You are on page 1of 6

Apa itu Autisme

Autisme adalah gangguan perkembangan yang sangat kompleks pada anak, yang gejalanya sudah timbul sebelum anak itu mencapai usia tiga tahun. Penyebab autisme adalah gangguan neurobiologis yang mempengaruhi fungsi otak sedemikian rupa sehingga anak tidak mampu berinteraksi dan berkomunikasi dengan dunia luar secara efektif. Gejala yang sangat menonjol adalah sikap anak yang cenderung tidak mempedulikan lingkungan dan orang-orang di sekitarnya, seolah menolak berkomunikasi dan berinteraksi, serta seakan hidup dalam dunianya sendiri. Anak autistik juga mengalami kesulitan dalam memahami bahasa dan berkomunikasi secara verbal. Disamping itu seringkali (prilaku stimulasi diri) seperti berputar-putar, mengepak-ngepakan tangan seperti sayap, berjalan berjinjit dan lain sebagainya. Gejala autisme sangat bervariasi. Sebagian anak berperilaku hiperaktif dan agresif atau menyakiti diri, tapi ada pula yang pasif. Mereka cenderung sangat sulit mengendalikan emosinya dan sering tempertantrum (menangis dan mengamuk). Kadang-kadang mereka menangis, tertawa atau marah-marah tanpa sebab yang jelas. Selain berbeda dalam jenis gejalanya, intensitas gejala autisme juga berbeda-beda, dari sangat ringan sampai sangat berat. Oleh karena banyaknya perbedaan-perbedaan tersebut di antara masing-masing individu, maka saat ini gangguan perkembangan ini lebih sering dikenal sebagai Autistic Spectrum Disorder (ASD) atau Gangguan Spektrum Autistik (GSA). Autisme dapat terjadi pada siapa saja, tanpa membedakan warna kulit, status sosial ekonomi maupun pendidikan seseorang. Tidak semua individu ASD/GSA memiliki IQ yang rendah. Sebagian dari mereka dapat mencapai pendidikan di perguruan tinggi. Bahkan ada pula yang memiliki kemampuan luar biasa di bidang tertentu (musik, matematika, menggambar). Prevalensi autisme menigkat dengan sangat mengkhawatirkan dari tahun ke tahun. Menurut Autism Research Institute di San Diego, jumlah individu autistik pada tahun 1987 diperkirakan 1:5000 anak. Jumlah ini meningkat dengan sangat pesat dan pada tahun 2005 sudah menjadi 1:160 anak. Di Indonesia belum ada data yang akurat oleh karena belum ada pusat registrasi untuk autisme. Namun diperkirakan angka di Indonesia pun mendekati angka di atas. Autisme lebih banyak terjadi pada pria daripada wanita, dengan perbandingan 4:1

Kenali Autisme administrator

Anak-anak penyandang spektrum autisme biasanya memperlihatkan setidaknya setengah dari daftar tanda-tanda yang disebutkan di bawah ini. Gejala-gejala autisme dapat berkisar dari ringan hingga berat dan intensitasnya berbeda antara masing-masing individu. Hubungi profesional yang ahli dalam perkembangan anak dan mendalami bidang autisme, jika anda mencurigai anak anda memperlihatkan setidaknya separuh dari gejala-gejala ini :

Sulit bersosialisasi dengan anak-anak lainnya

Tertawa atau tergelak tidak pada tempatnya

Tidak pernah atau jarang sekali kontak mata

Tidak peka terhadap rasa sakit

Lebih suka menyendiri; sifatnya agak menjauhkan diri.

Suka benda-benda yang berputar / memutarkan benda

Ketertarikan pada satu benda secara berlebihan

Hiperaktif/melakukan kegiatan fisik secara berlebihan atau malah tidak melakukan apapun (terlalu pendiam)

Kesulitan dalam mengutarakan kebutuhannya; suka menggunakan isyarat atau menunjuk dengan tangan daripada kata-kata

Menuntut hal yang sama; menentang perubahan atas hal-hal yang bersifat rutin

Tidak peduli bahaya

Menekuni permainan dengan cara aneh dalam waktu lama

Echolalia (mengulangi kata atau kalimat, tidak berbahasa biasa)

Tidak suka dipeluk (disayang) atau menyayangi

Tidak tanggap terhadap isyarat kata-kata; bersikap seperti orang tuli

Tidak berminat terhadap metode pengajaran yang biasa

Tentrums suka mengamuk/memperlihatkan kesedihan tanpa alasan yang jelas

Kecakapan motorik kasar/motorik halus yang seimbang (seperti tidak mau menendang bola namun dapat menumpuk balok-balok)

Penyandang autisme yang beranjak remaja perlu penanganan lebih khusus. Sebab, mereka punya pemahaman berbeda dan terbatas tentang perubahan fisik dan psikis masa pubertas. Dalam bulan peduli autis April ini, diserukan agar memberikan perhatian ekstra pada pendidikan penyandang autisme remaja. DYAH Puspita masih menyimpan pesan pendek itu di telepon selulernya. Pesan yang ia terima dua pekan lalu itu dari Ikhsan Pratama, putra tunggalnya, 18 tahun. Ibu Ita, Ikhsan mau cari cinta, begitu tulisnya. Bagi Ita, ini bukan pesan biasa, karena pengirimnya autis. Seperti remaja sebayanya, Ikhsan rupanya mulai tertarik kepada lawan jenis. Maka Dyah pun membalas: Boleh, tapi tidak paksa. Mengenal konsep cinta adalah suatu lompatan besar bagi penyandang autisme seperti Ikhsan. Ia p ertama kali mengenal kata itu dari lagu band kesukaannya, The Changcuters. Setelah bolak-balik bertanya kepada sang ibu, Ikhsan pun membentuk definisinya tentang cinta, yaitu cewek, cantik, pintar, tidak berisik. Belakangan ini, kesadaran dan perhatian masyarakat Indonesia akan autis memang terus membaik. Berbagai kampanye pun diluncurkan. Termasuk lewat causessemacam petisidi Facebook bertema Stop Using the Word Autis in Daily Jokes yang diluncurkan pada bulan peduli autis internasional, April ini. Namun penanganan penyandang autisme yang menginjak masa remaja masih menjadi persoalan, bahkan juga di negara maju, yang sudah memiliki tingkat pemahaman dan penanganan autis lebih baik. Di masa lalu, autisme dianggap sebagai gangguan psikologis akibat pola pengasuhan yang tidak tepat. Namun penelitian lanjutan membuktikan autisme disebabkan oleh ketidaknormalan pada otak. Barulah pada 1970-an autisme bisa didefinisikan sebagai gangguan perkembangan. Ada tiga ciri utamanya: gangguan berinteraksi sosial, gangguan berkomunikasi, serta keterbatasan minat dan kemampuan imajinasi. Di Indonesia, tidak ada data eksak tentang jumlah penyandang autisme. Itu juga karena masih ada orang tua yang tak mau mengakui anaknya autiskarena dianggap aib. Dyah Puspita, yang juga sekretaris Yayasan Autisme Indonesia, menyatakan yang terpenting adalah apa yang bisa dilakukan bagi anak autis, sejak masa kanak-kanak hingga masa remaja. Autis atau tidak, masa remaja memang membingungkan bagi banyak orang karena merupakan transis i menuju kedewasaan. Pada periode ini, hormon-hormon mereka berkembang, organ reproduksi sudah berfungsi, penampilan fisik pun berubah. Para pria sudah mengalami mimpi basah dan suara mereka pun berubah. Para wanita mulai ditumbuhi payudara dan sudah mendapat haid. Perubahan-perubahan ini juga berpengaruh pada emosi seseorang. Remaja autis pun mengalaminya. Menurut dokter Tjin Wiguna, spesialis kesehatan jiwa dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, masa pubertas adalah fase yang kritis dalam perkembangan jiwa setiap orang. Tak aneh, jika tak mendapat arahan yang tepat, banyak remaja yang mengalami krisis identitas. Pelariannya bisa sesuatu yang negatif. Karena itu, mesti ada figur yang mampu membimbing si remaja agar memperoleh pemahaman tepat tentang perubahan yang dialami, baik fisik maupun psikis. Urusan perkembangan seksual dan jatuh cinta pun termasuk di dalamnya. Dalam kasus Ikhsan, figur itu adalah Ita, ibu yang mengarahkannya di masa puber.

Menurut Itayang juga psikolog dan pendiri sekolah khusus autis Mandigaorang kadang lupa memperlakukan anak autis seperti orang normal. Setiap kali akan mengajarkan sesuatu, banyak yang sudah telanjur skeptis: memangnya bisa, memang mengerti? Padahal, dengan pendekatan yang tepat, anak dan remaja autis bisa memahami penjelasan tentang sesuatu. Tentunya tidak langsung mencekokinya dengan konsep-konsep yang tinggi, tapi yang dekat dengan kesehariannya. Misalnya, remaja lelaki autis juga mulai tertarik pada bentuk fisik lawan jenis; ada yang berusaha memegang payudara wanita. Jika tidak diarahkan, kata Ita, remaja autis tak paham bahwa menyentuh dada perempuan dewasa itu tidak baik. Ketika Ikhsan mulai mengenal konsep cinta, Ita mengarahkan dengan jelas dan instruktif apa yang boleh dan tidak. Misalnya Ikshan boleh cinta, tidak paksa atau boleh cinta, tidak pegang karena orang tidak suka dipegang. Berdasarkan pengalaman merawat Ikhsan dan menggeluti bidang psikologi anak, Ita membagi ilmunya untuk sesama orang tua anak autis. Pertama, jangan memberikan arahan abstrak karena akan membingungkan. Misalnya, jika mengajari anak berlaku sopan saat bertemu dengan orang lain, jangan kita mengatakan, Kamu harus sopan, karena anak autis sulit memahami sopan. Langsung saja katakan apa yang harus dia lakukan: Salam tangannya. Kedua, hindari melarang tanpa memberikan solusi. Misalnya, jika kita mau bilang jangan lari, harus ditambahkan dengan duduk saja di sini. Tanpa arahan dan petunjuk yang jelasapalagi melulu hanya larangananak autis bisa tersesat dan kebingungan akan konsep dirinya. Ita menambahkan, seperti juga anak non-autis, kebingungan akan konsep diri akan membuat anak tumbuh dengan depresi dan tidak percaya diri. Padahal, khususnya bagi anak autis, memompa kepercayaan diri adalah salah satu hal terpenting. Jika tidak diarahkan, kata Tjin Wiguna, remaja normal saja bisa tersesat. Ujung-ujungnya, mereka malah melakukan hal-hal yang negatif, bahkan destruktif, sebagai upaya pencarian identitas. Apalagi bagi mereka yang autis. Tjin pernah mendapati seorang remaja autis yang bermasturbasi di muka umum. Anak itu merasa nyaman-nyaman saja, tak sedikit pun merasa malu atau aneh melakukan onani di depan publik. Yang sulit bagi anak-anak autis, perkembangan mental dan emosi mereka tertinggal, tapi pertumbuhan fisiknya sama dengan rekan sebayanya yang non-autis. Mereka yang normal bisa mudah mengobrol, mencari informasi, dan mendiskusikan perubahanperubahan tubuh mereka. Orang tua dan guru biasanya sudah mengajarkan sebelum tanda-tanda kedewasaan itu datang. Tapi tidak demikian dengan anak autis. Jika perubahan yang mereka alami tak mendapat penjelasan memadai dan tepat lantaran si autis dianggap tak mengertiia semakin tenggelam dalam kebingungan dan perasaan tertekan. Di sinilah pentingnya peran orang tua, guru, dan orang-orang terdekat untuk memperlakukan anak sebagai remaja biasa yang butuh informasi serupa dengan cara khusus. Ita membeberkan tahap perkembangan lelaki dengan menyodorkan gambar ayah Ikhsan semasa bayi, kanak-kanak, hingga dewasa. Sang ibu menjelaskan bahwa orang yang sama akan berubah sesuai dengan umurnya. Visualisasi gambar memudahkan sang anak memahami konsep yang dimaksud. Dokter Tjin memberikan sejumlah saran untuk membimbing para penyandang autisme di usia remaja. Pertama, perkenalkan mereka terus-menerus kepada organ-organ seksual, misalnya payudara atau penis, dengan memakai boneka. Kedua, tuntun mereka tahap demi tahap menghadapi perubahan fisik itu. Misalnya, anak perempuan yang sudah mendapat menstruasi diajari dengan mencontohkan cara memakai pembalut, membuangnya, dan seterusnya. Ketiga, menjelaskan segala sesuatunya dengan visualisasi atau gambar, misalnya, pada mimpi basah yang terjadi. Cara-cara ini bisa disesuaikan dengan tingkat intelektualitas setiap anak. Psikiater yang juga berpraktek di Rumah Sakit Pantai Indah Kapuk itu menjelaskan tingkat kecerdasan anak-anak autis sangat bervariasi, dari yang sangat pandai hingga yang memiliki keterbelakangan mental. Pendekatan yang dilakukan mesti disesuaikan dengan kondisi si remaja. Untuk mengembangkan kecerdasannya, Ikhsan sejak dua tahun lalu menjalani homeschooling. Seorang guru datang ke rumah tiga kali sepekan. Secara bertahap, remaja penyuka buku dan majalah otomotif ini bisa mengikuti pelajaran matematika, fisika, dan biologi, atau apa saja yang disukainya. Ita tak memaksakan anaknya mengikuti kurikulum sekolah umum. Jadi, buku-buku pegangan Ikhsan ada yang untuk level SMP, juga SMA. Salah satu hobi Ikhsan saat belajar adalah menekan-nekan tuts di telepon Nokia Communicator-nya. Setiap ada sesuatu yang melintas di kepalanya, dia langsung mengirim SMS ke saya, kata sang mama yang dia panggil Ibu Ita itu. Termasuk pesan

pendek soal cinta tadi.

Apa saja ciri-ciri autis pada orang dewasa? Bagaimana cara mengatasinya?
Jawaban Terbaik - Dipilih oleh Suara Terbanyak Ciri-ciri Dominan 1. Gangguan komunikasi dan kontak sosial * Sulit untuk berkomunikasi dengan orang lain, baik verbal maupun nonverbal * Sering menggunakan bahasa planet atau bergumam tidak jelas. * Kesulitan verbalisasi atau justru sebaliknya banyak berkata-kata atau bernyanyi tanpa mengerti artinya. * Gangguan bicara lain yang sangat kentara yaitu kecenderungan untuk mengulang kata-kata yang didengarnya/membeo. * Cuek, tidak ada respons pada orang di lingkungan sekitarnya, cenderung penyendiri dan asyik dalam dunianya sendiri. * Kurangnya kontak mata. * Sering merasa bingung dan ketakutan. * Keterbelakangan mental dan sosial. 2. Munculnya perilaku self stimulatory * Selalu menggelengkan kepala. * Mempermainkan jari tangan di depan mata dengan jarak yang sangat dekat. * Seringkali bertepuk-tepuk tangan, menepuk-nepuk dada, kepala, atau rahang. * Berjalan menjinjit. * Agresif, cenderung berperilaku yang membahayakan seperti membentur-benturkan kepala atau pergelangan tangan ke tembok, memukul-mukul muka/wajah. * Sering memukul/menutup telinga. Ciri-ciri Lain Selain ciri-ciri dominan yang telah disebutkan sebelumnya, pada anak autisme juga seringkali ditemukan ciri-ciri lain sebagai berikut : tertawa atau menangis tanpa sebab, berteriak-teriak, fokus kepada benda-benda yang bergerak seperti kipas angin, melompat-lompat, tidak bisa diam, impulsif, perhatian mudah beralih, mudah marah, emosi berlebihan, gangguan tidur, gangguan makan, sembelit, tidak mengerti konsep bahaya seperti berjalan di jalanan yang ramai, takut pada keramaian, kurang bereaksi atau terlalu bereaksi terhadap rangsangan saraf seperti hipersensitif terhadap cahaya, suara, makanan tertentu bahkan vaksin tertentu, atau sebaliknya respons hiposensitif (seperti kurangnya kemampuan merasakan dan mencium). materi referensi: Yang terpenting pesannya adalah bagaimana kita harus menanganinya dengan cara melihat faktor lemah dan faktor kuatnya dengan pendekatan psikologi dan pedagogi, yaitu arahkan perilakunya, tingkatkan kecerdasannya, latih kemandirian, ajarkan kerjasama, dan ajarkan bersosisalisasi .

You might also like