Professional Documents
Culture Documents
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas segala rahmat dan karunia-Nya saya dapat menyelesaikan pembuatan kliping ini yang berjudul Hukum dan Peradilan Internasional. Tugas ini saya susun untuk memenuhi salah satu tugas mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan.
Terimakasih saya ucapkan kepada pihak - pihak yang telah membantu terselesaikannya tugas ini. Saya menyadari bahwa pembuatan karya ilmiah ini masih jauhg daripada apa yang dikatakan sempurna. Namun, saya berharap kliping ini dapat bermanfaat bagi para pembacanya. Segala kritik dan saran yang membangun akan saya terima dengan senang hati.
Akhir kata, semoga Tuhan Yang Maha Esa melimpahkan berkat, rahmat dan karuniaNya untuk membalas segala kebaikan semua pihak yang telah membantu saya dalam menyusun dan menyelesaikan kliping ini. Terimakasih.
Penyusun
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ...................................................................................................................... Daftar Isi ............................................................................................................................... BAB I Latar Belakang Dibentuknya Hukum dan Peradilan Internasional ....................................... BAB II Hukum Internasional ............................................................................................................. BAB III Pengadilan Internasional ....................................................................................................... BAB IV Visi - Misi Hukum dan Peradilan Internasional ................................................................... BAB V Keuntungan Adanya Hukum an Peradilan Internasional ...................................................... Daftar Pustaka .......................................................................................................................
Pengertian Volkernrechtdan Ius Gentium sebenarnya tidak sama karena dalam hukum Romawi, istilah Ius Gentum mempunyai pengertian berikut ini. a. Hukum yang mengatur hubungan antara dua orang warga kota Roma dan orang asing (orang yang bukan warga kota Roma). b. Hukum yang diturunkan dari tata tertib alam yang mengatur masyarakat segala bangsa, yaitu hukum alam (natuurecht). Menjadi dasar perkembangan hukum internasional di Eropa pada abad ke-15 sampai abad ke-19.
Dalam perkembangan berikutnya, pemahaman tentang hukum internasional dapat dibedakan dalam 2 (dua) hal, yaitu: a. Hukum perdata Internasional, yaitu hukum internasional yang mengatur hubungan hukum antar warga negara suatu negara dan warga negara dari negara lain (antar bangsa). b. Hukum Publik Internasional, yaitu hukum internasional yang mengatur negara yang satu dan negara yang lain dalam hubungan internasional (hukum antar negara).
b. Organisasi internasional yang memiliki keanggotaan global dengan maksud dan tujuan yang bersifat spesifik, contohnya adalah World Bank, UNESCO, International Monetary Fund, International Labor Organization, dan lain-lain; c. Organisasi internasional dengan keanggotaan regional dengan maksud dan tujuan global, antara lain: Association of South East Asian Nation (ASEAN), Europe Union. 3. Palang Merah Internasional Pada awal mulanya, Palang Merah Internasional merupakan organisasi dalam ruang lingkup nasional, yaitu Swiss, didirikan oleh lima orang berkewarganegaraan Swiss, yang dipimpin oleh Henry Dunant dan bergerak di bidang kemanusiaan. Kegiatan kemanusiaan yang dilakukan oleh Palang Merah Internasional mendapatkan simpati dan meluas di banyak negara, yang kemudian membentuk Palang Merah Nasional di masing-masing wilayahnya. Palang Merah Nasional dari negar-negara itu kemudian dihimpun menjadi Palang Merah Internasional (International Committee of the Red Cross/ICRC) dan berkedudukan di Jenewa, Swiss. 4. Tahta Suci Vatikan Tahta Suci Vatikan di akui sebagai subyek hukum internasional berdasarkan Traktat Lateran tanggal 11 Februari 1929, antara pemerintah Italia dan Tahta Suci Vatikan mengenai penyerahan sebidang tanah di Roma. Perjanjian Lateran tersebut pada sisi lain dapat dipandang sebagai pengakuan Italia atas eksistensi Tahta Suci sebagai pribadi hukum internasional yang berdiri sendiri, walaupun tugas dan kewenangannya, tidak seluas tugas dan kewenangan negara, sebab hanya terbatas pada bidang kerohanian dan kemanusiaan, sehingga hanya memiliki kekuatan moral saja, namun wibawa Paus sebagai pemimpin tertinggi Tahta Suci dan umat Katholik sedunia, sudah diakui secara luas di seluruh dunia. 5. Kelompok Pemberontak/Pembebasan Kaum belligerensi pada awalnya muncul sebagai akibat dari masalah dalam negeri suatu negara berdaulat. Oleh karena itu, penyelesaian sepenuhnya merupakan urusan negara yang bersangkutan. Namun apabila pemberontakan tersebut bersenjata dan terus berkembang, seperti perang saudara dengan akibat-akibat di luar kemanusiaan, bahkan meluas ke negaranegara lain, maka salah satu sikap yang dapat diambil oleh adalah mengakui eksistensi atau menerima kaum pemberontak sebagai pribadi yang berdiri sendiri, walaupun sikap ini akan dipandang sebagai tindakan tidak bersahabat oleh pemerintah negara tempat
pemberontakan terjadi. Dengan pengakuan tersebut, berarti bahwa dari sudut pandang negara yang mengakuinya, kaum pemberontak menempati status sebagai pribadi atau subyek hukum internasional
6. Individu Lahirnya Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights)pada tanggal 10 Desember 1948 diikuti dengan lahirnya beberapa konvensikonvensi hak asasi manusia di berbagai kawasan, menyatakan individu adalah sebagai subyek hukum internasional yang mandiri. 7. Perusahaan Multinasional (MNC) Eksistensi MNC dewasa ini, memang merupakan suatu fakta yang tidak bisa disangkal lagi. Di beberapa tempat, negara-negara dan organisasi internasional mengadakan hubungan dengan perusahaan-perusahaan multinasional yang kemudian melahirkan hak-hak dan kewajiban internasional, yang tentu saja berpengaruh terhadap eksistensi, struktur substansi dan ruang lingkup hukum internasional itu sendiri.
atau utama yaitu Perjanjian internasional, kebiasaan internasional, dan asas hukum umum.
Menurut azas ini, negara melaksanakan hukum bagi semua orang dan semua barang yang ada di wilayahnya dan terhadap semua barang atau orang yang berada diwilayah tersebut, berlaku hukum asing (internasional) sepenuhnya. ASAS KEBANGSAAN
Asas ini didasarkan pada kekuasaan negara untuk warga negaranya, menurut asa ini setiap negara di manapun juga dia berada tetap mendapatkan perlakuan hukum dari negaranya, Asas ini mempunyai kekuatan extritorial, artinya hukum negera tersebut tetap berlaku juga bagi warga negaranya, walaupun ia berada di negara asing. ASAS KEPENTINGAN UMUM
Asas ini didasarkan pada wewenang negara untuk melindungi dan mengatur kepentingan dalan kehidupan masyarakat, dalam hal ini negara dapat menyesuaikan diri dengan semua keadaan dan peristiwa yang berkaitan dengan kepentingan umum, jadi hukum tidak terikat pada batas batas wilayah suatu negara. PACTA SUNT SERVANDA
Setiap perjanjian yang telah dibuat harus ditaati oleh pihak pihak yang mengadakannya. EGALITY RIGHTS
Tindakan suatu negara terhadap negara lain dapat dibalas setimpal, baik tindakan yang bersifat negatif ataupun posistif. COURTESY
Asas saling menghornati dan saling menjaga kehormatan negera REBUS SIG STANTIBUS
Asas yang dapat digunakan terhadap perubahan yang mendasar/fundamentali dalam keadaan yang bertalian dengan perjanjian itu
1. Mahkamah Internasional
Mahkamah internasional adalah lembaga kehakiman PBB berkedudukan di Den Haag, Belanda. Didirikan pada tahun 1945 berdasarkan piagam PBB, berfungsi sejak tahun 1946 sebagai pengganti dari Mahkamah Internasional Permanen. Mahkamah Internasional terdiri dari 15 hakim, dua merangkap ketua dan wakil ketua, masa jabatan 9 tahun. Anggotanya direkrut dari warga Negara anggota yang dinilai cakap di bidang hukum internasional. Lima berasal dari Negara anggota tetap Dewan Keamanan PBB seperti Cina, Rusia, Amerika serikat, Inggris dan Prancis.
Latar Belakang Terbentuknya Mahkamah Internasional Terbentuknya Mahkamah Internasional (International Court of Justice/ICJ) tidak terlepas dari hasil konperensi internasional yang diadakan di San Fransisco pada tahun 1945. Konperensi ini juga telah melahirkan Perserikatan Bangsa-bangsa (The United Nations/UN) yang merupakan organisasi internasional yang memiliki internasional legal personal. Ide mengenai lahirnya PBB tidak terlepas dari konsep pembentukan Liga Bangsa-bangsa (League of Nations) tahun 1922 yang juga mendirikan Mahkamah Internasional Permanen (The Permanent Court of International Justice/PCIJ) sebagai upaya untuk mempertahankan perdamaian serta upaya menyelesaikan sengketa secara damai. Namun ada perbedaan mendasar antara PCIJ dan ICJ yaitu bahwa negara anggota Liga Bangsa-bangsa tidak secara otomatis menjadi anggota PCIJ. Hal ini berbeda dengan anggota PBB yang otomatis juga merupakan anggota atau pihak yang dapat berperkara dalam
Mahkamah Internasional berdasarkan pasal 19 (1) Piagam Mahkamah Internasional. Mahkamah Internasional dibentuk berdasarkan suatu statuta yang dikenal dengan nama Statuta of International Court of Justice. Statuta ini dibentuk berdasarkan statuta Mahkamah Internasional Permanen/PCIJ yang telah dibubarkan dengan berbagai penyesuaian dan perombakan sesuai keadaan organisasi yang baru yaitu sebagai salah satu organ utama PBB. Dengan demikian muncul beberapa pendapat yang menyatakan bahwa Mahkamah Internasional adalah pengganti dari Mahkamah Internasional Permanen/PCIJ yang telah dibubarkan. Sedangkan Pasal 36 (5) Statuta Mahkamah Internasional secara tegas menyatakan bahwa bila ada negara yang menerima yurisdiksi PCIJ dengan suatu deklarasi sepihak maka hal ini dianggap juga ditujukan kepada Mahkamah Internasional. Walaupun demikian hal ini masih tergantung apakah deklarasi tersebut masih berlaku dan memiliki syarat-syarat tertentu. Sebagai contoh gugatan yang dilakukan oleh Portugal terhadap India dalam kasus The Right of Passage didasarkan pada Deklarasi tentang penerimaan yurisdiksi PCIJ oleh India pada tahun 1940. Gugatan Portugal yang diajukan kepada Mahkamah Internasional pada tahun 1955 masih dianggap tetap berlaku. Selain itu pasal 37 Statuta Mahkamah menegaskan bahwa suatu perjanjian atau konvensi yang masih mempunyai kekuatan berlaku dan dalam klausulnya menyatakan bahwa bila terjadi sengketa antar pihak-pihak akan diselesaikan ke PCIJ, maka penyelesaian sengketa tersebut harus dianggap ditujukan kepada Mahkamah internasional. Hal lainnya yang memperkuat pendapat bahwa Mahkamah Internasional adalah pengganti PCIJ adalah dalam ketentuan hukum acara yang berlaku atau Rules of Court berasal dari Rule of Court PCIJ yang mengalami perubahan. Dengan demikian terbentuknya Mahkamah Internasional tidak bisa dilepaskan dari peran Mahkamah Internasional permanen yang dibentuk oleh Liga Bangsa-Bangsa pada tahun 1922. Fakta yang muncul banyak kasus-kasu yang PCIJ yang tidak selesai dilanjutkan oleh Mahkamah Internasional.
Fungsi Mahkamah Internasional Adalah menyelesaikan kasus-kasus persengketaan internasional yang subyeknya adalah Negara. Ada 3 kategori Negara, yaitu : Negara anggota PBB, otomatis dapat mengajukan kasusnya ke Mahkamah Internasional. Negara bukan anggota PBB yang menjadi wilayah kerja Mahkamah intyernasional. Dan yang bukan wilayah kerja Mahkamah Internasional boleh mengajukan kasusnya ke
Mahkamah internasional dengan syarat yang ditentukan dewan keamanan PBB. Negara bukan wilayah kerja (statute) Mahkamah internasional, harus membuat deklarasi untuk tunduk pada ketentuan Mahjkamah internasional dan Piagam PBB.
Yuridikasi Mahkamah Internasional Adalah kewenangan yang dimilki oleh Mahkamah Internasional yang bersumber pada hukum internasional untuk meentukan dan menegakkan sebuah aturan hukum. Kewenangan atau Yuridiksi ini meliputi: Memutuskan perkara-perkara pertikaian (Contentious Case). Memberikan opini-opini yang bersifat nasehat (Advisory Opinion). Yuridikasi menjadi dasar Mahkamah internasional dalam menyelesaikan sengketa Internasional. Beberapa kemungkinan Cara penerimaan Yuridikasi sbb : Perjanjian khusus, dalam mhal ini para pihak yang bersengketa perjanjian khusus yang berisi subyek sengketa dan pihak yang bersengketa. Contoh kasus Indonesia degan Malaysia mengenai Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan. Penundukan diri dalam perjanjian internasional, Para pihak yang sengketa menundukkan diri pada perjanjian internasional diantara mereka, bila terjadi sengketa diantara para peserta perjanjian. Pernyataan penundukan diri Negara peserta statute Mahkamah internasional, mereka tunduk pada Mahkamah internasional, tanpa perlu membuat perjanjiankhusus. Keputusan Mahkamah internasional Mengenai yuriduksinya, bila terjadi sengketa mengenai yuridikasi Mahkamah Internasional maka sengketa tersebut diselesaikan dengan keputusan Mahkamah Internasional sendiri. Penafsiran Putusan, dilakukan jika dimainta oleh salah satu atau pihak yang bersengketa. Penapsiran dilakukan dalambentuk perjanjian pihak bersengketa. Perbaikan putusan, adanya permintaan dari pihak yang bersengketa karena adanya fakta baru (novum) yang belum duiketahui oleh Mahkamah Internasional.
Pidana Internasional adalah memutus perkara terhadap pelaku kejahatan berat oleh warga Negara dari Negara yang telah meratifikasi Statuta Mahkamah.
Latar Belakang Dibentuknya Mahkamah Pidana Internasional Masalah Perang Dunia II telah melahirkan pelbagai tindak pidana baru yang merupakan pelanggaran atas perjanjian-perjanjian yang telah ditandatangani diantara anggota negara liga bangsa-bangsa tersebut. Pelanggaran tersebut adalah bentuk kekejaman yang tiada taranya serta pelanggaran atas suatu hukum perang yang tiada bandingannya oleh pihak tentara Jerman dan sekutunya; kejadian-kejadian itu telah memperkuat kehendak untuk mengajukan kembali gagasan pembetukan suatu Mahkamah Pidana Internsional. Diantara pendukung gagasan pembentukan suatu Mahkamah tersebut sesudah Perang Dunia II adalah Prof Lauterpacht dan Hans Kelsen yang menegaskan bahwa pembentukan Mahkamah tersebut sangat penting untuk mengadili penjahat perang yang sekaligus membawa akibat penting terhadap perbaikan-perbaikan di dalam hubungan Internasional Atas dasar Deklarasi Moscow 1 November 1943 dan London Conference, maka pada tanggal 8 Agustus 1945 diadopsi the Agreement for the Prosecution and Punishment of Major War Criminals of the European Axis, and Establishing the Charter of the IMT , ditandatangani oleh 4 Negara pemenang perang yaitu Inggris, Perancis, Uni Soviet, dan Amerika Serikat. Charter tersebut yang merupakan lampiran dari Agreement. Perjanjian tersebut juga didukung oleh 19 negara. Karena kejahatan sudah terjadi sebelum Charter disusun, maka terjadi penentangan atas dasar ex post facto criminalization. Untuk menjawab tantangan tersebut, IMT menunjuk dua Konvensi Den Haag dan 1928 Kellog-Briand Pact, atas dasar crimes against peace. Di samping itu dikatakan bahwa apabila larangan pemberlakuan kejahatan secara retroaktif didasarkan atas keadilan, adalah lebih tidak adil apabila penjahat-penjahat perang NAZI tidak dipidana. Pada bulan Desember 1945 Charter dimodifikasi dan menghasilkan apa yang dinamakan Control Council Law No.10 yang menjadi dasar pelbagai peradilan baik yang dilakukan oleh Negara-negara sekutu maupun pengadilan sipil di jerman yang berlanjut beberapa dekade kemudian. Yang menarik di sini adalah penerapan crimes against humanity terlepas dari keadaan perang, sehingga bisa menjangkau kejahatan-kejahatan yang terjadi sebelum tahun 1939 yang dilakukan terhadap penduduk sipil. American Military Tribunal juga mengadili kelompok terdakwa seperti hakim, dokter, birokrat dan perwira militer atas dasar Control Council Law No.10 di atas Sejak Perang Dunia kedua, pandangan tentang keadilan suksesor
telah didominasi oleh nilai-nilai yang didapatkan dari pengadilan Nuremburg. Signifikansi pengadilan tersebut paling mudah ditempatkan dalam konteks sejarah dan politisnya, dengan melihat keadilan transisonal pasca Perang Dunia pertama dan kegagalan kebijakan pengadilan nasionalnya. Kebijakan keadilan di Versailles melatarbelakangi kebijakan pengadilan di Nuremburg dan menjelaskan mengapa pengadilan nasional dianggap terlalu politis dan tidak dapat bekerja. Kegagalan pengadilan nasional nasional pasca Perang Dunia pertama dianggap bertanggungjawab untuk kembalinya agresi Jerman. Rasa Bersalah yang berkaitan dengan perang dan ditanggung oleh seluruh negeri dianggap mencegah transisi nmenuju demokrasi yang berkelanjutan. Pandangan bahwa keadilan nasional bersifat terlalu politis ini menjadi latar belakang kebijakan pasca perang sebelumnya, dengan akibat yang akan terlihat sepanjang sisa abad ke20 Di wilayah Pasifik, tentara sekutu yang menang perang membentuk IMTFE untuk mengadili para penjahat perang Jepang atas dasar ketentuan yang berlaku di Nuremberg. Kondisinya lebih maju, karena para hakim direkrut dari 11 negara termasuk India, China dan Filipina, sedangkan pada IMT Nuremberg para hakim hanya ditunjuk dari Amerika Serikat, Inggris, Perancis dan Rusia
Dijadikan pedoman untuk mengatur hubungan antar bangsa atau antar subjek hubungan antar bangsa atau antar subjek hukum internasional hukum internasional Untuk menyelesaikan konflik apabila terjadi gesekan dalam hubungan antar subjek hukum gesekan dalam hubungan antar subjek hukum internasional sehingga bisa diselesaikan internasional sehingga bisa diselesaikan secara damai
Dapat disimpulkan, bahwa hukum dan peradilan internasional tentu akan membawa dampak positif. Tapi, hal ini akan terasa lebih efektif bila setiap negara dapat bekerjasama dalam mentaati hukum dan peradilan internasional tersebut. Karena itu, setiap negara, termasuk Indonesia, harus dapat bekerjasama untuk mengefektifkan keberadaan hukum dan peradilan internasional tersebut. Hal ini harus dilakukan demi tercapainya suatu cita - cita internasional, yaitu terwujudnya suatu keadilan sosial dan suatu perdamaian dunia.
DAFTAR PUSTAKA
http://adedidikirawan.wordpress.com/2009/11/19/mahkamah-pidanainternasioanal/ http://pkbh.uad.ac.id/pengadilan-pidana-internasional http://khafidsociality.blogspot.com/2011/05/sejarah-dan-latar-belakangdibentuknya.html