You are on page 1of 11

Sabtu (7/9/2013) 04.

47 WIB Nafasku mulai sesak dan memburu, tangan kuletakkan di dalam saku jaket, keringat melumuri sekujur tubuhku, rasa dingin menusuk tulang karena hembusan angin menerpa tubuhku yang sedari tadi telah basah oleh keringat. Aku berusaha tetap tegak, meski sesekali aku harus merangkak. Kuhujamkan ujung sepatuku ke dalam pasir, sesekali terasa sakit karena ujungnya tertahan batu. Sinar putih dari kepalaku telah samar terlihat, digantikan sinar jingga di langit ufuk timur yang terhalang tebing. Break!! Teriak Mas Faris mengacaukan konsentrasiku dan memaksaku untuk melongok ke belakang yang telah sedari tadi selalu menengadah melihat ke atas. Seketika aku berhenti sambil terus berusaha mengambil nafas sedalam mungkin. Asap keluar dari dalam mulut dan hidungku ketika aku membuang nafas, kulihat punggung Mas Ridwan yang masih saja terus merangkak. Kutoleh ke belakang, terlihat muka temantemanku yang sudah tampak sangat sayu, mata merah, nafas memburu dan terengah-engah. Muka diselimuti oleh debu dan pasir, jaket dan celana kami sudah tak serupa dengan warna asli ketika kami membelinya, semuanya tertutup oleh debu dan pasir. Ayo lanjut, jangan kelamaan, nanti hipotermia!!! teriak Mas Ridwan dari atas sembari menyemangati kami yang telah kehabisan nafas dan tenaga. Bahkan untuk berdiri saja kami terhuyung labil. Sudah dekat kok!! sahut mas Ridwan kembali. Memang disini kami tak boleh terlampau lama berdiam diri. Suhu minus 4 derajat celcius dan tiupan angin

dari balik lereng akan membekukan dan menerpa habis semangat kami jikalau kami terlalu lama berdiam diri. Kulihat lagi kebawah, ramai lampu LED dari headlamp menyorot ke atas seperti kunang-kunang yang hendak bermigrasi, puluhan, bahkan ratusan. Kupandangi teman-temanku kembali, tak ada ocehan atau suara gelak tawa seperti tadi malam, semuanya berubah. Satu-satunya hal yang tidak berubah adalah sinar mata mereka yang masih saja menyala, memandang ke atas penuh tekad. Mungkin sorotan mata merekalah yang mengisi kembali tenaga dalam tubuhku ini. Kami melanjutkan kembali langkah kami, menerawang apa yang sedari kemarin telah kami gantungkan 5 cm di depan kening kami.

Rabu (4/9/2013) 21.15 WIB Kutengok arloji hitam yang ada di tangan kiriku, jarum sudah menunjukkan jam 9.15 malam saat aku dan Imam, teman kontrakanku menunggu jemputan dari Syarif. Kubuka kembali pesan dari mas Faris, jangan lupa kumpul di stasiun Tugu Yogyakarta jam 21.00. Lima belas menit sudah kami berdua terlambat dari jam janjian, namun perasaan masih tenang, tidak seperti saat terlambat kuliah. Ini karena aku tahu kereta Malioboro Ekspress baru akan berangkat jam 10.16 malam. Berbincang dan bercanda sesaat di teras kontrakan, tiba-tiba sebuah lampu mobil menyorot kami dari arah timur, mobil

Starlet klasik muncul dari tikungan. Nah itu dia kami berdua serentak bergumam sambil menghela nafas lega. Di pikiran memang aku masih merasa santai-santai saja, namun tak bisa kupungkiri di dalam hati kecil ada sedikit kegelisahan takut akan ketinggalan kereta. Serentak kami berdua beranjak dari teras menuju mobil dengan menggendong carrier 75 liter milik kami lengkap dengan celana kargo dan sepatu gunung. Kami langsung meletakkan carrier di jok belakang, diikuti Imam sedangkan aku duduk di depan. Cabut! teriakku kepada Syarif, yang kali ini hanya berperan sebagai pengantar. Kenapa lo ga ikut rip? Sayang banget nih, harusnya kita sama2 ke Mahameru, aku membuka percakapan di dalam mobil diiringi suara sayup-sayup lagu Sheila On 7 dari radio mobil. Sambil memandangi jalan dan memegang setir, Syarif menyahutku, Iya nih, kesel gue begitu nganter lo berdua. Tadinya sih mau fokus skripsi dulu, eh sekarang malah kesel sendiri sambil menggerutu Syarif menjawab pertanyaan yang ku lontarkan. Memang kami biasa naik bersama-sama, teman lain boleh berganti, tapi kami selalu ada. Biasanya.. Mobil mulai menembus jalan protokol kota jogja, menembus keramaian orang yang sibuk dengan kepentingannya masingmasing. Sambil ngobrol kesana sini, oleh-oleh, skripsi, kuliah, gunung, sampai dosen pembimbing skripsi, mobil masih melaju menembus jalanan. Melewati tugu Pal Putih, icon kota ini menuju ke selatan, kami akhirnya sampai di Stasiun. Riuh penumpang dan pengantar menyambut kedatangan

kami. Dari kejauhan, samar terlihat sosok yang tak asing bagi kami. Mas Faris, sedang berbincang dengan beberapa orang rombongan dengan carriernya masing-masing. Oh itu rombongan kita mam celetukku di dalam mobil yang sedang memutar mencari tempat untuk ngedrop kami berdua. Berhenti tepat di depan rombongan tadi, di depan pintu stasiun kami turun dengan gaya sok gagah, mengeluarkan carrier seperti jagoan. Woy! teriakku kepada Mas Faris yang mulai menoleh dan memperhatikan kami, agaknya dia lupa wajah kami berdua. Oy! sahutnya, Yang lain di dalem tuh lanjutnya sambil menunjuk ke arah peron stasiun. Loh, lha ini bukan rombongan kita? tanyaku agak heran yang sedari tadi menyangka mereka adalah rombongan kami. Maklum hanya Mas Faris, Mbak Nining, dan Mbak Devi yang aku kenal sebelumnya. 3 orang lainnya masih belum kenal dan belum pernah bertemu sama sekali. Bukan, ini masmas mau ke Semeru juga sahut Mas Faris sambil menoleh ke arah rombongan di sampingnya. Karena jam masih menunjukkan jam 9.43 aku dan Imam memutuskan untuk menunggu di sini sejenak. Ku salami mereka satu per satu sambil menyebutkan namaku, dengan hiasan senyum simpul juga tentunya. Mereka menyebutkan namanya satu per satu, tapi aku tak bisa mengingat semuanya, ingatanku kurang bagus untuk urusan nama. Mau naik juga mas? tanyaku ke salah seorang dari mereka, sepertinya adalah leadernya. Iya mas, haha. Dari mana ini mas? dia menimpali pertanyaan yang kulontarkan

tadi dengan senyum sumringah dan mengeluarkan asap dari mulutnya. Bukan, ini bukan asap karena suhu dingin, ini asap rokok. Farmasi UGM mas. Haha. Udah pernah naik mas? kutimpali lagi pertanyaannya, ingin mengorek sedikit informasi dari rombongan ini. Kalo saya udah pernah, tapi temen-temen ini baru pertama. Jawabnya dengan nada rendah dan senyum khas orang jogja. Ini adalah salah satu yang sangat kusukai dari kegiatan mendaki. Sesama pendaki adalah keluarga, otomatis akrab meskipun kami tidak saling mengenal sebelumnya. Mengabaikan segala hal yang terlabel pada diri masingmasing. Pekerjaan, pendidikan, usia, jenis kelamin, suku, ras, semuanya melebur menjadi satu. Tidak ada pembagianpembagian atau penggolongan-penggolongan berdasarkan kesamaan latar belakang. Yang menggabungkan kami adalah satu, kita sama-sama orang yang hobby dengan pendakian. Itu sudah lebih dari cukup untuk membentuk suatu keakraban yang sangat hangat.

22.05 Jam digital milik Mas Faris memberitahu bahwa kami harus bergegas masuk ke Peron karena kereta sudah menunggu sedari tadi. Dengan langkah gontai membawa beban lebih dari 20 kilo, aku memasuki Peron stasiun Tugu Jogja. Sudah 4 tahun di Jogja, tapi baru kali ini aku masuk ke sini, gumamku dalam hati sambil melangkah beriring para pendaki lain.

Suara merdu dari Peron mengatakan bahwa kami harus segera masuk kereta karena kereta akan berangkat sepuluh menit lagi. Kami mulai checking tiket, satu per satu dari kami diperiksa dan ditanyai nama oleh 3 orang satpam berbaju biru dan berbadan tegap di pintu masuk. Beberapa petugas kereta telah berdiri dengan anggun dan penuh keramahan berbalut seragam berwarna merah marun menyambut kami di depan pintu tiap gerbong. Kalau ekonomi 1 dimana mbak? tanyaku kepada salah satu petugas yang sedari tadi melihat kami. Oh, gerbong sebelah mas jawabnya disertai dengan senyum ramah entah tulus atau tidak, tapi mari berbaik sangka saja bahwa senyum mereka adalah senyum tulus untuk melayani. Satu per satu kami masuk ke dalam gerbong, dan alangkah terkejutnya aku ketika melihat bahwa gerbong ini hampir dipenuhi oleh carrier. Consina, Eiger, Rei, Deuter, Seven Summit, sebuah merk yang tak asing bagiku memenuhi gerbong ini ketika aku mencari tempat dudukku. Sambil tersenyum mereka melihat kami yang baru saja masuk ini, aku memutuskan untuk berhenti sejenak karena didepanku Mbak Nining dan Mbak Devi telah menemukan tempat duduknya dan sedang menata carrier mereka. Aku memutuskan untuk berhenti sejenak disamping rombongan yang sedang akrab berbincang, Mau naik semeru juga mas? celetuk salah satu dari mereka sambil mengalihkan pandangannya kepadaku yang diikuti oleh teman-temannya yang juga memandangku. Iya mas. Haha. Masnya juga mau naik? dari mana? sahutku spontan sambil menyunggingkan

senyum tiga jari. Dari UII mas. Masnya?, orang itu kembali menimpali pertanyaanku. Dari UGM mas jawabku kembali, Berapa orang mas? aku kembali bertanya pada orang itu. Cuma 24 orang kok Mas jawabnya ingkat. Aku hanya merespon dengan tertawa sambil bergumam, Oh buset, banyak juga ya. Hahaha 24 orang dalam satu rombongan adalah jumlah yang menurutku menakjubkan. Mereka bisa kompak mengerahkan pasukan sebanyak itu. Sedangkan kami? Hanya 8 orang yang sudah dengan susah payah kami kerahkan sedari berapa minggu yang lalu. Jalan didepanku sudah terbuka karena Mbak Nining dan Mbak Devi sudah selesai menata carrier mereka. Mari mas sambil tersenyum kemudian aku berlalu mencari tempat duduk yang ternyata ada di samping tempat duduk Mbak Nining dan Mbak Devi. Hah, ini! gumamku, sontak kuturunkan bawaanku yang sedari tadi sudah membebani punggungku ini. Kulertakkan carrier ku di atas, berjejalan dengan carrier dan tas bawaan penumpang lain. Kupasang sedemikian rupa agar benda ini tidak jatuh, sepertinya mengerikan membayangkan kalau nanti sedang tidur tiba-tiba tertimpa carrier seberat ini. Ah! teriakku sambil merebahkan badan ke kursi yang agak keras ini. Disampingku, Imam mengikuti aku mendahului Mas Faris dan Mas Ridwan yang masih sibuk menata carrier mereka sehingga satu kursi untuk 2 orang di depanku masih kosong. Kulihat dari balik jendela kaca yang mengarah ke pintu masuk tadi, beberapa penumpang masih terus berdatangan dengan terburu-buru, beberapa petugas kereta

sudah mulai meninggalkan tempatnya berdiri sedari tadi di depan gerbong. Ah akhirnya kesampaian juga setelah sekian lama. gumamku dalam hati sambil melamun. Piye Jon? Siap? lamunanku terusik oleh suara Mas Faris yang ternyata sudah duduk di depanku. Siap bos! sahutku singkat sambil membetulkan posisi dudukku. Kereta mulai bergerak meninggalkan Stasiun Tugu, kulihat keramaian kota ini dari balik jendela kereta. Sudut pandang lain yang belum pernah kurasakan. Biasanya akulah yang memandangi kereta dari kota ini. Obrolan, canda, tawa mengiringi perjalanan kami, pun dengan rombongan lain dalam gerbong ini diselingi dengan petugas kereta yang sesekali menawarkan bantal, selimut, ataupun makanan. Suasana di dalam kereta ekonomi ini tidak lagi sperti dulu yang penuh dengan asongan yang menjajakan makanan kecil atau sekedar kopi. Disini, semuanya tertata, tidak ada pedagang, tidak boleh merokok, tidak ada penumpang berdiri, dan segala hal yang biasa kujumpai di kereta ekonomi jaman dulu. Memang terasa ada yang kurang, tapi kalau berubah ke arah yang lebih baik tidak ada salahnya. Budaya memang penting, tapi untuk budaya baik. Satu per satu orang dalam kereta ini telah terpejam, menyiapkan tenaga untuk esok hari mungkin. Tapi aku masih saja terjaga, membicarakan hal-hal janggal dengan mas Faris dan Mas Ridwan. Tiba-tiba ada seorang pria menghampiri kami, menyalami Mas Ridwan. Mas Angko namanya, teman Mas Ridwan yang ternyata ikut dalam 8 orang rombongan kami, tapi beda gerbong dengan kami karena Mas Angko dan

satu temannya lagi membeli tiket terpisah. Satu orang lagi datang, Ini Leo celetuk Mas Angko memperkenalkan temannya ini sambil menyalami kami semua. Jadi bisa disimpulkan bahwa Leo ini adalah temannya temannya temannya teman saya, memang agak rumit, tapi yang terpenting adalah kini kami semua menjadi teman, bahkan keluarga. Balik dulu ya, mau tidur nih Mas Angko berkata kepada kami sambil berlalu dan melambaikan tangan kepada kami. Jam sudah menunjukkan angka 12.15 saat itu.

Kamis (5/9/2013) 04.30 Kereta berhenti, aku tak tau ini di stasiun mana. Mas Faris tampak seius dengan hapenya. Disuruh turun di Kepanjeng nih kata Pak Sur, Mas Faris berkata kepadaku yang masih berusaha mengumpulkan nyawa ini. Kulihat keluar jendela, membaca papan nama stasiun berwarna putih, Lah ini Kepanjen Mas. Sontak kami jadi panik karena kami disuruh turun disini oleh Pak Suraji, kenalan Mas Faris. Seorang polisi polda DIY yang juga akan naik ke Semeru namun membawa Mobil dari Jogja, rumahnya memang Kediri. Turun sekarang po? tanyaku kepada Mas Faris, Yo Ayo. Satu hal yang kami lupa adalah keempat teman kami yang ada di gerbong ini masih tertidur dengan pulas, belum dengan 2 orang teman kami yang ada di gerbong sebelah. Baru mau membangunkan mereka, kereta sudah mulai bergerak kembali, Yah, udah

jalan kataku sambil melenguh, membangunkan Imam dan Mas Ridwan. Apamau dikata, kami harus turun di stasiun malang. Mas Faris kembali mengambil hapenya dari kantong, membalas sms dari Pak Sur, Waduh, kelewatan pak. Di Malang aja Pak Pukul 04.25 kereta berhenti di stasiun Malang Kota, persinggahan untuk mencapai destinasi kami berikutnya. Kota nan sejuk yang 2 tahun lalu kukunjungi dengan sahabatsahabatku berbekal sepeda motor dan ide gila. Sebuah kota yang masih saja menyimpan pesona bagiku. Tertatih kami mulai memanggul carrier kembali turun dari gerbong kelas ekonomi berwarna putih. Riuh penumpang membanjiri seluruh peron, beruntung stasiun masih sepi. Tempat yang pertama kali kami tuju jelas, Mushola. Tak ada penunjukk arah untuk mushola, hanya toilet, restoran, dan jalan keluar lah yang kami baca. Mas Musholanya dimana ya? tanyaku kepada salah satu pegawai stasiun. Oh di sana mas, di ujung jawabnya singkat sembari mengarahkan tangannya ke arah utara. Terlihat bangunan kecil berwarna kuning dengan mustaka, ciri khas sebuah mushola. Kami bergegas, sebelum matahari mulai muncul dari balik Semeru. Selesai menjalankan ibadah, kami beristirahat sejenak. Bukan, bukan karena capek, tapi karena kami sedang menunggu Pak Suraji meluncur dengan mobilnya dari Kediri. Stasiun sudah mulai sepi, riuh penumpang telah beranjak pergi menuju destinasinya masing masing. Hanya tinggal kami, 8 orang dan beberapa pegawai stasiun. Rombongan dari UII dan teman dari jogja yang hendak naik ke Semeru

pun sudah beranjak pergi meninggalkan Peron Stasiun. Sinar matahari mulai berjalan menyusuri setiap sudut stasiun, menemani petugas memeriksa dan membersihkan kereta Malioboro Ekspress yang tadi membawa kami. Tak ada pedagang asongan, resotran belom buka, pegawai stasiun mulai berdatangan menyebrang rel dari kampung sebelah stasiun. Pak Sur udah di depan untuk kesekian kalinya teriakan Mas Faris kembali mengacaukan lamunanku kembali yang sedari tadi memandangi perlintasan kereta yang mulai ditaburi sinar matahari. Kami mulai bersiap beranjak, menenteng carrier masing-masing berjalan melewati Peron Stasiun menuju pintu keluar. Kedatangan kami ke kota ini disambut puluhan angkot berwarna biru yang berjajar di depan Stasiun. Wow, apakah semua penumpang mereka adalah penumpang yang

You might also like