You are on page 1of 10

Batas Konvergen Pulau Sumatera Indonesia merupakan daerah pertemuan 3 lempeng tektonik besar, yaitu lempeng Indo-Australia, Eurasia

dan lempeng Pasific. Lempeng Indo-Australia bertabrakan dengan lempeng Eurasia di lepas pantai Sumatra, Jawa dan Nusa Tenggara sedangkan lempeng Indo-Australia bertabrakan dengan lempeng Pasific di utara Irian dan Maluku utara. Di sekitar lokasi pertemuan antara lempeng ini menimbulkan akumulasi energi tabrakan yang terkumpul sampai suatu titik dimana lapisan bumi tidak sanggup lagi menahan tumpukan energi tersebut sehingga akan lepas berupa gempa bumi. Hal inilah yang menjadi faktor utama penyebab sering terjadinya gempa di wilayah Indonesia. Sumatera merupakan pulau yang terletak paling barat dari negara Indonesia yang menyimpan beberapa catatan geologi terkait dengan pergerakan lempeng yang berada disekitar pulau tersebut. Pergerakan lempeng ini menyebabkan timbulnya zona subduksi. Zona subduksi merupakan zona atau daerah yang merupakan batas konvergen. Batas konvergen tersebut terjadi

apabila dua lempeng tektonik tertelan ke arah kerak bumi, yang mengakibatkan keduanya bergerak saling menumpu satu sama lain. Batas konvergen yang terdapat pada daerah Sumatera ini menyebabkan daerat tersebut selalu berpotensi untuk terjadi gempa. Zona subduksi ini merupakan zona tumbukan antara Lempeng Tektonik Australia dengan Lempeng Tektonik Asia. Apabila zona gempa ini berada pada wilayah dangkal dan berada di laut akan menyebabkan tsunami seperti yang terjadi pada Tsunami Aceh beberapa tahun yang lalu. Zona gempa atau zona subduksi ini menunjam sampai kedalaman lebih dari 70 Km.

Akibat pergerakan tersebut pulau Sumatera memiliki zona-zona gempa dimana Pulau Sumatera dicirikan oleh tiga sistem tektonik lempeng yang berurutan dari barat ke timur. Tiga zona gempa yang diamksud tersebut adalah zona sesar Semangko, zona sesar Mentawai dan zona sesar besar Sumatera atau zona subduksi. Sedangkan yang sering dibahas atau yang memiliki andil terhadap proses geologis di Sumatera yaitu zona subduksi atau sesar besar Sumatera sendiri. Zona subduksi di Pulau Sumatera, yang sering sekali menimbulkan gempa tektonik, memanjang membentang sampai ke Selat Sunda dan berlanjut hingga selatan Pulau Jawa.

Gambar 1. Zona Gempa di Sumatera Sumber gambar: http://rovicky.wordpress.com/2013/07/03/tiga-zona-gempasepanjang-sumatera/

Aktivitas subduksi di Pulau Sumatera ini mendesak lempeng Eurasia dibawah Samudera Hindia ke arah barat laut di Sumatera dan frontal ke utara terhadap Pulau Jawa, dengan kecepatan pergerakan yang bervariasi. Selama puluhan hingga ratusan tahun, dua lempeng itu saling menekan, namun lempeng Indo-Australia dari selatan bergerak lebih aktif. Pergerakannya yang hanya beberapa milimeter hingga beberapa sentimeter per 2 tahun ini memang tidak terasa oleh manusia karena dorongan lempeng Indo-Australia terhadap bagian

utara Sumatera kecepatannya hanya 5,2 cm per tahun, sedangkan yang di bagian selatannya kecepatannya 6 cm per tahun. Pergerakan lempeng di daerah barat Sumatera yang miring posisinya ini lebih cepat dibandingkan dengan penyusupan lempeng di selatan Jawa. Penunjaman akibat pergerakan lempeng yang terjadi di sebelah barat Sumatra tidak benar-benar tegak lurus terhadap arah pergerakan Lempeng IndoAustralia dan Lempeng Eurasia. Lempeng Eurasia bergerak relatif ke arah tenggara, sedangkan Lempeng Indo-Australia bergerak relatif ke arah timurlaut. Karena tidak tegak lurus inilah maka Pulau Sumatra dirobek sesar mendatar yang dikenal dengan nama Sesar Semangko. Penunjaman Lempeng Indo Australia juga mempengaruhi geomorfologi Pulau Sumatera. Adanya penunjaman menjadikan bagian barat Pulau Sumatera terangkat, sedangkan bagian timur relatif turun. Hal ini menyebabkan bagian barat mempunyai dataran pantai yang sempit dan terkadang terjal. Pada umumnya, terumbu karang lebih berkembang dibandingkan berbagai jenis bakau. Bagian timur yang turun akan menerima tanah hasil erosi dari bagian barat (yang bergerak naik), sehingga bagian timur memiliki pantai yang datar dan luas. Di bagian timur, gambut dan bakau lebih berkembang dibandingkan terumbu karang. Tumbukan antara lempeng Indo-Australia dan Asia Tenggara yang terjadi sekitar 45,6 juta tahun lalu mempengaruhi proses tektonik Pulau Sumatera. Proses tumbukan ini mengakibatkan terbentuknya banyak sistem sesar geser di bagian sebelah timur India, untuk mengakomodasikan perpindahan massa secara tektonik. Selanjutnya sebagai respon tektonik akibat dari bentuk melengkung ke dalam dari tepi lempeng Asia Tenggara terhadap Lempeng Indo-Australia.

Adanya kompleksitas tatanan geologi Sumatera, serta perubahan lingkungan tektonik pada wilayah tersebut antara lain karena : perbedaan lingkungan tektonik akan menjadikan batuan yang beranekaragam struktur geologi yang lebih tua yang telah terbentuk akan mempengaruhi kemampuan deformasi batuan yang lebih muda.

Gambar 2. Pola Tektonik Pulau Sumatera Sumber gambar : http://geofisika-45.blogspot.com/2012/05/kajian-pustaka-tentangperbedaaan-gempa.html

Keberadaan zona subduksi di daerah Sumatera inilah yang menyebabkan Sumatera menjadi daerah dengan aktivitas seismik, tektonisme maupun vulkanisme yang sangat. Proses-proses magmatisme dan tektonisme di Indonesia ini berdampak pada komposisi batuan penyusun dan distribusinya. Selain itu zona subduksi erat kaitannya dengan aktivitas vulkanik yang juga sangat berpengaruh terhadap sebaran batuan di Indonesia. Batas konvergen atau pada zona subduksi Pulau Sumatera menyebabkan suatu proses magmatis. Proses magmatisme adalah proses kompleks yang terjadi karena aktifitas arus konveksi, yang menyebabkan terjadinya pergerakan

tektonisme lempeng-lempeng di bumi. Pulau Sumatera memiliki 3 jalur utama busur magmatik. Busur magmatik tersebut yaitu : 1. Busur Sumatra-Meratus (Pertengahan dan Akhir Cretaceous) Daerah busur Sumatera-Meratus meliputi daerah dataran sunda, yaitu sepanjang sumatera bagian barat dan selatan Kalimantan. Pada daerah ini, busur magmatik dimulai dengan terjadinya perubahan polaritas tektonik setelah penempatan Woyla. Sistem busur subduksi Sumatera dibentuk oleh penyusupan lempeng samudra di bawah lempeng benua. Menurut Katil, 1973, lempeng benua tebal dan tua ini meliputi busur volkanik berumur Perm, Kapur dan Tersier. Menurut Hamilton, 1973, sedimen elastis sangat tebal menyusup di subduksi Sumatera dan sedimen yang tebal didorong ke atas membentuk rangkaian kepulauan. 2. Busur Sunda-Banda (Neogen) Busur ini adalah busur magmatik yang terpanjang di Indonesia, membentang dari Sumatera bagian Utara hingga timur Damar. Busur Sunda (Sunda Arc) ini terletak di tepi Asia Tenggara dan terbentang mulai dari kepulauan Andaman-Nicobar di barat sampai busur Banda (Timor) di timur. Busur Sunda adalah busur kepulauan hasil dari interaksi lempeng samudera (disini lempeng Indo-Australia yang bergerak ke utara dengan kecepatan 7 cm pertahun) yang menunjam di bawah lempeng benua (Lempeng Eurasia). Penunjaman lempeng terjadi di selatan busur Sunda berupa palung yang dikenal sebagai palung Jawa. Disamping itu, penunjaman lempeng juga menghasilkan sepasang busur volkanik dan non-volkanik. Busur volkanik terdiri dari rangkaian gunung berapi yang menjadi tulang punggung pulau-pulau busur Sunda, sedangkan busur

nonvolkanik merupakan rangkaian pulau-pulau yang terletak di sisi samudera busur volkaniknya. 3. Busur Aceh (Neogen) Busur Aceh berada pada palung di utara Sumatra yang tidak panjang. Busur ini berkaitan langsung dengan dataran Sunda. Palung di sekitar busur menjadi daerah subduksi antara kerak samudra hasil pemekaran dari cekungan Mergui yang menekan pada lantai lempeng Sumatera bagian utara. Daerah pertemuan antar lempeng di lokasi zona subduksi disebut sebagai patahan gempa, atau sebuah megathrust. Palung Sunda yang tedapat di selatan Pulau Sumatera dianggap sebagai sebuah megathrust. Palung Sunda merupakan tanda batas antar lempeng, yakni sebuah jalur dengan air laut yang sangat dalam yang sejajar dengan pantai Sumatera. Di bagian kiri bawah, lempeng Australia menujam lempeng Sunda dan membentuk palung yang dalam. Pada tepi lempeng Sunda, sekitar 100 km dari Palung Sunda dan 180 km dari Sumatera terdapat barisan kepulauan yang merupakan puncak dari bubungan busur-depan. Bubungan ini terbentuk terbentuk dari bagian sedimen laut lempeng Australia yang tergerus dan membentuk tumpukan pada tepi lempeng Sunda.

Gambar 3. Megathrust Sunda Sumber gambar: http://en.wikipedia.org/wiki/Sunda_megathrust

Pada zona subduksi Sumatra, lempeng tektonik Indo-Australia bergerak perlahan ke arah timur laut dan menujam lempeng Burma (bagian dari lempeng Eurasia). Proses penujaman ini mengakibatkan kedua lempeng saling menekan satu sama lain, dan menimbulkan tegangan. Apabila tegangan semakin membesar, maka bagian lempeng akan mulai runtuh karena tidak kuat menahan tegangan. Keruntuhan tidak terjadi di sepanjang zona subduksi akan tetapi berada pada bidang-bidang tertentu. Sumatera dikenal dunia karena adanya gunung api yang meletus dengan sangat dasyatnya dalam sejarah yaitu Gunung Toba. Terkait dengan hal tersebut, maka tentu saja ada faktor yang mempengaruhi bagaimana Pulau Sumatera

terdapat gunung vulkanik yang memiliki daya letusan dan material yang besar. Ada dua syarat yang harus terpenuhi agar gunungapi (gunung vulkanik) terbentuk, yaitu adanya dapur magma yang memiliki tekanan ke atas dan adanya rekahan atau bidang lemah pada kulit bumi yang memungkinkan magma dapat mencapai permukaan. Akibat adanya salah satu jalur pusat magma di Sumatera berada pada jalur tumbukan dua lempeng yaitu lempeng Indo-Australia dan lempeng Asia. Dua lempeng yang saling bertumbukan dan salah satunya menunjam maka bagian lempeng yang menunjam tersebut akan terlelehkan kembali menjadi magma dan membentuk gunungapi (gunung vulkanik). Menurut Cobbing,2005 dan

Setijadji,2009, adanya pengaruh dari zona konvergen ini menyebabkan Sumatra, pada umumnya berumur Paleozoic (Silurian) Tertiary, yang didominasi oleh batuan beku jenis I-type granitoids selain itu juga terdapat batuan serpentinit dan gabbro berumur Neogen. Aktivitas vulkanisme dan intrusi menghasilkan batuan seperti andesit dan granodiorit. Bangka Belitung di dominasi S-type Triassic

granites, granit ini merupakan jenis pembawa timah. Selain adanya kenampakan batuan di Bangka Belitung tersebut juga ditemukan beberapa formasi di wilayah Sumatera yang lain diantaranya yaitu : 1. Formasi Lower Red Bed Tersusun oleh batulempung berwarna merah hijau, batulanau, batupasir kerikilan dan sedikit konglomerat serta breksi yang tersusun oleh kerakal kuarsit dan filit. Kondisi lingkungan pengendapan diinterpretasikan berupa aluvial yang ditandai dengan adanya lumpur di dalam konglomerat dan breksi 2. Formasi Brown Shale Formasi ini cukup banyak mengandung material organik, dicirikan oleh warna yang coklat tua sampai hitam. Tersusun oleh serpih dengan sisipan batulanau, di beberapa tempat terdapat selingan batupasir dan konglomerat. Ketebalan formasi ini mencapai lebih dari 530 m. Formasi ini diendapkan di lingkungan danau dalam dengan

kondisi anoxic dilihat dari tidak adanya bukti kegiatan organisme. Secara tektonik, formasi ini diendapkan pada kondisi penurunan cekungan yang cepat sehingga aktivitas fluvial tidak begitu dominan. 3. Formasi Coal Zone Secara lateral, formasi ini di beberapa tempat equivalen dengan Formasi Brown Shale. Formasi ini tersusun oleh perselingan serpih dengan batubara dan sedikit batupasir. Lingkungan pengendapan dari formasi ini diinterpretasikan berupa danau dangkal dengan kontrol proses fluvial yang tidak dominan. Ditinjau dari konfigurasi cekungannya, formasi ini diendapkan di daerah yang dangkal.

4. Formasi Lake Fill Tersusun oleh batupasir, konglomerat dan serpih. Komposisi batuan terutama berupa klastika batuan filit yang dominan dan secara vertikal terjadi penambahan kandungan kuarsa dan kuarsit. Struktur sedimen gradasi normal dengan beberapa gradasi terbalik mengindikasikan lingkungan pengendapan fluvial. Formasi ini diendapkan secara progradasi pada lingkungan fluvial menuju delta pada lingkungan danau. Selama pengendapan formasi ini, kondisi tektonik mulai tenang dengan penurunan cekungan yang mulai melambat dan ketebalan formasi ini mencapai 600 m. 5. Formasi Fanglomerate Formasi ini diendapkan disepanjang daerah aluvial yang tersusun atas

batupasir, konglomerat, sedikit batulempung yang berwarna hijau sampai merah. Baik secara vertikal maupun lateral, formasi ini dapat bertransisi atau berubah menjadi formasi Lower Red Bed, Brown Shale, Coal Zone dan Lake Fill.

REFERENSI http://igpphome.ucsd.edu/~shearer/Files/Sumatra_Papers/mccaffrey_sumatran_su bduction.pdf (diakses pada hari Kamis,26 September 2013 pada pukul 19.37 WIB) http://geofufa.blogspot.com/2010/11/geologi-sumatera.html (diakses pada hari Jumat,27 September 2013 pada pukul 19.49 WIB) http://www.geologie.ens.fr/~cattin/publications/jgr04.pdf Kamis,26 September 2013 pada pukul 19.24 WIB) (diakses pada hari

http://www.scribd.com/doc/52989320/KEADAAN-TEKTONIK-PULAUSUMATERA (diakses pada hari Kamis,26 September 2013 pada pukul 19.31 WIB) http://www.scribd.com/doc/76021980/Tatanan-Tektonik-Zona-Subduksi-DanBatuan-Beku-Indonesia (diakses pada hari Kamis,26 September 2013 pada pukul 19.18 WIB) http://www.scribd.com/doc/58371527/TEKTONIKA-PULAU-SUMATERA (diakses pada hari Kamis,26 September 2013 pada pukul 21.04 WIB) http://www.tectonics.caltech.edu/sumatra/papers.html (diakses pada hari Jumat,27 September 2013 pada pukul 19.36 WIB)

You might also like