You are on page 1of 18

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.

1 Definisi Herpes zoster adalah radang kulit akut dan setempat ditandai adanya rasa nyeri radikuler unilateral serta timbulnya lesi vesikuler yang terbatas pada dermatom yang dipersarafi serabut spinal maupun ganglion serabut saraf sensorik dari nervus kranialis. Infeksi ini merupakan reaktivasi virus varisela zoster dari infeksi endogen yang menetap dalam bentuk laten setelah infeksi primer oleh virus. 2.2 Epidemiologi Insiden terjadinya herpes zoster meningkat sesuai dengan pertambahan umur dan biasanya jarang mengenai anak-anak. Insiden herpes zoster berdasarkan usia yaitu sejak lahir - 9 tahun : 0,74 / 1000 ; usia 10 19 tahun :1,38 / 1000 ; usia 20 29 tahun : 2,58 / 1000. Di Amerika, herpes zoster jarang terjadi pada anak-anak, dimana lebih dari 66 % mengenai usia lebih dari 50 tahun, kurang dari 10% mengenai usia dibawah 20 tahun dan 25% mengenai usia kurang dari 15 tahun. Walaupun herpes zoster merupakan penyakit yang sering dijumpai pada orang dewasa, namun herpes zoster dapat juga terjadi pada bayi yang baru lahir apabila ibunya menderita herpes zoster pada masa kehamilan. Dari hasil penelitian, ditemukan sekitar 3% herpes zoster pada anak, biasanya ditemukan pada anak - anak yang imunokompromis dan menderita penyakit keganasan. 2.3 Etiologi Virus Varicella zoster merupakan virus penyebab varisela dan herpes zoster. Varicella zoster merupakan virus golongan herpesvirus. Inang dari virus ini hanya terbatas pada manusia dan primata. Stuktur partikel virus (virion) berukuran 120-300 nm. Virion terdiri dari glikoprotein, kapsid, amplop (selubung) virus, dan nukleokapsid yang melindungi bagian inti berisi DNA genom utas ganda. Bagian

nukleokapsid berbentuk ikosahedral, berdiameter 100-110 nm, dan terdiri dari 162 protein yang disebut kapsomer. Virus ini akan mengalami inaktivasi pada suhu 5660C dan menjadi tidak berbahaya apabila bagian amplop (selubung) dari virus ini rusak. Penyebaran virus ini dapat terjadi melalui pernapasan.

Gambar 1. Struktur virus Varicella zoster 2.4 Patofisiologi Varicella Zoster Virus dapat menyebabkan varisela dan herpes zoster. Kontak pertama dengan virus ini akan menyebabkan varisela, oleh karena itu varisela dikatakan infeksi akut primer sedangkan bila penderita varisela sembuh atau dalam benuk laten dan kemudian terjadi serangan kembali maka yang akan muncul adalah herpes zoster. Infeksi primer dari VZV ini pertama kali terjadi di daerah nasofaring. Disini virus mengadakan replikasi dan dilepas ke darah sehingga terjadi viremia yang sifatnya terbatas dan asimptomatik. Keadaan ini diikuti masuknya virus ke dalam sistem retikuloendotelial, selanjutnya mengadakan replikasi kedua yang sifat viremianya lebih luas dan simptomatik dengan penyebaran virus ke kulit dan mukosa. Sebagian virus juga menjalar melalui serat-serat sensoris dan ditransportasikan secara sentripetal melalui serabut saraf sensoris ke ganglion sensoris. Pada ganglion tersebut terjadi infeksi laten (dorman), dimana virus tersebut tidak lagi menular dan tidak bermultiplikasi, tetapi tetap mempunyai kemampuan berubah menjadi infeksius apabila terjadi reaktivasi virus. Reaktivasi virus tersebut dapat diakibatkan oleh
6

keadaan yang menurunkan imunitas seluler seperti pada penderita karsinoma, penderita yang mendapat pengobatan imunosupresif termasuk kortikosteroid dan pada orang yang menerima transplantasi. Pada saat terjadi reaktivasi, virus akan kembali bermultiplikasi sehingga terjadi reaksi radang dan merusak ganglion sensoris. Kemudian virus akan menyebar ke sumsum tulang serta batang otak dan melalui saraf sensoris akan sampai ke kulit yang kemudiaan dapat menyebabkan timbulnya gejala klinis. Jadi, selama antibodi yang beredar di dalam darah masih tinggi, reaktivasi dari virus yang laten ini dapat dinetralisir, tetapi pada saat tertentu dimana antibodi tersebut turun dibawah level kritis, maka terjadilah reaktivasi virus sehingga terjadi herpes zoster. Secara ringkas, pathogenesis penyakit herpes zoster dapat digambarkan sebagai berikut: Varisela: virus mukosa saluran nafas atas multiplikasi pembuluh darah dan limfe kulit lesi primer saraf perifer ganglion dorsalis infeksi laten. Herpes zoster virus teraktifasi saraf perifer kulit lesi. Varisela terjadi di semua belahan dunia dan ditularkan melalui infeksi droplet dari nasofaring. Pasien berada dalam fase infeksius pada hari ke-2 atau sebelum hari ke-5 setelah timbulnya ruam. Cairan vesikel mengandung banyak virus dan perannya dalam transmisi tidak diketahui. Lesi yang kering tidak bersifat infeksius. Zoster umumnya bermanifestasi pada satu atau lebih ganglion spinalis posterior atau ganglion saraf kranial, hal ini agaknya terjadi karena partikel virus bersembunyi di dalam ganglia dalam fase dorman sejak episode awal varisela. Hal ini menyebabkan timbulnya nyeri di sepanjang dermatom sensoris yang berhubungan dengan ganglion tersebut. Herpes zoster terjadi paling sering di dermatom yang memiliki densitas tertinggi untuk dicapai oleh varisela yaitu saraf trigeminal dan ganglia spinalis sensoris dari T1-L2. Reaktivasi VZV berhubungan dengan keadaan imuno supresi, stres emosional, tumor yang menyerang ganglion dorsal, trauma lokal atau manipulasi pada pembedahan spinal dan sinusitis frontal.

Cidera pada saraf perifer dan ganglion saraf memicu sinyal nyeri afferent, begitu pula inflamasi pada kulit memicu pengeluaran sinyal nosireseptor yang selanjutnya memperberat nyeri pada kulit. Pengeluaran asam amino eksitatori dan neuropeptida yang terjadi secara berlebihan dicetuskan oleh impuls afferent selama fase prodormal dan akut pada herpes zoster menyebabkan rusak dan hilangnya interneuron inhibitor pada ganglion spinalis. Rusaknya saraf pada ganglion dan saraf perifer sangat penting dalam patogenesis dari neuralgia pascaherpetik. Kerusakan saraf afferent primer dapat menyebabkan saraf ini hipersensitivitas dan aktif secara spontan terhadap rangsangan perifer. Dimana secara klinis mekanisme ini berakhir pada allodynia (Nyeri ataupun sensasi yang tidak menyenagkan yang terjadi oleh rangasangan normal yang tidak menyakitkan).

2.5 Gambaran klinis Gejala prodromal herpes zoster biasanya berupa rasa sakit dan parestesi pada dermatom yang terkena. Gejala ini terjadi beberapa hari menjelang timbulnya erupsi. Gejala konstitusi, seperti sakit kepala, malaise, dan demam, terjadi pada 5% penderita (terutama pada anak-anak) dan timbul 1-2 hari sebelum terjadi erupsi. Gambaran yang paling khas pada herpes zoster adalah erupsi yang lokalisata dan

unilateral. Jarang erupsi tersebut melewati garis tengah tubuh. Umumnya lesi terbatas pada daerah kulit yang dipersarafi oleh salah satu ganglion saraf sensorik. Semua dermatom dapat terkena, namun yang paling umum adalah T1 sampai L2. Walaupun umumnya neuron sensoris yang terkena, neuron motorik juga dapat terkena pada 5%15% pasien. Erupsi mulai dengan eritema makulopapular. 12-24 jam kemudian terbentuk vesikula yang dapat berubah menjadi pustula pada hari 3. 7-10 hari kemudian, lesi mengering menjadi krusta. Krusta ini dapat menetap menjadi 2-3 minggu. Keluhan yang berat biasanya terjadi pada penderita usia tua. Pada anak-anak hanya timbul keluhan ringan dan erupsi cepat menyembuh. Rasa sakit segmental pada penderita lanjut usia dapat menetap, walaupun krustanya sudah menghilang. Frekuensi herpes zoster menurut dermatom yang terbanyak pada dermatom torakal (55%), kranial (20%), lumbal (15%), dan sakral (5%).6,11 Kelainan pada wajah diakibatkan oleh gangguan nervus trigeminus (dengan ganglion gaseri) yang salah satu gejalanya adalah herpes zoster ophtalmicus atau nervus fasialis dan otikus (dari ganglion genikulatum) yang disebut Ramsay Hunt Sindrom. Perkembangan ruam herpes zoster Hari 1 Hari 2 Hari 5 Hari 6

Berdasarkan lokasi lesinya, herpes zoster dibagi menjadi: 1. Herpes zoster ophtalmikus Herpes zoster ophtalmikus merupkan infeksi virus herpes zoster yang mengenai bagian ganglion gasseri yang menerima serabut saraf dari cabang ophtalmikus saraf trigeminus, ditandai erupsi herpetik unilateral pada kulit. Infeksi diawali dengan nyeri kulit pada satu sisi kepala dan wajah disertai gejala konstitusi seperti lesu, demam ringan. Gejala prodromal berlangsung 1 4 hari sebelum kelainan

kulit timbul, fotofobia, banyak keluar air mata, kelopak mata bengkak dan sukar dibuka.

Gambar 1. Herpes zoster opthalmikus sinistra

2. Herpes zoster fasialis Herpes zoster fasialis merupakan infeksi virus herpes zoster yang mengenai bagian ganglion gasseri yang menerima serabut saraf fasialis (N.VII), ditandai erupsi herpetik unilateral pada kulit.

Gambar 2. Herpes zoster fasialis dekstra

3. Herpes zoster brakialis Herpes zoster brakialis merupakan infeksi virus herpes zoster yang mengenai pleksus brakialis yang ditandai erupsi herpetik unilateral pada kulit.

10

Gambar 3. Herpes zoster brakialis sinistra

4. Herpes zoster torakalis Herpes zoster torakalis merupakan infeksi virus herpes zoster yang mengenai pleksus torakalis yang ditandai erupsi herpetik unilateral pada kulit.

Gambar 4. Herpes zoster torakalis sinistra

5. Herpes zoster lumbalis Herpes zoster lumbalis merupakan infeksi virus herpes zoster yang mengenai pleksus lumbalis yang ditandai erupsi herpetik unilateral pada kulit. 6. Herpes zoster sakralis Herpes zoster sakralis merupakan infeksi virus herpes zoster yang mengenai pleksus sakralis yang ditandai erupsi herpetik unilateral pada kulit.

Gambar 5. Herpes zoster sakralis dekstra

11

2.6 Penegakan diagnose Diagnosis herpes zoster didasarkan pada anamnesis didapatkan keluhan berupa neuralgia beberapa hari sebelum atau bersama-sama dengan timbulnya lesi. Adakalanya sebelum timbul kelainan kulit, didahului oleh gejala prodromal seperti demam, pusing, dan malaise. Kelainan kulit tersebut mula-mula berupa eritema kemudian berkembang menjadi papula dan vesikel yang dengan cepat membesar dan menyatu sehingga terbentuk bula. Isi vesikel mula-mula jernih, setelah beberapa hari menjadi keruh dan dapat pula bercampur darah. Jika absorpsi terjadi, vesikel dan bula dapat menjadi krusta. Pada stadium pra erupsi, penyakit ini sering dirancukan dengan penyebab rasa nyeri lainnya, misalnya pleuritis, infark miokard, kolesistitis, apendisitis, kolik renal, dan sebagainya. Namun bila erupsi sudah terlihat, diagnosis mudah ditegakkan. Karakteristik dari erupsi kulit pada herpes zoster terdiri atas vesikel-vesikel berkelompok, dengan dasar eritematosa, unilateral, dan mengenai satu dermatom. Secara laboratorium, pemeriksaan sediaan apus tes Tzanck membantu menegakkan diagnosis dengan menemukan sel dantia berinti banyak. Demikian pula pemeriksaan cairan vesikula atau material biopsi dengan mikroskop elektron, serta tes serologik. Pada pemeriksaan histopatologi ditemukan sebukan sel limfosit yang mencolok, nekrosis sel dan serabut saraf, proliferasi endotel pembuluh darah kecil, hemoragi fokal dan inflamasi ganglion. Partikel virus dapat dilihat dengan mikroskop elektron dan antigen virus herpes zoster dapat dilihat secara imunofluoresensi. Apabila gejala klinis sangat jelas tidaklah sulit untuk menegakkan diagnosis. Akan tetapi pada keadaan yang meragukan diperlukan pemeriksaan penunjang antara lain: isolasi virus dengan kultur jaringan dan identifikasi morfologi dengan mikroskop elektron, pemeriksaan antigen dengan imunofluoresen, tes serologi dengan mengukur imunoglobulin spesifik.

12

Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan diantaranya isolasi virus (3-5 hari), PCR, ELISA, teknik imunofluorensi Fluorosecent Antibody to Membrane Antigen (FAMA), yang merupakan baku emasnya. 1. Tzancksmear Preparat diambil dari discraping dasar vesikel yang masih baru, kemudian diwarnai dengan pewarnaan yaitu hematoxylin-eosin, Giemsas, Wrights, toluidine blue ataupun Papanicolaous. Dengan menggunakan mikroskop cahaya akan dijumpai multinucleated giant cells. Pemeriksaan ini sensitifitasnya sekitar 84%. Test ini tidak dapat membedakan antara virus varicella zoster dengan herpes simpleks virus. 2. Direct fluorescent assay (DFA) - Preparat diambil dari scraping dasar vesikel tetapi apabila sudah berbentuk krusta pemeriksaan dengan DFA kurang sensitif. - Hasil pemeriksaan cepat. - Membutuhkan mikroskop fluorescence. - Test ini dapat menemukan antigen virus varicella zoster. - Pemeriksaan ini dapat membedakan antara VZV dengan herpes simpleks virus 3. Polymerase chain reaction (PCR) - Pemeriksaan dengan metode ini sangat cepat dan sangat sensitif. Dengan metode ini dapat digunakan berbagai jenis preparat seperti scraping dasar vesikel dan apabila sudah berbentuk krusta dapat juga digunakan sebagai preparat, dan CSF. - Sensitifitasnya berkisar 97 - 100%. - Test ini dapat menemukan nucleic acid dari virus varicella zoster. 4. Biopsi kulit Hasil pemeriksaan histopatologis : tampak vesikel intraepidermal dengan

13

degenerasi sel epidermal dan acantholysis. Pada dermis bagian atas dijumpai adanya lymphocytic infiltrat. 2.7 Penatalaksanaan Penatalaksaan herpes zoster bertujuan untuk: 1. Mengatasi infeksi virus akut 2. Mengatasi nyeri akut yang ditimbulkan oleh virus herpes zoster 3. Mencegah timbulnya neuralgia pasca herpetik. Meteanalisis dan percobaan acak terkontrol menunjukkan bahwa pemberian agenagen antiviral asiklovir, famsiklovir, dan valasiklovir yang dimulai dalam 72 jam setelah munculnya rash, akan menurunkan beratnya penyakit dan lamanya nyeri akut, diikuti dengan menurunnya insidens neuralgia postherpetik Algoritma terapi

Terapi penunjang: Jaga ruam agar tetap bersih dan kering Untuk rasa tidak nyaman: kompres dingin/lotio kalamin/anestetik topikal Anjuran memakai pakaian dari serat alami yang longgar Edukasi mengenai penyakit herpes zoster

Catatan: Acyclovir topikal tidak dianjurkan Terapi antivirus oral tidak dianjurkan pada herpes zoster dengan kehamilan Pasien imunokompromais: harus diberi terapi antivirus oral

14

A. Antivirus untuk herpes Obat-obat yang efektif terhadap virus varisela zoster bekerja selama fase akut infeksi virus dan tidak memberikan efek pada fase laten. Kecuali foskarnet, obat-obat tersebut adalah analokpurin atau pirimidin yang menghambat sintesis virus DNA. A. Asiklovir Asiklovir merupakan obat antivirus yang paling banyak digunakan karena efektif terhadap virus herpes. 1. Mekanisme kerja : Asiklovir, suatu analog guanosin yang tidak mempunyai gugus glukosa, mengalami monofosforilasi dalam sel oleh enzim yang di kode herpes virus, timidin kinase. Karena itu, sel-sel yang di infeksi virus sangat rentan. Analok monofofat diubah ke bentuk di-dan trifosfat oleh sel pejamu. Trifosfat asiklovir berpacu dengan deoksiguanosin trifosfat (dGTP) sebagai suatu subsrat untuk DNA polymerase dan masuk ke dalam DNA virus yang menyebabkan terminasi rantai DNA yang premature. Ikatan yang irrevelsibel dari template primer yang mengandung asiklovir ke DNA polymerase melumpuhkan enzim. Zat ini kurang efektif terhadap enzim penjamu.

Timidine kinase Asiklovir

kinase seluler Asiklovir monofosfat Asiklovir Difosfat kinase seluler DNA Polymerase virus Asiklovir trifosfat

2. Resistensi: Timidin kinase yang sudah berubah atau berkurang dan polymerase DNA telah ditemukan dalam beberapa strain virus yang resisten. Resistensi terhadap asiklovir disebabkan oleh mutasi pada gen timidin kinase virus atau pada gen DNA polymerase. mekanisme kerja analog purin dan pirimidin : asiklovir

15

dimetabolisme oleh enzim kinase virus menjadi senyawa intermediet. Senyawa intermediet asiklovir(dan obat obat seperti idosuridin,

sitarabin,vidaradin, dan zidovudin) dimetabolisme lebih lanjut oleh enzim kinase sel hospes menjadi analog nukleotida, yang bekerja menghambat replikasi virus. 3. Indikasi : infeksi HSV-1 dan HSV-2 baik local maupun sistemik (termasuk keratitis herpetic, herpetic ensefalitis, herpes genitalia, herpes neonatal, dan herpes labialis.) dan infeksi VZV(varisela dan herpes zoster). Karena kepekaan asiklovir terhadap VZV kurang dibandingkan dengan HSV, dosis yang diperlukan untuk terapi kasus varisela dan zoster lebih tinggi daripada terapi infeksi HSV. 4. Dosis : untuk herpes genital : 5Xsehari 200mg tablet, sedangkan untuk herpes zoster ialah 4x400mg sehari.penggunaan topical untuk keratitis herpetic adalah dalam bentuk krim ophthalmic 3% dank rim 5% untuk herpes labialis. Untuk herpes ensefalitis, HSV berat lain nya dan infeksi VZV digunakan asiklovir intravena 30mg/kgBB perhari. 5. Farmakokinetik : pemberian obat bisa secara intravena, oral atau topical. Efektivitas pemberian topical diragukan.obat tersebar keseluruh

tubuh,termaksuk cairan serebrospinal.asiklovir sebagian dimetabolisme menjadi produk yang tidak aktif.Ekskresi kedalam urine terjadi melalui filtrasi glomerular dan sekresi tubular. 6. Efek samping : Efek samping tergantung pada cara pemberian. Misalnya, iritasi local dapat terjadi dari pemberian topical; sakit kepala; diare; mual ;dan muntah merupakan hasil pemberian oral , gangguan fungsi ginjal dapat timbul pada dosis tinggi atau pasien dehidrasi yang menerima obat secara intravena. B. Gansiklovir Gansiklovir berbeda dari asiklovir dengan adanya penambahan gugus hidroksimetil padaposisi 3 rantai samping asikliknya.metabolisme dan mekanisme kerjanya sama dengan asiklovir. Yang sedikit berbeda adalah pada gansiklovir terdapat karbon 3 dengan gugus hidroksil, sehingga masih memunginkan adanya

16

perpanjangan primer dengan template jadi gansiklovir bukanlah DNA chain terminator yang absolute seperti asklovir. 1. Mekanisme kerja : Gansiklovir diubah menjadi ansiklovir monofosfat oleh enzim fospotranverase yang dihasilkan oleh sel yang terinveksi

sitomegalovirus.gansiklovirmonofospat merupakan sitrat fospotranverase yang lebih baik dibandingkan dengan asiklovir. Aktu paruh eliminasi gangsiklovir ktrifospat sedikitnya 12 jam, sedangkan asiklovir hanya 1-2 jam.perbedaan inilah yang menjelaskan mengapa gansiklovi lebih superior dibandingkan dengan asiklovir untuk terapi penyakit yang disebabkan oleh sitomegalovirus. 2. Resistensi : Sitomegalovirus dapat menjadi resisten terhadap gansiklovir oleh salah satu dari dua mekanisme.penurunan fosporilasi gansiklovir karena mutasi

pada fospotranverase virus yang dikode oleh gen UL97 atau karena mutasi pada DNA polymerase virus.varian virus yang sangat resisten pada gansiklovir disebabkan karena mutasi pada keduanya( Gen UL97 dan DNA polymerase ) dan dapat terjadi resistensi silang terhadap sidofovir atau foskarnet. 3. Indikasi : Infeksi CMV, terutama CMV retinitis pada pasien immunocompromised ( misalnya : AIDS ), baik untuk terapi atau pencegahan. 4. Sediaan dan Dosis : Untuk induksi diberikan IV 10 mg/kg per hari ( 2 X 5 mg/kg, setiap 12 jam) selama 14-21 hari,dilanjutkan dengan pemberian maintenance peroral 3000mg per hari ( 3 X sehari 4 kapsul @ 250 mg ). Inplantsi intraocular ( intravitreal ) 4,5 mg gnsiklovir sebagai terapi local CMV retinitis. 5. Efek samping : mielosupresi dapat terjadi pada terapi dengan gansiklovir. Neotropenia terjadi pada 15-40 % pasien dan trombositopenia terjadi pada 5-20 %. Zidovudin dan obat sitotoksik lain dapat meningkatkan resiko mielotoksisitas gansiklovir. Obat-obat nefrotoksik dapat mengganggu ekskresi gansiklovir. Probenesit dan asiklovi dapat mengurangi klirens renal gansiklovir. Rekombinan koloni stimulating factor ( G-CSF, filgastrim, lenogastrim) dapat menolong dalam penanganan neutropenia yang disebabkan oleh gansiklovir.

17

C. Famsiklovir Suatu analog asiklik dari 2 deoksiguanosin, merupakan prodruk yang dimetabolisme menjadi siklovir aktif. Spectrum antivirus sama dengan gansiklovir tetapi wakyu ini disetujui hanya untuk pengobatan herpes zoster akut. Obat efektif peroral. Efek samping termasuk sakit kepala dan mual.penelitian pada hewan percobaan menujukan peningkatan terjadinya adenokarsinoma mamae dan toksisitas testicular. D. Foskarnet Tidak seperti kebanyakan obat antivirus lainnya, foskarnet bukan analog purin atau pirimidin, obat ini adalah fosfonoformat, suatu derivate pirofosfat. Meskipun aktivitas antivirus in vitro cukup luas, disetujui hanya sebagai pengobatan retinitis sitomegalic pada pasien penderita HIV dengan tanggap imun yang lemah terytama jika infeksi tersebut resisiten terhadap gansiklovir. Foskarnet bekerja dengan menghamabat polimerese DNA & RNA secara reversible, yang mengakhiri elongasi rantai. Mutasi struktur polymerase menyebabkan resistensi virus. Foskarnet sukar diabsorpsi peroral harus disuntikan intravena, dan perlu diberikan berulang untuk menghindari relaps jika kadarnya turun. Tersebat merata di seluruh tubuh. Lebih dari 10% masuk matriks tulang yang secara lambat dilepaskan. Obat asli dikeluarkan oleh glamerolus dan sekresi tubular masuk urine. Efek samping termasuk nefrotoksisitas,anemia,mual dan demam. Karena kelasi dengan kation divalent, hipokalsemia,hipomagnesemia juga terjadi selain itu hipokalemia,hipofospatemia,kejang, dan aretmia juga pernah dilaporkan. E. Trifluridin Trifluridin telah menggantikan obat terdahulu, idoksuridin, pada pengobatan topical keratokonjungtivitis yang disebabkan virus herpes simpleks. Seperti idoksuridin, analog pirimidin ini masuk dalam DNA virus dan menghentikan fungsinya.

18

Tiga antivirus oral yang tersedia untuk terapi herpes zoster


Obat Asiklovir Famsiklovir Valasiklovir Dosis (per hari) 5 x 800 mg 2 x 500 mg 3 x 1000 mg Lama (hari) 7-10 7* 7*

Tabel 1. Obat antivirus oral dan pemakaiannya

B. Terapi kombinasi antivirus dan kortikosteroid untuk herpes zoster tanpa komplikasi Penambahan kortikosteroid telah dievaluasi pada pasien yang diobati dengan asiklovir. Manfaat steroid terdiri dari percepatan proses penyembuhan lesi dan resolusi nyeri akut yang lebih cepat. Meskipun secara statistik signifikan, namun manfaatnya tidak banyak. Tidak ada efek terhadap perkembangan atau durasi neuralgia postherpetik. Steroid belum diteliti bersama valasiklovir atau famsiklovir, jadi belum diketahui manfaatnya. Penambahan terapi steroid perlu dipertimbangkan hanya untuk pasien dengan gejala berat. Steroid tidak boleh diberikan sendiri (tanpa terapi antivirus) karena ditakutkan malah akan mendukung terjadinya replikasi virus. Pengaruh steroid pada infeksi sekunder kulit belum diketahui. Beberapa pengarang menyatakan bahwa steroid dapat meningkatkan risiko. Prednison 40-60 mg/hari, merupakan pilihan yang baik jika diperlukan penggunaan steroid. Lamanya pemberian terapi steroid untuk hasil optimal belum diketahui. Jika diberikan, pemberian steroid bersamaan dnegan terapi antiviral nampaknya cukup beralasan. Lamanya pemberian steroid ini tidak boleh lebih lama daripada pemberian antiviral. Obat ini memiliki unsur sebagai antiinflamasi dan menyebabkan efek metabolik yang besar dan bervariasi. Kortikosteroid mengubah respon imun tubuh terhadap berbagai rangsangan. Tambahan prednison oral terhadap pemberian asiklovir menunjukkan berkurangnya nyeri, mempercepat penyembuhan lesi, dan

19

memungkinkan penderita pulih lebih cepat untuk kembali menjalani aktivitas seharihari. C. Vaksin varisella zoster Agen ini menghasilkan imunisasi aktif untuk meningkatkan resistensi tehadap infeksi. Vaksin mengandung mikroorganisme yang dilemahkan atau komponen seluler, yang bekerja sebagai antigen. Pemberian vaksin akan merangsang produksi antibodi dengan unsur protektif tertentu. Nama Obat Deskripsi Vaksin varicella zoster Preparat strain virus varicella zoster hidup yang dilemahkan. Terbukti meningkatksn imunitas terhadap virus herpes zoster (shingles) pada pasien lansia. Mengurangi timbulnya shingles pada orang berusia >60 tahun sampai sekitar 50%. Untuk yang berusia 60-69 tahun, ia mengurangi timbulnya shingles sampai 64%. Juga dapat sedikit mengurangi nyeri dibandingkan tanpa vaksinasi pada mereka yang menderita shingles.diindikasikan sebagai pencegahan herpes zoster terhadap pasien berusia >60 tahun tanpa kontraindikasi <> > 60 tahun: mengikuti keseluruhan isi dalam vial, gunakan jarum steril dan spuit yang terpisah untuk menarik seluruh isi vial dan diberikan secara SC; pada lengan kanan atas Dosis Pediatrik Kontraindikasi Tidak diindikasikan Riwayat hipersensitivitas terhadap vaksin atau komponennya (misalnya gelatin, neomisin); riwayat imunodefisiensi didapat atau sekunder (misalnya leukemia, limfoma, keganasan yang mempengaruhhi sumsum tulang atau system limfatik, AIDS); terapi yang bersifat imunosupresif termasuk kortikosteroid dosis tinggi; tuberculosis aktif yang tidak diobati Belum ada yang dilaporkan C Risiko terhadap janin terlihat pada penelitian pada hewan, namun belum dipastikan atau belum dilakukan penelitian terhadap manusia;

Dosis Dewasa

Interaksin Kehamilan

20

dapat digunakan bila manfaat lebih besar daripada risiko terhadap janin Pencegahan Efek samping umum meliputi eritema, nyeri, pembengkakan, gatal, dan inflamasi pada daerah suntuikan; juga dapat menyebabkan sakit kepala; dapat menyebabkan ruam luas akibat vaksin atau penyakit diseminata pada penderita yang menjalani terapi imunosupresif (lihat kontraindikasi); tunda vaksinasi jika terdapat demam atau penyakit akut; jangan disuntikkan secara intravaskuler; berikan dalam 30 menit; bukan merupakan pengganti vaksin virus varicella untuk anak-anak

C. Nonfarmakologi Perawatan non farmakologi juga sangat penting. Pendidikan pasien dan dukungan penting dalam penatalaksanaan Herpes zoster. Hal tersebut meliputi penjelasan atas jalannya penyakit, rencana pengobatan, dan perlu memperhatikan aturan dosis antivirus. Tidak adanya pengetahuan pasien dan ketakutan pasien tentang Herpes zoster harus diperhatikan dan pasien harus diberitahu tentang resiko menular terhadap orang yang belum pernah cacar air. Instruksikan pasien agar tetap menjaga ruam dalam keadaan bersih dan kering untuk meminimalkan resiko infeksi bakteri, melaporkan setiap perubahan suhu badan, dan menggunakan pembalut steril basah untuk mengurangi ketidaknyamanan. 2.8 Komplikasi Penderita yang tidak disertai keadaan penurunan imunitas, biasanya tanpa komplikasi. Komplikasi yang dapat terjadi ialah adanya vesikel yang berubah menjadi ulkus dengan jaringan nekrotik. Neuralgia pascaherpetik Nyeri merupakan komplikasi tersering herpes zoster yang membuat pasien menderita. Pada fase akut, nyeri biasanya berkurang dalam beberapa minggu. Jika nyerinya masih menetap lebih dari 3 bulan setelah hilangnya ruam zoster, maka diduga pasien mengalami komplikasi neuralgia pasca herpes (NPH). Nyeri ini dapat berlangsung sampai beberapa bulan bahkan bertahun-tahun dengan gradasi
21

nyeri yang bervariasi dalam kehidupan sehari-hari. Kecenderungan ini dijumpai pada orang yang menderita herpes zoster di atas usia 40 tahun, ruam yang meluas, dan intensitas nyeri akut yang lebih berat merupakan indikator meningkatnya risiko terjadinya NPH. Pada herpes zoster oftalmikus dapat terjadi berbagai komplikasi, di antaranya ptosis paralitik, keratitis, skleritis, uveitis, korioretinitis, dan neuritis optik. Paralisis motorik terdapat pada 1-5% kasus, yang terjadi akibat penjalaran virus secara per kontinuitatum dari ganglion sensorik ke sistem saraf yang berdekatan. Paralisis biasanya timbul dalam 2 minggu sejak awitan munculnya lesi. Berbagai paralisis dapat terjadi, misalnya di muka, diafragma, batang tubuh, ekstremitas, vesika urinaria, dan anus. Umumnya akan sembuh spontan.

Infeksi juga dapat menjalar ke organ dalam, misalnya paru, hepar, dan otak.

Komplikasi herpes zoster 2.9 Prognosis Terhadap penyakitnya pada dewasa dan anak-anak umumnya baik, tetapi usia tua risiko terjadinya komplikasi semakin tinggi, dan secara kosmetika dapat menimbulkan makula hiperpigmentasi atau sikatrik. Dengan memperhatikan higiene & perawatan yang teliti akan memberikan prognosis yang baik & jaringan parut yang timbul akan menjadi sedikit.

22

You might also like