon

1.6.1. Perdarahan anterior Jika lokasi perdarahan telah ditemukan, vasokonstriktor harus diberikan bersama denagn obat-obat topikal seperti larutan kokain 4% atau oxymetazoline atau phenylephrine. Untuk perdarahan yang lebih aktif perlu diberikan anestesi topikal seperti lidocain dan tetrakain. Sebelum penatalaksanaan dilakukan harus diberikan obat-obat anestesi topical yang adekuat. Obat-obat intravena bisa diberikan pada kasus yang sulit atau pada penderita yang cemas.5,6

1.6.2. Perdarahan posterior Perdarahan posterior diatasi dengan pemasangan tampon posterior atau tampon Bellocq, dibuat dari kasa dengan ukuran 3x2x2 cm dan mempunyai 3 buah benang, 2 buah pada satu sisi dan sebuah lagi pada sisi yang lainnya. Tampon harus menutup koana (nares posterior).4 Teknik pemasangan Untuk memasang tampon Bellocq dimasukkan kateter karet melalui nares anterior sampai tampak di orofaring dan kemudian ditarik ke luar melalui mulut. Ujung kateter kemudian diikat pada dua buah benang yang terdapat pada satu sisi tampon Bellocq dan kemudian kateter ditarik keluar hidung. Benang yang telah keluar melalui hidung kemudian ditarik, sedang jari telunjuk tangan yang lain membantu mendorong tampon ini kearah nasofaring. Jika masih terjadi perdarahan dapat dibantu dengan pemasangan tampon anterior, kemudian diikat pada sebuah kain kasa yang diletakkan di depan lubang hidung, supaya tampon yang terletak di nasofaring tidak bergerak. Benang yang terdapat pada rongga mulut terikat pada sisi lain dari tampon Belloq, dilekatkan pada pipi pasien. Gunanya ialah untuk menarik tampon keluar melalui mulut setelah 2-3 hari.3,4 Pada epistaksis berat dan berulang yang tidak dapat diatasi dengan pemasangan tampon anterior maupun posterior, dilakukan ligasi arteri. Ligasi a. etmoid anterior dan posterior dapat dilakukan dengan membuat sayatan di dekat kantus medialis dan kemudian mencari kedua pembuluh darah tersebut di dinding medial orbita. Ligasi a. maksilla interna yang terletak di fossa pterigomaksila dapat dilakukan melalui operasi Caldwell-Luc dan kemudian mengangkat dinding posterior sinus maksila.3

Tampon Posterior

1.7. Komplikasi Tindakan Akibat pemasangan tampon anterior dapat menyebabkan sinusitis (karena ostium tersumbat), air mata yang berdarah karena darah mengalir secara retrograde melalui duktus nasolakrimalis dan septikemia.4 Akibat pemasangan tampon posterior dapat timbul otitis media, haemotympanum, serta laserasi palatum mole dan sudut bibir bila benang yang dikeluarkan melalui mulut terlalu kencang ditarik.4

DAFTAR PUSTAKA

1. Wain

Liz,

2006.

http://www.healthatoz.com/healthatoz/Atoz/common/standard/

transform.jsp?requestURI=/healthatoz/Atoz/ency/smellingdisorders.jsp. 2. Kris, 2008. http://thtkl.wordpress.com/2008/09/25/gangguan-penciumanpenghindu/. 3. Mangunkusumo E. Gangguan Penghidu. In : Soepardi EA, Iskandar N editors. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. 6 th ed. Jakarta: Balai Penerbit FK-UI, 2007. 4. Ikhsan M, 2001. http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/15_Penatalaksanaan

Epistaksis. pdf/15_PenatalaksanaanEpistaksis. html. 5. Kucik Corry, 2005. http://www.aafp.org/afp/20050115/305.html. 6. The Merck Manual, 2005. http://www.merck.com/mmpe/sec08/ch091/ch091c.html. 7. Arif Mansur, 2006. http://www.geocities.com/kliniktehate/penyakit-hidung/

epistaksis.htm. 8. Hilger Peter, 1997. Penyakit Hidung. Dalam Boies Buku

Ajar Penyakit THT edisi 6. Jakarta: EGC.

You might also like