You are on page 1of 7

1. Pada saat pembedahan berlangsung, Tn.

Indra mengalami kekakuan pada otot, suhu tubuh meningkat sampai 400 C dan tekanan darah menjadi 170/90 mmHg dan denyut jantung 120 kali/menit. a. Bagaimana interpretasi kondisi Tn. Indra pada saat pembedahan? Hyperthermia, Hypertensi, Tachycardy, Muscle Rigidity b. Bagaimana mekanisme ketidaknormalan kondisi Tn. Indra? Tanda-tanda terjadinya MH adalah masseter spasm, hipermetabolisme, dan kekakuan otot.

Tersedianya ion kalsium secara berlebihan menyebabkan otot lurik untuk berkontraksi secara abnormal yang mengakibatkan terjadinya kekakuan otot pada orang dengan MH.

Peningkatan konsentrasi kalsium pada otot juga menyebabkan teraktivasinya proses dihasilkannya panas dan asam yang berlebih.

Peningkatan kadar ion kalsium intraseluler merangsang metabolism baik secara langsung, melalui aktivasi phosphorylase untuk meningkatkan glycolysis, dan secara tidak langsung, disebabkan oleh peningkatan kebutuhan ATP. Atpase merupakan komponen penting dalam relaksasi miofilamen dan Ca2+ sequestration pumps dari sarcoplasmic reticulum dan sarcolemma. Hyperthermia disebabkan oleh hipermetabolisme dan terjadinya kontraksi berlebihan dari otot.

Rangsangan metabolic mengakibatkan peningkatan produksi karbondioksida (tachypnoea dan peningkatan konsentrasi endtidal carbon dioxide

concentration) dan early lactic acidosis (kemungkinan berkaitan dengan defisiensi fosfat inorganic intraseluler). Gabungan dari asidosis metabolic dan respiratorik merangsang sympathetic outflow, yang mengakibatkan

tachycardia. Pada manusia, perubahan tekanan arteri merupakan efek melawan untuk simpatetik dan vasodilasi karena adanya acidosis jaringan.

2. Dokter SpB dan SpAn menduga terjadinya suatu Malignant Hyperthermia. a. Bagaimana etilogi dan patofisiologi Malignant Hyperthermia? Libna Malignant Hyperthermia bukanlah semacam alergi, melainkan kelainan yang diwariskan yang ditemukan pada manusia dan babi.

Etiologi Malignant hyperthermia merupakan sebuah trait autosomal dominant yang diwariskan dengan penetrance yang kecil. Hal ini berhubungan dengan mutasi pada 2 gen, yaitu RyR1 (Ryanodine Receptortype 1) yang mengkodekan skeletal muscle isoform dari calcium release channel pada sarcoplasmic reticulum, dan CACNA15 yang mengkodekan alpha subunit dari L-type calcium channel isoform pada sarcolemma (dihydropyridine receptor). Penghentian yang menyimpang dari aktivitas RyR1 ditemukan pada orang yang MH susceptible. Penyandang MH sebagian terbukti mengalami mutasi kromosom no.19q 12.1-13.2. Mutasi ini menyebabkan perilaku menyimpang pada reseptor ryanodin (RyR) di dalam sel otot skeletal.

Gen Ryr1 terdapat pada kromosom 19. Mutasi pada RyR1 terjadi pada sedikitnya 50% orang dengan MH. Lebih dari 30 mutasi dan 1 delesi dihubungkan dengan caffeine halothane contracture test (CHCT) yang positif, clinical malignant hyperthermia episode, atau keduanya. CHCT kriteria standar untuk menegakkan diagnosis MH. Patofisiologi MH bukan merupakan penyakit alergi terhadap zat anestetik atau zat lainnya. MH adalah kelainan genetik autosomal dominan. Jadi MH bukan penyakit akibat anestesia. Meskipun tidak mengalami krisis MH, penyandangnya tetaplah penyandang MH. Autosomal dominan berarti cukup satu orangtua yang menyandangnya, maka kemungkinan besar anak-anak mereka juga menyandang MH. Penyandang MH sebagian terbukti mengalami mutasi kromosom no.19q 12.1-13.2. Mutasi ini menyebabkan perilaku menyimpang pada reseptor ryanodin (RyR) di dalam sel otot skeletal. Pada setiap manusia normal, RyR menempel pada retikulum sarkoplasmik dalam sel, yang merupakan gudang penyimpanan terbesar Ca2+ intraselular. Aktivasi RyR akan menyebabkan penglepasan Ca2+ ke sitosol. Apa yang mengaktivasi RyR? Potensial aksi. adalah

Potensial aksi akan mengaktivasi RyR, membuka retikulum sarkoplasmik sehingga memungkinkan Ca2+ yang tersimpan keluar ke sitoplasma. Ca2+ inilah yang memicu eksitasi sel dengan hasil kontraksi sel otot. Jadi, yang berperan besar dalam eksitasi sel adalah Ca 2+ intraselular yang tersimpan di retikulum sarkoplasmik, bukan arus masuk Ca2+ dari ekstrasel ke intrasel. (Karena itu tidak ada gunanya memberikan obat penghambat kanal Ca ketika serangan MH terjadi.) Pada penyandang MH, mekanisme di atas terjadi berlebihan. Aktivasi RyR yang tidak lazim menyebabkan penglepasan berlebihan dan akumulasi Ca2+ di sitosol, yang berakibat hiperkontraktur sel otot rangka. RyR yang abnormali ini bertingkah setiap kali terpajan dengan zat pemicunya. Apa saja? Yang paling terkenal adalah anestetika volatil. Pemicu lain yang juga terkenal adalah kafein, suksinilkolin dan suatu zat kimia bernama klorokresol. Ketika penyandang MH terpajan dengan zat pemicunya, terjadilah reaksi malapetaka ini. Otot skeletal pasien akan mengalami hiperkontraktur dengan segala akibatnya.

LI Hipertermia Malignant

Hipertemia Malignant yaitu suatu penyakit yang merupakan warisan (genetik) pada sistem muskuloskeletal. Sistem muskuloskeletal penderita ini biasanya mengalami abnormalitas kontraksi otot. Hipertermia maligna biasanya dipicu oleh obat-obatan anesthesia. Hipertermia ini merupakan miopati akibat mutasi gen yang diturunkan secara autosomal dominan. Pada episode akut terjadi peningkatan kalsium intraselular dalam otot rangka sehingga terjadi kekakuan otot dan hipertermia. Pusat pengatur suhu di hipotalamus normal sehingga pemberian antipiretik tidak bemanfaat. Gambaran klinis meliputi kekakuan otot terutama otot masseter sehingga menyebabkan rhabdomyolisis, peningkatan CO2 tidal, takikardia, dan peningkatan suhu tubuh yang cepat (0.50 1.00 C tiap 5 - 10 menit, suhu dapat mencapai 440C) Keabnormalitasan ini terdapat dalam retikulum sarkoplasma yang terdapat pada otot lurik yang menyebabkan peningkatan jumlah kalsium intraseluler dari sel otot. Pemacu : Halothane (anesthesia agent) atau anestesi lain yang digunakan dengan cara menghirup. Succinylcholine (neuromuscular blocker) Phenothiazine

Haloperidol

Tatalaksana utama adalah menurunkan suhu tubuh dengan cepat dan agresif dengan total body cooling (air es/dingin lewat NGT, rectal, dan IV), segera menghentikan pemakaian obat anestesi, pemberian oksigen 100%, memperbaiki asidosis, furosemid (1 mg/kgBB), manitol 20% (1 g/kgBB),insulin, dextrose, hidrokortison, Dantrolone (antidote spesifik 2.5 mg/kgBB IV dan kemudian tiap 5-10 menit) dan mengatasi aritmia.10

DIAGNOSIS Gejala klinis krisis MH tidak sepenting diagnosisnya. Proses ini berlangsung sangat cepat dan tentu lebih penting menyelamatkan pasien daripada berpikir mengenai diagnosis pasti. Baku emas diagnosis pasti MH hingga saat ini masih CHCT (Caffeine-Halothane Contracture Test). Otot tersangka penyandang MH dipajankan dengan halotan dan kafein, kemudian dilihat adakah hiperkontraksi akibat pajanan ini. Sayangnya di dunia baru ada sedikit sekali laboratorium yang melakukan tes ini, sebagian besar di USA. Terlebih lagi, spesimen otot harus segar. Artinya, tersangka penyandang MH harus pergi ke pusat tersebut. Sekali hasil CHCT positif MH, semua saudara kandung dan orangtuanya harus diperiksa kromosomnya, untuk mengetahui dari garis mana MH ini didapat. Karena CHCT sangat terbatas, saat ini mulai digalakkan pemeriksaan alternatif, yaitu langsung dilakukan pemeriksaan kromosom untuk melihat mutasi yang sesuai. Namun dikatakan, hanya sekitar 30% pasien yang positif CHCT juga terbukti mengalami mutasi genetik sesuai MH. DIAGNOSIS DIFERENSIAL Beberapa kondisi menunjukkan gambaran klinis mirip dengan krisis MH. Di antaranya adalah: 1. Neuroleptic Malignant Syndrome (NMS). Ini adalah reaksi sebagian pasien yang mendapat antipsikosis tertentu. Terjadi penurunan aktivitas dopamin, baik akibat blokade maupun akibat withdrawal terapi dengan obat dopaminergik. Selain suhu yang meningkat, pasien akan menunjukkan agitasi atau penurunan kesadaran, rigiditas otot, diaforesis dan disfungsi otonom. Terapinya simtomatik, namun dantrolen dan bromokriptin dapat meredakan dengan cepat. 2. Serotonin Syndrome atau tepatnya toksisitas serotonin. Banyak obat dapat memicu reaksi ini, terutama jika digunakan bersama-sama. Agonis 5HT (golongan triptan), antagonis 5HT (ondansetron, granisetron), obat antikolinergik (metoklopramid), antidepresan (misalnya inhibitor MAO), opioid, stimulan otak (amfetamin, metamfetamin, kokain), bahkan obat-obat herbal (misalnya ginseng) dilaporkan dapat memicu toksisitas serotonin. Hipermetabolisme yang terjadi di sini tidak disertai rigiditas otot. Biasanya yang terjadi adalah tremor, hiperefleksia atau twitching. Terapinya adalah antagonis serotonin (siproheptadin atau klorpromazin) dan simtomatik. 3. MH-like Syndrome. Kondisi mirip dengan krisis MH juga dapat terjadi pada pasien dengan kelainan muskuloskeletal yang dibius dengan anestetika inhalasi, terutama jika prosedurnya melibatkan manipulasi otot (misalnya operasi koreksi strabismus). Gejala

klinis yang timbul tidak sehebat krisis MH dan diterapi simtomatik. Pasien yang mengalami kondisi ini bukan penyandang MH.

PANDUAN TATALAKSANA KRISIS ANESTESIA (dimodifikasi dari berbagai panduan di dunia) 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14.

HIPERTERMIA

MALIGNA

INTRA-

Segera hentikan semua zat anestetik volatil. Aktifkan situasi kegawatdaruratan. Naikkan ventilasi semenit untuk menurunkan ETCO2. Gunakan oksigen tinggi dengan melihat SpO2. Berikan dantrolen sodium. Dosis inisial 2,5 mg/kg BB, dilakukan secara bolus intravena. Dinginkan pasien. Gunakan ice packs di inguinal, aksila dan leher. Lavase lambung dengan cairan dingin. Hentikan pendinginan jika suhu badan telah mencapai 38,5 C. Ganti CO2 absorber tiap kali telah jenuh. Atasi aritmia sesuai algoritma. Jangan gunakan Ca channel blocker Dosis lanjutan dantrolen dititrasi sesuai perubahan ETCO2 dan laju jantung. Batas dosis total (bolus dan rumatan) dantrolen adalah 10 mg/kg BB, namun boleh ditambah bilamana sangat perlu. Periksa AGD, elektrolit, kreatinin kinase urin. Hiperkalemia diatasi dengan insulin dan glukosa, ditambah hiperventilasi. Periksa koagulasi lengkap setelah 6-12 jam. Pastikan semua proses tercatat dan segera dilaporkan ke Indonesian MH Registry.

DAFTAR PUSTAKA Chandra, Andien.2011. Hiperthermia (dalam http://andienchandra.wordpress.com/b-i-o-l-o-gi/termoregulasi/hiperthermia/ , diakses 25 Juni 2013) Ratridewi,Irene.2010.Hipertermia.( dalam http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=etiologi%20malignant%20hipertremia&source= web&cd=4&cad=rja&ved=0CEYQFjAD&url=http%3A%2F%2Fxa.yimg.com%2Fkq%2Fgr oups%2F15854266%2F409605923%2Fname%2FHIPERTERMI1.docx&ei=3wLJUZ_jCsaG rgfupoGIAw&usg=AFQjCNG1wO4NyOMa_HBNN3BRmt6jrDhhqw&bvm=bv.48293060,d .bmk , diakses 25 Juni 2013) Soenarto,R.F.2011. HYPERTHERMIA (MH) ( dalam http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=patofisiologi%20kekakuan%20otot%20pada%20 malignant%20hipertremia&source=web&cd=3&cad=rja&ved=0CDIQFjAC&url http%3A%2F%2Fwww.anestesiologiindonesia.org%2Fdoc%2Farticle%2Ffile%2F9%2FMH%2C_article.docx&ei=0QbJUcn9F4T

OrQeox4DAAQ&usg=AFQjCNEZYUvXF5B_jY3cqRyW7t_9fp7c_g&bvm=bv.48293060,d. bmk, diakses 25 Juni 2013)

You might also like