1. Mohammad Hatta mendefinisikan prinsip bebas-aktif di tahun 1948 sebagai kebijakan luar negeri yang harus dijalankan Indonesia dalam berhubungan dengan negara-negara lain. Indonesia akan memiliki kebijakan yang bertujuan menciptakan perdamaian dan persahabatan dengan semua bangsa dengan berdasarkan prinsip saling menghormati dan non-intervensi dengan pemerintah satu sama lain. Mohammad Hatta menjelaskan bahwa prinsip bebas yang dimaksud adalah bebas dari kolonialisme, bebas untuk menentukan tidak memihak blok manapun, blok barat atau blok timur, yang pada saat itu sama-sama mencari kekuatan dari negara-negara yang baru merdeka. Prinsip ini merupakan upaya untuk menjaga Indonesia dari permusuhan dengan salah satu pihak, melindungi kepentingan Indonesia yang akan mengalami kerugian apabila mengikuti pihak tertentu, dan memungkinkan Indonesia untuk berteman dengan semua bangsa atas dasar saling menghormati. Dalam proses memperkuat persahabatan tersebut, Indonesia bersedia menerima berbagai bantuan dari negara manapun, asalkan hal ini tidak akan menurunkan atau mengancam kemerdekaan dan kedaulatan Indonesia. Sedangkan, prinsip aktif yang dimaksudkan Hatta adalah upaya untuk mencapai perdamaian dunia dan mengurangi ketegangan yang ditimbulkan oleh dua blok melalui keanggotaan Indonesia dalam PBB bersama dengan negara-negara anggota PBB lainnya.
Terdapat faktor-faktor domestik dan internasional yang mendorong Hatta memunculkan prinsip tersebut saat itu. Faktor domestik yang pertama adalah Indonesia mempunyai Pancasila sebagai ideologi dasar negara. Di dalam Pancasila, Indonesia telah menggariskan suatu landasan bagi politik luar negeri Indonesia sebagai bagian yang tak terpisahkan dari tujuan dan cita-cita bangsa Indonesia. Oleh karena itu, Pancasila merupakan dasar pemikiran Hatta terhadap munculnya prinsip bebas-aktif. Faktor domestik yang kedua adalah pengalaman dijajah dalam waktu yang sangat lama membuat Indonesia sebagai negara yang baru merdeka berusaha untuk membebaskan diri dari segala bentuk penjajahan atau dominasi asing.
Faktor yang ketiga adalah ketika Kerajaan Belanda menyerahkan kedaulatan kepada pemerintahan yang baru, terjadi kekosongan keuangan dan anggaran yang defisit yang menimbulkan tingginya inflasi, krisis perekonomian, dan para buruh kehilangan pekerjaan mereka. Oleh karena itu, terjadilah pergerakan buruh di Indonesia, dimana mereka tidak pernah diizinkan untuk berorganisasi dengan bebas dan hidup dengan upah yang sangat rendah. Seiring dengan tuntutan untuk meningkatkan upah, ada juga tuntutan untuk menasionalisasi industri dan untuk perubahan dalam pengelolaan berbagai bisnis. Kemudian, Belanda mengirimkan armada militernya yaitu army of the just king untuk memprovokasi semua pulau-pulau di Indonesia untuk menentang pemerintah dan membuat Indonesia terpecah. Akhirnya Indonesia melakukan security priority dimana Indonesia berusaha membenahi keadaan domestiknya sebelum berurusan dengan negara lain.
Sedangkan faktor-faktor internasional yang mendorong Hatta memunculkan prinsip tersebut salah satunya adalah kondisi geografis Indonesia yang strategis, diapit oleh dua samudera, yakni Samudra Hindia dan Pasifik yang dikontrol oleh Angkatan Laut Inggris dan Angkatan Laut AS. Inggris dan AS tidak memiliki tujuan yang jahat terhadap Indonesia, tetapi sebaliknya justru menginginkan Indonesia tetap merdeka dan menjadi makmur. Tujuannya adalah untuk ASEAN mencegah masuknya paham Komunis ke Indonesia. Selain itu, Indonesia juga tidak berbatasan langsung dengan Uni Soviet atau Cina sehingga tidak ada ancaman langsung terhadap kemerdekaan Indonesia. Hanya gerakan Komunis domestik yang merupakan faktor politik di Indonesia, tetapi dalam hal ini posisi Indonesia tidak berbeda dari negara-negara demokrasi lainnya. Akibatnya, tidak ada kebutuhan mendesak bagi Indonesia untuk membuat pilihan antara dua blok besar tersebut.
Faktor internasional lainnya adalah Indonesia harus menghadapi situasi yang berbeda setelah Perang Dunia II berakhir, yaitu terjadinya Perang Dingin (perang ideologi) antara Amerika Serikat dan Uni Soviet. Sebagai negara yang baru merdeka setelah mengalami kolonialisme, Indonesia tidak memihak blok manapun, baik blok barat maupun blok timur dan bersikap netral selama masa Perang Dingin tersebut. Sikap Indonesia yang tidak memihak ini menimbulkan kecurigaan AS dan Uni Soviet sehingga Indonesia dianggap sebagai musuh baru. Negara- negara Barat juga menganggap bahwa tidak ada posisi tengah bagi negara-negara yang lebih lemah, dan bahwa mereka harus memilih antara satu blok atau yang lain. Akan tetapi, Hatta menjelaskan bahwa untuk apa kita berjuang untuk kemerdekaan jika kita tetap harus memilih antara barat atau timur. Indonesia seharusnya tidak menjadi pihak yang pasif di dunia internasional tetapi harus aktif dalam mejaga perdamaian dunia dan berhak untuk menentukan sudut pandangnya sendiri atau bersikap independen.
2. Presiden yang mengikuti konsep Lingkaran Konsentris adalah Soeharto, Habibie, Gus Dur, Megawati, dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Lingkaran konsentris pada era Soeharto menjadikan ASEAN sebagai prioritas utama. Kepentingan nasional Indonesia pada saat itu adalah untuk memobilisasi sumber daya internasional dalam membantu rehabilitasi dan pembangunan ekonomi Indonesia dan untuk memastikan terciptanya lingkungan regional yang aman sehingga Indonesia dapat lebih berkonsentrasi pada agenda-agenda domestik. Oleh karena itu, Indonesia mendorong terbentuknya ASEAN untuk meningkatkan kerjasama, perdamaian, dan stabilitas kawasan Asia Tenggara. Indonesia juga menerapkan kebijakan luar negeri yang low- profile, dimana selain fokus pada ASEAN, Indonesia juga bekerjasama dengan negara-negara maju (Barat) dalam upaya untuk melakukan pembangunan ekonomi nasional, baik melalui investasi asing maupun menjadi mitra dagang. Kebijakan Soeharto tidak menghambat pencapaian kepentingan Indonesia pada masa itu, justru kebijakan tersebut semakin meningkatkan pembangunan ekonomi Indonesia. Akan tetapi, kebijakannya tersebut menimbulkan kritik karena kedekatan Indonesia dengan negara-negara Barat dianggap telah ASEAN Lingkaran konsentris kebijakan luar negeri Indonesia melanggar prinsip bebas aktif. Hal ini menimbulkan persepsi bahwa Indonesia telah meninggalkan identitas tidak terikat dengan blok manapun. Oleh karena itu, Indonesia berupaya keras untuk terlibat aktif dengan negara-negara berkembang lainnya, yang sebelumnya terabaikan karena kedekatan Indonesia dengan negara-negara Barat. Hal ini dilakukan untuk menghilangkan persepsi teresbut dan terutama untuk mencari pasar baru bagi produk ekspor Indonesia. Akan tetapi, karena Soeharto terlalu fokus kepada pemenuhan kebutuhan sumber daya dan pembangunan ekonomi nasional, masalah sosial dan hak asasi manusia di Indonesia menjadi terabaikan.
Sedangkan pada era Habibie, prioritas politik luar negeri Indonesia adalah untuk memulihkan citra Indonesia di mata internasional serta penyelesaian masalah hak asasi manusia di Timor Timur. Lingkaran konsentris tetap ada, tetapi pelaksanaannya tidak begitu terlihat karena hanya melanjutkan dari Orde Baru.
Pada masa pemerintahan Gus Dur, ASEAN tidak menjadi fokus utama, tetapi ia menekankan pada ecumenical foreign policy yaitu menjadi dekat dengan banyak negara sebanyak mungkin dengan kecenderungan yang kuat terhadap globalisasi. Ia juga berupaya untuk menciptakan keseimbangan antara negara maju dan berkembang melalui kebijakan "looking towards Asia dengan meningkatkan hubungan antara Indonesia, India, Cina, Jepang, dan Singapura tanpa memutuskan hubungan dengan negara-negara Barat yang sudah terjalin. Akan tetapi, kebijakan ini gagal dan Gus Dur dianggap mengabaikan kepentingan nasional Indonesia saat itu. Akan tetapi, hubungan Indonesia dengan banyak negara ini menjadi perubahan besar dalam keadaan sosial-budaya Indonesia, dimana warga keturunan terutama Tiongkok serta kepercayaan atau agama minoritas mulai dihargai.
Pada masa pemerintahan Megawati, Indonesia kembali menekankan pentingnya ASEAN. Saat itu juga tercipta ASEAN Security Community yang mendorong terbentuknya ASEAN Comunity. Selain itu, hubungan dengan negara-negara Barat juga tetap dianggap penting bagi Indonesia, terutama karena kepentingan ekonomi dengan negara Barat dinilai dapat membantu perkembangan ekonomi Indonesia. Meskipun tetap menjalin hubungan yang erat dengan negara-negara Barat, IMF dan World Bank, Indonesia tetap menganggap bahwa hubungan dengan kawasan sangat penting, terutama ASEAN. Kebijakan Megawati tidak menghambat pencapaian kepentingan pada masa itu, karena Indonesia memiliki kepentingan untuk menjaga keamanan kawasan dan juga kepentingan ekonomi dalam proses reformasi yang masih dijalankan Indonesia untuk mencapai demokrasi.
Pada masa pemerintahan SBY, kebijakan luar negeri Indonesia menekankan pada prinsip A million friends and zero enemies dimana tidak ada negara yang menganggap Indonesia sebagai musuh dan tidak ada negara yang dianggap musuh oleh Indonesia sehingga Indonesia dapat menjalankan politik luar negerinya dengan bebas ke segala arah. Indonesia juga menjadikan ASEAN sebagai fokus utama dalam lingkaran konsentris, serta menjalin kerjasama yang erat dengan negara-negara tetangga di kawasan Asia Pasifik dan melakukan pragmatisme ekonomi dalam menjalin hubungan dengan negara-negara strategis lainnya. Selain itu, Indonesia melanjutkan lingkaran konsentrisnya ke ASEAN+3, APEC, dan East Asia Summit. Dalam lingkaran ini, masalah keamanan menjadi dasar bagi terbentuknya hubungan dengan negara-negara tetangga. Sedangkan bagi negara-negara di ASEAN lingkaran luar, penekanan Indonesia adalah lebih pada mengamankan dan melindungi kepentingan ekonomi. Indonesia juga mengemban konsep keseimbangan dinamis (dynamic equilibrium) yaitu dengan mengundang semua kekuatan-kekuatan besar yang relevan ke dalam East Asia Summit, di mana tidak ada satu kekuatan yang mendominasi.
3. Banyak faktor yang mempengaruhi perilaku kebijakan luar negeri Indonesia, terutama selama masa transisi menuju demokrasi. Kebijakan luar negeri Indonesia selama demokratisasi terutama dibentuk oleh dua faktor yaitu faktor dalam negeri dan internasional. Faktor dalam negeri yang dimaksud berupa legitimasi politik pemerintah demokratis yang membentuk sifat perilaku negara. Sedangkan faktor internasional adalah tekanan internasional yang menentukan pola perilaku negara. Dalam hal ini, terdapat empat jenis perilaku negara yang ditentukan oleh interaksi antara tekanan internasional dan legitimasi politik: (1) negara akan "kompromi dalam perbuatan" ketika tekanan internasional tinggi dan legitimasi politik rendah, (2) negara akan "kompromi dalam kata-kata" ketika legitimasi politik dan tekanan internasionalnya rendah, (3) negara akan melakukan penyeimbangan eksternal ketika legitimasi politik dan tekanan internasionalnya tinggi, (4) negara akan melakukan penyeimbangan internal ketika legitimasi politik tinggi dan tekanan internasional rendah. Untuk menjelaskan hal ini, saya mengacu pada pemerintahan Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarnoputri. Transisi kepresidenan pada era Gus Dur maupun Megawati merupakan jenis pergantian (replacement) atau transisi revolusioner dimana rezim lama digulingkan oleh kekuatan demokrasi. Oleh karena itu, keduanya memiliki legitimasi politik yang lebih tinggi dibandingkan dengan Habibie yang melakukan transformasi dari rezim sebelumnya.
Selama masa pemerintahannya, Abdurrahman Wahid/Gus Dur (Oktober 1999-Juli 2001) memiliki legitimasi politk yang tinggi karena ia merupakan pemimpin oposisi pada era Soeharto dan dianggap membawa harapan baru bagi demokrasi Indonesia. Gus Dur juga dipilih melalui voting oleh MPR sebagai penyeimbang antara para nasionalis pendukung Megawati dan partai-partai Islam konservatif yang anti-Megawati, meskipun partainya yaitu Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) hanya memperoleh 11% kursi di DPR. Ia kemudian mengangkat Megawati sebagai wakil presiden dan membagi kekuasaan dengan partai utama lainnya di DPR melalui kabinet persatuan nasional. Meskipun koalisi multipartai ini pada dasarnya bermasalah dan lemah dalam hal persatuan dan kekuatan kabinet, legitimasi politik Gus Dur di dalam negeri tetap tinggi. Kebijakan luar negeri aktif Gus Dur adalah untuk membangun kembali citra baik Indonesia di mata masyarakat internasional. Akan tetapi, tekanan internasional yang dihadapi Gus Dur juga tinggi, dimana terdapat tekanan dari Barat, terutama Amerika Serikat yang mendorong pemerintah Indonesia untuk fokus pada reformasi ekonomi dan investigasi HAM atas kekerasan di Timor Timur. Kemudian Gus Dur mengumumkan kebijakannya yaitu "looking towards Asia" untuk mengimbangi Barat. Tujuan utama dari kebijakan ini adalah untuk meningkatkan hubungan antara Indonesia, India, Cina, Jepang, dan Singapura untuk melawan pengaruh Barat dan mengurangi ketergantungan pada Barat. Kebijakan ini dipandang sebagai penyeimbangan eksternal dimana Indonesia berusaha menyeimbangi tekanan dari Barat melalui kerjasama dengan negara-negara Asia lainnya, terutama setelah intervensi Timor Leste dan krisis ekonomi pada saat itu. Pada akhirnya kebijakan ini gagal karena kurangnya tanggapan dari negara-negara Asia utama lainnya. Hal ini terjadi karena di bawah sistem internasional yang unipolar di era pasca Perang Dingin, tidak ada negara yang bersedia bersama dengan Indonesia untuk menantang Amerika Serikat.
Kemudian, Megawati Soekarnoputri (Juli 2001-Oktober 2004) menggantikan Gus Dur setelah ia dipecat oleh Parlemen karena dianggap gagal dalam memimpin reformasi ekonomi dan tidak kompeten dalam menangani keamanan dalam negeri yang memburuk. Pada masa pemerintahannya, Megawati memiliki legitimasi politik yang tinggi, dimana partainya merupakan partai terbesar di Parlemen dan juga mendapatkan dukungan dari militer sehingga ia menghadapi kendala yang lebih sedikit daripada Gus Dur. Namun, kebijakan luar negeri Megawati dianggap kurang tegas dibandingkan dengan strategi penyeimbangan eksternal Gus Dur yang high-profile. Ia menekankan pada kebijakan low-profile neighbor-first dengan mengutamakan negara-negara ASEAN dalam lingkaran konsentrisnya. Kebijakan ini merupakan strategi penyeimbangan internal dimana Indonesia berusaha memperkuat konsolidasi internal dan menghidupkan kembali ASEAN untuk melawan tekanan internasional. Hal ini ditunjukkan dengan sikapnya yang lunak dalam melawan terorisme, bertentangan dengan kebijakannya yang keras terhadap gerakan separatis di Aceh. Ada beberapa alasan atas kebijakan keras Megawati terhadap Aceh, di antaranya pengaruh militer pada pembuatan kebijakan, ideologi nasionalis Megawati, serta kekhawatiran mendalam atas separatisme regional. Akan tetapi, salah satu alasan utama tindakan militer Indonesia di Aceh adalah tekanan AS yang lebih lemah pada Indonesia. Hal ini terjadi karena AS mengubah kebijakannya terhadap Indonesia setelah tragedi 11 September dan menjadikan Indonesia sebagai mitra penting untuk memerangi terorisme global. Meskipun AS menolak permintaan Indonesia untuk menempatkan GAM dalam daftar organisasi teroris internasional atau untuk menghubungkan kampanye melawan separatisme dengan perang global melawan terorisme, AS tidak serius mengkritik tindakan militer Indonesia di Aceh. Oleh karena itu, Megawati lebih memprioritaskan kestabilan dalam negeri dan menurunkan kepentingan kebijakan luar negerinya untuk mencegah terjadinya disintegrasi dan memulihkan kondisi perekonomian Indonesia. Kesimpulannya, legitimasi politik dan tekanan internasional yang dihadapi oleh suatu negara akan menentukan perilaku dan kebijakan dalam negeri maupun luar negerinya.
4. Pada masa pemerintahan Soekarno (1945-1965), pelaksanaan kebijakan luar negeri Indonesia lebih condong kepada Uni Soviet, Cina, maupun Vietnam daripada terhadap AS dan sekutu Baratnya. Hal ini ditunjukkan dengan sikap Soekarno yang menentang basis militer Barat di Asia Tenggara, menolak bantuan keuangan dari Barat, dan pengunduran diri Indonesia dari PBB. Latar belakang pemikiran Soekarno pada waktu itu adalah Indonesia harus menolak kembalinya imperialisme dan kolonialisme. Negara-negara Barat dan PBB dalam pemikiran Soekarno merupakan representasi dari imperialisme dan kolonialisme. Akan tetapi, Indonesia tidak sepenuhnya memihak ke Timur dan anti terhadap Barat, karena Indonesia juga menerima bantuan dari AS dalam menyelesaikan masalah Irian. Hal ini ditunjukkan dengan AS yang memaksa Belanda segera keluar dari Irian, dan menyatakan dalam forum PBB bahwa peralihan kekuasaan di Irian, dari Belanda ke Indonesia adalah sesuatu yang bisa diterima. Sedangkan hubungan dengan negara-negara di Asia Tenggara pada saat itu, ditandai dengan sikap konfrontasi terhadap Malaysia atas pembentukan Federasi Malaysia. Soekarno menganggap hal ini merupakan tujuan Inggris untuk membentuk kekuatan neo kolonialisme di Asia Tenggara sehingga hal ini merupakan ancaman bagi Indonesia sebagai negara yang baru terbebas dari kolonialisme Belanda. Federasi Malaysia juga dianggap sebagai ancaman karena dianggap akan mendominasi politik dan ekonomi Asia Tenggara. Oleh karena itu, Indonesia berusaha untuk menggagalkan terwujudnya Federasi Malaysia meskipun upaya tersebut tidak berhasil. Partisipasi aktif Indonesia dalam pemenuhan kebutuhan kawasan dan internasional pada masa Soekarno ini cenderung reaktif dimana ia melihat situasi yang ada dalam menerapkan suatu kebijakan. Dalam hal ini, saya setuju dengan kebijakan yang diambil oleh Soekarno pada masa itu dalam menentang kembali terciptanya kolonialisme dan imperialisme. Hal ini dilakukan untuk menjaga keamanan dan kestabilan politik Indonesia setelah kemerdekaan. Akan tetapi, dalam hal kepentingan ekonomi, kondisi Indonesia pada saat itu tidak mengalami perkembangan. Padahal sebagai negara yang baru merdeka Indonesia banyak membutuhkan bantuan ekonomi dari negara lain. Sikap Soekarno yang menolak bantuan keuangan dari Barat tentu berakibat pada kondisi keuangan Indonesia kurang stabil.
Pada era kepemimpinan SBY (2004-sekarang), Indonesia berpartisipasi aktif melalui keikutsertaannya dalam berbagai organisasi internasional. Indonesia juga melakukan kerjasama bilateral maupun multilateral dengan negara-negara dalam lingkaran konsentrisnya. ASEAN merupakan fokus utama Indonesia, terutama karena kebijakan luar negeri SBY menekankan pada peran kepemimpinan Indonesia di ASEAN dan juga menjadi penggagas terbentuknya ASEAN Community pada 2015. Di samping itu ada ASEAN+3, AS dan Uni Eropa yang menjadi mitra utama ekonomi Indonesia. Indonesia juga aktif dalam keanggotaan Non-Aligned Movement (NAM), Organization of the Islamic Conference (OIC), G-77, dan G-15. Dalam forum-forum tersebut, Indonesia menerapkan diplomasi multijalurnya untuk menjembatani kesenjangan antara negara-negara berkembang dengan negara-negara maju. Selain itu, pada tingkat global, Indonesia melalui PBB menekankan multilateralisme dalam menyelesaikan masalah perdamaian dan keamanan dunia. Dalam pemenuhan kebutuhan masyarakat kawasan dan internasional pada era SBY ini, Indonesia bisa dikatakan sangat aktif. Saya setuju dengan partisipasi dan peran aktif Indonesia ini karena kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemerintahan SBY telah membuat Indonesia semakin dkenal dan diperhitungkan dalam dunia internasional. Citra Indonesia di mata ASEAN dan negara-negara lainnya juga positif dimana mereka menganggap Indonesia sebagai mitra yang strategis.