You are on page 1of 20

0

HADITS, SUNNAH, ATSAR, KHABAR DAN HADITS QUDSI


(Kajian tentang Similasi dan Distingsi Terminologis serta
Implikasinya dalam Kajian Pendidikan Islam)

MAKALAH
Disusun sebagai tugas Ujian Akhir Semester
Studi Al-Qur-an dan Al-Sunnah

Oleh:
Akhid Nasrulloh



Dosen Pengampu:
Dr. Asaril Muhajir, M.Ag









INSTITUT AGAMA ISLAM TRIBAKTI (IAIT) KEDIRI
PROGRAM PASCASARJANA
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
2014

1

A. Pendahuluan
Dalam menjalankan praktek keagamaannya, umat Islam berpedoman
pada dua sumber penting. Yaitu Al-Quran dan Sunnah. Keduanya
merupakan wahyu Allah yang diinformasikan kepada Nabi Muhammad SAW
untuk disampaikan kepada umat Nabi SAW sebagai petunjuk atas segala hal
dalam kehidupan umat manusia.
Jikalau diskursus tentang Al-Quran tidak terlalu banyak
memunculkan problema, karena memang Al-Quran telah tersistematisasi
dalam mushaf sejak lama, maka untuk sunnah Nabi masih terdapat beberapa
permasalahan yang belum dipecahkan secara memuaskan. Terutama jika itu
ditarik ke dalam ruang lingkup keilmuan tentang sunnah Nabi atau studi
Hadits.
Salah satu contoh yang sangat mudah ditemui adalah tentang
peristilahan yang dipergunakan untuk menyebut sumber kedua hukum Islam
itu. Kita sering mendengar istilah hadits, sunnah, khabar, atsar ataupun hadits
qudsi. Akan tetapi kita juga sering menjumpai bahwa istilah itu sering
dipertukarkan dalam penggunaannya, hingga seakan-akan tidak ada
perbedaan diantara keduanya. Padahal bagaimana mungkin sebuah istilah
lahir tanpa adanya konteks pemakaian? Apakah semua istilah lahir begitu
saja? Terlebih ini untuk menyebut Sunnah Nabi Agung Muhammad SAW.
Penjelasan akan hal ini sangat penting untuk dilakukan agar terdapat
semacam pemilahan-pemilahan yang sesuai dengan konteks istilah tersebut.
Terlebih jika itu dikaitkan dengan kajian dalam bidang keilmuan tertentu,
pendidikan Islam misalnya, maka pembedaan ini menjadi sangat penting
untuk menghindari kekaburan identitas dalam kajian.
Mempertimbangkan hal tersbut di atas, setidaknya makalah ini kurang
lebih akan membahas tentang beberapa hal seperti: pengertian Hadits,
Sunnah, Khabar, Atsar, dan Hadits Qudsi; Perbedaan Ulama tentang definisi
masing-masing istilah itu; perbedaan diantara ke lima hal itu; dan Implikasi
penggunaan varian istilah Hadits dalam kajian pendidikan Islam.

2

B. Pembahasan
1. Hadits
Istilah Hadis
1
atau Hadits seringkali dimaksudkan untuk
menunjukkan hal-hal yang terkait dengan diri Nabi Muhammad SAW,
baik yang berbentuk perbuatan, sabda (perkataan), persetujuan maupun
hal-hal lain yang lebih luas. Akan tetapi tidak sedikit pula yang menyebut
hal itu dengan istilah sunnah. Inilah yang selalu menjadi perbincangan
wajib dalam setiap literatur-literatur studi hadits.
Beberapa literatur yang membahas tentang hadits, selalu memulai
mengartikan istilah Hadits dari tinjauan kebahasaan (etimologi). Barang
kali ini menjadi sangat urgen mengingat bahwa setiap kata yang menjadi
istilah pasti memiliki asal-usul penggunaan sebelum kata tersebut
berkembang dan menyempit maknanya dalam peristilahan keilmuan
tertentu. Kata Hadits (dalam teks arab: ) dalam tinjauan kebahasaan
(etimologis), memiliki kemiripan arti dengan kata:
yang dalam penjelasan Abdul Majid memiliki beberapa makna
seperti baru (al-jiddah), lemah lembut (ath-thariy), dan bermakna berita,
pembicaraan atau perkataan (al-khabr wa al-kalaam).
2
Oleh karenanya
dari makna khabr (berita) inilah Hasbi Al-Shiddiqiy berpendapat bahwa
makna itu sering dihubungkan dengan kata tahdits yang berarti
periwayatan atau ikhbar yang berarti penyampaian berita.
3
Betatapun
konten sebuah hadits dimodifikasi, di dalamnya tetap terdapat unsur
ikhbar (mengabarkan) ataupun tahdits (mengucapkan dalam rangka
memberitahukan). Penggunaan kata Hadits dalam berbagai konteks

1
Kata Hadis ini,_dengan menggunakan ejaan berakhiran huruf s, bukan ts, telah terserap ke
dalam lingkup Bahasa Indonesia dengan pengertian sabda, perbuatan, takrir (ketetapan) Nabi
Muhammad saw. yg diriwayatkan atau diceritakan oleh sahabat untuk menjelaskan dan
menentukan hukum Islam; atau bisa diartikan sumber ajaran Islam yg kedua setelah Alquran.
Lihat dalam Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia versi online 1.1
2
Lihat dalam: Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, (Jakarta: Amzah, 2012), hal: 1-2
3
TM. Hasbi Al-Shiddiqiy, Sejarah dan Pengantar Hadits (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1997),
hal: 1
3

kalimat dan berbagai arti ini juga dapat dilacak dalam beberapa ayat Al-
Qur-an seperti pada surat Adl-Dhuha ayat 11:
E`4 gOEugL)
El)4O ;[g-EC ^
Dan terhadap nikmat Tuhanmu, maka hendaklah kamu siarkan
4

Penggunaan kata Hadits tersebut juga terdapat dalam sabda Nabi
SAW seperti misalnya pada sabda Nabi Muhammad SAW:

- -

- -

.
5

Dari Abdurrahman bin Abdulloh bin Masud dari ayahnya, dari Nabi
SAW, bahwa ayahnya tersebut berkata: Abdul Razaq berkata saya
mendengar Rasululloh SAW bersabda: semoga Allah memberikan
cahaya pada orang yang mendengar hadits dari saya, kemudian
menghafalkannya lalu menyampaikannya, maka banyak orang yang
menyampaikan itu lebih hafal daripada orang yang (hanya) mendengar
(HR. Ahmad)
Penggunaan kata Hadits dalam beberapa ayat Al-Qur-an dan Teks
Hadits tersebut pada akhirnya juga menjadi sandaran beberapa pakar
hadits untuk menguatkan argumen-argumen mereka tentang terminologi
hadis.
Ketika segala hal yang dinisbatkan kepada Nabi Muhammad
SAW ini menjadi objek kajian keilmuan dalam disiplin ilmu Musthalah
al-Hadits, maka terdapatlah varian definisi yang bermunculan untuk

4
Kata fa haddits dalam ayat tersebut dimaknai sebagai: berita, informasi yang disebarkan.
Sebagaimana yang dikemukakan oleh Al-Imam Jalal al-Diin Al-Mahalli dan Al-Imam Jalal al-
Diin Al-Suyuthi dalam Tafsir Beliau. Penggunaan kata Hadits telah terlihat dalam beberapa
bentuk yang bervariatif. Lihat: Jalal al-Diin Al-Mahalli dan Jalal al-Diin Al-Suyuthi, Tafsir al-
Quran al-Adziim (--:Dar al-Fikr), Hal: 441
5
Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal, Musnad Ahmad, (--: Wizarah Auqof al-
Mishriyyah), Juz IX hal:267, CD Maktabah Syameela: Ishdar II
4

mengurai hakikat hal-hal yang datang atau disandarkan pada Nabi
Muhammad SAW. Maka dalam literatur studi Hadits terdapat beberapa
definisi tentang Hadits. Misalnya definisi Hadits yang diungkapkan oleh
Muhadditsin (ulama hadis) seperti:
Dr. Mahmud Al-Thahan:
6


Sesuatu yang disandarkan kepada Nabi, yang meliputi
perkataan, perbuatan, persetujuan, maupun sifat.
Syaikh Mahfudz At-Turmusiy (Syaikh Mahfudz Termas,
Pacitan)

7

Bahwa Hadits itu bukan hanya untuk sesuatu yang
marfu, yaitu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad
SAW; melainkan juga bisa berupa sesuatu yang mauquf
yaitu yang disandarkan kepada shahabat dan juga bisa
sesuatu yang maqtu yaitu yang disandarkan kepada
tabiin
Syaikh Jalaluddin Abdurrahman Al-Suyuthi
8
yang mengutip
dari Syaikhul Islam Ibnu Hajar, bahwa Hadits adalah sesuatu

6
Mahmud Al-Thahan, Taisir Mushthalahu al-Hadits (Kuwait:--, 1415 H) Hal: 17
7
Muh Mahfudz bib Abdillah At-Tirmisiy, Manhaj Dzawi al-Nadzr (Jeddah: al-Haramain, 1974),
hal: 8
8
Dari keterangan Imam Suyuthi,terlihat bahwa perbedaan Ulama terkait definisi Hadits telah
berlangsung sejak dahulu. Keterangan lebih lengkap bisa diperiksa dalam: al-Hafidz Ibnu Hajar
al-Asqalaniy, Nuzhat al-Nadzar fi Taudlihi Nukhbati al-Fikar fi Mushthalahi Ahli al-Atsar,
(Maktabah Misykah: dalam CD Maktabah Syameela Ishdar II). Berikut kutipan dalam: Al-Imam
Jalal al-Din Abd al-Rahman al-Suyuthi, Tadriib Al-rawi fi Syarhi Taqriib Al_Nawawi, (Beirut:
Dar al-Kutb al-Ilmiyyah, 1996), hal: 11-12

: , , .
( 6 :)

- - ,

.
: - -

.
5

yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW. Dalam
uraiannya, Imam Suyuthi memaparkan bahwa memang terjadi
berbagai macam pengertian hadis. Bahkan dari macam-macam
definisi tersebut terkesan meniadakan perbedaan antara istilah-
istilah tersebut. Semuanya, baik itu hadits, atsar maupun
maupun khabar memang memiliki sisi kemiripan.
Akan tetapi dari kesemua definisi hadis yang telah dipaparkan di
atas, walaupun ada perbedaan pemaparan, tetapi semuanya memiliki
substansi yang sama, yaitu sebuah hal yang penyandarannya diarahkan
kepada Nabi SAW. Selain itu titik kesamaan lainnya adalah bahwa
substansi dari definisi tersebut mengarah kepada sebuah objek kajian.
Dalam arti setiap definisi di atas selalu mengisyaratkan kepada sebuah
hal yang disandarkan pada seseorang, yang itu menjadi objek kajian. Dan
pada kenyataannya memang para ahli Hadits menggunakan redaksi ma
udlifa, atau ma jaaa, ma utstsiro ilaihi dan sejenisnya. Hal ini
mengisyaratkan bahwa apa yang menjadi objek kajian ilmu hadits adalah
sesuatu yang disandarkan, yang pada kelanjutannya memerlukan proses
untuk memastikan bahwa apa yang disandarkan itu benar atau tidak,
berkualitas atau tidak, dapat dipertanggungjawabkan atau tidak, dan lain
sebagainya.
2. Sunnah
Dalam tinjauan kebahasaan sunnah berarti jalan, perjalanan atau
kebiasaan, baik itu positif maupun negatif.
9
Dalam ayat-ayat Al-Qur-an
maupun Hadits, juga sering dijumpai kata sunnah yang diartikan secara
bervariatif. Seperti misalnya pada surat An-Nisa ayat 26:

:

. :

-
- , ,

, : .

:
. , ,

: .

:
:

, ,

,
.

9
Muhammad bin Mukarram bin Mandzur, Lisan al-Arab (Beirut: Dar Shadir, tt)
6

C@ONC +.-
4))-4lN1g 7
4 C 4 g C 4 : c 4 E } =
=}Cg~-.- }g` :)U:~
=O+-4C4 7^OU4
+.-4 v1)U4 _1EO
^gg
Allah hendak menerangkan (hukum syari'at-Nya) kepadamu, dan
menunjukimu kepada jalan-jalan orang yang sebelum kamu (para
nabi dan shalihin) dan (hendak) menerima taubatmu. Dan Allah
Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana

Dalam ayat tersebut kata Sunnah (sunana) berarti jalan-jalan
(banyak jalan), sesuai dengan arti secara kebahasaannya. Hal yang serupa
juga bisa ditemui dalam Hadits Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Jarir
ibn Abdillah:

10
Barangsiapa membuat inisiatif yang baik, ia akan mendapatkan
pahala dan pahala orang-orang yang mengerjakannya
sesudahnya tanpa sedikitpun berkurang; dan barangsiapa
membuat inisiatif yang jelek, ia akan mendapatkan dosa dan
dosa-dosa orang yang mengerjakannya sesudahnya tanpa
sedikitpun berkurang (HR. Muslim)
Sedangkan sunnah menurut perspektif terminologi, terdapat
beberapa definisi yang di paparkan oleh para Ulama Hadits. Ambillah

10
Abu al-Husain ibn al-Hajjaj, Shahih Muslim, (Beirut: Dar al-Jail,--)
7

contoh Ajjaj Al-Khatib maupun Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki
yang menjelaskan sunnah dalam 3 sudut pandang
11
, yakni:
a. Sunnah menurut sebagian Muhadditsin: Segala apa yang
dinisbatkan kepada Rasululloh baik berupa perkataan,
perbuatan, ketetapan, karakter fisik dan etika, ataupun
kebiasaan-kebiasaan Nabi SAW baik sebelum diangkat menjadi
utusan-seperti berhannuts-nya beliau di gua Hira- maupun
setelah diangkat menjadi rasul.
Sementara menurut Muhadditsin yang lain, Sayyid Muhammad
menjelaskan bahwa sunnah itu termasuk segala sesuatu yang
dihubungkan kepada para sahabat atau tabiin, baik berupa
perkataan, perbuatan, taqrir ataupun sifat-sifatnya.
12

b. Sunnah menurut Ushuliyyin: Segala sesuatu yang bersumber
dari Nabi Muhammad SAW selain Al-Qur-an, baik berupa
perkataan, perbuatan, atau ketetapan yang patut dijadikan dalil
dalam penetapan hukum agama (syariat)
c. Sunnah menurut Fuqaha: Segala sesuatu yang telah
dipastikan berasal dari Nabi SAW yang bukan merupakan hal
fardlu juga bukan hal yang wajib
Sudut pandang dalam definisi di atas sudah sangat bisa dimaklumi
mengingat bahwa masing-masing ulama berangkat dari sudut pandang
keilmuan masing-masing. Keilmuan Ushul Fiqh memang menuntut
adanya dalil yang bisa dan layak untuk dijadikan dasar menentukan
hukum. Sementara keilmuan fiqh memang memiliki peristilahan
tersendiri yang itu berkaitan dengan bobot sebuah perintah (amr), apakah
itu wajib, sunnah, mubah, makruh atau haram. Sementara muhadditsin

11
Sebagaimana dikutip Aqib Muslim dalam: Akib Muslim, Ilmu Mustalahul Hadis: Kajian
Hstoris Metodologis (Kediri: STAIN Kediri Press,2010), hal:5. Periksa Juga dalam: Muhammad
Alwi Al-Maliki, Al-Manhallu al-Lathiifu fi Ushuuli al-Hadiitsi al-Syariifi, terj. Adnan Qohar
(Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hal: 4-5
12
Muhammad Alwi, Al-Manhallu, hal: 4
8

juga tidak seragam dalam memberikan definisi terhadap sunnah,
meskipun pada dasarnya tetap saja memiliki substansi yang sama.
Dalam sebuah perbandingan, banyak juga para ahli hadits yang
mencoba menjelaskan definisi sunnah dengan menghadapkannya pada
lawan kata sunnah yaitu bidah. Dengan kata lain, Sunnah adalah sesuatu
yang bukan bidah.
3. Khabar
Secara etimologis khabar () berarti berita. Dalam
pengembangan bentuk katanya, kata khabar bisa berarti pemberitaan,
baik itu berita yang benar maupun berita yang salah. Kata Khabar ini
tidak seperti kata Hadits dan Sunnah yang telah dipergunakan cukup
sering dalam ayat Al-Quran maupun Hadits.
Adapun secara terminologis, para ulama Hadits tidak sepakat
dalam mendefiniskan Khabar. Sebagian dari mereka berpendapat bahwa
khabar adalah sinonim dari kata hadits dan sebagian lagi tidak demikian.
Di antara definisi Khabar yang beredar di kalangan Muhadditisin
digambarkan secara lengkap oleh Ibnu Hajar sebagaimana sebagai
berikut:
:

. :

-
- , ,

, : .

: ,


. ,
13
Syaikhul Islam (Ibnu Hajar) menuturkan dalam syarh nuhbah:
khabar menurut pakar istilah merupakan sinonim dari hadits,
dimana keduanya merupakan sesuatu yang disandarkan pada Nabi
SAW, Sahabat dan Tabiin. pendapat lain mengungkapkan, bahwa

13
Al-Imam Jalal al-Din Abd al-Rahman al-Suyuthi, Tadriib Al-rawi fi Syarhi Taqriib Al_Nawawi,
(Beirut: Dar al-Kutb al-Ilmiyyah, 1996), hal: 11-12
9

hadits adalah sesuatu yang berasal dari Nabi SAW sementara khabar
berasal dari selain Nabi SAW. Maka dari itu ada yang menyebut
bahwa orang yang berkecimpung dalam kajian sunnah disebut
muhaddits, dan orang yang berkecimpung dalam bidang
tarikh/sejarah dan sesamanya disebut akhbariy. Pendapat lain
mengatakan dengan konsep umum-khusus, dalam arti setiap hadits
adalah khabar, dan belum tentu setiap khabar itu hadits.
Perbedaan dalam mengartikan khabar tersebut tampaknya masih
terlihat dalam literature-literatur hadits hingga kini. Para pakar
kontemporer seperti Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki, Manna
Khalil Qatthan, hingga Subhi Shalih tetap menguraikan perbedaan
definisi khabar diantara para Ulama. Hanya saja, Subhi Shalih terlihat
lebih memilih konsep umum-khusus dalam membedakan Khabar dan
Hadits.
14
Dalam arti bahwa setiap hadits itu pasti khabar, dan setiap
khabar belum tentu hadits. Karena bisa jadi khabar itu bukan bersandar
pada Rasulullah SAW, akan tetapi bisa jadi mauquf atau maqtu. Hal ini
mengingat bahwa khabar lebih dominan sebagai pemberitaan atau
pemberitahuan, dari manapun datangnya.
4. Atsar
Secara etimologi, Atsar dari segi bahasa artinya bekas sesuatu
atau sisa sesuatu dan berarti pula sesuatu yang dinukil (dikutip).
Misalnya sering terdengar ungkapan bahwa ini tafsir bil matsur yang
maksudnya adalah tafsir yang mengadopsi perkataan-perkataan atau
bekas-bekas orang sebelumnya.
Sedangkan atsar menurut istilah, juga memiliki perbedaan definisi
diantaranya adalah apa yang dipaparkan oleh Syaikh Dahlawi sebagai
berikut:

14
Periksa lebih Lanjut dalam: Muhammad Alwi Al-Maliki, Al-Manhallu al-Lathiifu fi Ushuuli al-
Hadiitsi al-Syariifi, terj. Adnan Qohar (Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2009); Subhi Shalih, Al-Hadits
wa Mushtalahuhu,; Manna Khalil Qattan, Pengantar Studi Ilmu Hadits, terj. Mifdlol A.
(Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2004), hal: 23-25
10







15
terkadang sebagian ulama mengkhususkan istilah hadits hanya
untuk sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW dan Sahabat,
sedangkan sesuatu yang disandarkan kepada tabiin disebut
Atsar. Terkadang istilah Atsar juga digunakan untuk menyebut
sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW, seperti misalnya
ucapan seseorang bahwa ini doa yang matsur, yang
menunjukkan bahwa itu berasal dari Nabi SAW.
Ketika melihat pendapat semacam ini, maka Mahmud Thahan
memetakan definisi Atsar dalam 2 hal
16
, yakni:
Atsar itu sama dengan Hadits, yaitu sesuatu yang disandarkan
kepada Nabi SAW
Atsar itu berbeda dengan hadits, yakni bahwa atsar merupakan
sesuatu yang disandarkan kepada sahabat dan tabiin yang
meliputi ucapan maupun perbuatan.
Selain itu, ada juga yang menambahkan bahwa Atsar hanya
terkhusus pada khabar yang mauquf atau maqtu. Istilah atsar bisa
digunakan untuk menyebut Hadits jika disertai keterangan bahwa itu
adalah hadits Nabi SAW. misalnya dalam sebuah riwayat disebutkan:
atsar ini dari Nabi SAW, maka berarti hal ini adalah hadits.

5. Hadits Qudsiy

15
Abd al-Haq al-Dahlawi, Muqaddimah fi Ushuli Al-Hadits (Beirut: Dar al-Basyair Al-
Islamiyyah,1986), cet. II, hal 34-36, CD Maktabah Syameela Ishdar II
16
Mahmud, Taisir, Hal: 17
11

Secara etimologi kata Qudsiy merupakan bentuk nisbah dari kata
Quds yang mempunyai arti bersih atau suci. Jikalau Quds berarti Suci,
maka ketika mendapat rangkaian huruf ya nisbah menjadi berarti: yang
berhubungan dengan hal yang suci atau disucikan.
>

=
Hadits Qudsi merupakan varian lain dari hadits yang berasal dari
Nabi SAW. Secara terminologis, pengertian hadits qudsi yang telah
disepakati Muhadditsin adalah bahwa Hadits Qudsi merupakan setiap hal
yang diriwayatkan oleh Nabi SAW dari Tuhan Yang Maha Agung.
Demikian yang diungkap dalam Syarh Arbain Nawawi.

:
Akan tetapi terdapat perbedaan di kalangan Muhadditsin terkait
lafadz (redaksi) Hadits Qudsi. Perbedaan tersebut berangkat dari
pertanyaan mendasar: apakah hadits qudsi itu kalam Allah dalam arti
makna dan lafadznya dari Allah sebagaimana Al-Quran- ataukah makna
(substansi) tersebut diwahyukan oleh Allah, kemudian Nabi SAW sendiri
yang memformulasikan redaksinya? Menanggapi pertanyaan ini, para
Ulama (semoga Allah merahmati mereka) berbeda pendapat. Pendapat
pertama mengatakan bahwa seluruh komponen dalam hadits qudsi yang
meliputi makna dan lafadz berasal dari Allah SWT. Karena pada
kenyataannya, Nabi SAW meriwayatkan hadits tersebut dengan
menyandarkannya kepada Allah SWT seperti sabda beliau

. Ini menunjukkan bahwa lafadz maupun makna Hadits tersebut dari


Allah SWT. Apalagi pada kenyataannya Nabi SAW adalah manusia yang
paling dapat dipercaya dan kuat riwayatnya. Tidak mungkin beliau
mengungkapkan itu dengan tanpa arti dan maksud. Pendapat kedua
seakan memberikan bantahan terhadap pendapat yang pertama. Para
Ulama ini menyatakan bahwa lafadz hadits qudsi merupakan lafadz
12

Nabi SAW, sedangkan maknanya dari Allah SWT. Hal ini dikarenakan
oleh beberapa alasan, yakni:
Jikalau hadits Qudsi dikatakan bahwa lafadz dan maknanya
dari Allah SWT, maka berarti hadits Qudsi memiliki mata
rantai sanad yang lebih tinggi dari Al-Quran. Karena semua
tahu bahwa hadits Qudsi diriwayatkan Nabi SAW dari Allah
SWT dengan tanpa perantara Malaikat Jibril. Sementara Al-
Quran disampaikan kepada Nabi SAW melalui malaikat Jibril.
Jikalau hadits Qudsi dikatakan bahwa lafadz dan maknanya
dari Allah SWT, maka akan tidak ada bedanya antara hadits
Qudsi dan Al-Qur-an yang sama-sama Kalam Allah. Padahal
Al-Quran telah memiliki kekhususan dan keistimewaan
seperti: bernilai ibadah bagi yang membacanya, harus suci
sebelum menyentuhnya, terjaga dari campur tangan manusia
dan lain sebagainya.
Menanggapi hal ini, maka yang diunggulkan adalah pendapat yang
kedua yakni bahwa lafadz hadits Qudsi merupakan lafadz Nabi SAW
sementara maknanya berasal dari Allah SWT.
Contoh Hadis Qudsi misalnya:

- -

-
-

.
17
) (
Diriwayatkan dari Abi Hurairah r.a., dari Nabi Muhammad, beliau
bersabda, Allah Azza wa Jalla berfirman, Puasa itu untukku, dan
Aku yang akan memberikan ganjarannya, disebabkan seseorang
menahan syahwatnya dan makannya serta minumnya karena-Ku, dan
puasa itu adalah perisai, dan bagi orang yang berpuasa dua

17
Abu al-Husain ibn al-Hajjaj, Shahih Muslim, (Beirut: Dar al-Jail,--)
13

kebahagiaan, yaitu kebahagian saat berbuka, dan kebahagiaan ketika
bertemu dengan Tuhannya, dan bau mulut orang yang berpuasa lebih
harum disisi Allah, daripada bau minya misk/kesturi

6. Substansi Perbedaan Hadits dan Sunnah
Istilah hadits dan sunnah memang sering dianggap muradif
(bermakna sama) oleh para Muhadditsin. Hal ini dikarenakan hadits dan
sunnah bermuara pada pusat yang sama yaitu Nabi SAW. Maka dalam
hal ini mereka menganggap bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan
dari dua istilah yang berbeda kata itu. Akan tetapi Muhadditsin yang lain
menganggap bahwa secara teknis terdapat perbedaan antara Hadis dan
Sunnah. Golongan yang menganggap adanya perbedaan ini tidak
memandang kesamaan muara hadis dan sunnah, akan tetapi mereka lebih
tertuju kepada substansi hadits dan sunnah.
Dalam keterangan Rifat Fawzi, sebagaimana dikutip oleh Dzikri,
bahwa distingsi (perbedaan dan pembedaan) antara Hadits dan Sunnah
telah muncul sejak abad ke-2 Hijriyah (sekitar tahun 100 Hijriyah dan
seterusnya).
18
Menurutnya, ada dua teori yang menyebabkan
munculnya distingsi tersebut muncul; pertama, perbedaan pandangan
bahwa hadis merupakan sesuatu yang bersifat teoritis, sedangkan
sunnah lebih bersifat praktis (amaliy); kedua, asumsi sebagian ulama
yang memandang sunnah lebih umum dari hadis. Penyandaran sunnah
tidak hanya kepada sabda, perbuatan, dan persetujuan Nabi SAW
semata (marfu), tetapi juga kepada sahabat (mawquf) dan tabiin
(maqthu), sementara hadis, penyandarannya hanya kepada Nabi saw.
(marfu).
19

Hal inilah yang kemudian menarik para sarjana muslim seperti
Fazlur Rahman untuk mengurai perbedaan antara Hadits dan Sunnah.

18
Dzikri Nirwana, Rekonsepsi Hadis Dalam Wacana Studi Islam: Telaah Terminologis Hadits,
Sunnah, Khabar, dan Atsar, Jurnal Edu-Islamika, Vol. 3 No.1 Maret 2012
19
ibid
14

Dalam Pandangan Rahman, Sunnah merupakan sesuatu yang telah
dipraktekkan sehari-hari oleh Nabi yang kemudian ditirukan oleh para
sahabat, tabiin dan seterusnya. Baginya, sunnah merupakan praktek-
praktek nyata dari apa yang yang diverbalisasi oleh Nabi dalam hadisnya.
Rahman menyebut Sunnah sebagai practical tradition (kebiasaan yang
dipraktekkan).
20

Maka jika demikian tentu dapat dipahami dengan mudah
perbedaan antara sunnah dan hadis. Sunnah lebih menekankan kepada
perilaku tampak atau kebiasaan yang dipraktekkan Nabi SAW dan diikuti
umatnya, seperti misalnya Nabi sedang Shalat, Nabi sedang bertutur kata,
Nabi sedang menyuapkan makanan untuk fakir miskin dan sejenisnya.
Sedangkan istilah hadis lebih tertuju kepada sebuah istilah teknis
keilmuan untuk menyebut periwayatan tentang apa yang ada pada diri
Nabi SAW. Buktinya, dalam setiap definisi Hadits, selalu didapatkan
kata maa adloofa, maa udliifu, atau maa yudloofu yang itu menunjukkan
penyandaran atau klaim. Karena itu hanya penyandaran atau klaim, maka
dalam studi hadits dipelajari tentang apakah sebuah hadits itu benar-
benar sampai kepada Rasululloh SAW atau terputus sanadnya, apakah
hadits itu shahih atau hasan atau dlaif dan kajian lain yang sejenis. Inilah
sebabnya mengapa dikatakan bahwa Hadis selalu berkaitan dengan
kajian keilmuan terhadap sunnah-sunnah Nabi SAW.
Dalam pandangan Akib, Hadits lebih terkait dengan unsur-unsur
seperti matan
21
, rawi
22
, sanad
23
dan sesamanya.
24
Ketika seseorang
menyebut Hadits, maka akan tertuju pada sebuah verbalisasi atau hasil
tangkapan sahabat terhadap apa yang terjadi pada diri Nabi SAW yang
itu kemudian diriwayatkan dalam sebuah mekanisme yang melibatkan

20
Fazlur Rahman, Islam, terj. Ahsin M (Bandung: Pustaka, 1984), hal: 69
21
Matan adalah isi dari sebuah hadits.
22
Rawi adalah orang yang meriwayatkan Hadits, orang yang menyampaikan hadits hingga sampai
kepada kita.
23
Sanad adalah silsilah atau rantai periwayatan mulai dari rawi yang pertama hingga terakhir.
24
Akib Muslim, Ilmu Mustalahul Hadis: Kajian Historis Metodologis (Kediri: STAIN Kediri
Press,2010), hal: 19-22
15

rowi, konten matan maupun sanad. Dengan bahasa sederhana, penulis
menyimpulkan bahwa sunnah itu sesuatu yang berada di alam nyata,
sementara hadist itu sesuatu yang berada di alam ide, hasil rekaman
tajam panca indra sahabat. Dan tampaknya asumsi ini senada dengan apa
yang telah dijelas oleh Al-Imam Ibnu Hajar yang mengatakan bahwa
orang yang berkecimpung dalam mengkaji sunnah disebut sebagai
Muhaddits.
25





Berikut merupakan tabel untuk memudahkan melihat distingsi
(perbedaan) antara sunnah dan hadits:
Istilah
Penyandaran
(dialamatkan
kepada..)
Bentuk Keberadaan
Sunnah
Nabi SAW, akan
tetapi bisa juga
sahabat, tabiin dan
lainnya
Practical
Tradition
(Perilaku tampak
yang
dipraktekkan)
Berada di alam
nyata, dan bisa
disaksikan
Hadits Nabi
Bentuk Verbal
dari perilaku
tampak yang
dipraktekkan
tersebut
Berada di alam
ide, yang
merupakan hasil
rekaman tajam
para sahabat

7. Perbedaan dan persamaan antara Hadits, Khabar, Atsar dan
Implikasinya dalam kajian Islam

25
Periksa lebih lanjut dalam: Al-Imam Jalal al-Din Abd al-Rahman al-Suyuthi, Tadriib Al-rawi fi
Syarhi Taqriib Al_Nawawi, (Beirut: Dar al-Kutb al-Ilmiyyah, 1996), hal: 11-12
16

Perdebatan para Ulama terkait peristilahan yang terkait Hadits
memang telah terjadi. Mereka mendefinisikan Sunnah, Hadits, Khabar
maupun Atsar dalam perspektifnya masing-masing. Akan tetapi jika
melihat definisi yang diuraikan, sebenarnya ada benarnya apa yang
diungkapkan oleh Hasbie Ash-Shiddiqiy, bahwa perbedaan definisi itu
tidak prinsipil.
26
Dalam arti perbedaan-perbedaan seputar apakah istilah
itu sama atau berbeda diantara yang lain hanyalah berbeda sudut pandang
yang tidak sampai mengarah pada kerancuan penyebutan objek. Misalnya
ketika seseorang mengatakan ini hadits, ini khabar, atau ini atsar, maka
tentu yang dimaksud adalah sesuatu yang berhubungan dengan Nabi
SAW, kecuali jika terdapat keterangan bahwa itu memang bukan dari
Nabi SAW. Dan memang pada kenyataannya, dalam literature-literatur
Islam klasik penyebutan istilah itu disamakan atau dipertukarkan satu
sama lain.
Perbedaan penyebutan istilah di kalangan Ulama menurut
penulis lebih disebabkan karena masing-masing kata tersebut memang
memiliki makna yang layak untuk menyebut sebuah berita yang diklaim
datang dari Nabi SAW. Misalnya kata Hadits yang berari omongan atau
pembicaraan; atau kata khabar yang berarti kabar atau berita; atau kata
atsar yang berarti bekas atau sisa memang kesemuanya itu layak untuk
menyebut sesuatu yang berhubungan dengan Nabi SAW. Walaupun
demikian adanya, kita juga tetap perlu mempertimbangkan konsep
keumuman dan kekhususan istilah tersebut, sebagaiman dinyatakan
dalam pemaparan terdahulu. Maka konteks ini menurut penulis, hal yang
penting dilakukan adalah adanya qoyyid atau penjelasan dari manakah
riwayat itu berasal.
Dalam kaitannya dengan kajian keIslaman maupun terkhusus
pada kajian pendidikan Islam, perbedaan penyebutan istilah tersebut
memang bisa jadi berpotensi menimbulkan kerancuan, terutama pada

26
TM Hasbie Ash-Shiddiqiy, Sejarah dan Pengantar Hadis (Semarang: Pustaka Rizki Putra,1997),
cet 1.
17

terma hadits dan sunnah. Hadits dan Sunnah memiliki perbedaan yang
cukup jelas, yang jika itu disamakan maka bisa jadi akan menimbulkan
ketidakjelasan dalam kajian. Karena hadits lebih terkait dengan
seperangkat formula matan, sanad dan rowi yang itu merupakan hasil
tangkapan panca indra, sedangkan sunnah lebih kepada apa yang
dipraktekkan oleh Nabi SAW. Asumsi lain dari penulis, kajian dalam
hadits hanya berkutat pada hasil-hasil periwayatan verbal, baik itu dari
lisan maupun dari kitab-kitab yang ditulis oleh para Ulama penghimpun
hadits. Sedangkan dalam kajian sunnah lebih luas lagi, karena selain
mengkaji hadits sebagai verbalisasi dari sunnah juga mengkaji aspek lain
yang tidak terdapat dalam formulasi hadits seperti misalnya konteks
sejarah (historisitas), situasi sosial budaya ketika sunnah tersebut
berlangsung dan lain sebagainya. Maka dengan demikian bukan tidak
mungkin bahwa kajian sunnah akan mampu mengungkap dan memotret
secara lebih utuh fenomena yang terjadi pada masa Nabi SAW.
C. Kesimpulan
1. Dalam mendefinisikan Hadits para Ulama berbeda pendapat. Ada
yang mengatakan bahwa hadits adalah sesuatu yang disandarkan
kepada Nabi; atau sahabat; atau tabiin. Akan tetapi, pada pembahasan
ini disimpulkan bahwa Hadits adalah sesuatu yang dikaitkan dengan
Nabi SAW yang berupa bentuk verbal (periwayatan).
2. Sunnah lebih menekankan kepada Practical Tradition (kebiasaan
yang dipraktekkan), yakni meliputi praktek-praktek yang dilakukan
Nabi SAW dan ditirukan oleh sahabat, tabiin dan orang-orang
setelahnya.
3. Khabar merupakan bentuk umum dari sesuatu yang diriwayatkan.
Maka dalam hal ini, Ulama berbeda pendapat tentang sandaran
khabar yang bisa mengarah ke marfu, mauquf atau maqtu.
Sedangkan Atsar, juga mengalami hal yang sama dengan khabar.
4. Hadits Qudsi adalah hadits yang oleh Rasululloh disandarkan kepada
Allah SWT. Dalam arti, Rasululloh meriwayatkan hadis tersebut dari
18

Allah SWT. dalam pada itu Ulama berselih paham tentang lafadz dan
makna Hadits Qudsi. Ada yang menyatakan bahwa lafadz dan makna
hadits qudsi semuanya dari Allah. Dan ada pula yang mengatakan
bahwa lafadz hadis qudsi merupakan lafadz Nabi SAW, sedangkan
maknanya dari Allah SWT.
5. Sunnah dan Hadits meskipun banyak Ulama yang mengatakan
murodif, namun menurut beberapa pakar dapat ditemukan sisi
perbedaannya. Sunnah lebih menekankan kepada praktek (perilaku
tampak) yang dilakukan NabiSAW, sementara Hadits lebih mengarah
kepada verbalisasi atau hasil periwayatan yang mengandung unsur-
unsur teknis keilmuan seperti sanad, rawi dan matan.
6. Perbedaan antara Hadits, Khabar dan Atsar tidak terlalu signifikan,
hanya saja beberapa Ulama menyetujui konsep umum-khusus dalam
penggunaan istilah tersebut. Perbedaan yang cukup signifikan justru
terjadi pada Hadits dan Sunnah seperti yang telah diungkapkan di atas.
Perbedaan antara hadits dan sunnah tersebut pada akhirnya akan
mempengaruhi fokus dalam kajian Islam. Para pengkaji yang ingin
mengkaji Sunnah berarti dia harus mengkaji apa yang dipraktekkan
oleh Nabi selama hidupnya lengkap dengan konteks sosial budaya dan
sejenisnya pada masa itu. Sementara bagi para pengkaji Hadits, hanya
berkutat pada sistematika periwayatan sunnah-sunnah Nabi yang
meliputi Matan, rawi, sanad dan sesamanya.



D. Bibliografi
Jalal al-Diin Al-Mahalli dan Jalal al-Diin Al-Suyuthi, Tafsir al-Quran al-
Adziim. --:Dar al-Fikr
19

Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal, Musnad Ahmad, (--:
Wizarah Auqof al-Mishriyyah, CD Maktabah Syameela: Ishdar II
Mahmud Al-Thahan, Taisir Mushthalahu al-Hadits. Kuwait:--, 1415 H
Mahfudz bib Abdillah At-Tirmisiy, Manhaj Dzawi al-Nadzr (Jeddah: al-
Haramain, 1974
al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalaniy, Nuzhat al-Nadzar fi Taudlihi Nukhbati
al-Fikar fi Mushthalahi Ahli al-Atsar, (Maktabah Misykah: dalam CD
Maktabah Syameela Ishdar II).
Al-Imam Jalal al-Din Abd al-Rahman al-Suyuthi, Tadriib Al-rawi fi Syarhi
Taqriib Al_Nawawi, (Beirut: Dar al-Kutb al-Ilmiyyah, 1996
Muhammad bin Mukarram bin Mandzur, Lisan al-Arab (Beirut: Dar Shadir,
tt
Abu al-Husain ibn al-Hajjaj, Shahih Muslim, (Beirut: Dar al-Jail,--)
Akib Muslim, Ilmu Mustalahul Hadis: Kajian Hostoris Metodologis (Kediri:
STAIN Kediri Press,2010
Muhammad Alwi Al-Maliki, Al-Manhallu al-Lathiifu fi Ushuuli al-Hadiitsi
al-Syariifi, terj. Adnan Qohar (Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2009
Al-Imam Jalal al-Din Abd al-Rahman al-Suyuthi, Tadriib Al-rawi fi Syarhi
Taqriib Al_Nawawi, (Beirut: Dar al-Kutb al-Ilmiyyah, 1996
Subhi Shalih, Al-Hadits wa Mushtalahuhu,;
Manna Khalil Qattan, Pengantar Studi Ilmu Hadits, terj. Mifdlol A. (Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar, 2004
Abd al-Haq al-Dahlawi, Muqaddimah fi Ushuli Al-Hadits (Beirut: Dar al-
Basyair Al-Islamiyyah,1986
Abu al-Husain ibn al-Hajjaj, Shahih Muslim, (Beirut: Dar al-Jail,--)
Dzikri Nirwana, Rekonsepsi Hadis Dalam Wacana Studi Islam: Telaah
Terminologis Hadits, Sunnah, Khabar, dan Atsar, Jurnal Edu-
Islamika, Vol. 3 No.1 Maret 2012
Fazlur Rahman, Islam, terj. Ahsin M. Bandung: Pustaka, 1984
TM Hasbie Ash-Shiddiqiy, Sejarah dan Pengantar Hadis. Semarang: Pustaka
Rizki Putra,1997

You might also like