You are on page 1of 210

OUTLOOK INDUSTRI 2012:

Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

2011

OUTLOOK INDUSTRI 2012


Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

Disusun oleh Tim INDEF (Institute for development of Econiomics and Finance) Didik J. Rachbini Bustanul Arifin Ahmad Erani Yustika, Enny Sri Hartati Eko Listiyanto Ahmad Heri Firdaus Abra Puspa Ghani Talattov Imaduddin Abdullah

Desain Cover dan Tata Letak: Sarwo Edy

Desember, 2011

@Copyright ada pada Hak Cipta dilindungi Undang-Udang

ISBN: 979-97810-12

ii

Daftar Isi
Daftar Isi Daftar Tabel Daftar Gambar Kata Pengantar Bab 1 Bab 2 Pedahuluan Kinerja Makro Ekonomi dan Industri 2.1. Perkembangan Makro Ekonomi 2.2. Perkembangan Industri Manufaktur 2.3. Perkembangan Agroindustri Indonesia 2.3.1. Kinerja Agroindustri 2.3.2. Kontribusi Agroindustri Membangun Industri Berdaya Saing 3.1. Konsep Industri Berdaya Saing 3.2. Perlunya Pengembangan Industri Berdaya Saing 3.2.1. Fenomena Deindustrialisasi Dini 3.2.2. Industri Berbasis Lokal dan Industri Komponen Impor Tinggi 3.2.3. Urgensi Pencapaian Target Rencana Strategis 2010-2014 3.2.4. Peranan Industri dalam Penyerapan Tenaga Kerja 3.3. Potensi Agroindustri 3.3.1. Dukungan Sumber Daya Alam 3.3.2. Daya Saing Komparatif Agroindustri Indonesia di Pasar Global (Pendekatan Revealed Comparative Advantage) 3.3.3. Perkembangan Permintaan Produk Agroindustri Indonesia ii vii x xii 1 5 5 10 13 15 17 21 21 22 22 24 28 29 31 31

Baba 3

33 36

iii

3.3.4. Peningkatan Keunggulan Sub Sektor Agroindustri Bab 4 Komoditas Unggulan Agroindustri 4.1. Kelapa Sawit 4.1.1. Potensi Produksi 4.1.2. Market Share 4.1.3. Nilai Tambah Bisnis 4.1.4. Nilai Tambah Teknis 4.1.5. Forward-backward Linkage 4.1.6. Potensi Permintaan 4.1.7. Lokasi Penyebaran 4.2. Karet 4.2.1. Potensi Produksi 4.2.2. Market Share 4.2.3. Nilai Tambah Bisnis 4.2.4. Nilai Tambah Teknis 4.2.5. Forward-backward Linkage 4.2.6. Potensi Permintaan 4.2.7. Lokasi Penyebaran 4.3. Kakao 4.3.1. Potensi Produksi 4.3.2. Market Share 4.3.3. Nilai Tambah Bisnis 4.3.4. Nilai Tambah Teknis 4.3.5. Backward-Forward Linkage 4.3.6. Potensi Permintaan 4.3.7. Lokasi Penyebaran 4.4. Rotan 4.4.1. Potensi produksi 4.4.2. Market Share 4.4.3. Nilai Tambah Bisnis 4.4.4. Nilai Tambah Teknis 4.4.5. Forward-backward Linkage

37 43 44 45 46 48 49 52 52 55 57 57 59 61 61 63 63 65 66 67 71 71 75 80 81 84 85 85 87 91 91 92

iv

4.4.6. Lokasi Penyebaran 4.5. Rumput Laut 4.5.1. Potensi Produksi 4.5.2. Market Share 4.5.3. Nilai Tambah Bisnis 4.5.4. Nilai Tambah Teknis 4.5.5. Forward-backward Linkage 4.5.6. Potensi Permintaan 4.5.7. Lokasi Penyebaran Bab 5 Permasalahan dam tantangan Pengembangan Agroindustri 5.1. Permasalahan Agroindustri 5.1.1. Hambatan Logistik dan Infrastruktur 5.1.2. Hambatan Perkembangan Teknologi 5.1.3. Ekonomi Biaya Tinggi 5.1.4. Hambatan Pembiayaan 5.1.5. Regulasi yang Menghambat 5.2. Tantangan Perkembangan Agroindustri 5.3. Permasalahan Masing-masing Komoditas 5.3.1. Permasalahan Pengembangan Kelapa Sawit 5.3.2. Permasalahan Pengembangan Karet 5.3.3. Permasalahan Pengembangan Kakao 5.3.4. Permasalahan Pengembangan Rotan 5.3.5 Permasalahan Pengembangan Rumput Laut Strategi Percepatan dan Perluasasn Agroindustri 6.1. Strategi Percepatan dan Perluasan Industrialisasi 6.2. Strategi Percepatan dan Perluasan Industri Kelapa Sawit 6.2.1 Strategi Percepatan Industri Kelapa Sawit 6.2.2. Strategi Perluasan Industri Kelapa Sawit 6.3. Strategi Percepatan dan Perluasan Industri Karet 6.3.1. Strategi Percepatan Industri Karet 6.3.2. Strategi Perluasan Industri Karet

93 94 95 96 102 105 107 108 111

113 113 115 116 117 117 119 119 121 121 122 123 129 131 137 137 138 138 140 146 146 147

Bab 6

6.4. Strategi Percepatan dan Perluasan Industri Kakao 6.4.1. Strategi Percepatan Industri Kakao 6.4.2. Strategi Perluasan Industri Kakao 6.5. Strategi Percepatan dan Perluasan Industri Rotan 6.5.1. Strategi Percepatan Industri Rotan 6.5.2. Strategi Perluasan 6.6. Strategi Percepatan dan Perluasan Industri Rumput Laut 6.6.1. Strategi Percepatan Industri Rumput Laut 6.6.2. Strategi Perluasan Industri Rumput Laut Bbab 7 Outlook Industri 2012 7.1. Rekomendasi Kebijakan

150 150 152 164 164 168 174 174 176 185 179 193

Daftar Pustaka

vi

Daftar Tabel
Tabel 2.1. Pertumbuhan PDB Berdasarkan Sektor Ekonomi 2006-2011 (persen, yoy) Tabel 2.2. Pertumbuhan PDB Sisi Pengeluaran 2006-2011 (persen, yoy) Tabel 2.3. Tingkat Kemiskinan dan Pengangguran Tabel 2.4. Nilai Tambah Menurut Subsektor (Miliar Rupiah) Tabel 2.5. Transformasi Struktur Perekonomian Indonesia Tabel 2.6. Jumlah Perusahaan dan Nilai Produksi Sub Sektor Agroindustri Tabel 2.7. Nilai Tambah dan Penyerapan Tenaga Kerja Sub Sektor Agroindustri Tabel 2.8. Nilai dan Pangsa Sektoral terhadap PDB Indonesia, Tahun 2004-2009 (Miliar Rupiah) Tabel 3.1. Proporsi Komponen Impor pada beberapa Industri Manufaktur Tabel 3.2. Nilai Impor 12 Besar Industri Non-migas (Juta US$) Tabel 3.3. Nilai Tambah Pekerja, 2011 Tabel 3.4. Perkembangan Penyerapan Tenaga Kerja Sektoral Tabel 3.5. Ranking Komoditas Pangan Indonesia di Dunia, 2009 Tabel 3.6. Daya saing Komparatif Komoditas Indonesia Tahun 2010 Tabel 3.7. Nilai Produksi Sub Sektor Agroindustri Indonesia Tabel 3.8. Nilai Ekspor dan Impor Sub Sektor Agroindustri Indonesia Tabel 3.9. Nilai Tambah Sub Sektor Agroindustri Tabel 3.10. Perkembangan Nilai RCA Produk Agroindustri di Indonesia Tabel 4.1. Pangsa Produksi CPO Tabel 4.2. Luas Areal dan Produksi Kelapa Sawit Tabel 4.3. Jenis Industri, Perkiraan Nilai Investasi dan Nilai Tambah Industri Berbasis Minyak Sawit Tabel 4.4. Produk Olahan Potensial Dikembangkan di Indonesia Tabel 4.5. Produksi dan Konsumsi Karet Alam Dunia (ribu ton) Tabel 4.6. Luas Areal dan Jumlah Produksi kakao di Indonesia Tabel 4.7. Negara Tujuan Utama Ekspor Biji Kakao Indonesia

8 9 10 12 13 16 18 19 25 27 30 31 33 35 36 37 39 41 45 46 49 50 64 70 71

vii

Tabel 4.8. Tabel 4.9. Tabel 4.10. Tabel 4.11. Tabel 4.12. Tabel 4.13. Tabel 4.14. Tabel 4.15. Tabel 4.16. Tabel 4.17 . Tabel 4.18. Tabel 4.19. Tabel 4.20. Tabel 4.21. Tabel 4.22. Tabel 4.23. Tabel 4.24. Tabel 4.25. Tabel 4.26. Tabel 4.27. Tabel 4.28. Tabel 4.29. Tabel 5.1. Tabel 5.2. Tabel 6.1.

Impor Biji Kakao Indonesia dari Beberapa Negara Tujuan Perbandingan Kapasitas Produksi Kakao Sebelum dan Sesudah Penetapan Bea Keluar Volume dan Nilai Ekspor Biji Kakao Sebelum dan Sesudah Penetapan Bea Keluar Penggunaan Biji Kakao Sebelum dan Sesudah Penetapan Bea Keluar Realisasi 2010 dan Target 2015 & 2020 Potensi Produksi Rotan Indonesia Margin Keuntungan dari Setiap Tahapan Tata Niaga Rotan Produksi Rotan Indonesia Berdasarkan Wilayah Jumlah Industri Rotan dan Kapasitas Industri Produksi Rumput Laut Indonesia Volume Ekspor Rumput Laut Indonesia Pangsa Pasar Ekspor Rumput Laut Negara Tujuan Ekspor Rumput Laut Indonesia Berdasarkan Volume (ton) Negara Tujuan Ekspor Rumput Laut Indonesia Berdasarkan Nilai Pangsa Pasar Rumput Laut Indonesia di Negara Tujuan Ekspor Perkembangan Ekspor-Impor Rumput Laut Indonesia (ton) Eksportir Rumput Laut Dunia, Tahun 2006 Perbandingan Harga Produk Olahan Rumput Laut Perkiraan Kebutuhan Dunia terhadap Produk Olahan Rumput Laut (ton) Perkiraan Hasil Produksi dan Perkiraan Kebutuhan Rumput Laut Dunia Importir Rumput Laut Dunia Terbesar Sebaran Produksi Rumput Laut (ton) Transformasi Struktur Perekonomian Indonesia Perkembangan Realisasi Investasi PMDN dan PMA Sektor Perikanan Matrik Strategi Percepatan Industrialisasi Kelapa Sawit

72 75 76 77 77 86 91 93 94 95 96 98 99 100 100 101 102 103 108 109 110 111 114 133 142

viii

Tabel 6.2. Tabel 6.3. Tabel 6.4. Tabel 6.5. Tabel 6.6. Tabel 6.7. Tabel 6.8. Tabel 6.9. Tabel 6.10. Tabel 7.1.

Matrik Strategi Perluasan Industrialisasi Kelapa Sawit Matrik Strategi Percepatan Industrialisasi Karet Matrik Strategi Perluasan Industrialisasi Karet Matrik Strategi Percepatan Industrialisasi Kakao Matrik Strategi Perluasan Industrialisasi Kakao Matrik Strategi Percepatan Industriali Rotan Matrik Strategi Perluasan Industrialisasi Rotan Matrik Strategi Percepatan Industrialisasi Rumput Laut Matrik Strategi Perluasan Industrialisasi Rumput Laut Outlook Industri 2012

145 148 149 154 159 170 172 179 183 191

ix

Daftar Gambar

Gambar 2.1. Gambar 3.1. Gambar 3.2. Gambar 3.3. Gambar 4.1. Gambar 4.2. Gambar 4.3. Gambar 4.4. Gambar 4.5. Gambar 4.6. Gambar 4.7. Gambar 4.8. Gambar 4.9. Gambar 4.10. Gambar 4.11. Gambar 4.12. Gambar 4.13. Gambar 4.14. Gambar 4.15. Gambar 4.16. Gambar 4.17. Gambar 4.18. Gambar 4.19. Gambar 4.20.

Pertumbuhan PDB Indonesia (persen, yoy) Pertumbuhan & Kontribusi Sektor Industri Pengolahan Nonmigas Proporsi Impor Barang menurut Kategori Ekonomi Persentase Penyerapan Tenaga Kerja Berdasarkan Sektor Proporsi Ekspor Minyak Sawit Mentah dan Olahan Indonesia Kondisi Hilirisasi Industri Minyak Sawit Keterkaitan Komoditas CPO dengan Industri Lain Perkembangan Harga CPO dan RBD Olein Dunia, dan Harga Minyak Goreng Dalam Negeri Pengimpor Utama Minyak Kelapa Sawit Indonesia, 2010 Lokasi Penyebaran Produksi CPO Perbandingan Produksi dan Luas Lahan Karet, 2009 Pangsa Pasar Ekspor Karet Indonesia Dalam Bentuk Remah Proporsi Ekspor Karet dan Penyerapan Dalam Negeri, 2009 Pohon Industri Karet Keterkaitan Komoditas Karet dengan Industri Lain Harga Karet Alam Jumlah Lokasi Usaha Komoditas Karet Pangsa Produksi Kakao Dunia 2009 Produksi Kakao Pada Beberapa Negara Produsen Utama (ton) Pangsa Kepemilikan Perkebunan Kakao di Indonesia Kondisi Perkakaoan Di Indonesia Pohon Industri Kakao Keterkaitan Komoditas Kakao dengan Industri Lain Permintaan kakao dunia

7 23 26 30 47 51 52 53 55 53 58 59 60 62 63 65 66 68 69 69 73 79 81 82

Gambar 4.21. Gambar 4.22. Gambar 4.23. Gambar 4.24. Gambar 4.25. Gambar 4.26. Gambar 4.27. Gambar 4.28. Gambar 4.29. Gambar 4.30. Gambar 4.31. Gambar 4.31. Gambar 4.32. Gambar 4.33. Gambar 4.34. Gambar 4.35. Gambar 4.36. Gambar 7.1.

Surplus dan Defisit kakao dunia Harga kakao dunia Penyebaran Industri Kakao Market Share Ekspor Rotan (Volume) Volume Perdagangan Rotan Dunia (Ton) Nilai Perdagangan Rotan Dunia (US$ juta) Volume Ekspor Rotan Indonesia Tujuan Ekspor Bahan Baku Rotan dari Indonesia, 2008 Negara Pengekspor Industri Rotan Olahan Tahun 2008 Pohon Hilirisasi Industri Rotan Forward-backward Linkage Rotan Pangsa Produksi Rumput Laut Dunia Market Share Rumput Laut Dunia, 2010 Tren Pangsa Pasar Ekspor Rumput Laut Indonesia di Pasar Internasional Analisis Nilai Tambah Bisnis Budidaya Rumput Laut Pohon Industri Rumput Laut Keterkaitan Komoditas Rumput Laut dengan Industri Lain Perkembangan Pertumbuhan Ekonomi dan Industri Pengolahan

83 83 84 87 88 88 89 90 90 92 93 94 96 97 104 105 107 188

xi

Ringkasan Eksekutif

Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri


Makro ekonomi yang stabil idealnya akan dapat menciptakan peluang ekonomi bagi pencapaian kesejahteraan masyarakat. Ini hanya dapat terjadi jika transformasi ekonomi terjadi secara komprehensif terutama menyangkut komitmen untuk mendistribusikan efek pembangunan ekonomi secara lebih merata, perekonomian tidak terkonsentrasi di satu wilayah saja. Di sisi lain, kebijakan ekonomi harus diimbangi dengan upaya serius untuk membangun sektor bisnis domestik yang mampu bersaing dalam konteks global. Pada konteks inilah diperlukan strategi untuk meningkatkan nilai tambah dan kualitas produk yang setara dengan standar internasional diiringi dengan kemunculan kutub-kutub pertumbuhan baru di daerah. Perpaduan keduanya akan menciptakan sinergi antara peningkatan daya saing dan pemerataan kesejahteraan. Membaiknya performa fundamental makro ekonomi Indonesia setidaknya dalam lima tahun ini merupakan modal awal untuk lebih giat mempercepat dan memperluas pembangunan sektor industri. Terlebih lagi pertumbuhan ekonomi saat ini selain ditopang dengan pengendalian inflasi yang relatif rendah, stabilitas nilai tukar dan perbaikan dalam neraca transaksi berjalan Indonesia, juga dikontribusikan oleh kuatnya permintaan konsumsi domestik. Jika hal ini dapat ditunjang dengan produksi bernilai tambah yang tinggi, maka pertumbuhan ekonomi akan semakin berkualitas, terutama terkait peranannya dalam menciptakan lapangan pekerjaan dan mengikis kemiskinan. Menilik data kontributor sektoral pertumbuhan ekonomi pascakrisis, industri pengolahan sebenarnya masih mendominasi pangsa terhadap PDB (Produk Domestik Bruto). Namun demikian, kontribusi industri pengolahan xii

terhadap PDB ini menunjukkan tren penurunan, dari 27,83 persen pada 2006 menjadi 25,49 persen pada 2011. Berkebalikan dengan kontribusi sektor perdagangan yang menunjukkan tren peningkatan. Kontradiksi ini bisa menjadi sinyal bahwa struktur perekonomian Indonesia sedang mengalami pergeseran secara perlahan dari sektor industri menuju sektor perdagangan. Fenomena ini tentu tidak bisa diabaikan begitu saja, karena dapat berimplikasi pada menurunnya kontribusi sektor industri pengolahan dalam menciptakan lapangan kerja. Hilirisasi agroindustri mampu untuk memecahkan persoalan ini. Di tengah situasi belum pulihnya perekonomian dunia akibat krisis global dan memburuknya perekonomian Uni Eropa karena krisis utang publik, pengembangan sektor industri berdaya tahan terhadap krisis semakin diperlukan guna menopang pertumbuhan ekonomi. Agroidustri merupakan sektor yang dapat menjawab tantangan ini. Di tengah krisis ekonomi yang pernah melanda Indonesia pada 1997-1998, agroindustri ternyata menjadi sebuah aktivitas ekonomi yang mampu berkontribusi secara positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Selama masa krisis, walaupun sektor lain mengalami kemunduran atau bahkan pertumbuhan negatif, agroindustri mampu bertahan dalam jumlah unit usaha yang beroperasi. Salah satu imun yang membuat kelompok agroindustri dapat bertahan dalam situasi krisis karena tidak bergantung pada bahan baku dan bahan tambahan impor serta peluang pasar ekspor yang besar. Pengembangan agroindustri akan berdampak pada penciptaan kesempatan kerja seluas-luasnya sekaligus pemerataan pembangunan. Data kontribusi sub sektor agroindustri terhadap PDB menunjukkan bahwa output sub sektor ini memberikan kontribusi yang selalu lebih besar dari pada sub sektor pengolahan non agroindustri. Rata-rata kontribusi sub sektor agroindustri selama 2004-2009 mencapai 15,47 persen dari total PDB nasional. Sementara sub sektor non agroindustri (non migas) memberikan kontribusi dengan ratarata mencapai 9,41 persen. Berdasarkan data ini, maka tidak salah jika sub

xiii

sektor agroindustri akan mampu menjadi penyangga ekonomi nasional. Oleh sebab itu, penguatan struktur pada sub sektor ini merupakan hal yang mutlak harus dilakukan. Keterkaitan yang tinggi mulai dari hulu hingga hilir merupakan salah satu cara untuk memperkuat sub sektor agroindustri. Sehingga percepatan dan perluasan pembagunan ekonomi yang berkesinambungan dapat tercapai. Upaya percepatan dan perluasan dapat dilakukan melalui pemetaan agroindustri yang berdaya saing, baik dari sisi keunggulan komparatif di pasar internasional maupun indikator lain, seperti potensi produksi; market share; nilai tambah bisnis; nilai tambah teknis; keterkaitan dengan sektor lain; potensi permintaan; dan lokasi penyebaran. Berdasarkan berbagai indikator tersebut maka komoditas agroindustri yang dijadikan unggulan yaitu: kelapa sawit, karet, kakao, rotan, dan rumput laut. Meskipun memiliki berbagai kelebihan, pengembangan komoditas unggulan tersebut bukannya tanpa tantangan. Berbagai permasalahan seperti minimnya insentif bagi pengembangan industri padat tenaga kerja; hambatan regulasi; ekonomi biaya tinggi; suku bunga kredit investasi yang masih cukup tinggi; dukungan infrastruktur dan logistik yang sangat minim dan jauh dari memadai; hingga perkembangan teknologi pengolahan yang lamban merupakan beberapa masalah utama yang menghambat peningkatan daya saing agroindustri melalui hilirisasi. Berbagai permasalahan dan tantangan yang menghambat hilirisasi agroindustri membutuhkan solusi. Di sinilah urgensi keberadaan strategi percepatan dan perluasan industrialisasi, agar bottleneck hilirisasi di beberapa komoditas agroindustri unggulan dapat segera teratasi. Lebih dari itu, percepatan dan perluasan agroindustri juga penting untuk mencapai target pertumbuhan industri serta mencegah terjadinya deindustrialisasi dini. Percepatan dimaknai sebagai upaya untuk memperpendek rentang waktu target pencapaian, sementara perluasan berarti pendistribusian pusat-pusat industri baru dan penganekaragaman berbagai produk hilir komoditas unggulan.

xiv

Strategi percepatan dan perluasan beberapa komoditas agroindustri unggulan tersebut antara lain sebagai berikut: Kelapa Sawit: Strategi percepatan agroindustri kelapa sawit yang utama harus segera dilakukan guna mendorong peningkatan produk turunan minyak sawit adalah kebijakan insentif investasi di sektor hilir. Hal ini terutama dapat dilakukan dengan penambahan cakupan bidang usaha industri hilir kelapa sawit yang mendapatkan insentif investasi; pemberian tax holiday bagi investasi besar industri hilir kelapa sawit; serta secara konsisten melakukan promosi investasi Industri Hilir Kelapa Sawit (IHKS) baik di dalam maupun luar negeri untuk mendorong masuknya investasi di Klaster IHKS. Sedangkan strategi perluasan dilakukan dengan Pembangunan klaster Industri Hilir Kelapa Sawit di daerah yang akan menjadi pusat bangkitan perekonomian berbasis sektor produktif industri nasional, yaitu: Kawasan Industri Sei Mangkei, Kawasan Industri Dumai dan Kuala Enok, dan Kawasan Industri Maloy; penuntasan masalah tata ruang nasional dan RTRWP secepatnya; serta perluasan diversifikasi produk dengan mendorong pengolahan CPO hingga turunan produk ketiga (antara lain fatty acid, fatty alcohol, biodiesel) di dalam negeri. Karet: Permasalahan produktivitas lahan merupakan permasalahan utama dalam pengembangan industri karet, termasuk kualitas bahan baku olahan yang masih rendah. Untuk itu strategi percepatan hilirisasi karet adalah dengan peremajaan karet tua dan tidak produktif terutama pada perkebunan karet rakyat dengan stimulasi subsidi; peningkatan kualitas bahan olah karet yang dihasilkan petani sesuai dengan SNI yang disyaratkan industri pengolahan melalui pelatihan dan pendampingan; serta peningkatan efisiensi rantai nilai pengolahan karet dan penguatan kelembagaan petani melalui pola plasma antara perkebunan rakyat dengan perkebunan besar dalam peningkatan hasil dan harga. Sementara strategi perluasan terutama dilakukan dengan pengembangan industri perbenihan bermutu baik di sentra-sentra produksi karet serta diversifikasi usahatani karet melalui integrasi dengan tanaman pangan dan ternak untuk peningkatan pendapatan keluarga petani.

xv

Kakao: Strategi percepatan industri kakao yang utama adalah peningkatan produktivitas dan mutu biji Kakao guna peningkatan nilai tambah dan daya saing; dukungan penyedian pembiayaan salah satunya dengan membentuk Lembaga Keuangan Mikro di sentra-sentra produksi; serta peningkatan kemampuan sumber daya manusia melalui Riset & Pengembangan di bidang budidaya, pasca panen dan pengolahan antara lain dengan menjaga kontinyuitas Program Gernas Kakao. Strategi Perluasan terutama dengan memperluas lahan perkebunan kakao; memberikan insentif penanaman kakao kepada petani; serta memberikan penyuluhan dan sosialisasi agar petani dapat menghasilkan kakao berkualitas. Rotan: Kebijakan industri rotan difokuskan kepada upaya untuk segera menumbuhkan kembali industri rotan yang sempat mati selama diberlakukannya kebijakan ekspor bahan baku rotan. Beberapa strategi percepatan yang dapat segera dilakukan adalah: Menghubungkan industri rotan dengan produsen bahan baku rotan; mendorong pembiayaan dengan suku bunga yang terjangkau bagi pengembangan industri hilir rotan; serta menekan high cost economy dalam produksi rotan olahan. Sedangkan strategi perluasan dilakukan dengan membentuk sentra-sentra penghasil produk rotan di setiap daerah penghasil rotan; pembangunan infrastruktur di daerah penghasil rotan; serta membentuk sekolah desain di daerah sumber. Rumput Laut: Strategi percepatan industri rumput laut yang utama adalah peningkatan produksi melalui penggunaan bibit unggul dan teknologi budidaya rumput laut yang baik; penyediaan fasilitas sarana prasarana pengembangan kebun bibit dalam rangka penanganan mutu dan penyediaan bibit secara kontinyu; serta Stimulasi pengembangan usaha budidaya rumput laut dengan pemberian bantuan bibit unggul kepada pembudidaya. Strategi Perluasan dengan melakukan zonasi pengembangan areal budidaya yang diintegrasikan dengan RUTRW (Rencana Umum Tata Ruang Wilayah) dan pengembangan komoditas lain; melakukan identifikasi dan analisis kesesuaian lahan dengan daya dukung lingkungan; serta melakukan penataan ruang dan

xvi

penetapan wilayah pengembangan produksi rumput laut dengan kepentingan pengembangan komoditas lain dan sektor terkait lain. Dengan strategi percepatan dan perluasan ini diharapkan sektor agroindustri dapat tumbuh lebih tinggi dan merata di masa mendatang. Tahun depan, pertumbuhan agroindustri diproyeksikan sebesar 6,0 persen. Ini dapat dicapai jika pemerintah melakukan strategi percepatan dan perluasan agroindustri secara optimal. Berbagai terobosan dalam kebijakan agroindustri, terutama terobosan insentif; perbaikan regulasi yang pro bisnis; serta adanya jaminan ketersediaan energi bagi industri untuk berproduksi. Sementara itu, pertumbuhan industri pengolahan dapat mencapai 7,0 persen pada 2012, jika: Optimalisasi strategi percepatan dan perluasan industri dapat dilakukan dengan baik; Dampak krisis UE dan berlanjutnya krisis AS dapat dihindari dengan kebijakan anti krisis yang efektif; Pemerintah dapat memanfaatkan secara optimal momentum peningkatan peringkat investasi Indonesia; serta Pemerintah melakukan berbagai terobosan dalam kebijakan industri, terutama terobosan kelembagaan, mengingat sebagian besar persoalan industri terkonsentrasi pada masalah ini (birokrasi, koordinasi, korupsi).

xvii

OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

Bab 1

Pendahuluan

Agroindustri merupakan subsektor pertanian yang diharapkan dapat berperan penting terhadap pertumbuhan ekonomi, penerimaan ekspor, penyediaan lapangan kerja, pengurangan kemiskinan, dan pemerataan pembangunan wilayah. Ditinjau dari cakupan komoditasnya, terdapat ratusan jenis tanaman tahunan dan tanaman musiman dapat tumbuh subur di Indonesia, sehingga pembangunan agroindustri akan dapat menjangkau berbagai tipe komoditas yang sesuai dikembangkan di masing-masing daerah di Indonesia. Dilihat dari hasil produksinya, komoditas perkebunan merupakan bahan baku industri dan barang ekspor, sehingga telah melekat adanya kebutuhan keterkaitan kegiatan usaha dengan berbagai sektor dan subsektor lainnya. Di samping itu, jika diamati dari sisi pengusahaannya, sekitar 85 persen komoditas agro merupakan usaha perkebunan rakyat yang tersebar di berbagai daerah. Dengan demikian pembangunan industri agro akan berdampak langsung terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat, terutama melalui perannya dalam menciptakan lapangan kerja dan distribusi pemerataan pendapatan.

OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

Upaya percepatan dan perluasan agroindustri dengan skala prioritas pada strategi hilirisasi beberapa komoditas unggulan yang memiliki daya saing dibutuhkan untuk mendorong peran agroindustri yang lebih besar dan berkelanjutan dalam perekonomian ke depan. Fokus pada beberapa komoditas agroindustri unggulan dalam studi ini dimaksudkan agar hasil yang ingin dicapai segera terealisasi dan tidak berarti komoditas lain tidak diperhatikan. Tulisan ini akan diawali dengan paparan tentang perkembangan makroekonomi Indonesia, serta potret industri manufaktur dan agroindustri di Indonesia selama lima tahun terakhir. Selanjutnya diuraikan mengenai konsep industri yang berdaya saing disertai dengan alasan perlunya mengembangkan industri yang berdaya saing, terutama dilihat dari sisi potensi agroindustri di Indonesia. Bagian berikutnya menggambarkan potret masing-masing komoditas unggulan agroindustri dari sisi potensi produksi, market share, nilai tambah bisnis, nilai tambah teknis, keterkaitan dengan sektor lain, potensi permintaan, serta lokasi penyebaran. Dalam buku ini diuraikan pula berbagai permasalahan dan tantangan pengembangan agroindustri di Indonesia, baik secara umum maupun tantangan spesifik masing-masing komoditas unggulan. Bagian akhir buku ini berbicara mengenai strategi percepatan dan perluasan agroindustri di Indonesia, yang berisi strategi spesifik bagi percepatan dan perluasan hilirisasi masing-masing komoditas unggulan. Kinerja Makro Ekonomi dan Industri menguraikan perkembangan makroekonomi Indonesia dan perkembangan industri selama lima tahun terakhir (periode 2006-2011). Uraian diawali dengan perkembangan makro ekonomi secara umum disertai dengan potret makro sosial, yaitu masih cukup tingginya tingkat pengangguran dan kemiskinan di Indonesia. Selain uraian tentang kinerja makroekonomi, juga dibahas tentang performa sektor industri pengolahan secara umum dan potret perkembangan agroindustri. Potret agroindustri tersebut mencakup perkembangan kinerja agroindustri maupun kontribusinya terhadap pertumbuhan ekonomi.

OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

Membangun Industri Berdaya Saing memaparkan konsep dan urgensi industri yang berdaya saing dalam perekonomian Indonesia. Munculnya gejala deindustrialisasi dini, impor barang konsumsi yang meningkat drastis, peranan dalam penyerapan tenaga kerja, hingga sebagai upaya pencapaian target Rencana Strategis Kementerian Perindustrian merupakan berbagai alasan utama perlunya membangun industri berdaya saing. Bagian ini juga menjelaskan potensi agroindustri secara umum, baik dari sisi peningkatan permintaan maupun keunggulan komparatifnya. Komoditas Agroindustri Unggulan berisi pemetaan profil masing-masing komoditas unggulan dilihat dari berbagai indikator daya saing yang digunakan. Kelima komoditas unggulan agroindustri memiliki potensi produksi yang besar, market share yang dominan, hingga nilai tambah bisnis dan nilai tambah teknis yang besar. Di samping itu, juga dibahas keterkaitan erat komoditas unggulan bagi pengembangan sektor-sektor lain, sehingga berkembangnya komoditas kelapa sawit, karet, kakao, rotan dan rumput laut akan menimbulkan multiplier effect yang tinggi bagi sektor lainnya. Peranan lokasi penyebaran komoditas unggulan yang dapat menciptakan pemerataan pendapatan secara alamiah karena tidak terkonsentrasi di satu wilayah juga dibahas di bagian ini. Permasalahan dan Tantangan Agroindustri mengurai tentang berbagai kendala dan tantangan pengembangan agroindustri yang masih dihadapi hingga saat ini. Berbagai persoalan mulai dari hambatan regulasi, ekonomi biaya tinggi, lemahnya dukungan pembiayaan, dukungan infrastruktur dan logistik yang sangat minim dan jauh dari memadai, hingga perkembangan teknologi pengolahan yang lamban dipaparkan secara detail di bagian ini. Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri mengurai berbagai strategi percepatan yang tepat bagi pengembangan masing-masing komoditas unggulan, serta berbagai strategi perluasan baik dari sisi kewilayahan maupun diversifikasi produk hilir. Selain itu, diuraikan pula definisi percepatan dan perluasan, di mana percepatan dimaknai sebagai upaya untuk memperpendek rentang waktu target pencapaian, sementara perluasan berarti pendistribusian pusat-pusat industri baru dan penganekaragaman berbagai produk hilir.
3

OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

Akhirnya, sebaik apapun sebuah strategi kebijakan ekonomi dirumuskan, hanya baru mampu untuk menyelesaikan separuh dari persoalan ekonomi yang dihadapi. Sisanya adalah implementasi konkret dari para pengambil kebijakan untuk menerapkan secara tepat dan cepat strategi yang telah disusun. Selamat membaca, semoga bermanfaat bagi perumusan kebijakan ekonomi yang lebih bermutu di masa depan.

OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

Bab 2

Kinerja Makro Ekonomi dan Industri

2.1.

Perkembangan Makro Ekonomi

Kinerja makro ekonomi Indonesia pada akhir 1980-an sampai dengan pertengahan dekade 1990-an mengalami pertumbuhan yang pesat. Bahkan kinerja makro ekonomi pada periode tersebut merupakan salah satu yang tertinggi di kawasan Asia. Sejak 1987 hingga 1996, pertumbuhan ekonomi Indonesia mencatat rekor tertinggi hingga mencapai 7,1 persen. Performa pada saat itu diperkuat dengan kinerja ekspor, dukungan sektor keuangan, serta kinerja industri pengolahan yang cukup gemilang. Setelah lebih dari satu dekade pascakrisis 1997-1998 keadaan makro ekonomi Indonesia meskipun sudah menunjukkan pemulihan di berbagai lini dan sektor, namun belum banyak memberikan kontribusi yang signifikan dalam pengurangan tingkat kemiskinan dan angka pengangguran. Selain itu, jika dibandingkan dengan beberapa negara di ASEAN yang dulunya memiliki skala ekonomi yang sama dengan Indonesia, nampak proses pemulihan ekonomi yang terjadi di Indonesia masih tertinggal dibandingkan dengan negara-negara tersebut. Hal ini tercermin dari rendahnya peringkat daya saing ekonomi
5

OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

Indonesia dibandingkan dengan negara-negara di ASEAN, serta belum maksimalnya reformasi yang bersifat struktural untuk memerbaiki kinerja perekonomian. Makroekonomi yang stabil idealnya akan menciptakan peluang ekonomi bagi pencapaian kesejahteraan masyarakat. Ini dapat terjadi jika transformasi ekonomi terjadi secara komprehensif, terutama menyangkut komitmen untuk mendistribusikan efek pembangunan ekonomi secara lebih merata. Ekonomi tidak terkonsentrasi di satu wilayah saja. Di sisi lain, strategi pembangunan juga harus diarahkan secara serius untuk membangun sektor bisnis domestik yang mampu bersaing dalam konteks global. Pada titik inilah diperlukan strategi meningkatkan nilai tambah dan kualitas produk yang setara dengan standar internasional diiringi dengan kemunculan kutub-kutub pertumbuhan baru di daerah. Dengan demikian akan terjadi sinergi antara peningkatan daya saing dan pemerataan kesejahteraan. Melihat kondisi fundamental makroekonomi Indonesia yang sudah menunjukkan performa membaik setidaknya dalam lima tahun ini, sesungguhnya merupakan modal awal untuk mulai lebih giat mempercepat pembangunan (Gambar 2.1). Terlebih lagi, pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi saat ini selain ditopang dengan pengendalian inflasi yang relatif rendah, stabilitas nilai tukar dan perbaikan dalam neraca transaksi berjalan Indonesia, juga dikontribusikan oleh kuatnya permintaan konsumsi domestik. Jika hal ini dapat ditunjang dengan produksi yang menghasilkan nilai tambah yang tinggi, maka pertumbuhan ekonomi akan semakin berkualitas. Sayangnya, meskipun setelah satu dekade pascakrisis secara fundamental makroekonomi sudah menunjukkan perbaikan, kondisi tersebut belum banyak memberikan kontribusi yang signifikan pada terkikisnya angka kemiskinan dan meningkatnya penciptaan lapangan kerja bagi masyarakat. Dengan kata lain, pertumbuhan dan pembangunan ekonomi yang terjadi saat ini belum cukup berkualitas dan solutif bagi pemecahan permasalahan dasar ekonomi, yaitu kemiskinan dan pengangguran.

OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

Gambar 2.1. Pertumbuhan PDB Indonesia (persen, yoy)

Sumber: Badan Pusat Statistik, 2011

Pertumbuhan ekonomi yang tinggi belum menjadi jaminan bagi penurunan tingkat kemiskinan dan pengangguran jika pertumbuhan yang dihasilkan tidak dikontribusikan oleh sektor-sektor strategis kontributor lapangan kerja (labor intensive). Menilik pada periode sebelum krisis, secara historis selama periode 1970-1997 perekonomian Indonesia telah mengalami perubahan struktur yang ditandai dengan meningkatnya performa industri pengolahan, yang terefleksikan dari semakin tingginya porsi investasi dan ekspor terhadap PDB. Pertumbuhan yang tinggi dalam industri pengolahan pada saat itu secara tidak langsung telah menggeser peran sektor pertanian sehingga banyak terjadi pergeseran fungsi modal, tenaga kerja, dan lahan untuk sektor pertanian ke sektor industri pengolahan. Namun, perkembangan sektor industri pengolahan pascakrisis tengah mengalami pemburukan kinerja. Stagnasi yang terjadi di sektor industri pengolahan tercermin dari sisi permintaan agregat, di mana sektor investasi dan ekspor yang semula dominan menjadi penggerak pertumbuhan ekonomi sudah mengalami penurunan performa tergeser dengan meningkatnya peran konsumsi. Dari Tabel 2.1. terlihat bahwa meskipun pada 2011 (Q1-Q3) mencapai pertumbuhan tertinggi selama lima tahun terakhir, namun secara umum kinerja
7

OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

pertumbuhan sektor Industri pengolahan belum secepat sektor-sektor lain yang padat modal (capital intensive), seperti sektor pengangkutan dan komunikasi serta sektor perdagangan, hotel dan restoran. Tabel 2.1. Pertumbuhan PDB Berdasarkan Sektor Ekonomi 2006-2011 (persen, yoy)
Keterangan Pertanian Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan Listrik, Gas, dan Air Bersih Bangunan Perdagangan, Hotel, dan Restoran Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan, Persewaan, dan Jasa Perusahaan Jasa-jasa PDB Laju Pertumbuhan 06 3,0 2,2 4,6 5,9 9,0 6,1 13,6 5,7 07 3,5 1,9 4,7 10,3 8,5 8,9 14,0 8,0 08 4,8 0,7 3,7 10,9 7,5 6,9 16,6 8,2 09 4,1 4,4 2,2 14,3 7,1 1,3 15,5 5,1 10 2,9 3,5 4,5 5,3 7,0 8,7 13,5 5,7 11* 3,4 1,7 5,9 4,5 6,4 9,3 11,2 7,0 06 0,4 0,2 1,3 0,1 0,5 1,0 0,9 0,5 Sumber Pertumbuhan 07 0,5 0,2 1,2 0,1 0,5 1,4 0,9 0,7 08 0,6 0,1 0,9 0,1 0,4 1,1 1,1 0,7 09 0,5 0,4 0,6 0,1 0,4 0,2 1,2 0,5 10 0,4 0,3 1,1 0,0 0,4 1,4 1,1 0,5 11* 0,4 0,0 1,7 0,0 0,4 1,7 0,9 0,7

6,2 5,5

6,4 6,3

6,2 6,0

6,4 4,6

6,0 6,1

6,8 6,5

0,6

0,6

0,5

0,6

0,5

0,7

Sumber: Badan Pusat Statistik, 2011 * Pertumbuhan triwulan I s/d triwulan III 2011

Rendahnya pertumbuhan investasi dalam industri pengolahan berimplikasi pada kian menurunnya akumulasi modal (kapital) tetap. Di sisi lain menurunnya akumulasi modal dalam kondisi tingginya tingkat tenaga kerja menyebabkan produktivitas tenaga kerja menurun. Capital shortage ini tentu saja juga akan berimplikasi pada semakin memburuknya TFP (Total Factor Productivity), di mana nilainya tidak mampu menembus angka 1 persen dalam kurun waktu 2000-2004, jauh di bawah TFP sebelum krisis yang mampu mencapai 3 persen.

OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

Selanjutnya, berdasarkan PDB sisi pengeluaran dapat dijelaskan bahwa laju pertumbuhan konsumsi relatif stabil jika dibandingkan dengan pertumbuhan pembentukan modal yang relatif tidak stabil (Tabel 2.2). Pembentukan modal menurun rendah menyentuh 2,9 persen pada 2006 dan 3,3 persen pada 2009, di saat yang sama konsumsi rumah tangga tidak mengalami banyak fluktuasi. Di sisi lain, kontribusi PDB dari sektor luar negeri (ekspor dikurangi impor) mengalami penurunan kinerja, tentu hal ini harus menjadi concern yang serius berkaitan dengan eksistensi Indonesia dalam memenangkan kompetisi dalam ekonomi global. Tabel 2.2. Pertumbuhan PDB Sisi Pengeluaran2006-2011 (persen, yoy)
Komponen Pengeluaran Konsumsi Rumah Tangga Konsumsi Pemerintah Pembentukan Modal Tetap Bruto Ekspor Dikurangi: Impor PDB Laju Pertumbuhan 06 3,2 9,6 2,9 9,2 7,6 5,5 07 5,0 3,9 9,3 8,5 9,1 6,3 08 5,3 10,4 11,9 9,5 10,0 6,0 09 4,9 15,7 3,3 -9,7 -15,0 4,6 10 4,6 0,3 8,5 14,9 17,3 6,1 11* 4,6 3,3 7,9 16,2 14,6 6,5 06 1,9 0,7 0,7 4,1 2,8 Sumber Pertumbuhan 07 2,9 0,3 2,0 4,0 3,4 08 3,1 0,8 2,7 4,6 3,9 09 2,8 1,3 0,8 -4,8 -6,0 10 2,6 0,0 2,0 6,4 5,6 11* 2,7 0,2 1,7 8,3 5,0

Sumber: Badan Pusat Statistik, 2011 * Pertumbuhan triwulan I s/d triwulan III 2011

Dengan berbagai capaian kinerja perekonomian lima tahun terakhir tersebut, persoalan pengangguran dan kemiskinan masih menjadi masalah mendasar pembangunan. Meskipun sepanjang periode 2006-2011 tingkat pengangguran dan kemiskinan menunjukkan tren penurunan, namun jumlah pengangguran terbuka sebesar 7,7 juta jiwa (6,56 persen) dan kemiskinan 30,02 juta jiwa (12,49 persen) merupakan angka yang relatif besar (Tabel 2.3). Dalam rangka menurunkan angka pengangguran dan kemiskinan ini diperlukan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas dan terdistribusi secara lebih merata. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah mendorong penciptaan nilai tambah atas komoditas yang dihasilkan di Indonesia.

OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

Tabel 2.3. Tingkat Kemiskinan dan Pengangguran


Rincian Penduduk Miskin (juta jiwa) Persentase Penduduk Miskin (%) Pengangguran Terbuka (juta jiwa) Persentase Pengangguran (%)
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2011

2006 39,30 17,75 11,10 10,28

2007 37,17 16,58 10,01 9,11

2008 34,96 15,42 9,39 8,39

2009 32,53 14,15 8,96 7,87

2010 31,02 13,33 8,32 7,14

2011 30,02 12,49 7,70 6,56

2.2.

Perkembangan Industri Manufaktur

Perkembangan terbaru menunjukkan pertumbuhan industri pengolahan yang relatif meningkat sejak 2009, dari 2,16 persen pada 2009 menjadi 5,9 persen pada 2011 (Tabel 2.1). Padahal sebelum krisis 1998, yaitu pada periode 1970-1997, industri pengolahan mampu tumbuh di atas 10 persen. Namun, sejak 1999 sampai 2010, industri pengolahan hanya tumbuh di bawah 5 persen per tahun (Kuncoro, 2011). Sungguh pun demikian, kejutan terjadi pada 2011 ini di mana pertumbuhan industri pengolahan mampu menembus angka 5 persen. Selain itu, industri pengolahan juga masih mendominasi dari sisi pangsa terhadap PDB. Namun demikian, kontribusi industri pengolahan terhadap PDB menunjukkan tren penurunan, dari 27,83 persen pada 2006 menjadi 25,49 persen pada 2011. Berkebalikan dengan kontribusi sektor perdagangan yang menunjukkan tren peningkatan sejak lima tahun terakhir ini. Kondisi ini bisa menjadi sinyal bahwa struktur perekonomian Indonesia sedang mengalami pergeseran secara perlahan dari sektor industri menuju sektor perdagangan. Fenomena ini tentu tidak bisa diabaikan begitu saja, karena apabila benar-benar terjadi deindustrialiasi dini, maka masyarakat akan terancam kerugian akibat penurunan lapangan kerja di sektor industri. Sementara itu, bila dilihat dari nilai tambah menurut subsektor, secara umum industri pengolahan mengalami peningkatan nilai tambah sebesar 11,02

10

OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

persen atau meningkat dari Rp719 triliun pada 2008 menjadi Rp798 triliun pada 2009 (yoy). Subsektor dengan nilai tambah tertinggi adalah industri makanan dan minuman sebesar Rp147 triliun pada 2009 atau tumbuh sebesr 18,94 persen dari tahun sebelumnya (Tabel 2.4). Berikutnya, diurutan kedua ditempati oleh subsektor kimia dan barang-barang dari bahan kimia sebesar Rp116 triliun pada 2009, namun pertumbuhannya mengalami minus sebesar 4,90 persen. Di urutan selanjutnya relatif mengalami persaingan antara subsektor tembakau, tekstil, dan kendaraan bermotor masing-masing memiliki nilai tambah sebesar Rp54,40 triliun, Rp54,61 triliun, dan Rp48 triliun. Sedangkan subsektor dengan nilai tambah terendah adalah industri peralatan kantor, akuntansi, dan pengolahan data sebesar Rp258 miliar, diikuti oleh industri daur ulang dengan nilai tambah sebesar Rp663 miliar. Dengan melihat besar dan berkembangnya nilai tambah pada industri pengolahan, tampaknya dapat menjadi argumentasi yang kuat untuk melakukan upaya percepatan dan perluasan industrialisasi di Indonesia. Percepatan dan perluasan industrialisasi juga menjadi penting dalam konteks membangun kemandirian bangsa, sekaligus menjadi strategi paling ampuh dalam membendung banjirnya impor barang hasil industri dari luar negeri. Selain itu, dengan potensi sumber daya alam yang begitu besar, masuk akal apabila industri pengolahan yang dikembangkan ke depan dikaitkan langsung dengan sektor pertanian, perikanan, dan kehutanan atau yang biasa disebut dengan agroindustri. Dalam konteks penyerapan tenaga kerja, sektor industri belum mampu melakukan penyerapan tenaga kerja dalam jumlah yang besar. Selama kurun waktu 2005 hingga 2011, penyerapan tenaga kerja masih didominasi sektor pertanian sebesar 40,8 persen diikuti sektor perdagangan, hotel dan restoran 20,4 persen, jasa sosial 12,7 persen dan sektor industri pengolahan hanya berkontribusi sebesar 12,5 persen. Kontribusi sektor industri dalam penyerapan tenaga kerja di Indonesia memang tidak terlalu besar sejak 1996, di mana persentase penyerapannya berada pada kisaran 12-13 persen. Sektor industri menyerap tambahan sekitar 660 ribu tenaga kerja dalam setahun terakhir.
11

OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

Kondisi ini menempatkan industri sebagai nomor tiga dalam menyerap tenaga kerja di bawah jasa dan perdagangan. Perlu diingat bahwa nilai tambah dan pendapatan di sektor industri umumnya lebih tinggi dari kedua sektor tersebut. Tabel 2.4. Nilai Tambah Menurut Subsektor (Miliar Rupiah)
Subsektor 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 Makanan dan minuman Tembakau Tekstil Pakaian jadi Kulit dan barang dari kulit Kayu, barang dari kayu, dan anyaman Kertas dan barang dari kertas Penerbitan, percetakan, dan reproduksi Batu bara, minyak dan gas bumi, dan bahan bakar dari nuklir Kimia dan barang-barang dari bahan kimia Karet dan barang-barang dari plastik Barang galian bukan logam Logam dasar Barang-barang dari logam dan peralatannya Mesin dan perlengkapannya Peralatan kantor, akuntansi, dan pengolahan data Mesin listrik lainnya dan perlengkapannya Radio, televisi, dan peralatan komunikasi Peralatan kedokteran, alat ukur, navigasi, optik, dan jam Kendaraan bermotor Alat angkutan lainnya Furniture dan industri pengolahan lainnya Daur ulang Jumlah 48,544 45,977 13,780 184 719,493 48,116 34,811 16,595 663 798,767 -0.88 -24.29 20.43 260.33 11.02 6.02 4.36 2.08 0.08 100 22,501 14,622 1,944 42,901 21,543 1,609 90.66 47.33 -17.23 5.37 2.70 0.20 122,286 42,735 26,037 31,990 21,224 14,495 312 116,288 44,318 40,074 27,034 15,342 10,348 258 -4.90 3.70 53.91 -15.49 -27.71 -28.61 -17.31 14.56 5.55 5.02 3.38 1.92 1.30 0.03 2008 124,202 55,831 31,271 23,969 12,689 17,041 37,561 6,313 3,986 2009* 147,730 54,403 54,610 31,707 14,280 18,171 46,170 8,507 3,289 Growth (%) 18.94 -2.56 74.63 32.28 12.54 6.63 22.92 34.75 -17.49 Pangsa (%) 18.49 6.81 6.84 3.97 1.79 2.27 5.78 1.07 0.41

Sumber: www.bps.go.id, 2011. *) Angka estimasi

12

OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

2.3.

Perkembangan Agroindustri Indonesia

Industrialisasi telah mengakibatkan penurunan kontribusi sektor pertanian terhadap output nasional. Pangsa sektor pertanian dalam pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) nasional telah turun dari sekitar 51,0 persen pada 1968 menjadi hanya 15,4 persen pada 2011 (Tabel 2.5). Sebaliknya, pangsa sektor non pertanian meningkat dari sekitar 49,0 persen menjadi 84,6 persen. Penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian pun mengalami hal yang serupa. Selama periode 1982 - 2011 penyerapan tenaga kerja sektor pertanian secara konsisten terus mengalami penurunan, yaitu dari 54,7 persen menjadi 38,16 persen (BPS, 2011). Proses industrialisasi tersebut telah menyebabkan transformasi struktur ekonomi. Indonesia bukan lagi negara agraris ketika sektor industri manufaktur mulai menggantikan sektor pertanian sebagai sektor pemimpin (leading sector) dalam ekonomi Indonesia sejak 1993. Kontribusi sektor industri manufaktur terhadap PDB berkisar antara 22,3 persen 28,3 persen sejak 1993. Kendati kini telah mengalami penurunan menjadi 24,3 persen pada 2011 (Tabel 2.5). Tabel 2.5. Transformasi Struktur Perekonomian Indonesia
Sektor Pertanian Pertambangan dan Penggalian Industri Manufaktur Sektor lainnya PDB Sumber: BPS, dalam Kuncoro (2011) 1968 51,0 4,2 8,5 36,3 100 1993 17,9 9,6 22,3 50,3 100 1998 17,4 8,3 23,9 50,3 100 2000 15,6 12,1 27,8 44,6 100 2004 15,4 8,6 28,3 47,7 100 2011 (Q2) 15,4 11,6 24,3 48,7 100

13

OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

Jika membandingkan kontribusi sektor industri manufaktur pada dua periode, yakni pada 1993-2000 dengan 2004-2011, maka terlihat suatu perbedaan yang mencolok. Perbedaan tersebut terletak pada kontribusi sektor industri manufaktur. Pada periode 1993-2000 terjadi peningkatan kontribusi manufaktur terhadap PDB nasional, sedangkan pada peiode 2004-2011 kontribusi sektor manufaktur tersebut semakin berkurang. Dengan alasan itulah pada periode 2004-2011 disebut-sebut telah terjadi deindustrialisasi. Oleh sebab itu, kajian ini yang bertujuan untuk menyusun strategi percepatan dan perluasan industrialisasi ini sangat relevan dilakukan. Penurunan peran sektor pertanian dalam perekonomian nasional tersebut merupakan konsekuensi logis dari adanya transformasi perekonomian dari sektor pertanian ke sektor industri. Tetapi perlu dicatat, penurunan kontribusi sektor pertanian tidak bisa diabaikan begitu saja mengingat sumber daya nasional yang tersedia melimpah di Indonesia adalah di sektor pertanian dan sumber penghidupan sebagian besar rumah tangga saat ini juga masih bergantung di sektor pertanian. Dengan alasan itu, industrialisasi yang relavan dikembangkan adalah industrialisasi pertanian, yaitu kegiatan industrialisasi yang memanfaatkan hasil-hasil dari sektor pertanian dalam arti luas. Melalui pengembangan subsektor agroindustri (industrialisasi pertanian), dapat dipandang sebagai transisi yang paling tepat dalam menjembatani proses transformasi ekonomi di Indonesia. Peran sektor pertanian dalam PDB dengan demikian tidak dilihat dari produk primer yang dihasilkan saja, melainkan harus dikaitkan dengan industri pengolahan dan pemasaran yang diciptakan dan peranannya dalam mendorong pembangunan, khususnya di perdesaan. Bersama-sama dengan sektor pertanian primer, sektor agroindustri dapat dijadikan sebagai sumber pendapatan sebagian besar penduduk Indonesia dan mengurangi kemiskinan. Ketangguhan industri yang berbasis pertanian telah terbukti pada masa krisis. Sektor agroindustri tidak banyak terpengaruh oleh krisis dan dengan cepat mengalami pemulihan. Pentingnya peran sektor agroindustri bukan hanya dilihat dari ketangguhannya dalam menghadapai krisis ekonomi, tetapi juga memiliki keterkaitan yang kuat dengan sektor lain.
14

OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

Keterkaitan tersebut tidak hanya keterkaitan produk, tetapi juga melaui media keterkaitan lain, yaitu keterkaitan konsumsi, investasi, dan tenaga kerja (Rangarajan, 1982; Haggblade et al., 1991). Hal tersebut diharapkan berimplikasi melalui pengembangan sektor agroindustri dan tercipta kesempatan kerja dan sumber pendapatan masyarakat, sehingga rumah tangga petani tidak hanya menggantungkan sumber penghidupan mereka pada sebidang tanah yang semakin menyempit, namun secara luas mampu mendukung pertumbuhan produktivitas. Semua itu akan mempunyai efek positif bagi pengurangan kemiskinan yang sebagian besar berada di sektor pertanian.

2.3.1. Kinerja Agroindustri Pengembangan agroidustri di Indonesia terbukti mampu membentuk pertumbuhan ekonomi nasional. Di tengah krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada 1997-1998, agroindustri ternyata menjadi sebuah aktivitas ekonomi yang mampu berkontribusi secara positif terhadap pertumbuhan ekonomi nasional. Selama masa krisis, walaupun sektor lain mengalami kemunduran atau pertumbuhan negatif, agroindustri mampu bertahan dalam jumlah unit usaha yang beroperasi. Berdasarkan data dari Kementerian Perindustrian, terdapat kelompok agroindustri yang tetap mengalami pertumbuhan selama krisis, antara lain yang berbasis kelapa sawit, pengolahan ubi kayu dan industri pengolahan ikan. Sementara itu, kelompok agroindustri ini bisa berkembang dalam keadaan krisis karena tidak bergantung pada bahan baku dan bahan tambahan impor serta peluang pasar ekspor yang besar. Sementara kelompok agroindustri yang tetap dapat bertahan pada masa krisis adalah industri mie, pengolahan susu dan industri tembakau yang disebabkan oleh peningkatan permintaan di dalam negeri dan sifat industri yang padat karya. Sedangkan untuk kelompok agroindustri yang mengalami penurunan adalah industri pakan ternak dan minuman ringan. Penurunan industri pakan ternak disebabkan ketergantungan impor bahan baku (bungkil kedelai, tepung ikan, dan obat-obatan). Sementara
15

OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

itu, penurunan pada industri makanan ringan lebih disebabkan oleh penurunan daya beli masyarakat sebagai akibat krisis ekonomi. Lebih lanjut, jika melihat kinerja subsektor agroindustri yang diukur dari perkembangan jumlah unit perusahaan dan kapasitas produksi dalam 6 tahun terakhir menunjukkan telah terjadi pertumbuhan dalam kedua indikator tersebut. Berdasarkan Tabel 2.6 menunjukkan jumlah unit perusahaan agroindustri selama 6 tahun terakhir mengalami peningkatan dengan rata-rata mencapai 5,52 persen per tahun. Hal ini diikuti pula oleh peningkatan kapasitas produksinya, namun dengan peningkatan yang jauh lebih besar, yakni dengan rata-rata sebesar 27,98 persen per tahun. Tabel 2.6. Jumlah Perusahaan dan Nilai Produksi Subsektor Agroindustri
Tahun 2005 2006 2007 2008 2009* 2010** Rata-rata Jumlah perusahaan Pertumbuhan Unit (%) 9.393 13.455 12.695 11.757 13.315 11.022 11.940 43,24 -5,65 -7,39 13,25 -17,22 5,25 Produksi Nilai Pertumbuhan Rp Juta) (%) 411.019.038 485.402.825 620.632.108 787.789.274 822.730.123 1.337.482.511 744.175.980 18,10 27,86 26,93 4,44 62,57 27,98

*) Angka Sementara **) Angka Sangat Sementara Sumber: Kementerian Perindustrian, 2011

Kendati mengalami peningkatan, bukan berarti kinerja sub sektor agroindustri selalu dalam performa baik. Pada 2007 dan 2008 jumlah unit perusahaan sempat mengalami penurunan. Hal ini berimplikasi pada menurunnya jumlah penyerapan tenaga kerja di subsektor ini. Penurunan jumlah unit perusahaan pada periode waktu ini diduga karena pengaruh krisis ekonomi global, di mana pada saat itu biaya faktor produksi, khususnya yang berasal dari luar negeri (bahan baku impor), menjadi sangat mahal. Hasilnya,
16

OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

tidak sedikit perusahaan agroindustri yang menutup usahanya. Tetapi, perekonomian nasional tertolong karena daya beli masyarakat yang masih membaik. Tingkat permintaan masyarakat yang relatif tinggi terhadap produkproduk agroindustri menyebabkan masih banyak perusahaan agroindustri yang beroperasi dan mampu meningkatkan kapasitas produksinya. 2.3.2. Kontribusi Agroindustri Subsektor agoindustri sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, telah memberikan kontribusi yang cukup berarti dalam perekonomian nasional. Kontribusi tersebut dapat dilihat dari pangsa subsektor ini dalam pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB), penyerapan tenaga kerja, nilai tambah yang dihasilkan, perolehan devisa melalui ekspor non migas, dan penciptaan kondisi yang kondusif bagi pembangunan sektor lain. Namun, sayangnya, selama ini sub sektor agroindustri belum dapat dijadikan sebagai penarik pembangunan sektor pertanian dalam hal menciptakan pasar bagi produk-produk pertanian melalui berbagai produk olahannya. Kontribusi subsektor agroindustri terhadap penyerapan tenaga kerja dan kemampuan menciptakan nilai tambah ditunjukkan pada Tabel 2.7. Berdasarkan tabel 2.7, nilai tambah yang dihasilkan oleh subsektor agroindustri memiliki kencenderungan yang meningkat, kecuali pada 2008, di mana industri nasional juga sedang terkena pengaruh krisis global. Rata-rata nilai tambah yang mampu dihasilkan selama 2005-2009 sebesar 3,13 persen. Hal ini menunjukkan bahwa subsektor agroindustri memiliki prospek yang baik dan akan semakin menguntungkan bagi siapa pun yang terlibat. Pada saat yang sama, penyerapan tenaga kerja di sub sektor ini cenderung berfluktuasi. Pada 2006 terjadi peningkatan penyerapan tenaga kerja sebesar 14,23 persen, namun dalam dua tahun berikutnya (2007-2008) mengalami penurunan, mengikuti penurunan jumlah unit perusahaan agroindustri karena pengaruh krisis global.

17

OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

Tabel 2.7. Nilai Tambah dan Penyerapan Tenaga Kerjasub Sektor Agroindustri
Nilai Tambah Tahun 2005 2006 2007 2008 2009* 2010** Rata-rata
*) Angka Sementara

Tenaga Kerja Jumlah Orang 1,636,745 1,869,663 1,838,835 1,750,206 2,017,856 1,693,694 1,801,167 Pertumbuhan (%) 14.23 -1.65 -4.82 15.29 -16.06 1.40

Nilai Pertumbuhan (Rp Juta) (%) 396,437,988 514,342,729 29.74 598,399,645 16.34 264,842,230 -55.74 323,619,699 22.19 162,496,793 -49.79 376,689,847 -7.45
**) Angka Sangat Sementara

Sumber: Kementerian Perindustrian, 2011

Kinerja yang baik pada subsektor agroindustri sayangnya tidak diikuti dengan kemampuan subsektor ini dalam menyerap tenaga kerja. Jumlah tenaga kerja pada subsektor agroindutri masih jauh lebih sedikit daripada tenaga kerja yang diserap pada sektor pertanian. Sektor pertanian masih menempati posisi tertinggi dalam hal menyerap tenaga kerja, yakni sebanyak 42,5 juta orang (38,16 persen), disusul sektor perdagangan sebesar 23,2 juta orang (20,88 persen), dan sektor jasa kemasyarakatan sebesar 17,0 juta orang (15,30 persen) [BPS, 2011]. Lebih lanjut, jika melihat perkembangan kontribusi subsektor agroindustri terhadap PDB selama 2004-2010 menunjukkan bahwa output subsektor ini memberikan kontribusi yang pada umumnya selalu lebih besar dari pada subsektor pengolahan non agroindustri. Berdasarkan data Produk Domestik Bruto pada Tabel 2.8 menunjukkan bahwa rata-rata kontribusi subsektor agroindustri selama 2004-2010 mencapai 12.59 persen dari total PDB nasional. Sementara subsektor non agroindustri (non migas) memberikan kontribusi dengan rata-rata mencapai 12.13 persen.

18

OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

Tabel 2.8. Nilai dan Pangsa Sektoral terhadap PDB Indonesia, Tahun 2004-2010 (Miliar Rupiah)
Tahun 2004 2005 2006 2007 2008 2009* 2010** Rata-rata Pertanian 247,163.6 (14.92) 253,881.7 (14.50) 262,402.8 (14.21) 271,509.3 (13.82) 284,620.7 (13.67) 296,369.3 (13.61) 304,406.2 (13.17)
13.99

Agroindustri 216,372.6 (13.06) 224,771.4 (12.84) 236,547.8 (12.81) 247,711.0 (12.61) 254,124.5 (12.20) 272, 255.1 (12.51) 279,524.5 (12.10)
12.59

Non Agroindustri 201,995.9 (12.19) 218,131.2 (12.46) 229,701.3 (12.44) 242,550.6 (12.35) 255,977.2 (12.29) 250,684.5 (11.52) 270,248.8 (11.70)
12.13

Industri Migas 51583.9 (3.11) 48658.8 (2.78) 47851.2 (2.59) 47823.0 (2.43) 47662.7 (2.29) 46611.2 (2.14) 45539.8 (1.97)
2.47

Sektor Lainnya 939,400.8 (56.71) 1,005,372.1 (57.42) 1,070,623.6 (57.96) 1,154,733.4 (58.79) 1,239,930.8 (59.55) 1,311,055.4 (60.22) 1,410,970.5 (61.06)
58.82

PDB 1,656,516.8 (100) 1,750,815.2 100) 1,847,126.6 (100) 1,964,327.3 (100) 2,082,315.9 (100) 2,176,975.5 (100) 2,310,689.8 (100)
100.00

Sumber: Badan Pusat Statistik, 2011 Keterangan: Angka dalam tanda ( ) menunjukkan pangsa atau kontribusi (%) terhadap PDB *) Angka sementara; **) Angka sangat sementara

Berdasarkan data tersebut, maka tidak salah jika subsektor agroindustri disebut mampu menjadi penyangga ekonomi nasional melalui kontribusinya dalam berbagai indikator ekonomi. Oleh sebab itu, penguatan struktur pada subsektor ini merupakan hal yang mutlak harus dilakukan. Keterkaitan yang tinggi mulai dari hulu hingga hilir merupakan salah satu cara untuk memerkuat sub sektor agroindustri. Sehingga, percepatan dan perluasan pembagunan ekonomi yang berkesinambungan dapat tercapai.

19

OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

Bab 3

Membangun Industri Berdaya Saing

3.1.

Konsep Industri Berdaya Saing

Salah satu indikator ekonomi yang semakin mendapat perhatian dalam kancah perekonomian global adalah faktor daya saing. Daya saing ekonomi semakin menjadi barometer bagi setiap negara, baik untuk menjalin kerjasama antarnegara maupun antarkawasan ekonomi. Oleh karena itu, upaya peningkatan daya saing harus menjadi salah satu fokus pemerintah dalam mengelola perekonomian. Di Indonesia daya saing industri sebagian besar berkaitan dengan iklim usaha. Dari sisi teori, daya saing pada umumnya didefinisikan sebagai seberapa besar pangsa pasar produk suatu negara dalam pasar dunia. Tetapi definisi yang lebih tepat mengenai daya saing itu adalah produktivitas (Pambudhi, 2007). Produktivitas akan mendorong mata uang suatu negara menjadi lebih kuat sekaligus meningkatkan standar hidup masyarakat. Produktivitas tergantung dari nilai barang-barang dan jasa yang dapat diproduksi secara efisien. Daya saing berdasarkan definisi ini meliputi kondisi makro ekonomi, politik, dan lingkungan hukum yang mendukung perekonomian yang maju.

21

OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

Kondisi makro ekonomi yang baik membantu menciptakan kemakmuran, tetapi perlu dukungan dari kondisi mikro ekonomi suatu negara. Kemakmuran pada dasarnya dibentuk oleh pondasi mikro ekonomi, kegiatan, dan strategi perusahaan. Strategi perusahaan ini dipengaruhi oleh kualitas input, kondisi infrastruktur, institusi, peraturan-peraturan pemerintah, dan kebijakan lainnya yang mengatur lingkungan bisnis di mana perusahaan tersebut bersaing (Pambudhi, 2007). Salah satu studi daya saing yang secara kontinyu dilakukan adalah Global Competitive Index (GCI) oleh World Economic Forum (WEF). Survei yang dilakukan oleh WEF ini membagi variabel menjadi 12 variabel yang dikelompokkan menjadi 3, yaitu persyaratan dasar, peningkatan efisiensi, serta faktor inovasi dan kecanggihan. Pada 2011 survei dilakukan terhadap 142 negara di dunia. Berdasarkan hasil studi ini Indonesia berada diperingkat 46, turun 2 peringkat dari tahun sebelumnya. Setidaknya ada 2 catatan yang dapat dikedepankan dari survei daya saing versi WEF tersebut. Pertama, dari ketiga kelompok variabel yang disusun, peringkat paling buruk adalah kelompok persyaratan dasar (basic requirement). Isi dari kelompok persyaratan dasar adalah: institusi (kelembagaan), infrastruktur, stabilitas ekonomi makro, serta kesehatan dan pendidikan dasar. Padahal, persyaratan dasar ini merupakan fundamen terpenting bagi penguatan daya saing ekonomi suatu negara. Kedua, setidaknya dalam beberapa tahun terakhir Indonesia gagal menjaga momentum perbaikan daya saing ini, sehingga peringkat kompetisi global mengalami kemunduran. Dua alasan ini rasanya cukup untuk menjadi dasar bagi pentingnya membangun industri yang berdaya saing. 3.2. Perlunya Pengembangan Industri Berdaya Saing 3.2.1. Fenomena Deindustrialisasi Dini Dalam beberapa tahun terakhir, sektor industri Indonesia mengalami sebuah permasalahan yang dinamakan sebagai deindustrialisasi dini. Deindustrialisasi sendiri merupakan suatu fenomena di mana peranan sektor industri terhadap perekonomian suatu negara terus mengalami penurunanan.

22

OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

Deindustrialisasi sendiri dianggap oleh banyak pihak sebagai sesuatu yang wajar dialami oleh suatu negara ketika peranan sektor industri terhadap PDB negara tersebut sudah mencapai titik yang tinggi. Dalam kasus Amerika Serikat, deindustrialisasi terjadi ketika peranan sektor industri terhadap PDB sudah mencapai 35 persen. Sejak mencapai titik tersebut, industri di AS mengalami gradual decrease hingga mencapai titik di mana kontribusi dari sektor industri hanya sebesar 11 persen pada 2007. Jumlah tersebut jauh di bawah sektor keuangan yang kontribusi terhadap GDP mencapai lebih dari 20 persen. Beberapa negara lain pun mengalami fenomena yang serupa ketika kontribusi sektor industri terhadap perekonomian negaranya terus mengalami penurunan. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa deindustrialisasi adalah sebuah keniscayaan yang pasti akan dialami oleh seluruh negara industri di dunia. Tetapi, deindustrialisasi yang terjadi di Indonesia saat ini dianggap sebagai suatu fenomena yang terlalu cepat terjadi. Gambar 3.1. Pertumbuhan & Kontribusi Sektor Industri Pengolahan Non-migas

Sumber: Kementerian Perindustrian (2008)

23

OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

Dari Gambar 3.1 dapat dilihat bahwa terjadi penurunan persentase dukungan sektor industri terhadap perekonomian Indonesia secara bertahap sejak 2001. Setelah krisis ekonomi 1998 hingga 2001 kontribusi industri pengolahan nonmigas terhadap PDB meningkat dari 21,52 persen menjadi 25,21 persen. Namun, kontribusi industri pengolahan nonmigas ini kemudian terus mengalami penurunan hingga mencapai nilai 22,40 persen pada 2007. Hal tersebut menunjukkan adanya fenomena deindustrialisasi dini pada industri pengolahan nonmigas di Indonesia.

3.2.2. Industri Berbasis Lokal dan Industri Komponen Impor Tinggi Sejak deregulasi pada 1980, sektor industri Indonesia meningkat pesat. Pertumbuhan rata-rata sektor industri manufaktur selama periode 1988 hingga 1993 mencapai 17,53 persen, lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan ekonomi (Abimanyu dan Xie, et.al., 1995). Pada saat itu, dampak oil boom yang diraup oleh Indonesia disalurkan untuk mengembangkan sektor industri yang juga didukung oleh berbagai insentif dari pemerintah untuk membangun infant industries, salah satunya adalah kebijakan import-substitution. Melalui kebijakan ini, pemerintah membangun industri berbasis lokal untuk memenuhi kebutuhan domestik sebagai barang substitusi barang impor. Pada 1990-an, perkembangan industri dengan teknologi semakin meningkat seiring dengan semakin meningkatnya FDI pada sektor industri tersebut. Beberapa industri yang pesat perkembangannya ketika itu adalah industri produk elektronik, industri kimia dan farmasi, industri otomotif, dan industri mesin. Dengan kebijakan berorientasi keluar (outward looking), ekspor produk industri bersangkutan meningkat seiring meningkatnya produksi pada sektor industri tersebut. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa ketergantungan industri dengan tingkat teknologi yang tinggi terhadap barang impor sebagai inputnya sangat tinggi. Dhanani (2000) menyatakan bahwa pada industri manufaktur produk elektronik, proporsi komponen input yang diimpor adalah sebesar 90 persen. Sementara itu, Modjo (2009) mengatakan bahwa proporsi komponen impor

24

OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

pada industri listrik dan industri peralatan lainnya adalah sebesar 32,9 persen dan 31,2 persen. Tabel 3.1 menunjukkan besarnya proporsi komponen input pada beberapa industri manufaktur. Dapat dilihat bahwa pada sektor industri yang bersifat labor intensive dan low technology, seperti industri tekstil dan pakaian, industri karet dan plastik, serta industri pengolahan minyak dan batubara, hanya mengandung komponen impor sebesar 14,5 persen, 13,5 persen, 13,4 persen dan 10,9 persen. Sehingga, sektor industri tersebut tergolong industri berbasis lokal. Tabel 3.1. Proporsi Komponen Impor pada beberapa Industri Manufaktur
Industri Industri peralatan telekomunikasi industri peralatan rumah tangga dan kantor industri listrik industri peralatan lain-lain industri kimia dasar industri metal industri kendaraan roda empat industri mesin dan peralatan berat industri produk metal industri alat angkut lainnya industri tekstil dan pakaian industri karet dan plastik industri pengolahan minyak dan batu bara industri kertas dan produk kertas Sumber: Modjo (2009), dalam Proyeksi Ekonomi 2010 Komponen Impor (persen) 63,7 56,7 32,9 31,2 30,1 30,0 28,3 26,8 16,6 14,9 14,5 13,5 13,4 10,9

Jika merujuk pada data impor barang pada neraca pembayaran, impor bahan baku atau bahan penolong industri memiliki proporsi yang sangat besar dibandingkan barang konsumsi, barang modal, dan barang lainnya. Gambar 3.2 menunjukkan impor barang pada transaksi berjalan selama periode 2008 hingga 2009. Terlihat jelas bahwa proporsi terbesar pada barang impor yang masuk ke

25

OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

Indonesia adalah barang baku atau barang penolong untuk industri, yaitu berkisar 70 persen hingga 75 persen. Kemudian disusul oleh barang modal untuk industri, yaitu 12,18 persen pada 2008, 18,23 persen (2009), dan 16,31 persen (2010). Sedangkan proporsi barang konsumsi hanya berkisar 12 persen pada 2010. Hal ini menegaskan bahwa industri nasional memiliki ketergantungan terhadap impor bahan baku atau bahan penolong. Gambar 3.2. Proporsi Impor Barang menurut Kategori Ekonomi

Sumber: SEKI BI, Diolah

Tidak hanya input komponen, namun juga impor barang modal, seperti peralatan dan mesin, juga memiliki proporsi yang besar pada sektor industri dengan teknologi tinggi. Pasalnya, industri dalam negeri belum mampu memproduksi komponen dan barang modal yang diperlukan industri manufaktur dengan teknologi tinggi, seperti industri produk elektronik dan industri otomotif. Sehingga, tingginya ketergantungan industri nasional, terutama pada industri teknologi tinggi, terhadap impor input bahan mentah, input antara, dan komponen, serta barang modal menjadi salah satu faktor yang menyebabkan sektor industri Indonesia kurang kompetitif. Sementara itu, Industri otomotif merupakan salah satu industri yang membutuhkan impor bahan baku/bahan penolong dan barang modal paling

26

OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

besar di antara sektor industri nonmigas. Tabel 3.2 menunjukkan nilai impor nonmigas untuk industri otomotif memegang proporsi tertinggi, yatu 42 persen impor industri digunakan dalam proses produksi sektor tersebut. Sedangkan sektor industri elektronika dan industri kimia dasar juga memiliki proporsi besar dalam mengimpor bahan baku atau penolong nonmigas, yaitu masing-masing sebesar 14 persen dan 11,31 persen. Tabel 3.2. Nilai Impor 12 Besar Industri Nonmigas (Juta US$)
NO URAIAN 2009 66,803.5 2010 93,173.6 Peran (%) 92.15 Jan - Mei 2010 34,769.4 2011 44,411.8 Perub (%) 27.73

12 BESAR IMPOR INDUSTRI NONMIGAS

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

Besi Baja, Mesin-mesin dan Otomotif Elektronika Kimia Dasar Tekstil Makanan dan Minuman Alat-alat Listrik Pulp dan Kertas Barang-barang Kimia lainnya Makanan Ternak Pengolahan Tembaga, Timah dll. Plastik Pupuk Industri Lainnya

31,683.8 10,496.7 8,095.1 3,396.9 2,810.6 2,105.8 1,883.2 1,661.9 1,679.1 1,027.1 1,034.0 929.1 5,594.5

43,218.6 14,176.2 11,431.5 5,031.2 4,514.2 3,142.8 2,731.8 2,199.3 1,871.6 1,822.1 1,525.1 1,509.2 7,941.8

42.74 14.02 11.31 4.98 4.46 3.11 2.7 2.18 1.85 1.8 1.51 1.49 7.85

16,037.7 5,089.3 4,458.7 1,761.9 1,767.7 1,235.8 1,016.0 811.6 733.4 703.7 537.9 615.5 2,950.9

18,952.2 6,216.4 6,346.5 2,936.3 2,826.0 1,363.1 1,314.2 1,040.4 826.5 894.4 763.2 932.5 3,890.4

18.17 22.15 42.34 66.65 59.86 10.3 29.35 28.18 12.7 27.09 41.88 51.5 31.84

Total Industri Nonmigas

72,398.10

101,115.40

100

37,720.30

48,302.10

28.05

Sumber: BPS, diolah Kemenperin

Ironisnya, data pada Tabel 3.2 menunjukkan bahwa sektor industri yang bersifat labor intensive dan berbasis lokal seperti industri tekstil, industri makanan dan minuman, industri pulp dan kertas, industri makanan ternak, dan industri pengolahan tembaga dan timah ternyata juga tidak lepas dari impor bahan baku dan penolong, walaupun proporsinya kecil dibandingkan industri

27

OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

yang bersifat high technology. Menurut Dhanani (2000), industri berbasis lokal, seperti industri makanan, industri pulp dan kertas, menjadi industri andalan dan berkembang cepat. Tetapi, perkembangan industri berbasis lokal tidak disertai dengan pengembangan medium dan high technology dalam proses produksinya. Sehingga, tidak heran bahwa industri tersebut masih membutuhkan bahan baku impor.

3.2.3. Urgensi Pencapaian Target Rencana Strategis 2010-2014 Studi Dani Rodrik (2006) dari Harvard University tentang pengembangan industrialisasi menunjukkan bahwa negara yang pertumbuhan ekonominya tinggi adalah negara yang memiliki sektor industri pengolahan/manufaktur yang aktif dengan korelasi kuat antara tingkat kecanggihan industri dengan pendapatan per kapita yang tinggi. Sektor industri yang berkembang tidak lagi tergantung pada bahan baku tertentu karena makin terbukanya perdagangan internasional. Perekonomian yang maju membutuhkan diversifikasi dan industrialisasi akan mendorong forward-linkage serta backward-linkage di berbagai sektor penyedia faktor input dan pengguna output industri. Ekonom Korea, Jee-Hyeong Park (2010), menjelaskan pertumbuhan ekonomi tinggi yang dialami negara-negara Asia Timur dengan menarik hubungan kuat antara industrialisasi dan peningkatan competitiveness dalam studinya berjudul Trade Induce Industrialization and Economic Growth. Negara berkembang dapat mengambil strategi untuk mengekspor produk yang labor intensive ke negara inudstri maju dan menggunakan hasil penjualan untuk membeli mesin dan peralatan demi membangun industri capital intensive secara bertahap. Perdagangan akan memacu industrialisasi dan menunda diminishing return sampai tercapainya sektor industri yang matang. Sudah menjadi kesepahaman umum bahwa sektor industri memiliki peranan dan fungsi strategis dalam perekonomian suatu negara. Konsensus ini pun diamini oleh Arthur Lewis pada 1954 melalui risetnya yang menjabarkan bahwa penyerapan tenaga kerja dari sektor pertanian memiliki keterbatasan ekspansi serta nilai tambah yang rendah dibandingkan sektor industri. Pemikiran

28

OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

ini menjadi pencetus dan pondasi dari cabang ilmu ekonomi pembangunan yang fokus pada transformasi ekonomi negara berkembang menjadi negara maju. Sayangnya, transformasi untuk menjadi negara industri di Indonesia bukan tanpa masalah. Persoalan tarik ulur kepentingan dalam mengelola sumber daya yang tersedia, untuk kebutuhan domestik atau ekspor; daya saing di pasar internasional yang relatif lemah; variabilitas dan intensitas produk dan negara tujuan ekspor yang minim; impor barang konsumsi dan bahan baku penolong yang meningkat drastis; serta terlalu terkonsentrasinya industrialisasi di Pulau Jawa merupakan beberapa masalah serius dalam melakukan transformasi menjadi negara industri. Berbagai permasalahan tersebut menjadi pendorong diperlukannya percepatan dan perluasan industrialisasi di Indonesia. Lebih dari itu, percepatan dan perluasan industrialisasi juga penting untuk mencapai target pertumbuhan industri sesuai dengan Rencana Strategis Kementerian Perindustrian 2010-2014 serta mencegah berlanjutnya deindustrialisasi dini. Percepatan dimaknai sebagai upaya untuk memperpendek rentang waktu target pencapaian, sementara perluasan berarti pendistribusian pusat-pusat industri baru di luar Jawa, terutama mendekatkan ke sumber bahan baku. 3.2.4. Peranan Industri dalam Penyerapan Tenaga Kerja Selain sebagai sektor yang menjadi penyumbang PDB, sektor Industri juga memiliki peranan yang lain dalam perekonomian suatu negara, yaitu sebagai sektor yang mampu menyerap tenaga kerja di negara tersebut. Pentingnya industri dalam hal penyerapan tenaga kerja tidak hanya terletak pada kapasitasnya dalam melakukan penyerapan tenaga kerja. Tetapi lebih dari itu, perlu diingat bahwa nilai tambah dan pendapatan di sektor industri umumnya lebih tinggi dari kedua sektor tersebut. Hal tersebut nyata terlihat pada Tabel 3.3 dengan membagi output tiap sektor dengan jumlah tenaga kerja di sektor tersebut. Dari Tabel 3.3, dapat dilihat bahwa industri pengolahan memiliki nilai tambah sebesar 11,4 juta per orang. Nilai tersebut adalah yang terbesar kedua setelah sektor keuangan dan real estate yang memiliki nilai tambah 28,3 juta per orang.

29

OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

Tabel 3.3. Nilai Tambah Pekerja, 2011


Lapangan Usaha Pertanian Industri Pengolahan Konstruksi Perdagangan Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan & Real estate Jasa Lainnya
Sumber : BPS, 2011

Nilai Tambah (juta rupiah per orang) 1,9 11,4 7,1 4,7 10,5 28,3 3,4 31,7

Tetapi, tidak dapat dipungkiri bahwa sektor industri di Indonesia belum mampu melakukan penyerapan tenaga kerja dalam jumlah yang besar. Selama kurun waktu 2005 hingga 2011, penyerapan tenaga kerja masih didominasi sektor pertanian sebesar 40,8 persen diikuti sektor perdagangan, hotel dan restoran 20,4 persen, jasa sosial 12,7 persen, dan sektor industri pengolahan hanya berkontribusi sebesar 12,5 persen. Kontribusi sektor industri dalam penyerapan tenaga kerja di Indonesia memang tidak terlalu besar sejak 1996, di mana persentase penyerapannya berada pada kisaran 12-13 persen. Gambar 3.3. Persentase Penyerapan Tenaga Kerja Berdasarkan Sektor

Sumber: Mudrajad Kuncoro (2011)

30

OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

Dalam periode dua tahun terakhir analisa pada sisi penyerapan tenaga kerja menunjukkan bahwa sektor industri menyerap tambahan sekitar 660 ribu tenaga kerja. Kondisi ini menempatkan industri sebagai nomor tiga dalam menyerap tenaga kerja di bawah jasa dan perdagangan. Tabel 3.4. Perkembangan Penyerapan Tenaga Kerja Sektoral
Sektor 2010 Feb Pertanian Industri Pengolahan Konstruksi Perdagangan Transportasi, Pergudangan & Komunikasi Keuangan Jasa Kemasyarakatan Lainnya Total Sumber: Diolah dari BPS, 2011 Keterangan: Dalam juta orang 42,8 13,1 4,8 22,2 5,8 1,6 15,6 1,4 107,4 Ags 41,5 13,8 5,6 22,5 5,6 1,7 16,0 1,5 108,2 2011 Feb 42,5 13,7 5,6 23,2 5,6 2,1 17,0 1,6 111,3 Ags 39,3 14,5 6,3 23,4 5,1 2,6 16,7 1,6 109,7 Feb 39,9 12,2 4,5 20,7 5,4 1,5 14,5 1,3 Share (persen) 2010 Ags 38,3 12,8 5,2 20,8 5,2 1,6 14,8 1,4 2011 Feb 38,7 12,2 5,0 20,7 5,0 1,8 15,2 1,4 Ags 35,8 13,2 5,7 21,3 4,6 2,4 15,2 1,5 -

3.3.

Potensi Agroindustri

3.3.1. Dukungan Sumber Daya Alam Sumber daya alam yang terdiri dari sumber daya pertanian dalam arti luas di Indonesia merupakan salah satu keunggulan yang secara sadar telah dijadikan salah satu pilar pembangunan dalam bentuk agroindustri, baik pada era Orde Baru maupun Reformasi. Dalam GBHN 1999-2004 pun ditegaskan bahwa salah satu strategi pembagunan industri adalah industri yang berbasis sumber daya lokal. Salah satu di antaranya adalah agroindustri (Anonymous, 1999).

31

OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

Sejak era reformasi, salah satu isu yang mengemuka dalam pembangunan ekonomi nasional adalah perlunya shifting paradigma agar pembangunan lebih berbasis pada pertanian dalam arti luas sehingga industri yang seharusnya dikembangkan adalah industri manufaktur berbasis pertanian (agroindustri). Alasan pemilihan mengembangkan agroindustri karena Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber daya alam yang menyebar secara rata di seluruh penjuru tanah air. Hasil komoditas pangan dan perkebunan yang melimpah di Indonesia dapat dijadikan modal yang sangat besar untuk membangun agroindustri yang kuat dan berdaya saing tinggi di dunia. Berdasarkan data yang terhimpun dalam Organisasi Pangan Dunia (FAO), Indonesia merupakan salah satu penghasil komoditas pangan dan perkebunan terbanyak di dunia. Tercatat sedikitnya 50 komoditas pangan dan perkebunan yang produksinya masuk dalam ranking 10 besar di dunia (Tabel 3.5). Kekayaan alam yang melimpah telah menempatkan Indonesia menjadi sebuah negara yang memiliki banyak modal dan peluang untuk mengembangkan industri berbasis pertanian yang kuat dan berdaya saing. Namun kenyataannya saat ini kekayaan alam yang kita miliki belum dimanfaatkan secara optimal untuk kepentingan pembangunan ekonomi nasional yang kuat dan berkelanjutan. Pengembangan agroindustri diyakini akan berdampak pada penciptaan kesempatan kerja seluas-luasnya sekaligus menciptakan pemerataan pembangunan. Diakui atau tidak, ekonomi Indonesia sekarang mempunyai masalah yang krusial dalam bidang pengangguran dan kemiskinan. Titik lemah perekonomian kita adalah pergerakan sektor riil tidak optimal sehingga kesempatan kerja terbatas. Padahal sebagian besar penduduk miskin berada pada sektor ini, khususnya pertanian dalam arti luas. Oleh karena itu, diperlukan keberanian pemerintah melakukan terobosan strategi menjadikan agroindustri sebagai lokomotif ekonomi untuk menarik sektor lainnya.

32

OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

Tabel 3.5. Ranking Komoditas Pangan Indonesia di Dunia, 2009


Ranking 1 1 1 1 1 1 1 1 1 2 2 2 2 2 3 3 3 3 3 3 3 4 4 4 4 Serat Kapuk Kayu manis (canella) Bebih kapuk di Shell Palm kernels Kelapa Vanilla Palm oil Daun bawang dan sejenisnya Cengkeh Lada (Piper spp.) Kacang Hijau Kacang-kacangan Biji Kakao Karet Alam Jahe Pepaya Singkong Tanaman gula (Sugar crops) Beras, Padi Akar dan umbi, nes Other bird eggs,in shell Jagung Buah segar tropical Manila Fibre (Abaca) Cabai dan paprika hijau Komoditi Ranking 4 4 4 4 4 5 5 5 5 6 6 6 6 6 7 7 8 8 8 9 10 10 10 10 10 Alpukat Mangga, Jambu, mangosteens, Kentang manis Kopi hijau Nanas Bayam Pala, fuli dan kapulaga Buah-buahan segar Kacang pinang Pisang Terong Kubis dan brassica lainnya Kacang mete Tembakau, unmanufactured Teh Daging ayam asli kacang tanah Jagung hijau Telur ayam Daging kamibing asli Jeruk kedelai Tebu Ketimun dan ketimun acar Serat lainnya Komoditi

Sumber: FAO, 2011

3.3.2. Daya Saing Komparatif Agroindustri Indonesia di Pasar Global (Pendekatan Revealed Comparative Advantage) Seperti yang telah diketahui, keunggulan komparatif perekonomian Indonesia adalah besarnya potensi sumber daya alam terbarukan (renewable

33

OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

resources) dan pengalaman agroindustri sebagai penyelamat ekonomi kita selama krisis. Hasil kajian akhir 2007 IPB, menunjukkan prospek agroindustri 2008 cukup cerah mengingat adanya tren kenaikan harga dan peluang pasar global sangat besar. Salah satu pendekatan untuk mengukur daya saing komparatif suatu komoditas adalah dengan menggunakan perhitungan RCA. Tabel 3.6 menunjukkan rekapitulasi nilai RCA komoditas-komoditas pada subsektor agroindustri Indonesia pada 2010. Berdasarkan nilai RCA tersebut, terlihat Indonesia masih mengandalkan resources abundance dan ketergantungan pada sumber daya alam, di mana nilai RCA-nya yang lebih besar dari satu (RCA > 1). Komoditas yang termasuk kategori hasil pertanian dalam arti luas, pertambangan dan penggalian secara umum memiliki nilai RCA yang lebih dari satu (RCA > 1). Komoditas tersebut antara lain perikanan, sayuran, kopi, teh, cengkeh, biji kakao, tembakau, minyak nabati (CPO), karet, tembaga, nikel, timah, minyak mentah (minyak bumi), kayu, pulp dan lain-lain. Nilai RCA selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran. Komoditas yang tergolong hasil produksi industri manufaktur juga ada yang memiliki daya saing tinggi (RCA > 1). Produk-produk tersebut pada umumnya merupakan turunan atau produk olahan dari hasil-hasil pertanian. Produk tersebut antara lain sabun, pelumas, lilin (produk turunan CPO), chemical products, barang dari kayu, tekstil dan produk tekstil, alas kaki, barangbarang furnitur, peralatan musikal dan lain-lain. Nilai RCA yang mencerminkan daya saing komparatif komoditas Indonesia di pasar global sebenarnya dipengaruhi oleh peranan ekspor Indonesia terhadap suatu komoditas tertentu di dunia. Semakin besar pangsa ekspor Indonesia di dunia, maka semakin baik daya saing komparatifnya di dunia. Salah satu komoditas yang mempunyai pangsa ekspor besar di dunia adalah lemak hewan, minyak nabati dan produk turunannya, termasuk di dalamnya CPO (HS 15), yakni sebesar 20,11 persen dari total dunia dan komoditas timah (HS 80) sebesar 28,11 persen dari total ekspor timah dunia.

34

OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

Tabel 3.6. Daya Saing Komparatif Komoditas Indonesia Tahun 2010


Kode HS '11 '12 '13 '14 '15 '16 '17 '18 '19 '20 '21 '22 '23 '24 '33 '34 '39 '40 '41 '42 '43 '44 '46 '47 '48 '49 '50 '51 '52 '53 '54 '55 '56 '57 '58 '59 '60 '61 '62 '63 '64 '94 Jenis Komoditas Bagian dari Total Ekspor (%) 0.12 0.03 0.03 10.34 0.35 0.11 1.04 0.28 0.12 0.24 0.05 0.22 0.43 0.10 0.41 0.03 5.94 0.08 0.16 0.00 1.86 0.00 0.93 2.65 0.03 0.00 0.00 0.48 0.01 0.78 1.32 0.07 0.04 0.03 0.08 0.06 1.83 2.29 0.14 1.59 0.02 0.23 Indonesia Bagian dari Ekspor Dunia (%) 0.33 0.28 0.77 5.81 20.11 1.46 0.40 4.31 0.93 0.40 0.80 0.08 0.61 1.94 0.53 1.38 0.45 5.58 0.41 0.47 0.01 2.73 2.02 3.34 2.46 0.12 0.00 0.04 1.29 0.27 3.00 6.14 0.58 0.40 0.41 0.56 0.35 1.58 2.12 0.45 2.52 1.20 Nilai RCA 0.32 0.27 0.74 5.54 19.15 1.39 0.38 4.10 0.88 0.38 0.76 0.08 0.58 1.85 0.50 1.31 0.42 5.32 0.39 0.45 0.01 2.60 1.92 3.18 2.34 0.11 0.00 0.03 1.23 0.25 2.85 5.84 0.56 0.38 0.39 0.54 0.34 1.50 2.02 0.42 2.40 1.14

Produk penggilingan, malt, pati, inulin, gluten gandum Minyak biji, buah-buahan oleagic, gandum, biji, buah, dll Lac, gums, resins, vegetable saps and extracts nes Vegetable plaiting materials, vegetable products nes Lemak Hewan, minyak nabati dan produk turunannya Meat, fish and seafood food preparations nes Sugars and sugar confectionery Kakao dan olahannya Cereal, flour, starch, milk preparations and products Sayuran, buah, kacang, dan olahan makanannya Miscellaneous edible preparations Beverages, spirits and vinegar Residues, wastes of food industry, animal fodder Tobacco and manufactured tobacco substitutes Essential oils, perfumes, cosmetics, toileteries Soaps, lubricants, waxes, candles, modelling pastes Plastics and articles thereof Rubber and articles thereof Raw hides and skins (other than furskins) and leather Articles of leather, animal gut, harness, travel goods Kulit berbulu dan bulu tiruan, serta olahannya Wood and articles of wood, wood charcoal Manufaktur dari bahan anyaman Pulp of wood, fibrous cellulosic material, waste etc Paper & paperboard, articles of pulp, paper and board Printed books, newspapers, pictures etc Silk Wool, animal hair, horsehair yarn and fabric thereof Cotton Vegetable textile fibres nes, paper yarn, woven fabric Manmade filaments Manmade staple fibres Wadding, felt, nonwovens, yarns, twine, cordage, etc Carpets and other textile floor coverings Special woven or tufted fabric, lace, tapestry etc Impregnated, coated or laminated textile fabric Knitted or crocheted fabric Articles of apparel, accessories, knit or crochet Articles of apparel, accessories, not knit or crochet Other made textile articles, sets, worn clothing etc Footwear, gaiters and the like, parts thereof Furniture, lighting, signs, prefabricated buildings

Sumber: International Trade Statistic, 2011 (diolah)

35

OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

Daya saing ekspor komoditas agroindustri harus lebih ditingkatkan. Peningkatan daya saing ekspor komoditas agroindustri mutlak harus dilakukan untuk melakukan penetrasi di pasar internasional. Strategi ini dapat ditempuh dengan pemetaan beberapa komoditas unggulan terlebih dulu, kemudian menyiapkan sejumlah strategi fungsional dan operasional pendukungnya. Dengan demikian, kebijakan yang dibuat pemerintah diharapkan lebih fokus, sistematis, dan tepat sasaran.

3.3.3. Perkembangan Permintaan Produk Agroindustri Indonesia Permintaan terhadap produk-produk agroindustri cenderung mengalami peningkatan. Hal ini bisa dipahami karena produk agroindustri merupakan bahan pangan dan sumber nutrisi yang dibutuhkan bagi manusia. Kebutuhan hasil-hasil agroindustri selalu meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk di dunia. Salah satu indikator yang menunjukkan terjadi peningkatan permintaan produk agroindustri adalah terjadinya peningkatan produksi, peningkatan volume serta nilai ekspor dan impor. Tabel 3.7 menunjukkan nilai produksi pada subsektor agroindustri di Indonesia selama 2005-2010. Terlihat bahwa nilai produksi subsektor ini selalu meningkat setiap tahunnya. Rata-rata peningkatan produksi selama 2005-2010 sebesar 27,98 persen, di mana peningkatan terbesar terjadi pada 2010. Tabel 3.7. Nilai Produksi Subsektor Agroindustri Indonesia
Tahun 2005 2006 2007 2008 2009* 2010** Rata-rata Produksi (Rp Juta) 411,019,038 485,402,825 620,632,108 787,789,274 822,730,123 1,337,482,511 744,175,980 Pertumbuhan 18.10 27.86 26.93 4.44 62.57 27.98

*) Angka sementara **) Angka Sangat Sementara Sumber: Kementerian Perindustrian, 2011

36

OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

Hal yang perlu digarisbawahi adalah subsektor ini ternyata mampu bertahan bahkan terus meningkat disaat sedang terjadi krisis global sekitar 2008. Semakin meningkatnya produksi subsektor ini, menunjukkan bahwa telah terjadi peningkatan permintaan terhadap produk-produk agroindustri di dalam dan luar negeri. Indikator lain yang menunjukkan terjadinya peningkatan permintaan produk agroindustri adalah ekspor dan impor. Tabel 3.8 menunjukkan nilai ekspor dan impor subsektor agroindustri selama 2007-2011. Meskipun sempat terjadi penurunan ekspor dan impor pada 2009, namun secara umum ekspor dan impor subsektor ini mengalami peningkatan. Rata-rata peningkatan ekspor sebesar 7,51 persen dan rata-rata peningkatan impor sebesar 8,54 persen selama kurun waktu 2007-2011. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan permintaan produk agroindustri terjadi tidak hanya di pasar domestik namun juga di pasar internasional. Tabel 3.8. Nilai Ekspor dan Impor Subsektor Agroindustri Indonesia
Tahun 2007 2008 2009 2010 2011* Rata-rata Ekspor Nilai (US$) 20,572,779,707 25,157,161,376 18,293,004,619 26,818,491,293 23,719,921,763 23,497,144,763 22.28 -27.29 46.61 -11.55 7.51 Pertumbuhan Nilai (US$) 5,844,470,959 7,488,373,976 6,618,601,151 8,790,198,909 7,456,489,961 7,588,415,999 28.13 -11.61 32.81 -15.17 8.54 Impor Pertumbuhan

*) Hingga Agustus 2011 Sumber: Kementerian Perindustrian, 2011

3.3.4. Peningkatan Keunggulan Subsektor Agroindustri Produk agroindustri memiliki keunggulan yang berbeda dengan sektor lainnya sehingga mampu memberikan sumbangan yang sangat nyata bagi pembangunan di kebanyakan negara berkembang. Hal tersebut dapat terjadi karena empat alasan, yaitu (Austin, 1992):

37

OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

Pertama, agroindustri hasil pertanian adalah pintu untuk sektor pertanian. Agroindustri melakukan transformasi bahan mentah dari pertanian, termasuk transformasi produk subsisten menjadi produk akhir untuk konsumen. Ini berarti bahwa suatu negara tidak dapat sepenuhnya menggunakan sumber daya agronomis tanpa pengembangan agroindustri. Disatu sisi, permintaan terhadap jasa pengolahan akan meningkat sejalan dengan peningkatan produksi pertanian. Di sisi lain, agroindustri tidak hanya bersifat reaktif, tetapi juga menimbulkan permintaan ke belakang, yaitu peningkatan permintaan jumlah dan ragam produksi pertanian. Akibat dari permintaan ke belakang ini adalah: (a) petani terdorong untuk mengadopsi teknologi baru agar produktivitas meningkat, (b) akibat selanjutnya produksi pertanian dan pendapatan petani meningkat, dan (c) memperluas pengembangan prasarana (jalan, listrik, dan lain-lain). Kedua, agroindustri hasil pertanian sebagai dasar sektor manufaktur. Transformasi penting lainnya dalam agroindustri kemudian terjadi karena permintaan terhadap makanan olahan semakin beragam seiring dengan pendapatan masyarakat dan urbanisasi yang meningkat. Indikator penting lainnya tentang pentingnya agroindustri dalam sektor manufaktur adalah kemampuan menciptakan kesempatan kerja. Di Amerika Serikat, misalnya, sementara usahatani hanya melibatkan 2 persen dari angkatan kerja, agroindustri melibatkan 27 persen dari angkatan kerja. Keunggulan subsektor agroindustri dapat dilihat dari kemampuannya dalam menciptakan nilai tambah. Tabel 3.9 menunjukkan nilai tambah subsektor agroindustri selama 2005-2010. Nilai tambah subsektor ini selalu meningkat kecuali pada 2008 (data 2010 masih angka sementara). Peningkatan tertinggi terjadi pada 2006, yakni sebesar 29,74 persen. Meskipun 2008 sempat mengalami penurunan karena pengaruh guncangan eksternal namun pada 2009 nilai tambah subsektor ini kembali meningkat. Dengan meningkatnya nilai tambah, maka dapat dikatakan telah terjadi peningkatan keunggulan pada subsektor agroindustri.

38

OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

Tabel 3.9. Nilai Tambah Subsektor Agroindustri


Tahun 2005 2006 2007 2008 2009* 2010** Rata-rata
*) Angka Sementara **) Angka Sangat Sementara Sumber: Kementerian Perindustrian, 2011

Nilai (Rp Juta) 396,437,988 514,342,729 598,399,645 264,842,230 323,619,699 162,496,793 376,689,847 Pertumbuhan (%) 29.74 16.34 -55.74 22.19 -49.79 -7.45

Lebih lanjut, untuk mengukur keunggulan (komparatif) komoditas agroindustri di pasar dunia dapat digunakan nilai RCA. Nilai RCA yang ditampilkan dalam Tabel 3.10 selama 3 tahun terakhir menunjukkan pergerakan keunggulan komoditas Indonesia di pasar dunia. Secara khusus, komoditas pada subsektor agroindustri memperlihatkan keunggulan yang semakin menurun di pasar dunia (RCA yang menurun). Komoditas yang mengalami penurunan keunggulan tersebut antara lain minyak hewani dan nabati, termasuk di dalamnya CPO (HS 15), daging dan produk olahan ikan (HS 16), biji kakao dan olahannya (HS 18), sabun, pelumas, lilin atau produk turunan CPO (HS 34), kayu dan barang dari kayu (HS 44), Furniture, lighting, signs, prefabricated buildings, termasuk di dalamnya industri rotan (HS 94) dan lain-lain. Selain komoditas dari pertanian dan agroindustri yang mengalami penurunan, komoditas pada sektor pertambangan dan penggalian juga mengalami penurunan, seperti tembaga dan timah. Menurunnya nilai RCA, khususnya selama 3 tahun terakhir, menunjukkan bahwa Indonesia telah kehilangan pangsa pasar di dunia. Hal itu mengakibatkan

39

OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

keunggulan komparatif Indonesia di pasar dunia mengalami penurunan dan pangsanya telah direbut oleh negara pesaing. Indonesia harus segera berbenah jika tidak ingin terus mengalami penurunan keunggulan. Strategi yang berorientasi pada peningkatan daya saing ekspor mutlak diperlukan agar dapat bersaing dalam perdagangan dunia. Secara umum, strategi pemantapan ekspor harus mengoptimalkan tiga faktor utama penentu daya saing, yaitu mutu (quality), biaya (cost) dan penyediaan (delivery). Selain itu juga harus memerhatikan karakteristik komoditas agroindustri, yaitu mudah rusak (perishable), dan bersifat musiman. Dengan demikian, strategi pemantapan daya saing ekspor yang dapat ditempuh antara lain modernisasi peralatan dan teknologi, peningkatan kapasitas SDM, diversifikasi produk-produk olahan, penguatan kelembagaan, peningkatan mutu, stabilisasi harga produk, dan pengembangan jejaring.

40

OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

Tabel 3.10. Perkembangan Nilai RCA Produk Agroindustri di Indonesia


Kode HS '11 '12 '13 '14 '15 '16 '17 '18 '19 '20 '21 '22 '23 '24 '33 '34 '39 '40 '41 '42 '43 Jenis Komoditas Milling products, malt, starches, inulin, wheat gluten Oil seed, oleagic fruits, grain, seed, fruit, etc, nes Lac, gums, resins, vegetable saps and extracts nes Vegetable plaiting materials, vegetable products nes Animal,vegetable fats and oils, cleavage products, etc Meat, fish and seafood food preparations nes Sugars and sugar confectionery Cocoa and cocoa preparations Cereal, flour, starch, milk preparations and products Vegetable, fruit, nut, etc food preparations Miscellaneous edible preparations Beverages, spirits and vinegar Residues, wastes of food industry, animal fodder Tobacco and manufactured tobacco substitutes Essential oils, perfumes, cosmetics, toileteries Soaps, lubricants, waxes, candles, modelling pastes Plastics and articles thereof Rubber and articles thereof Raw hides and skins (other than furskins) and leather Articles of leather, animal gut, harness, travel goods Furskins and artificial fur, manufactures thereof 2008 0.39 0.28 1.13 8.02 20.28 1.53 0.53 4.51 0.72 0.62 0.58 0.08 0.95 1.74 0.50 1.49 0.52 5.68 0.71 0.42 0.03 RCA 2009 0.26 0.24 0.87 7.75 19.59 1.64 0.47 4.34 0.73 0.44 0.58 0.07 0.51 1.84 0.46 1.44 0.48 4.18 0.61 0.44 0.02 2010 0.32 0.27 0.74 5.54 19.15 1.39 0.38 4.10 0.88 0.38 0.76 0.08 0.58 1.85 0.50 1.31 0.42 5.32 0.39 0.45 0.01 Kode HS '44 '46 '47 '48 '49 '50 '51 '52 '53 '54 '55 '56 '57 '58 '59 '60 '61 '62 '63 '64 '94 Jenis Komoditas Wood and articles of wood, wood charcoal Manufactures of plaiting material, basketwork, etc. Pulp of wood, fibrous cellulosic material, waste etc Paper & paperboard, articles of pulp, paper and board Printed books, newspapers, pictures etc Silk Wool, animal hair, horsehair yarn and fabric thereof Cotton Vegetable textile fibres nes, paper yarn, woven fabric Manmade filaments Manmade staple fibres Wadding, felt, nonwovens, yarns, twine, cordage, etc Carpets and other textile floor coverings Special woven or tufted fabric, lace, tapestry etc Impregnated, coated or laminated textile fabric Knitted or crocheted fabric Articles of apparel, accessories, knit or crochet Articles of apparel, accessories, not knit or crochet Other made textile articles, sets, worn clothing etc Footwear, gaiters and the like, parts thereof Furniture, lighting, signs, prefabricated buildings 2008 2.84 2.32 4.08 2.45 0.14 0.04 0.05 1.46 0.12 3.21 5.82 0.72 0.39 0.45 0.73 0.37 1.70 2.17 0.56 2.39 1.32 RCA 2009 2.71 2.04 2.97 2.33 0.11 0.01 0.04 1.32 0.23 3.20 5.77 0.65 0.38 0.45 0.64 0.37 1.67 2.11 0.45 2.24 1.24 2010 2.60 1.92 3.18 2.34 0.11 0.00 0.03 1.23 0.25 2.85 5.84 0.56 0.38 0.39 0.54 0.34 1.50 2.02 0.42 2.40 1.14

Sumber: International Trade Center 2011, diolah

41

OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

Bab 4

Komoditas Unggulan Agroindustri

Agroindustri merupakan subsektor pertanian yang diharapkan dapat berperan penting dalam kontribusinya terhadap pertumbuhan ekonomi, penerimaan ekspor, penyediaan lapangan kerja, pengurangan kemiskinan, dan pembangunan wilayah, terutama di luar Pulau Jawa. Hal ini bisa terjadi mengingat jika ditinjau dari cakupan komoditasnya, terdapat ratusan jenis tanaman tahunan dan tanaman musiman yang dapat tumbuh subur di Indonesia. Dilihat dari hasil produksinya, komoditas agro khususnya perkebunan merupakan bahan baku industri atau ekspor, sehingga pada dasarnya telah melekat kebutuhan keterkaitan kegiatan usaha dengan berbagai sektor dan subsektor lainnya. Di samping itu, jika diamati dari sisi pengusahaannya, sekitar 85 persen komoditas agro merupakan usaha perkebunan rakyat yang tersebar di berbagai daerah (Kementerian Pertanian, 2007). Dengan demikian, pembangunan industri agro akan berdampak langsung terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat. Berbagai alasan tersebut menjadi dasar bagi pentingnya pengembangan agroindustri ke depan, di mana dalam upaya percepatan dan perluasan industrialisasi di Indonesia, aspek hilirisasi perlu diutamakan pada beberapa komoditas unggulan. 43

OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri Dalam rangka percepatan dan perluasan industri agro harus ada skala prioritas, sehingga memfokuskan pada beberapa komoditas unggulan merupakan satu langkah konkret. Hal ini dilakukan agar agroindustri yang dikembangkan benar-benar menjadi industri yang berdaya saing, baik di pasar domestik maupun di tingkat internasional. Adapun kriteria yang dijadikan acuan dalam menentukan agroindustri unggulan utamanya adalah dari sisi daya saing berdasarkan RCA (Revealed Comparative Advantage). Berdasarkan indikator RCA pada 2010 kelapa sawit merupakan komoditas berdaya saing dengan nilai RCA sebesar 19,15; demikian pula nilai RCA karet 5,32; kakao 4,10; rotan 5,54; serta rumput laut 0,27. Komoditas dengan nilai RCA > 1 dinilai memiliki daya saing dalam pasar internasional. Rumput laut meskipun bernilai RCA relatif kecil, tetapi penting dikembangkan mengingat potensinya yang besar dan sejauh ini belum banyak diolah. Di samping melihat indikator daya saing, beberapa indikator lain yang digunakan untuk menetapkan komoditas unggulan antara lain adalah: (1) Potensi produksi, (2) Market share, (3) Nilai tambah bisnis, (4) Nilai tambah teknis, (5) keterkaitan ke depan dan ke belakang, (6) Potensi permintaan, dan (7) Lokasi penyebaran. Berdasarkan indikator tersebut, komoditas agroindustri yang dijadikan unggulan adalah kelapa sawit, karet, kakao, rotan, dan rumput laut. Kelapa Sawit Kelapa sawit (Crude Palm Oil/CPO) merupakan salah satu tanaman perkebunan yang mempunyai peran penting bagi subsektor perkebunan. Hilirisasi kelapa sawit antara lain memberi manfaat dalam peningkatan pendapatan petani dan masyarakat, menciptakan nilai tambah di dalam negeri, penyerapan tenaga kerja, pengembangan wilayah industri, proses alih teknologi, dan untuk ekspor sebagai penghasil devisa. Di luar itu, dari sisi upaya pelestarian lingkungan hidup, tanaman kelapa sawit yang merupakan tanaman tahunan berbentuk pohon (tree crops) dapat berperan dalam penyerapan efek gas rumah 4.1.

44

OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri kaca, seperti CO2, dan mampu menghasilkan O2 atau jasa lingkungan lainnya, seperti konservasi biodiversity atau eko-wisata (Kementan, 2007). Tanaman kelapa sawit juga menjadi sumber pangan dan gizi utama penduduk dalam negeri, sehingga keberadaannya berpengaruh sangat nyata dalam perkembangan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. 4.1.1. Potensi Produksi Produksi CPO Indonesia tumbuh signifikan rata-rata 13,4 persen selama satu dasawarsa terakhir, yang didukung oleh pertumbuhan areal tanam ratarata 6,7 persen per tahun (Tabel 4.2). Pangsa produksi CPO Indonesia di pasar internasional senantiasa menunjukkan tren peningkatan. Total produksi Minyak Sawit (CPO dan CPKO) dunia pada 2010 sebesar 53,2 juta ton, di mana Indonesia dan Malaysia menguasai 80 persen produksi minyak sawit dunia. Pangsa CPO Indonesia sebesar 43,6 persen sedangkan Malaysia sebesar 36,2 persen, sisanya sebesar 20,2 persen merupakan share sejumlah negara-negara lain (Tabel 4.1). Tabel 4.1. Pangsa Produksi CPO
No. 1. 2. 3. Negara Tahun 2010 Indonesia Malaysia Negara Lainnya Produksi Minyak Sawit (Ton) 23,2 juta 19,3 juta 10,7 juta Pangsa Produksi (Persen) 43,60% 36,20% 20,20%

Sumber: Kementerian Perindustrian, 2011

Peningkatan pangsa produksi CPO tidak lepas dari dukungan bertambahnya luas areal kebun kelapa sawit. Wilayah Pulau Sumatera merupakan kontributor terbesar produksi kelapa sawit Indonesia dengan luas lahan sekitar 70 persen dari total lahan kelapa sawit nasional. Nanggroe Aceh Darussalam memiliki luas areal 454,4 ribu ha, Sumatera Utara 258,6 ribu ha, Sumatera Barat 47,7 ribu ha, Riau 1,5 juta ha, Jambi 511,4 ribu ha, Sumatera Selatan 1,3 juta ha, Kalimantan Barat 1,2 juta ha, Kalimantan Tengah 1,4 juta ha,

45

OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri Kalimantan Timur 2,8 juta ha, Kalimantan Selatan 965,5 ribu ha, Papua 1,5 juta ha, dan Sulawesi Tengah 215,7 ribu ha (Kementerian Pertanian, 2011). Tabel 4.2. Luas Areal dan Produksi Kelapa Sawit
Tahun 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009*) 2010**) Luas Areal (Hektar) 4.158.077 4.713.435 5.067.058 5.283.557 5.284.723 5.453.817 6.594.914 6.766.836 7.363.847 7.508.023 7.824.623 Pertumbuhan Luas Areal (%) 13,4 7,5 4,3 0,0 3,2 20,9 2,6 8,8 2,0 4,2 Produksi (Ton) 7.000.508 8.396.472 9.622.345 10.440.834 10.830.389 11.861.615 17.350.848 17.664.725 17.539.788 18.640.881 23.200.000 Pertumbuhan Produksi (%) 19,9 14,6 8,5 3,7 9,5 46,3 1,8 -0,7 6,3 24,5

Sumber: Ditjen Perkebunan-Kementerian Pertanian, 2011 * = sementara ** = realisasi

4.1.2. Market Share Ekspor minyak sawit Indonesia semester I 2011 sebesar 8,20 juta metrik ton, meningkat 730 ribu metrik ton dari tahun sebelumnya (meningkat 8,9 persen). Ekspor pada semester I 2010 sebesar 7,47 juta ton metrik. Ekspor minyak kelapa sawit terdiri dari minyak sawit dan minyak kernel, dan dalam bentuk minyak mentah dan diproses. Pangsa ekspor minyak sawit di Indonesia pada semester I 2011 sebesar 92,07 persen (7,55 juta metrik ton), sedangkan pangsa minyak kernel hanya 7,97 persen (652 ribu metrik ton) [GAPKI, 2011].

46

OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri Gambar 4.1. Proporsi Ekspor Minyak Sawit Mentah dan Olahan Indonesia

Sumber: GAPKI 2011, diolah Data semester I 2011

Dari kedua jenis minyak sawit tersebut Indonesia mengekspor lebih banyak minyak mentah dibandingkan dengan minyak olahan. Berdasarkan data GAPKI (Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia) semester I 2011 ekspor minyak sawit mentah mencapai 56,02 persen, sementara minyak sawit diproses hanya 43,98 persen. Namun, apabila dibandingkan dengan ekspor 2010, persentase minyak sawit olahan mengalami penurunan, di sisi lain persentase minyak sawit mentah telah meningkat. Pada 2010, ekspor minyak sawit olahan 46,19 persen dari ekspor total minyak sawit dan minyak sawit mentah 53,81 persen. Kondisi sebaliknya terjadi pada ekspor minyak kernel, di mana ada peningkatan ekspor minyak kernel yang telah diproses, sementara minyak kernel mentah menurun. Dari 96 ribu metrik ton minyak kernel diproses (14,93 persen) pada semester I 2010 meningkat menjadi 107 ribu metrik ton (16,42 persen) pada semester I 2011. Untuk ekspor minyak kernel mentah, menurun dari 552 ribu metrik ton (85,06 persen) pada semester I 2010 menjadi 546 ribu 47

OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri metrik ton (83,58 persen) pada semester I 2011 (GAPKI, 2011). Peningkatan minyak kelapa sawit Indonesia didorong oleh kenaikan impor ke India dan China. India membeli setengah impor minyak sawit dari Indonesia dan Malaysia. India telah melampaui China sebagai pembeli terbesar di dunia minyak sawit. 4.1.3. Nilai Tambah Bisnis Dilihat dari nilai tambah bisnis, industri pengolahan CPO menjadi salah satu industri yang prospektif untuk dikembangkan ke depan. Selain untuk industri minyak makanan dan industri oleokimia, kelapa sawit dapat juga menjadi sumber energi alternatif. Kementerian Pertanian (2005) mencatat konsumsi minyak sawit domestik mencapai 50 60 persen dari produksi. Sebagian besar penggunaannya, hampir 85 persen, untuk pangan sedangkan untuk industri oleokomia hanya sekitar 15 persen. Nilai tambah ekonomi (baik nilai tambah bisnis maupun nilai tambah teknis) produk turunan CPO sangat bervariasi, tergantung dari harga bahan baku, tingkat kesulitan dalam ekstraksi produk, dan harga produk turunan di pasar. Tetapi, satu hal yang pasti, semakin dapat dimanfaatkan/dibutuhkan produk turunan tersebut, nilai tambahnya semakin tinggi. CPO yang diolah menjadi sabun mandi saja sudah menghasilkan nilai tambah sebesar 300 persen, terlebih lagi jika dapat dijadikan kosmetik yang nilai tambahnya mencapai 600 persen (Tabel 4.3). Nilai tambah CPO jika diolah menjadi minyak goreng sawit sebesar 60 persen, sedangkan jika menjadi margarin mencapai 180 persen (Kementerian Perindustrian, 2011). Oleh karena itu, pemerintah terus berusaha mendorong pengembangan produk turunan CPO, baik untuk keperluan bahan baku industri pangan maupun non pangan. Produk pangan yang dapat dihasilkan dari CPO dan CPKO, seperti emulsifier, margarine, minyak goreng, shortening, susu full krim, konfeksioneri, yogurt, dan lain-lain. Sedangkan produk non pangan yang dihasilkan dari CPO dan CPKO, seperti epoxy compound, ester compound, lilin, kosmetik, pelumas, fatty alcohol, biodiesel, dan lain-lain. 48

OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri Tabel 4.3. Jenis Industri, Perkiraan Nilai Investasi dan Nilai Tambah Industri Berbasis Minyak Sawit
No 1 2 3 4 5 6 7 Produk Olein & Stearin Fatty acids Ester Surfactant/ emulsifier Sabun mandi Lilin Kosmetik (lotion, cream), bedak, shampoo Bahan Baku CPO CPO, PKO, katalis Palmitat, Miristat Stearat, Oleat, sorbitol, gliserol CPO, PKO, NaOh, pewarna, parfum Stearat Surfaktan, ester, amida Tingkat Teknologi Menengah Tinggi Tinggi Tinggi Sederhana Sederhana Sederhana Perkiraan Investasi 200700 miliar 100 500 miliar 200-700 miliar Mulai dari kurang 1 miliar Mulai dari kurang 1 miliar 1 200 miliar Pertambahan Nilai 20% 50% 150% 200% 300% 300% 600%

Sumber: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian, 2007

Di luar itu, juga terdapat produk samping/limbah, seperti tandan kosong untuk bahan kertas (pulp), pupuk hijau (kompos), karbon, rayon; cangkang biji untuk bahan bakar dan karbon; serat untuk fibre board dan bahan bakar; batang pohon dan pelepah untuk mebel pulp paper dan makanan ternak; limbah kernel dan sludge dapat digunakan untuk makanan ternak (Kementerian Pertanian, 2011). Dengan demikian, banyak nilai tambah yang dapat dihasilkan dari sebuah tanaman bernama kelapa sawit, akan sangat disayangkan jika hanya diekspor dalam bentuk mentah. 4.1.4. Nilai Tambah Teknis Nilai tambah CPO dapat diperoleh dari pengembangannya pada industri minyak, makanan maupun industri oleokimia (Gambar 4.2). Sayangnya, sejauh ini produk hilir CPO di Indonesia belum banyak berkembang dibandingkan Malaysia, saat ini Indonesia baru memproduksi sekitar 40 jenis, sementara Malaysia sudah memproduksi lebih dari 100 Jenis (Kemenperin, 2011). Beberapa produk hilir CPO yang telah diproduksi di Indonesia antara lain: (a) Minyak

49

OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri Goreng, Margarine, Vegetable Gee (minyak Samin), Cocoa Butter Substitute (CBS), Cocoa Butter Equivalent(CBE); (b) Soap Chip, Sabun; (c) Fatty Acid, Fatty Alkohol, Glycerin; dan (d) Biodiesel. Melihat banyaknya produk turunan yang dapat dikembangkan dari komoditas CPO di atas serta nilai tambah ekonomi yang dapat dihasilkan, maka upaya hilirisasi CPO perlu disikapi secara positif. Beberapa produk turunan CPO yang potensial dikembangkan di Indonesia antara lain: Tabel 4.4. Produk Olahan Potensial Dikembangkan di Indonesia
Kategori Oleofood/pangan Produk Olahan Potensial Baking Shortening, Friying Shortening, Milk Fat Replacer, Cocoa Butter Substitutes; Cocoa Butter Equivalent, Cocoa Butter Replacer, Confectionery Fats, Ice Cream Fats, Creamer, Specialty Bakery Fats, Icing and Filling Fat, Spread Fats. Fatty acids (Stearic Acid, Oleic Acid, Palmitic Acid, Myristic Acid, Lauric Acid); Fatty Alcohol; Glycerine; Lilin (candle) Fatty Alcohol Methyl Esther Sulphate (FAMES); Fatty Alcohol Ethoxylate (FAE); Methyl Esther Sulphonate (MES); Glycerol Mono Oleate (GMO); Diethyl Oleate (DEO); Tocopherol. Tocopherol; Beta Carotene Fatty Acid Methyl Esther (FAME), FAME Euro 2 dan Euro 4 Spesification

Oleokimia

Farmasi/Kosmetik Energy

Sumber: Kementerian Perindustrian, 2011

50

OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri Gambar 4.2. Kondisi Hilirisasi Industri Minyak Sawit

Sumber: Kementerian Perindustrian, 2011

51

OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri 4.1.5. Forward-backward Linkage Berdasarkan model dan data Input-Output 2008 dapat digunakan untuk mengetahui inter-industry connectivity CPO, terutama indikator keterkaitan ke depan (forward linkage) dan keterkaitan ke belakang (backward linkage). Gambar 4.3 menunjukkan sektor yang mempunyai keterkaitan ke depan tertinggi adalah industri minyak dan lemak, kemudian kelapa sawit, industri kimia, serta industri makanan lainnya. Sedangkan sektor yang mempunyai keterkaitan langsung ke belakang tertinggi adalah sektor industri pupuk dan pestisida, disusul lembaga keuangan, kelapa sawit, bangunan, dan jasa lainnya. Gambar 4.3. Keterkaitan Komoditas CPO dengan Industri Lain

Sumber: Tabel I-O 2008

4.1.6. Potensi Permintaan Seiring peningkatan harga CPO di pasar internasional, harga produk hilirnya pun tentu juga mengalami peningkatan. Sekadar gambaran, untuk produk hilirisasi minyak goreng, harga rata-rata minyak goreng curah dan minyak goreng kemasan dalam dua tahun terakhir mengalami peningkatan cukup signifikan. Pada Februari 2011, harga rata-rata minyak goreng curah adalah Rp11.353 per kg, atau meningkat 20,3 persen jika dibandingkan dengan periode sama tahun sebelumnya sebesar Rp9.437 per kg. Demikian pula untuk 52

OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri harga minyak goreng kemasan yang mengalami peningkatan sebesar 7,5 persen, menjadi Rp11.685 per kg jika dibandingkan dengan periode sebelumnya sebesar Rp 10.875 per kg (Gambar 4.4). Menariknya, peningkatan harga salah satu produk hilirisasi CPO tersebut cukup stabil, tidak fluktuatif. Secara implisit hal ini mengindikasikan bahwa potensi investasi pengolahan CPO menjadi minyak goreng ke depan cukup menguntungkan bagi pelaku usaha, karena harga produk di pasar meningkat dengan stabil. Harga rata-rata nasional untuk minyak goreng curah relatif stabil dengan koefisien keragaman harga bulanan periode Januari 2010 sampai Februari 2011 sebesar 7,9 persen. Sedangkan koefisien keragaman harga bulanan minyak goreng kemasan dengan periode yang sama sebesar 3,2 persen (Kemendag, 2011). Nilai koefisien keragaman ini menunjukkan bahwa harga rata-rata nasional minyak goreng kemasan relatif lebih stabil dibandingkan minyak goreng curah. Gambar 4.4. Perkembangan Harga CPO dan RBD Olein Dunia dan Harga Minyak Goreng Dalam Negeri

Sumber: Kementerian Perdagangan, 2011

53

OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri Peluang investasi di sektor hilirisasi CPO akan semakin menggiurkan jika melihat posisi saat ini, di mana Indonesia merupakan negara penghasil minyak sawit (CPO/Crude Palm Oil dan CPKO/Crude Palm Kernel Oil)1 terbesar di dunia dengan produksi sekitar 23 juta ton (2010). Dari produksi tersebut India menjadi negara terbesar pengimpor minyak kelapa sawit Indonesia, di susul Uni Eropa, China dan Bangladesh (Gambar 4.5). India mengimpor 5,74 juta ton, sementara Uni Eropa, China dan Bangladesh masing-masing sebesar 3,7 juta ton, 2,4 juta ton, dan 0,63 juta ton (GAPKI, 2011). Dengan cukup melimpahnya sumber bahan baku di dalam negeri dan terbukanya peluang ekspor, maka pelaku usaha hilirisasi CPO tidak akan kesulitan mendapatkan bahan baku, terlebih jika membangun pabrik pengolahan yang dekat dengan sumber atau bahkan mengintegrasikan antara perkebunan dan pengolahan. Tentu nilai keuntungan bisnis akan lebih besar lagi jika membuat pabrik yang terintegrasi dengan kebun sawit. Gambar 4.5. Pengimpor Utama Minyak Kelapa Sawit Indonesia, 2010

Sumber: GAPKI, 2011

Crude Palm Oil (CPO) merupakan minyak berwarna kuning jingga kemerah-merahan yang mengandung asam lemak bebas 5 persen dan mengandung banyak carolene atau pro vitamin E. Sementara Crude Palm Kernel Oil (CPKO) merupakan minyak putih kekuning-kuningan yang diperoleh dari proses ekstraksi inti buah tanaman kelapa sawit yang mengandung asam lemak sekitar 5 persen (Maksi, 2007).

54

OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri Sejauh ini sebagian besar CPO dan CPKO yang dihasilkan di Indonesia masih diekspor dalam bentuk bahan mentah. Ekspor CPO mencapai 50 persen dan CPKO mencapai 85 persen, sedangkan sisanya dimanfaatkan untuk diolah di dalam negeri.2 Dengan demikian, dari sisi kompetisi potensi untuk memperoleh keuntungan dari hilirisasi CPO juga cukup prospektif karena pelaku di dalam negeri belum cukup banyak. Masih ada ruang untuk memperoleh margin dari pasar produk hilirisasi CPO di Indonesia. 4.1.7. Lokasi Penyebaran Sebaran produksi CPO ditemukan di Riau (84 unit), Sumatera Selatan (49 unit), Kalimantan Tengah (28 unit), dan Irian Jaya Barat (25 unit) [Gambar 4.6]. Kawasan Barat dan Kawasan Timur Indonesia merupakan lokasi yang masih tersedia untuk pengembangan kelapa sawit. Pada lokasi tersebut banyak ditemukan sejumlah lahan yang bervariasi, yaitu lahan berpotensi tinggi, areal berpotensi sedang, dan lahan yang berpotensi rendah. Gambar 4.6. Lokasi Penyebaran Produksi CPO

Sumber: Diolah dari Bank Indonesia dan BPS, 2008


2

Kementerian Pertanian (2005) menyebutkan setidaknya ada 320 unit pengolahan CPO dengan kapasitas sekitar 13,5 ribu TBS (Tandan Buah Segar) per jam.

55

OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri Terkait dengan lokasi penyebaran produksi CPO ini, salah satu lokus klaster yang perlu mendapat dukungan semua pihak dalam pengembangan hilirisasi CPO adalah Kawasan Industri Sei Mangkei, Sumatera Utara. Dengan mengaglomerasikan industri berbasis kelapa sawit di satu lokus klaster, maka akan tercipta efisiensi industri yang akan meningkatkan daya saing industri menuju industri kelas dunia. Beberapa produk hilir yang potensial dikembangkan secara terpadu dan terintegrasi dari hulu hilir di Kawasan Industri Sei Mangkei antara lain Minyak goreng sawit (curah dan kemasan), Margarine, Shortening, Biodiesel, Betacarotene, Tocopherol, Fatty Acids, Fatty Alcohol, Surfactan, dsb (Kementerian Perindustrian, 2011). Keunggulan Kawasan Industri Sei Mangkei sebagai lokus klaster adalah: jaminan pasokan bahan baku minyak sawit; fasilitas air bersih, listrik, dan pengolahan limbah cukup memadai; kemudahan teknis untuk integrasi industri hulu hingga hilir; terintegrasi dengan fasilitas logistik pelabuhan Kuala Tanjung, jalan rel trans Sumatera Utara; serta reputasi PTPN III sebagai pemasok bahan baku yang tersertifikasi RSPO (Roundtable Sustainable of Palm Oil). Berbagai keunggulan ini juga dapat menjadi indikator bagi daerah lain yang ingin mengembangkan produk hilir CPO, seperti di Riau (Dumai dan Kuala Enok), dan Kalimantan Timur (Maloy). Hilirisasi industri CPO merupakan investasi menarik bagi pelaku usaha dan dapat menjadi salah satu langkah tepat bagi pemerintah dalam upaya meningkatkan kontribusi industri dalam perekonomian. Selain memiliki nilai tambah teknis yang besar, berbagai produk olahan CPO juga memiliki nilai tambah bisnis yang menguntungkan. Minyak goreng, margarine, sabun, dan kosmetik merupakan sebagian kecil produk hilirisasi CPO yang sudah akrab dalam keseharian masyarakat karena beberapa merupakan kebutuhan pokok. Untuk itu hilirisasi CPO ini harus senantiasa menjadi prioritas dalam pembangunan perindustrian berbasis agro ke depan.

56

OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri 4.2. Karet

Karet merupakan salah satu komoditi perkebunan penting, baik untuk sumber pendapatan, kesempatan kerja, pendorong pertumbuhan ekonomi sentra-sentra baru di wilayah sekitar perkebunan karet, maupun pelestarian lingkungan dan sumber daya hayati. Tanaman karet merupakan tanaman perkebunan yang tumbuh subur di Indonesia. Tanaman ini menghasilkan getah karet (lateks) yang dapat diperdagangkan di masyarakat berupa lateks segar, slab/koagulasi, ataupun sit asap/sit angin. Selanjutnya, produk-produk tersebut digunakan sebagai bahan baku pabrik crumb rubber3 (karet remah), yang menghasilkan berbagai bahan baku untuk berbagai industri hilir, seperti ban, bola, sepatu, karet, sarung tangan, baju renang, karet gelang, mainan dari karet, dan berbagai produk hilir lainnya. Tersedianya lahan yang luas memberikan peluang untuk menghasilkan produksi karet alam dalam jumlah besar. Di sisi lain, produksi karet alam juga dapat ditingkatkan dengan perbaikan teknologi pengolahan karet untuk meningkatkan efisiensi, sehingga lateks yang dihasilkan dari getah bisa lebih banyak dan menghasilkan material sisa yang semakin sedikit. 4.2.1. Potensi Produksi Indonesia berada di peringkat kedua sebagai negara produsen karet alam terbesar di dunia pada 2010 dengan pangsa sekitar 28 persen dari produksi karet alam dunia. Peringkat pertama ditempati Thailand dengan pangsa produksi sekitar 30 persen dari produksi karet alam dunia. Posisi ini tidak berubah dibanding tahun sebelumnya, di mana produksi karet Indonesia pada 2009 sebesar 2,4 juta ton berada di urutan kedua dunia, sementara Thailand menempati urutan pertama dengan 3,1 juta ton, dan Malaysia di urutan ketiga dengan 951 ribu ton (Kina, 2010). Padahal kebun karet Indonesia merupakan yang terluas di dunia, yaitu mencapai 3,40 juta ha, disusul Thailand dengan 2,67
3 Crumb rubber adalah karet kering yang proses pengolahannya melalui tahap peremahan. Bahan baku berasal dari lateks yang diolah menjadi koagulum dan dari lump. Bahan baku yang paling dominan adalah lump karena pengolahan crumb rubber bertujuan untuk mengangkat derajat bahan baku mutu rendah menjadi produk yang lebih bermutu.

57

OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri juta ha dan Malaysia dengan 1,02 juta ha (Kementerian Pertanian, 2009). Ini menunjukkan bahwa produktivitas perkebunan karet Indonesia masih tertinggal dibanding pesaing utama, Thailand. Gambar 4.7. Perbandingan Produksi dan Luas Lahan Karet, 2009

Sumber: Kementerian Pertanian, dalam Majalah Kina (2010), diolah

Pemerintah telah menetapkan sasaran peningkatan produksi karet alam Indonesia sebesar 3 - 4 juta ton per tahun pada 2020. Upaya peningkatan produksi ini selain membutuhkan peningkatan produktivitas lahan tentunya juga membutuhkan insentif harga produk karet yang menguntungkan. Dari sisi harga ini, pada pertengahan 2006, karet alam dunia mencapai harga US$2,5 per kg. Harga tersebut sangat menarik bagi petani dan pelaku usaha karet lainnya. Tren peningkatan terus terjadi hingga 2008, harga karet dunia mencapai US$3,4 per kg. Ini merupakan harga karet alam tertinggi selama 50 tahun terakhir (Media Data, 2009). Sementara dari segi areal perkebunannya, Indonesia memiliki hamparan kebun karet terluas di dunia. Menurut catatan Ditjen Perkebunan, Kementerian Pertanian, sampai 2008 lalu luas areal perkebunan karet Indonesia mencapai sekitar 3,47 juta ha dengan total produksi karet alam sebanyak 2,9 juta ton. Pada 2009, luas areal perkebunan karet bertambah menjadi 3,52 juta ha dengan produksi sebanyak 3,0 juta ton (Media Data, 2009).

58

OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri 4.2.2. Market Share Karet alam termasuk 10 komoditas ekspor terbesar Indonesia dari 2008 2010, dengan nilai ekspor US$7.329,1 juta pada 2010 (UN Comtrade, 2011). Sementara dilihat dari negara tujuan ekspor, sepanjang 2005-2009 ekspor karet Indonesia dalam bentuk remah sebagian besar tertuju ke Amerika Serikat dengan rata-rata pangsa 28 persen, disusul China 16 persen, Jepang 14 persen, dan Singapura 6 persen (Gambar 4.8). Dengan pangsa ekspor ke Amerika Serikat yang cukup besar tersebut, maka wajar ketika krisis global melanda Amerika Serikat ekspor Indonesia ke negara tersebut menurun tajam. Padahal ekspor karet alam Indonesia sempat mencapai angka tertinggi pada 2007 sebesar 2,4 juta ton, namun karena krisis tersebut ekspor menurun pada 2008 menjadi 2,2 juta ton dan turun lagi pada 2009 menjadi 1,9 juta ton. Gambar 4.8. Pangsa Pasar Ekspor Karet Indonesia dalam Bentuk Remah

Sumber: BPS, Statistik Year Book 2010, diolah Pangsa berdasarkan rata-rata 2005-2009 dalam satuan berat bersih 000 ton

Ekspor karet alam Indonesia didominasi oleh jenis SIR/TSR (Standard Indonesia Rubber/Technically Specified Rubber) yang mencapai 93,6 persen dari total ekspor. Di antara karet alam jenis SIR itu, jenis karet alam yang paling 59

OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri banyak diminta oleh kalangan industri ban adalah SIR 20. Sementara itu, ekspor produk karet masih relatif kecil kendati terus memperlihatkan peningkatan. Pada 2004 nilai ekspor produk karet Indonesia mencapai US$774,9 juta dan naik menjadi US$1,5 miliar pada 2008. Produk karet yang diekspor terutama berupa ban, sarung tangan karet dan produk karet lainnya. Pada 2008 ekspor ban Indonesia mencapai US$ 934 juta, sedangkan nilai ekspor sarung tangan karet mencapai US$ 175,9 juta. Gambar 4.9. Proporsi Ekspor Karet dan Penyerapan Dalam Negeri, 2009

Sumber: Media Data 2009, diolah

Konsumsi karet alam di dalam negeri sejauh ini masih relatif kecil. Pada 2009 volume karet alam yang dikonsumsi di dalam negeri hanya sekitar 15 persen (422 ribu ton) dari total produksi karet alam nasional (Gambar 4.9). Dari jumlah konsumsi domestik itu, sekitar 55 persen di antaranya berasal dari konsumsi industri ban. Konsumsi domestik lainnya berasal dari industri vulkanisir, industri sepatu dan alas kaki, sarung tangan dan benang, produk karet industri lainnya, peralatan rumah tangga, dan peralatan olahraga.

60

OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri 4.2.3. Nilai Tambah Bisnis Prospek bisnis pengolahan crumb rubber ke depan diperkirakan tetap menarik, karena marjin keuntungan yang diperoleh pabrik relatif pasti. Marjin pemasaran berkisar antara 3,732,5 persen dari harga FOB (Free On Board), tergantung pada tingkat harga yang berlaku (Kementerian Pertanian, 2007). Tingkat harga FOB itu sendiri sangat dipengaruhi oleh harga dunia yang mencerminkan permintaan dan penawaran karet alam, dan harga beli pabrik dipengaruhi kontrak pabrik dengan pembeli/buyer (biasanya pabrik ban) yang harus dipenuhi. Pada umumnya marjin yang diterima pabrik akan semakin besar jika harga meningkat. Pemanfaatan karet alam di luar industri ban kendaraan di Indonesia masih relatif kecil, mengingat industri karet di luar ban umumnya dalam skala kecil atau menengah. Sementara itu, industri berbasis lateks pada saat ini belum berkembang karena banyak menghadapi kendala. Kendala utama adalah rendahnya daya saing produk-produk industri lateks Indonesia bila dibandingkan dengan produsen lain, terutama Malaysia. Selain itu, produktivitas karet Indonesia juga lebih rendah dibanding India, hanya sekitar 50 persen saja dari produktivitas karet di India (Kementerian Koordinator Perekonomian, 2011). Meskipun demikian, di balik tantangan inilah sesungguhnya letak peluang bisnis hilirisasi industri karet alam mengingat pasar yang cukup potensial dan kompetisi antarprodusen di Indonesia yang relatif masih terbatas. 4.2.4. Nilai Tambah Teknis Indonesia belum mampu memanfaatkan produk karet alam secara optimal. Seperti disinggung di atas (Gambar 4.9). Dari sekitar 2,9 juta ton produk karet nasional, sebanyak 85 persen diekspor dalam bentuk bahan baku (crumb rubber, sheet, lateks, dan sebagainya). Hanya sekitar 15 persen produk karet alam yang diserap oleh industri rekayasa di dalam negeri (Media Data, 2009). Kondisi ini jauh berbeda dibandingkan dengan Malaysia, di mana industri hilir dalam negeri mampu menyerap sekitar 70 persen dari total produksi negara 61

OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri tersebut (Kementerian Pertanian, 2007). Rendahnya konsumsi karet alam domestik mencerminkan belum berkembangnya industri hilir yang berbasis karet alam. Hal ini mengakibatkan perolehan nilai tambah komoditi karet masih relatif rendah. Banyak produk turunan yang dapat dikembangkan dari karet alam (Gambar 4.10). Hasil utama dari pohon karet adalah lateks, yang dapat dijual atau diperdagangkan di masyarakat berupa lateks segar, slab (koagulasi), ataupun sit asap (sit angin). Selanjutnya, produk-produk tersebut akan digunakan sebagai bahan baku pabrik crumb rubber, yang menghasilkan berbagai bahan baku untuk berbagai industri hilir seperti ban, bola, sepatu, karet busa, sarung tangan, mainan dari karet, dan berbagai produk hilir lainnya. Gambar 4.10. Pohon Industri Karet

Sumber: Kementerian Pertanian, 2007

62

OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri 4.2.5. Forward-backward Linkage Berdasarkan model dan data Input-Output 2008 dapat digunakan untuk mengetahui inter industry connectivity karet, terutama indikator keterkaitan ke depan (forward linkage) dan keterkaitan ke belakang (backward linkage). Gambar 4.11 menunjukkan sektor yang mempunyai keterkaitan ke depan tertinggi adalah industri barang karet dan plastik, kemudian karet, industri tekstil, pakaian dan kulit, serta industri kimia. Sedangkan sektor yang mempunyai keterkaitan langsung ke belakang tertinggi adalah sektor karet, disusul industri pupuk dan pestisida, industri kimia, perdagangan, serta bangunan. Gambar 4.11. Keterkaitan Komoditas Karet dengan Industri Lain

Sumber: Tabel I-O 2008

4.2.6. Potensi Permintaan Permintaan karet alam dunia cenderung meningkat dari periode 20082011 (Tabel 4.5). Peningkatan permintaan terutama dari China, India, Brazil dan negara-negara yang mempunyai pertumbuhan ekonomi tinggi di Asia Pasifik. Bahkan pada tahun 2008 dan 2010 sempat terjadi defisit permintaan karet masing-masing sebesar 47 ribu ton dan 377 ribu ton, terutama karena 63

OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri meningkatnya permintaan dari Asia Pasifik. Menurut IRSG (International Rubber Studi Group) diperkirakan akan terjadi kekurangan pasokan karet alam dalam dua dekade ke depan (Kementerian Perindustrian, 2007). Tabel 4.5. Produksi dan Konsumsi Karet Alam Dunia (ribu ton)
Produksi & Konsumsi Produksi Karet Alam Latin America Africa Asia Total Konsumsi Karet Alam North America Latin America EU-27 Other Europe Africa Asia/Oceania Total Surplus/Defisit Persediaan Karet Dunia 1.179 587 1.256 230 126 6.854 10.175 -47 1.519 790 488 829 177 94 6.984 9.329 361 1.880 280 153 289 50 26 1.700 2.496 -135 1.745 261 162 282 57 26 1.889 2.677 -406 1.339 265 152 274 62 27 2.027 2.806 98 1.437 266 147 287 58 23 2.017 2.799 66 1.503 1.071 613 1.132 227 101 7.632 10.778 -377 1.503 298 148 313 65 28 1.701 2.552 19 1.522 247 447 9.399 10.128 253 423 9.042 9.690 67 102 2.175 2.361 75 110 2.071 2.271 57 119 2.728 2.904 64 129 2.663 2.865 263 459 9.637 10.401 73 104 2.398 2.571 2008 Tahun 2009 Tahun Q1 Q2 2010 Q3 Q4 Tahun 2011 Q1

Sumber: Rubber Statistical Bulletin, Edisi Juli-September 2011

Tren peningkatan permintaan karet alam dunia mendorong kenaikan harga (Gambar 4.12). Hal ini merupakan insentif bagi produsen karet untuk meningkatkan produksinya. Pada akhir 2008, harga karet alam di pasar global sempat turun hingga ke level terendah senilai US$1,2 per kg. Hal ini disebabkan turunnya harga minyak mentah dunia serta terjadinya krisis keuangan di Amerika Serikat. Padahal, selama ini Amerika Serikat merupakan importir karet alam terbesar dunia bersama China dan Jepang. Namun, tren peningkatan harga 64

OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri kembali terjadi baik untuk karet TSR20 maupun RSS3 sejak triwulan I 2009 hingga triwulan I 2011. Gambar 4.12. Harga Karet Alam

Sumber: Rubber Statistical Bulletin, Edisi July-September 2011 SICOM = Singapore Commodity Exchange TSR = Technically Specified Rubber RSS = Rubber Ribbed Smoked Sheet

4.2.7. Lokasi Penyebaran Sejumlah lokasi di Indonesia memiliki keadaan lahan yang cocok untuk penanaman karet, sebagian besar berada di wilayah Sumatera dan Kalimantan. Dengan adanya penyebaran lahanlahan penanaman pohon karet hampir di seluruh provinsi yang ada di Indonesia saat ini akan membantu dalam pemenuhan kebutuhan karet alami dan pemenuhan industri pengolahan hasil dari pengolahan pohon karet.

65

OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri Gambar 4.13. Jumlah Lokasi Usaha Komoditas Karet

Sumber: Kementerian Perindustrian, 2007

Pengembangan industri karet di daerah Sumatera merupakan hal yang cukup realistis untuk segera diwujudkan. Dengan pangsa produksi karet alam sebesar 65 persen dari total produksi nasional ketersediaan bahan baku di wilayah ini relatif lebih terjamin (Kementerian Koordinator Perekonomian, 2011). Lebih dari itu, dengan semakin meningkatnya industri otomotif di dunia diharapkan permintaan karet alami akan semakin meningkat ke depan. 4.3. Kakao

Kakao merupakan salah satu komoditas yang memiliki peran strategis dalam menyumbang perekonomian nasional, khususnya sebagai penyedia lapangan kerja, sumber pendapatan, dan devisa negara. Komoditas ini mempunyai peluang untuk dikembangkan dalam rangka usaha memperbesar atau meningkatkan devisa negara melalui kegiatan ekspornya serta mengoptimalkan penghasilan petani kakao. Di samping itu, kakao juga berperan dalam mendorong pengembangan wilayah dan pengembangan agroindustri. Kakao menghasilkan devisa terbesar ketiga untuk kategori perkebunan setelah kelapa sawit dan karet. Devisa dari kakao pada 2010 mencapai USD 1,6 miliar. 66

OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri Indonesia adalah produsen biji kakao terbesar kedua dunia setelah Pantai Gading. Luas areal yang mencapai 1,6 juta hektar yang tersebar di seluruh provinsi dari Sabang sampai Merauke dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan banyak kakao dengan memperhatikan kualitas mutu kakao. Di samping itu, Indonesia berkesempatan dan berpeluang besar untuk memperbesar pangsa ekspornya di dunia untuk biji kakao dan produk olahan kakao, mengingat konsumsi dunia kian meningkat. Sebagai gambaran, jumlah populasi di Indonesia, India dan China sekitar 2,5 miliar jiwa. Konsumsi cokelat Asia saat ini hanya 0.06 kg/kapita/tahun. Jika ke depannya konsumsi naik menjadi 1 kg/kapita/tahun, maka permintaan kakao akan naik 2,5 juta ton/tahun. Peluang ini hanya Indonesia yang bisa merebutnya mengingat Indonesia adalah produsen kakao terbesar di Asia dan kedua terbesar di dunia.

4.3.1. Potensi Produksi Kakao termasuk salah satu komoditas perkebunan yang prospektif di dunia. Kakao yang merupakan bahan baku utama pembuat cokelat ini mengalami kecenderungan peningkatan produksi di dunia selama beberapa tahun terakhir. Bahkan diprediksi akan terus mengalami peningkatan hingga beberapa tahun ke depan. Pada 2010-2011 produksi kakao dunia telah mencapai 4,01 juta ton dan diprediksi akan mencapai 4,2 juta ton pada 20152016 (FAO, 2011). Total produksi kakao dunia pada 2009 sebesar 4.182.131 ton. Pantai Gading, Indonesia, Ghana, dan Nigeria menguasai lebih dari 75 persen produksi kakao dunia. Berdasarkan Gambar 4.14 pangsa produksi kakao Indonesia pada 2009 tercatat sebesar 20 persen, Pantai Gading sebesar 30 persen, sementara Ghana dan Nigeria masing-masing sebesar 17 persen dan 9 persen.

67

OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri Gambar 4.14. Pangsa Produksi Kakao Dunia 2009

Sumber: FAO, 2011

Di Indonesia, kakao merupakan salah satu komoditi unggulan dalam perkebunan karena memiliki potensi yang cukup besar, di samping kelapa sawit dan karet. Komoditas ini mempunyai peluang dikembangkan dalam rangka usaha memperbesar atau meningkatkan devisa negara serta penghasilan petani kakao. Di samping itu, kakao juga berperan dalam mendorong pengembangan wilayah dan pengembangan agroindustri. Pangsa produksi kakao Indonesia di dunia cenderung menunjukkan tren peningkatan (Gambar 4.15). Pertumbuhan produksi kakao cenderung meningkat setiap tahunnya. Berdasarkan Gambar 4.15, produksi biji kakao di Indonesia pada2009 mencapai 830.790 ton. Kondisi tersebut telah menjadikan Indonesia sebagai salah satu produsen kakao terbesar di dunia. Produsen terbesar kakao di dunia ditempati Pantai Gading (Cote dIvoire), yaitu sebesar 1,27 juta ton pada 2009. Sementara Ghana memiliki jumlah produksi sebesar 750.000 ton (2009). Sejak 2006 Indonesia telah melampaui Ghana sebagai negara produsen kakao kedua terbesar di dunia. 68

OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri Gambar 4.15. Produksi Kakao Pada Beberapa Negara Produsen Utama (ton)

Sumber: FAO, 2011

Produksi kakao di Indonesia pada umumnya dihasilkan dari perkebunan rakyat, selebihnya dihasilkan dari perkebunan milik Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan perkebunan swasta. Gambar 4.16 menunjukkan pangsa kepemilikan perkebunan kakao di Indonesia. Luas perkebunan rakyat mencapai 89 persen dari luas total perkebunan kakao di Indonesia. Perkebunan negara sebanyak 6 persen dan perkebunan swata sebanyak 5 persen. Gambar 4.16. Pangsa Kepemilikan Perkebunan Kakao di Indonesia

Sumber: Kementerian Perindustrian, 2011

69

OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri Pada 2010 luas total perkebunan kakao nasional mencapai 1.651.539 ha. Dengan rata-rata pertumbuhan luas lahan selama sepuluh tahun terakhir sebesar 8,28 persen. Berdasarkan Tabel 4.6, jumlah produksi kakao menunjukkan tren peningkatan. Pada 2010 jumlah produksi kakao tercatat sebesar 844.626 ton, dengan rata-rata pertumbuhan (2000-2010) sebesar 7,60 persen. Pertumbuhan jumlah produksi kakao yang lebih kecil dari pertumbuhan luas areal menunjukkan bahwa terdapat penurunan produktivitas lahan kakao. Produktivitas yang semakin menurun ini disebabkan oleh berbagai macam hal. Berdasarkan kajian yang dilakukan oleh Suryani dan Zulfebriansyah (2007), rendahnya produktivitas kakao disebabkan antara lain: a) penggunaan benih masih asal-asalan, belum banyak digunakan benih klonal, (b) masih tingginya serangan hama PBK (penggerek buah kakao), hingga saat ini belum ditemukan klon kakao yang tahan terhadap hama PBK, (c) sebagian besar perkebunan berupa perkebunan rakyat yang dikelola masih dengan cara tradisional, dan (d) umur tanaman kakao sebagian besar sudah tua, di atas 25 tahun (jauh di atas usia paling produktif 13-19 tahun). Tabel 4.6. Luas Areal dan Jumlah Produksi Kakao di Indonesia
Tahun 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010*) Luas Areal ( Ha ) 749,917 821,449 914,051 964,223 1,090,960 1,167,046 1,320,820 1,379,279 1,425,216 1,592,982 1,651,539 9.54 11.27 5.49 13.14 6.97 13.18 4.43 3.33 11.36 4.06 Pertumbuhan Luas Lahan (%) 421,142 536,804 571,155 698,816 691,704 748,828 769,386 740,006 803,594 830,790 844,626 27.46 6.4 22.35 -1.02 8.26 2.75 -3.82 8.59 0.75 4.33 0.56 0.65 0.63 0.73 0.63 0.64 0.58 0.54 0.56 0.51 Produksi (Ton) Pertumbuhan Produksi (%) Produktivitas

*) Data sementara Sumber: Ditjen Perkebunan Kementerian Pertanian, 2011

70

OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri 4.3.2. Market Share Sebagian besar produksi kakao dari Indonesia diekspor. Dari jumlah produksi sebesar 830.790 ton pada 2009, sebesar 439.305 ton untuk diekspor dalam keadaan mentah. Selebihnya diolah menjadi produk setengah jadi dan sedikit sekali yang diolah menjadi produk akhir. Kondisi ini terjadi karena industri pengolahan kakao kurang berkembang di Indonesia. Petani kakao yang sebagian besar merupakan petani rakyat juga lebih memilih menjual kepada eksportir karena pembayarannya lebih cepat. Biji kakao yang diekspor sebagian besar merupakan kakao yang diolah tanpa difermentasikan. Harga biji kakao tanpa fermentasi di pasar internasional jauh lebih rendah dari harga biji kakao yang difermentasikan. Selisih harga di antara keduanya sekitar Rp2000 2.900 per kg. Ekspor produk kakao Indonesia ke beberapa negara tujuan ditunjukkan pada Tabel 4.7. Dari data tersebut terlihat bahwa Indonesia paling banyak mengekspor produk biji kakao ke Malaysia, diikuti oleh Amerika Serikat, Brazil, Singapura, dan China. Lebih dari 40 persen biji kakao Indonesia di ekspor ke Malaysia, sementara lebih dari 20 persen diekspor ke Amerika Serikat. Tabel 4.7. Negara Tujuan Utama Ekspor Biji Kakao Indonesia
No 1 2 3 4 5 6 Negara Tujuan Malaysia United States Brazil Singapore China Negara lainnya Total 2005 156,457.00 (42.58) 107,630.50 (29.29) 27,600.00 (7.51) 30,093.00 (8.19) 15,830.00 (4.31) 29,815.30 (8.11) 367,425.80 2006 190,298.00 (38.77) 131,738.50 (26.84) 63,799.30 (13.00) 43,976.50 (8.96) 18,240.90 (3.72) 42,723.70 (8.71) 490,777.00 2007 183,172.00 (48.22) 53,224.00 (14.01) 42,087.00 (11.08) 43,683.00 (11.50) 20,746.00 (5.46) 36,917.00 (9.72) 379,829.00 2008 209,408.00 (55.03) 53,689.00 (14.11) 29,917.00 (7.86) 45,157.00 (11.87) 15,902.00 (4.18) 26,439.00 (6.95) 380,512.00 2009 183,081.00 (41.68) 120,302.00 (27.38) 41,645.00 (9.48) 55,887.00 (12.72) 7,122.00 (1.62) 31,268.00 (7.12) 439305.00

Keterangan: Angka dalam tanda () adalah pangsa Sumber: Internastional Trade Center, 2011

71

OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri Selain mengekspor, Indonesia juga mengimpor biji kakao dari beberapa negara asal (Tabel 4.8). Impor biji kakao terbesar berasal dari Ghana dengan pangsa lebih dari 30 persen, diikuti oleh Pantai Gading dan Papua New Guinea. Kualitas biji kakao dari negara-negara tersebut lebih baik dari pada biji kakao produksi Indonesia. Impor biji kakao diperlukan sebagai bahan baku untuk memproduksi kakao olahan. Hal ini dilakukan sebab biji kakao lokal tidak memenuhi syarat dijadikan bahan baku kakao turunan. Biji kakao lokal tidak difermentasikan terlebih dahulu sehingga kualitasnya tidak memenuhi syarat untuk memproduksi kakao olahan, terutama untuk menjadi cocoa butter dan cocoa powder yang pasarnya lebih luas. Tercatat sekitar 90% biji kakao di Indonesia tidak difermentasi sehingga sebagian besar industri hanya mengolah hingga menjadi cocoa butter dan cocoa cake. Tabel 4.8. Impor Biji Kakao Indonesia dari Beberapa Negara Tujuan
No 1 2 3 Ghana Cte d'Ivoire Papua New Guinea Total Negara Asal 2005 3,259.00 (6.80) 26,985.00 (56.31) 13,643.00 (28.47) 47,923.00 2006 11,138.00 (25.83) 18,141.00 (42.07) 9,187.00 (21.31) 43,119.00 2007 3,569.00 (9.10) 22,230.00 (56.68) 9,885.00 (25.20) 39,221.00 2008 932 (1.56) 33,904.00 (56.91) 9,351.00 (15.70) 59,574.00 2009 32,259.00 (42.27) 10,093.00 (13.23) 21,971.00 (28.79) 76,312.00

Keterangan: Angka dalam tanda () adalah pangsa Sumber: Internastional Trade Center, 2011

Secara ringkas, kondisi perkakaoan di Indonesia saat ini digambarkan pada Gambar 4.17. Pada 2010, produksi biji kakao sebanyak 600.000 ton. Dari jumlah produksi tersebut, sebanyak 72 persen dari total produksi biji kakao lokal diekspor ke luar negeri. Selebihnya, yaitu sebanyak 28 persen, diolah di dalam negeri dengan mengandalkan sebanyak 21 unit jumlah industri kakao dan cokelat. Produksi kakao olahan dalam negeri juga menggunakan biji kakao impor, yaitu sebanyak 24.831 ton. Hasil produksi dalam negeri tersebut,

72

OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri sebanyak 103.005 ton kakao olahan berhasil diekspor ditambah sebanyak 11.764 ton cokelat. Gambar. 4.17. Kondisi Perkakaoan Di Indonesia

Sumber: Kementerian Perindustrian, 2011

4.3.3. Nilai Tambah Bisnis Seiring dengan terus bertambahnya jumlah penduduk dunia, maka permintaan pasar untuk komoditi kakao juga akan meningkat. Ini merupakan peluang bagi Indonesia untuk terus meningkatkan produksi kakao hingga proses hilirisasinya. Salah satu cara untuk meningkatkan produksi kakao adalah dengan memperluas lahan penanaman hingga meningkatkan kapasitas produksi kakao olahan. Hal ini masih mungkin dilakukan karena masih banyak lahan yang dapat dimanfaatkan bagi usaha perkebunan kakao di Indonesia. Perkembangan dunia usaha di bidang kakao saat ini sedang mengalami kemajuan. Jumlah perusahaan industri kakao di Indonesia hingga 2011 tercatat sebanyak 21 unit. Jumlah ini bertambah setelah pemerintah menetapkan BK (bea keluar) biji kakao. Sebanyak 8 perusahaan mulai beroperasi kembali dan

73

OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri melakukan perluasan produksi. Pertumbuhan industri kakao pada 2010 tercatat sebesar 38 persen dan 2011 sebesar 30 persen (Kementerian Perindustrian, 2011). Ini merupakan berita baik dan peluang bagi pengusaha untuk bergerak di bidang industri perkakaoan. Sekitar 72 persen dari produksi kakao nasional saat ini masih diekspor dalam bentuk biji mentah, menurun dibanding tahun sebelumnya yang mencapai 80 persen biji kakao diekspor. Ini merupakan peluang bagi industri kakao untuk terus meningkatkan kapasitas produksinya karena saat ini peluang menggunakan kakao lokal menjadi semakin besar terlebih setelah penetapan BK biji kakao. Kakao yang merupakan bahan dasar untuk pembuatan Cokelat sangat dibutuhkan oleh pasar dunia, terutama di Amerika dan Eropa. Bahkan mereka mempunyai motto Tiada hari tanpa cokelat. Saat ini konsumsi cokelat tidak hanya didominasi oleh Amerika dan Eropa saja, beberapa negara di Asia juga mulai menggemari cokelat, terutama China. China dengan pertumbuhan ekonominya yang melesat tinggi dalam beberapa tahun terakhir menyebabkan pola konsumsi masyarakatnya, terutama generasi muda, mulai berubah menjadi kebarat-baratan. Mereka mulai menyukai makanan maupun minuman yang menggunakan campuran cokelat. Sehingga tidak salah jika ICCO menyatakan bahwa dalam lima tahun terakhir permintaan kakao dunia tumbuh sekitar 5 persen per tahun (konsumsi kakao dunia saat ini lebih dari 3,5 juta ton/tahun). Industri kakao di Indonesia semakin berpeluang dikembangkan karena mempunyai alasan sebagai berikut: a. Indonesia Produsen Biji Kakao No. 2 Dunia Setelah Pantai Gading dan Ghana b. Tingkat konsumsi kakao per kapita di Indonesia sekitar 0,2 kg/kapita/tahun dan jumlah penduduk Indonesia yang mencapai sekitar 240 juta jiwa dengan income per kapita mencapai + US$ 3.000 c. Keunggulan a. Melting Point Cocoa Butter Tinggi b. FFA rendah 74

OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri d. Kelemahan a. Tidak Difermentasi b. Produktivitas Masih Rendah = 0,600 Ton/Ha/Tahun e. 80 90 persen Untuk Ekspor f. Manfaat Coklat Bagi Kesehatan ---- Flavanoid a. Memperkuat Jantung b. Melancarkan Peredaran Darah c. Mengurangi Risiko Kanker g. Pasar Terbuka Luas: Indonesia, India, RRC, Eropa

4.3.4. Nilai Tambah Teknis Industri pengolahan kakao merupakan salah satu industri yang prospektif dikembangkan ke depan. Di Indonesia, kakao dan produk olahannya menunjukkan prospek yang baik. Salah satunya bermula sejak pemerintah menerapkan Bea Keluar atas ekspor biji kakao per 1 April 2010. Sejak saat itu industri kakao Indonesia mengalami peningkatan kapasitas produksi yang cukup signifikan, seperti terlihat pada Tabel 4.9. Tabel 4.9. Perbandingan Kapasitas Produksi Kakao Sebelum dan Sesudah Penetapan Bea Keluar
Keterangan Kapasitas Produksi (ton) Kenaikan
Keterangan: 2009 Sebelum Penetapan BK 2010-2011: Setelah Penetapan BK *) Prediksi Tahun 2009 2010 2011* 2012*

125,000

150,000 20%

280,000 87%

400,000 43%

Selain peningkatan produksi biji kakao, penerapan BK kakao terhadap ekspor biji kakao ke luar negeri berdampak positif terhadap tumbuhnya industri kakao dalam negeri. Sebagai ilustrasi, sebelum penerapan BK, dari 16 unit industri kakao dalam negeri, yang beroperasi hanya 5 unit. Setelah penerapan 75

OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri BK, 6 unit beroperasi kembali, 3 unit meningkatkan kapasitas terpasang, 5 unit beroperasi normal dan 1 unit diluar 16 industri merupakan investor baru. Selain itu, juga terjadi peningkatan nilai tambah kakao dalam negeri naik 26 persen; volume ekspor biji kakao menurun sekitar 20 persen untuk memenuhi bahan baku industri dalam negeri; peningkatan kapasitas terpakai industri pengolahan dari 272 ribu ton/tahun menjadi 430 ribu ton/tahun. Dengan berkembangnya industri kakao diyakini akan meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani. Dengan demikian kebangkitan industri kakao nasional juga menandai kebangkitan petani kakao, terutama produksi kakao nasional yang secara langsung maupun tidak langsung terjadi peningkatan pendapatan petani dalam negeri. Tabel 4.10. Volume dan Nilai Ekspor Biji Kakao Sebelum dan Sesudah Penetapan Bea Keluar
Komoditi Biji kakao Kakao Olahan Keterangan Sumber VOLUME (MT) 2009 439,300 82.539 2010 432,426 103,055 % -2% 25% 2009 1,090,000,000 295,000,000 NILAI (USD) 2010 1,190,000,000 406,000,000 % 9% 38%

: 2009 Sebelum Penetapan BK 2010 Setelah Penetapan BK : Kementerian Perindustrian, 2011

Pada 2010 beberapa industri yang semula mati suri mulai bangkit kembali. Namun, peningkatan kapasitas belum terlihat signifikan pada tahun ini karena perlu waktu untuk menjalankan kembali industri yang sudah berhenti beberapa tahun dan untuk industri yang ekspansi pemesanan mesin memakan waktu hingga satu tahun. Perubahan signifikan terjadi pada volume ekspor biji kakao dan kakao olahan pada 2011, seperti terlihat pada Table 3.10. Dari data di atas terlihat bahwa ekspor biji kakao pada 2010 menurun sebesar 6.868 ton (2 persen), sedangkan ekspor produk olahannya meningkat sebesar 20.516 ton (25persen).

76

OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri Keuntungan atau nilai tambah yang diperoleh pasca-penetapan Bea Keluar pada April 2010 tidak hanya keuntungan dari sisi kapasitas produksi dan volume/nilai ekspor, namun juga dari sisi penggunaan biji kakao lokal. Biji kakao lokal yang digunakan untuk produksi dalam negeri jumlahnya meningkat, sedangkan biji kakao lokal yang diekspor jumlahnya menurun. Persentase ekspor biji mengalami penurunan menjadi 72 persen pada 2010 dan terjadi peningkatan penggunaan biji kakao menjadi 28% pada 2010, seperti yang diperlihatkan pada Tabel 4.11. Tabel 4.11. Penggunaan Biji Kakao Sebelum danSesudah Penetapan Bea Keluar
Uraian Produksi Biji Kakao Ekspor Biji Kakao Biji Kakao Untuk Dalam Negeri
Keterangan : 2009 Sebelum Penetapan BK 2010 Setelah Penetapan BK Sumber : Kementerian Perindustrian, 2011

2009 (Ton) 550,000 439,305 110,695 % 100 80 20

2010 (Ton) 600,000 432,427 167,573

% 100 72 28

Dengan semakin baiknya kondisi industri kakao yang tercermin dari peningkatan produksi kakao olahan dalam negeri yang berbahan baku biji kakao lokal, maka pemerintah menargetkan pada 2015 jumlah produksi biji kakao mencapai dua kali lipat dari produksi biji kakao pada 2010 dan 2020 mencapai 2 juta ton. Realisasi dan target produksi kakao ditunjukkan pada Tabel 4.12. Tabel 4.12. Realisasi 2010 dan Target 2015 & 2020
Uraian Produksi Biji Kakao Ekspor biji Kakao Pemanfaatan biji kakao Dalam Negeri 2010 (ton) 600.000 432.427 167.573 % 72% 28% 2015 (ton) 1.200.000 600.000 600.000 % 50% 50% 2020 (ton) 2.000.000 800.000 1.200.000 % 40% 60%

Sumber: Kementerian Perindustrian, 2011

77

OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri Kebijakan pengenaan Bea Keluar biji kakao per 1 April 2010 berdampak positif yang ditandai dengan: Peningkatan kapasitas terpasang industri pengolahan kakao dan cokelat dari 531.675 ton/tahun pada 2010 menjadi 689.750 ton/tahun pada 2011, baik dari investasi baru maupun perluasan. Penerimaan Bea Keluar untuk mendukung Gerakan Nasional (Gernas) kakao yang dilakukan pemerintah sejak 2009. Program Gerakan Nasional (Gernas) untuk Peningkatan produksi dan mutu produksi kakao khususnya di wilayah Indonesia bagian Timur. Peningkatan ekspor produk olahan dari 81.993 ton (2009) menjadi 55.561 ton (Jan-Mei 2011). Penurunan Impor produk kakao olahan dari 11.767 ton (2009) menjadi 6.604 (Jan-Mei 2011). Pada 2011 peningkatan kapasitas produksi industri kakao terlihat signifikan sebagai akibat dari: 1. Beberapa industri yang sebelumnya stop produksi sudah beroperasi kembali. 2. Beberapa industri melakukan ekspansi. 3. Satu investor dari Malaysia pada tahun ini sudah mulai mengoperasikan pabriknya di Batam dengan kapasitas terpasang 65.000 ton, yaitu PT. Asia Cocoa Indonesia. Hal inilah yang mendorong peningkatan kapasitas industri sekitar 87 persen pada tahun ini. Dari beberapa industri kakao yang sempat mati suri, saat ini memang masih ada tiga industri yang belum beroperasi, yaitu : a. PT. Industri kakao utama di Kendari, pabrik ini memang belum beroperasi semenjak didirikan oleh pemiliknya. b. PT. Kopi Jaya Kakao di Makasar, pabrik ini belum beroperasi karena ada masalah internal. c. PT. Budidaya Kakao Lestari di Surabaya, pabrik ini masih melakukan persiapan untuk beroperasi kembali karena sempat berhenti beberapa tahun sehingga mereka perlu waktu merekrut karyawan, perbaikan mesin, penambahan daya listrik dari PLN, buka kembali jaringan pembelian dan pemasaran dan lainlain. Pabrik ini diperkirakan akan beroperasi awal tahun depan. 78

OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri Gambar 4.18. Pohon Industri Kakao

Sumber:: www.kadin-indonesia.or.id

79

OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri Dengan diberlakukannya BK biji kakao mendorong industri hilir melakukan ekspansi di Indonesia, contohnya PT. Nestle Indonesia yang melakukan ekspansi pabrik susu Milo dan Dancow di Pasuruan dan Karawang. Dengan akan masuknya para investor asing ke Indonesia, seperti Cargill, ADM dan JB Cocoa tidak akan memengaruhi industri kakao yang sudah ada karena pasarnya berbeda. Para investor asing memproduksi kakao olahan kelas premium untuk pasar di Eropa, sedangkan industri yang sudah ada di Indonesia umumnya memproduksi kakao olahan kelas menengah untuk pasar di negaranegara berkembang. Beberapa penjelasan dan bukti tersebut menunjukkan bahwa industri pengolahan kakao merupakan industri yang berpeluang menghasilkan keuntungan atau nilai tambah besar bagi para pelaku usaha dan pemerintah. Hal ini bisa terjadi karena selain menguntungkan dalam sudut pandang pebisnis, juga dapat memberikan efek positif bagi perekonomian nasional. 4.3.5. Backward-Forward Linkage Komoditas kakao memiliki keterkaitan penggunaan dengan komoditas lainnya. Berdasarkan data pada Tabel Input-Output 2005 dapat dilihat inter industry connectivity komoditas kakao, terutama indikator keterkaitan ke depan (forward linkage) dan keterkaitan ke belakang (backward linkage). Gambar 4.19 menunjukkan sektor yang mempunyai keterkaitan ke depan tertinggi adalah industri coklat dan kembang gula, industri biji-bijian kupasan, industri makanan lainnya, industri kakao, industri minuman tak berakohol industri obat-obatan dan restoran. Hal ini mengandung pengertian bahwa output komoditas kakao paling banyak digunakan oleh industri-industri tersebut. Sedangkan sektor yang mempunyai keterkaitan langsung ke belakang tertinggi adalah sektor ternak, industri pupuk dan pestisida, prasarana pertanian, jasa angkutan, bank dan jasa lainnya. Dengan kata lain komoditas kakao sangat membutuhkan output dari sektor-sektor tersebut dalam proses produksinya.

80

OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri Gambar 4.19. Keterkaitan Komoditas Kakao dengan Industri Lain

4.3.6. Potensi Permintaan Peningkatan produksi kakao di dunia tidak lepas dari pengaruh semakin tinggi tingkat permintaan kakao. Gambar 4.20 menunjukkan bahwa tingkat permintaan kakao dunia semakin tinggi. Hal ini dikarenakan selain semakin bertambahnya populasi dunia, minat masyarakat dunia mengkonsumsi cokelat semakin besar. Pada 2010-2011 permintaan kakao tercatat sebesar 3,77 juta ton dan bahkan hingga 2015-2016 diprediksi terus meningkat hingga 4,3 juta ton. Tingginya animo masyarakat menggemari cokelat juga tidak lepas dari banyaknya penelitian dalam beberapa tahun terakhir yang menemukan bahwa ternyata kakao banyak mengandung antioksidan yang disebut Flavonoid. Antioksidan yang terkandung dalam cokelat bahkan lebih tinggi dibanding yang terkandung di dalam teh maupun wine. Jadi cokelat pada dasarnya sangat baik untuk kesehatan manusia, terutama meningkatkan peredaran darah, memerkuat kerja jantung, mengurangi risiko kanker, dan bahkan cokelat juga mengandung zat yang bisa menimbulkan perasaan senang dan tenang sehingga dapat meredakan orang yang stres, terbukti pada saat krisis permintaan cokelat justru meningkat. 81

OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri Gambar 4.20. Permintaan Kakao Dunia (Ribu Ton)

Sumber: AIKI, 2011

Meningkatnya permintaan kakao dunia sejak awal 2000-an kadang tidak disertai peningkatan produksi yang tinggi pula. Akibat dari hal tersebut, maka terjadi defisit pada permintaan kakao dunia. Gambar 4.21 menunjukkan defisit dan surplus komoditas kakao. Pada 2006-2007, 2008-2009 dan 2009-2010 terjadi defisit kakao dunia akibat dari jumlah permintaan melebihi jumlah produksinya. Pada tahun tersebut, jumlah produksi kakao dunia mengalami pertumbuhan yang negatif. Hal ini bisa disebabkan oleh faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal yang mungkin terjadi adalah karena adanya guncangan eksternal yang menyebabkan harga kakao turun. Sedangkan faktor internal yang mungkin terjadi adalah karena produktivitas kakao menurun yang diakibatkan karena gangguan pada tanaman kakao (serangan hama). Namun, apapun penyebabnya tidaklah begitu penting, yang jelas bahwa permintaan kakao setiap tahun cenderung selalu mengalami peningkatan dan belum diimbangi oleh jumlah produksinya. Informasi ini merupakan kabar baik bagi para pelaku usaha kakao. Usaha dibidang kakao sangat memiliki peluang yang baik di masa-masa yang akan datang karena kebutuhan konsumsi kakao di dunia selalu meningkat.

82

OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri Gambar 4.21. Surplus dan Defisit Kakao Dunia (Ribu Ton)

Sumber: AIKI, 2011

Seiring dengan peningkatan permintaan dunia, harga kakao dunia pun juga menunjukkan peningkatan, khususnya selama 2003-2009 (Gambar 4.22). Rata-rata peningkatan harga kakao dunia selama perode tersebut sebesar 8,37 persen dengan capaian harga tertinggi sebesar US$ 1.865,07 per ton pada 2008. Harga kakao yang semakin meningkat merupakan insentif bagi para pelaku usaha kakao di dunia. Ini berarti peluang mengembangkan kakao, khususnya di sektor hulu, masih terbuka sangat lebar mengingat banyak nilai tambah (value added) yang dapat diperoleh, salah satunya adalah perolehan margin (keuntungan) yang besar. Gambar 4.22. Harga Kakao Dunia (US$)

Sumber: FAO, 2011

83

OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri 4.3.7. Lokasi Penyebaran Daerah sebaran sentra penanaman kakao cukup banyak dan tumbuh dengan baik di berbagai wilyah Indonesia. Daerah penghasil kakao Indonesia antara lain terdapat di Sulawesi Selatan 184.000 ton (28,26 persen), Sulawesi Tengah 137.000 ton (21,04 persen), Sulawesi Tenggara 111.000 ton (17,05 persen), Sumatera Utara 51.000 ton (7,85 persen), Kalimantan Timur 25.000 ton (3,84 persen), Lampung 21.000 ton (3,23 persen), dan daerah lainnya 122.000 ton (18,74 persen). Selain daerah-daerah penghasil kakao, Indonesia juga memiliki beberapa industri kakao yang penyabarannya cukup merata. Berdasarkan Gambar 4.23, di Jawa terdapat 8 industri kakao, sementara Sulawesi yang merupakan sentra produksi kakao hanya terdapat 6 industri kakao. Sementara di Sumatera dan Batam masing-masing terdapat 1 industri kakao. Gambar 4.23. Penyebaran Industri Kakao

Sumber:Kementerian Perindustrian, 2011

84

OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri 4.4. Rotan

Indonesia memiliki potensi besar dalam pengembangan industri rotan dunia. Potensi besar yang dimiliki oleh Indonesia dalam pengembangan industri rotan dunia disebabkan besarnya pasokan bahan baku rotan yang dimiliki oleh Indonesia. Besarnya pasokan bahan baku rotan yang dimiliki oleh Indonesia tersebut membuat Indonesia menguasi market share perdagangan rotan dunia. Besarnya kontribusi Indonesia terhadap supply bahan baku rotan di dunia tidak terlepas dari faktor kondisi geografis dari Indonesia, di mana Indonesia terletak pada daerah tropis sehingga memiliki kawasan hutan tropik yang sangat luas dan kaya akan hasil nabati. Luas dan kayanya hutan tropis Indonesia, membuat Indonesia dapat menghasilkan produksi hasil-hasil hutan dengan jumlah yang besar, tidak hanya kayu saja tetapi juga rotan. Kondisi tersebut membuat tata niaga rotan dunia sangat ditentukan oleh pasokan rotan dari Indonesia. Bahkan, beberapa negara penghasil barang olahan rotan, seperti China, sangat mengandalkan pasokan rotan dari Indonesia, di mana China mengimpor 75% bahan baku rotan dari Indonesia yang pada akhirnya diolah menjadi produk mebel untuk diekspor ke negara-negara Eropa dan Amerika Serikat dengan nilai yang jauh lebih tinggi. Sehingga dapat disimpulkan pula bahwa keberlangsungan industri rotan di China bergantung pada suplai bahan baku rotan yang dipasok dari Indonesia. Oleh sebab itu, dapat disimpulkan bahwa sebenarnya Indonesia merupakan negara yang sangat strategis dalam perdagangan industri rotan dunia. 4.4.1. Potensi Produksi Pada dasarnya potensi rotan Indonesia masih belum terberdayakan secara penuh. Sebagai gambaran, potensi rotan di Indonesia mencapai 17.217.442 ton. Tetapi, hingga saat ini baru sekitar 170 ribu ton hasil produksi rotan per tahun yang mampu diproduksi oleh industri rotan dalam negeri. Oleh sebab itu, ada potensi besar dari rotan yang belum terberdayakan. Jika pemerintah mampu mengubah potensi rotan menjadi suatu produk jadi olahan rotan, maka nilai perdagangan internasional dari industri olahan rotan dalam negeri akan dapat meningkat. Lebih dari itu, pembangunan industri rotan juga 85

OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri akan meningkatkan penyerapan tenaga kerja, mengingat panjang tata niaga rotan di dalam negeri. Walaupun memiliki potensi rotan yang besar, namun potensi tersebut belum sepenuhnya terberdayakan. Hal tersebut dapat dilihat dari masih rendahnya produksi rotan Indonesia. Dari Tabel 4.13 dapat dilihat bahwa produksi rotan Indonesia mencapai 696,9 ribu ton. Dari total produksi tersebut, 51,8 persen produksi rotan Indonesia berasal dari Sulawesi (361 ribu ton). Kalimantan sendiri memproduksi sekitar 193 ribu ton rotan per tahun atau 27,7 persen dari total produksi rotan Indonesia. Sekitar 20,5 persen produksi rotan Indonesia berasal dari daerah-daerah lain, seperti Sumatera dan Nusa Tenggara. Tabel 4.13. Potensi Produksi Rotan Indonesia
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 Provinsi Luas Hutan (hektar) 165.000 230.000 400.000 429.000 345.000 300.000 341.000 251.000 376.282 600.000 11.000 64.527 4.256.000 789.568 3.572.663 78.900 144.000 657.000 67.000 850.000 10.918.000 Potensi Produksi Rotan (ton) 49.413 49.168 188.000 64.470 2.466.388 68.751 37.680 24.598 3.017 2.310.000 7.000 16.132 5.149.081 1.542.095 2.381.701 52.590 945.418 275.000 57.000 1.530.000 17.217.442

Aceh Sumatera Utara Jambi Sumatera Barat Riau Bengkulu Sumatera Selatan Lampung Jawa Kalimantan Barat Kalimantan Selatan Kalimantan Tengah Kalimantan Timur Sulawesi Selatan Sulawesi Tengah Sulawesi Utara Sulawesi Tenggara Maluku Nusa Tenggara Irian Jaya Total Potensi Sumber: Rivai R Syam, 2006

86

OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri Dalam konteks jumlah industri rotan dan kapasitasnya, Jawa-Bali dapat dikatakan sebagai kawasan dengan kapasitas Industri terbesar di Indonesia, di mana di daerah tersebut terdapat 300 industri rotan atau lebih dari 50 persen dari total industri rotan di Indonesia. Lebih dari itu, daerah Jawa dan Bali memiliki kapasitas input yang besar, baik produksi rotan setengah jadi maupun produksi rotan jadi. Walaupun demikian, Sulawesi juga memiliki kapasitas input yang juga besar namun hanya hingga produksi rotan setengah jadi. 4.4.2. Market Share Dalam konteks market share perdagangan rotan dunia, dapat dikatakan bahwa Indonesia adalah pemain utama yang memiliki peranan yang sangat signifikan dalam perdagangan bahan baku rotan di dunia. Besarnya peranan Indonesia dalam perdagangan bahan baku rotan di dunia dapat dilihat dari Gambar 4.24. dimana dimana 37.500 ton atau 61 persen dari total produksi bahan baku rotan dunia di ekspor dari Indonesia. Myanmar berada di posisi kedua sebagai negara pengekspor rotan terbesar kedua (10.000 ton atau 16 persen). Kondisi tersebut membuat tata niaga rotan dunia sangat ditentukan oleh pasokan rotan dari Indonesia. Lebih dari itu, Cina sebagai negara yang menguasai perdagangan barang olahan rotan di dunia, hanya menguasai 5% dari total ekspor rotan bahan baku di Indonesia. Gambar 4.24. Market Share Ekspor Rotan (Volume)

Sumber: uncomtrade, 2011

87

OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri Volume perdagangan perdagangan rotan dunia pada beberapa tahun terakhir mengalami penurunan yang cukup signifikan. Pada 2000, volume impor rotan mencapai sekitar 87.500 ton. Namun, pada 2007 volume perdagangan tersebut turun menjadi 64.000 ton dan 62.000 ton pada 2008. Gambar 4.25. Volume Perdagangan Rotan Dunia (Ton)

Sumber: uncomtrade, 2011

Dari Gambar 4.26 nilai perdagangan rotan di pasar internasional mengalami fluktuasi dalam kurun waktu 2000 hingga 2008. Berbeda dengan volume perdagangan yang terus menurun, nilai perdagangan rotan internasional sempat turun pada 2002 (US$ 58 juta), kembali meningkat hingga tahun 2005, lalu kembali turun pada tahun-tahun berikutnya. Terakhir, pada 2008 nilai perdagangan rotan di dunia mencapai (US$ 60 juta). Gambar 4.26. Nilai Perdagangan Rotan Dunia (US$ juta)

Sumber: uncomtrade, 2011

88

OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri Volume ekspor Indonesia mengalami pasang surut yang disebabkan oleh kebijakan pemerintah Indonesia. Walaupun mengalami penurunan pada 2005, namun pasca-dibukanya keran ekspor, volume ekspor rotan Indonesia mengalami peningkatan sejak tahun tersebut di mana pada 2005 Indonesia mengekspor 18.000 ton ke luar negeri, lalu pada 2008 ekspor Indonesia meningkat menjadi 31.000 ton. Dari Gambar 4.27 juga dapat dilihat bahwa ekspor rotan versi pencatatan Indonesia terus mengalami peningkatan pascadibukanya keran ekspor rotan pada 2006. Gambar 4.27. Volume Ekspor Rotan Indonesia

Sumber: uncomtrade, 2011

Dalam hal negara tujuan ekspor dari rotan Indonesia, China adalah negara tujuan utama dari ekspor rotan Indonesia. Dari Gambar 4.28, dapat dilihat bahwa China menguasai ekspor bahan baku rotan dari Indonesia di mana 27.000 ton diekspor ke China. Jumlah tersebut jauh lebih besar jika dibandingkan dengan negara-negara lainnya, seperti Singapura maupun Malaysia yang jumlahnya kurang dari 5.000 ton. Sehingga dapat disimpulkan China merupakan negara tujuan utama dari ekspor bahan baku rotan yang berasal dari Indonesia.

89

OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri Gambar 4.28. Tujuan Ekspor Bahan Baku Rotan dari Indonesia, 2008

Sumber: uncomtrade, 2011

Hal yang menjadi ironis adalah China menjadi negara terbesar dalam industri rotan dunia walaupun tidak memiliki bahan baku rotan dan hanya mengandalkan bahan baku rotan yang berasal dari Indonesia. 27.000 ton yang diekspor ke China dari Indonesia dijadikan sebagai bahan baku untuk memproduksi produk-produk olahan dari industri rotan yang memiliki nilai tambah yang lebih tinggi. Lebih dari itu, volume ekspor produk olahan industri rotan China jauh lebih tinggi dibandingkan Indonesia yang merupakan negara pemasok sumber bahan baku industri rotan. Dari Gambar 4.29 dapat dilihat bahwa China mengekspor 2.259 ton produk olahan dari industri rotan dalam bentuk furniture. Di saat yang bersamaan, Indonesia hanya mampu mengekspor 536 ton produk hasil olahan industri rotan dalam negeri Indonesia. Gambar 4.29. Negara Pengekspor Industri Rotan Olahan Tahun 2008

Sumber: Uncomtrade, 2011

90

OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri 4.4.3. Nilai Tambah Bisnis Strategisnya industri rotan di Indonesia juga tidak terlepas dari nilai tambah bisnis yang dapat dihasilkan dari industri rotan. Dari Tabel 4.14dapat dilihat bahwa margin keuntungan yang didapat oleh para pelaku dalam setiap tahapan tata niaga rotan akan semakin besar jika usahanya berada pada tahapan hilir, bukan pada tahapan hulu. Tabel 4.15 menunjukkan bahwa industri pengolahan rotan memiliki nilai bisnis tinggi di mana margin harga jual ekspor barang jadi bisa mencapai 400 persen dari harga jual pemungut rotan di daerah penghasil rotan. Jumlah tersebut jauh lebih besar jadi dibandingkan dengan margin keuntungan yang diperoleh pengumpul yang hanya mendapatkan margin keuntungan sebesar 60 dari pemungut. Margin keuntungan dari pedagang antarpulau juga lebih kecil dari pedagang ekspor barang jadi, di mana pedagang antarpulau hanya mendapatkan margin keuntungan sebesar 60 persen hingga 90 persen. Besarnya potensi bahan baku rotan di Indonesia dan prospek keuntungan yang besar dari hilirisasi produk rotan, seharusnya menjadikan industri rotan sebagai salah satu komoditas unggulan yang penting untuk dikembangkan di Indonesia pada beberapa tahun ke depan. Tabel 4.14. Margin Keuntungan dari Setiap Tahapan Tata Niaga Rotan
No 1 2 3 4 Tahapan Tata Niaga Rotan Harga Jual Pemungut Harga Jual Pengumpul I dan II Harga Jual f.o.b antarpulau Harga jual f.o.b ekspor barang jadi Margin Keuntungan 100 160 (60%) 190 (60%-90%) 400 (210%-400%)

Sumber: Januminro, CFM

4.4.4. Nilai Tambah Teknis Rotan sebagai bahan baku yang diambil langsung dari hutan tropis oleh para pertani rotan memiliki potensi pengembangan yang sangat besar. Gambar di bawah ini menunjukkan skema pengembangan produk dari rotan. Dari situ dapat dilihat bahwa dari pohon rotan dapat dihasilkan rotan asalan dan buah 91

OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri rotan yang masing-masing memiliki produk turunan. Dari rotan asalan, pengembangan rotan bisa menjadi anyaman, kerajinan, mebel, tikar/lampit, dan tongkat. Hal tersebut menunjukkan bahwa potensi pengembangan dari bahan baku rotan sangat besar. Gambar 4.30. Pohon Hilirisasi Industri Rotan

Sumber: Asosiasi Petani Rotan, 2010

4.4.5. Forward-backward Linkage Merujuk pada data Input Output 2008 dapat dilihat inter-industry connectivity yang antara lain menggunakan indikator keterkaitan ke belakang dan keterkaitan ke depan. Dari Gambar 4.31 terlihat sektor yang memiliki keterkaitan ke depan tertinggi dari industri rotan adalah industri bambu, kayu, dan rotan, kemudian industri bangunan. Dengan nilai indeks keterkaitan ke depan (IKD) 0,176, maka apabila terdapat kenaikan satu unit output sektor industri rotan akan menaikkan output sektor lainnya yang menggunakan output 92

OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri sektor tersebut sebagai input dalam proses produksinya sebesar 0,176 unit. Dari Tabel Input-Output juga dapat terlihat bahwa sektor yang mempunyai keterkaitan langsung ke belakang tertinggi adalah sektor Industri bambu, kayu, dan rotan. Gambar 4.31. Forward-backward Linkage Rotan

Sumber: Tabel I-O 2008, diolah

4.4.6. Lokasi Penyebaran Dengan lahan seluas 10,9 juta hektar, potensi produksi rotan Indonesia diperkirakan sebesar 17,2 juta ton (Tabel 4.15). Dari total potensi tersebut, kawasan Kalimantan Timur, Riau, Kalimantan Barat, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Selatan, memiliki potensi produksi yang jauh lebih besar dibandingkan daerah Indonesia lainnya, di mana daerah-daerah tersebut berpotensi memproduksi rotan di atas 1,5 juta ton per tahun. Tabel 4.15. Produksi Rotan Indonesia Berdasarkan Wilayah
No 1 2 3 4 Kawasan Sumatra Kalimantan Sulawesi NTB Total Produksi (Ton/ tahun) 106,000 193,000 361,000 36,000 696,900 Persentase 15,3 27,7 51,8 5,2 100

Sumber: Rivai R Syam, 2006

93

OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri Tabel 4.16. Jumlah Industri Rotan dan Kapasitas Industri
No 1 2 3 4 5 6 Lokasi Sumatera Jawa-Bali Kalimantan Maluku Sulawesi NTB Total Jumlah Industri 50 300 87 1 135 8 581 Kapasitas Input Bahan Rotan per tahun Produksi Setengah Jadi 43.906 216.766 94.011 260.635 4.220 619.538 Produksi Jadi 34.049 416.924 54.217 300 28.168 533.658

Sumber: Yayasan Rotan Indonesia, 2010

4.5.

Rumput Laut

Sebagai negara kepulauan dengan jumlah pulau mencapai 17.504 buah dan panjang pantai yang mencapai 81.000 km, Indonesia memiliki peluang dan potensi budidaya komoditi laut yang sangat besar untuk dikembangkan. Luas potensi budidaya laut diperkirakan mencapai 26 juta ha, dan kurang lebih dua juta ha di antaranya sangat potensial untuk pengembangan rumput laut dengan potensi produksi rumput laut kering rata-rata 16 ton per ha. Berdasarkan data DKP (Departemen Kelautan dan Perikanan) RI 2008, apabila seluruh lahan dapat dimanfaatkan maka akan diperoleh kurang lebih 32 juta ton rumput laut per tahun. Apabila harga rumput laut sebesar Rp 4,5 juta per ton, maka penerimaan yang diperoleh berkisar Rp 144 triliun per tahun. Potensi rumput laut Indonesia dapat menjadi salah satu sumber pemasukan bagi devisa negara, dan juga mampu menjadikan Indonesia sebagai negara pengekspor rumput laut terbesar di dunia.

94

OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri 4.5.1. Potensi Produksi Berdasarkan data publikasi dari Dirjen Perikanan Budidaya Kementerian Kelautan dan Perikanan, produksi perikanan budidaya nasional pada 2010 mencapai 6.277.923 ton. Kontribusi produksi rumput laut menyumbang 62,22 persen dari total produksi perikanan budidaya atau hampir sekitar 2/3 dari total produksi perikanan budidaya. Produksi rumput laut Indonesia selalu mengalami pertumbuhan setiap tahun, pada 2006 sebesar 1,37 juta ton dan pada 2010 mencapai 3,9 juta ton. Sementara itu, Kementerian Kelautan dan Perikanan sendiri menargetkan pencapaian produksi rumput laut sebesar 10 juta ton pada 2014 (Tabel 4.17). Tabel 4.17. Produksi Rumput Laut Indonesia Tahun 2006 2007 2008 2009 2010 2014* Produksi (ton) 1.374.462 1.728.475 2.145.060 2.963.556 3.906.420 10.000.000 Pertumbuhan (%) 25,76 24,10 38,16 31,82 156

Sumber: Dirjen Perikanan Budidaya dan KKP, 2011 Keterangan *)Target

Dari sisi nilai ekspor, pada 2010 Indonesia menempati posisi ke 2 dengan pangsa 20,74 persen, sementara urutan lima besar negara eksportir lainnya adalah China menempati posisi 1 dengan share ekspor sebesar 21,64 persen, dan seterusnya adalah Korea yang menempati posisi 3 dengan share 14,86 persen, Chile diposisi 4 dengan share 10,86 persen, dan Philipina posisi 5 dengan share 5,83 persen (Gambar 4.32).

95

OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri Gambar 4.32. Market Share Rumput Laut Dunia, 2010

Sumber: Comtrade statistics dalam Kementerian Perdagangan, 2011 (diolah)

4.5.2. Market Share Berdasarkan data BPS, total ekspor rumput laut Indonesia pada 2006 2010 menunjukkan tren positif sebesar 27,63 persen. Dari sisi volume ekspor, Indonesia menempati posisi pertama dari 2006 hingga 2010, rata-rata ekspor rumput laut Indonesia sebesar 101.337,6 ton per tahun atau setara dengan 33,40 persen dari volume ekspor rumput laut dunia. Ekspor rumput laut Indonesia mengalami pertumbuhan yang fluktuatif dan pada 2010 terjadi pertumbuhan yang relatif tinggi sebesar 30,93 persen, dari 94.003 ton pada 2009 menjadi 123.075 ton pada 2010 (Tabel 4.18). Tabel 4.18. Volume Ekspor Rumput Laut Indonesia
Tahun 2006 2007 2008 2009 2010 rata-rata Ekspor (ton) Dunia Indonesia 301.720 95.588 289.077 94.073 304.976 99.949 274.549 94.003 344.294 123.075 302.923 101.337,6 Pertumbuhan (%) -1,58 6,25 -5,95 30,93

Sumber: Comtrade statistics dalam Kemendag, 2011

96

OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri Selanjutnya, pangsa pasar volume ekspor rumput laut Indonesia di dunia terus mengalami tren peningkatan (Gambar 4.33). Pada 2006, pangsa pasarnya sebesar 31,68 persen dan terus meningkat tiap tahun. Total ekspor rumput laut dunia pada 2006 sebesar 302.923 ton, sementara pangsa pasar rumput laut Indonesia sebesar 35,75 persen atau setara dengan 123.075 ton. Gambar 4.33. Tren Pangsa Pasar Ekspor Rumput Laut Indonesia di Pasar Internasional

Sumber: Kementerian Perdagangan, 2011 (diolah)

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa sejak 2006 Indonesia menempati peringkat pertama sebagai negara pengekspor rumput laut dunia. Namun, keunggulan ini baru dari sisi ekspor berdasarkan volumenya saja. Sedangkan apabila dilihat dari sisi nilai ekspor, ternyata Indonesia masih kalah tertinggal dari negara-negara dengan volume ekspor yang lebih rendah. Berdasarkan nilai ekspor rumput laut, Indonesia hanya mampu menempati posisi ke-tiga, di mana sejak 2006 hingga 2010 nilai ekspor Indonesia rata-rata hanya sebesar 88.194 ribu USD dan memiliki pangsa pasar sebesar 15,85 persen dari total ekspor rumput laut dunia berdasarkan nilai. Pada Tabel 4.19, secara rinci ditunjukkan posisi Indonesia dihadapan pasar rumput laut Internasional. Pertama, Indonesia menempati peringkat pertama sebagai negara pengekspor rumput laut dunia dari sisi volume (ton), 97

OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri dengan pangsa sebesar 31,68 persen pada 2005 dan terus meningkat menjadi 35,75 persen pada 2010. Sementara, Chile dan China bertengger diurutan berikutnya dengan rata-rata pangsa produksi masing-masing sebesar 17,91 persen dan 12,49 persen. Kedua, Indonesia menempati peringat ketiga sebagai pengekspor rumput laut dunia dari sisi nilai (ribu US$), dengan rata-rata pangsa sebesar 15,85 persen. Sementara China berada diperingkat teratas dengan ratarata pangsa sebesar 23,38 persen, disusul Korea diurutan kedua dengan ratarata pangsa sebesar 16,23 persen. Tabel 4.19. Pangsa Pasar Ekspor Rumput Laut Negara Pangsa Pasar (%) 2006 31,68 13,77 15,58 6,60 4,15 6,41 21,81 25,57 18,93 10,61 7,19 5,42 3,80 28,48 2007 2008 2009 Eksportir Utama (Volume) 32,54 17,97 14,43 4,63 4,33 4,30 21,80 32,77 18,32 11,71 5,78 5,31 4,51 21,60 34,24 20,47 11,12 5,33 6,73 3,94 18,17 2010 35,75 19,03 9,60 5,98 7,09 5,05 17,50 21,64 14,86 20,74 10,86 5,83 3,66 22,40 Rata-rata

Indonesia Chile China Korea Ireland Philippines Lainnya China Korea Indonesia Chile Philippines Japan Lainnya

33,40 17,91 12,49 5,66 5,52 4,84 20,18 23,38 16,23 15,85 9,59 4,52 4,16 26,27

Eksportir Utama (Nilai) 25,18 21,05 23,47 15,64 12,09 8,73 4,55 4,22 29,60 16,17 18,65 9,26 4,29 4,34 26,24 15,57 17,17 11,89 2,49 4,77 24,64

Sumber: Comtrade statistics dalam Kementerian Perdagangan, 2011

98

OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri Tabel 4.20. Negara Tujuan Ekspor Rumput Laut Indonesia Berdasarkan Volume (ton)
Negara Tujuan China Philippines Vietnam Hongkong Korea Lainnya Total Ekspor Pangsa* No 1 2 3 4 5 2006 35.834 11.145 4.135 15.673 3.842 24.956 95.588 73,89 2007 23.318 10.878 10.140 20.890 5.421 23.425 94.073 75,10 2008 43.620 17.908 8.252 7.070 5.613 17.484 99.948 82,51 2009 51.085 6.700 13.991 2.323 5.019 14.882 94.002 84,17 2010 72.212 12.512 15.232 5.252 3.056 14.808 123.074 87,97 Rata-rata 45.214 11.828 10.350 10.241 4.590 19.111 101.337 80,73

Sumber: Kementerian Perdagangan, 2011 (diolah) *) Pangsa 5 negara terhadap total ekspor rumput laut Indonesia

Sementara itu, berdasarkan negara tujuan ekspor rumput laut Indonesia (berdasarkan volume); China, Philippines, Vietnam, Hongkong dan Korea merupakan lima negara terbesar yang menjadi negara tujuan ekspor rumput laut Indonesia (Tabel 4.20). Lima negara ini mampu menyerap ekspor rumput laut Indonesia hingga 80,73 persen dari total ekspor rumput laut Indonesia dalam kurun waktu 2006 sampai 2010. Negara-negara tujuan ekspor rumput laut Indonesia lainnya Chile, Jerman, Amerika Serikat, Inggris, Perancis, dan lainnya. Jika ekspor rumput laut Indonesia dilihat berdasarkan nilai (ribu US$), maka dapat diketahui dari Tabel 4.21, di mana China, Philippines, Vietnam, dan Korea juga masih berada di peringkat teratas negara tujuan ekspor rumput laut Indonesia. Ada satu hal yang menarik dari tabel tersebut, di mana ditunjukkan bahwa Inggris menempati posisi kelima sebagai negara tujuan ekspor rumput laut Indonesia berdasarkan nilai (ribu US$), yaitu rata-rata sebesar US$ 4.124. Padahal jika merujuk pada Tabel 4.20, Inggris tidak masuk ke dalam 5 negara terbesar tujuan ekspor rumput laut Indonesia berdasarkan volume. Artinya, dengan volume ekspor rumput laut yang relatif kecil ke Inggris, Indonesia bisa mendapat keuntungan yang relatif besar dari Inggris. Hal ini tentu saja bisa menjadi sinyalemen positif bahwasanya Inggris bisa menjadi salah satu negara tujuan ekspor rumput laut Indonesia yang sangat potensial ke depannya. 99

OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri Tabel 4.21. Negara Tujuan Ekspor Rumput Laut Indonesia Berdasarkan Nilai
Negara Tujuan China Philippines Vietnam Korea Inggris Lainnya Total Ekspor Pangsa* No 1 2 3 4 5 2006 12.875 6.051 1.402 2.281 2.416 24.558 49.586 50,47 2007 11.179 7.079 3.182 3.403 2.025 30.651 57.522 46,71 2008 35.232 27.896 3.475 7.576 6.207 29.764 110.153 72,97 2009 39.007 7.746 7.130 5.575 5.644 22.669 87.773 74,17 2010 70.277 16.688 10.466 4.017 4.327 30.161 135.939 77,81 Rata-rata 33.714 13.092 5.131 4.570 4.124 27.561 88.194 64,43

Sumber: Kementerian Perdagangan, 2011 (diolah) *) Pangsa 5 negara terhadap total ekspor rumput laut Indonesia

Belum lagi bila dianalisis lebih jauh mengenai pangsa pasar rumput laut Indonesia di negara tujuan ekspor, seperti yang ditampilkan pada Tabel 4.22. Pada tabel tersebut sebetulnya dapat dilihat bagaimana posisi ekspor rumput laut Indonesia di negara tujuan ekspornya, sekaligus peluang atau potensi yang bisa diraih Indonesia dalam meningkatkan ekspor komoditas rumput laut. Rumput laut Indonesia cukup mendominasi di beberapa negara tujuan ekspor, seperti Filipina, Hongkong, Denmark, China dan Spanyol. Di samping itu, Indonesia juga masih berpeluang besar untuk melakukan penetrasi ekspor rumput laut di negara-negara lain yang sangat potensial dijadikan sasaran ekspor, seperti Jepang, Inggris, Perancis, Amerika Serikat, dan sebagainya. Tabel 4.22. Pangsa Pasar Rumput Laut Indonesia di Negara Tujuan Ekspor
Negara Tujuan China Hongkong Philippines Japan Spain Denmark USA South Korea Inggris France Sumber: FAO dan DKP, 2008 2003 18.51 30.18 78.35 0.55 35.35 26.43 5.26 9.62 2.96 11.08 2004 22.88 30.43 100 0.21 42.18 40.52 4.28 7.16 3.57 9.56 2005 38.68 44.47 88.16 0.45 51.49 30 4.12 31.36 7.06 9.05 2006 45.49 85.23 96.44 0.73 59.04 30.77 19.13 24.47 3.66 4.13 rata-rata 31.39 47.58 90.74 0.49 47.02 31.93 8.20 18.15 4.31 8.46

100

OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri Jika pembahasan sebelumnya berkutat pada produksi dan ekspor rumput laut Indonesia, di mana tak dapat dipungkiri bahwa Indonesia merupakan salah negara terbesar yang mampu memproduksi dan mengekspor rumput laut di dunia. Kali ini akan ditunjukkan satu fakta yang mengejutkan, ternyata prestasi yang diraih oleh Indonesia dari produksi dan eskpor rumput laut di pasar Internasional belumlah sebanding dengan peluang memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya. Seperti ditunjukkan pada Tabel 4.23, walaupun Indonesia mampu memproduksi dan mengekspor rumput laut dalam jumlah yang cukup besar, ternyata Indonesia juga melakukan impor rumput laut. Impor rumput laut tersebut dilakukan untuk memenuhi kebutuhan industri pengolahan domestik, khususnya pada industri makanan. Industri ini memerlukan bahan baku rumput laut yang sudah diolah dalam bentuk karagenan murni (refined carrageenan). Sedangkan komoditas rumput laut yang dihasilkan dan diekspor oleh Indonesia ternyata baru sebatas rumput laut kering/mentah (raw dried cottoni). Impor rumput laut yang berhasil masuk ke Indonesia terus mengalami peningkatan yang signifikan, dari hanya 322 ton pada 2006 menjadi 779 ton pada 2010 (Tabel 4.23). Walupun rasio antara impor dengan ekspor rumput laut cukup kecil (0,63 pada 2010), perlu diperhatikan baik-baik bahwa ternyata margin atau selisih nilai jual antara rumput laut kering dengan rumput laut yang sudah diolah menjadi karagenan murni untuk industri bisa mencapai Rp 170.000 per Kg. Melihat fakta tersebut, sangat disayangkan sekali apabila Indonesia tidak mampu memanfaatkan peluang besar yang ada didepan mata. Tabel 4.23. Perkembangan Ekspor-Impor Rumput Laut Indonesia (ton)
Tahun 2006 2007 2008 2009 2010 Ekspor (X) 95588 94073 99949 94003 123075 Impor (M) 322 310 1343 1056 779 Rasio M/X (%) 0.34 0.33 1.34 1.12 0.63

Sumber: Kementerian Perdagangan, 2011 (diolah)

101

OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri Lebih lanjut, berdasarkan data pada Tabel 4.24 diketahui bahwa harga jual rumput laut Indonesia di pasar Internasional masih kalah dibandingkan harga pada komoditas yang sama dari negara eksportir lainnya. Korea Selatan, misalnya, pada 2006 mampu mengekspor rumput laut sebanyak 19.909 ton dengan nilai ekspor sebesar US$ 88,46 juta. Sedangkan pada tahun yang sama, Indonesia dengan volume ekspor sebanyak 95.588 ton hanya mampu menghasilkan nilai ekspor sebesar US$ 49,58 juta. Harga jual komoditas rumput laut Korea Selatan lebih besar 8,5 kali dari komoditas rumput laut Indonesia. Harga jual rumput laut Indonesia di pasar Internasional sebesar US$ 520 per ton, sedangkan harga jual rumput laut Korea Selatan bisa mencapai US$ 4.400 per ton. Padahal dari segi volume ekspor, Indonesia mampu mengalahkan Korea Selatan. Namun, dari sisi nilai ekspor ternyata Indonesia harus mengakui kekalahan telaknya dari Korea Selatan. Tabel 4.24. Eksportir Rumput Laut Dunia, Tahun 2006
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Eksportir China Indonesia Chile Philippines Korea Selatan Mexico Tanzania Marocco Ireland Australia NilaiEkspor (Ribu US$) 119.545 49.586 33.604 25.327 88.486 647 1.577 18.607 5.909 3.471 Volume Ekspor (Ton) 46.998 95.588 41.498 19.331 19.909 364 7.496 6.973 12.566 8.600 Harga per Ton (Ribu US$) 2,54 0,52 0,81 1,31 4,44 1,78 0,21 2,67 0,47 0,4

Sumber: DKP, 2008

4.5.3. Nilai Tambah Bisnis Meskipun peran Indonesia dalam kontribusi bahan baku rumput laut sudah diakui masyarakat internasional, tapi masih perlu peningkatan industri pengolahan rumput laut di dalam negeri. Padahal, industri pengolahan rumput laut merupakan salah satu industri yang strategis dan prospektif untuk

102

OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri dikembangkan. Begitu banyaknya kegunaan produk olahan rumput laut, menjadikan produknya akan terus digunakan oleh industri hilir. Nilai tambah bisnis dari produk olahan rumput laut sangat bervariasi, tergantung dari harga bahan baku, biaya operasional produksi, dan juga harga produk olahan di pasar. Sebagai contoh, rumput laut jenis Eucheuma Cotoniyang sudah diolah menjadi karaginan untuk industri bisa menghasilkan nilai tambah hingga 1.700 persen (Tabel 4.25). Padahal, karaginan ini pun masih digunakan sebagai bahan baku untuk industri pegolahan berikutnya yang tentu saja dapat melipatgandakan nilai tambah bisnis. Tabel 4.25. Perbandingan Harga Produk Olahan Rumput Laut
No 1 2 3 4 5 Jenis Produk Rumput laut kering/mentah (raw dried cottonii/ RDC) Rumput laut kering potong (alkali treated cottonii chips/ ATCC) Karaginan setengah murni (semi refined carrageenan/ SRC) Karaginan murni untuk industri (refined carrageenan/ RC) Karaginan murni untuk makanan (refined carrageenan/ RC) Harga (Rp/Kg) 10.000 50.000 70.000 180.000 200.000 Pertambahan Nilai (%) 400 600 1.700 1.900

Sumber: Ditjen P2HP DKP; dalam Kusumanto, 2011

Berikutnya, contoh analisis nilai tambah bisnis budidaya rumput laut jenis EucheumaCottonidari proses pasca-panen diperlihatkan pada Gambar 4.33. Dengan bahan baku rumput laut segar, investor dapat memilih jenis produk apa yang ingin diolah lebih lanjut. Misalnya, dengan asumsi 1.000 kg rumput laut segar, jika dijual langsung hanya mendapat Rp 800.000. Sedangkan jika diolah dalam bentuk rumput laut kering potong (ATC) dengan proses alkali dingin, maka akan menghasilkan Rp 2.925.000. Kemudian, dari ATC tersebut apabila diolah menjadi karaginan murni (RC) akan menghasilkan Rp 3.900.000. 103

OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri Begitupun dengan proses alkali panas, jika dijual dalam bentuk rumput laut kering (RLK) hanya menghasilkan Rp 1.020.000. Sedangkan jika diolah lebih lanjut menjadi rumput laut kering potong (ATC) akan menghasilkan Rp 1.575.000. Kemudian, jika diolah menjadi karaginan setengah murni (SRC) akan menghasilkan Rp 2.240.000, dan bila diolah menjadi karaginan murni (RC) maka akan menghasilkan Rp2.688.000. Tetapi perlu diketahui bahwa contoh analisis nilai tambah bisnis ini barulah dalam bentuk hitungan kotor dan belum memasukkan unsur biaya. Gambar 4.34. Analisis Nilai Tambah Bisnis Budidaya Rumput Laut
Proses Alkali Dingin Proses Alkali Panas

Sumber: diolah dari Kusumanto, 2011


Asumsi Harga: Rumput Laut Segar (RLS) : Rp 800/kg Rumput Laut Kering (RLK) : Rp 8.500/kg ATC (Chips) : Rp 45.000/kg SRC : Rp 80.000/kg RC : Rp 120.000/kg

104

OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri 4.5.4. Nilai Tambah Teknis Industri pengolahan rumput laut yang dikenal saat ini terdiri dari beberapa jenis. Industri dengan nilai tambah tinggi adalah industri yang melakukan ekstrasi rumput laut untuk mendapatkan hidrokoloid rumput laut dalam bentuk karagenan, agar, dan alginat. Ketiganya merupakan bahan penolong penting (emulsifier dan stabilizer) dalam industri makanan, minuman, farmasi, susu, tekstil, hingga kertas dan industri lainnya yang memerlukan kedua jenis bahan baku penolong tersebut. Tingginya permintaan dunia industri consumer goods terhadap bahan baku penolong yang terbuat dari rumput laut ini telah mendorong perkembangan budidaya rumput laut sejak dekade 1980an. Selain itu, rumput laut juga menjadi bahan baku industri agar-agar yang merupakan salah satu bahan makanan penting dan favorit di Eropa, Amerika Selatan, dan Jepang. Selain itu, rumput laut juga dikonsumsi secara langsung di beberapa negara Amerika Selatan, China, Jepang, dan Korea. Dari ratusan jenis rumput laut yang tersebar di perairan pantai Indonesia, terdapat 5 jenis yang memiliki nilai ekonomis cukup tinggi, yaitu marga Gracilaria, Gelidium dan Gelidiella sebagai penghasil agar, dan marga Hypnea dan Eucheuma sebagai penghasil karagenan. Di antara kelima jenis rumput laut tersebut, jenis Eucheuma sp dan Gracilaria sp merupakan jenis yang paling banyak dikembangkan di Indonesia. Pengembangan kedua jenis rumput laut tersebut karena memiliki pasar ekspor yang cukup tinggi. Adapun jenis rumput laut yang dibudidayakan secara luas di Indonesia terdiri dari jenis Euchema Cottoni dan Glacilaria, dengan perbandingan hasil panen diperkirakan 70:30. Indonesia mengekspor 80% Euchema Cottoni yang dihasilkan, sementara itu 80% Glacilaria yang dihasilkan dikonsumsi di dalam negeri. Cottoni memiliki pasar internasional yang sangat baik, karena dapat menghasilkan karagenan. Karagenan ini kemudian yang digunakan sebagai bahan penolong lebih dari 500 produk konsumsi. Industri pengolahan rumput laut di Indonesia saat ini terdiri dari industri pembuat agar-agar (konsumsi dan ekstrak agar) dan industri karagenan. Saat ini 105

OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri terdapat sekitar 20-23 industri pengolahan rumput laut di Indonesia, 14 di antaranya adalah industri penghasil karagenan. Selain itu juga masih ada industri pengolahan rumput laut menjadi makanan khas di beberapa daerah, dalam skala usaha kecil. Gambar 4.35. Pohon Industri Rumput Laut

Sumber: www.kemenperin.go.id, 2011

106

OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri 4.5.5. Forward-backward Linkage Industri pengolahan rumput laut ternyata memiliki manfaat yang sangat besar, tidak hanya pada sektor hulunya tetapi juga pada sektor hilirnya. Seperti yang ditunjukkan pada Gambar 4.36, di mana komoditas rumput laut memiliki keterkaitan ke belakang dan ke depan. Keterkaitan ini didasarkan pada pembagian penggunaan teknologi dalam pengolahannya. Keterkaitan ke belakang diartikan bahwa produk yang dihasilkan masih menggunakan teknologi yang sederhana, yaitu mengolah rumput laut kering menjadi bahan setengah jadi, serta mengolah rumput laut menjadi makanan/minuman (contoh: dodol). Kemudian dari bahan setengah jadi ini diteruskan pada industri yang dapat menghasilkan bahan baku penolong seperti karaginan, agar, alginat, dan sebagainya. Selanjutnya dari bahan baku penolong tersebut digunakan pada industri yang berteknologi tinggi dan tercatat lebih dari 500 end product barang konsumsi yang menggunakan rumput laut sebagai bahan penolong dalam berbagai skala dan tingkatan, seperti industri dairy product, farmasi, kosmetik, teknologi bahan, dll. Gambar 4.36 Keterkaitan Komoditas Rumput Laut dengan Industri Lain

Sumber: Kementerian Perindustrian, 2011

107

OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri 4.5.6. Potensi Permintaan Rumput laut merupakan komoditas perikanan budidaya yang sangat strategis dan diunggulkan sebagai komoditas ekspor. Saat ini terdapat sekitar 782 jenis rumput laut yang hidup di perairan Indonesia. Jumlah tersebut terdiri dari 196 algae hijau, 134 algae coklat, dan 452 algae merah. Tercatat sedikitnya ada 55 jenis yang diketahui memiliki nilai ekonomis tinggi, dan yang sudah dikembangkan di Indonesia, antara lain Kappaphyucus alvarezii (cottonii), Eucheuma denticulatum (spinosum), Euchema cottoni, Gracilaria sp, Gelidium sp, dan Sargasum sp. Sebagai penyedia bahan baku industri, rumput laut memiliki turunan yang sangat beragam, seperti untuk bahan makanan (dodol, minuman, kembang gula, dan lain-lain), kosmetik, dan juga untuk bahan obat-obatan. Misalnya, rumput laut jenis Eucheuma sp dapat menghasilkan karagenan yang biasa digunakan untuk berbagai produk pangan seperti es krim, sosis, susu, permen, dan sebagainya. Belum lagi jenis Gracilaria sp yang dapat digunakan sebagai bahan baku agar-agar. Permintaan komoditas rumput laut dan produk olahannya terus meningkat tiap tahunnya. Tengok saja pada Tabel 4.26, di mana perkiraan permintaan pada jenis produk Agar, Karaginan, dan Alginat terus saja bertambah. Permintaan untuk jenis karagenan sendiri sangat besar jumlahnya, sebesar 48 ribu ton untuk SRC dan 31 ribu ton untuk RC pada 2010. Tabel 4.26. Perkiraan Kebutuhan Dunia terhadap Produk Olahan Rumput Laut (ton)
JenisProduk Karagenan (RefinedCarrageenan/RC) Karagenan (Semi Refined Carrageenan/ SRC) Agar Alginat (food grade) Alginat (industrial grade) Total Sumber: Anggadiredja, 2006 2006 26.160 33.350 12.357 10.730 20.735 103.332 2007 27.470 36.690 13.600 11.530 22.800 112.090 2008 28.850 40.355 14.970 12.400 25.090 121.665 2009 30.285 44.390 16.470 13.330 27.600 132.075 2010 31.800 48.830 18.120 14.330 30.360 143.440

108

OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri Kemudian, jika di analisis lebih lanjut ternyata terjadi defisit pada permintaan rumput laut dunia. Dari 2006 hingga 2010 terjadi defisit rumput laut dunia akibat dari jumlah permintaan yang melebihi jumlah produksinya. Pada 2010, misalnya, produksi rumput laut Indonesia untuk jenis Eucheuma sp sebesar 80 ribu ton ditambah produksi dari luar negeri sebesar 121 ribu ton, sedangkan permintaan dunia sebesar 274 ribu ton sehingga terjadi kekurangan pasokan atau defisit permintaan sebesar 72 ribu ton. Kondisi ini tentu saja dapat menjadi angin segar bagi pengembangan budidaya rumput laut Indonesia. Tabel 4.27. Perkiraan Hasil Produksi dan Perkiraan Kebutuhan Rumput Laut Dunia
No Uraian Eucheuma sp Kebutuhan Dunia Produksi Indonesia Produksi Luar Negeri Peluang Pasar Gracilaria sp Kebutuhan Dunia Produksi Indonesia Produksi Luar Negeri Peluang Pasar Produksi dan Kebutuhan per Tahun (Ton Kering) 2006 2007 2008 2009 2010 202.300 56.000 100.000 46.300 79.200 29.000 37.000 14.200 218.100 60.000 105.000 53.100 87.040 36.000 40.700 10.340 235.300 66.000 110.250 59.050 95.840 41.500 44.700 9.570 253.900 73.000 115.800 65.100 105.440 48.000 49.250 8.190 274.100 80.000 121.590 72.510 116.000 57.500 54.200 4.300

1.
a. b. c. d.

2.
a. b. c. d.

Sumber: Anggadiredja, 2006

Selanjutnya, jika ditelisik lebih jauh negara mana saja yang menjadi konsumen terbesar rumput laut, maka jawabannya ada pada Tabel 3.5.11. China, Jepang, dan Amerika Serikat menjadi 3 negara terbesar yang menyerap komoditas rumput laut dunia. Sementara itu, 7 negara terbesar yang mengimpor rumput laut dunia mengambil pangsa rata-rata sebesar 73,92 persen. Jika melihat besarnya jumlah impor rumput laut yang dilakukan oleh China, Jepang, dan Amerika Serikat, tampaknya ada kaitan langsung dengan

109

OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri tingginya nilai ekspor produk rumput laut yang mereka dapatkan. Misalnya China, sebetulnya China tidak memproduksi sendiri rumput lautnya dan hanya mengandalkan impor rumput laut mentah dari negara lain (termasuk Indonesia), tetapi justru di China pulalah terdapat banyak industri pengolahan rumput laut. Sehingga tak mengherankan jika ternyata China mampu menjadi salah satu negara pengekspor rumput laut terbesar yang bukan hanya unggul dalam kapasitasnya (volume), tetapi juga juara dalam menambah devisanya (nilai). Bagaimana dengan Indonesia? Indonesia sebetulnya merupakan produsen rumput laut jenis Eucheuma sp terbesar di dunia. Seperti diketahui bahwa jenis ini merupakan penghasil karaginan sebagai bahan baku industri makanan. Namun, dari jenis ini yang diolah di dalam negeri baru menjadi 20 jenis produk, sisanya diekspor mentah-mentah. Sedangkan untuk jenis Gracilaria sp sebagai bahan baku agar-agar, hampir seluruhnya diserap di dalam negeri karena di Indonesia sudah ada pabrik agar-agar terbesar di dunia. Tabel 4.28. Importir Rumput Laut Dunia Terbesar
Importir China Japan USA France Chinese Taipei Korea Phippines Negara Lain Volume Impor Dunia Pangsa* 2006 78.781 73.062 30.056 14.634 14.202 15.706 11.557 81.170 319.168 74,57 Volume Impor (ton) 2007 2008 2009 2010 79.541 94.445 101.339 145.902 63.042 52.275 48.882 49.945 27.365 29.361 26.394 28.933 18.253 18.636 19.697 15.937 15.637 16.192 15.675 15.314 15.204 13.812 11.069 11.210 11.227 15.571 7.850 9.698 85.988 81.633 68.546 116.050 316.257 321.925 299.452 392.989 72,81 74,64 77,11 70,47 Rata-rata 100.001,6 57.441,2 28.421,8 17.431,4 15.404 13.400,2 11.180,6 86.677,4 329.958,2 73,92

Sumber: Kementerian Perdagangan, 2011 (diolah) *)Rasio impor 7 negara utama terhadap impor dunia

110

OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri 4.5.7. Lokasi Penyebaran Berdasarkan data KKP (Kementerian Kelautan dan Perikanan), sebagian besar provinsi di Indonesia mampu dan memiliki potensi yang besar dalam menghasilkan produksi rumput laut, sebagaimana yang ditunjukan pada Tabel 4.29. Tabel 4.29. Tujuh Provinsi Terbesar Produsen Rumput Laut (ton) Provinsi
Jawa Timur Bali NTB NTT Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara . . . Jumlah

Tahun 2008
74.839 129.172 86.889 696.273 287.268 649.690 123.624 . . . 2.147.977

2009
340.774 135.860 147.299 498.422 713.747 774.312 185.385 . . . 2.966.783

Pertumbuhan

Persentase 2008 2009


11,49 4,58 4,96 16,80 24,06 26,10 6,25 . . . 100

355,34 3,48 5,18 6,01 69,53 4,05 -28,42 32,42 148,46 13,37 19,18 30,25 49,96 5,76 . . . . . . 38,12 100

Sumber : Data Pokok Kelautan dan Perikanan 2010, KKP

Sebaran produksi rumput laut yang paling dominan kontribusinya berada di provinsi Sulawesi Selatan (2008:30,25%; 2009:26,10%), Sulawesi Tengah (2008:13,37%; 2009:24,06%), Nusa Tenggara Timur (2008:32,42%; 009:16,80%), Jawa Timur (2008:3,48%; 2009:11,49%), Sulawesi Tenggara (2008:5,76%; 2009:6,25%), Nusa Tenggara Barat (2008:4,05%; 2009:4,96%) dan Bali (2008:6,01%; 2009:4,58%). Jika melihat data tersebut, daerah Indonesia bagian timur memiliki peran dan potensi yang sangat besar dalam produksi rumput laut nasional.

111

OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

Bab 5

Permasalahan dan Tantangan Pengembangan Agroindustri

5.1.

Permasalahan Agroindustri

Sektor industri memiliki peranan dan fungsi strategis dalam perekonomian suatu negara. Sektor industri juga mempunyai kekuatan yang besar dalam meningkatkan nilai tambah perekonomian suatu negara. Itulah sebabnya mengapa banyak negara telah melakukan transformasi struktur ekonomi dan beralih menjadi negara industri. Di Indonesia, proses Industrialisasi telah menyebabkan terjadinya transformasi struktur ekonomi. Indonesia bukan lagi negara agraris ketika sektor industri manufaktur mulai menggantikan sektor pertanian sebagai leading sector dalam ekonomi Indonesia sejak 1993. Kontribusi sektor industri manufaktur terhadap PDB berkisar antara 22,3 persen 28,3 persen sejak 1993, kendati saat ini telah mengalami penurunan menjadi 24,3 persen pada 2011 (Tabel 5.1).

113

OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

Tabel 5.1. Transformasi Struktur Perekonomian Indonesia


Sektor Pertanian Pertambangan dan Penggalian Industri Manufaktur Sektor lainnya PDB Sumber: BPS, dalam Kuncoro (2011) 1968 51,0 4,2 8,5 36,3 100 1993 17,9 9,6 22,3 50,3 100 1998 17,4 8,3 23,9 50,3 100 2000 15,6 12,1 27,8 44,6 100 2004 15,4 8,6 28,3 47,7 100 2011 (Q2) 15,4 11,6 24,3 48,7 100

Proses transformasi struktur ekonomi menjadi negara industri bagi Indonesia bukan berarti tanpa masalah. Berbagai permasalahan, seperti dukungan infrastruktur dan logistik yang sangat minim dan jauh dari memadai, perkembangan teknologi yang lamban, ekonomi biaya tinggi, persoalan pembiayaan, dan masalah regulasi merupakan beberapa problem yang menghambat peningkatan daya saing industri sehingga proses transformasi industri tidak berjalan dengan baik. Implikasinya, hal tersebut berimbas pada struktur industri nasional yang lemah. Dengan kompleksnya berbagai hambatan tersebut, tidak heran jika Indonesia ini disebut sedang mengalami proses deindustrialisasi. Ironisnya, deindustrialisasi di Indonesia terjadi lebih cepat dari berbagai kasus deindustrialisasi di negara lain. Pada umumnya deindustrialisasi di negara lain terjadi ketika kontribusi sektor industri telah mencapai 35 persen. Sedangkan deindustrialisasi di Indonesia terjadi ketika kontribusi sektor manufaktur baru mencapai sekitar 28 persen. Daya saing industri manufaktur yang terus melemah dan berimplikasi pada penurunan pertumbuhan industri manufaktur adalah faktor penyebab deindustrialisasi dini di Indonesia. Beberapa permasalahan yang menghambat industrialisasi dan peningkatan daya saing industri nasional akan dijelaskan sebagai berikut:

114

OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

5.1.1. Hambatan Logistik dan Infrastruktur Logistik dan Infrastruktur merupakan sarana pendukung yang sangat vital bagi kemajuan sektor industri. Industrialisasi serta penguatan struktur industri pada suatu negara tidak dapat lepas dari dukungan logistik dan infrastruktur yang memadai. Pengembangan sistem logistik nasional serta infrastruktur yang memadai yang dapat menjamin kelancaran arus barang dan mengurangi biaya transaksi atau ekonomi biaya tinggi sangat perlu untuk mendorong aktivitas ekonomi. Sayangnya, faktor logistik dan infrastruktur di Indonesia saat ini masih sangat jauh dari memadai. Jumlah sarana logistik dan infrastruktur (pergudangan, jaringan jalan, bandara, pelabuhan, kereta api, listrik serta pasokan gas) masih terbatas sehingga belum mampu mendukung proses industrialisasi yang berkesinambungan. Dalam laporan survey Logistics Performance Index (LPI) 2010 yang dilakukan oleh Bank Dunia, menempatkan Indonesia pada posisi ke 75 dari 150 negara yang disurvei, mengalami penurunan dari 2009 yang berada pada posisi 43. Posisi ini berada di bawah Singapura, Malaysia, dan Thailand. Hal ini jelas menunjukkan belum efisiennya sistem logistik nasional. Indikator biaya logistik sangat tinggi, sehingga menempatkan Indonesia berada di peringkat 92 dari total 150 negara yang disurvei. Survei yang didasarkan pada persepsi para penyedia jasa logistik global, seperti DHL, TNT, FEDEX, P&O, dan Maersk menunjukkan bahwa kinerja sektor logistik nasional masih perlu terus diperbaiki untuk meningkatkan daya saing ekonomi. Asosiasi Logistik Indonesia (ALI) menyatakan masalah yang terkait dengan logistik dan pergudangan dalam rangka mendukung kegiatan perekonomian sudah sangat kritis dan membutuhkan perhatian serius. Ini terjadi akibat persoalan yang kompleks seputar lambannya pembangunan infrastruktur, seperti transportasi jalan, perkeretaapian, pelabuhan, dan pergudangan. Investasi logistik menjadi kurang menarik, karena infrastruktur pendukungnya dipandang belum memadai.

115

OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

Sementara itu, berdasarkan laporan yang dibuat Forum Ekonomi Dunia untuk Daya Saing Global dan Kinerja dari World Economic Forum (WEF), terjadi peningkatan peringkat infrastruktur sebanyak enam poin dan menempatkan Indonesia di posisi 76 dari sebelumnya peringkat ke-82. Meski meningkat, kondisi ini tetap belum terlalu baik jika dibandingkan dari keseluruhan populasi 142 negara. Lambannya pembangunan logistik dan infrastruktur serta belum padunya kerangka regulasi terkait bidang logistik dan infrastruktur menjadi salah satu rentetan masalah penghambat daya saing industri nasional. Di sisi lain, tantangan persaingan global di bidang ekonomi semakin tinggi. Keterbatasan infrastruktur yang menunjang industri serta minimnya pasokan listrik dan gas di daerah ternyata menyebabkan peringkat daya saing Indonesia dalam World Economic Forum turun dari 44 menjadi 46. Terlebih lagi WEF juga mendapat tambahan tiga negara anggota baru. 5.1.2. Hambatan Perkembangan Teknologi Teknologi merupakan faktor yang memiliki peranan sangat penting dalam menghasilkan output produksi. Dalam model pertumbuhan ekonomi yang dikemukakan Solow, teknologi merupakan faktor yang dapat memengaruhi tingkat output perekonomian serta pertumbuhannya sepanjang waktu. Teknologi dapat berkembang jika ada aliran modal melalui kegiatan investasi. Namun, sayangnya perkembangan teknologi di Indonesia terbilang cukup lamban sehingga tidak mampu mendukung penguatan struktur industri. Rendahnya pembentukan modal (capital) yang dikarenakan minimnya aliran investasi di Indonesia adalah penyebab lambannya perkembangan teknologi. Dalam laporan Global Competitiveness Index 2011-2012, Indonesia menduduki peringkat 94 dari 140 negara dalam hal kesiapan teknologi, di bawah Singapura, Malaysia, Thailand, Filipina, dan Vietnam. Ini menunjukkan bahwa Indonesia sangat tertinggal dalam hal penyerapan atau kemampuan teknologi. Salah satu permasalahan industri manufaktur yang menunjukkan lambannya perkembangan teknologi adalah penggunaan mesin-mesin industri

116

OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

yang sudah berumur tua. Ini memang permasalahan klasik, tapi belum tertuntaskan hingga saat ini. Penggunaan mesin-mesin industri yang sudah tua itu tentu saja menurunkan produktivitas output yang berimbas pada semakin buruknya kinerja industri dan lemahnya struktur industri. Restrukturisasi permesinan sektor industri sangat diperlukan dengan segera jika Indonesia tidak ingin semakin tertinggal dengan negara lain. Restrukturisasi dapat dilakukan salah satunya dengan mendatangkan investasi, baik asing maupun domestik, atau melalui insentif dari pemerintah. Dalam rangka mendatangkan investasi tentunya harus ada upaya keras dari pemerintah, misalnya dengan memberikan insentif atau kemudahankemudahan dalam bentuk lainnya yang dapat menimbulkan daya tarik yang tinggi bagi para investor.

5.1.3. Ekonomi Biaya Tinggi Salah satu hambatan industrialisasi bagi kebanyakan negara berkembang adalah inefisiensi produksi. Inefisiensi produksi terjadi akibat dari timbulnya biaya-biaya yang tidak seharusnya terjadi pada proses produksi. Dengan kata lain, inefisiensi muncul akibat dari ekonomi biaya tinggi. Ekonomi biaya tinggi merupakan salah satu masalah yang menyebabkan terjadinya penurunan daya saing industri nasional. Berdasarkan laporan World Economic Forum tahun 2011-2012 daya saing Indonesia menempati peringkat 46, turun dari tahun sebelumnya yang berada di peringkat 44. Penyebab turunnya daya saing Indonesia diindikasikan dari masih maraknya praktik pungutan liar yang menyebabkan terjadinya ekonomi biaya tinggi pada kegiatankegiatan di sektor industri. 5.1.4. Hambatan Pembiayaan Dalam mewujudkan industrialisasi dan penguatan struktur industri nasional yang kokoh, salah satu upaya yang diperlukan adalah pembiayaan.

117

OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

Pembiayaan sektor industri tidak hanya dibutuhkan untuk industri berskala besar, namun juga dibutuhkan bagi industri skala usaha kecil dan menengah (IKM). Selain masih tingginya tingkat suku bunga kredit investasi perbankan, sulitnya mengakses pembiayaan, khususnya bagi industri kecil dan menengah, juga menjadi salah satu masalah bagi perkembangan industri nasional. Literatur ekonomi tentang pembiayaan perusahaan mengidentifikasikan tiga kendala utama penghalang akses industri kecil dan menengah terhadap pembiayaan, yaitu kesenjangan informasi, risiko intrinsik yang lebih besar, dan biaya transaksi yang tinggi. Adanya kesenjangan informasi antara perusahaan kecil dan pemberi pinjaman atau investor menjadi salah satu masalah penting yang harus segera dicarikan solusinya. Pemberi pinjaman atau investor mungkin tidak berada dalam posisi untuk membedakan antara perusahaan dan kegiatan industri berkualitas tinggi dan berkualitas rendah. Setelah investasi dilakukan, investor tidak memiliki alat memeriksa penuh apakah dana yang diberikan digunakan secara tepat. Untuk mengatasi masalah ini, bank dan investor bisa melakukan langkah-langkah pencegahan (contoh: mengharuskan pemberian jaminan untuk pembiayaan) dan pada akhirnya mungkin menolak permohonan pembiayaan. Kendala lain yang dihadapi oleh Industri Kecil dan Menengah (IKM) dalam mengakses pembiayaan adalah profil risiko yang cenderung lebih besar. Penyedia dana eksternal lebih enggan menyediakan dana bagi industri kecil dan menengah karena dianggap sebagai perusahaan yang lebih berisiko. Investor melihat tiga risiko yang khas pada industri kecil dan menengah. Pertama, IKM menghadapi lingkungan persaingan yang lebih tidak pasti dibandingkan dengan perusahaan besar, sebagaimana dibuktikan oleh tingkat laba yang lebih beragam dan tingkat kegagalan yang lebih tinggi. Kedua, IKM memiliki SDM dan modal kurang memadai untuk mengatasi gejolak ekonomi. Ketiga, risiko yang ada dalam anggapan para penyedia pembiayaan diperbesar oleh sistem akuntasi yang tidak memadai, yang mengurangi aksesibilitas dan reliabilitas informasi tentang profitabilitas dan kemampuan membayar utang.

118

OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

Mengingat kendala pembiayaan bagi IKM cenderung semakin besar, diperlukan langkah-langkah khusus untuk meningkatkan investasi dalam sektor ini yang difokuskan baik pada investor (persediaan) dan perusahaan (permintaan). Pada sisi permintaan, IKM dapat dilatih agar cara mereka tampak lebih menarik untuk investasi, dengan mengembangkan strategi pendanaan, pengidentifikasian investor, dan persiapan untuk due diligence oleh investor. 5.1.5. Regulasi yang Menghambat Sejauh ini perkembangan industri di Indonesia masih banyak dihambat oleh regulasi atau aturan birokrasi yang kaku. Hambatan birokrasi ini membuat industri keratif sulit tumbuh dengan cepat. Padahal, Indonesia menargetkan menjadi pusat industri kreatif level regional ASEAN pada 2014. Sumber daya manusia yang mumpuni harus disiapkan untuk mendukung mengalirnya investasi terhadap industri tersebut (Irawady, 2011). Berdasarkan survei Bank Dunia, pada 2011 peringkat Doing Business Indonesia masih rendah. Dalam memulai usaha saja Indonesia berada diperingkat 155. Sedangkan dalam mendapatkan akses kredit juga masih berada diperingkat 126 dunia. Di ASEAN, Peringkat Doing Business Indonesia lebih rendah dari Singapura, Malaysia, Thailand, Brunei Darussalam, dan Vietnam. Indonesia hanya sedikit lebih baik dari Filipina, Kamboja, dan Laos. Potensi pengembangan industri di Indonesia tidak banyak mendapat dukungan dari investor lokal maupun asing. Para investor tersebut lebih tertarik dengan potensi industri di negara lain, dengan alasan regulasi yang diterapkan di Indonesia terbilang menyulitkan. Contoh regulasi yang menghambat perkembangan industri adalah regulasi yang terkait dengan harmonisasi tarif Bea Masuk (BM), khususnya barang-barang industri. Kebijakan semacam ini Bea Masuk harus dilakukan dengan berkoordinasi dengan kementerian teknis lainnya agar terjadi sinergi dan tidak menghambat perkembangan industri. 5.2. Tantangan Perkembangan Agroindustri

Potensi sumber daya alam Indonesia (cadangan hutan, kelautan dan perikanan, migas, mineral dan batubara, dan lain-lain) sangat potensial untuk
119

OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

menumbuhkembangkan industri berbasis sumber daya alam. Letak Indonesia yang sangat strategis dapat mengakomodasi kepentingan berbagai negara serta kerjasama yang saling menguntungkan dengan negara-negara di sekelilingnya. Indonesia yang terdiri dari atas ribuan pulau dan penduduknya yang besar merupakan captive market bagi berbagai industri. Penduduk Indonesia yang besar tersebut tidak saja merupakan modal bagi tumbuhnya industri (khususnya IKM) yang berbasis tenaga kerja, tetapi juga peluang bagi tumbuhnya sektor industri yang berbasis padat IPTEK dan daya kreatif. Secara garis besar, tantangan yang dihadapi dalam membangun industri nasional yang kokoh (penguatan struktur industri) antara lain: 1. Indonesia harus mampu memanfaatkan dan mengoptimalkan produktivitas sektor yang berbasis sumber daya alam, mengingat Indonesia memiliki sumber daya alam yang sangat melimpah, seperti ketersediaan lahan yang luas dan subur. 2. Meningkatkan tingkat pendidikan dan keterampilan sumber daya manusia yang tersedia cukup banyak di Indonesia agar dapat meningkatkan produktivitas tenaga kerja. 3. Kondisi iklim usaha yang belum mendukung, seperti penyelundupan, kepastian hukum, ekonomi biaya tinggi, sistem perpajakan, sistem kepabeanan, dan perburuhan. 4. Kondisi keamanan yang relatif belum stabil, belum dapat menjamin kepastian berusaha merupakan tantangan yang cukup besar bagi investasi di sektor industri. 5. Persaingan di antara bangsa-bangsa di dunia semakin ketat. 6. Integrasi dan regionalisasi ekonomi global yang melanda dunia saat ini sangat memengaruhi tatanan perekonomian dunia. 7. Adanya organisasi perdagangan dunia (WTO), liberalisasi perdagangan dan investasi dalam APEC, serta skema CEPT dalam AFTA-ASEAN, maka gerak perdagangan dunia semakin dinamis dan cepat. 8. Kesepakatan Pemimpin APEC di Bogor dan perdagangan bebas di Kawasan Ekonomi APEC akan dilaksanakan secara penuh pada 2020.

120

OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

5.3.

Permasalahan Masing-masing Komoditas

5.3.1. Permasalahan Pengembangan Kelapa Sawit Permasalahan pertama bagi hilirisasi kelapa sawit adalah permintaan minyak sawit dunia yang semakin meningkat disertai dengan harga internasional cukup menarik mendorong kecenderungan ekspor CPO dalam bentuk mentah. Ekspor minyak sawit mentah yang mencapai lebih dari 50 persen, sementara minyak sawit diproses kurang dari 45 persen membuat nilai tambah produk relatif rendah. Dari porsi yang diproses menjadi produk hilir ini pun belum banyak berkembang jika dibandingkan Malaysia. Saat ini Indonesia baru memproduksi sekitar 40 jenis, sementara Malaysia sudah memproduksi lebih dari 100 Jenis produk hilir CPO. Kedua, tidak seimbangnya kapasitas industri hilir dengan produksi CPO, sehingga muncul idle capacity, khususnya refinery. Persoalan ini masih terkait dengan persoalan pertama, di mana ekspor minyak sawit mentah yang masih terlalu tinggi memunculkan idle capacity. Padahal jika hilirisasi dapat dilakukan, maka kapasitas industri hilir akan lebih seimbang. Ketiga, kurangnya intergrasi antara industri CPO dengan industri hilirnya sehingga rantai nilai industri kurang efisien dan kurang berdaya saing. Kurangnya integrasi menyebabkan biaya produksi industri hilir menjadi lebih mahal yang akhirnya membuat harga jual produk lebih mahal. Kondisi ini membuat daya saing produk hilir sulit bersaing dengan produk hilir sejenis negara lain. Keempat, kegiatan riset dan teknologi industri oleokimia masih perlu ditingkatkan. Peningkatan ini harus diiringi dengan penyediaan sumber daya manusia industri perkelapasawitan yang berkualitas dalam jumlah yang cukup. Hal ini mengingat keberhasilan hilirisasi industri kelapa sawit juga ditentukan oleh berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi yang memadai. Kelima, penerapan aturan perpajakan mengenai PPN atas produk primer TBS (Tandan Buah Segar) memberatkan pelaku usaha sehingga justru berpotensi

121

OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

menghambat hilirisasi. Kebijakan ini menimbulkan pajak berganda (double taxation) kepada perusahaan yang terintegrasi (produksi-pengolahan). Keenam, kampanye negatif khususnya terkait masalah lingkungan terkait perkebunan kelapa sawit semakin gencar dilakukan, antara lain berupa Isu REACH/Registration, Evaluation, Authorisation and Restriction of Chemical substances (kebijakan registrasi bahan kimia, termasuk Oleokimia untuk pasar Uni Eropa), dan Isu EU Directive (Kebijakan biodiversitas dan lingkungan oleh Parlemen Uni Eropa). Ketujuh, infrastruktur pendukung industri antara lain pelabuhan, akses jalan, angkutan kereta api, listrik, dan gas bumi belum memadai. Untuk pengembangan kelapa sawit di wilayah Indonesia Timur kebutuhan sarana pelabuhan menjadi sangat penting. Ketersediaan pelabuhan akan memperlancar ekspor produk industri kelapa sawit Indonesia Timur, terutama dari Kalimantan ke luar negeri. 5.3.2. Permasalahan Pengembangan Karet Permasalahan pertama pengembangan industri karet alam adalah rendahnya produktivitas karet rakyat, padahal sebagian besar lahan karet di Indonesia adalah perkebunan milik rakyat. Rendahnya produktivitas ini antara lain dikarenakan sebagian besar tanaman masih menggunakan bahan tanam asal biji (seeding) tanpa pemeliharaan yang baik. Penyebab lain adalah tingginya proporsi areal tanaman karet yang sudah tua, rusak, atau tidak produktif. Kedua, keterbatasan modal petani karet, baik untuk membeli bibit unggul maupun sarana produksi lain, seperti pupuk dan herbisida. Akses terhadap pembiayaan peremajaan karet dengan tingkat suku bunga yang wajar sesuai dengan tingkat risiko yang dihadapi dirasa masih susah. Kondisi ini berbeda dengan negara-negara produsen utama karet lainnya, seperti Thailand, Malaysia, dan India. Dana pengembangan, promosi, dan peremajaan karet di negara-negara tersebut umumnya disediakan oleh pemerintah yang diperoleh melalui pungutan CESS ekspor komoditi karet. Di Indonesia, pungutan CESS
122

OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

untuk pengembangan komoditi perkebunan telah dihentikan sejak 1970 (Kementerian Pertanian, 2007). Ketiga, bahan baku yang dihasilkan dari perkebunan karet rakyat umumnya bermutu rendah. Bahkan pada sebagian lokasi harga yang diterima di tingkat petani masih relatif rendah, antara 60 75 persen dari harga FOB (di Thailand dan Malaysia mencapai 90 persen), karena belum efisiennya sistem pemasaran bahan olah karet rakyat (Kementerian Pertanian, 2007). Keempat, masalah rantai nilai pengolahan di mana ada pihak-pihak perantara yang mengumpulkan hasil-hasil karet dari pengusaha kecil perkebunan karet yang membuat harga yang diterima petani menjadi lebih rendah. Padahal rantai nilai pengolahan merupakan bagian penting untuk meningkatkan kesejahteraan petani dan pengusaha karet. Kelima, terbatasnya infrastruktur dan suplai energi untuk mendukung hilirisasi industri karet. Penambahan kapasitas listrik diperlukan untuk mencukupi kebutuhan listrik di pabrik karet. Tanpa jaminan listrik yang mencukupi industri akan sulit berproduksi dengan mengoptimalkan kapasitasnya. Di sisi lain, pengembangan kapasitas pelabuhan untuk mendukung hilirisasi karet dengan membuat waktu tunggu di pelabuhan lebih efisien juga penting (Kementerian Koordinator Perekonomian, 2011). Pelabuhan juga berguna bagi pintu gerbang ekspor. 5.3.3. Permasalahan Pengembangan Kakao Menurut data dari International Cocoa Organization (ICCO), Indonesia merupakan negara yang berada pada urutan kedua sebagai produsen biji kakao terbesar di dunia. Data 2008 menunjukkan bahwa Indonesia mampu memproduksi 830.790 ton. Pantai Gading produsen pada urutan pertama dan Ghana pada urutan ketiga. Melimpahnya produksi kakao tersebut salah satunya karena didukung oleh luas areal perkebunan kakao yang mencapai 1,65 juta hektar. Luasnya areal

123

OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

perkebunan kakao tersebut merupakan tantangan bagi Indonesia. Areal perkebunan kakao yang sedemikian luas tersebut harus dibarengi dengan produktivitas lahan yang tinggi. Jika tidak, maka hal ini bisa menjadi bumerang bagi Indonesia sendiri. Mengurangi segala jenis hama dan penyakit tumbuhan pada kakao merupakan salah satu cara untuk meningkatkan produktivitas lahan kakao. Jadi dapat dikatakan bahwa ketersediaan luas lahan merupakan tantangan sekaligus peluang bagi Indonesia. Selain luas lahan, faktor tenaga kerja yang melimpah juga merupakan kekuatan sekaligus tantangan bagi Indonesia. Tenaga kerja yang melimpah harus didukung dengan kemampuan mengelola perkebunan kakao dengan baik agar hasil perkebunan tersebut tidak lantas diekspor, melainkan dapat diolah pada industri kakao domestik. Di tingkat hilir, persaingan dalam menembus pasar global semakin ketat. Ini merupakan tantangan bagi Indonesia agar dituntut mampu mengedepankan kualitas yang berstandar internasional. Dengan demikian, bukan tidak mungkin Indonesia dapat memenangkan persaingan global dan memetik keuntungan yang lebih besar. Masalah diskriminasi dari negara-negara Eropa terhadap kakao olahan Indonesia juga merupakan tantangan bagi industri kakao. Indonesia harus mampu memperlebar jangkauan pasar di tingkat internasional jika tidak ingin bergantung pada satu pasar saja (Uni Eropa). Pendekatan market intelligent merupakan salah satu langkah awal untuk mencari pasar baru yang potensial bagi Indonesia. Terkait dengan tingkat harga, biji kakao Indonesia ternyata berharga relatif murah di pasar internasional. Sebagai gambaran, pada 2008 harga ratarata kakao di terminal New York mencapai US$ 2500/ton, harga rata-rata kakao dari Ghana bahkan mencapai US$ 2700/ton, sementara kakao dari Indonesia hanya cukup menikmati harga rata-rata US$ 2300/ton. Jika jumlah ekspor kakao Indonesia pada 2008 mencapai 350.000 ton, maka selisih harga totalnya sebesar US$ 140 juta (350.000 ton x (US$ 2700- US$ 2300). Dapat dihitung sendiri
124

OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

berapa biaya yang harus ditanggung per tahun jika selisih harga tidak kunjung membaik. Selisih harga yang ditentukan di terminal New York tersebut bukan tanpa sebab atau langsung tunjuk begitu saja. Ghana mendapatkan harga premium karena mutu biji kakao mereka lebih baik dan sudah difermentasi. Sedangkan kakao Indonesia masih bermutu rendah karena sebagian besar petani kakao Indonesia belum sadar fermentasi. Selain itu, terdapat kebijakan Ghana yang mendukung pertumbuhan kakao dalam negeri antara lain: (1) Pemerintah Ghana menetapkan 60% dari produksi kakao harus diolah di dalam negeri mulai 2009; dan (2) menerapkan Bea Keluar atas ekspor biji kakao dan dananya untuk dikembalikan kepada petani untuk mendukung kegiatan mereka. Dengan adanya kebijakan tersebut, investor datang sendiri ke Ghana. Indonesia harus mampu mengejar ketertinggalan ini. Itulah tantangan Indonesia ke depan. Dengan adanya program Gerakan Peningkatan Produksi dan Mutu Kakao Nasional (GERNAS Kakao), pemerintah mencoba menggugah para petani untuk bersama memajukan negara. Menilik bahwa salah satu sasaran gerakan adalah peningkatan mutu kakao sesuai SNI, maka sikap optimis harus digelorakan untuk menjadikan Indonesia sebagai negara penghasil kakao terbesar di Dunia. Sekarang tinggal memilih, antara menerima tantangan dan menjadikannya sebagai batu loncatan menuju perbaikan ke depan atau hanya sekadar melepas kesempatan begitu saja (memanfaatkan momen dan fasiltas bantuan yang diberikan tanpa ada tindak lanjut setelah kegiatan selesai). Industri pengolahan kakao di Indonesia pernah mengalami masa jaya pada sekitar 2000, saat itu jumlah industri kakao ada sekitar 40 pabrik dengan total kapasitas produksi sebesar 362.186 ton per tahun (Sumber: Perkebunan dan Industri Pengolahan Kakao, Infordev, 2000). Industri kakao umumnya terkonsentrasi di Jawa, khususnya Jawa Barat. Dengan wilayah penyebaran terdiri dari Jawa Barat 45,71persen, Jawa Timur 14,29 persen, Sumatera Utara 8,57 persen, Sumatera Selatan 5,71 persen, Sulawesi Selatan 14,29 persen, dan lainnya 11,43 persen. Industri ini umumnya mengolah biji kakao hingga menjadi

125

OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

kakao olahan setengah jadi, seperti cocoa butter, cocoa liquor, cocoa cake dan cocoa powder. Sebagian besar dari hasil kakao olahan ini dipasarkan untuk tujuan ekspor, terutama ke Amerika dan Eropa. Kejayaan industri kakao ini tidak bertahan lama karena pada 2001 pemerintah memberlakukan Undang-undang No. 18 Tahun 2000 tentang PPN atas komoditi primer, di mana pada saat industri membeli bahan baku biji kakao dikenakan PPN 10 persen. Ditambah lagi dengan tingginya bea masuk kakao olahan dinegara-negara tujuan ekspor yang tarifnya 6 persen 30 persen serta adanya diskriminasi tarif bea masuk kakao olahan di China, yang mana kakao olahan asal Indonesia dikenakan bea masuk 15 persen sedangkan kakao olahan dari Malaysia bea masuknya 0 persen. Kebijakan ini membuat industri pengolahan kakao Indonesia sulit bersaing dengan industri di luar, seperti Malaysia dan Singapura, karena industri kakao Indonesia harus membeli bahan baku yang lebih mahal 10 persen dibanding industri diluar yang bebas dari pajak. Kondisi ini membuat industri yang ada satu per satu bertumbangan dan sebaliknya industri di Malaysia dan Singapura justru semakin berkembang, padahal mereka tidak memiliki bahan baku. Untungnya, setelah itu pemerintah berkomitmen mengembangkan industri kakao Indonesia denan keluarnya Surat Mensesneg kepada Menteri Keuangan tertanggal 17 Maret 2005 No. B.168/M.Sesneg/03/2005. Poin surat tersebut adalah: 1. Menaikkan besarnya tarif bea masuk produk kakao sama dengan yang ditetapkan negara lain. 2. Penghapusan PPN Biji Kakao. 3. Melakukan lobby ke China untuk menurunkan tarif bea masuk kakao olahan agar sama dengan Malaysia dan Singapura, yaitu 0 persen. 4. Biji kakao yang diproduksi harus difermentasi. 5. Pengenaan pungutan ekspor (PE) atas ekspor biji kakao. Setelah melalui proses panjang akhirnya kebijakan PPN atas biji kakao dihapuskan pada 2007, namun jumlah industri kakao saat itu sudah semakin berkurang dan hanya tersisa 15 pabrik. Selain penghapusan PPN, ada beberapa

126

OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

kebijakan pemerintah yang mendukung untuk pengembangan industri kakao Indonesia, seperti harmonisasi tarif bea masuk kakao olahan, penurunan tarif bea masuk kakao olahan di China menjadi 0 persen, program revitalisasi perkebunan, dan lain-lain. Semestinya industri kakao sudah semakin berkembang dengan adanya dukungan ini, namun sayangnya pada 2008 dan 2009 terjadilah krisis keuangan global yang melanda dunia. Krisis global menyebabkan semua harga komoditi melambung tinggi, termasuk biji kakao. Biji kakao yang harga normalnya sekitar US$ 1500 per ton saat itu naik 100 persen hingga di atas US$ 3000/ton. Dengan melambungnya harga biji kakao menimbulkan persoalan baru bagi industri kakao Indonesia, karena bea masuk kakao olahan di negara tujuan ekspor terutama di Eropa yang mengenakan tarif bea masuk 6 persen nominalnya menjadi semakin tinggi hingga US$ 500/ton. Sedangkan disaat yang sama produk kakao olahan yang berasal dari Afrika bisa masuk ke Eropa dengan bebasnya karena bea masuknya 0 persen. Kondisi inilah yang akhirnya membuat industri kakao Indonesia semakin terpuruk bahkan dikatakan mati suri. Industri kakao yang semula ada 15 pabrik akhirnya hanya tersisa sekitar 5 pabrik pada awal 2010. Beberapa pengusaha sangat terpukul dengan kondisi ini sehingga mereka menghentikan operasional pabriknya dan sebagian lagi bahkan berniat menjual pabriknya. Di tengah kondisi yang sangat mengkhawatirkan ini akhirnya muncul kebijakan yang sudah lama ditunggu oleh seluruh industri pengolahan kakao Indonesia, yaitu Penerapan Bea Keluar atas biji kakao yang diekspor. Kebijakan ini dikeluarkan dengan SK Menteri Keuangan No. 67 Tahun 2010 tentang Penetapan Barang Ekspor yang Dikenakan Bea Keluar yang diberlakukan mulai tanggal 1 April 2010. Kebijakan ini ibarat oase di tengah padang gurun yang tandus, serta merta seluruh pengusaha industri kakao menyambut gembira kebijakan ini. Sebagian pengusaha yang semula menghentikan operasional pabriknya mulai beroperasi kembali. Sebagian pengusaha yang semula ingin menjual pabriknya akhirnya dibatalkan dan memilih beroperasi kembali. Lalu industri yang masih beroperasi menyambut kebijakan ini dengan melakukan ekspansi untuk meningkatkan kapasitas produksinya. Bahkan yang lebih
127

OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

menggembirakan lagi, ada beberapa investor dari luar negeri yang merencanakan membangun industri kakao di Indonesia. Kebijakan Bea Keluar yang dikeluarkan setahun setelah pemerintah menjalankan program Gernas Kakao merupakan kebijakan yang sangat tepat dan keduanya saling mendukung. Program Gernas Kakao bertujuan meningkatkan mutu dan produktivitas kakao Indonesia yang dalam beberapa tahun menunjukkan tren menurun. Saat ini para petani belum merasakan dampak dari penurunan produktivitas kebunnya karena ditopang oleh harga biji kakao yang sedang mengalami masa keemasan, di mana harganya saat ini sudah naik 100 persen dari harga normal. Namun, jika harganya kembali normal dan produktivitasnya tidak ditingkatkan tentu ini akan menjadi masalah besar bagi para petani. Di sisi lain program Gernas Kakao membutuhkan dana yang cukup besar dan berkelanjutan, sedangkan anggarannya terbatas hanya Rp 3 triliun sehingga program ini dibatasi hanya untuk 2009 sampai dengan 2011. Namun, dengan adanya dana yang dihimpun dari bea keluar kakao ada peluang besar bahwa program Gernas Kakao ini bisa dilakukan secara berkelanjutan dan sesuai dengan UU Perkebunan No. 18 tahun 2006. Kemudian jika program Gernas Kakao ini berhasil, tentunya produksi biji kakao akan berlimpah sehingga dikhawatirkan harganya akan jatuh. Tapi dengan adanya kebijakan bea keluar tentunya akan menarik investasi baru untuk masuk sehingga produksi kakao yang berlimpah dapat diserap oleh industri dalam negeri. Dengan demikian sebagian besar atau mungkin seluruh biji kakao Indonesia dapat diolah di dalam negeri dan diekspor dalam bentuk kakao olahan yang bernilai tambah. Jika ini terjadi, maka harapan pemerintah menciptakan nilai tambah dari komoditi primer akan tercapai sehingga tidak lagi seperti terbelenggu mirip masa penjajahan VOC. Pengembangan kakao di Indonesia sudah dilaksanakan cukup lama baik oleh perkebunan rakyat, perkebunan besar negara dan perkebunan besar swasta. Dalam upaya meningkatkan produksi kakao sekaligus peningkatan pendapatan petani maupun masyarakat, pemerintah telah mengembangkan berbagai pola pengembangan perkebunan yang dibiayai dari APBN dan Bantuan Luar Negeri (BLN), antara lain melalui proyek-proyek pola Unit Pelayanan
128

OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

Pengembangan (UPP), Perkebunan Inti Rakyat (PIR), Perkebunan Besar (PB), dan pola Swadaya. Untuk pengembangan agribisnis kakao ke depan, kegiatannya akan lebih banyak mengandalkan inisiatif petani melalui pola swadaya. Pemerintah diharapkan lebih berperan dalam upaya pengendalian hama PBK dan percepatan perluasan adopsi teknologi budidaya maju. Sebagai upaya pelaksanaan program pengembangan agribisnis kakao tersebut dibutuhkan dana yang cukup besar yang mencakup kegiatan investasi peningkatan produktivitas kebun, biaya pengendalian hama PBK, investasi pengembangan sistem usahatani terpadu, pengembangan industri hilir kakao, dan pembangunan infrastruktur pendukungnya, termasuk kegiatan penelitian dan pengembangan hasil penelitian. Berikut ini akan diuraikan secara singkat berbagai kebutuhan biaya tersebut. Kebutuhan biaya untuk pengembangan agribisnis kakao periode 2005-2010 khusus untuk peningkatan produksi dengan target rehabilitasi 2 persen/tahun, peremajaan 0,5 persen/tahun, dan perluasan areal 2,5 persen/tahun diperkirakan mencapai Rp 3,87 triliun. Selanjutnya, periode 2010-2025 dengan target rehabilitasi 3 persen/tahun, peremajaan 1 persen/tahun, dan perluasan areal 1,5 persen/tahun diperlukan biaya mencapai Rp 12,85 triliun. 5.3.4. Permasalahan Pengembangan Rotan Rotan merupakan salah satu komoditas agroindustri yang memiliki nilai strategis yang tinggi, tetapi industri rotan dalam negeri belum mampu bersaing dengan industri rotan dari China dan negara lainnya. Berbagai hambatan tersebut setidaknya dapat dikelompokan menjadi enam faktor, yaitu faktor bahan baku produksi, faktor produksi, faktor pemasaran, faktor disain dan pemodelan, faktor modal dan pendanaan, dan faktor sumber daya manusia. Berikut deskripsi dari keenam faktor penghambat pengembangan rotan tersebut. Pertama, faktor bahan baku produksi. Faktor pertama yang menjadi penghambat tumbuhnya industri bahan baku berkaitan dengan bahan baku produksi industri rotan, dalam hal ini adalah bahan baku rotan. Hal ini

129

OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

disebabkan kelangkaan bahan baku rotan yang terjadi akibat deforestasi. Kelangkaan bahan baku rotan menyebabkan harga rotan menjadi semakin meningkat. Lebih dari itu, harga bahan baku rotan menjadi sangat tinggi karena tingginya biaya pengadaan bahan baku, seperti biaya pemesanan, biaya uang muka, serta biaya transportasi. Disaat yang bersamaan, kelangkaan bahan baku rotan juga menyebabkan kualitas rotan yang tersedia semakin minim. Minimnya kualitas bahan baku rotan juga disebabkan oleh tidak adanya teknologi untuk mengawetkan rotan dari jamur yang dapat merusak kualitas rotan. Kedua, faktor produksi. Faktor-faktor dalam tahap produksi ikut serta menjadi penghambat dalam tumbuhnya industri rotan dalam negeri. Faktorfaktor tersebut banyak berkaitan dengan proses dari menciptakan rotan dari bahan baku menjadi produk jadi. Berbagai hambatan tersebut antara lain adalah peralatan dan mesin produksi yang sudah tua serta metode produksi yang tidak efisien, biaya-biaya ekonomi yang tidak kompetitif seperti THC, bunga bank, pungli, listrik dan telepon, jika dibandingkan dengan negara pesaing. Ketiga, faktor pemasaran. Dalam beberapa tahun terakhir, industri rotan dalam negeri Indonesia kehilangan pasar yang disebabkan oleh minimnya pemasaran produk jadi dari rotan. Cara-cara pemasaran model lama dianggap tidak efektif dalam mempromosikan produk industri rotan. Lebih dari itu, selama ini industri rotan memiliki ketergantungan yang sangat besar terhadap broker/perantara dari luar negeri untuk memasuki pasaran ekspor. Industri rotan juga memiliki keterbatasan dalam mengetahui informasi pasar dan mengantisipasi perkembangan dan perobahan permintaan konsumen di negara tujuan ekspor. Berbagai permasalahan tersebut membuat Brand Image dari produk rotan Indonesia belum begitu dikenal oleh konsumen luar negeri. Keempat, faktor disain dan pemodelan. Faktor lain yang menyebabkan tidak berkembangnya industri rotan adalah tidak sesuainya desain produk rotan dengan keinginan dari pasar rotan. Produk rotan selama ini dianggap tidak menarik oleh masyarakat sehingga masyarakat tidak teralu menyukai produk rotan. Hal itu pada akhirnya menyebabkan minimnya permintaan terhadap produk rotan.

130

OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

Kelima, faktor modal dan pendanaan. Faktor modal dan pendanaan merupakan masalah yang menghambat tumbuhnya industri rotan. Sama halnya dengan industri kecil menengah lainnya, minimnya modal dan pendanaan terhadap industri rotan menyebabkan industri tersebut sulit berkembang. Disaat yang bersamaan para pengusahan rotan kesulitan mendapatkan modal dan pendanaan dari bank maupun lembaga keuangan lainnya karena sulitnya proses serta tingginya bunga yang dibebankan kepada para pengusaha industri rotan. Hal ini membuat pengusaha industri di Indonesia kesulitan bersaing dengan industri rotan dari luar negeri yang mendapatkan bantuan pemodalan yang besar. Sebagai gambaran saja, hingga saat ini bunga kredit di bank-bank Indonesia mencapai 10-12 persen. Nilai tersebut sangatlah lebih besar jika dibandingkan dengan bunga kredit di bank-bank Malaysia yang mematok bunga kredit sekitar 3 persen. Lebih dari itu, industri rotan juga mengalami kesulitan dalam mempertahankan industrinya karena kecilnya margin antara biaya produksi dengan pendapatan yang diperoleh para pengusaha industri rotan. Keenam, faktor sumber daya manusia. Faktor sumber daya manusia atau tenaga kerja dari industri rotan turut andil dalam menghambat tumbuhnya industri rotan. Selama ini, tenaga kerja industri rotan tidak memiliki pendidikan serta kemampuan teknis yang memadai. Hal ini menyebabkan rendahnya produktivitas tenaga kerja yang berdampak pada rendahnya produksi dari industri rotan. Disaat yang bersamaan, perusahaan industri rotan mengalami kesulitan melakukan mekanisasi produksi bahan jadi rotan karena minimnya dana yang dimiliki oleh perusahaan tersebut. 5.3.5. Permasalahan Pengembangan Rumput Laut Rumput laut merupakan komoditas perikanan budidaya yang sangat diunggulkan sekaligus menjadi komoditas ekspor. Produksi rumput laut nasional pada 2010 sebesar 3.906.420 ton atau mengalami pertumbuhan 31,82 persen dari tahun sebelumnya. Namun, jumlah tersebut masih jauh lebih kecil dibandingkan potensi optimalisasi produksi yang bisa mencapai 32 juta ton per

131

OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

tahun. Saat ini, lahan untuk budidaya rumput laut yang baru termanfaatkan hanya sebesar 26.700 ha. Padahal ada sekitar dua juta ha lahan yang potensial untuk pengembangan rumput laut dengan potensi produksi rumput laut kering rata-rata 16 ton per ha. Rumput laut (sea weed) juga sangat diandalkan sebagai salah satu komoditas perikanan budidaya yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi rakyat. Budidaya rumput laut tidak memerlukan teknologi yang tinggi, investasi cenderung rendah, mampu menyerap tenaga kerja yang cukup banyak, serta menghasilkan keuntungan yang relatif besar. Pengembangan usaha itu tentu diharapkan dapat mengurangi angka pengangguran (pro job), meningkatkan pendapatan masyarakat (pro growth), dan pada gilirannya dapat menekan angka kemiskinan (pro poor). Di samping menilik potensi tersebut, ternyata masih banyak kendala dan tantangan dalam pengembangan komoditas rumput laut, baik di hulu maupun sampai di hilir. Secara umum, kendala yang dihadapi oleh usaha budidaya di masyarakat adalah sumber daya manusia pembudidaya yang masih sangat terbatas, penggunaan teknologi perbenihan dan budidaya yang belum standar, keterbatasan permodalan serta akses pemasaran yang belum menjamin terserapnya hasil produksi. Salah satu kendala yang dihadapi oleh sektor perikanan secara umum adalah masih rendahnya investasi di bidang kelautan dan perikanan. Secara keseluruhan investasi di sektor perikanan baik PMDN maupun PMA masih sangat kecil jika dibanding nilai investasi secara nasional. Seperti yang ditunjukkan pada Tabel 5.2, realisasi investasi baik PMDN maupun PMA di sektor perikanan pada 2010 masing-masing hanya sebesar Rp 24,7 miliar dan US$ 5,1 juta atau sebesar 0,1 persen dari total Investasi PMDN dan PMA nasional. Oleh karena itu, upaya peningkatan investasi di sektor perikanan menjadi sangat penting ditindaklanjuti. Itu semua akan bermuara pada peningkatan kapasitas dan kualitas dari komoditas budidaya rumput laut.

132

OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

Tabel 5.2. Perkembangan Realisasi Investasi PMDN dan PMA Sektor Perikanan
TAHUN NO TIPE P 1. 2. Realisai Investasi PMDN Sektor Perikanan Realisasi Investasi PMA Sektor Perikanan 0 3 239 1.138 0,0 0,3 2009 I 0,0 2,4 20.363,4 14.871,4 0,0 0,0 P 2 3 248 1.221 0,8 0,2 2010 I 24,7 5,1 37.799,8 10.815,0 0,1 0,0

PMDN Nasional PMA Nasional Rasio terhadap PMDN Nasional Rasio terhadap PMA Total Sumber P I I (PMA)

: BKPM dalam Data Pokok KKP, 2011 : Jumlah Izin Usaha Tetap yang dikeluarkan : Nilai Realisasi Investasi dalam Miliar rupiah : Nilai Investasi dalam US$ juta

Selanjutnya, merujuk hasil studi literatur dari beberapa institusi atau lembaga, dapat diidentifikasi dan diklasifikasikan beberapa permasalahan atau kendala yang tengah dihadapi pembudidaya dan industri pengolahan rumput laut nasional, antara lain: a. Subsistem Hulu o Terbatasnya ketersediaan bibit unggul; bibit yang dipergunakan pembudidaya kebanyakan berasal dari hasil produksi yang digunakan kembali sebagai bibit (vegetatif) o Belum adanya lembaga resmi yang ditunjuk sebagai penyedia bibit unggul o Belum adanya regulasi standarisasi proses produksi (SNI), distribusi, dan pengawasan bibit unggul b. Subsistem Produksi o Lemahnya SDM pembudidaya, khususnya dalam tahap pascapanen, yaitu pengolahan rumput laut basah menjadi produk yang lebih bernilai tambah o Rendahnya perlindungan dan kepastian hukum yang disebabkan belum adanya zoning kawasan budidaya rumput laut yang diakui secara de jure,
133

OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

o o o

termasuk belum terakomodasinya kepentingan budidaya rumput laut dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) di daerah Belum terdapat peta kesesuaian lahan budidaya rumput laut yang dapat mengidentifikasi jenis-jenis rumput laut apa saja yang cocok dikembangkan di suatu wilayah Belum terdapat peta ketersediaan sumber alam rumput laut untuk jenisjenis sargasum, gelidium, pterocladia dan ptilophora Belum seragamnya penggunaan pola tanam rumput laut dalam satu kawasan Adanya faktor penghambat akibat pengaruh alam, seperti munculnya virus ice-ice yang menempel pada rumput laut yang mengakibatkan rumput laut menjadi rontok, dan juga ancaman gelombang besar/pasang yang mengakibatkan kerusakan hingga 90 persen pada metode rakit dan 10 persen pada metode patok

c. Subsistem Hilir o Masih rendahnya kualitas hasil budidaya rumput laut, baik rendahnya kandungan karaginan maupun tingginya kadar air. Beberapa penyebabnya antara lain karena panen dilakukan pada umur 30 hari, padahal seharusnya panen dilakukan pada umur 45 sampai 60 hari o Masih rendahnya pengetahuan tentang proses pengemasan (packing) bahan mentah (raw material), dari pembudidaya hingga ke pabrikasi o Belum banyaknya bentuk produk olahan atau upaya diversifikasi bentuk olahan yang dikerjakan oleh pembudidaya dan UMKM di sekitar lokasi budidaya o SNI pengolahan dan produk olahan rumput laut belum tersedia secara lengkap, sehingga masih mengacu kepada standar yang diberikan oleh importir o Spread margin usaha relatif kecil. Harga jual rumput laut (per kg) dari pembudidaya kepada pengumpul kecil relatif rendah. Berbeda apabila petani budidaya rumput laut dapat menjual langsung kepada pengumpul besar rumput laut

134

OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

d. Subsistem Pembiayaan o Masih terbatasnya fasilitas kredit yang diberikan oleh perbankan, salah satu penyebabnya karena ketiadaan agunan o Keterbatasan permodalan mengakibatkan terbatasnya luasan lahan yang dapat digunakan untuk budidaya. Contohnya pada masyarakat pembudidaya di Kabupaten Lombok Tengah Provinsi Nusa Tenggara Barat, di mana umumnya satu KK hanya menanam dengan luas area 3 are atau 5 rakit, di mana 1 are = 100 m2 atau 1 rakit = 7m x 7m. Padahal 1 KK idealnya menanam 5 are atau 10 rakit, agar dapat menghasilkan pendapatan yang layak e. Subsistem Kelembagaan o Lemahnya fungsi kelembagaan pada stakeholders yang mempunyai kepentingan pada pengembangan usaha budidaya rumput laut, mulai dari tingkat pembudidaya, pengolahan hasil produksi, pedagang, hingga eksportir o Sistem pembinaan dan penyuluhan secara berjenjang dari tingkat pusat, provinsi hingga ke kabupaten belum dirancang dan dilakukan secara terstruktur o Belum maksimalnya sosialisasi hasil penelitian tentang pengembangan jenis rumput laut menjadi produk yang lebih bernilai tambah Adapun tantangan dalam pengembangan budidaya rumput laut antara lain: Pertama, peluang pasar rumput laut demikian besar sehingga rumput laut lebih dominan sebagai komoditas dagang dari pada sebagai komoditas industri. Hal ini membawa dampak pada fluktuasi harga yang sangan tajam. Mengingat komoditas dagang mengedepankan besaran margin yang diperoleh pada setiap mata rantai pemasaran, sedangkan komoditas industri lebih memfokuskan pada kestabilan pasokan yang dapat menjamin keberlanjutan proses produksi. Kedua, kualitas rumput laut yang terbaik ditentukan oleh jangka waktu budidaya, yaitu sekitar 45 hari setelah tanam. Kenyataannya, pembudidaya sebagian besar memanen rumput laut sebelum waktunya (< 45 hari), akibatnya

135

OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

sebagai komoditas industri kualitas rumput laut rendah, tetapi sebagai komoditas dagang selalu terserap oleh pasar (terjual). Hal ini terjadi karena secara fisik sulit untuk mengetahui kualitas rumput laut berdasarkan umurnya (panen). Ketiga, harga rumput laut ditentukan oleh besar asalan (kering matahari). Sering kali pembudidaya tidak mengindahkan tata cara penanganan pascapanen yang baik, misalnya untuk mencapai berat tertentu pembudidaya menjemur rumput laut di atas pasir sehingga kotoran banyak melekat dan menambah berat. Beberapa tantangan tersebut harus segera mendapat penanganan agar pengembangan rumput laut ke depan dapat berjalan dengan baik.

136

OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

B ab 6

Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri


Berbagai permasalahan dan tantangan yang menjadi kendala hilirisasi agroindustri membutuhkan solusi untuk dapat segera teratasi. Di sinilah urgensi keberadaan strategi percepatan dan perluasan industrialisasi agar bottleneck hilirisasi di beberapa komoditas agroindustri unggulan bisa lekas diselesaikan. Lebih dari itu, percepatan dan perluasan industrialisasi juga penting untuk mendorong pertumbuhan industri serta mencegah terjadinya deindustrialisasi dini. Percepatan dimaknai sebagai upaya memperpendek rentang waktu target pencapaian, sementara perluasan berarti pendistribusian pusat-pusat industri baru di luar Jawa, terutama mendekatkan ke sumber bahan baku. 6.1. Strategi Percepatan dan Perluasan Industrialisasi

Secara umum upaya industrialisasi di Indonesia tidak hanya mengalami hambatan spesifik pada sektor industri tertentu. Beberapa permasalahan dan tantangan industrialisasi justru merupakan persoalan bersama baik lintas sektor industri maupun lintas bidang kewenangan. Berikut ini diuraikan beberapa

137

OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri strategi utama dalam mempercepat dan memperluas industrialisasi di Indonesia. 1. Percepatan pembangunan infrastruktur logistik. Pengembangan sistem logistik nasional serta infrastruktur pendukung yang memadai dapat menjamin kelancaran arus barang dan mengurangi biaya transaksi sehingga pada akhirnya akan mendorong aktivitas ekonomi. Peningkatan kualitas sumber daya manusia melalui peningkatan kegiatan penelitian dan pengembangan teknologi industri yang didukung dengan peningkatan implementasi hasil riset dan apresiasi terhadap peneliti untuk menumbuhkan budaya riset di industri nasional. Peningkatan kualitas pelayanan birokrasi yang pro bisnis dan berdaya saing untuk meminimasi ekonomi biaya tinggi. Upaya ini dapat dilakukan dengan simplifikasi birokrasi dan regulasi. Mendorong peningkatan akses pembiayaan investasi di sektor industri dengan tingkat bunga yang wajar baik bagi industri besar, sedang dan kecil. Optimalisasi keunggulan komparatif Indonesia sebagai negara yang berbasis pada sumber daya alam dengan meningkatkan nilai tambah produk dan tetap menjaga keberlangsungan ketersediaan SDA tersebut dalam jangka panjang.

2.

3.

4.

5.

6.2.

Strategi Percepatan dan Perluasan Industri Kelapa Sawit

6.2.1. Strategi Percepatan Industri Kelapa Sawit 1. Kebijakan perdagangan untuk menghambat ekspor. Meskipun Pajak Ekspor (PE) tidak akan efektif tanpa dukungan kebijakan lain di dalam negeri, tetapi kebijakan ini dinilai masih diperlukan dalam batas-batas tertentu. Kebijakan PE ini juga ditujukan untuk menjaga ketersediaan bahan baku industri dalam negeri. Restrukturisasi Bea 138

OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri Keluar Ekspor CPO dan Produk Turunannya akan menjamin pasokan bahan baku bagi industri dalam negeri. Prinsip pro-hilirisasi terdapat pada pengenaan tarif yang semakin rendah untuk produk hilir sesuai rantai nilai produksi. Salah satu hal yang cukup penting segera dilakukan dari sisi kebijakan hilirisasi CPO adalah kebijakan insentif investasi di sektor hilir. Untuk itu perlu penambahan cakupan bidang usaha industri hilir kelapa sawit yang mendapatkan insentif investasi yang diatur melalui Peraturan Pemerintah No. 62 Tahun 2008 tentang fasilitas Pajak Penghasilan untuk penanaman modal di bidang-bidang usaha tertentu dan/atau di daerah-daerah tertentu. Mengusulkan pemberian tax holiday bagi investasi besar industri hilir kelapa sawit yang diatur melalui Peraturan Menteri Keuangan No. 130 Tahun 2011 dengan mengelompokkannya pada industri sumber daya alam terbarukan. Senantiasa meningkatkan koordinasi, sinkronisasi dan fasilitasi antarinstansi/pihak terkait pusatdaerah dalam menyamakan persepsi atas pembentukan Klaster dan Kawasan Industri Hilir Kelapa Sawit. Konsistensi melakukan promosi investasi IHKS, baik di dalam maupun luar negeri, untuk mendorong masuknya investasi di Klaster IHKS. Pembangunan kawasan industri hendaknya dilengkapi dengan sarana pusat informasi, pusat permesinan, riset dan pengembangan, serta fasilitasi iklim usaha, dan pusat keselamatan kerja untuk meningkatkan pelayanan bagi operasional industri. Peningkatan fasilitas infrastruktur logistik untuk mendukung kegiatan industri skala besar dalam kawasan industri menjadi prioritas utama program pembangunan pemerintah pusat daerah. Pemerintah daerah hendaknya memfasilitasi masuknya investasi dengan memberikan pelayanan perizinan, khususnya terkait dengan

2.

3.

4.

5.

6.

7.

8.

139

OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri perizinan lahan dan izin usaha yang sederhana, handal, serta probisnis. Kebijakan ini harus lebih ramah lagi bagi investasi yang menerapkan pola integrasi vertikal antara kebun kelapa sawit dengan pengolahan dan integrasi horizontal antara kebun kelapa sawit dengan usaha lain, misal ternak. 9. Penyediaan tenaga kerja terampil dan terdidik berbasis SDM lokal dengan kerjasama lembaga pendidikan setempat perlu ditingkatkan. 10. Pembebasan PPn (Pajak Pertambahan Nilai) dalam transaksi pembelian tandan buah segar (TBS) dari petani sawit. 11. Kebijakan stabilisasi harga minyak goreng harus terus dilakukan, selain untuk menjaga daya beli konsumen karena termasuk kebutuhan pokok, juga sebagai insentif bagi pelaku usaha hilirisasi sawit. 6.2.2. Strategi Perluasan Industri Kelapa Sawit 1. Konsistensi pelaksanaan Instruksi Presiden No. 1 Tahun 2010 tentang Percepatan Program Prioritas Pembangunan Nasional mengamanatkan pembangunan klaster Industri Hilir Kelapa Sawit (IHKS) di 3 (tiga) daerah, yaitu Kawasan Industri Sei Mangkei Provinsi Sumatera Utara; Kawasan Industri Dumai dan Kuala Enok Provinsi Riau; serta Kawasan Industri Maloy Provinsi Kalimantan Timur. Ketiga lokasi ini akan menjadi satelit industri hilir kelapa sawit berskala modern internasional sekaligus sebagai pusat pembangkitan perekonomian berbasis sektor produktif industri nasional. Mendorong pengolahan CPO hingga turunan produk ketiga (antara lain fatty acid, fatty alcohol, biodiesel) di dalam negeri paling sedikit 50 persen dari total produksi CPO nasional pada 2015 sebelum diekspor dalam bentuk produk hilir bernilai tambah tinggi. Pengembangan klaster CPO dan pembentukan jaringan bisnis penting dilakukan untuk meningkatkan optimalisasi kapasitas, 140

2.

3.

OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri diversifikasi produk turunan CPO melalui investasi baru, serta guna perluasan pangsa ekspor. Peremajaan kebun sawit milik rakyat. Dalam hal perkebunan rakyat, pemerintah perlu menstimulasi peremajaan dengan dukungan subsidi pemupukan maupun pembiayaan usaha tani sawit yang tepat. Kemitraan petani dengan pengusaha perlu direkonstruksi di bawah evaluasi dan pengendalian instensif pemerintah. Pengembangan kelapa sawit juga diupayakan bagi industri kecil agar petani dapat menikmati nilai tambahnya. Untuk tujuan tersebut, perlu ada prioritas program untuk rancang bangun proses dan peralatan pengolahan industri terpadu meliputi pabrik minyak goreng, pabrik sabun, dan margarin dalam berbagai skala usaha bagi produk minyak sawit yang dihasilkan. Satu hal yang juga mendesak dibenahi menyangkut konversi lahan hutan menjadi lahan perkebunan untuk CPO, yang seringkali mendatangkan konflik kepentingan antara pemangku kepentingan, di pusat dan daerah. Pemerintah juga perlu meningkatkan kapasitas infrastruktur untuk mendukung distribusi dan pemasaran (termasuk ekspor), seperti akses transportasi dan pembangunan tanki timbun di pelabuhanpelabuhan ekspor.

4.

5.

6.

7.

141

OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri Tabel 6.1. Matrik Strategi Percepatan Industri Kelapa Sawit
No. 1 Kendala Dominasi ekspor minyak sawit mentah Dampak Nilai tambah produk rendah dan kurang berdaya saing Rencana Aksi Melanjutkan kebijakan Pajak Ekspor untuk mengurangi ekspor minyak sawit mentah yang diikuti dengan strategi insentif bagi ekspor produk hilir CPO Kebijakan insentif investasi di sektor hilir dengan penambahan cakupan bidang usaha industri hilir kelapa sawit yang mendapatkan insentif investasi yang diatur melalui Peraturan Pemerintah No. 62 Tahun 2008 tentang fasilitas Pajak Penghasilan untuk penanaman modal di bidang-bidang usaha tertentu dan/atau di daerah-daerah tertentu. Pemberian tax holiday bagi investasi besar industri hilir kelapa sawit yang diatur melalui Peraturan Menteri Keuangan No. 130 Tahun 2011 dengan mengelompokkannya pada industri sumber daya alam terbarukan. Senantiasa meningkatkan koordinasi, sinkronisasi dan fasilitasi antarinstansi/pihak terkait pusat Implikasi Penurunan ekspor minyak sawit mentah yang diikuti dengan peningkatan ekspor produk turunan CPO Meningkatnya produk hilir CPO

Kurangnya insentif untuk melakukan hilirisasi CPO

Ekspor CPO mentah cenderung meningkat

Insentif fiskal untuk industri besar dinilai masih kurang

Hilirisasi dalam jumlah besar sulit dicapai

Meningkatnya produk turunan CPO dalam jumlah besar dan diversifikasi produk hilir yang lebih banyak Memperlancar proses industrialisasi CPO di wilayah

Kurangnya koordinasi antarinstansi

Pengembangan industri hilir berjalan lambat

142

OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri


daerah dalam menyamakan persepsi atas pembentukan Klaster dan Kawasan Industri Hilir Kelapa Sawit. 5 Kurangnya promosi investasi IHKS Kurang lengkapnya sarana dan prasarana hilirisasi di kawasan industri Investasi di IHKS belum maksimal Akses terhadap informasi dan layanan lain terhambat Konsistensi melakukan promosi investasi IHKS baik di dalam maupun luar negeri untuk mendorong masuknya investasi di Klaster IHKS. Pembangunan kawasan industri hendaknya dilengkapi dengan sarana pusat informasi, pusat permesinan, riset dan pengembangan, serta fasilitasi iklim usaha, dan pusat keselamatan kerja untuk meningkatkan pelayanan bagi operasional industri. Peningkatan fasilitas infrastruktur logistik untuk mendukung kegiatan industri skala besar dalam kawasan industri menjadi prioritas utama program pembangunan pemerintah pusat daerah. Penuntasan masalah tata ruang nasional dan RTRWP secepatnya dengan meningkatkan koordinasi dengan Kementerian Kehutanan dan Badan Pertanahan Nasional. klaster industri

Peningkatan investasi di industri turunan CPO Memudahkan akses informasi dan meningkatkan nilai jual program hilirisasi di mata investor

Kurangnya infrastruktur logistik pendukung industrialisasi

Inefisiensi biaya distribusi

Efisiensi biaya distribusi

Masalah lahan bagi pengembangan kebun baru yang diakibatkan ketidaktuntasan masalah tata ruang nasional dan Rencana Tata Ruang Wilayah

Ketidakpastian hukum terhadap status legalitas lahan. Pemegang konsesi dan investor bersikap wait and see yang berdampak kepada tingkat

Perluasan lahan perkebunan sawit yang dapat menopang ketersediaan bahan baku.

143

OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri


Provinsi (RTRWP) 9 Pengembangan perkebunan kelapa sawit yang mengarah ke Indonesia Timur kurang didukung infrastruktur yang memadai, terutama pelabuhan. Penerapan aturan perpajakan mengenai PPn atas produk primer TBS (Tandan Buah Segar) memberatkan pelaku usaha. Kurangnya hilirisasi kelapa sawit ke minyak goreng ekspansi lahan sawit Perkebunan dan industri kelapa sawit di Indonesia Timur kurang berkembang. Membangun satu pelabuhan ekspor CPO di Kalimantan untuk memudahkan penjualan CPO ke luar negeri. Segera merealisasikan pembangunan klaster industri untuk pengembangan industri hilir sawit. Menimbulkan pajak berganda (double taxation) kepada perusahaan yang terintegrasi (produksi-pengolahan). Harga minyak goreng dapat berfluktuasi Tidak memungut PPn TBS, sehingga dapat mengkreditkan pajak masukan atas input produksi. Terus melakukan stabilisasi harga minyak goreng. Mengurangi biaya transaksi dan biaya produksi. Pemerataan kesejahteraan di wilayah Indonesia timur.

10

11

Menjaga daya beli konsumen karena termasuk kebutuhan pokok, juga sebagai insentif bagi pelaku usaha hilirisasi sawit.

Sumber: Diolah dari berbagai sumber, 2011

144

OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri Tabel 6.2. Matrik Strategi Perluasan Industri Kelapa Sawit
No. 1 Kendala Kurangnya klaster industri yang modern Dampak Produk hilir belum berkembang sesuai harapan Rencana Aksi Konsistensi pelaksanaan Instruksi Presiden No. 1 Tahun 2010 tentang Percepatan Program Prioritas Pembangunan Nasional tahun 2010 mengamanatkan pembangunan klaster Industri Hilir Kelapa Sawit (IHKS) di 3 (tiga) daerah yaitu: Kawasan Industri Sei Mangkei Provinsi Sumatera Utara; Kawasan Industri Dumai dan Kuala Enok Provinsi Riau; serta Kawasan Industri Maloy Provinsi Kalimantan Timur. Mendorong pengolahan CPO hingga turunan produk ketiga (antara lain fatty acid, fatty alcohol, biodiesel) di dalam negeri Pengembangan klaster CPO dan pembentukan jaringan bisnis Implikasi Peningkatan produksi turunan CPO dan juga ketiga lokasi ini akan menjadi satelit industri hilir kelapa sawit berskala modern internasional sekaligus sebagai pusat bangkitan perekonomian berbasis sektor produktif industri nasional. Peningkatan diversifikasi produk hilir CPO Meningkatkan optimalisasi kapasitas, diversifikasi produk turunan CPO melalui investasi baru, serta guna perluasan pangsa ekspor. Peningkatan produktivitas kebun kelapa sawit Peningkatan kesejahteraan masyarakat kecil-menengah

2 3

Kurangnya diversifikasi produk turunan CPO Kurangnya jaringan bisnis bagi perluasan ekspor produk olahan

Nilai tambah produk hilir tidak optimal Tujuan ekspor kurang ekspansif

Produktivitas kebun kelapa sawit milik rakyat masih rendah Kecenderungan pelaku hilirisasi hanya produsen besar

Produktivitas kelapa sawit rendah Pemerataan ekonomi lambat

Peremajaan kebun sawit milik rakyat melalui stimulasi peremajaan dengan dukungan subsidi pemupukan maupun pembiayaan usaha tani sawit yang tepat. Pengembangan kelapa sawit juga diupayakan bagi industri kecil, agar petani dapat menikmati nilai tambahnya.

Sumber: Diolah dari berbagai sumber, 2011

145

OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri 6.3. Strategi Percepatan dan Perluasan Industri Karet Pengembangan karet alam diharapkan dapat dioptimalisasi melalui kedua line usaha, baik on farm maupun off farm. Permasalahan produktivitas lahan merupakan permasalahan utama dalam pengembangan termasuk kualitas bahan baku olahan yang masih rendah. on farm

6.3.1. Strategi Percepatan Industri Karet 1. Perlunya percepatan peremajaan karet tua dan tidak produktif terutama pada perkebunan karet rakyat. 2. Produktivitas lahan dapat dijembatani dengan pola plasma antara perkebunan rakyat dengan perkebunan besar dalam peningkatan hasil dan harga. Pola plasma ini diharapkan juga dapat menjembatani perbankan dalam pemberian fasilitas kredit terkait dengan kemampuan manajemen dan jaminan yang selama ini masih menjadi kendala utama dalam meningkatkan kemampuan permodalan perkebunan. 3. Selain itu, masih di tingkat on farm perlu penggunaan klon unggul penghasil lateks dan kayu yang mempunyai produktivitas tinggi untuk menghasilkan produksi karet yang lebih optimal. 4. Peningkatan kualitas bahan olah karet yang dihasilkan petani sesuai dengan SNI yang disyaratkan industri pengolahan melalui pelatihan dan pendampingan. 5. Penyediaan energi yang mencukupi untuk industri mengingat selain permasalahan jenis produk, industri barang karet juga kerap dihadang oleh permasalahan ketersediaan energi pendukung dan kebijakan yang kurang mendukung optimalisasi industri.

146

OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri 6. Peningkatan efisiensi pemasaran bahan olah karet dan penguatan kelembagaan petani melalui koperasi. 6.3.2. Strategi Perluasan Industri Karet 1. 2. Diversifikasi usahatani karet melalui integrasi dengan tanaman pangan dan ternak untuk peningkatan pendapatan keluarga petani. Pengembangan industri perbenihan bermutu di sentra-sentra produksi karet untuk meningkatkan produksi.

147

OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri Tabel 6.3. Matrik Strategi Percepatan Industri Karet
No. 1 2 3 4 Kendala Rendahnya produktivitas kebun karet Produktivitas kebun rakyat masih rendah Bibit karet bermutu rendah Kualitas produk karet dari kebun rakyat relatif lebih rendah Kurangnya ketersediaan energi untuk mendukung hilirisasi Banyaknya perantara dalam bisnis karet Dampak Produksi karet menurun Pendapatan petani karet rendah Produktivitas hasil kebun karet rendah Harga yang diterima petani rendah Terjadi idle capacity Rencana Aksi Percepatan peremajaan karet tua dan tidak produktif terutama pada perkebunan karet rakyat. Pengembangan pola plasma antara perkebunan rakyat dengan perkebunan besar dalam peningkatan hasil dan harga. Di tingkat on farm perlu penggunaan klon unggul penghasil lateks dan kayu yang mempunyai produktivitas tinggi. Peningkatan kualitas bahan olah karet yang dihasilkan petani sesuai dengan SNI yang disyaratkan industri pengolahan melalui pelatihan dan pendampingan. Penyediaan energi yang mencukupi untuk mendukung optimalisasi industri karet. Peningkatan efisiensi pemasaran bahan olah karet dan penguatan kelembagaan petani melalui koperasi. Implikasi Peningkatan produktivitas Pendapatan petani karet meningkat Produksi karet meningkat Harga yang diterima petani meningkat Produk hilir karet meningkat Harga di tingkat petani naik dan rantai produksi lebih efisien

Harga karet di tingkat petani rendah karena pasar bersifat oligopoli

Sumber: Diolah dari berbagai sumber, 2011

148

OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri Tabel 6.4. Matrik Strategi Perluasan Industri Karet
No. 1 Kendala Kesejahteraan petani karet relatif masih rendah Dampak Pendapatan rendah Rencana Aksi Diversifikasi usahatani karet melalui integrasi dengan tanaman pangan dan ternak untuk peningkatan pendapatan keluarga petani. 2 Kurangnya industri perbenihan bermutu Bibit karet berkualitas rendah Pengembangan industri perbenihan bermutu baik di sentra-sentra produksi karet untuk meningkatkan produksi. Sumber: Diolah dari berbagai sumber, 2011 Peningkatan produktivitas kebun karet Implikasi Peningkatan kesejahteraan petani karet

149

OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri 6.4. Strategi Percepatan dan Perluasan Industri Kakao

Pemerintah melalui Kementerian Perindustrian telah menetapkan industri kakao sebagai salah satu industri prioritas nasional. Target utama pada 2014 antara lain tercapainya diversifikasi produk olahan kakao yang berdaya saing. Demi mencapai target tersebut, maka pemerintah mengupayakan hal-hal sebagai berikut: 1. Meningkatkan nilai tambah biji kakao 2. Meningkatkan mutu dan produktivitas biji kakao 3. Meningkatkan ekspor produk cokelat olahan 4. Meningkatkan penguasaan teknologi dan mutu SDM Namun, berdasarkan hasil analisis, fakta yang terjadi adalah terjadinya penurunan daya saing kakao dan produk olahannya selama 3 tahun terkahir. Untuk itu diperlukan segera tindakan penyelamatan agar daya saing kakao Indonesia tidak terus menurun dan bahkan harus membaik di masa yang akan datang. Diperlukan suatu strategi percepatan dan perluasan, terlebih lagi bahwa industri pengolahan kakao merupakan salah satu industri prioritas yang didorong pengembangannya di dalam negeri.

6.4.1. Strategi Percepatan Industri Kakao 1. Peningkatan Produktivitas dan Mutu Biji Kakao Kebijakan ini dimaksudkan untuk meningkatkan produktivitas tanaman serta mutu kakao secara bertahap, baik yang dihasilkan oleh petani pekebun maupun perkebunan besar. Penerapan kebijakan peningkatan produktivitas dan mutu kakao ditempuh antara lain melalui: a. Optimasi kegiatan penelitian, khususnya untuk memperoleh klon kakao tahan PBK, baik melalui upaya eksplorasi tanaman kakao yang diduga tahan PBK maupun lewat rekayasa genetik. b. Gerakan pengendalian hama PBK secara serius yang didukung

150

OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri dengan dana dan sarana yang memadai. c. Peremajaan dan klonalisasi tanaman kakao terutama dengan menggunakan benih unggul. d. Perbaikan mutu biji kakao melalui upaya perbaikan pengelolaan kebun maupun fermentasi. e. Penerapan secara ketat terhadap persyaratan mutu biji kakao untuk ekspor dan revisi SNI. f. Peningkatan kemampuan kelembagaan usaha. dan pemberdayaan petani dan

2. Program Percepatan dan Peningkatan Ekonomi Nasional untuk memprioritaskan peningkatan nilai tambah, hilirisasi, dan daya saing sektor hasil pertanian. Kebijakan ini dimaksudkan agar ekspor kakao Indonesia tidak lagi berupa bahan mentah (kacang), tapi dalam bentuk hasil olahan, sehingga nilai tambah dinikmati di dalam negeri. Penerapan kebijakan peningkatan produktivitas dan mutu kakao ditempuh antara lain melalui: a. Pengembangan industri hilir kakao, khususnya pengolahan bubuk dan kakao butter untuk meningkatkan nilai tambah. Upaya ini dapat dilakukan via kemitraan dengan 4 perusahaan besar (Nestle, Mars, Hershe dan Cadbury) b. Mengembangkan kemitraan antarpetani kakao dengan industri pengolahan di dalam negeri dan perusahaan luar negeri yang menguasai pasar kakao. 3. Dukungan Penyedian Pembiayaan salah satunya membentuk Lembaga Keuangan Mikro di sentra-sentra produksi. dengan

Kebijakan ini dimaksudkan untuk tersedianya berbagai kemungkinan sumber pembiayaan yang sesuai untuk pengembangan kakao, baik yang berasal dari lembaga perbankan maupun non- bank (antara lain memanfaatkan penyertaan dana masyarakat melalui Kontrak Investasi Kolektif, Resi Gudang, dan lain-lain). 151

OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri 4. Peningkatan kemampuan Sumber Daya Manusia (SDM) dan R & D di bidang budidaya, pascapanen dan pengolahan, antara lain Program Gernas Kakao untuk peningkatan mutu dan produksi kakao. Promosi pemasaran dalam dan luar negeri, antara lain melalui pameran dalam dan luar negeri. Promosi investasi dan meningkatan kerjasama di forum internasional di antaranya Sidang ASEAN Cocoa Club, Sidang International Cocoa Organization.

5. 6.

6.4.2. Strategi Perluasan Industri Kakao Selain kebijakan yang telah disusun pemerintah tersebut, diperlukan juga strategi kebijakan yang bertujuan memperluas pengembangan dan menguatkan industri kakao. Beberapa rekomendasi kebijakan tersebut antara lain: 1. Memperluas lahan perkebunan kakao, memberikan insentif kepada petani, serta memberikan penyuluhan dan sosialisasi agar petani bisa menghasilkan kakao berkualitas. Hal ini dapat dilakukan salah satunya dengan melanjutkan program Gernas Kakao untuk peningkatan produksi dan produktivitas kakao melalui intensifikasi, ekstensifikasi, dan rehabilitasi tanaman kakao. 2. Percepatan pembangunan infrastruktur di daerah, baik melalui APBN maupun APBD. Insentif perpajakan (tax holiday) bagi investor yang membangun infrastruktur. Insentif pajak untuk pembangunan infrastruktur melalui Private Partnership Project (PPP). 3. Insentif perpajakan (tax holiday) bagi investor yang melakukan Riset sesuai PP No. 35 tahun 2007 tentang pengalokasian Pendapatan Badan Usaha Untuk Kegiatan Riset. 4. Menciptakan iklim usaha yang kondusif, termasuk harmonisasi tarif, insentif investasi, dan mengurangi pungutan-pungutan yang memberatkan. Kebijakan yang telah dilakukan antara lain:

152

OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri a. Penghapusan PPN 10% atas komoditi primer termasuk biji kakao b. Melakukan negosiasi penurunan tarif bea masuk kakao olahan di beberapa negara tujuan ekspor c. Program Gernas Kakao untuk peningkatan mutu dan produksi kakao d. Mempertahankan Bea Keluar atas ekspor biji kakao e. Pemberlakuan Standar Nasional Indonesia (SNI) Kakao Bubuk Secara Wajib melalui Peraturan Menperind No. 45/M-IND/PER/5/2009 f. Usulan memperluas cakupan pada PP No. 62 tahun 2008 Tentang Fasilitas Pajak Penghasilan Untuk Penanaman Modal di Bidang-Bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah Tertentu dengan menambah cakupan untuk investasi Industri Kakao dan Industri Makanan dari Cokelat dan Kembang Gula. 5. Peningkatan utilitas kapasitas industri/perusahaan yang telah ada. Fasilitasi kemitraan pemasaran biji kakao fermentasi dengan industri dalam negeri dalam rangka jaminan kepastian harga dan pasokan biji kakao untuk industri olahan kakao. 6. Penciptaan lapangan usaha industri pengolahan kakao melalui: sosialisasi teknologi terpadu proses pengolahan kakao, peningkatan pengetahuan dan kemampuan SDM, pengenalan dan penerapan ISO 22000, ISO 9001 Global Standard for Food Safety, GMP dan HACCP dalam rangka peningkatan mutu dan keamanan produk. 7. Pengembangan pasar domestik: penyertaan para pengusaha pada kegiatan promosi/pameran dalam negeri dan internasional, dan pengembangan diversifikasi produk bernilai tambah tinggi, termasuk kakao non-pangan. 8. Pemerintah perlu melakukan tindakan antisipatif terhadap ketidakpastian ekonomi global (ancaman krisis global) dengan mencari pasar baru, khususnya di wilayah Asia Pasifik, pengembangan industri hilir cokelat yang mampu menyerap produksi biji kakao dalam jumlah yang signifikan, dan peningkatan konsumsi cokelat di dalam negeri.

153

OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri Strategi percepatan dan perluasan industrialisasi berbasis sumber daya pertanian, seperti industri kakao, harus diawali dengan perbaikan dan pembenahan di berbagai aspek, mulai dari sektor hulu hingga hilirisasinya. Sektor hulu harus mampu menyediakan kakao yang berkualitas, ramah lingkungan, dan memerhatikan aspek kesehatan. Sehingga, sektor hilir dapat menyerap hasil-hasil dari sektor hulu dengan menciptakan produk yang berkualitas, bernilai tambah tinggi, dan berdaya saing.

154

OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri Tabel 6.5. Matrik Strategi Percepatan Industri Kakao
No 1. Kendala Kualitas biji kakao Indonesia yang semakin rendah dan sekitar 90% tidak difermentasi. Hal ini diperparah dengan rendahnya produktivitas perkebunan kakao, hanya 0.6 ton/ha/tahun dan dikhawatirkan semakin menurun. Hal ini disebabkan karena serangan hama (PBK) pada tanaman perkebunan kakao. Dampak Industri yang ingin mengolah kakao seperti cocoa powder dan produk olahan kakao lainnya harus mengimport biji kakao fermentasi dari Afrika. Rencana Aksi Perlunya upaya peningkatan Produktivitas dan Mutu Biji Kakao dengan cara: a. Optimasi kegiatan penelitian, khususnya untuk memperoleh klon kakao tahan PBK baik melalui upaya eksplorasi tanaman kakao yang diduga tahan PBK maupun melalui rekayasa genetik. b. Gerakan pengendalian hama PBK secara serius yang didukung dengan dana dan sarana yang memadai. c. Peremajaan dan klonalisasi tanaman kakao terutama dengan menggunakan benih unggul. d. Perbaikan mutu biji kakao melalui upaya perbaikan pengelolaan kebun maupun fermentasi. e. Penerapan secara ketat terhadap Implikasi Tersedianya bahan baku yang melimpah dan berdaya saing untuk industri pengolahan kakao di Indonesia.

155

OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri


persyaratan mutu biji kakao untuk ekspor dan revisi SNI. f. Peningkatan kemampuan dan pemberdayaan petani dan kelembagaan usaha. g. Pemerintah perlu mencontoh apa yang dilakukan Ghana yaitu mewajibkan 60 persen produksi kakaonya diolah dulu di dalam negeri dan sisanya pada saat di ekspor dikenakan Bea Keluar yang dananya dikembalikan lagi untuk kepentingan para petani kakao. Program Percepatan dan Peningkatan Ekonomi Nasional untuk memprioritaskan peningkatan nilai tambah, hilirisasi dan daya saing sektor hasil pertanian.

Sebagian besar biji kakao masih diperuntukkan bagi kepentingan ekspor

Industri kakao lokal kekurangan pasokan biji kakao.

Industri kakao membutuhkan

Terbatasnya akses

Dukungan Penyediaan Pembiayaan

Ekspor kakao Indonesia tidak lagi berupa bahan mentah (kacang), tapi dalam bentuk hasil olahan, sehingga nilai tambah dinikmati di dalam negeri. Tersedianya

156

OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri


dana untuk investasi dan modal kerja yang cukup besar yang tidak mungkin ditanggung sendiri oleh para investor. Sementara pihak perbankan cenderung lebih mudah untuk memberikan kredit yang bersifat konsumtif sedangkan kredit untuk keperluan investasi dan modal kerja sulit sekali. Ditambah lagi dengan tingginya suku bunga di Indonesia yaitu 14 persen sedangkan di Malaysia hanya 4 persen. pembiayaan bagi industri salah satunya dengan membentuk kakao. Hal ini akan Lembaga Keuangan Mikro di sentra-sentra menyebabkan industri kakao produksi. sulit berkembang 1. Perlu dukungan yang lebih kuat dari (menghambat pihak perbankan agar industri dalam industrialisasi) negeri dapat lebih berkembang. 2. Pemerintah perlu mengatur agar tingkat suku bunga di Indonesia tidak memberatkan sektor riil sehingga bisa bersaing dengan industri sejenis diluar. berbagai kemungkinan sumber pembiayaan yang sesuai untuk pengembangan kakao, baik yang berasal dari lembaga perbankan maupun non bank (antara lain memanfaatkan penyertaan dana masyarakat melalui Kontrak Investasi Kolektif, Resi Gudang dan lain-lain). Melimpahnya SDM berkualitas diberbagai bidang

Kemampuan Sumber Daya Manusia di bidang budidaya, pascapanen, dan pengolahan

budidaya, pascapanen, dan pengolahan industri kakao masih tidak berkembang

Peningkatan kemampuan Sumber Daya Manusia (SDM) dan R & D di bidang budidaya, pascapanen, dan pengolahan.

157

OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri


masih terbatas dan tumbuh pesat Antara lain: Program Gernas Kakao untuk peningkatan mutu dan produksi kakao; sebagai faktor pendukung pengembangan industri kakao Pasar tujuan ekspor menjadi semakin banyak dan beragam. Hal ini akan mempercepat pertumbuhan ekspor kakao Indonesia. Membanjirnya investasi asing serta meningkatnya pertumbuhan industri kakao nasional

Pasar kakao di tingkat internasional belum luas dan masih mengandalkan traditional market (negara pelanggan utama tujuan ekspor Indonesia).

Sempit dan minimnya pasar tujuan ekspor kakao Indonesia

Promosi pemasaran dalam dan luar negeri, antara lain melalui pameran dalam dan luar negeri.

Rendahnya tingkat investasi khususnya investasi asing. Kurangnya jaringan internasional di bidang kakao

Pertumbuhan indsutri kakao tidak optimal karena kekurangan investor.

Promosi investasi dan meningkatan kerjasama di forum internasional diantaranya Sidang ASEAN Cocoa Club, Sidang International Cocoa Organization.

158

OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri Tabel 6.6. Matrik Strategi Perluasan Industri Kakao
No 1 Kendala Luas areal perkebunan kakao masih terpusat di suatu daerah tertentu (Sulawesi) dan kualitasnya masih rendah. Dampak Minim dan terbatasnya sumberdaya kakao untuk industri pengolahan kakao lokal Rencana Aksi Memperluas lahan perkebunan kakao, memberikan insentif kepada petani serta memberikan penyuluhan dan sosialisasi agar petani dapat menghasilkan kakao berkualitas. Hal ini dapat dilakukan salh satunya dengan melanjutkan program Gernas Kakao untuk peningkatan produksi dan produktivitas kakao melalui intensifikasi, ekstensifikasi dan rehabilitasi tanaman kakao. Percepatan pembangunan infrastruktur di daerah baik melalui APBN maupun APBD. Insentif perpajakan (tax holiday) bagi investor yang membangun infrastruktur. Insentif pajak untuk pembangunan infrastruktur melalui Private Partnership Project (PPP); Implikasi Perkebunan kakao dapat menyebar lebih rata di seuluru Indonesia dan hasilnya dapat memenuhi kualitas atau standar yang baik.

Kurangnya infrastruktur di daerah adalah salah satu faktor mengapa perkebunan dan industri kakao tidak berkembang. Sebagai contoh: Makassar yang walaupun sudah memiliki kawasan industri namun masih kurang

Terjadinya inefisiensi produksi. Banyak industri yang terpaksa harus banyak menggunakan solar untuk genset dan akhirnya menimbulkan high cost.

Proses atau kegiatan industri khususnya pengolahan kakao dapat berlangsung secara efisien dan tidak menimbulkan high cost economy.

159

OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri


memadai. Beberapa industri disana mengeluhkan pasokan listrik yang kurang sehingga hampir setiap hari ada pemadaman listrik. Kurangnya kegiatan penelitian untuk pengembangan kakao di Indonesia

Hasil perkebunan kakao serta pengolahannya perkembangnnya kurang optimal

Insentif perpajakan (tax holiday) bagi investor yang melakukan Riset sesuai PP No. 35 tahun 2007 tentang pengalokasian Pendapatan Badan Usaha Untuk Kegiatan Riset. Menciptakan iklim usaha yang kondusif, termasuk harmonisasi tarif, insentif investasi dan mengurangi pungutan-pungutan yang memberatkan, dan kebijakan yang telah dilakukan antara lain: a. Penghapusan PPN 10 persen atas komoditi primer termasuk biji kakao b. Melakukan negosiasi penurunan tarif bea masuk kakao olahan di

Kegiatan penelitian untuk pengembangan kakao menjadi semakin banyak

4.

Iklim usaha yang kurang kondusif dari hulu hingga hilir jika dilihat dari berbagai aspek.

Banyak investor dan pengusaha yang ragu-ragu untuk membangun indutri kakao

Semakin berkembang dan tumbuhnya industri-industri kakao nasional. Sehingga dapat meningkatkan kapasitas produksi nasional dan meningkatkan ekspor.

160

OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri


beberapa negara tujuan ekspor; c. Mempertahankan Bea Keluar atas ekspor biji kakao d. Pemberlakuan Standar Nasional Indonesia (SNI) Kakao Bubuk Secara Wajib melalui Peraturan Menperind No. 45/MIND/PER/5/2009 e. Usulan memperluas cakupan pada PP No. 62 tahun 2008 Tentang Fasilitas Pajak Penghasilan Untuk Penanaman Modal Di BidangBidang Usaha Tertentu dan/atau Di Daerah Tertentu dengan menambah cakupan untuk investasi Industri Kakao dan Industri Makanan dari Cokelat dan Kembang Gula. Peningkatan utilitas kapasitas industri/perusahaan yang telah ada. Fasilitasi kemitraan pemasaran biji kakao fermentasi dengan industri

Jumlah industri kakao relatif sedikit sehingga kapasitas produksinya kurang dapat memenuhi permintaan kakao

Industri kakao olahan Indonesia kurang berdaya saing dan kalah negara lain dalam hal volume/nilai dan

Hasil produksi dari industri kakao semakin dapat memenuhi permintaan domestik dan luar negeri

161

OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri


di dalam dan luar negeri kualitas. dalam negeri dalam rangka jaminan kepastian harga dan pasokan biji kakao untuk industri olahan kakao. Penciptaan lapangan usaha industri pengolahan kakao melalui: Sosialisasi teknologi terpadu proses pengolahan kakao, peningkatan pengetahuan dan kemampuan SDM, pengenalan dan penerapan ISO 22000, ISO 9001 Global Standard for Food Safety, GMP dan HACCP dalam rangka peningkatan mutu dan keamanan produk. Pengembangan pasar domestik : penyertaan para pengusaha pada kegiatan promosi/pameran dalam negeri dan internasional, pengembangan diversifikasi produk bernilai tambah tinggi termasuk kakao non pangan. Industri kakao dapat semakin meluas ke berbagai wilayah di Indonesia dengan hasil yang berkualitas

Kurang berkembangnya (minimnya) lapangan usaha di bidang kakao yang berkualitas dan memenuhi standar serta tidak mengindahkan penerapan ISO 22000, ISO 9001 Global Standard for Food Safety, GMP dan HACCP dalam rangka peningkatan mutu dan keamanan produk. Rendahnya tingkat konsumsi kakao di Indonesia hanya 0.6 kg/kapita/tahun sementara di Eropa lebih dari 10 kg.

Jumlah lapangan usaha yang berkualitas tidak optimal, sehingga hasil produksi kakao kurang memenuhi standar dan kurang berdaya saing.

Minimnya permintaan atau minat mengkonsumsi cokelat

Terciptanya pasar domestik yang prospektif karena minat mengkonsumsi cokelat semakin tinggi.

162

OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri


8 Ketergantungan Indonesia terhadap suatu pasar tujuan ekspor (kurangnya diversifikasi pasar). Sehingga jika sedang terjadi krisis di negara tujuan tersebut maka akan sangat berpengaruh terhadap ekspor kakao Indonesia Sempitnya akses pasar tujuan ekspor kakao. Pemerintah perlu melakukan tindakan antisipatif terhadap ketidakpastian ekonomi global (ancaman krisis global) dengan mencari pasar baru khususnya di wilayah Asia Pasifik, pengembangan industri hilir cokelat yang mampu menyerap produksi biji kakao dalam jumlah yang signifikan, serta peningkatan konsumsi cokelat di dalam negeri. Pasar tujuan ekspor kakao menjadi semakin luas

163

OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri 6.5. Strategi Percepatan dan Perluasan Industri Rotan

Seperti yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya, industri rotan merupkan salah satu industri di Indonesia yang memiliki nilai strategis. Tetapi, berbagai hambatan dan permasalahan yang muncul, baik dalam konteks faktor bahan baku, faktor produksi, maupun faktor pemasaran menyebabkan industri rotan dalam beberapa tahun terakhir terus mengalamai penurunan. Pemerintah sendiri telah mengeluarkan kebijakan larangan ekspor bahan baku rotan yang ditujukan untuk membangun kembali industri rotan yang sempat mengalami penurunan. Namun perlu diingat bahwa kebijakan larangan ekspor bukan merupkan solusi utama dalam menumbuhkan kembali industri rotan. Kebijakan tersebut harus disertai dengan berbagai kebijakan lainnya agar industri rotan di Indonesia dapat berkembang. Berbagai kebijakan tersebut tercakup dalam strategi percepatan dan perluasan industri rotan di Indonesia. Lebih dari itu, diperlukan kebijakan perluasan industri rotan yang mendekatkan industri rotan dengan daerah-daerah penghasil rotan. Selama ini, industri rotan terletak di daerah-daerah yang jauh dari daerah sumber. Oleh sebab itu, perlu dikeluarkan kebijakan pengembangan industri di daerah sumber dari bahan baku rotan. 6.5.1. Strategi Percepatan Industri Rotan Strategi percepatan industri rotan difokuskan kepada upaya menumbuhkan kembali industri rotan yang sempat mati selama diberlakukannya kebijakan ekspor bahan baku rotan. Hal tersebut ditujukan untuk mengantisipasi tidak terserapnya bahan baku rotan akibat penutupan keran ekspor bahan baku rotan. Diprediksi industri rotan dapat kembali pulih dalam waktu 2 tahun pasca penutupan ekspor bahan baku rotan. Dalam rangka mengembalikan industri rotan seperti sedia kala, dibutuhkan beberapa kebijakan yang ditujukan untuk mempercepat pembangunan kembali industri rotan dalam negeri. Beberapa kebijakan tersebut antara lain adalah:

164

OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri 1. Memberikan Bantuan Finansial Kepada Industri Rotan Baru untuk Berkembang. Selain sulitnya perizinan industri rotan, pengusaha baru pada industri rotan mengalami berbagai hambatan untuk dapat berkembang karena berbagai faktor, seperti kurangnya modal dan gagalnya bersaing dengan produk lainnya yang memiliki harga saing yang lebih baik. Oleh sebab itu, pemerintah harus memberikan bantuan khusus kepada industri rotan agar dapat berkembang. Bantuan tersebut dapat dilakukan melalui pemberian bantuan modal kepada pengusaha industri rotan serta insentif fiskal agar produk-produk hasil industri rotan bisa memiliki harga saing yang lebih tinggi. Lebih dari itu, pengusaha industri rotan perlu bantuan finansial untuk meng-upgrade kemampuannya dan workshop untuk meningkatkan kapasitas produksi rotan. Pemberian bantuan juga bisa dilakukan melalui pengkonsolidasian lembaga keuangan beserta bank-bank pemerintah untuk memberikan kredit kepada industri rotan dengan bunga yang rendah. Kebijakan lain yang bisa diambil antara lain adalah menurunkan suku bunga pinjaman pada tingkat maksimum 3% di atas suku bunga deposito yang ditetapkan pemerintah, membantu mempermudah pencairan Letter of Credit (L/C) bagi para eksportir, serta menyederhanakan prosedur perolehan kredit bagi industri mebel. Tidak dapat dipungkiri salah satu permasalahan industri rotan untuk berkembang adalah kurangnya dukungan pendanaan yang disebabkan oleh tingginya bunga kredit dari lembaga keuangan maupun dari bank. Oleh sebab itu, pemberian bantuan pemodalan oleh pemerintah, baik secara langsung maupun tidak langsung, akan mendukung percepatan pertumbuhan industri rotan di Indonesia. 2. Menghubungkan Industri Rotan dengan Produsen Bahan Baku Rotan. Menghubungkan industri rotan dengan produsen bahan baku rotan menjadi sangat penting agar bahan baku rotan dapat terserap pascaditutupnya ekspor bahan baku rotan. Berbagai kekhawatiran muncul pascaditutupnya ekspor bahan baku rotan, salah satunya adalah

165

OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri ketidakmampuan industri rotan menyerap bahan baku rotan. Ketidakmampuan menyerap tersebut dapat diatasi jika pemerintah membantu menghubungkan industri rotan dengan produsen bahan baku rotan. Pemerintah juga dapat memberikan bantuan melalui pembelian bahan baku rotan terlebih dahulu lalu menjual kepada industri rotan secara bertahap (kredit). Hal itu bisa mengatasi permasalahan perbedaan permintaan cara pembayaran, di mana industri rotan menginginkan untuk mencicil pembayaran bahan baku rotan sedangkan produsen bahan baku rotan menginginkan membayar secara tunai. Selain itu, perlu dibentuk bank informasi yang menyedikan informasi informasi mengenai pemasok maupun pembeli bahan baku rotan. Dengan meningkatnya kemampuan menyerap bahan baku rotan oleh industri rotan, maka diharapkan mampu mendongkrak pertumbuhan industri rotan secara cepat. 3. Mempromosikan Produk Industri Rotan Pada Pasar Domestik Maupun Pasar Internasional. Upaya lain yang dapat dilakukan dalam upaya mempercepat tumbuhnya industri rotan di Indonesia adalah dengan membantu memasarkan produkproduk industri rotan. Selama ini, permasalahan yang terjadi pada industri rotan rendahnya permintaan terhadap produk-produk hasil industri rotan, baik di dalam negari maupun di luar negeri. Oleh sebab itu, pemerintah dapat membantu mempromosikan produk rotan Indonesia melalui penyelenggaraan pameran-pameran baik lokal maupun luar negeri, mensponsori peserta-peserta berpameran di luar negeri, mengoptimalkan keberadaan kinerja atase perdagangan di luar negeri, membangun outlet di negara-negara potensial market untuk melakukan penjualan produk mebel dan kerajinan secara langsung, serta membudayakan pemakaian produk mebel dan kerajinan hasil produksi dalam negeri untuk keperluan kantorkantor pemerintah. Dengan berbagai upaya tersebut, harapannya mampu meningkatkan demand terhadap produk rotan yang pada akhirnya akan mempercepat pengembangan industri rotan.

166

OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri 4. Peningkatan Teknologi Proses Produksi Rotan Olahan. Dalam proses percepatan pengembangan industri rotan dalam negeri, kebijakan lain yang dapat dilakukan oleh pemerintah adalah meningkatkan teknologi produksi rotan olahan. Kebijakan tersebut perlu diambil mengingat masih buruknya teknologi pengolahan industri rotan yang pada akhirnya membuat minimnya kemampuan dan kualitas produksi dari industri rotan. Beberapa kebijakan yang dapat diambil dalam meningkatkan teknologi proses produksi rotan olahan adalah peningkatan permesinan industri rotan, pembuatan bahan bahan tertentu untuk meningkatkan kualitas bahan baku rotan dari gangguan hama dan jamur, serta meningkatkan kemampuan memproduksi bahan-bahan penunjang (supporting industry) yang selama ini masih diimpor. 5. Menekan High Cost Economy dalam Produksi Rotan Olahan. Permasalahan high cost economy telah menjadi cross cutting issue dalam pengembangan industri nasional. Hal itu juga berlaku dalam industri rotan, di mana adanya high cost economy yang disebabkan oleh beberapa hal, seperti tingginya pajak, buruknya infrastruktur, dan mahalnya biaya distribusi bahan baku rotan. Permasalahan tersebut pada akhirnya membuat meningkatnya biaya produksi yang seharusnya dapat ditekan. Kondisi ini juga membuat produk Indonesia gagal bersaing dengan produk dari negara lain yang memiliki nilai jual yang lebih kompetitif. Oleh sebab itu, untuk membuat harga produk hasil olahan industri rotan dapat lebih kompetitif serta mingkatkan margin keuntungan pengusaha industri rotan, pemerintah perlu mengambil beberapa kebijakan, antara lain penghapusan PPN bahan baku dan bahan penunjang, diberlakukannya pajak final bagi para eksportir untuk mempermudah restitusi pajak, serta menghapuskan Terminal Handling Charge (THC)

167

OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri 6.5.2. Strategi Perluasan Industri Rotan Sasaran berikutnya dalam pengembangan industri rotan adalah melakukan perluasan industri rotan. Hal itu ditujukan untuk menyebarkan industri rotan yang selama ini terpusat di pulau Jawa yang bukan merupakan daerah sumber dari bahan baku rotan. Oleh sebab itu, strategi perluasan difokuskan kepada upaya mengembangkan industri rotan di daerah sumber penghasil bahan baku rotan, seperti di daerah Kalimantan dan Sulawesi. 1. Pembangunan Infrastruktur di Daerah Penghasil Rotan. Permasalahan industri rotan hingga saat ini adalah jauhnya lokasi dari pusat penghasil rotan dan pusat produksi rotan. Hal tersebut membuat harga produksi menjadi lebih mahal karena biaya transportasi dari daerah penghasil rotan ke tempat industri rotan. Oleh sebab itu, perlu strategi perluasan industri rotan yang tidak hanya terpusat di Cirebon dan Jepara, tetapi juga di daerah-daerah penghasil rotan, seperti Kalimantan dan Sulawesi. Namun, untuk mengembangkan industri rotan di luar daerah juga bukan hal yang mudah mengingat masih buruknya infrastruktur di daerah penghasil rotan. Oleh sebab itu, infrastruktur di daerah penghasil harus ditingkatkan. Infastruktur harus dibangun untuk menjadi pondasi bagi tumbuhnya industri rotan di daerah sumber. 2. Membentuk Sentra-Sentra Penghasil Produk Rotan di Setiap Daerah Penghasil Rotan. Upaya lain yang bisa dilakukan oleh pemerintah dalam upaya memperluas industri rotan di Indonesia adalah dengan membentuk dan mendirikan sentra-sentra industri rotan di setiap daerah penghasil rotan. Selama ini, produksi rotan dipusatkan di daerah Jawa dengan Cirebon dan Jepara sebagai sentra industrinya. Pendirian sentra-sentra industri di daerah Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, dan daerah penghasil lainnya diharapkan mampu mendongkrak industri rotan di daerah-daerah tersebut. Hal tersebut juga dimaksukan agar kiblat industri rotan tidak terpusat di daerah Cirebon

168

OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri saja, tetapi juga di daerah-daerah lain yang memiliki potensi sumber daya rotan yang tinggi. 3. Membentuk Sekolah Disain di Daerah Sumber. Kebijakan lain yang perlu diambil adalah membentuk sekolah desain di daerah sumber untuk meningkatkan keahlian dari para tenaga kerja pada industri rotan di daerah sumber. Tidak dapat dipungkiri bahwa desain dari produk rotan merupakan kunci suksesnya suatu industri rotan, di samping kualitas dari produk rotan itu sendiri. Dengan adanya tenaga-tenaga ahli desain di daerah-daerah sumber akan membuat desain produk dari industri rotan akan lebih baik dan disukai pasar. Selain itu, untuk meningkatkan kemampuan desain di daerah sumber perlu dibentuk pusat penelitian dan pengembangan industri rotan sehingga mampu menangkap kebutuhan pasar dan membangun Pusat Inovasi Mebel Rotan (PIMR). Hal ini pada akhirnya akan meningkat permintaan dan menghidupkan industri rotan. 4. Memotong Birokrasi Pembangunan Industri Rotan. Salah satu permasalahan dari sulit berkembanganya industri rotan adalah karena rumitnya perizinan pembangunan industri. Permasalahan ini telah menjadi masalah klasik yang hingga saat ini sulit dibenahi. Oleh sebab itu, dalam upaya mempercepat pembangunan industri rotan, pemerintah harus mempermudah dan menyederhanakan segala perizinan industri.

169

OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri Tabel 6.7. Matrik Strategi Percepatan Industri Rotan
No 1 Kendala Sedikitnya lembaga keuangan yang memberikan bantuan kredit kepada industri rotan Dampak Minimnya pendanaan industri rotan Rencana Aksi Pengkonsolidasian lembaga-lembaga keuangan terutama bank pemerintah untuk pemberian kredit kepada industri rotan Menurunkan suku bunga pinjaman pada tingkat maksimum 3% di atas suku bunga deposito yang ditetapkan pemerintah Membantu mempermudah pencairan Letter of Credit (L/C) bagi para eksportir Menyederhanakan prosedur perolehan kredit bagi industri mebel Pembentukan bank informasi mengenai pemasok maupun pembeli bahan baku rotan Peminjaman kredit kepada industri rotan sehingga mampu membeli bahan baku rotan Penyelenggaraan berbagai pameran produk rotan Pemanfaatan atase perdagangan untuk promosi produk rotan Implikasi Industri rotan mendapatkan pendanaan dan modal

2 Industri rotan tidak memiliki dana tunai untuk membeli bahan baku rotan Industri rotan tidak mampu menyerap bahan baku rotan

Bahan baku rotan dapat diserap oleh industri rotan

Produk rotan kurang dikenal di pasar internasional

Produk rotan dari Cina lebih disukai dibandingkan produk dari Indonesia

Produk rotan dari Indonesia lebih dikenal di pasar internasional

170

OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri


4 Buruknya teknologi pengolahan industri rotan Minimnya kemampuan dan kualitas produksi dari industri rotan Peningkatan permesinan industri rotan Pembuatan bahan bahan tertentu untuk meningkatkan kualitas bahan baku rotan dari gangguan hama dan jamur Meningkatkan kemampuan memproduksi bahan-bahan penunjang (supporting industry) yang selama ini masih diimpor. Penghapusan PPN bahan baku dan bahan penunjang Diberlakukannya pajak final bagi para eksportir untuk mempermudah restitusi pajak Menghapuskan Terminal Handling Charge (THC) Meningkatnya kemampuan produksi dari industri rotan

Tingginya pajak baik dalam bahan baku maupun ketika akan mengeskpor

6.

Tingginya biaya bahan baku rotan

distribusi

Produk Indonesia gagal bersaing dengan produk dari negara lain yang memiliki nilai jual yang lebih kompetitif Meningkatnya biaya produksi yang seharusnya dapat ditekan

Harga produk hasil olahan industri rotan dapat lebih kompetitif

Harga produk hasil olahan industri rotan dapat lebih kompetitif

171

OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri Tabel 6.8. Matrik Strategi Perluasan Industri Rotan
No 1 Kendala Buruknya infrastruktur di daerah sumber Dampak Disinsentif Pembangunan Industri Rotan di Daerah Sumber Rencana Aksi Pembangunan infrastruktur di daerah sumber untuk menopang pengembangan industri rotan seperti jalan raya, listrik, dan air Membentuk Sentra-Sentra Penghasil Produk Rotan di Setiap Daerah Penghasil Rotan Implikasi Mempermudah proses produksi serta menekankan high cost economy Industri rotan Indonesia tidak lagi bergantung pada industri rotan di daerah Jawa saja tetapi juga di daerah sumber Produk rotan Indonesia akan sesuai dengan permintaan pasar

Pusat sentra produk rotan terpusat di Cirebon dan daerah-daerah lain di Jawa Tidak disukainya desain produk rotan

Ketergantungan yang besar pada industri rotan Cirebon dan daerah-daerah lain di Jawa Minimnya permintaan produk rotan

4 6

Tidak efisiennya birokrasi Minimnya pendidikan dari tenaga kerja pada industri

Sulitnya membentuk industri rotan baru Rendahnya kualitas produk dari industri rotan

Pendirian sekolah desain di sentra Industri Rotan Pendirian pusat penelitian dan pengembangan industri rotan sehingga mampu menangkap kebutuhan pasar Membangun Pusat Inovasi Mebel Rotan (PIMR) Membangun Badan Promosi Investasi Daerah Penyederhanaan proses pengurusan pembentukan industri rotan baru Pemberian pelatihan dan kursus teknis kepada para tenaga kerja dalam industri

Mudahnya proses pendirian industri rotan baru Lahirnya para penggerak industri rotan yang memiliki kualitas yang

172

OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri


rotan rotan Penyelenggaraan seminar maupun training yang berkaitan dengan menejemen industri rotan Menerapkan teknis agroforestry Budi daya rotan tanaman Mencegah degradasi-deforestasi Penggunaan lahan sesuai dengan tata ruang yang telah ditentukan tinggi

Deforestasi

Kelangkaan bahan baku rotan Rendahnya kualitas bahan baku rotan yang tersedia

Ketersediaan bahan baku rotan yang berkualitas

173

OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri 6.6. Strategi Percepatan dan Perluasan Industri Rumput Laut

Sektor perikanan budidaya memegang peranan penting dalam perekonomian. Peran penting sektor perikanan, khususnya budidaya, rumput laut terletak dalam beberapa hal, seperti pendorong pertumbuhan ekonomi pesisir dan penyedia lapangan kerja, penyedia kebutuhan pangan masyarakat, penghasil devisa, dan pendorong tumbuhnya sektor industri. Meskipun memegang peranan dan potensi yang besar, pengembangan sektor perikanan budidaya masih menghadapi beberapa kendala dan tantangan. Secara umum permasalahan yang dihadapi oleh sektor perikanan budidaya adalah kurang tersedianya pembiayaan jangka panjang (investasi) dalam rangka penyediaan dan perbaikan infrastruktur, perluasan lahan produksi, dan penguatan kegiatan penelitian dan pengembangan di sektor industri pengolahan rumput laut. Sehubungan dengan hal tersebut, diperlukan upaya perumusan strategi percepatan dan perluasan industri pada sektor budidaya rumput laut. Strategi yang perlu dilakukan dalam upaya pengembangan rumput laut di Indonesia adalah membuat kebijakan yang diarahkan untuk peningkatan kualitas, kuantitas, serta kesinambungan produksi rumput laut. Adapun strategi yang akan dibahas mencakup subsistem hulu, subsistem produksi, subsistem hilir, subsistem pembiayaan, dan subsistem kelembagaan.

6.6.1. Strategi Percepatan Industri Rumput Laut 1. Peningkatan produksi melalui penggunaan bibit unggul dan teknologi budidaya rumput laut yang baik dan benar 2. Kerjasama antar lembaga; dilakukan melalui koordinasi dengan lembaga-lembaga penelitian serta lembaga pengabdian masyarakat milik perguruan tinggi untuk pengembangan bibit unggul 3. Penunjukan lembaga resmi; dilakukan dengan menentukan lembaga yang bertanggung jawab dalam penyediaan dan distribusi bibit unggul

174

OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri 4. Penyediaan fasilitas; dilakukan melalui peningkatan sarana prasarana pengembangan kebun bibit dalam rangka penanganan mutu dan penyediaan bibit secara kontinyu Pengawasan; dilakukan oleh lembaga teknis yang berwenang terhadap kesehatan, proses produksi, dan distribusi bibit rumput laut Peningkatan kegiatan pengkajian teknik operasional, termasuk perbaikan kualitas bibit, teknologi budidaya, pascapanen, pengolahan serta pemasaran Pengaturan pola tanam rumput laut; dilakukan pada tiap kawasan berdasarkan pendekatan iklim dan orientasi pasar Transformasi teknologi budidaya, panen dan pascapanen melalui penerapan Good Culture Practice dengan pendekatan kawasan Peningkatan kualitas; dilakukan melalui penanganan mutu rumput laut mulai sejak panen sampai ke lokasi pabrikasi Melakukan pengawasan; dilakukan terhadap proses standarisasi dan diversifikasi bahan olahan; baik di tingkat UMKM maupun pabrikasi Pengembangan pemasaran; dilakukan melalui peningkatan fasilitas, sarana-prasarana pemasaran serta aktif melakukan promosi produk Peningkatan kerjasama dengan perusahaan pembiayaan, investor dan sektor perbankan; dilakukan untuk mendapatkan fasilitas kredit murah bagi pembudidaya rumput laut dan usaha pengolahan rumput laut (UMKM) Pemberian insentif kepada para debitur kredit murah yang berprestasi, tertib administrasi dan tepat waktu dalam penyelesaian kredit, dilakukan untuk memberikan stimulasi kepada para debitur agar dapat menyelesaikan kewajibannya Stimulai pengembangan usaha budidaya rumput laut; dilakukan dengan pemberian bantuan bibit unggul kepada pembudidaya Percepatan pengembangan usaha budidaya rumput laut; dilakukan melalui pengadaan unit percontohan (demplot), kebun bibit dan upaya-upaya pembinaan

5.

6.

7. 8. 9. 10. 11. 12.

13.

14. 15.

175

OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri 16. Peningkatan peran kelembagaan; dilakukan melalui pembentukan asosiasi atau kelompok pada semua tingkatan stakeholders yang bergerak di bidang budidaya rumput laut 17. Peningkatan kemampuan mendapatkan akses informasi terhadap inovasi, teknologi, permodalan, pemasaran dan pengembangan kelembagaan; dilaksanakan melalui kerjasama dengan instansi terkait 18. Menciptakan situasi kondusif serta melakukan fasilitasi agar komunikasi antar lembaga berjalan dengan baik; dilakukan melalui perencanaan secara terstruktur dan terorganisir secara baik.

6.6.2. Strategi Perluasan Industri Rumput Laut 1. Melakukan zonasi pengembangan areal budidaya yang diintegrasikan dengan RUTRW dan pengembangan komoditas lain 2. Melakukan identifikasi dan analisis kesesuaian lahan; dilakukan agar pemilihan lokasi budidaya sesuai dengan daya dukung lingkungan 3. Melakukan penataan ruang dan penetapan wilayah pengembangan produksi rumput laut; diupayakan agar dapat berintegrasi dengan kepentingan pengembangan komoditas lain dan sektor terkait lain 4. Memberikan kepastian hukum terhadap zona budidaya serta hal lain yang berkaitan dengan pemasaran hasil produksi 5. Peningkatan akses penyerapan hasil produksi rumput laut dan jaminan terhadap stabilitas harga dan pemasaran 6. Penguatan peran dan fungsi kelembagaan para pemangku kepentingan (stake holders) yang bergerak di bidang rumput laut 7. Peningkatan SDM pembudidaya; dilakukan pada semua tingkatan, mulai proses produksi hingga teknik panen dan pascapanen 8. Peningkatan kegiatan penyuluhan dan pembinaan; dilakukan pada tiap-tiap kawasan secara periodik dan tersturktur 9. Diversifikasi produk olahan; dilakukan baik secara vertikal maupun horisontal termasuk diversifikasi jumlah dan jenis barang

176

OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri 10. Perluasan segmen pasar dan pengembangan pola distribusi 11. Melakukan kerjasama dengan media massa serta media publikasi ilmiah yang berhubungan dengan komoditas; dilakukan agar akses informasi yang menyangkut inovasi, teknologi, permodalan, pemasaran dan pengembangan kelembagaan dapat sampai ke pelosok desa. Selain itu, cerita-cerita sukses (success story) dan teknik yang inovatif perlu disebarluaskan agar lebih mendorong kegiatan tersebut di masyarakat 12. Pengembangan budidaya rumput laut juga sebaiknya dilakukan dengan berbasis kawasan (clasters). Hal ini dimaksudkan agar kegiatan dapat dilakukan secara terukur, baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Berdasarkan data dari Ditjen P2HP KKP, perkembangan klaster industri pengolahan rumput laut di Indonesia pada 2007 hingga 2009 baru sebanyak 13 klaster. Secara umum, pola keterkaitan pemangku kepentingan dalam pengembangan industri pengolahan rumput laut serta tanggung jawabnya masing-masing, antara lain: a. Kementerian Kelautan dan Perikanan, bertanggung jawab dalam pendampingan pembudidaya serta menjamin ketersediaan pasokan bahan baku untuk industri

b. Kementerian Perindustrian, bertanggung jawab dalam mendorong pengembangan industri pengolahan serta mendorong diversifikasi produk c. Kementerian Perdagangan, bertanggung jawab dalam memfasilitasi pemasaran produk hasil olahan rumput laut, serta membuat penelitian pasar dan marketing strategy

d. Adapun institusi lainnya berfungsi sebagai pendukung pengembangan industri pengolahan rumput laut, antara lain Kementerian Koperasi & UKM bertugas dalam pembinaan kelompok

177

OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri dan penyediaan bantuan alat; Kementerian PDT bertugas dalam penyedia lahan budidaya dan bantuan pembiayaan; Kementerian Pendidikan Nasional, Kementerian RISTEK dan BKPM bertugas dalam pengembangan teknologi (R&D) serta pemanfaatan bahan baku; Kementerian Dalam Negeri bertugas dalam memonitor regulasi serta mendorong pelibatan BUMD; Kementerian Pekerjaan Umum bertugas dalam menyediakan infrastruktur yang layak; Kementerian Luar Negeri bertugas sebagai marketing intelligence; serta Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota bertanggung jawab pula dalam mengembangkan industri pengolahan rumput laut.

178

OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri Tabel 6.9. Matrik Strategi Percepatan Industri Rumput Laut
No 1 Kendala Terbatasnya ketersediaan bibit unggul serta ketiadaan kepastian jaminan pasok bahan baku industri Dampak Resiko penurunan produksi atau gagal panen Kualitas hasil produksi yang dihasilkan mempunyai mutu yang kurang optimal Industri pengolahan sulit menjaga kontinuitas produksi Rencana Aksi Penyediaan bibit unggul dengan harga terjangkau Pemerintah membentuk lembaga resmi yang bertugas sebagai penyedia bibit unggul sekaligus bertanggung jawab dalam mendistribusikan bibit tersebut Lembaga teknis bertugas mengawasi aspek kesehatan, proses produksi hingga distribusi bibit rumput laut Penyediaan fasilitas pengembangan bibit unggul (R&D), baik sarana maupun prasarana (seperti; laboratorium, lahan kebun bibit, dan lainnya) Memperkuat kerjasama antar lembaga (pemerintah, masyarakat, akademisi dan swasta) Kementerian Kelautan & Perikanan fokus pada proses budidaya rumput laut serta menjamin ketersediaan pasokan bahan baku untuk industri Implikasi Peningkatan kapasitas dan kualitas rumput laut Tercapainya target produksi sekaligus kontinuitas produksi Kebutuhan bahan baku bagi industri pengolahan rumput laut dalam negeri dapat terpenuhi secara berkelanjutan

179

OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

Masih lemahnya SDM

Ketidakmampuan meningkatkan kapasitas dan kualitas produksi Tidak optimalnya pendapatan yang bisa diperoleh pembudidaya

Meningkatkan intensitas dan kualitas penyuluhan serta pendampingan yang dilakukan oleh KKP dan lembaga lainnya Melakukan standarisasi SDM serta transformasi teknologi budidaya, dari pra panen hingga pascapanen Meningkatkan kompetensi SDM di bidang teknologi pengolahan rumput laut serta manajerial usaha industri pengolahan rumput laut Pengaturan pola tanam, dilakukan pada tiap kawasan berdasarkan pendekatan iklim dan orientasi pasar Pemberdayaan mahasiswa pertanian dalam mentransformasi pengetahuannya kepada pembudidaya

Masih rendahnya kualitas hasil budidaya dan juga rendahnya

Rendahnya nilai tambah dan nilai jual hasil produksi

Peningkatan kualitas, dilakukan melalui penanganan mutu rumput laut mulai sejak panen sampai ke lokasi pabrik

Tercapainya standarisasi SDM pembudidaya Peningkatan kuantitas dan kualitas rumput laut Seragamnya masa tanam dan masa panen rumput laut dalam satu kawasan Peningkatan pendapatan pembudidaya dari hasil penjualan rumput laut yang lebih berkualitas Memperkuat ikatan solidaritas dan kepedulian mahasiswa terhadap masyarakat pesisir Menumbuhkan motivasi berwirausaha bagi mahasiswa khususnya di bidang perikanan budidaya Tercapainya target 40 unit pilot project ATC/Chips Tercapainya target 7 unit

180

OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri


inovasi pengolahan rumput laut Membuat standarisasi dan diversifikasi bahan olahan Standarisasi mesin pengolahan rumput laut melalui penerapan SNI industri pengolahan rumput laut Perluasan segmen pasar dan pengembangan pola distribusi Pengembangan pemasaran, dilakukan melalui peningkatan fasilitas, saranaprasarana pemasaran serta promosi produk Kementerian Perindustrian fokus pada pengembangan industri pengolahan serta mendorong diversifikasi produk olahan Kementerian Perdagangan fokus dalam memfasilitasi pemasaran produk olahan rumput laut serta membuat penelitian pasar yang efektif (marketing intelligence) Penguatan peran dan fungsi kelembagaan melalui pembentukan asosiasi atau kelompok pada semua tingkatan stakeholders, dari pusat pilot project industri SRC skala kecil Tercapainya 7 unit pilot project SRC/RC combo Tercapainya pilot project industri agar Meningkatnya nilai tambah dan nilai jual rumput laut Berkurangnya ekspor rumput laut dalam bentuk rumput laut kering Tercapainya target penjualan 3.000 ton ATC/Chips Mendorong pembudidaya untuk mengolah rumput laut mentah menjadi produk yang lebih bernilai tambah, seperti semi karaginan dan karaginan

Lemahnya kelembagaan stakeholders

fungsi para

Lemahnya daya tawar pembudidaya Lemahnya sistem pembinaan dan penyuluhan dari tingkat pusat, provinsi hingga kabupaten

Peningkatan daya tawar dan kesejahteraan masyarakat pembudidaya Harmonisnya hubungan antar

181

OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri


hingga ke desa Percepatan pengembangan budidaya melalui pengadaan unit percontohan (demplot), kebun bibit dan upayaupaya pembinaan Percepatan pengembangan budidaya juga dapat dilakukan dengan menambah klaster industri pengolahan rumput laut Melibatkan peran serta media massa dan media publikasi ilmiah untuk mempromosikan dan mensosialisasikan segala informasi mengenai komoditas stakeholders Peningkatan pemahaman masyarakat mengenai potensi, peluang serta manfaat dari komoditas rumput laut

Sumber: Diolah dari berbagai sumber, 2011

182

OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri Tabel 6.10. Matrik Strategi Perluasan Industri Rumput Laut No
1

Kendala
Belum adanya zoning kawasan budidaya rumput secara yuridis formal, dikaitkan dengan RTRW

Dampak
Benturan kepentingan antara pembudidaya dengan pengguna jalur transportasi laut, penggunaan kawasan urban, kawasan pariwisata atau penggunaan-penggunaan lain seperti adanya Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Ketiadaan kepastian hukum pada aspek penataan lokasi budidaya memengaruhi animo masyarakat untuk melakukan produksi Kesulitan dalam penerapan teknologi budidaya rumput laut, dikarenakan ciri dan karakteristik perairan yang beragam Ketidaksesuaian antara jenis rumput laut yang dibudidayakan dengan keadaan lingkungan perairan

Rencana Aksi
Pemerintah pusat, pemerintah daerah dan juga masyarakat lokal bersamasama membahas zonasi areal budidaya rumput laut yang diintegrasikan dengan RTRW dan kepentingan pengembangan komoditas lain dan sektor terkait lain

Implikasi
Harmonisnya aktifitas ekonomi dan sosial masyarakat pesisir, khususnya antara pembudidaya rumput laut dengan nelayan dan masyarakat lain pengguna pantai dan laut Meningkatnya animo dan semangat pembudidaya rumput laut Penetapan zona lokasi Budidaya rumput laut bisa dilakukan secara masif diseluruh wilayah perairan nusantara Optimalnya hasil produksi rumput laut di masing-masing wilayah

Belum terdapat peta kesesuaian lahan budidaya rumput laut

Pemerintah bekerjasama dengan lembaga penelitian melakukan kajian yang komprehensif dalam pembuatan peta kesesuaian lahan budidaya rumput laut, bila diperlukan bisa belajar dari negara lain yang telah memiliki peta kesesuaian lahan budidaya rumput laut di wilayahnya

183

OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri


3 Terbatasnya fasilitas kredit, investasi dan insentif di sektor pertanian budidaya Terbatasnya modal usaha pembudidaya Terbatasnya luasan area tanam rumput laut Kesulitan meningkatkan kapasitas dan kualitas produksi Peningkatan kerjasama dengan perusahaan, investor dan perbankan; dilakukan dalam bentuk fasilitasi kredit murah (suku bunga rendah) baik bagi pembudidaya maupun bagi usaha pengolahan rumput laut (UMKM) Membuat skim pembiayaan yang saling menguntungkan (skema syariah), dengan melibatkan pemerintah daerah sebagai penjamin Membuat kebijakan insentif yang mendukung peningkatan daya saing industri pengolahan rumput laut Tersedianya akses modal untuk meningkatkan kapasitas dan kualitas produksi Pembudidaya tidak lagi bergantung pada pengumpul kecil yang mempratekkan sistem ijon

Sumber: Diolah dari berbagai sumber, 2011

184

OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

Bab 7

Outlook Industri 2012

Menghadapi 2012 sektor industri Indonesia setidaknya akan disambut dengan 2 ujian menentukan, yaitu memburuknya krisis utang Euro Area, serta persoalan daya saing industri dalam meredam banjir produk impor dan menyerap tenaga kerja. Berlanjutnya krisis Amerika Serikat (AS) dan krisis Euro Area membuat Indonesia harus segera berbenah agar sektor industri tidak terkontaminasi atas memburuknya perekonomian di kedua kawasan tersebut. Sejarah mencatat bahwa krisis demi krisis yang pernah terjadi di Indonesia, pemicunya tidak terlepas dari faktor eksternal, yang diperparah dengan kondisi internal yang tidak mendukung. Di sisi lain, persoalan daya saing industri dalam menghadapi liberalisasi juga harus lebih dicermati seiring meningkatnya keterbukaan perekonomian Indonesia terhadap negara lain. Daya tahan sektor industri dalam mengantisipasi pelemahan ekonomi Uni Eropa serta kemampuannya menciptakan nilai tambah dan mempertahankan tingkat penyerapan tenaga kerja akan menentukan wajah industri 2012.

185

OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri Penurunan kinerja perekonomian Indonesia diperkirakan tetap akan terjadi pada 2012, meskipun tidak sebesar saat krisis global menjalar ke Asia periode 2008-2009 lalu. Krisis Euro Area dan berlanjutnya krisis AS masih dapat diredam jika antisipasi krisis tepat dan tindakan dilakukan secara cepat. Mengingat adanya potensi pengaruh krisis UE dan AS terhadap perekonomian Indonesia 2012, maka perlu dianalisis dampaknya, terutama pada perkembangan sektor industri, serta sejauh mana kesiapan pemerintah dalam menyiapkan amunisi kebijakan mengantisipasi krisis tersebut. Pengalaman 20082009 di mana pertumbuhan industri pengolahan menurun hingga di bawah 4 persen (tepatnya 3,7 persen dan 2,2 persen) akibat krisis global, setelah selama enam tahun sebelumnya mampu tumbuh di atas 4,5 persen (2002-2007) merupakan modal berharga untuk lebih siap mengantisipasi krisis UE dan AS. Di luar semua sisi gelap tentang dampak krisis UE dan AS, krisis ekonomi ini membuat pergeseran kutub ekonomi dunia dari Amerika-Eropa ke Asia. Sebuah peluang bagi negara-negara di Asia untuk menjadi negara yang diperhitungkan dikancah perekonomian dunia ke depan. Sejauh ini China menjadi negara yang secara terang-terangan diharapkan UE berkontribusi membantu proses penyelamatan zona euro dari memburuknya krisis, seperti peran yang pernah dimainkannya sewaktu gelembung kredit perumahan di AS pecah. Tentu saja Asia tidak hanya China dan India, dua negara yang semakin diperhitungkan dalam perekonomian dunia, terutama di saat krisis. Indonesia dapat menjadi negara yang diperhitungkan berikutnya jika mampu menghindar dari ujian ekonomi penjalaran krisis UE dan berlanjutnya krisis AS. Seperti pada 2009 lalu, di mana tiga negara besar di Asia ini mampu melewati krisis global dengan pertumbuhan positif. Apalagi, Indonesia mempunyai sumber daya alam yang melimpah sebagai basis pertumbuhan ekonomi yang paling aman. Terkait perkembangan ekonomi sektoral, evaluasi terhadap kinerja sektor industri hingga akhir 2011 memerlihatkan hal-hal menarik untuk dikupas

186

OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri lebih dalam. Outlook Industri ini diharapkan dapat menjadi informasi awal dan gambaran obyektif bagi masyarakat, terutama dunia usaha dan pemerintah dalam menjalani perekonomian sepanjang 2012. Pertumbuhan agroindustri di sini terkait dengan industri nonmigas subsektor industri makanan, minuman dan tembakau; industri barang kayu dan barang dari kayu lainnya, industri pupuk, kimia dan barang dari karet. Dalam proyeksi industri 2012, simulasi dibuat berdasarkan 3 skenario, yaitu (1) Skenario Pesimis, (2) Skenario Baseline, dan (3) Skenario Optimis. 1. Skenario Pesimis Skenario pesimis 2012 didasarkan pada perkembangan ekonomi global dan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia 2012 yang diperkirakan sebesar 6,1 persen. Prospek ekonomi 2012 diperkirakan lebih rendah dari 2011 yang diperkirakan mencapai 6,5 persen. Selain dipengaruhi kondisi makro ekonomi, skenario pesimis ini juga mempertimbangkan kondisi internal sektor industri. Kondisi internal yang sangat memengaruhi kinerja industri di antaranya adalah faktor input produksi, seperti listrik dan bahan bakar. Komponen listrik dan bahan bakar merupakan input yang mempunyai peranan penting dalam proses produksi, khususnya industri pengolahan. Pengalaman menunjukkan ketika terjadi guncangan perubahan harga pada kedua komponen tersebut, secara langsung memengaruhi kinerja sektor industri. Sebagai gambaran pada 2005, ketika pemerintah menaikkan harga BBM (mengurangi subsidi BBM) dengan besaran yang sangat signifikan, sektor industri mengalami guncangan dengan pertumbuhan yang tidak sebaik pada 2004 (Gambar 7.1).

187

OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri Gambar 7.1. Perkembangan Pertumbuhan Ekonomi dan Industri Pengolahan

Sumber: BPS, 2011

Tahun depan pemerintah merencanakan akan menaikkan Tarif Dasar Listrik (TDL) dan mengurangi subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM). Hal ini diduga akan mengguncang sektor industri. Jika pemerintah benar-benar merealisasikan kebijakan ini, maka pertumbuhan sektor industri diproyeksikan hanya sekitar 4,6% (Tabel 7.1). Kondisi ini diperparah lagi dengan kemungkinan-kemungkinan terjadinya perubahan iklim, seperti faktor cuaca, potensi banjir, dan gelombang tinggi yang tentu saja akan menghambat kinerja sektor industri, terutama dari sisi distribusi bahan baku dan produk akhir. Jika pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya mencapai 6,5 persen dan industri masih dibebani berbagai masalah tersebut, maka diproyeksikan pertumbuhan industri pengolahan dan agroindustri sebagai berikut : Pertumbuhan industri pengolahan diproyeksikan hanya akan sebesar 4,6 persen, jika pemerintah bekerja seperti biasa seperti tahun-tahun sebelumnya business as usual sementara perekonomian Indonesia

188

OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri mengalami pelemahan akibat dampak krisis UE dan berlanjutnya krisis AS secara cukup signifikan. Meskipun dampak krisis tersebut diperkirakan tidak akan sebesar dampak krisis global dua tahun lalu, namun jika pemerintah menaikkan tarif dasar listrik dan harga bahan bakar minyak, maka pertumbuhan industri pengolahan akan dapat terpangkas lebih besar lagi. Hal ini karena efek berantai dari faktor energi di dalam perekonomian, di mana dampaknya tidak hanya ke peningkatan biaya produksi dan distribusi tetapi juga pada suplai bahan baku. Pertumbuhan agroindustri diproyeksikan sebesar 4,5 persen, asumsi jika pemerintah bekerja seperti biasa dan ekonomi Indonesia mengalami pelemahan akibat dampak krisis UE dan AS secara signifikan. Selain itu, harga komoditas agro di pasar internasional juga mengalami penurunan seiring melemahnya permintaan dari UE dan AS, sehingga kurang memberi insentif bagi pelaku usaha untuk meningkatkan produksinya. 2. Skenario Baseline Skenario baseline didasarkan jika pertumbuhan ekonomi 2012 sebesar 6,3 persen. Artinya angka pertumbuhan ini masih lebih rendah dari periode 2011 karena pertimbangan dampak krisis UE tetap terasa di Indonesia meskipun tidak separah krisis global 2008-2009. Faktor lain yang dijadikan acuan adalah geliat pertumbuhan industri sejak triwulan IV 2010 yang mencapai 5,53 persen. Pertumbuhan ini terus berlanjut hingga triwulan III tahun 2011 dimana industri mampu tumbuh sebesar 5,60 persen. Pertumbuhan industri manufaktur selama 2011 merupakan capaian tertinggi sejak krisis ekonomi 1997. Jika kinerja industri selama 2011 tetap terjaga dan pemerintah konsisten dengan berbagai program penguatan perekonomian domestik yang sudah dicanangkan, maka diprediksikan pertumbuhan industri pengolahan dan agroindustri sebagai berikut :

189

OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri Pertumbuhan industri pengolahan diproyeksikan sebesar 5,8 persen, asumsi jika perubahan yang dilakukan pemerintah dalam membenahi sektor industri kurang signifikan atau masih bekerja seperti biasa dan perekonomian Indonesia hanya sedikit merasakan dampak pelemahan ekonomi Eropa. Di luar itu, angka tersebut juga merupakan ilustrasi kondisi di mana pemerintah belum dapat memanfaatkan peluang Indonesia di tengah situasi pelemahan ekonomi UE dan AS. Pertumbuhan agroindustri diproyeksikan sebesar 5,3 persen, asumsi jika pemerintah bekerja seperti biasa dan perekonomian Indonesia hanya sedikit merasakan dampak pelemahan ekonomi Eropa. Lebih dari itu, angka ini juga merupakan gambaran jika pemerintah tidak dapat memanfaatkan momentum peningkatan peringkat investasi dengan optimal. 3. Skenario Optimis Skenario optimis didasarkan jika situasi perekonomian mampu tumbuh 6,7 persen sesuai target pemerintah. Hal yang utama lagi apabila pemerintah mampu mengimplementasikan strategi percepatan dan perluasan industri secara optimal. Jika pemerintah tetap merealisasikan kebijakan pengurangan subsidi BBM dan peningkatan TDL, maka harus diimbangi dengan strategi percepatan dan perluasan industri, seperti yang telah dirumuskan pada kajian ini. Hal ini bertujuan untuk meminimasi dampak negatif dari guncangan kenaikan TDL dan BBM bagi sektor industri. Jika strategi percepatan dan perluasan optimal dilakukan maka diprediksikan pertumbuhan industri pengolahan dan agroindustri 2012 sebagai berikut : Pertumbuhan industri pengolahan sebesar 7,0 persen dapat tercapai jika: 1) Optimalisasi strategi percepatan dan perluasan industri dapat dilakukan dengan baik; 2) Dampak krisis UE dan berlanjutnya krisis AS 190

OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri dapat dihindari dengan kebijakan anti krisis yang efektif; 3) Pemerintah dapat memanfaatkan secara optimal momentum peningkatan peringkat investasi Indonesia; 4) Pemerintah melakukan berbagai terobosan dalam kebijakan industri, terutama terobosan kelembagaan, mengingat sebagian besar persoalan industri terkonsentrasi pada masalah ini (birokrasi, koordinasi, korupsi). Pertumbuhan agroindustri sebesar 6,0 persen dapat dicapai jika pemerintah melakukan strategi percepatan dan perluasan agroindustri secara optimal. Berbagai terobosan dalam kebijakan agroindustri, terutama terobosan insentif; perbaikan regulasi yang pro bisnis; serta ketersediaan energi bagi industri untuk berproduksi. Di luar itu, strategi antisipasi krisis UE dan AS juga dapat berjalan dengan baik dan pemerintah dapat mengoptimalkan peningkatan peringkat investasi Indonesia. Tabel 7.1. Outlook Industri 2012
Proyeksi 2012 Industri Pesimis Industri Pengolahan Agroindustri 4,6 4,5 (persen) Baseline 5,8 5,3 Optimis 7,0 6,0

191

OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

Daftar Pustaka

Anonim. 2009. Profil Singkat Komoditi Kakao. http://regionalinvestment.com/sipid/id/userfiles/komoditi/3/kakao_prof ilsingkat.pdf. Akses 15 Februari ______________. 2008. Bibit Kakao Somatic Embryogenesis. http://www.sinartani.com/kebun/bibit-kakao-somatic-embryogenesisse-1235363543.htm. Akses 15 Februari Aryanto Seno. 2006. Rattan Industry Development in Indonesia. Askindo. 2008. Cocoa Village Model (CVM) http://www.thesuccessalliance.org. Akses 15 Februari of Kalonding.

Badan Pengkajian dan Penerapan (BPPT). 2009. Pedoman Teknis Budidaya Rumput Laut. Bank Indonesia-Direktorat Statistik Ekonomi dan Moneter. 2005. Laporan Pemetaan Sektor Ekonomi (Sektor Pertanian): Peningkatan Peran Bank Indonesia dalam Mendorong Pertumbuhan Ekonomi Melalui Pemetaan Sektor Ekonomi. Bank Indonesia. Laporan Kompilasi Pelaksanaan Pilot Project Klaster Untuk Pengembangan UMKM; Studi Kasus Klaster Rumput Laut di Kabupaten Lombok Tengah Propinsi Nusa Tenggara Barat.

193

OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

Bappenas-Kedeputian Bidang Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup. 2011. Strategi Percepatan dan Perluasan Industrialisasi Indonesia, Makalah Focus Group Discussion Kementerian Perindustrian, Jakarta 14 Nopember 2011 BPS (Badan Pusat Statistik). 2011. Berita Resmi Statistik No. 72/11/Th. XIV, 7 November 2011 ______________. 2011. Statistik Year Book 2010. Jakarta ______________. 2010. Tabel Input-Output 2008. Jakarta Dahuri, Rokhmin. 2010. Peningkatan Nilai Tambah Produk Olahan dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan. Makalah Seminar Nasional Kementerian Kelautan dan Perikanan, Jakarta 9 Agustus 2010 Dinas Kelautan dan Perikanan Daerah Propinsi Sulawesi Tengah. 2009. Teknik Budidaya Rumput Laut Gracilaria sp & Eucheuma sp: Menuju Sulawesi Tengah Provinsi Rumput Laut 2011. Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi Sulawesi Tengah. 2007. Laporan Final Grand Strategi Pengembangan Budidaya Rumput Laut di Propinsi Sulawesi Tengah: Menuju Sulawesi Tengah sebagai Propinsi Rumput Laut Tahun 2011. Ditjen Perikanan Budidaya (DJPB). 2011. Analisis Statistik Capaian Target Produksi Semua Komoditas, www.perikanan budidaya.kkp.go.id, diakses November 2011, (http://www.perikanan-budidaya.kkp.go.id) ______________. 2011. Komoditas Unggulan Sulawesi Selatan: Rumput Laut, Bandeng dan Udang, www.perikanan budidaya.kkp.go.id, diakses November 2011 (http://www.perikanan-budidaya.kkp.go.id) ______________. 2011. Peran Kelembagaan dalam Siklus Aquabisnis Rumput Laut, www.perikanan budidaya.kkp.go.id, diakses November 2011 (http://www.perikanan-budidaya.kkp.go.id) ______________. 2011. Prospek Budidaya Rumput Laut di Tanjung Keok, Kepulauan Sapeken Kabupaten Sumenep, www.perikanan

194

OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

budidaya.kkp.go.id, diakses November 2011 (http://www.perikananbudidaya.kkp.go.id) GAPKI (Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia), 2011. Ekspor Kelapa Sawit Indonesia dalam Semester Pertama Tahun 2011. Press Releases 5 Agustus ______________. 2011. Tujuh Hambatan Industri Sawit pada 2011. Press Releases 24 Januari IRSG (International Rubber Study Group). 2011. Rubber Statistical Bulletin. Edisi Juli-September Januminro, CFM, Rotan Indonesia; Potensi, Budi Daya, Pemungutan, Pengolahan, Standar Mutu, dan Prospek Pengusahaan, (Jogjakarta: Penerbit Kanisius, 2000), Kementerian Kehutanan. 2007. Guidelines of Rattan Derivatives in Indonesia. Kementerian Kelautan dan Perikanan-Direktorat Usaha dan Investasi, Dirjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan (P2HP). 2010. Pengembangan Klaster/Minapolitan Industri Rumput Laut. Kementerian Kelautan dan Perikanan-Pusat Data Statistik dan Informasi. 2011. Data Pokok Kelautan dan Perikanan 2010. Kementerian Keluatan dan Perikanan. 2010. Kelautan dan Perikanan dalam Angka 2010 Kementerian Perdagangan, 2011. Tinjauan Pasar Minyak Goreng. Edisi: 02/MGR/02/2011. Jakarta ______________. 2011. Direktorat Ekspor Produk Pertanian dan Kehutanan, Ditjen Perdagangan Luar Negeri, 2011, Peta Perdagangan Rumput Laut Internasional Sinergitas Industrialisasi Rumput Laut Nasional, Makalah Seminar di Makassar 19 Juli. Kementerian Perindustrian. 2011. Klaster Industri Hilir Kelapa Sawit dan Kawasan Ekonomi Khusus di Riau. Pekanbaru, 6 Oktober. ______________. 2011. Hilirisasi Industri Kelapa Sawit Nasional. Paparan bekasi, 30 September

195

OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

______________. 2011. Press Release Menteri Perindustrian pada Peninjauan Klaster Industri Hilir Kelapa Sawit di Kawasan Industri Sei Mangkei, Simalungun, 23 September ______________. 2011. Klaster Industri Hilir Kelapa Sawit Sei Mangkei PT Perkebunan Nusantara III Kabupaten Simalungun Provinsi Sumatera Utara. 23 September ______________. 2009. Strategi Pengembangan Pada Kajian Pengembangan Industri Rotan Nasional. ______________. 2007. Gambaran Sekilas Industri Karet. Pusat Data dan Informasi. Jakarta ______________. 2007. Gambaran Sekilas Industri Kakao. http://www.depperin.go.id/PaketInformasi/Kakao/kakao.pdf. Akses 15 Feb 2009. Kementerian Perindustrian. 2011. Draft Roadmap Industri Pengolahan Rumput Laut Kementerian Pertanian. 2011. Statistik Ekspor-Impor http://ditjenbun.deptan.go.id/, diakses 10 Desember Karet. Dalam

______________. 2007. Prospek dan arah Pengembangan Agribisnis Kelapa Sawit. Edisi 2. Badan Penelitian dan Pengembangan. Jakarta ______________. 2007. Prospek dan arah Pengembangan Agribisnis Karet. Edisi 2. Badan Penelitian dan Pengembangan. Jakarta Kementerian Koordinator Perekonomian. 2011. Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025. Jakarta Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). 2010. Positioning Paper KPPU Terhadap Kebijakan Ekspor Rotan. Kuncoro, Mudrajad. 2011. Strategi Percepatan dan Perluasan Industrialisasi Indonesia, Makalah Focus Group Discussion Kementerian Perindustrian, Jakarta 14 Nopember.

196

OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

Litbang Deptan. 2008. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Kakao. http://www.litbang.deptan.go.id/special/komoditas/b4kakao. Akses 15 Feb 2009. Majalah Kina (Karya Indonesia). 2010. Hilirisasi Industri Agro: Dapat Mengatasi Ancaman Deindustrialisasi. Edisi 3. Kementerian Perindustrian. Jakarta Media Data. 2009. Dinamika Agribisnis dan Industri Karet di Indonesia. Dalam http://mediadata.co.id/MCS-Indonesia-Edition/dinamika-agribisnis, diakses 10 Desember 2011 Pambudhi, Agung, 2007. Daya Saing Investasi Daerah Opini Dunia Usaha. Dalam Kumpulan Tulisan Membangun Daya Saing Industri Daerah. Kementerian Perindustrian. Jakarta Razak, H.A. dan Gusli S. 2007. Cocos Village (CVM) menuju Revitalisasi Perkakaoan Indonesia dengan Kemandirian Lokal. Direktori Kakao Indonesia 2007. Asosiasi Kakao Idonesia (ASKINDO), Jakarta. Syam, Rivai R. 2006. National Strategy for Promoting Sustainable Rattan Development in Indonesia. Sikumbang, Z. 2007. Prospek Agroindustri Kakao Indonesia di Pasaran Dunia sampai 2010 (Tantangan Perdagangan dan Industri Kakao Indonesia). Direktori Kakao Indonesia 2007. Asosiasi Kakao Idonesia (ASKINDO), Jakarta. ______________. 2007. The Challenge in Indonesia Cocoa Industry. Direktori Kakao Indonesia 2007. Asosiasi Kakao Idonesia (ASKINDO), Jakarta. Sulaeman, Suhendar, 2006, Pengembangan Agribisnis Komoditas Rumput Laut Melalui Model Klaster Bisnis, Infokop No.28 Tahun XXII 2006 United Nations. 2011. Commodity Trade Statistics Database. WEF (World Economic Forum). 2011. Global Competitiveness Index 2011-2012. www.wef.org, diakses 10 desember WWF Report February. 2011. Global Rattan Trade: Preasure on Forest Resources, Analysis and Challenges.

197

You might also like