You are on page 1of 8

Hubungan Poa Pemberian Makanan Pendamping ASI Susu Ibu

HUBUNGAN POLA PEMBERIAN MAKANAN PENDAMPING ASI SUSU IBU (MP-ASI) DENGAN ANEMIA DAN STUNTING PADA ANAK USIA 6-24 BULAN DI KECAMATAN LEUPUNG KABUPATEN ACEH BESAR
Aripin Ahmad1, Siska Silaban1, Novemi2

Abstract: Stunting and anemia are nutritional problems are still high in infants. Data from Riskesdas 2007 and 2010, 44.6 % and 38.9 % of underfive childreen in Aceh is stunting, while the anemia prevalence from Susenas (2001) 47% of infants is anemia and in infant 6-11 months age is 64.8%. The occurrence of anemia and stunting strongly related to intake of food, one of which is the complementary feeding patterns. This study aimed to determine the relationship of complementary feeding pattern with stunting and anemia in children aged 6-24 months in Leupung sub district of Aceh Besar district. This study used cross sectional study design with 30 children aged 6-24 months. The data collected is stunting, anemia and complementary feeding patterns. Stunting was analisys by anthropometric method using Lenght for Age (LA) index used WHO 2005 standart. Complementary feeding pattern is obtained by interveiw method with structured questionnaires, whereas anemia was analisys with Haemoglobin (Hb) level using the cyianmethaemoglobin method. The data were analyzed using univariate and bivariate, to analysis of relationship of complemantary feeding pattern with anemia and sunting used Chi square test and fisher exact test, with a confidence level of 95%. The results of this research is 46.7% of children who have complementary feeding pattern on less category, 43.3% had anemia and 13.3% stunting. There is no significant relationship between complementary feeding pattern with stunting (p = 0.103) and anemia (p=0.961). There is no relationship complementary feeding pattern with stunting and anemia. Need to improve the knowledge of the community, especially the mother with counseling to increased provision of Complemantary feeding by health care providers, and further research needs to analysis energy, nutrients and bio-avalibility of complemantary feeding Keywords: Complemantary feeding Patterns, stunting and Anaemia. 1. Dosen Jurusan Gizi 2. Dosen Jurusan Kebidanan Banda Aceh

PENDAHULUAN Salah satu masalah gizi utama yang masih dihadapi oleh masyarakat Indonesia adalah masalah kekurangan Gizi, yaitu stunting dan anemia, terutama diderita oleh balita. Anak pendek atau stunting merupakan salah satu indikator dari 3 indikator mutlak dalam menentukan Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPKM), yaitu prevalensi gizi kurang dan buruk, prevalensi anak kurus dan prevalensi anak pendek atau stunting (Lokakarya daerah Bermasalah Kesehatan, 2011). Hasil Riskesdas menunjukkan prevalensi stunting di Indonesia masih

sangat tinggi, yaitu 36,8 (2007) dan 35,6% (2010), sementara di Aceh angkanya jauh lebih tinggi, yaitu 44,6% (2007) dan 38,9% (2010). Selain itu anemia merupakan permasalahan gizi yang banyak diderita pada anak balita yang dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan fisik dan perkembangan dan pertumbuhan otak serta daya tahan tubuh yang rendah sehingga mudah terserang penyakit. Anemia terjadi ketika kadar hemoglobin dalam darah kurang dari normal. Batas normal kadar hemoglobin darah bagi wanita hamil dan balita adalah 11 gr%. Hemoglobin terdapat di dalam sel darah

Hubungan Poa Pemberian Makanan Pendamping ASI Susu Ibu

merah dan bertugas membawa oksigen dari paru-paru keseluruh bagian tubuh termasuk otak. Berkurangnya hemoglobin dalam darah menyebabkan tubuh akan kekurangan oksigen. Tidak terpenuhinya kebutuhan oksigen akan menimbulkan gejala-gejala seperti lesu, mudah letih, pucat, pusing dan sakit kepala. Prevalensi anemia pada bayi dan balita masih sangat tinggi, hasil Susenas (2001) didapatkan rata-rata 47% balita anemia dengan prevalensi terbesar pada usia 6-11 bulan yaitu 64,8% Hasil survei World Vision Indonesi (2010) di empat kabupaten yaitu Aceh Besar Banda Aceh Aceh Jaya dan Aceh Barat didapatkan prevalensi anemia pada balita 67,8%. Hasil penelitan lain oleh Ahmad,dkk (2010) di Kecamatan Darul Imarah Aceh Besar didapatkan 78,3% anak usia 6-24 bulan mengalami anemia. Stunting dan anemia sangat erat kaitannya dengan pola pemberian makanan terutama pada 2 tahun pertama kehidupan, yaitu ASI dan MP-ASI. Dari hasil beberapa penelitian menyatakan bahwa keadaan kurang gizi pada bayi dan anak disebabkan karena kebiasaan pemberian MP-ASI yang tidak tepat (Depkes RI, 2000). Hasil penelitian Amelia, dkk (2008) yang mengolah data Riskesdas 2007 didapatkan defisit energi pada bayi 6-11 bulan 210 kkal sedangkan anak baduta 12-23 bulan 300 kkal, sementara defisit protein pada bayi 6-11 bulan 5gr dan pada anak 12-23 bulan 7.5gr . Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pola Pemberian Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) meliputi jenis, jumlah, frekuensi pemberian dan komposisi bahan sumber zat gizi dari MPASI dan hubungannya dengan kejadian stunting dan anemia pada anak usia 6-23 bulan di Kecamatan Leupung Kabupaten Aceh Besar.

METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian observasional bersifat diskriptif analitik dengan desain crossectional study. Variabel independen pada penelitian adalah Pola pemberian MP-ASI, sedangkan variabel dependen adalah anemia dan stunting. Populasi penelitian seluruh anak usia 6-24 bulan dengan jumlah 30 anak baduta. Pengambilan sampel dilakukan dengan simple random sampling. Data yang dikumpulkan adalah Kadar Haemoglobin (Hb) ditentukan dengan pemeriksaan Hb dengan menggunakan metode cyanmethaemoglobin oleh tenaga laboran, sedangkan stunting dikumpulkan dengan pengukuran antropometri terhadap panjang badan anak menggunakan Baby lenght board (BLB). Sedangkan pola Pemberian MP-ASI dikumpulkan dengan metode wawancara menggunakan kuesioner terstruktur oleh enumerator lulusan D-III Gizi Analisis data dilakukan untuk mengetahui distribusi masing-masing variabel (distribusi frekuensi, rata-rata, Standart deviasi), analisis hubungan untuk mengetahui hubungan antar pola pemberian MP-ASI dengan anemia dan stunting dilakukan dengan uji statistik, yaitu uji beda proporsi Chi square test. Semua analisis data mengunakan tingkat kepercayaan 95% (=0,05). HASIL PENELITIAN Sampel peneltian adalah anak usia 6-23 bulan sebagian besar berumur 12-24 bulan (70%), sedangkan berdasarkan jenis kelamin sebagian besar perempuan (60,0%) dan berdasarkan urutan anak dalam keluarga sebagian besar anak ke 12 (70,0%). Dilihat dari karakteristik keluarga sebagian umur ayah dari sampel adalah antara 30-40 tahun (53,3%),

Hubungan Poa Pemberian Makanan Pendamping ASI Susu Ibu

sedangkan menurut jenis pekerjaan adalah swasta (60,0%). Sementara berdasarkan karakteristik ibu sebagian ibu anak baduta berusia antara 25-35 tahun, bekerja sebagai Ibu Rumah Tangga (86,7%), dan mempunyai pendidikan sebagian besar SLTA (40,0%). 1. Pola Pemberian MP-ASI Pola pemberian MP-ASI dilihat dari bentuk, frekuensi pemberian, porsi/jumlah dan jenis bahan makanan dalam MP-ASI. Hasil penelitian didapatkan berdasarkan bentuk dan frekuensi pemberian MP-ASI sebagian besar sampel sudah sesuai, yaitu 80% dan 70%, tetapi dilihat kesesuaian porsi/jumlah MP-ASI yang diberikan sebagian besar masih belum sesuai, yaitu 43,3%. Selanjutnya jika dilihat dari pemberian lauk hewani sebagian besar selalu memberikan (53,3%) tetapi porsi yang diberikan sebagian besar tidak sesuai (40,0%), sedangkan untuk lauk nabati sebagian besar sampel jarang diberi lauk nabati (66,7%) tetapi dari segi porsi/jumlah lauk nabati sebagian besar sudah sesuai (50,0%) seperti disajikan pada Selanjutnya kebiasaan memberikan sayuran pada anak baduta dari hasil penelitian ini sebagian besar jarang memberikan (60,0%) demikian juga dengan porsi sayuran yang diberikan sebagian besar hanya kadang-kadang sesuai (63,0%). Sementara pemberian buah-buahan juga sebagian besar jarang diberikan (70%) sedangkan porsi juga sebagian besar tidak sesuai (40,0%). Jika dilihat dari variasi makanan yang diberikan pada anak sebagian besar sampel jarang bervariasi (56,7%). Dari hasil analisis skoring terhadap asfek pola pemberian MP-ASI didapatkan tingkatan pola pemberian MP-ASI. Pola MP-ASI dikatakan baik bila persentase skor yang diperoleh 70% dan kurang bila

skor <70%. Hasil analisis data tentang kategori pola Pemberian MP-ASI didapatkan hampir separuh dari anak baduta mempunyai pola pemberian MPASI pada kategori, yaitu 46,7%. 2. Anemia dan stunting Hasil pemeriksaan terhadap kadar Haemoglobin (Hb) didapatkan rata-rata kadar Hb pada sampel adalah 10,91,17SD dengan Hb tertinggi 13,4 mg/dl dan terendah 8 mg/dl. Hasil analisis status anemia berdasarkan kadar Hb didapatkan persentase anemia yang sangat tinggi, yaitu 43,3% anak baduta. Selanjutnya hasil penilaian status gizi menggunakan indeks PB/U didapatkan rata-rata panjang badan (PB) pada anak baduta di lokasi penelitian adalah 75,3cm5,5SD dengan PB terendah 64,2 cm dan tertinggi 84,5cm. Seorang anak baduta dikatakan stunting/pendek bila Panjang Badan menurut Umur (indeks PB/U) nilai z-score berada <-2SD. Hasil analisis status gizi sebagian besar sampel mempunyai status gizi dengan indeks PB/U dalam kategori normal (86,7%), hanya 13,3% anak baduta yang mengalami stunting/pendek. 3. Hubungan pola MP-ASI dengan anemia dan stunting Hasil analisis hubungan antara pola pemberian MP-ASI dengan Anemia didapatkan persentase anemia hampir sama antara anak yang mempunyai pola MP-ASI baik dengan kurang yaitu 42,9% pada anak baduta dengan pola MP-ASI kurang dan 43,8% pada anak baduta dengan pola MP-ASI baik. Hasil uji statistik dengan chi-square test tidak ada hubungan yang signifikan antara pola MP-ASI dengan anemia pada baduta di kecamatan Leupung Aceh Besar p=0,961 (p>0,05).

Hubungan Poa Pemberian Makanan Pendamping ASI Susu Ibu

Sementara hasil analisis hubungan pola MP-ASI dengan stunting diketahui pada stunting tidak didapatkan pada anak dengan pola MP-ASI kurang sedangkan pada anak dengan pola MP-ASI baik didapatkan 25% anak stunting. Hasil uji statistik dengan uji fisher exact Test menunjukkan tidak terdapat hubungan yang signifikan antara pola MP-ASI dengan stunting p=0,103 (p>0,05). PEMBAHASAN Hasil penelitian ini menunjukkan persentase anak baduta yang mempunyai pola MP-ASI dengan kategori kurang sangat tinggi yaitu 43,3%, kondisi ini menunjukkan pola pemberian MP-ASI masih bermasalah pada anak baduta khususnya di lokasi penelitian. Pemberian MP-ASI kepada bayi dilakukan secara bertahap dalam hal bentuk, jumlah, frekuensi dan jenisnya. Oleh karena itu perlu diperhatikan bentuk MP-ASI yang sesuai untuk bayi. Ketidaksesuai bentuk MP-ASI menurut umur bayi dapat menyebabkan kurangnya asupan gizi (Narendra, 2002) Bayi yang berusia 9-11 bulan jika diberi MP-ASI bentuk lumat akan berpengaruh terhadap jumlah asupan gizi karena makanan lumat/bubur lebih rendah komposisi nilai gizinya dibandingkan makanan yang lebih pada seperti makanan lembik/tim, apalagi bila anak yang berusia 12 bulan masih diberi makanan dalam bentuk lembik apalagi lumat tentu akan tidak dapat memenuhi kebutuhan bayi. Bubur MP-ASI yang cukup kental akan memberikan energi lebih banyak bagi anak dari pada bubur MP-ASI yang terlalu encer (Direktorat Bina Gizi Masyarakat, 2010). Dari hasil analsis secara univariat terhadap asfek-asfek pola MP-ASI terlihat dari 12 asfek yang dilihat hanya sebagian yang sudah sesuai dengan standart

pemberian makanan bayi, antara lain bentuk dan frekuensi pemberian MP-ASI yang sebagian besar sampel sudah sesuai, yaitu 80% dan 70%. Dari segi bentuk MPASI yang diberikan hasil penelitian ini lebih baik dibandingkan hasil penelitian Waziah (2010) dimana hanya 50% bayi yang sesuai bentuk MP-ASI yang diberikan jika dibandingkan dengan umur anak. Tetapi dilihat dari asfek lainnya porsi/jumlah MP-ASI hasil penelitian ini sebagian besar masih belum sesuai, yaitu 43,3% Dari segi frekuensi sebagian besar sampel dalam penelitian ini sudah sesuai frekuensi pemberian MP-ASI (70%). Sementara hasil penelitian ini juga sama dengan penelitian Syafiq dan Fikawati (2007) di jakarta timur menunjukkan frekuensi pemberian makanan padat pada anak 6 bulan adalah yang tidak memberi makanan padat 2,1% yang memberi 2 kali sehari 27,2% dan yang hanya 1 kali 7,2%. Kondisi ini menggambarkan bahwa frekuensi pemberian MP-ASI pada bayi 612 bulan belum sesuai dengan yang seharusnya. Frekuensi pemberian MP-ASI menurut umur yang tepat adalah pada usia 6-8 bulan sebaiknya diberikan MP-ASI 2-3 kali sehari ditambah ASI dan ditambah1-2 kali makanan selingan (jus buah dan biskuit), sedangkan pada usia 9-11 bulan sebaiknya diberikan 3-4 kali per hari ditambah ASI dan makanan selingan. Selanjutnya pada usia 12 bulan 3-4 kali MP-ASI sehari ditambah ASI dan selingan 2 kali (Direktorat Bina Gizi Masyarakat, 2010). Menurut Depkes RI (2000) salah satu permasalahan dalam pemberian MPASI dimasyarakat adalah frekuensi pemberian MP-ASI yang masih kurang tidak sesuai kebutuhan bayi. Sedangkan jika dilhat dari Kesesuaian bentuk MP-ASI yang diberikan pada bayi banyak ditemukan bayi yang tidak sesuai

Hubungan Poa Pemberian Makanan Pendamping ASI Susu Ibu

bentuk MP-ASI yang diberikan. Bentuk MP-ASI akan mempengaruhi jumlah masukan zat gizi. Direktorat Bina Gizi Masyarakat (2010) menyatakan kondisi yang ini sering ditemukan dimasyarakat adalah pemberian MP-ASI yang terlalu encer/kepadatan MP-ASI, hal ini akan berpengaruh pada kepadatan energi MPASI. Anak mempunyai ukuran lambung yang kecil, makanan yang terlalu encer/cair akan cepat membuat anak kenyang, kekentalan makanan akan menentukan kebutuhan gizi anak terpenuhi atau tidak. Dari asfek pemberian lauk hewani dalam MP-ASI walaupun sebagian besar selalu memberikan (53,3%) tetapi porsi yang diberikan sebagian besar tidak sesuai (40,0%), sedangkan untuk lauk nabati sebagian besar sampel masih jarang memberikan (66,7%). Kebiasaan memberikan sayuran pada anak baduta juga masih bermaslah dari hasil penelitian ini sebagian besar jarang memberikan (60,0%) demikian juga dengan porsi sayuran yang diberikan sebagian besar hanya kadang-kadang sesuai (63,0%). Sementara pemberian buah-buahan juga sebagian besar jarang diberikan (70%) sedangkan porsi juga sebagian besar tidak sesuai (40,0%). Jika dilihat dari variasi makanan yang diberikan pada anak sebagian besar sampel jarang bervariasi (56,7%). Hubungan Pola MP-ASI dengan Anemia
Pola MPASI Kurang Baik Status Anemia Anemia 6 (42,9) 7 (43.8) Normal 8 (57.1) 9 (56.2) n p

14 (100) 16 (100)

0,961

Anemia merupakan suatu keadaan dimana seseorang mengalami kadar Haemoglobin yang rendah dalam darahnya. Untuk usia

balita kadar Hb normal adalah 11mg%. Hasil penelitian ini didapatkan persentase anemia pada anak baduta sangat tinggi, yaitu 43,3%. Hasil ini jika dibandingkan dengan batasan prevalensi dianggap menjadi masalah kesehatan masyarakat yaitu >5% maka anemia di kecamatan Leupung merupakan masalah kesehatan masyarakat dan menurut klasifikasi prevalensi diatas 40% maka persentase anemia dari hasil penelitian termasuk kategori berat (WHO/UNICEF, 2001. Hasil penelitian ini jika dibandingkan dengan hasil Susenas (2001) didapatkan rata-rata 47% balita anemia dengan prevalensi terbesar pada usia 6-11 bulan yaitu 64,8%. Selain itu hasil survei World Vision Indonesi (2010) di empat kabupaten yaitu Aceh Besar Banda Aceh Aceh Jaya dan Aceh Barat didapatkan rata-rata prevalensi anemia pada balita didapatkan rata-rata 67,8% dimana Aceh Barat 69,1%, Aceh Besar 68,5%, Aceh Jaya 66,7% dan Banda Aceh 62,5%. Sedangkan jika dibandingkan dengan prevalensi anemia pada umur yang sama yaitu 6-11 bulan dan 12-24 bulan masing-masing 75% dan 73% maka prevalensi hasil penelitian ini relatif lebih rendah. Hasil penelitan lain oleh Ahmad,dkk (2010) di Kecamatan Darul Imarah Aceh Besar didapatkan 78,3% anak usia 6-24 bulan mengalami anemia. Hasil penelitian ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan angka prevalensi anemia pada anak di Indonesia pada tahun 2007 yaitu 50,9% (Hidayati, 2007). Hasil penelitian ini dapat diketahui bahwa persentase anemia hampir sama antara anak baduta yang mempunyai pola MP-ASI baik dengan kurang yaitu 42,9% pada anak baduta dengan pola MP-ASI kurang dan 43,8% pada anak baduta dengan pola MP-ASI baik. Hasil uji statistik dengan chi-square test tidak ada hubungan yang signifikan antara pola MP-

Hubungan Poa Pemberian Makanan Pendamping ASI Susu Ibu

ASI dengan anemia pada baduta di kecamatan Leupung Aceh Besar p=0,961 (p>0,05). Pada penelitian ini pola MP-ASI dikumpulkan secara kualitatif sedangkan gambaran jumlah intake zat gizi termasuk zat besi yang berpengaruh pada anemia tidak dikumpulkan. Peneliti berasumsi walaupun pola MP-ASI sebagian besar anak baduta baik tetapi jumlah asupan zat besi dari MP-ASI yang dikonumsi tidak diketahui, apalagi secara analisis univariat dilihat dari pola pemberan lauk hewani pada anak baduta sebagian besar masih jarang yang memberikan . Selain itu anemia juga dipengaruhi oleh status anemia bayi sewaktu lahir, anak yang anemia pada saat lahir akan mempengaruhi status anemia-nya sampai pada usia seterusnya. Apalagi ditambah dengan asupan zat besi yang kurang dari MP-ASI. Zat besi pada bayi masih dapat diperoleh dari ASI sampai usia 6 bulan, tetapi setelah 6 bulan zat besi harus diperoleh dari MP-ASI (Direktorat Bina Gizi Masyarakat, 2010). Hubungan Pola MP-ASI dengan Stunting
Pola MPASI Kurang Baik Status Gizi n p

Stunting 0 (0.00) 4 (25.0)

Normal 14 (100) 12 (75,0)

14 (100) 16 (100)

0,103

Stunting merupakan suatu keadaan dimana tinggi badan anak tidak sesuai menurut tinggi badan anak normal yang susianya artinya anak dikatakan pendek. Stunting dapat ditentukan dengan pengukuran antropometri terhadap parameter Tinggi badan, kemudian menggunakan indeks Tinggi Badan Menurut Umur (TB/U) atau Panjang

menurut umur (PB/U) dapat ditentukan apakan seorang anak termasuk stunting/pendek atau normal (Gibson, 2008). Hasil penelitian anak baduta yang mengalami stunting sebanyak 13,3%. Hasil ini lebih rendah jika dibandingkan dengan prevalensi anemia di Aceh pada tahun 2007, yaitu 44,6% (Riskesdas, 2007) dan pada tahun 2010, yaitu 39,8% (Riskesdas 2010). Hasil pnelitian ini jika dibandingkan dengan klasifikasi tingkatan prevalensi stunting dianggap menjadi masalah kesehatan termasuk dalam kategori rendah karena prevalensinya <20% (WHO/UNICEF, 2001). Sementara hasil PSG Kadarzi tahun 2009 prevalensi Stunting pada balita di Kecamatan Darul Imarah mencapai 41,5% (Laporan PSG Kadarzi, 2010) Tinggi badan pada suatu waktu merupakan hasil pertumbuhan secara kumulatif semenjak lahir, oleh karena itu dapat dipakai sebagai Gambaran riwayat status gizi masa lampau. Tinggi badan juga merupakan indeks yang paling sensitif untuk mendeteksi adanya perubahan sosial ekonomi (Habicht, 1983). Pola makan yang miskin pangan hewani (sumber protein) dan kurangnya asupan energi sehari-hari bisa menjadi penyebab terjadinya stunted pada anak. Hasil penelitian ini Tabel 3 diketahui prevalensi stunting pada pola MP-ASI baik didapatkan 25% anak stunting. Sementara stunting tidak didapatkan pada anak dengan pola MP-ASI kurang. Hasil uji statistik dengan uji fisher exact Test menunjukkan tidak terdapat hubungan yang signifikan antara pola MP-ASI dengan stunting p=0,103 (p>0,05). Pemberian MP-ASI yang tepat dapat menurunkan prevalensi stunting. Bhutta,et.al (2008) menyatakan pemberian ASI ekslusif dan MP-ASI yang tepat sampai usia 12 bulan dapat menurunkan

Hubungan Poa Pemberian Makanan Pendamping ASI Susu Ibu

prevalensi stunting dimana intervensi pemberian makanan ASI dan MP-ASI yang tepat dapat menurunkan stunting 19,8% dan intervensi suplementasi zink dapat menurunkan stunting 9,1%. Stunting pada anak balita secara langsung sangat dipengaruhi oleh ketidakseimbangan asupan zat gizi, khusus untuk anak usia 6-24 bulan sangat dipengaruhi oleh pola pemberian ASI dan MP-ASI. Ada 4 standart emas (golden standart) makanan anak mulai usia 0-24 bulan, yaitu Inisiasi menyusu dini, pemberian ASI secara ekslusif sampai 6 bulan, mulai memberikan MP-ASI sejak usia 6 bulan dan meneruskan pemberian ASI sampai usia 2 tahun (Unicef, 2008). Tidak adanya hubungan antara pola pemberian MP-ASI dengan stunting pada penelitian dapat dipengaruhi oleh faktor lain, yaitu mutu atau nilai bio-availibility dari MP-ASI yang diberikan, daya cerna dan daya serap di dalam tubuh dan adanya, artinya bentuk, frekuensi dan porsi yang sesuaipun belum dapat menjamin terpenuhinya asupan zat gizi, jika nilai gizi (bio-availibility) dari makanan kurang. Apalagi dari hasil penelitian ini masih banyak didapatkan pola pemberian MPASI yang kurang baik. KESIMPULAN Hasil penelitian menunjukkan proporsi pola pemberian MP-ASI pada anak baduta dengan kategori kurang baik sangat tinggi dan belum sesuai terutama pada porsi/jumlah MP-ASI, pemberian lauk hewani, sayuran dan pemberian buah buahan dan variasi MP-ASI yang diberikan. Prevalensi anemia dan stunting pada anak baduta sangat tinggi dan merupakan masalah kesehatan masyarakat dalam kategori berat. Tidak ada hubungan yang signifikan antara pola MP-ASI dengan

anemia dan stunting pada anak baduta di Kecamatan Leupung Aceh Besar. SARAN Perlu dilakukan peningkatan pengetahuan masyarakat tentang pola pemberian MP-ASI yang baik sesuai dengan standart pemberian makanan bayi dan anak (PMBA) melalui penigkatan kegiatan konseling di Puskesmas dan masyarakat oleh petugas kesehatan. Perlu dilakukan upaya penanggulangan anemia secara dini pada anak baduta melihat prevalensi anemia yang sangat tinggi, melalui peningkatan asupan zat besi dari MP-ASI. Perlu penelitian lanjutan untuk menganalisis kontribusi asupat energi dan zat gizi terutama zat besi dari MP-ASI dan menganalisis mutu gizi MP-ASI yang diberikan untuk dijadikan dasar penyusunan menu makanan pada bayi dan balita. DAFTAR PUSTKA Arnelia, dkk. 2008, Besaran Defisit zat gizi makro dan mikro pada anak baduta dengan masalah kurus di pedesaan dan perkotaan di Indonesia. Puslitbang Gizi dan Makanan, Bogor Amiruddin, dkk. 2007. Anemia Defisiensi Zat Besi pada Ibu Hamil di Indonesia (Evidenced Based). Diakses tanggal 17 September 2010.http://ridwanamiruddin.wordp ress.com Azwar A. 2004. Kecenderungan Masalah Gizi dan Tantangan masa datang. Pertemuan advokasi Program Perbaikan Gizi Menuju Keluarga Sadar Gizi. Jakarta. Badan Pusat Statistik, Laporan Kondisi dan Penanganan Bencana Alam di

Hubungan Poa Pemberian Makanan Pendamping ASI Susu Ibu

Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2005, BPS Prov. NAD. Direktorat Bina Gizi Masyarakat Kemenkes RI, 2010. Modul Pelatihan Peserta Konseling Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP-ASI), Kemekes RI, jakarta. Dijkhuizen. M.A dan Wieringa. FT, 2001. Vitamin A, Iron and Zinc Defisiency in Indonesia; Micronutrient interaction s and effects of suplementation. (Thesis) Wegeningen University. Djaja, S, dan Soemantri, S, Penyebab kematian Bayi Baru Lahir (Neonatal) dan Sistem Pelayanan Kesehatan yang Berkaitan di Indonesia Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 2001, Buletin Penelitian Kesehatan, Vol. 31 (3); 155-165, Badan Litbangkes, Jakarta. Litbangkes Depkes RI (2007) Laporan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas). Litbangkes, Bogor 2008 Litbangkes Depkes RI (2010) Laporan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas). Litbangkes, Bogor 2011. Triono Soendoro. 2011. Lokakarya Penanggulangan Daerah Bermasalah Kesehatan (PDBK) Regional I, Selasa, di Denpasar

You might also like