You are on page 1of 23

MAKALAH PRIBADI

BLOK 22
NEUROLOGY & BEHAVIOUR
SCIENCE

NAMA : RICHESIO SAPATA


NIM : 102007132
KELOMPOK B4
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA
JAKARTA
2011

Bab I
Pendahuluan
Meningitis merupakan peradangan dari meningen yang menyebabkan terjadinya
gejala perangsangan meningen seperti sakit kepala, kaku kuduk, fotofobia disertai
peningkatan jumlah leukosit pada liquor cerebrospinal (LCS). Berdasarkan durasi dari
gejalanya, meningitis dapat dibagi menjadi akut dan kronik. Meningitis akut memberikan
manifestasi klinis dalam rentang jam hingga beberapa hari, sedangkan meningitis kronik
memiliki onset dan durasi berminggu-minggu hingga berbulan-bulan. Pada banyak kasus,
gejala klinik meningitis saling tumpang tindih karena etiologinya sangat bervariasi.
Meningitis juga dapat dibagi berdasarkan etiologinya. Meningitis bakterial akut
merujuk kepada bakteri sebagai penyebabnya. Meningitis jenis ini memiliki onset gejala
meningeal dan pleositosis yang bersifat akut. Penyebabnya antara lain Streptococcus
pneumoniae, Neisseria meningitidis, Haemophilus influenzae. Jamur dan parasit juga dapat
menyebabkan meningitis seperti Cryptococcus, Histoplasma, dan amoeba.
Meningitis aseptik merupakan sebutan umum yang menunjukkan respon selular
nonpiogenik yang disebabkan oleh agen etiologi yang berbeda-beda. Penderita biasanya
menunjukkan gejala meningeal akut, demam, pleositosis LCS yang didominasi oleh limfosit.
Setelah beberapa pemeriksaan laboratorium, didapatkan peyebab dari meningitis aseptik ini
kebanyakan berasal dari virus, di antaranya Enterovirus, Herpes Simplex Virus (HSV).
Pada referat ini akan dibahas mengenai meningitis bakterialis. Meningitis bakterialis
merupakan penyakit yang mengancam jiwa disebabkan oleh infeksi lapisan meningen oleh
bakteri. Insidensi meningitis bakterialis di Amerika Serikat sudah menurun sejak
diterapkannya penggunaan rutin vaksin Haemophilus influenzae tipe B (HIB). Umumnya
penderita berusia di bawah 5 tahun dan pada 70% kasus terjadi pada anak-anak usia 2 tahun.

Bab II
Isi
A. Anamnesis
Pada kasus ini menggunakan allo-anamnesis, beberapa pertanyaan yang di tanyakan:

Apakah ada demam?

Kalau ada semenjak kapan?

Apakah mengalami kejang?

Apakah ada alergi dengan obat?

Sebelum ini sudah mengkonsumsi obat apa saja?

Apakah sang anak susah makannya?

Apakah anaknya mual atau suka muntah?

B. Pemeriksaan
a. Pemeriksaan Fisik

kaku kuduk (+)


Tangan pemeriksa ditempatkan dibawah kepala pasien yang sedang
berbaring, kemudian kepala ditekukan ( fleksi) dan diusahakan agar dagu
mencapai dada. Selama penekukan diperhatikan adanya tahanan. Bila
terdapat kaku kuduk kita dapatkan tahanan dan dagu tidak dapat mencapai
dada. Kaku kuduk dapat bersifat ringan atau berat

Tes laseque (+)


Untuk pemeriksaan ini dilakukan pada pasien yang berbaringlalu kedua
tungkai diluruskan ( diekstensikan ) , kemudian satutungkai diangkat
lurus, dibengkokkan( fleksi ) persendian panggulnya. Tungkai yang satu

lagi harus selalu berada dalam keadaan ekstensi ( lurus ) . Pada keadaan
normal dapat dicapai sudut 70 derajat sebelum timbul rasa sakit dan
tahanan. Bila sudah timbul rasa sakit dan tahanan sebelum mencapai 70
derajat maka disebut tanda Lasegue positif. Namun pada pasien yang
sudah lanjut usianya diambil patokan 60 derajat.

Tes Brudzzinski (+)


Tanda leher menurut Brudzinski, Tanda tungkai kontralateral menurut
Brudzinski, Tanda pipi menurut Brudzinski, Tanda simfisis pubis menurut
Brudzinski

Kernig sign (+)


Pada pemeriksaan ini , pasien yang sedang berbaring difleksikan pahanya
pada persendian panggul sampai membuat sudut 90 derajat. Setelah itu
tungkai bawah diekstensikan pada persendian lutut sampai membentuk
sudut lebih dari 135 derajat terhadap paha. Bila teradapat tahanan dan rasa
nyeri sebelum atau kurang dari sudut 135 derajat , maka dikatakan
kernig sign positif.

b. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan cairan serebrospinal:


Diagnosis pasti meningitis dibuat berdasarkan gejala klinis dan hasil analisa
cairan serebrospinal dari pungsi lumbal.
Tabel 1. Interpretasi Analisa Cairan Serebrospinal
Tes
Tekanan LP

Meningitis Bakterial
Meningkat

Meningitis Virus
Biasanya normal

Meningitis TBC
Bervariasi

Warna

Keruh

Jernih

Xanthochromia

Jumlah sel

> 1000/ml

< 100/ml

Bervariasi

Jenis sel

Predominan PMN

Predominan MN

Predominan MN

Protein

Sedikit meningkat

Normal/meningkat

Meningkat

Glukosa

Normal/menurun

Biasanya normal

Rendah

Kontraindikasi pungsi lumbal:

Infeksi kulit di sekitar daerah tempat pungsi. Oleh karena kontaminasi


dari infeksi ini dapat menyebabkan meningitis.
Dicurigai adanya tumor atau tekanan intrakranial meningkat. Oleh
karena pungsi lumbal dapat menyebabkan herniasi serebral atau
sereberal.
Kelainan pembekuan darah.
Penyakit degeneratif pada join vertebra, karena akan menyulitkan
memasukan jarum pada ruang interspinal.

Pemeriksaan radiologi:
X-foto dada: untuk mencari kausa meningitis
CT Scan kepala: dilakukan bila didapatkan tanda-tanda kenaikan
tekanan intrakranial dan lateralisasi

Pemeriksan lain:
Darah: LED, lekosit, hitung jenis, biakan
Air kemih: biakan
Uji tuberkulin
Biakan cairan lambung

C. Diagnose
a. Diagnose Kerja
Meningitis merupakan peradangan dari meningen gejala klinis meningitis
bakterialis pada neonatus tidak spesifik meliputi gejala sebagai berikut:

sulit makan,

lethargi,
5

irritable,

apnea,

apatis,

febris,

hipotermia,

konvulsi,

ikterik,

ubun-ubun menonjol,

pucat,

shock,

hipotoni,

high pitch cry,

asidosis metabolik.

Sedangkan gejala klinis pada bayi dan anak-anak yang diketahui berhubungan
dengan meningitis adalah

kaku kuduk,

opisthotonus,

ubun-ubun menonjol (bulging fontanelle),

konvulsi,

fotofobia,

cephalgia,

penurunan kesadaran,

irritable,
6

lethargi,

anoreksia,

nausea,

vomitus,

koma,

febris umumnya selalu muncul tetapi pada anak dengan sakit yang
berat dapat hipotermia.

b. Diagnosa Banding

DEMAM KEJANG
Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi karenakenaikan suhu tubuh (suhu
rectal diatas 38 C) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium. Pada kejang
demam kaku kuduk (-)

MENINGITIS ETCAUSA VIRUS


Pada pemeriksaan LCS makroskopik cairanya berwarna jernih, tidak
penurunan glukosa.

D. Etiologi
* Etiologi meningitis neonatal
Bakteri sering didapatkan dari flora vaginal ibu di mana flora usus gram negatif
(Escherichia coli) dan Streptococcus grup B adalah patogen predominan. Pada neonatus
preterm yang menerima berbagai terapi antimikroba, berbagai prosedur pembedahan
sering didapatkan Staphilococcus epidermidis dan Candida sp sebagai penyebab
meningitis. Listeria monocytogenes merupakan patogen yang jarang dijumpai tetapi
sering menyebabkan mortalitas.

Meningitis Streptococcus grup B dengan onset dini yang terjadi dalam 7 hari pertama
kehidupan sering dihubungkan dengan komplikasi obstetri sebelum atau saat persalinan.
Penyakit ini sering menyerang bayi preterm atau pun bayi dengan berat badan lahir
rendah (BBLR). Meningitis onset lanjut terjadi setelah 7 hari pertama kehidupan yang
disebabkan oleh patogen nosokomial atau patogen selama masa perinatal. Streptococcus
grup B serotipe 3 adalah 90% penyebab meningitis onset lanjut.
Penggunaan alat bantu respirasi meningkatkan resiko meningitis oleh Serratia
marcescens, Pseudomonas aeruginosa dan Proteus mirabilis. Infeksi oleh Citrobacter
diversus dan Salmonella sp jarang terjadi tetapi memberikan mortalitas tinggi pada
penderita yang juga menderita abses otak.
* Etiologi meningitis pada bayi dan anak-anak
Pada anak-anak di atas 4 tahun, penyebab tersering adalah Streptococcus pneumoniae,
Neisseria meningitidis, Haemophilus influenzae tipe B (HIB). HIB pernah menjadi
etiologi tersering tetapi sudah tereradikasi pada negara-negara yang telah menggunakan
vaksin konjugasi secara rutin.
Streptococcus pneumoniae meningitis

Gambar 1. Streptococcus pneumoniae


Patogen ini berbentuk seperti lancet, merupakan diplokokus gram positif dan penyebab
utama meningitis. Dari 84 serotipe, serotipe 1, 3, 6, 7, 14, 19, dan 23 adalah jenis yang
sering dihubungkan dengan dengan bakteremia dan meningitis. Anak pada berbagai usia
dapat terpapar tetapi insidensi dan tingkat keparahan penyakit paling tinggi pada bayi dan

lansia. Kurang lebih 50% penderita memiliki riwayat fokus infeksi di parameningen atau
pneumonia. Pada penderita meningitis rekuren perlu dipikirkan ada tidaknya riwayat
trauma kepala atau kelainan dural. S. pneumoniae sering menimbulkan meningitis pada
penderita sickle cell anemia, hemoglobinopathy, penderita asplenia anatomis atau
fungsional. Patogen ini membentuk kolonisasi pada saluran pernapasan individu sehat.
Transmisi terjadi antar manusia dengan kontak langsung. Masa inkubasi sekitar 1-7 hari
dan prevalensi terbanyak pada musim dingin. Gejala yang ditimbulkan di antaranya
kehilangan pendengaran sensorineural, hidrocephalus, dan sekuelae SSP lainnya.
Pengobatan antimikroba efektif mengeradikasi bakteri dari sekresi nasofaring dalam 24
jam. Pneumococcus membentuk resistensi yang bervariasi terhadap antimikroba.
Resistensi terhadap penicillin berkisar antara 10-60%. Hal ini disebabkan oleh perubahan
dalam enzim yang berperan dalam pertumbuhan dan perbaikan protein pengikat penicillin
pada bakteri sehingga beta-laktamase inhibitor menjadi tidak berguna. Pneumococcus
yang resisten terhadap penicillin juga menampakkan resistensi terhadap cotrimoxazole,
tetrasiklin, chloramphenicol, dan makrolide. Cephalosporin generasi 3 (cefotaxime,
ceftriaxone) saat ini merupakan pilihan karena mampu menghambat sejumlah bakteri
yang telah resisten. Beberapa golongan fluoroquinolon (levofloksasin, trovafloksasin)
walaupun merupakan kontraindikasi untuk anak-anak tetapi memiliki daya kerja tinggi
melawan kebanyakan pneumococcus dan memiliki penetrasi adekuat ke SSP.
Neisseria meningitidis meningitis

Gambar 2. Neisseria meningitidis


Patogen ini merupakan bakteri gram negatif berbentuk seperti ginjal dan sering
ditemukan intraselular. Organisme ini dikelompokkan secara serologis berdasarkan

kapsul polisakarida. Serotipe B, C, Y, dan W-135 merupakan serotipe yang menyebabkan


15-25% kasus meningitis pada anak. Saluran pernapasan atas sering dikolonisasi oleh
patogen ini dan ditularkan antar manusia melalui kontak langsung, droplet infeksius dari
sekresi saluran pernapasan, dan sering pula dari karier asimptomatik. Masa inkubasi
umumnya kurang dari 4 hari, dengan kisaran waktu 1-7 hari. Faktor resiko meliputi
defisiensi komponen komplemen terminal (C5-C9), infeksi virus, riwayat tinggal di
daerah overcrowded, penyakit kronis, penggunaan kortikosteroid, perokok aktif dan pasif.
Kasus umumnya terjadi pada bayi usia 6-12 bulan dan puncak insidensi tertinggi kedua
adalah saat adolesen. Manifestasi purpura atau petekiae sering dijumpai. LCS pada
meningococcal meningitis biasanya memberi gambaran normoseluler. Kematian
umumnya terjadi 24 jam setelah hospitalisasi pada penderita dengan prognosis buruk
yang ditandai dengan gejala hipotensi, shock, netropenia, petekiae dan purpura yang
muncul kurang dari 12 jam, DIC, asidosis, adanya bakteri dalam leukosit pada sediaan
apus darah tepi.
Haemophilus influenzae tipe B (HIB) meningitis

Gambar 3. HIB
HIB merupakan batang gram negatif pleomorfik yang bentuknya bervariasi dari
kokobasiler sampai bentuk panjang melengkung. HIB meningitis umumnya terjadi pada
anak-anak yang belum diimunisasi dengan vaksin HIB. 80-90% kasus terjadi pada anakanak usia 1 bulan-3 tahun. Menjelang usia 3 tahun, banyak anak-anak yang belum pernah
diimunisasi HIB telah memperoleh antibodi secara alamiah terhadap kapsul poliribofosfat
HIB yang cukup memberi efek protektif. Penularan dari manusia ke manusia melalui

10

kontak langsung, droplet infeksius dari sekresi saluran pernapasan. Masa inkubasi kurang
dari 10 hari.
Mortalitas kurang dari 5% umumnya kematian terjadi pada beberapa hari awal penyakit.
Beberapa data menunjukkan 30-35% patogen ini sudah resisten terhadap ampicillin
karena produksi beta-laktamase oleh bakteri. Sebanyak 30% kasus menyebabkan sekuelae
jangka panjang. Pemberian dini dexamethasone dapat menurunkan morbiditas dan
sekuelae.
Listeria monocytogenes meningitis

Gambar 4. Listeria monocytogenes


Bakteri ini menyebabkan meningitis pada neonatus dan anak-anak immunocompromised.
Patogen ini sering dihubungkan dengan konsumsi makanan yang terkontaminasi (susu
dan keju). Kebanyakan kasus disebabkan oleh serotipe Ia, Ib, IVb. Gejala pada penderita
dengan Listerial meningitis cenderung tersamar dan diagnosis sering terlambat
ditegakkan. Pada pemeriksaan laboratorium, patogen ini sering disalahartikan sebagai
Streptococcus hemolyticus atau diphteroid.
Etiologi lain-lain
Staphylococcus epidermidis sering menimbulkan meningitis dan infeksi saluran LCS
pada penderita dengan hidrocephalus dan post prosedur bedah. Anak-anak yang
immunocompromised sering mendapatkan meningitis oleh spesies Pseudomonas,
Serratia, Proteus dan diphteroid.

11

E. Epidemiologi
Kejadian meningitis bakteri diperkirakan sekitar 5 sampai 10 kasus per 100.000 orang per
tahun. Meningitis bakteri jauh lebih umum di negara-negara berkembang dan di kawasankawasan geografis tertentu, seperti di Afrika, dimana kejadian yang diduga adalah 70
kasus per 100.000 orang per tahun. Kejadian ditemukan paling tinggi pada bayi-bayi yang
berusia di bawah 1 tahun, dimana 7,1 kasus per 100.000 penduduk dilaporkan pada tahun
2001, dibandingkan dengan hanya 1,8, 0,7 dan 0,7 per 100.000 orang yang berusia 1-4
tahun, 5-17 tahun dan 18-34 tahun, masing-masing.

F. Patofisiologi
Pertama-tama bakteri berkolonisasi dan menyebabkan infeksi lokal pada inang.
Kolonisasi dapat terbentuk pada kulit, nasofaring, saluran pernapasan, saluran
pencernaan, atau saluran kemih dan genital. Dari tempat ini, bakteri akan menginvasi
submukosa dengan menghindari pertahanan inang (seperti barier fisik, imunitas lokal,
fagosit/makrofag) dan mempermudah akses menuju sistem syaraf pusat (SSP) dengan
beberapa mekanisme:
Invasi ke dalam aliran darah (bakteremia) dan menyebabkan penyebaran secara
hematogen ke SSP, yang merupakan pola umum dari penyebaran bakteri. Penyebaran
melalui kontak langsung, misalnya melalui sinusitis, otitis media, malformasi kongenital,
trauma, inokulasi langsung selama manipulasi intrakranial.
Sesampainya di aliran darah, bakteri akan berusaha menghindar dari pertahanan imun
( misalnya: antibodi, fagositosis neutrofil, sistem komplemen). Kemudian terjadi
penyebaran hematogen ke perifer dan organ yang letaknya jauh termasuk SSP.

12

Mekanisme patofisiologi spesifik mengenai penetrasi bakteri ke dalam SSP sampai


sekarang belum begitu jelas. Setelah tiba di SSP, bakteri dapat bertahan dari sistem imun
inang karena terbatasnya jumlah sistem imun pada SSP. Bakteri akan bereplikasi secara
tidak terkendali dan merangsang kaskade inflamasi meningen. Proses inflamasi ini
melibatkan peran dari sitokin yaitu tumor necrosis factor-alpha (TNF-), interleukin(IL)1, chemokin (IL-8), dan molekul proinflamasi lainnya sehingga terjadi pleositosis dan
kerusakan neuronal. Peningkatan konsentrasi TNF-, IL-1, IL-6, dan IL-8 merupakan ciri
khas meningitis bakterial.
Paparan sel (endotel, leukosit, mikroglia, astrosit, makrophag) terhadap produk yang
dihasilkan bakteri selama replikasi dan kematian bakteri merangsang sintesis sitokin dan
mediator proinflamasi. Data-data terbaru memberi petunjuk bahwa proses ini dimulai
oleh ligasi komponen bakteri (seperti peptidoglikan, lipopolisakarida) untuk mengenali
reseptor (Toll-like receptor)
TNF- merupakan glikoprotein yang diderivasi dari monosit-makrophag, limfosit,
astrosit, dan sel mikroglia. IL-1 yang dikenal sebagai pirogen endogen juga berperan
dalam induksi demam saat infeksi bakteri. Kedua mediator ini dapat terdeteksi setelah 3045 menit inkulasi endotosin intrasisternal.
Mediator sekunder seperti IL-6, IL-8, Nitric Oxide (NO), prostaglandin (PGE2) dan
platelet activation factor (PAF) diduga memperberat proses inflamasi. IL-6 menginduksi
reaktan fase akut sebagai respon dari infeksi bakteri. IL-8 membantu reaksi chemotaktik
neutrofil. NO merupakan molekul radikal bebas yang menyebabkan sitotoksisitas saat
diproduksi dalam jumlah banyak. PGE-2 akan meningkatkan permeabelitas blood-brain
barrier (BBB). PAF dianggap memicu pembentukan trombi dan aktivasi faktor
pembekuan di intravaskular.

13

Pada akhirnya akan terjadi jejas pada endotel vaskular dan terjadi peningkatan
permeabelitas BBB sehingga terjadi perpindahan berbagai komponen darah ke dalam
ruang subarachnoid. Hal ini menyebabkan terjadinya edema vasogenik dan peningkatan
protein LCS. Sebagai respon terhadap molekul sitokin dan kemotaktik, neutrofil akan
bermigrasi dari aliran darah menuju ke BBB yang rusak sehingga terjadi gambaran
pleositosis neutrofil yang khas untuk meningitis bakterial.
Peningkatan viskositas LCS disebabkan karena influk komponen plasma ke dalam ruang
subarachnoid dan melambatnya aliran vena sehingga terjadi edema interstitial, produkproduk degradasi bakteri, neutrofil, dan aktivitas selular lain yang menyebabkan edema
sitotoksik.
Edema serebral tesebut sangat bermakna dalam menyebabkan tekanan tinggi intra kranial
dan pengurangan aliran darah otak/cerebral blood flow (CBF). Metabolisme anaerob
terjadi dan mengakibatkan peningkatan konsentrasi laktat dan hypoglycorrhachia.
Hypoglycorrhachia merupakan hasil dari menurunnya transpor glukosa ke LCS. Jika
proses yang tidak terkendali ini tidak ditangani dengan baik, dapat terjadi disfungsi
neuronal sementara atau pun permanen.
Tekanan tinggi intra kranial (TTIK) merupakan salah satu komplikasi penting dari
meningitis di mana keadaan ini merupakan gabungan dari edema interstitial (sekunder
terhadap obstruksi aliran LCS), edema sitotoksik (akibat pelepasan produk toksik bakteri
dan neutrofil) serta edema vasogenik (peningkatan permeabelitas BBB).
Edema serebral dapat menyebabkan terjadinya midline shift dengan adanya penekanan
pada tentorial dan foramen magnum. Pergeseran ini akan menimbulkan herniasi gyri
parahippocampus dan cerebellum. Secara klinis keadaan ini ditunjukkan oleh adanya
penurunan kesadaran dan reflek postural, palsy nervus kranial III dan VI. Jika tidak

14

diobati maka terjadi dekortikasi dan deserebrasi yang secara pesat berkembang menjadi
henti napas atau henti jantung.

Gambar 5. Pathology meningitis

G. Manifestasi klinik
Penyakit ini biasanya dimanifestasikan dalam bentuk adanya infeksi geeneral pada
umumnya seperti demam, mungkin juga didapati adanya sakit kepala yang hebat,
photophobia, kaku kuduk, didapatinya tanda kernig dan tanda brudzinski.

15

H. Komplikasi
Sekuelae jangka panjang didapat pada 30% penderita dan bervariasi tergantung etiologi,
usia penderita, gejala klinis dan terapi. Pemantauan ketat berskala jangka panjang sangat
penting untuk mendeteksi sekuelae.
Sekuelae pada SSP meliputi tuli, buta kortikal, hemiparesis, quadriparesis, hipertonia
otot, ataxia, kejang kompleks, retardasi motorik, kesulitan belajar, hidrocephalus nonkomunikan, atropi serebral.
Gangguan pendengaran terjadi pada 20-30% anak. Pemberian dini dexamethasone dapat
mengurangi komplikasi audiologis pada HIB meningitis. Gangguan pendengaran berat
dapat menganggu perkembangan bicara sehingga evaluasi audiologis rutin dan
pemantauan perkembangan dilakukan tiap kali kunjungan ke petugas kesehatan. Jika
ditemukan sekuelae motorik maka perlu dilakukan terapi fisik, okupasional, rehabilitasi
untuk menghindari kerusakan di kemudian hari dan mengoptimalkan fungsi motorik.

I. Penatalaksanaan
Penanganan penderita meningitis meliputi:
1. medikamentosa:
a.

Obat anti infeksi:

Meningitis bakterial, umur <2 bulan :


o

Cephalosporin Generasi ke 3, atau

Kombinasi Ampicilin 150-200 mg (400 mg)/KgBB/hari IV dibagi


dalam 4-6 kali dosis sehari dan Chloramphenicol 50 mg/KgBB/hari
IV dibagi dalam 4 dosis

16

Meningitis bakterial, umur >2 bulan:


o

Kombinasi Ampicilin 150-200 mg (400 mg)/KgBB/hari IV dibagi


dalam 4-6 kali dosis sehari dan Chloramphenicol 50 mg/KgBB/hari
IV dibagi dalam 4 dosis, atau

Sefalosporin Generasi ke 3

Dexamethasone dosis awal 0,5 mg/KgBB IV dilanjutkan dengan dosis


rumatan 0,5 mg/KgBB IV dibagi dalam 3 dosis, selama 3 hari.
Diberikan 30 menit sebelum pemberian antibiotika

b. Pengobatan simptomatis

c.

Menghentikan kejang:
o

Diazepam 0,2-0,5 mg/KgBB/dosis IV atau 0,4-0,6 mg/KgBB/dosis


REKTAL SUPPOSITORIA, kemudian dilanjutkan dengan:

Phenytoin 5 mg/KgBB/hari IV/PO dibagi dalam 3 dosis atau

Phenobarbital 5-7 mg/Kg/hari IM/PO dibagi dalam 3 dosis

Menurunkan panas:
o

Antipiretika: Paracetamol 10 mg/KgBB/dosis PO atau Ibuprofen 5-10


mg/KgBB/dosis PO diberikan 3-4 kali sehari

Kompres air hangat/biasa

Pengobatan suportif
o Cairan intravena
o Oksigen. Usahakan agar konsentrasi O2 berkisar antara 30-50%.

17

2. Non-medikamentosa

Pada waktu kejang:


o

Longgarkan pakaian, bila perlu dibuka

Hisap lendir

Kosongkan lambung untuk menghindari muntah dan aspirasi

Hindarkan penderita dari rudapaksa (misalnya jatuh)

Bila penderita tidak sadar lama:


o

Beri makanan melalui sonde

o Cegah dekubitus dan pnemonia ortostatik dengan merubah posisi penderita


sesering mungkin, minimal ke kiri dan ke kanan setiap 6 jam
o

Cegah kekeringan kornea dengan boorwater/salep antibiotika

Bila mengalami inkontinensia urin lakukan pemasangan kateter

Bila mengalami inkontinensia alvi lakukan lavement

18

Pemantauan ketat:
o

Tekanan darah

Pernafasan

Nadi

Produksi air kemih

Faal hemostasis untuk mengetahui secara dini ada DIC

Fisioterapi dan rehabilitasi.

J. Preventif
Pencegahan dibagi 2 cara yaitu dengan kemoprofilaksis dan imunisasi.
*Kemoprofilaksis untuk N.meningitidis meningitis
Semua individu yang tinggal serumah dan petugas kesehatan yang kontak dengan
penderita perlu diberi kemoprofilaksis. Karena peningkatan resistensi terhadap
sulfonamid maka obat pilihannya adalah rifampin, ceftriaxone, ciprofloxacin. Sulfonamid
digunakan sebagai profilaksis pada keadaan tertentu di mana patogen tersebut masih
sensitif. Bahkan setelah kemoprofilaksis adekuat, kasus sekunder dapat terjadi sehingga
orang yang kontak dengan penderita harus segera mencari pertolongan medik saat timbul
gejala pertama kali. Dosis rifampin 600 mg peroral tiap 12 jam selama 2 hari.
* Kemoprofilaksis untuk HIB meningitis
Rifampin dengan dosis 20 mg/kg/hari untuk 4 hari dianjurkan kepada individu yang
kontak dengan penderita HIB meningitis. Jika anak usia 4 tahun atau lebih muda kontak
dengan penderita maka anak tersebut harus diberi profilaksis tanpa memedulikan status
imunisasinya. Yang dimaksud dengan kontak adalah seseorang yang tinggal pada rumah
yang sama dengan penderita atau seseorang yang telah menghabiskan 4 jam atau lebih
waktunya per hari dengan penderita tersebut selama 5-7 hari sebelum diagnosis
ditegakkan.

19

Jika 2 atau lebih kasus HIB meningitis terjadi pada anak yang mendatangi tempat
pelayanan kesehatan maka petugas kesehatan dan anak-anak lain perlu diberi profilaksis.
* Imunisasi
Imunisasi massal di seluruh dunia terhadap infeksi HIB telah memberikan penurunan
dramatis terhadap insidensi meningitis. FDA (Food and Drug Administration) telah
meluncurkan vaksin konjugasi pneumococcal yang pertama (Prevnar) pada April 2000.
Semua bayi dianjurkan untuk menerima imunisasi yang mengandung antigen dari 7
subtipe pneumococcal.

Gambar 9. Contoh vaksin HIB (Act-HIB)


Vaksin quadrivalent meningococcal dapat diberikan bersama kemoprofilaksis saat adanya
wabah. Vaksin quadrivalent yang mengandung antigen subgrup A, C, Y, W-135
dianjurkan untuk kelompok resiko tinggi termasuk penderita dengan imunodefisiensi,
penderita dengan asplenia anatomik atau fungsional, defisiensi komponen terminal
komplemen. Vaksin ini terdiri dari 50 mcg polisakarida bakteri yang telah dimurnikan.
The Advisory Committee on Imunization Practices (ACIP) menganjurkan penggunaan
vaksin ini untuk siswa sekolah yang tinggal di asrama-asrama.

20

K. Prognosis
Penderita dengan penurunan kesadaran memiliki resiko tinggi mendapatkan sekuelae atau
resiko kematian. Adanya kejang dalan suatu episode meningitis merupakan faktor resiko
adanya sekuelae neurologis atau mortalitas. Meningitis yang disebabkan oleh S.
pneumoniae, L. monocytogenes dan basil gram negatif memiliki case fatality rate lebih
tinggi daripada meningitis oleh bakteri lain. Prognosis meningitis yang disebabkan oleh
patogen oportunistik juga bergantung pada daya tahan tubuh inang.

21

Bab III
Penutup
A. Kesimpulan
Meningitis merupakan suatu penyakit yang mengancam jiwa dan memberikan sekuelae
yang bernakna pada penderita Pemberian terapi antimikroba merupakan hal penting
dalam pengobatan meningitis bakterial di samping terapi suportif dan simptomatik
Pencegahan meningitis dapat dilakukan dengan imunisasi dan kemoprofilaksis.

22

Daftar Pustaka
1. Kumar, A. 2005. Bacterial meningitis. Department of Pediatrics and Human Development
Michigan State University. College of Medicine and En Sparrow Hospital.
www.emedicine.com/PED/topic198.htm.
2. Razonables R.R. 2005. Meningitis. Division of Infectious Diseases Department of
Medicine. Mayo Clinic College of Medicine. www.emedicine.com/med/topic2613.htm
3.

Catzel, Pincus & Ian robets. (1990). Kapita Seleta Pediatri Edisi II. alih bahasa oleh Dr. yohanes gunawan.
Jakarta: EGC.

4. Quagliarello, Vincent J., Scheld W. 1997. Treatment of Bacterial Meningitis. The New
England

Journal

of

Medicine.

336

708-16

URL

http://content.nejm.org/cgi/reprint/336/10/708.pdf
5. Doenges, Marilyn E, dkk.(1999).Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman untuk
Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Alih Bahasa, I Made Kariasa,
N Made Sumarwati. Editor edisi bahasa Indonesia, Monica Ester, Yasmin asih. Ed.3.
Jakarta : EGC.
6.

Ngastiyah. 2005. Perawatan Anak Sakit. Jakarta : EGC

23

You might also like