You are on page 1of 34

PRESENTASI KASUS

SUSPEK CHOLESISTITIS DD CHOLELITHIASIS DENGAN EFUSI PLEURA PULMO BILATERAL

DISUSUN OLEH ISTI IRYAN PRIANTI 1102009146

PEMBIMBING dr. DJAJA SUTISNA, Sp.B

KEPANITRAAN ILMU BEDAH FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH SUBANG 2014

STATUS PASIEN

I.

IDENTIFIKASI PASIEN

Nama Jenis Kelamin Umur Status Perkawinan Alamat Suku bangsa Agama Masuk RS Ruang

: Nn. Y : Perempuan : 39 Tahun : Sudah Menikah : Kp. Padek Pamanukam : Sunda : Islam : 16 Desember 2013 : Dahlia

II.

ANAMNESIS Diambil dari : Autoanamnesa Tanggal a. : 30 Desember 2013

Keluhan Utama Nyeri perut kanan atas

b.

Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang ke Rumah Sakit Umum Daerah Subang dengan keluhan nyeri perut kanan atas sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit. Nyeri perut dirasakan pasien timbul secara mendadak dan letaknya menetap pada perut kanan atas. Nyeri perut dirasakan memberat apabila pasien batuk ataupun mengejan. Pasien menceritakan nyeri perut yang dirasakan seperti ditusuk-tusuk dan sangat nyeri hingga pasien lebih nyaman untuk menekuk kedua lututnya dan duduk. Pasien menambahkan lebih nyaman dalam posisi tersebut walaupun nyeri dirasakan tidak berkurang. Awalnya pasien merasakan nyeri pada ulu hati sejak 2 bulan yang lalu namun pasien selalu mengabaikan nyeri tersebut. Nyeri pada ulu hati

dirasakan pasien sesaat setelah pasien makan, terutama makan makanan bersantan. Nyeri pada ulu hati disertai perasaan sulit bernapas. Namun, nyeri dirasakan semakin hebat dan pada akhirnya sangat mengganggu aktivitas. Selain posisi berbaring yang diceritakan pasien, pasien juga menambahkan nyerinya sedikit bertambah apabila ia bernapas dalam. Pasien mengaku nafsu makan baik. Namun sering merasakan mual walaupun tidak muntah. Pasien juga mengeluh kembung. Sebelum masuk rumah sakit pasien menceritakan bahwa sudah tidak BAB sejak 4 hari namun setelah itu pasien BAB mencret bewarna hijau disertai lendir dan ampas >3x/hari. Pasien juga mengeluhkan sesak napas sejak 1 hari yang lalu. Sesak semakin kuat dirasakan pasien bersamaan dengan nyeri perut yang dikeluhkannya. Sesak napas tanpa disertai nyeri dada. Demam disangkal oleh pasien. Pasien tidak mengeluh mimisan ataupun nyeri pada sendi. Batuk berkepanjangan, penurunan berat badan secara drastis juga disangkal oleh pasien.

3 hr SMRS : -nyeri perut kanan atas - mual - Rontgen di RS PMC : terdapat cairan pada paru-paru kanan - Konstipasi sejak 2 hari

2 Hari SMRS : - semakin nyeri pada perut kanan atas - Mual - kembung -konstipasi

1 hari SMRS : - Sesak napas - mual -nyeri perut kanan atas - kembung - BAB Mencret berwarna kehijauan

c.

Riwayat penyakit dahulu Pasien pernah mengalami kejadian seperti ini sebelumnya (sejak 2 bulan yang lalu nyeri pada ulu hati) Riwayat Diabetes Melitus disangkal Riwayat Hipertensi disangkal Riwayat Maag (+) Riwayat infeksi paru-paru disangkal Riwayat Alergi obat disangkal Riwayat pembedahan atau operasi sebelumnya ( operasi ceasar anak Ke-3 7 tahun lalu)

d.

Riwayat penyakit keluarga Pasien menyatakan tidak ada dalam keluarga yang pernah mengalami kejadian seperti ini sebelumnya. Riwayat Diabetes Melitus pada Keluarga (+) Riwayat Hipertensi pada Keluarga (+) Riwayat Infeksi paru-paru pada keluarga disangkal Riwayat penyakit jantung pada keluarga disangkal

e.

Riwayat Kebiasaan Pasien senang makan makanan berlemak, bersantan maupun gorenggorengan. Kebiasaan merokok disangkal

III. III.1

PEMERIKSAAN PEMERIKSAAN UMUM Keadaan umum Kesadaran Tekanan darah Nadi Respirasi Suhu BB : Tampak Sakit Sedang : Compos mentis : 110/80 mmHg : 128 x/menit : 28 x/menit : 37,8.0 C : 72 Kg

III.2

PEMERIKSAAN FISIK

Kepala Mata Leher Thoraks

: Normocephal : Conjunctiva anemis -/-, Sklera ikterik -/: KGB leher tidak teraba membesar : Pulmo (Pemeriksaan setelah 2 hari pemasangan WSD)

Inspeksi : bentuk dada cembung simetris kanan maupun kiri Tidak terdapat sikatriks maupun massa Simetris pada keadaan statis maupun dinamis

Palpasi : tidak teraba massa, fremiktus taktil maupun vokal simetris kanan dan kiri Perkusi : terdengar sonor pada seluruh lapang paru Auskultasi : Vesikuler (+/+) , Rhonki (-/-), Wheezing (-/-)

Cor Genitalia Kulit Ekstrimitas

: BJ I-II reguler, murmur (-), gallop (-)

: Tidak ada kelainan : tidak ikterik, tidak sianosis, tidak terdapat kelainan kulit : Akral hangat, Edema (-) di keempat ekstrimitas

III.3

STATUS LOKALIS a/r ABDOMEN : terlihat wajah penderita pucat dan tampak kesakitan Abdomen tampak bulat simetris Tidak tampak gerakan peristaltik usus Tidak tampak massa atau benjolan , tidak tampak sikatrik

Inspeksi

Palpasi

:-

teraba supel, tidak teraba tahanan otot abdomen Nyeri tekan (+), nyeri Lepas (+) pada kuadran kanan atas Tidak teraba pembesaran organ (Hepar, Lien, Ginjal) Tidak teraba massa Nyeri ketok (-), timpani di seluruh lapang abdomen Bising Usus (+) normal

Perkusi Auskultasi

::-

IV.

RESUME

Pasien wanita berusia 39 tahun datang ke RSUD Subang dengan keluhan nyeri perut kanan atas yang dirasakan sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit. Nyeri dirasakan menetap, memberat jika pasien bernapas dalam, mengejan maupun batuk. Dan sedikit berkurang jika pasien duduk ataupun berbaring dengan menekuk kedua kakinya. Nyeri yang dirasakan seperti ditusuk-tusuk dan sangan perih. Pasien juga mengeluh kembung dan mual tanpa disertai muntah. Pasien juga menambahkan mengeluh susah BAB sejak 4 hari yang lalu, namun setelah itu pasien BAB mencret .3x/hari bewarna kehijauan disertai lendir. Pasien juga mengeluh sesak napas tanpa disertai nyeri dada sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit. Pada riwayat penyakit sebelumnya pasien mengaku sering mengeluh nyeri perut di daerah ulu hati sejak 2 bulan yang lalu. Selain itu pasien juga menambahkan ia memiliki riwayat penyakit maag. Pada riwayat penyakit pada keluarga pasien, didapatkan riwayat hipertensi maupun diabetes melitus. Pada pemeriksaan fisik didapatkan tanda-tanda vital yakni, keadaan umum tampak sakit sedang, kesadaran composmentis, tekanan darah 110/80 mmHg, Nadi 128 x/menit, frekuensi napas 28x/menit, suhu 37,8 C, berat badan 72 kg. Selain itu juga didapatkan terdapat nyeri tekan dan nyeri lepas pada perut kanan atas pada pemeriksaan fisik abdomen. Bising usus terdengar normal pada auskultasi.

V.

DIAGNOSA KERJA Suspek cholesistiitis akut DD cholelithiasis dengan efusi pleura pulmo bilateral

VI.

DIAGNOSIS BANDING cholelithiasis Pankreatitis

VI.

RENCANA PEMERIKSAAN Laboratorium darah Lengkap ( hemoglobin, Hematokrit, trombosit, Leukosit, Diff count) Pemeriksaan kadar bilirubin total, SGOT dan SGPT GDS, GDP Foto Abdomen 3 posisi USG hepatobilier dan pankreas

VII.

RENCANA TERAPI Infus RL Oksigen 2-3 L Ranitidin 2 ml 2 dd 1 Inj Ketorolac 5 mg/ ml 2 dd 1 Inj. Cefotaxime 1 g 2 dd 1

VIII. PROGNOSIS Quo ad vitam Quo ad fungsionam : ad bonam : dubia

Quo ad Sanactionam : dubia

TINJAUAN PUSTAKA

I.

ANATOMI SISTEM BILIARIS

Sistem empedu dan hati tumbuh bersama. Berasal dari diverticulum yang menonjol dari lantai depan (foregut) ada tonjolan yang akan menjadi hepar dan sistem empedu. Tonjolan ini akan menyebar ke septum transversum.

Bagian caudal diverticulum akan menjadi: o Gall Bladder (kandung empedu) o Ductus cysticus o Ductus biliaris communis (ductus choledochus) Bagian cranialnya akan menjadi liver dan hepatic bile ducts. Kandung empedu berbentuk buah pear, diliputi oleh peritoneum viseral dan menempel ke permukaan bawah dari lobus kanan dan lobus quadratus dari liver. Ductus cysticus berjalan dari liver ke arah kandung empedu. Ductus choledochus berjalan ke bawah menuju ke duodenum. Ductus choledochus masuk ke duodenum melalui bagian belakang duodenum. Ductus hepaticus bercabang 2 lobus kanan dan lobus kiri. Di daerah ductus hepaticus banyak terjadi kelainan kongenital.Kandung empedu panjangnya 10 cm, 3 5 cm dan mengandung 30 60 cc bile. Secara anatomis, kandung empedu terbagi menjadi: Bagian fundus (ujung) o Menonjol keluar ke tepi depan dari liver

Corpus (bagian yang besar/ body) Infundibulum Leher (berhubungan dengan ductus cysticus)

Panjang ductus cysticus 3 cm, diliputi permukaan dalam dengan mukosa yang banyak sekali membentuk duplikasi (lipatan-lipatan) jadi disebut VALVE OF HEISTER mengatur pasase bile dari dan ke gall bladder. Ductus cysticus akan bergabung dengan ductus hepaticus communis menjadi ductus biliaris communis (ductus choledochus). Ductus hepaticus bercabang menjadi lobus kiri dan kanan, dg panjang masing-masing 2 3 cm. Ductus choledochus panjangnya 10 15 cm dan berjalan menuju duodenum dari sebelah belakang, akan menembus pankreas dan bermuara di sebelah medial dari duodenum descendens.

Tempat muaranya ini disebut PAPILLA VATERI. Dalam keadaan normal, ductus choledochus akan bergabung dengan ductus pancreaticus WIRSUNGI (baru mengeluarkan isinya ke duodenum). Tapi ada juga keadaan di mana masing-masing mengeluarkan isinya, pada umumnya bergabung dulu. Pada pertemuan (muara) ductus choledochus ke dalam duodenum, disebut = choledochoduodenal junction (di tempat ini ada sphincter ani).

VASKULARISASI

Mendpt darah dari: o A.retroduodenalis yang merupakan cabang dari a.gastroduodenalis mendarahi ductus choledochus o A.cysticus ada 2 cabang yaitu anterior dan posterior, mendarahi gall bladder o Darah vena menuju ke vena porta o Aliran limfe dari liver dan gall bladder akan masuk ke dalam cisterna chyli dan seterusnya akan masuk ke ductus thoracicus

PERSARAFAN

Dari saraf otonom N.vagus menyebabkan kontraksi dari gall bladder dan relaksasi dari sphincter odi. Saraf simpatis relaksasi gall bladder dan kontraksi sphincter odi (terbuka)

HISTOLOGI

o Mukosa gall bladder epitel columna tinggi o Terdapat kelenjar mukus yang menghasilkan lendir dan umumnya ada di fundus o Peradangan kandung empedu akan menimbulkan invaginasi mukosa, menonjol ke dalam lapisan muscularis yang disebut ROKITANSKY ASCHOFF o Epitel saluran empedu adalah epitel columna dan mengandung banyak sekali kelenjarkelenjar mukosa

II.

FISIOLOGI SISTEM BILIARIS

Fungsi Empedu: 1. Berperan utk penyerapan lemak yaitu dalam bentuk emulsi, juga penyerapan mineral. Contoh : Ca, Fe, Cu 2. Merangsang sekresi enzim (Contoh: lipase pankreas) 3. Penyediaan alkalis utk menetralisir asam lambung di duodenum 4. Membantu ekskresi bahan-bahan yang telah dimetabolisme di dalam hati Fungsi sistem bilier ekstrahepatik (transport saluran empedu) 1. Transportasi empedu dari hepar ke usus halus 2. Mengatur aliran empedu 3. Storage (penyimpanan) dan pengentalan dari empedu

Hati menghasilkan 600 1000 cc bile/ hari dengan BJ 1,011 yang 97%-nya t.d air. Kandung empedu akan mengentalkan empedu 5 10 kali dengan cara menyerap air dan mineral lalu mengekskresinya dengan BJ 1.040. Kendati tidak terdapat makanan di dalam usus, hati tetap secara kontinu mensekresi bile yang kemudian disimpan sementara di dalam saluran empedu oleh karena kontraksi dari sphincter odi. Bila tekanan dalam saluran empedu meningkatkan maka terjadi refleks dari empedu masuk ke dalam kandung empedu di mana akan disimpan dan dikentalkan. Begitu makanan masuk dari lambung ke duodenum maka akan keluar hormon cholecystokinin. Pengaruh hormon disertai dengan rangsang saraf akan menyebabkan kontraksi dinding kandung empedu dan relaksasi sph.odi sehingga menyebabkan bile mengalir ke usus. Lemak dan protein merangsang kuat terhadap kontraksi dari kandung empedu sedangkan karbohidrat sedikit pengaruhnya. Nyeri yang timbul dari kandung empedu dan ductus empedu disebabkan karena distensi dan sering disertai dengan nausea, muntah. Rasa nyeri itu diakibatkan oleh serat-serat sensoris simpatis yaitu dari segment T7-10 dan rasa nyeri dirasakan di daerah epigastrium. Nyeri yang timbul bersifat intermitten (Hilang timbul), berkaitan dg tek di dlm sist biliaris. Peradangan kandung empedu juga akan menyebabkan nyeri di daerah hypochondrium kanan, daerah infra scapula, daerah substernal dan kadangkadang berhubungan dengan rgsg N.phrenicus sehingga menyebabkan nyeri di daerah puncak bawah bahu kanan. Distensi kandung empedu dan salurannya secara refleks dapat mengakibatkan penurunan aliran darah dalam A.coronaria sehingga menyebabkan aritmia jantung

III.

CHOLELITHIASIS

A. DEFINISI Cholelithiasis atau pembentukan batu empedu; batu ini mungkin terdapat dalam kandung empedu (cholecystolithiasis) atau dalam ductus choledochus (choledocholithiasis). Kolelitiasis (kalkuli/kalkulus, batu empedu) merupakan suatu keadaan dimana terdapatnya batu empedu di dalam kandung empedu (vesica fellea) yang memiliki ukuran,bentuk dan komposisi yang bervariasi. Kolelitiasis lebih sering dijumpai pada individu berusia diatas 40 tahun terutama pada wanita dikarenakan memiliki faktor resiko,yaitu: obesitas, usia lanjut, diet tinggi lemak dan genetik. Sinonimnya adalah batu empedu, gallstones, biliary calculus. Istilah kolelitiasis dimaksudkan untuk pembentukan batu di dalam kandung empedu. Batu kandung empedu merupakan gabungan beberapa unsur yang membentuk suatu material mirip

batu yang terbentuk di dalam kandung empedu.

Gambar 2.1 Batu dalam kandung empedu

B. FAKTOR RESIKO Kolelitiasis dapat terjadi dengan atau tanpa faktor resiko dibawah ini. Namun, semakin banyak faktor resiko yang dimiliki seseorang, semakin besar kemungkinan untuk terjadinya kolelitiasis. Faktor resiko tersebut antara lain: a. Jenis Kelamin Wanita mempunyai resiko 3 kali lipat untuk terkena kolelitiasis dibandingkan dengan pria. Ini dikarenakan oleh hormon esterogen berpengaruh terhadap peningkatan eskresi kolesterol oleh kandung empedu. Kehamilan, yang menigkatkan kadar esterogen juga meningkatkan resiko terkena kolelitiasis. Penggunaan pil kontrasepsi dan terapi hormon (esterogen) dapat meningkatkan kolesterol dalam kandung empedu dan penurunan aktivitas pengosongan kandung empedu. b. Usia Resiko untuk terkena kolelitiasis meningkat sejalan dengan bertambahnya usia. Orang dengan usia > 60 tahun lebih cenderung untuk terkena kolelitiasis dibandingkan dengan orang degan usia yang lebih muda. c. Berat badan (BMI) Orang dengan Body Mass Index (BMI) tinggi, mempunyai resiko lebih tinggi untuk terjadi kolelitiasis. Ini karenakan dengan tingginya BMI maka kadar kolesterol dalam

kandung empedu pun tinggi, dan juga mengurasi garam empedu serta mengurangi kontraksi/ pengosongan kandung empedu. d. Makanan Intake rendah klorida, kehilangan berat badan yang cepat (seperti setelah operasi gatrointestinal) mengakibatkan gangguan terhadap unsur kimia dari empedu dan dapat menyebabkan penurunan kontraksi kandung empedu. e. Riwayat keluarga Orang dengan riwayat keluarga kolelitiasis mempunyai resiko lebih besar dibandingn dengan tanpa riwayat keluarga. f. Aktifitas fisik Kurangnya aktifitas fisik berhungan dengan peningkatan resiko terjadinya kolelitiasis. Ini mungkin disebabkan oleh kandung empedu lebih sedikit berkontraksi. g. Penyakit usus halus Penyakit yang dilaporkan berhubungan dengan kolelitiasis adalah crohn disease, diabetes, anemia sel sabit, trauma, dan ileus paralitik. h. Nutrisi intravena jangka lama Nutrisi intravena jangka lama mengakibatkan kandung empedu tidak terstimulasi untuk berkontraksi, karena tidak ada makanan/ nutrisi yang melewati intestinal. Sehingga resiko untuk terbentuknya batu menjadi meningkat dalam kandung empedu. C. PATOFISIOLOGI

Patogenesis Bentukan Batu Empedu a) Batu kolesterol dimana paling sedikit 50 % adalah kolesterol. Ini bisa berupa sebagai: Batu Kolesterol Murni Batu Kombinasi Batu Campuran (Mixed Stone) b) Batu bilirubin dimana garam bilirubin kadarnya paling banyak, kadar kolesterolnya paling banyak 25 %. Bisa berupa sebagai: Batu Ca bilirubinat atau batu pigmen calcium Batu pigmen murni c) Batu empedu lain yang jarang

Sebagian ahli lain membagi batu empedu menjadi: Batu Kolesterol Batu Campuran (Mixed Stone) Batu Pigmen. Batu Kolesterol Pembentukan batu Kolesterol melalui tiga fase: a. Fase Supersaturasi Kolesterol, phospolipid (lecithin) dan garam empedu adalah komponen yang tak larut dalam air. Ketiga zat ini dalam perbandingan tertentu membentuk micelle yang mudah larut. Di dalam kandung empedu ketiganya dikonsentrasikan menjadi lima sampai tujuh kali lipat. Pelarutan kolesterol tergantung dari rasio kolesterol terhadap lecithin dan garam empedu, dalam keadaan normal antara 1 : 20 sampai 1 : 30. Pada keadaan supersaturasi dimana kolesterol akan relatif tinggi rasio ini bisa mencapai 1 : 13. Pada rasio seperti ini kolesterol akan mengendap. Kadar kolesterol akan relatif tinggi pada keadaan sebagai berikut: Peradangan dinding kandung empedu, absorbsi air, garam empedu dan lecithin jauh lebih banyak. Orang-orang gemuk dimana sekresi kolesterol lebih tinggi sehingga terjadi supersaturasi. Diet tinggi kalori dan tinggi kolesterol (western diet). Pemakaian obat anti kolesterol sehingga mobilitas kolesterol jaringan tinggi. Pool asam empedu dan sekresi asam empedu turun misalnya pada gangguan ileum terminale akibat peradangan atau reseksi (gangguan sirkulasi enterohepatik). Pemakaian tablet KB (estrogen) sekresi kolesterol meningkat dan kadar chenodeoxycholat rendah, padahal chenodeoxycholat efeknya melarutkan batu kolesterol dan menurunkan saturasi kolesterol. Penelitian lain menyatakan bahwa tablet KB pengaruhnya hanya sampai tiga tahun.

b. Fase Pembentukan inti batu

Inti batu yang terjadi pada fase II bisa homogen atau heterogen. Inti batu heterogen bisa berasal dari garam empedu, calcium bilirubinat atau sel-sel yang lepas pada peradangan. Inti batu yang homogen berasal dari kristal kolesterol sendiri yang menghadap karena perubahan rasio dengan asam empedu. c. Fase Pertumbuhan batu menjadi besar Untuk menjadi batu, inti batu yang sudah terbentuk harus cukup waktu untuk bisa berkembang menjadi besar. Pada keadaan normal dimana kontraksi kandung empedu cukup kuat dan sirkulasi empedu normal, inti batu yang sudah terbentuk akan dipompa keluar ke dalam usus halus. Bila konstruksi kandung empedu lemah, kristal kolesterol yang terjadi akibat supersaturasi akan melekat pada inti batu tersebut. Hal ini mudah terjadi pada penderita Diabetes Mellitus, kehamilan, pada pemberian total parental nutrisi yang lama, setelah operasi trunkal vagotomi, karena pada keadaan tersebut kontraksi kandung empedu kurang baik. Sekresi mucus yang berlebihan dari mukosa kandung empedu akan mengikat kristal kolesterol dan sukar dipompa keluar. Batu bilirubin/Batu pigmen Batu bilirubin dibagi menjadi dua kelompok: a. Batu Calcium bilirubinat (batu infeksi). b. Batu pigmen murni (batu non infeksi). Pembentukan batu bilirubin terdiri dari 2 fase: a. Saturasi bilirubin Pada keadaan non infeksi, saturasi bilirubin terjadi karena pemecahan eritrosit yang berlebihan, misalnya pada malaria dan penyakit Sicklecell. Pada keadaan infeksi saturasi bilirubin terjadi karena konversi konjugasi bilirubin menjadi unkonjugasi yang sukar larut. Konversi terjadi karena adanya enzim b glukuronidase yang dihasilkan oleh Escherichia Coli. Pada keadaan normal cairan empedu mengandung glokaro 1,4 lakton yang menghambat kerja glukuronidase.

b. Pembentukan inti batu

Pembentukan inti batu selain oleh garam-garam calcium dan sel bisa juga oleh bakteri, bagian dari parasit dan telur cacing. Tatsuo Maki melaporkan bahwa 55 % batu pigmen dengan inti telur atau bagian badan dari cacing ascaris lumbricoides. Sedangkan Tung dari Vietnam mendapatkan 70 % inti batu adalah dari cacing tambang.

Patofisiologi Umum Batu empedu yang ditemukan pada kandung empedu di klasifikasikan berdasarkan bahan pembentuknya sebagai batu kolesterol, batu pigment dan batu campuran. Lebih dari 90% batu empedu adalah kolesterol (batu yang mengandung > 50% kolesterol) atau batu campuran (batu yang mengandung 20-50% kolesterol). Angka 10% sisanya adalah batu jenis pigmen, yang mana mengandung < 20% kolesterol. Faktor yang mempengaruhi pembentukan batu antara lain adalah keadaan statis kandung empedu, pengosongan kandung empedu yang tidak sempurna dan konsentrasi kalsium dalam kandung empedu. Batu kandung empedu merupakan gabungan material mirip batu yang terbentuk di dalam kandung empedu. Pada keadaan normal, asam empedu, lesitin dan fosfolipid membantu dalam menjaga solubilitas empedu. Bila empedu menjadi bersaturasi tinggi (supersaturated) oleh substansi berpengaruh (kolesterol, kalsium, bilirubin), akan berkristalisasi dan membentuk nidus untuk pembentukan batu. Kristal yang yang terbentuk terbak dalam kandung empedu, kemuadian lama-kelamaan kristal tersubut bertambah ukuran,beragregasi, melebur dan membetuk batu. Faktor motilitas kandung empedu, biliary stasis, dan kandungan empedu merupakan predisposisi pembentukan batu empedu empedu. Kolesistokinin yang disekresi oleh duodenum karena adanya makanan

mengakibatkan/ menghasilkan kontraksi kandung empedu, sehingga batu yang tadi ada dalam kandung empedu terdorong dan dapat menutupi duktus sistikus, batu dapat menetap ataupun dapat terlepas lagi. Apabila batu menutupi duktus sitikus secara menetap maka mungkin akan dapat terjadi mukokel, bila terjadi infeksi maka mukokel dapat menjadi suatu empiema, biasanya kandung empedu dikelilingi dan ditutupi oleh alat-alat perut (kolon, omentum), dan dapat juga membentuk suatu fistel kolesistoduodenal. Penyumbatan duktus sistikus dapat juga berakibat terjadinya kolesistitis akut yang dapat sembuh atau dapat mengakibatkan nekrosis sebagian dinding (dapat ditutupi alat sekiatrnya) dan dapat membentuk suatu fistel kolesistoduodenal ataupun dapat terjadi perforasi kandung empedu yang berakibat terjadinya peritonitis generalisata. Batu kandung empedu dapat maju masuk ke dalam duktus sistikus

pada saat kontraksi dari kandung empedu. Batu ini dapat terus maju sampai duktus koledokus kemudian menetap asimtomatis atau kadang dapat menyebabkan kolik. Batu yang menyumbat di duktus koledokus juga berakibat terjadinya ikterus obstruktif, kolangitis, kolangiolitis, dan pankretitis. Batu kandung empedu dapat lolos ke dalam saluran cerna melalui terbentuknya fistel kolesitoduodenal. Apabila batu empedu cukup besar dapat menyumbat pad bagian tersempit saluran cerna (ileum terminal) dan menimbulkan ileus obstruksi. C. MANIFESTASI KLINIS Penderita batu kandung empedu baru memberi keluhan bila batu tersebut bermigrasi menyumbat duktus sistikus atau duktus koledokus, sehingga gambaran klinisnya bervariasi dari yang tanpa gejala (asimptomatik), ringan sampai berat karena adanya komplikasi. Dijumpai nyeri di daerah hipokondrium kanan, yang kadang-kadang disertai kolik bilier yang timbul menetap/konstan. Rasa nyeri kadang-kadang dijalarkan sampai di daerah subkapula disertai nausea, vomitus dan dyspepsia, flatulen dan lain-lain. Pada pemeriksaan fisik didapatkan nyeri tekan hipokondrium kanan, dapat teraba pembesaran kandung empedu dan tanda Murphy positif. Dapat juga timbul ikterus. Ikterus dijumpai pada 20 % kasus, umumnya derajat ringan (bilirubin < 4,0 mg/dl). Apabila kadar bilirubin tinggi, perlu dipikirkan adanya batu di saluran empedu ekstra hepatic. 4 Kolik bilier merupakan keluhan utama pada sebagian besar pasien. Nyeri viseral ini berasal dari spasmetonik akibat obstruksi transient duktus sistikus oleh batu. Dengan istilah kolik bilier tersirat pengertian bahwa mukosa kandung empedu tidak memperlihatkan inflamasi akut. Kolik bilier biasanya timbul malam hari atau dini hari, berlangsung lama antara 30 60 menit, menetap, dan nyeri terutama timbul di daerah epigastrium. Nyeri dapat menjalar ke abdomen kanan, ke pundak, punggung, jarang ke abdomen kiri dan dapat menyerupai angina pektoris. Kolik bilier harus dibedakan dengan gejala dispepsia yang merupakan gejala umum pada banyak pasien dengan atau tanpa kolelitiasis. 1 Diagnosis dan pengelolaan yang baik dan tepat dapat mencegah terjadinya komplikasi yang berat. Komplikasi dari batu kandung empedu antara lain kolesistitis akut, kolesistitis kronis, koledokolitiasis, pankreatitis, kolangitis, sirosis bilier sekunder, ileus batu empedu, abses hepatik dan peritonitis karena perforasi kandung empedu. Komplikasi tersebut akan mempersulit penanganannya dan dapat berakibat fatal. Sebagian besar (90 95 %) kasus kolesititis akut disertai kolelitiasis dan keadaan ini timbul akibat obstruksi duktus sistikus yang menyebabkan peradangan organ tersebut. Pasien dengan kolesistitis kronik biasanya

mempunyai kolelitiasis dan telah sering mengalami serangan kolik bilier atau kolesistitis akut. Keadaan ini menyebabkan penebalan dan fibrosis kandung empedu dan pada 15 % pasien disertai penyakit lain seperti koledo kolitiasis, panleneatitis dan kolongitis. 7 Batu kandung empedu dapat migrasi masuk ke duktus koledokus melalui duktus sistikus (koledokolitiasis sekunder) atau batu empedu dapat juga terbentuk di dalam saluran empedu (koledokolitiasis primer). Perjalanan penyakit koledokolitiasis sangat bervariasi dan sulit diramalkan yaitu mulai dari tanpa gejala sampai dengan timbulnya ikterus obstruktif yang nyata. Batu saluran empedu (BSE) kecil dapat masuk ke duodenum spontan tanpa menimbulkan gejala atau menyebabkan obstruksi temporer di ampula vateri sehingga timbul pankreatitis akut dan lalu masuk ke duodenum (gallstone pancreatitis). BSE yang tidak keluar spontan akan tetap berada dalam saluran empedu dan dapat membesar. Gambaran klinis koledokolitiasis didominasi penyulitnya seperti ikterus obstruktif, kolangitis dan pankreatitis.

Gambar 2.3 Manifestasi klinis

D. DIAGNOSIS Anamnesis Kolelitiasis dapat dibagi menjadi beberapa stadium yaitu: asimptomatik (adanya batu empedu tanpa gejala), simptomatik (kolik bilier), dan kompleks ( menyebabkan kolesistitis, koledokolitiasis, serta kolangitis). Sekitar 60-80 % kolelitiasis adalah asimptomatik. Setengah sampai duapertiga penderita kolelitiasis adalah asimptomatis. Keluhan yang mungkin timbul adalah dispepsia yang kadang disertai intoleran terhadap makanan berlemak. Pada yang

simtomatis, keluhan utama berupa nyeri di daerah epigastrium, kuadran kanan atas atau perikomdrium. Rasa nyeri lainnya adalah kolik bilier yang mungkin berlangsung lebih dari 15 menit, dan kadang baru menghilang beberapa jam kemudian. Timbulnya nyeri kebanyakan perlahan-lahan tetapi pada 30% kasus timbul tiba-tiba. Penyebaran nyeri pada punggung bagian tengah, skapula, atau ke puncak bahu, disertai mual dan muntah. Lebih kurang seperempat penderita melaporkan bahwa nyeri berkurang setelah menggunakan antasida. Kalau terjadi kolelitiasis, keluhan nyeri menetap dan bertambah pada waktu menarik nafas dalam. Pemeriksaan Fisik Batu kandung empedu Apabila ditemukan kelainan, biasanya berhubungan dengan komplikasi, seperti kolesistitis akut dengan peritonitis lokal atau umum, hidrop kandung empedu, empiema kandung empedu, atau pangkretitis. Pada pemeriksaan ditemukan nyeri tekan dengan punktum maksimum didaerah letak anatomis kandung empedu. Tanda Murphy positif apabila nyeri tekan bertambah sewaktu penderita menarik nafas panjang karena kandung empedu yang meradang tersentuh ujung jari tangan pemeriksa dan pasien berhenti menarik nafas. Batu saluran empedu Baru saluran empedu tidak menimbulkan gejala dalam fase tenang. Kadang teraba hatidan sklera ikterik. Perlu diktahui bahwa bila kadar bilirubin darah kurang dari 3 mg/dl, gejal ikterik tidak jelas. Apabila sumbatan saluran empedu bertambah berat, akan timbul ikterus klinis. Pemeriksaan Penunjang a. Pemeriksaan laboratorium Batu kandung empedu yang asimtomatik umumnya tidak menunjukkan kelainan pada pemeriksaan laboratorium. Apabila terjadi peradangan akut, dapat terjadi leukositosis. Apabila terjadi sindroma mirizzi, akan ditemukan kenaikan ringan bilirubin serum akibat penekanan duktus koledukus oleh batu. Kadar bilirubin serum yang tinggi mungkin disebabkan oleh batu di dalam duktus koledukus. Kadar fosfatase alkali serum dan mungkin juga kadar amilase serum biasanya meningkat sedang setiap setiap kali terjadi serangan akut. b. Pemeriksaan radiologis

Teknik Imaging

Pada foto polos abdomen dapat dilihat gas atau kalsium didalam traktus biliaris. Kirakira 10-15% batu kantung empedu mengapur (kalsifikasi) dan dapat diidentifikasi sebagai batu kandung empedu pada foto polos. Mungkin pula penimbunan kalsium di dalam kandung empedu yang mirip bahan kontras. Kadang-kadang dinding kandung empedu mengapur (kalsifikasi) yang disebut porcelain gallbladder, yang penting sebab dari hubungan kelainan ini dengan karsinoma kandung empedu. Gas dapat terlihat dipusat kandung empedu gambaran berbentuk segitiga (mercedezben sign), gas didalam duktus biliaris menyatakan secara tidak langsung hubungan abnormal anatara gas kandung empedu atau duktus choledochus. Ini dapat disebabkan oleh penetrasi ulkus duedeni ke dalam traktus biliaris atau erosi batu kedalam lambung, duodenum atau kolon. Gas kadang-kadang terlihat didalam duktus sebagai manifestasi cholangitis disebabkan oleh organisme pembentuk gas. Gas di dalam kandung empedu dan dindingnya (emphysematous cholecystitis) adalah manifestasi dari infeksi serupa dan biasanya timbul pada diabetes, sekunder terhadap kemacetan dari arteri kistik disebabkan diabetic angiopathy. Gas didalam vena porta, tampak perifer di dalam hepar, menyatakan secara tidak langsung usus necrosis tetapi itu dapat terjadi dengan cholecystitis hebat. Kolesistografi oral ditemukan pertama kali 70 tahun yang lalu dan banyak diadakan perubahan kontras nontoxic iodinated organic compound diberikan oral yang diserap didalam usus kecil, diekskresi oleh hati dan dipekatkan di dalam empedu memberikan kesempatan untuk menemukan batu kandung empedu yang tidak mengapur sebelum operasi. Dapat pula dideteksi kelainan intra abdominal lain dari kandung empedu. Kolesistografi intra vena dikerjakan sebagai pengganti kolesistografi oral. Bahan kontras di pergunakan adalah iodipamide (biligrafin yang mengandung iodine 50%). Ultrasonografi kandung empedu (GB-US) telah membuat suatu pengaruh yang hebat pada diagnosa traktus biliaris. Ini telah menggantikan kolesistografi oral sebagai cara imaging utama karena ini menawarkan bermacam-macam keuntungan. Tidak mempergunakan sinar x, tidak perlu menelan kontras. Kemampuan untuk menentukan ukuran duktus biliaris dan untuk mengevaluasi parenkim hepar dan pankreas sangat menguntungkan sekali. Seorang ultrasonografer yang mempunyai skill diperlukan untuk mendapatkan hasil yang optimum. Ultrasonografer memperlihatkan patologi anatomi dari pada patophysiology, kolesistografi oral

memperlihatkan kedua-duanya. Sebab banyak orang yang mempunyai batu kandung empedu

asimptomatik. Ada suatu derajat tertentu agar batu tampak pada ultrasonografi kandung empedu adalah pasien mengeluh. Ultrasonografi kandung empedu dapat mendeteksi batu kecil dari pada kolesistografioral. Ultrasonografi dapat pula untuk menemukan masa intra luminal selain dari pada batu, seperti adenoma, polip kolestrol dan karsinoma kandung empedu. Kolesistografi telah berkembang sebagai studi dinamik dari patologi fisiologi dari sistem biliaris. Injeksi intravena dari technitium labeled imminodiacetic acid compounds memberikan imaging segera dari kandung empedu dan radioaktivitas dapat diikuti ke dalam duodenum. Kolelitiasis Batu empedu akan terlihat sebagai gambaran hiperekoik yang bebas pada kandung empedu serta khas membentuk bayangan akustik dibawahnya. Batu yang kecil dan tipis kadang-kadang tidak memperlihatkan bayangan akustik. Pada keadaan yang meragukan perubahan posisi penderita, misalnya duduk, sangat membantu.

Foto polos Abdomen Foto polos abdomen biasanya tidak memberikan gambaran yang khas karena hanya sekitar 10-15% batu kandung empedu yang bersifat radioopak. Kadang kandung empedu yang mengandung cairan empedu berkadar kalsium tinggi dapat dilihat dengan foto polos. Pada peradangan akut dengan kandung empedu yang membesar atau hidrops, kandung empedu kadang terlihat sebagai massa jaringan lunak di kuadran kanan atas yang menekan gambaran udara dalam usus besar, di fleksura hepatica.

Gambar 2.4 Foto rongent pada kolelitiasis

Ultrasonografi (USG) Ultrasonografi mempunyai derajat spesifisitas dan sensitifitas yang tinggi untuk mendeteksi batu kandung empedu dan pelebaran saluran empedu intrahepatik maupun ekstra hepatik. Dengan USG juga dapat dilihat dinding kandung empedu yang menebal karena fibrosis atau udem yang diakibatkan oleh peradangan maupun sebab lain. Batu yang terdapat pada duktus koledukus distal kadang sulit dideteksi karena terhalang oleh udara di dalam usus. Dengan USG punktum maksimum rasa nyeri pada batu kandung empedu yang ganggren lebih jelas daripada dengan palpasi biasa.

Kolesistografi Untuk penderita tertentu, kolesistografi dengan kontras cukup baik karena relatif murah, sederhana, dan cukup akurat untuk melihat batu radiolusen sehingga dapat dihitung jumlah dan ukuran batu. Kolesistografi oral akan gagal pada keadaan ileus paralitik, muntah, kadar bilirubun serum diatas 2 mg/dl, okstruksi pilorus, dan hepatitis karena pada keadaankeadaan tersebut kontras tidak dapat mencapai hati. Pemeriksaan kolesitografi oral lebih bermakna pada penilaian fungsi kandung empedu.

Gambar 2.6 Hasil kolesistografi pada kolelitiasis CT scan Menunjukan batu empedu dan dilatasi saluran empedu.

Gambar 2.7 CT-Scan abdomen atas menunjukkan batu empedu multiple

ERCP ( Endoscopic Retrograde Cholangio Pancreatography) Yaitu sebuah kanul yang dimasukan ke dalam duktus koledukus dan duktus pancreatikus, kemudian bahan kontras disuntikkan ke dalam duktus tersebut. Fungsi ERCP ini memudahkan visualisasi langsung stuktur bilier dan memudahkan akses ke dalam duktus koledukus bagian distal untuk mengambil batu empedu, selain itu ERCP berfungsi untuk membedakan ikterus yang disebabkan oleh penyakit hati (ikterus hepatoseluler dengan ikterus yang disebabkan oleh obstuksi bilier dan juga dapat digunakan untuk menyelidiki gejala gastrointestinal pada pasien-pasien yang kandung empedunya sudah diangkat.ERCP ini berisiko terjadinya tanda-tanda perforasi/ infeksi.

Gambar 2.8 ERCP menunjukkan batu empedu di duktus ekstrahepatik (panah pendek) dan di duktus intrahepatik (panah panjang) Magnetic Resonance Cholangio-pancreatography (MRCP) Magnetic resonance cholangio-pancreatography atau MRCP adalah modifikasi dari Magnetic Resonance Imaging (MRI), yang memungkinkan untuk mengamati duktus biliaris dan duktus pankreatikus. MRCP dapat mendeteksi batu empedu di duktus biliaris dan juga bila terdapat obstruksi duktus.

E. PENATALAKSANAAN Penatalaksanaan pendukung dan diet Kurang lebih 80% dari pasien-pasien inflamasi akut kandung empedu sembuh dengan istirahat, cairan infus, penghisapan nasogastrik, analgesik dan antibiotik. Intervensi bedah harus ditunda sampai gejala akut mereda dan evalusi yang lengkap dapat dilaksanakan, kecuali jika kondisi pasien memburuk. Manajemen terapi :
o

Diet rendah lemak, tinggi kalori, tinggi protein

o Pemasangan pipa lambung bila terjadi distensi perut. o Observasi keadaan umum dan pemeriksaan vital sign o Dipasang infus program cairan elektrolit dan glukosa untuk mengatasi syok. o Pemberian antibiotik sistemik dan vitamin K (anti koagulopati) Pada kasus kolelitiasis jumlah kolesterol dalam empedu ditentukan oleh jumlah lemak yang dimakan karena sel sel hepatik mensintesis kolesterol dari metabolisme lemak, sehingga klien dianjurkan/ dibatasi dengan makanan cair rendah lemak. Menghindari kolesterol yang tinggi terutama yang berasal dari lemak hewani. Suplemen bubuk tinggi protein dan karbohidrat dapat diaduk ke dalam susu skim dan adapun makanan tambahan seperti : buah yang dimasak, nasi ketela, daging tanpa lemak, sayuran yang tidak membentuk gas, roti, kopi / teh. Terapi Non-farmakologis, seperti : relaksasi, distraksi, kompres hangat / dingin, masase ), mempertahankan Tirah Baring. pemberian analgetik. Jika tidak ditemukan gejala, maka tidak perlu dilakukan pengobatan. Nyeri yang hilang-timbul bisa dihindari atau dikurangi dengan menghindari atau mengurangi makanan berlemak. Jika batu kandung empedu menyebabkan serangan nyeri berulang meskipun telah dilakukan perubahan pola makan, maka dianjurkan untuk menjalani pengangkatan kandung empedu (kolesistektomi). Pengangkatan kandung empedu tidak menyebabkan kekurangan zat gizi dan setelah pembedahan tidak perlu dilakukan pembatasan makanan.

Pilihan penatalaksanaan antara lain : 1. Kolesistektomi terbuka Operasi ini merupakan standar terbaik untuk penanganan pasien dengan kolelitiasis simtomatik. Komplikasi yang paling bermakna yang dapat terjadi adalah cedera duktus biliaris yang terjadi pada 0,2% pasien. Angka mortalitas yang dilaporkan untuk prosedur ini kurang dari 0,5%. Indikasi yang paling umum untuk kolesistektomi adalah kolik biliaris rekuren, diikuti oleh kolesistitis akut. 2. Kolesistektomi laparaskopi Kolesistektomi laparoskopik mulai diperkenalkan pada tahun 1990 dan sekarang ini sekitar 90% kolesistektomi dilakukan secara laparoskopi. 80-90% batu empedu di Inggris dibuang dengan cara ini karena memperkecil resiko kematian dibanding operasi normal (0,1-0,5% untuk operasi normal) dengan mengurangi komplikasi pada jantung dan paru.2 Kandung empedu diangkat melalui selang yang dimasukkan lewat sayatan kecil di dinding perut. Indikasi awal hanya pasien dengan kolelitiasis simtomatik tanpa adanya kolesistitis akut. Karena semakin bertambahnya pengalaman, banyak ahli bedah mulai melakukan prosedur ini pada pasien dengan kolesistitis akut dan pasien dengan batu duktus koledokus. Secara teoritis keuntungan tindakan ini dibandingkan prosedur konvensional adalah dapat mengurangi perawatan di rumah sakit dan biaya yang dikeluarkan, pasien dapat cepat kembali bekerja, nyeri menurun dan perbaikan kosmetik. Masalah yang belum terpecahkan adalah keamanan dari prosedur ini, berhubungan dengan insiden komplikasi seperti cedera duktus biliaris yang mungkin dapat terjadi lebih sering selama kolesistektomi laparaskopi. 3. Disolusi medis Masalah umum yang mengganggu semua zat yang pernah digunakan adalah angka kekambuhan yang tinggi dan biaya yang dikeluarkan. Zat disolusi hanya memperlihatkan manfaatnya untuk batu empedu jenis kolesterol. Penelitian prospektif acak dari asam xenodeoksikolat telah mengindikasikan bahwa disolusi dan hilangnya batu secara lengkap terjadi sekitar 15%. Jika obat ini dihentikan, kekambuhan batu terjadi pada 50% pasien. Kurang dari 10% batu empedu dilakukan cara ini dan sukses. Disolusi medis sebelumnya harus memenuhi kriteria terapi non operatif diantaranya batu kolesterol diameternya < 20 mm, batu kurang dari 4 batu, fungsi kandung empedu baik dan duktus sistik paten. 4. Disolusi kontak

Meskipun pengalaman masih terbatas, infus pelarut kolesterol yang poten (MetilTer-Butil-Eter (MTBE)) ke dalam kandung empedu melalui kateter yang diletakkan perkutan telah terlihat efektif dalam melarutkan batu empedu pada pasien-pasien tertentu. Prosedur ini invasif dan kerugian utamanya adalah angka kekambuhan yang tinggi (50% dalam 5 tahun). 5. Litotripsi Gelombang Elektrosyok (ESWL) Sangat populer digunakan beberapa tahun yang lalu, analisis biaya-manfaat pada saat ini memperlihatkan bahwa prosedur ini hanya terbatas pada pasien yang telah benar-benar dipertimbangkan untuk menjalani terapi ini.

6. Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatography (ERCP) Pada ERCP, suatu endoskop dimasukkan melalui mulut, kerongkongan, lambung dan ke dalam usus halus. Zat kontras radioopak masuk ke dalam saluran empedu melalui sebuah selang di dalam sfingter oddi. Pada sfingterotomi, otot sfingter dibuka agak lebar sehingga batu empedu yang menyumbat saluran akan berpindah ke usus halus. ERCP dan sfingterotomi telah berhasil dilakukan pada 90% kasus. Kurang dari 4 dari setiap 1.000 penderita yang meninggal dan 3-7% mengalami komplikasi, sehingga prosedur ini lebih aman dibandingkan pembedahan perut. ERCP saja biasanya efektif dilakukan pada penderita batu saluran empedu yang lebih tua, yang kandung empedunya telah diangkat. IV. CHOLESISTITIS

A. DEFINISI Kolesistitis adalah radang kandung empedu yang menrupakan inflamasi akut dinding kandung empedu disertai nyeri perut kanan atas, nyeri tekan dan panas badan. Dikenal dua klasifikasi yaitu akut dan kronis. Kolesistitis Akut adalah peradangan dari dinding kandung empedu, biasanya merupakan akibat dari adanya batu empedu di dalam duktus sistikus, yang secara tiba-tiba menyebabkan serangan nyeri yang luar biasa. Kolesistitis Kronis adalah peradangan menahun dari dinding kandung empedu, yang ditandai dengan serangan berulang dari nyeri perut yang tajam dan hebat. B. ETIOLOGI

Sekitar 95% penderita peradangan kandung empedu akut, memiliki batu empedu. Kadang Kolesistitis suatu akut infeksi tanpa batu bakteri merupakan menyebabkan penyakit yang terjadinya serius dan peradangan. cenderung

timbul setelah terjadinya: -cedera -pembedahan -lukabakar -sepsis (infeksi yang menyebar ke seluruh tubuh) - penyakit-penyakit yang parah (terutama penderita yang menerima makanan lewat infus dalam jangka waktu yang lama). -Sebelum secsara tiba-tiba merasakan nyeri yang luar biasa di perut bagian

atas, penderita biasanya tidak menunjukan tanda-tanda penyakit kandung empedu. Kolesistitis kronis terjadi akibat serangan berulang dari kolesistitis akut, yang menyebabkan terjadinya penebalan dinding kandung empedu dan penciutan kandung empedu. Pada akhirnya kandung empedu tidak mampu menampung empedu. Penyakit ini lebih sering terjadi pada wanita dan angka kejadiannya meningkat pada usia diatas 40 tahun. Faktor resiko terjadinya kolesistitis kronis adalah adanya riwayat

kolesistitis akut sebelumnya. C. PATOFISIOLOGI Kandung empedu memiliki fungsi sebagai tempat menyimpan cairan empedu dan memekatkan cairan empedu yang ada didalamnya dengan cara mengabsorpsi air dan elektrolit. Cairan empedu ini adalah cairan elektrolit yang dihasilkan oleh sel hati. Pada individu normal, cairan empedu mengalir ke kandung empedu pada saat katup Oddi tertutup.

Dalam

kandung

empedu,

cairan

empedu

dipekatkan

dengan

mengabsorpsi air. Derajat pemekatannya diperlihatkan oleh peningkatan konsentrasi zat-zat padat. Stasis empedu dalam kandung empedu dapat mengakibatkan

supersaturasi progresif, perubahan susunan kimia dan pengendapan unsur tersebut. Perubahan metabolisme yang disebabkan oleh perubahan susunan empedu, stasis empedu, dapat menyebabkan infeksi kandung empedu.

Umumnya kolesistitis sangat berhubungan dengan kolelithiasis. Kolesistitis dapat terjadi sebagai akibat dari jejas kimiawi oleh sumbatan batu empedu yang menjadi predisposisi terjadinya infeksi atau dapat pula terjadi karena adanya ketidakseimbangan komposisi empedu seperti tingginya kadar garam empedu atau asam empedu, sehingga menginduksi terjadinya peradangan akibat jejas kimia. D. FAKTOR RESIKO Wanita (beresiko dua jadi lebih besar dibanding laki-laki) Usia lebih dari 40 tahun . Kegemukan (obesitas). Faktor keturunan Kehamilan (resiko meningkat pada kehamilan) Hiperlipidemia Diet tinggi lemak dan rendah serat Pengosongan lambung yang memanjang Nutrisi intravena jangka lama Dismotilitas kandung empedu Obat-obatan antihiperlipedmia Penyakit lain (seperti Fibrosis sistik, Diabetes mellitus, sirosis hati, pankreatitis dan kanker kandung empedu) dan penyakit ileus (kekurangan garam empedu) Ras/etnik (Insidensinya tinggi pada Indian Amerika, diikuti oleh kulit putih, baru orang Afrika)

E. MANIFESTASI KLINIS Timbulnya gejala bisa dipicu oleh makan makanan berlemak. Gejala bisa berupa: - Tanda awal dari peradangan kandung empedu biasanya berupa nyeri di perut kanan bagian atas. - Nyeri bertambah hebat bila penderita menarik nafas dalam dan sering menjalar ke bahu kanan. - Biasanya terdapat mual dan muntah. - Nyeri tekan perut - Dalam beberapa jam, otot-otot perut sebelah kanan menjadi kaku. - Pada mulanya, timbul demam ringan, yang semakin lama cenderung meninggi.

- Serangan nyeri berkurang dalam 2-3 hari dan kemudian menghilang dalam 1 minggu. - Gangguan pencernaan menahun - Nyeri perut yang tidak jelas (samar-samar) F. DIAGNOSIS Kolesistitis akut

Keluhan khas adalah nyeri kolik di sebelah kanan atas epigastrium dan nyeri tekan, ditemukan pula nyeri menjalar ke pundak dan scapula kanan yang dapat berlangsung hingga 60 menit tanpa reda, disertai demam. Berat ringan gejala tergantung tingkat inflamasi yang terjadi. Pada pemeriksaan fisik teraba massa kandung empedu, nyeri tekan disertai tanda tanda peritonitis local (Murphy sign). Ikterus ditemui pada 20 % kasus umumnya derajat ringan (bilirubin <40 mg/dl). Konsentrasi bilirubin yang tinggi menunjukkan adanya penyumbatan hampir atau total, sehingga perlu dipikirkan adanya kolelitiasis

.Kolesistitis kronik

Diagnosis sulit ditegakkan karena gejala yang minimal dan tidak menonjol seperti dyspepsia, rasa penuh di epigastrium, dan nausea khususnya setelah makan makanan berlemak tinggi, yang kadang hilang setelah bersendawa. Riwayat penyakit batu empedu di keluarga, ikterus dan kolik berulang, nyeri local didaerah kandung empedu disertai Murphys sign (+) menyokong diagnosis. 6. Pemeriksaan Laboratorium

Leukositosis dengan shift kiri dapat diamati pada kolesistitis. tingkat Alanine aminotransferase (ALT) dan aspartate aminotransferase (AST) digunakan untuk mengevaluasi keberadaan hepatitis dan dapat meningkat pada kolesistitis atau dengan penyumbatan saluran empedu umum.

Bilirubin dan tes fosfatase alkali yang digunakan untuk mengevaluasi bukti penyumbatan saluran umum.

Amilase / lipase tes digunakan untuk mengevaluasi kehadiran pankreatitis. Amilase juga mungkin meningkat sedikit pada kolesistitis.

Tingkat alkali fosfatase tinggi diamati pada 25% pasien dengan kolesistitis. Urine digunakan untuk menyingkirkan pielonefritis dan batu ginjal. Semua wanita usia subur harus memiliki pengujian kehamilan.

Perubahan morfologik pada kolesistitis kronis sangat bervariasi dan kadang minimal. Keberadaan batu empedu dalam kandung empedu, bahkan tanpa adanya peradangan akut, sudah bisa ditegakkan diagnosis. Kandung empedu mungkin mengalami kontraksi, berukuran normal/membesar. Ulserasi mukosa jarang terjadi; submukosa dan subserosa sering menebal akibat fibrosis. Tanpa adanya kolesistitis akut, limfosit di dalam lumen adalah satu-satumya tanda peradangan

Pemeriksaan Penunjang

Kolesistografi oral, USG, kolangiografi dapat memperlihatkan kolelitiasis dan afungsi kandung empedu. Endoscopic Retrograde Cholangio Pancreatography (ERCP), bermanfaat dalam mendeteksi batu di kandung empedu dan duktus koledous dengan sensitivitas 90%, spesivitas 98%, dan akurasi 96%, tapi prosedur invasif ini dapat menimbulkan komplikasi pankreatitis dan kolangitis yang dapat berakibat fatal. Radiografi (tanpa kontras) Batu empedu dapat digambarkan dalam 10-15% kasus. Penemuan ini hanya menunjukkan cholelithiasis, dengan atau tanpa kolesistitis aktif. Udara bebas di Subdiaphragmatic tidak bisa berasal dari saluran empedu, dan, jika ada, ini menunjukkan proses lain penyakit. Gas yang terbatas pada dinding kandung empedu atau lumen merupakan kolesistitis emphysematous , biasanya karena bakteri pembentuk gas, seperti Escherichia coli dan spesies streptokokus anaerob dan clostridial. Emphysematous kolesistitis erat kaitannya dengan meningkatnya tingkat kematian dan terjadi paling sering pada pria dengan diabetes dan dengan kolesistitis acalculous .

Ultrasonografi

Ultrasonografi memilik lebih dari 95% sensitivitas dan spesifisitas untuk diagnosis batu empedu lebih dari 2 mm. Ultrasonography 90-95% sensitif bagi kolesistitis dan 78-80% spesifik. Temuan ultrasonografi yang sugestif dari kolesistitis akut adalah sebagai berikut: cairan pericholecystic, penebalan dinding kandung empedu lebih besar dari 4 mm, dan sonografi tanda Murphy. Adanya batu empedu juga membantu untuk mengkonfirmasikan diagnosis. Ultrasonografi terbaik dilakukan segera setelah minimal 8 jam karena batu empedu yang divisualisasikan paling baik dalam kandung empedu yang penuh .

G. DIAGNOSIS BANDING Intoleransi lemak, ulkus peptic, kolon spastic, karsinoma kolon kanan, pancreatitis kronik, hepatitis kronik, kolelitiasis. Penyakit ini perlu dipertimbangkan sebelum melakukan kolesistektomi. H. KOMPLIKASI Kolesistitis kronik dapat menyebabkan kolangitis, pankreatitis, hepatitis akibat penyebaran infeksinya. I. PENATALAKSANAAN Pengobatan umum: istirahat total, pemberian nutrisi parenteral, diet ringan, obat penghilang rasa nyeri (petidin) dan anti spasmodik. Antibiotic untuk mencegah komplikasi peritonitis, kolangitis, dan septisemia, seperti golongan ampisilin, sefalosporin dan metronidazol mampu mematikan kuman yang umum pada kolesistitis akut (E. coli, S. faecalis, Klebsiella) Kolesistektomi, masih diperdebatkan. Ahli bedah pro operasi dini menyatakan gangren dan komplikasi kegagalan terapi konservatif dapat dihindarkan; dan menekan biaya perawatan RS. Ahli bedah kontra operasi dini menyatakan akan terjadi penyebaran infeksi ke rongga peritoneum dan teknik operasi lebih sulit karena proses inflamasi akut di sekitar duktus mengaburkan anatomi. Saat ini banyak di gunakan kolesistektomi laparoskopik. Walau invasif tapi bisa mengurangi rasa nyeri pasca operasi, menurunkan angka kematian, secara kosmetik lebih baik, menurunkan biaya perawatan RS dan mempercepat aktivitas pasien

J. PROGNOSIS Tindakan bedah akut pada pasien >75 tahun mempunyai prognosis buruk, bisa terjadi komplikasi pasca bedah. Prognosis tepat dari kolesistitis kronis belum dapat diperkirakan (dubia).

DAFTAR PUSTAKA

1. De Jong, Wim. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi Revisi. EGC : Jakarta. 754-781 2. Pabst. Atlas Anatomi Sobotta. Edisi 22. EGC : Jakarta 3. Pridadi. Kolesistitis. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Ed.IV. Hal 477478. Jakarta : FKUI. 2007 . Hal 477 478 4. Lesmana , Laurentius A. Penyakit Batu empedu. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Ed.IV. Hal 477- 478. Jakarta : FKUI. 2006 . Hal 479 481. 5. Kumar V, Cotran RZ,. Gastroenterologi. Robbins SL, editor. Buku ajar patologi robbins. Edisi 7. Vol.2. Jakarta;. 2007. Hal 504 508

You might also like