You are on page 1of 14

BAB I PENDAHULUAN A.

Latar Belakang Masalah Negara merupakan organisasi kekuasaan politik yang mengatur hampir setiap segi kehidupan warganya. Negara mewujudkan kekuasaannya melalui berbagai instrumen peraturan, yang bersifat mengikat dan memaksa. Meskipun kekuasaan negara sangat luas, perlu adanya batasbatas kekuasaan negara. Batas-batas ini juga diperlukan agar tidak terjadi kesewenangwenangan negara terhadap rakyatnya. Untuk itulah diperlukan konstitusi, yang berisi pembatasan kekuasaan negara dan perlindungan terhadap hak-hak asasi warga negara. Menurut Montesquieu, kekuasaan negara harus dipisahkan menjadi tiga macam fungsi kekuasaan, meliputi kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Kekuasaan pemerintahan dalam arti luas meliputi ketiga macam kekuasaan itu. Pemegang kekuasaan legislatif dalam pemerintahan adalah DPR, kekuasaan eksekutif oleh presiden dan kekuasaan yudikatif oleh Mahkamah Agung. Masing-masing dari mereka memiliki fungsi, hak dan wewenang sendiri dalam menjalankan pemerintahan. Selain itu, mereka juga saling memiliki keterkaitan dalam jalannya pemerintahan. Berikut dibawah ini akan diuraikan tentang kekuasaan legislatif (DPR) dan eksekutif (Presiden) serta hubungan keduanya. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut: 1. Apa yang dimaksud dengan Presiden? 2. Apa tugas, hak dan wewenang Presiden? 3. Apa yang dimaksud dengan DPR ? 4. Apa fungsi, hak dan wewenang DPR ? 5. Bagaimana hubungan antara Presiden dan DPR ?

C. Tujuan Berdasarkan rumusan masalah di atas, penulisan makalah ini bertujuan untuk: 1. Mengetahui definisi Presiden. 2. Mengetahui tugas, hak dan wewenang Presiden. 3. Mengetahui definisi DPR. 4. Mengetahui fungsi, hak dan wewenang DPR. 5. Mengetahui hubungan antara Presiden dan DPR. D. MANFAAT Mahasiswa dapat memahami tentang : 1. Definisi, tugas , hak dan wewenang Presiden ; 2. Definisi, fungsi , hak dan wewenang DPR ,serta ; 3. Hubungan antara Presiden dan DPR. Sehingga mahasiswa terbuka wawasannya tentang lembaga eksekutif dan legislatif di indonesia. BAB II PEMBAHASAN 1. Definisi Presiden KATA presiden itu berasal dari bahasa Latin, dari kata praesideo, praesidere, praesedi, praesessum, yang berarti duduk di depan. Jadi, presiden adalah orang yang duduk di depan, dalam arti memimpin. Presiden Indonesia (nama jabatan resmi: Presiden Republik Indonesia) adalah kepala negara sekaligus kepala pemerintahan Indonesia. Sebagai kepala negara , Presiden adalah simbol resmi negara Indonesia di dunia. Sebagai kepala pemerintahan, Presiden dibantu oleh wakil presiden dan menteri-menteri dalam kabinet,memegang kekuasaan eksekutif untuk melaksanakan tugas-tugas pemerintah sehari-hari. Presiden (dan Wakil Presiden) menjabat selama 5 tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama untuk satu kali masa jabatan. Ia digaji sekitar 60 juta per bulan.

a) Persyaratan menjadi Presiden. Syarat Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia menurut UU No 42 tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden sebagai berikut:

1. Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. 2. Warga Negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri. 3. Tidak pernah mengkhianati negara, serta tidak pernah melakukan tindak pidana korupsi dan tindak pidana berat lainnya. 4. Mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Presiden dan Wakil Presiden. 5. Bertempat tinggal di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. 6. Telah melaporkan kekayaannya kepada instansi yang berwenang memeriksa laporan kekayaan penyelenggara negara. 7. Tidak sedang memiliki tanggungan utang secara perseorangan dan/atau secara badan hukum yang menjadi tanggung jawabnya yang merugikan keuangan negara. 8. Tidak sedang dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan. 9. Tidak pernah melakukan perbuatan tercela. 10. Terdaftar sebagai Pemilih. 11. Memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan telah melaksanakan kewajiban membayar pajak selama 5 tahun terakhir yang dibuktikan dengan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak OrangPribadi. 12. Belum pernah menjabat sebagai Presiden atau Wakil Presiden selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama. 13. Setia kepada Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945. 14. Tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih. 15. Berusia sekurang-kurangnya 35 (tiga puluh lima) tahun. 16. Berpendidikan paling rendah tamat Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat. 17. Bukan bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia, termasuk organisasi massanya, atau bukan orang yang terlibat langsung dalam G.30.S/PKI. 18. Memiliki visi, misi, dan program dalam melaksanakan pemerintahan negara Republik Indonesia.

b) Pemilihan Presiden.

Menurut Perubahan Ketiga UUD 1945 Pasal 6A, Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat melaluiPemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres). Sebelumnya, Presiden (dan Wakil Presiden) dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat. Dengan adanya Perubahan UUD 1945, Presiden tidak lagi bertanggung jawab kepada MPR, dan kedudukan antara Presiden dan MPR adalah setara. Calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu sebelumnya. Pilpres pertama kali di Indonesia diselenggarakan pada tahun 2004. Jika dalam Pilpres didapat suara >50% jumlah suara dalam pemilu dengan sedikitnya 20% di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari separuh jumlah provinsi Indonesia, maka dinyatakan sebagai Presiden dan Wakil Presiden terpilih. Jika tidak ada pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih, maka pasangan yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam Pilpres mengikuti Pilpres Putaran Kedua. Pasangan yang memperoleh suara terbanyak dalam Pilpres Putaran Kedua dinyatakan sebagai Presiden dan Wakil Presiden Terpilih. c) Pemberhentian Presiden.

Usul pemberhentian Presiden/Wakil Presiden dapat diajukan oleh DPR. Apabila DPR berpendapat bahwa Presiden/Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden/Wakil Presiden (dalam rangka pelaksanaan fungsi pengawasan DPR), DPR dapat mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi, jika mendapat dukungan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota. Jika terbukti menurut UUD 1945 pasal 7A maka DPR dapat mengajukan tuntutan impeachment tersebut kepada Mahkamah Konstitusi RI kemudian setelah menjalankan persidangan dalam amar putusan Mahkamah Konstitusi RI dapat menyatakan membenarkan pendapat DPR atau menyatakan menolak pendapat DPR dan MPR-RI kemudian akan bersidang untuk melaksanakan keputusan Mahkamah Konstitusi RI tersebut.

2. Tugas, hak dan wewenang Presiden. a. Tugas Presiden Secara umum, Presiden memiliki kewajiban untuk menjalankan program kerja yang dibentuk ketika pertama kali diangkat menjadi seorang Presiden. Dalam pemerintahan, seorang Presiden berkewajiban untuk menjalankan pemerintahan. Dalam hal ini presiden bertugas untuk menerapkan Undang-undang.

b. Hak Presiden Memegang kekuasaan pemerintah menurut UUD Mengangkat dan memberhentikan menteri Mengangkat dan memberhentikan KY dengan persetujuan DPR Memberi gelar, tanda jasa, dan tanda penghargaan lainnya Mendapatkan perlindungan serta mendapatkan gaji Mengesahkan atau tidak mengesahkan RUU inisiatif DPR (Hak Veto)

c. Wewenang Presiden Memegang kekuasaan tertinggi atas AD,AL, dan AU (Pasal 10 UUD 1945) Menyatakan perang dan membuat perdamaian (Pasal 11 UUD 1945) Membuat perjanjian dengan negara lain (Pasal 11 UUD 1945) Menyatakan keadaan bahaya (Pasal 12 UUD 1945) Mengangkat duta dan konsul serta menerima duta negara lain (Pasal 13 UUD 1945) Memberi grasi (Pasal 14 UUD 1945) Memberi amnesti dan abolisi (Pasal 14 UUD 1945) Memberi rehabilitasi (Pasal 14 UUD 1945) Memberi gelaran (Pasal 15 UUD 1945) Membentuk Undang-undang (Pasal 5 ayat (1) UUD 1945) Menetapkan Peraturan Pemerintah (PERPU) (Pasal 22 ayat (1) UUD 1945) Menetapkan APBN (Pasal 23 ayat (1) UUD 1945)

3. Definisi DPR DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) adalah dewan negara dalam sistem ketatanegaraan RI yang merupakan dewan perwakilan rakyat, sebagaimana yang tertera pada namannya. Dewan ini memegang kekuasaan untuk merancang hukum, dan memainkan peran legislatif, anggaran dan pengawasan. DPR terdiri atas anggota-anggota partai politik yang menang dalam pemilihan umum. Anggota DPR berjumlah 560 orang dan bertugas selama lima tahun. 4. Fungsi, Hak dan Wewenang DPR a. Fungsi DPR Fungsi legislasi, artinya DPR memiliki fungsi sebagai lembaga pembuat undang undang Fungsi anggaran, DPR memiliki fungsi sebagi lembaga yang berhak untuk menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Fungsi Pengawasan, artinya DPR sebagai lembaga legislatif yang melakukan pengawasan terhadap pemerintahan yang menjalankan undang-undang

b. Hak DPR Hak interpelasi adalah hak DPR untuk meminta keterangan kepada pemerintah mengenai kebijakan pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas bagi kehidupan masyarakat. Hak angket adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap suatu kebijakan tertentu pemerintah yang diduga bertentangan denganperaturan perundang-undangan. Hak menyatakan pendapat adalah hak DR untuk menyatakan pendapat trhadap kebijakan pemerintah mengenai kejadian yang luar biasa yang terdapat di dalam negeri disertai dengan rekomendasi penyelesaiannya atau sebagai tindaklanjut pelaksanaan hak interpelasi dan hak angket. Untuk memudahkan tugas anggota DPR makadibentukkomisi-komisi yang bekerjasama dengan pemerintah sebagai mitra kerja

c. Wewenang DPR Membentuk undang-undang yang dibahas dengan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama Membahas dan memberikan atau tidak memberikan persetujuan terhadap Peraturan Pernerintah Pengganti Undang-Undang. Menerima dan membahas usulan Rancangan Undang-undang yang diajukan oleh DPD yang berkaitan dengan bidang otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah dan mengikut sertakan dalam pembahasannya dalam awal pembicaraan tingkat I. Mengundang DPD untuk melakukan pembahasan RUU yang diajukan oleh DPR maupun oleh pemerintah sebagaimana dimaksud pada bagian ketiga pada awal pembicaraan tingkat I. Memperhatikan pertimbangan DPD atas Rancangan Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara danRancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama dalam awal pembicaraan tingkat I. Menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara bersama Presiden dengan memperhatikan pertimbangan DPD. Membahas dan menindaklanjuti hasil pengawasan yang diajukan oleh DPD terhadap pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungandaerah, hubungan pusat dan daerah, sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, pajak, pendidikan, dan agama. Memilih anggota Badan Pemeriksa Keuangan dengan memperhatikan pertimbangan DPD.

Membahas dan menindaklanjuti hasil pemeriksaan atas pertanggung jawaban keuangan negara yang disampaikan oleh Badan Pemeriksa Keuangan. Mengajukan, memberikan persetujuan, pertimbangan/konsultasi, dan pendapat. Menyerap, menghimpun, menampung dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat. Melaksanakan tugas dan wewenang lainnya yang ditentukan dalam UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan undang-undang

5. Hubungan antara Presiden dengan DPR Sebelum mencari tahu hubungan DPR dan Presiden lebih baik kita mengetahui mengenai Teori Pemisahan Kekuasaan. Teori ini muncul pertama kali dalam teori Montesquie pada karyanya, Esprit des lois,yang diterbitkan pada tahun 1748. teori ini muncul atas kritik dan pembelajaran Montesquie terhadap konstitusi Inggris. Dalam tulisannya Montesqiue menyimpulkan bahwa: ..ketika kekuasaan legislatif dan eksekutif disatukan pada orang atau badan yang sama, maka tidak akan ada lagi kebebasan sebab terdapat bahaya bahwa raja atau badan legislatif yang sama akan memberlakukan undang-undang tirani dan melaksanakannya dengan cara yang tiran. Pemikiran Montesquie ini dianut pula oleh pemikir Inggris sendiri, Blackstone. Dalam karyanya Commentaries on the Laws of England (1765), menyatakan: Apabila hak untuk membuat dan melaksanakan undangundang diberikan kepada orang atau badan yang sama, maka tidak akan ada lagi kebebasan publik. Pemisahan kekuasaan bertujuan menciptakan kebebasan publik sehingga UndangUndang atau peraturan yang di keluarkan lebih bersifat untuk kepentingan bersama. Hubungan antara DPR dam Presiden terletak pada hubungan kerja. Hubungan kerja tersebut antara lain adalah mengenai proses pembuatan undang-undang antara presiden dan DPR yang diatur dalam pasal 20 ayat 2, 3, 4, dan 5, diantaranya : 1) Setiap rancangan undang-undang harus dibahas oleh presiden dan DPR untuk mendapat persetujuan bersama (ayat 2). 2) Jika rancangan undang-undang itu tidak mendapat persetujuan bersama, maka maka rancangan undang-undang itu tidak dapat diajukan lagi pada masa persidangan itu (ayat 3). 3) Presiden mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama, (ayat 4) dan 4) Apabila presiden dalam waktu 30 hari setelah rancangan undang-undang itu disetujui bersama, undang-undang itu sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan (ayat 5). Untuk terbentuknya undang-undang, maka harus disetujui bersama antara presiden dengan DPR. Walaupun seluruh anggota DPR setuju tapi presiden tidak, atau sebaliknya, maka rancangan undang-undang itu tidak dapat diundangkan. Selanjutnya mengenai fungsi pengawasan yang dimiliki oleh DPR. Yaitu mengawasi presiden dan wakil presiden dalam pelaksanaan kekuasaan eksekutif. Dan DPR dapat mengusulkan pemberhentian Presisiden sebagai tindak lanjut pengawasan (pasal 7A). Dalam bidang keuangan, RUU APBN diajukan oleh presiden untuk dibahas bersama DPR dengan memperhatikan pertimbangan DPD (pasal 23 ayat 2). Apabila DPR tidak menyetujui RAPBN yang diusulkan presiden, pemerintah menjalankan APBN tahun lalu(pasal 23 ayat 3).

Hubungan kerja lain antara DPR dengan Presiden antara lain: 1) Melantik presiden dan atau wakil presiden dalam hal MPR tidak dapat melaksanakan sidang itu (pasal 9) 2) Memberikan pertimbangan atas pengangkatan duta dan dalam hal menerima duta negara lain (pasal 13) 3) Memberikan pertimbangan kepada presiden atas pemberian Amnesti dan Abolisi (pasal 14 ayat 2) 4) Memberikan persetujuan atas pernyataan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain (pasal 11) 5) Memberikan persetujuan atas pengangkatan komisi yudisial (pasal 24B ayat 3), memberikan persetujuan atas pengangkatan hakim agung (pasal 24A ayat 3). 5.1 Opini Rival G. Ahmad dan Bivitri Susanti peneliti pada Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia (PSHK).

Pembubaran DPR secara Konstitusional?


Ketegangan yang berkepanjangan antara DPR dan presiden belakangan ini semakin memuncak dan menimbulkan berbagai spekulasi politik di masayarakat. Salah satu spekulasi yang terdengar adalah bahwa presiden akan membubarkan DPR melalui suatu dekrit.
RIVAL G. AHMAD DAN BIVITRI SUSANTI

Begitu seringnya pernyataan-pernyataan kontroversial dikeluarkan oleh elite politik, hingga berita ini sudah tidak lagi mengejutkan. Namun demikian, fenomena ini perlu untuk ditelaah dari segi hukum untuk dapat menelusuri peluang hukum yang ada dalam spekulasi tersebut. Wewenang pembubaran parlemen Secara teoritis, dalam sistem presidensil, presiden tidak memiliki kewenangan untuk membubarkan parlemen, begitu pula sebaliknya. Kekuatan utama dalam konsep sistem presidensil memang terletak pada prinsip pokok tersebut, terciptanya keseimbangan kekuasaan antara eksekutif dan legislatif. Berbeda dengan yang terjadi dalam sistem parlementer dan sistem semi-parlementer di negara-negara non-monarki, presiden sebagai kepala negara (head of state) biasanya memiliki kewenangan untuk membubarkan parlemen dengan beberapa variasi prasyarat kondisi dan mekanisme prosedural. Pengaturan tersebut ditujukan untuk mengimbangi kekuasaan parlemen yang memiliki kewenangan untuk menjatuhkan kabinet, baik terhadap tiap anggota kabinet ataupun keseluruhan kabinet.

Prasyarat kondisi yang biasanya ditentukan dalam konsitusi adalah terjadinya kemacetan/kebuntuan politik antara eksekutif (kabinet) dan legislatif (parlemen). Gambaran sederhana di beberapa negara bila hal tersebut terjadi adalah, Perdana Menteri sebagai pimpinan kabinet, mengajukan permohonan kepada Presiden untuk membubarkan parlemen dan mengadakan pemilihan umum ulang bagi anggota parlemen. Bila permohonan itu disetujui dan disahkan oleh Presiden, maka secara resmi anggota parlemen akan melepaskan jabatannya. Dan dalam waktu yang ditentukan, akan ada pemilihan ulang untuk memilih anggota parlemen yang baru. Administrasi pemerintahan rutin dan penyelenggaraan pemilu biasanya akan dipegang oleh kabinet demisioner sampai dengan parlemen baru terbentuk dan berhasil memilih perdana menteri dan kabinet yang baru. Prinsip yang dijunjung adalah keputusan akhir tetap ada di tangan rakyat. Tiga model sistem pemerintahan yang utama, yakni presidensil, parlementer, dan semiparlementer, dengan segala variannya merupakan konstruksi pengalaman sejarah politik yang panjang dari masing-masing negara demokrasi modern yang menganutnya. Walapun sebagian besar negara modern tetap mengacu pada model-model utama yang ada di negara penemunya, hampir bisa dipastikan tiap negara memiliki karakterisitk khas sesuai dengan sejarah dan dinamika sosial-ekonomi-politik dan budayanya masing-masing. Namun demikian, masing-masing sistem memiliki latar belakang pemikiran dan orientasi politiknya yang secara prinsipil berlainan. Perbedaan ini pada gilirannya akan melahirkan kerangka sistem pemerintahan tertentu, yang diharapkan dapat menjamin seoptimal mungkin orientasi politik yang sudah ditetapkan. Jadi, sebuah model sistem pemerintahan tidak serta merta dapat dimodifikasi sesuai kepentingan politik jangka pendek, karena ia dibangun dalam satu kerangka yang utuh dan konsisten. Dekrit Presiden di Indonesia Secara tidak langsung spekulasi mengenai pembubaran DPR munujuk pada sejarah Dekrit Presiden Soekarno yang membubarkan konstituante. Apa referensi tersebut tepat? Pada 5 Juli 1959 Presiden Soekarno, sebagai kepala negara, mengeluarkan Dekrit Presiden yang bertujuan menyelesaikan kebuntuan dalam merumuskan undang-undang dasar. Pernyataan utama dari Dekrit adalah dibubarkanya Badan Konstituante hasil Pemilihan Umum Desember 1955, kembalinya konstitusi kepada UUD 1945, penarikan UUD 1950, dan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya, mendirikan lembaga-lembaga kenegaraan sesuai dengan UUD 1945. Saat itu pula, berakhirlah masa kerja Badan Konstituante dan sekaligus pula sistem pemerintahan parlementer. Selama masa Orde Baru, sejarah lebih sering mengedepankan catatan mengenai apa yang disebut dengan kegagalan konstituante daripada dinamika politik di belakangnya. Terhadap hal ini, Yusril Ihza Mahendra menyatakan (terlepas hal itu otoriter atau demokratis-Pen.) bahwa tindakan Soekarno tersebut merupakan revolusi hukum yang secara politik berhasil dipertahankan olehnya (Kompas: 31 Januari 01). Yang perlu dicermati dalam kasus ini adalah sistem pemerintahan pada saat itu yang memang berbeda dengan sistem pemerintahan yang dianut sekarang. Walaupun tidak secara langsung memberikan wewenang tertentu kepada presiden, UUDS 1950 mengatur suatu sistem pemerintahan parlementer yang menyebabkan presiden memiliki tempat yang sangat berbeda dalam struktur politik dan ketatanegaraan dengan yang berlaku saat ini.
9

Bila ditilik secara rinci dalam dinamika politik yang berkembang pada masa itu, ada beberapa pertanyaan yang menarik untuk diangkat, yakni aktor/lembaga mana yang berinsiatif, dan prosedur hukum apa yang dilakukan? Inisiatif utama dari Dekrit ini sepertinya tidak hanya berasal dari Presiden Soekarno (yang dalam masa genting ini sebenarnya sedang berada di Jepang), walaupun sangat mungkin diinspirasikan oleh beberapa pidato Soekarno untuk membubarkan parlemen pada tahun 1956. Dalam catatan sejarah, yang paling menonjol mengambil inisiatif ini ada tiga kelompok, yakni Angkatan Darat (dengan tokohnya Nasution), partai yang disokong oleh militer (IPKI), dan partai-partai (berhaluan non-islam) yang ada dalam parlemen dan badan konstituante. Selain itu ada juga peran pembantu yang dilakonkan oleh PM Djuanda. Hampir bisa dikatakan Presiden Soekarno terkesan pasif. Karena selama terjadi dead-lock di konstituante. Dan selama ia masih di luar negeri, Kasad Jendral Nasution sebagai pemegang kekuasaan pusat hukum darurat, telah mengeluarkan maklumat yang melarang semua kegiatan politik dan menangguhkan semua rapat-rapat konstituante, sampai Soekarno pulang dari luar negeri, maklumat darurat ini disetujui oleh PM Djuanda tanpa rapat kabinet (Nasution: 1995). Usaha yang paling penting dari pengkondisian bubarnya konstituante ini adalah mosi pembubaran konstituante yang diajukan oleh IPKI dalam sidang konstituante yang terakhir, serta usulan dekrit presiden yang diajukan oleh BKSPM (Badan Kerja Sama Pemuda dan Militer) dan kawat Jenderal Sungkono (Anggota terkemuka dari Persatuan Veteran 45) kepada Presiden Soekarno (ibid). IPKI dengan 18 partai radikal kecil juga kemudian menyatakan bahwa mereka tidak akan datang ke dalam sidang konsitituante lagi. Begitu juga PNI dan PKI yang menyatakan hanya akan datang ke sidang konstituante di Bandung dalam rangka pembubaran konstiutante. Peluang pembubaran DPR Pembubaran parlemen secara teoritis maupun dalam praktek di Indonesia ternyata hanya terjadi dalam sistem pemerintahan parlementer. Dan sepertinya tidak masuk akal dilakukan secara konstitusional dalam sistem presidensil. Penting untuk dicermati bahwa kondisi politik maupun sistem ketatanegaraan Indonesia sangat berbeda dengan tahun 1959. Sehingga apabila Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) tetap berkeras untuk mengeluarkan Dekrit dengan mengacu pada Dekrit 1959, tindakan itu tidak akan dapat dibenarkan secara legal maupun secara politis. Secara legal, tidak ada wewenang apapun yang dimiliki oleh presiden untuk melakukan hal tersebut. Berbeda dengan UUDS 1950, UUD 1945 menyatakan bahwa hubungan DPR dan presiden adalah sejajar. Sementara undang-undang keadaan bahaya yang sempat diduga akan menjadi dasar hukum bagi tindakan ini juga ternyata tidak memberikan kewenangan kepada presiden untuk membubarkan DPR. Sedangkan secara politis, harus terlebih dahulu diciptakan kondisi politik yang kemudian dapat melegitimasi tindakan tersebut. Tanpa adanya kondisi yang dapat melegitimasinya, maka sejarah akan mencatat tindakan itu sebagai tindakan inkonstitusional dari seorang diktator daripada suatu revolusi. Kondisi politik yang dapat melegitimasi tindakan itu adalah adanya keadaan darurat yang memaksa presiden untuk membubarkan DPR. Untuk itu, jelas dibutuhkan dukungan dari militer.
10

Reaksi langsung yang dapat dimunculkan oleh DPR adalah dengan melakukan pembangkangan, yang kemudian dapat berujung pada pengiriman memorandum kepada MPR untuk melaksanakan Sidang Istimewa (SI) guna menjatuhkan presiden dengan alasan melanggar konstitusi. Walaupun untuk sampai pada SI dibutuhkan waktu setidaknya empat bulan sejak dikirimkannya memorandum pertama, implikasi politik yang ditimbulkannya akan cukup kuat untuk membalikkan kedudukan antara MPR dan Presiden. Namun terhadap tindakan pembangkangan MPR ini, ada cara yang umum (berlaku di dunia ketiga) untuk mencegahnya, yaitu dengan penghentian secara militeristik segala aktivitas resmi parlemen dan mungkin juga aktivitas politik pada umumnya. Menurut para ahli tata negara, ini berarti suatu tindakan coup d'etat. Hal yang paling mungkin dilakukan secara konstitusional adalah pembubaran DPR oleh para anggota DPR. Namun untuk sampai pada hal ini, perlu ada penggembosan di kalangan DPR sendiri untuk selanjutnya menyatakan mosi pembubaran DPR. Cara yang tidak umum terjadi dalam sistem presidensil, tapi juga tidak ada larangan yang menghambatnya secara konstitusional. Selama masih ada kalangan anggota DPR yang tidak menyetujui pembubaran ini, maka DPR tidak dapat bubar secara institusional. Namun setelah ini, fungsi DPR tidak akan berjalan sebagaimana seharusnya, yang akhirnya akan menyebabkan DPR akan kehilangan legitimasi. Kemacetan politik yang dihasilkan akan mengarah pula pada kondisi yang memungkinkan presiden membubarkan DPR. Akibat sampingannya, konflik antara presiden dan DPR telah berhasil dipindahkan menjadi konflik internal DPR. Apabila hal ini yang terjadi, maka akan terjadi konflik politik yang berkepanjangan. Dan karenanya, akan berujung pula pada nasib seluruh bangsa ini. Oleh karena itu, meski langkah ini memang tidak mudah karena membutuhkan kekuatan politik yang besar, segala upaya politik yang menuju ke arah itu perlu dicermati. Akhir dari seluruh uraian di atas, mungkin prinsip dasar demokrasi yang klasik perlu kembali diingat dalam hal ini. Keputusan akhir (harus) ada di tangan rakyat. Bukan hanya pemimpin dan wakil rakyat, bukan cuma rakyat yang terdidik dan terorganisir, melainkan rakyat Indonesia secara keseluruhan.

11

5.2 Opini tentang hubungan Presiden dengan DPR

Hubungan DPR dengan presiden didesain "bermuka dua"


Mihardi
Kamis, 6 Juni 2013 09:39 WIB

Ketua DPD RI Irman Gusman. (Dok. Sindo)

Sindonews.com - Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Irman Gusman mengatakan, hubungan DPR dan presiden secara konstitusional memang didesain "bermuka dua". Hal ini terlihat ketika anggota DPR harus mengambil sikap atas kebijakan presiden. "Artinya bahwa tidak boleh ada sikap permanen dari DPR terhadap segala perbuatan atau kebijakan presiden dalam menyelenggarankan kekuasaan pemerintahannya bahwa selama lima tahun, harus disetujui terus dengan dasar sebuah kontrak politik," kata Irman dalam rilisnya yang diterima Sindonews, Kamis (6/6/2013). "Begitu pula sebaliknya, bahwa dalam lima tahun segala kebijakan presiden harus tidak disetujui terus, karena berpikir bukan bagian dari kontrak politik koalisi," tambahnya. Dia menerangkan, DPR merupakan pengawas bagi kinerja serta kebijakan pemerintah. Maka itu, kata dia, sebaiknya DPR tidak merta-merta mudah di intervensi kekuasaan yang ada di negeri ini karna fungsi DPR sebagai pengawas pemerintah. "Relasi DPR dan Presiden adalah relasi dinamis dalam kerangka checks and balance, oleh karenanya "muka dua", sesungguhnya lebih konstitusional dari "muka satu". Karena kalau justru muka satu, maka logika DPR sebagai perwakilan rakyat tidak akan berada dalam domain reprsentasi objektif rakyat," terangnya.

12

5.3 Pendapat SBY mengenai persoalan antara Pemerintah dengan DPR TEMPO Interaktif, Jakarta : Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berharap persoalan antara pemerintah dengan DPR dapat diselesaikan secara demokratis melalui pembicaraan siang ini dengan pimpinan DPR. Sekitar pukul 13.00 WIB Presiden Yudhoyono bersama Wakil Presiden Jusuf Kalla bertemu dengan pimpinan DPR di Gedung MPD/DPR. Pertemuan ini dimaksudkan untuk membicarakan berbagai persoalan yang menyangkut hubungan pemerintah dengan DPR akhir-akhir ini. Agenda pertemuan ini dijadwalkan secara mendadak diluar agenda resmi presiden maupun wakil presiden. "Selelah kemarin bertemu ketua mahkamah konstitusi, ketua mahkamah agung, dan pagi ini bertemu ketua dewan perwakilan daerah, saya harapkan dalam pertemuan dengan pimpinan DPR siang ini dapat menyelesaikan semua persoalan secara demokratis," kata Presiden Yudhoyono dalam pidato tanpa teksnya dimuka puluhan diplomat asing di Istana Negara Jakarta, Selasa (2/11). Menurut presiden, persoalan yang terjadi antar pemerintah dengan DPR lebih disebabkan proses penyelesaian dalam melaksanakan hasil amandemen UUD 1945. Akibat amandemen, terjadi perubahan sistem pemerintahan mulai dari pemilihan presiden secara langsung dan penerapan sistem dua kamar (bikameral) di parlemen. Dengan perubahan sistem ini rakyat perlu waktu untuk membiasakan diri.

Menurut Sekretaris Kabinet, Sudi Silalahi, pemerintah tidak menghendaki terjadinya kontroversi akibat persoalan diinternal DPR maupun persoalan hubungan pemerintah dengan DPR. "Presiden Yudhoyono, hanya berharap DPR secepat mungkin menyelesaikan masalah internalnya. Sehingga, mekanisme kemitraan pemerintah dengan DPR dapat segera berjalan,"kata Sudi. Soal instruksi presiden yang meminta semua menteri dan pejabat negara untuk tidak menghadiri semua undangan DPR, menurut Sudi, presiden hanya berniat menunda sementara waktu hingga masalah internal DPR dapat selesai. "Kita tidak ingin ada kontroversi di DPR, karena kalau misalnya ada menteri yang dipanggil, kemudian ada kontroversi di DPR kita tidak ingin menteri kita di ping-pong kesana kemari," kata Sudi beralasan.

13

BAB III PENUTUP A. KESIMPULAN Dalam menjalankan pemerintahan Presiden memegang kekuasaan eksekutif untuk melaksanakan tugas-tugas pemerintahan sehari-hari. Agar tugas-tugasnya berjalan dengan lancar, Presiden dibantu oleh satu orang Wakil Presiden dan para pembantu yang terdiri menteri-menteri dalam kabinet. Sedangkan DPR memegang kekuasaan legislatif. Kedua pihak ini memiliki fungsinya masing-masing. Tetapi dalam menjalankan pemerintahan keduanya memiliki hubungan yang tidak dapat dipisahkan.

DAFTAR PUSTAKA http://rakyatsulsel.com/apa-itu-presiden.html#sthash.ghOWAFG3.dpuf http://ide.shvoong.com/law-and-politics/administrative-law/2297963-pengertian-dpr-dewanperwakilan-rakyat/ file:///D:/minggu%20teori/kwn/semester%202/KEKUASAAN%20PRESIDEN%20RI.htm http://jasapembuatanweb.co.id/artikel-ilmiah/hubungan-presiden-dengan-dpr-setelahperubahan-uud-1945 boliberbagi.blogspot.com www.academia.edu daerah.sindonews.com id.wikipedia.org

14

You might also like