You are on page 1of 6

2012330078

UTS Semester Genap 2013/2014


Politik Luar Negeri Indonesia

1. Mohammad Hatta mendefinisikan prinsip bebas-aktif di tahun 1948 sebagai kebijakan luar
negeri yang harus dijalankan Indonesia dalam berhubungan dengan negara-negara lain.
Indonesia akan memiliki kebijakan yang bertujuan menciptakan perdamaian dan persahabatan
dengan semua bangsa dengan berdasarkan prinsip saling menghormati dan non-intervensi
dengan pemerintah satu sama lain. Mohammad Hatta menjelaskan bahwa prinsip bebas
yang dimaksud adalah bebas dari kolonialisme, bebas untuk menentukan tidak memihak blok
manapun, blok barat atau blok timur, yang pada saat itu sama-sama mencari kekuatan dari
negara-negara yang baru merdeka. Prinsip ini merupakan upaya untuk menjaga Indonesia dari
permusuhan dengan salah satu pihak, melindungi kepentingan Indonesia yang akan
mengalami kerugian apabila mengikuti pihak tertentu, dan memungkinkan Indonesia untuk
berteman dengan semua bangsa atas dasar saling menghormati. Dalam proses memperkuat
persahabatan tersebut, Indonesia bersedia menerima berbagai bantuan dari negara manapun,
asalkan hal ini tidak akan menurunkan atau mengancam kemerdekaan dan kedaulatan
Indonesia. Sedangkan, prinsip aktif yang dimaksudkan Hatta adalah upaya untuk mencapai
perdamaian dunia dan mengurangi ketegangan yang ditimbulkan oleh dua blok melalui
keanggotaan Indonesia dalam PBB bersama dengan negara-negara anggota PBB lainnya.

Terdapat faktor-faktor domestik dan internasional yang mendorong Hatta memunculkan prinsip
tersebut saat itu. Faktor domestik yang pertama adalah Indonesia mempunyai Pancasila
sebagai ideologi dasar negara. Di dalam Pancasila, Indonesia telah menggariskan suatu
landasan bagi politik luar negeri Indonesia sebagai bagian yang tak terpisahkan dari tujuan dan
cita-cita bangsa Indonesia. Oleh karena itu, Pancasila merupakan dasar pemikiran Hatta
terhadap munculnya prinsip bebas-aktif. Faktor domestik yang kedua adalah pengalaman
dijajah dalam waktu yang sangat lama membuat Indonesia sebagai negara yang baru
merdeka berusaha untuk membebaskan diri dari segala bentuk penjajahan atau dominasi
asing.

Faktor yang ketiga adalah ketika Kerajaan Belanda menyerahkan kedaulatan kepada
pemerintahan yang baru, terjadi kekosongan keuangan dan anggaran yang defisit yang
menimbulkan tingginya inflasi, krisis perekonomian, dan para buruh kehilangan pekerjaan
mereka. Oleh karena itu, terjadilah pergerakan buruh di Indonesia, dimana mereka tidak
pernah diizinkan untuk berorganisasi dengan bebas dan hidup dengan upah yang sangat
rendah. Seiring dengan tuntutan untuk meningkatkan upah, ada juga tuntutan untuk
menasionalisasi industri dan untuk perubahan dalam pengelolaan berbagai bisnis. Kemudian,
Belanda mengirimkan armada militernya yaitu army of the just king untuk memprovokasi
semua pulau-pulau di Indonesia untuk menentang pemerintah dan membuat Indonesia
terpecah. Akhirnya Indonesia melakukan security priority dimana Indonesia berusaha
membenahi keadaan domestiknya sebelum berurusan dengan negara lain.

Sedangkan faktor-faktor internasional yang mendorong Hatta memunculkan prinsip tersebut
salah satunya adalah kondisi geografis Indonesia yang strategis, diapit oleh dua samudera,
yakni Samudra Hindia dan Pasifik yang dikontrol oleh Angkatan Laut Inggris dan Angkatan
Laut AS. Inggris dan AS tidak memiliki tujuan yang jahat terhadap Indonesia, tetapi sebaliknya
justru menginginkan Indonesia tetap merdeka dan menjadi makmur. Tujuannya adalah untuk
ASEAN
mencegah masuknya paham Komunis ke Indonesia. Selain itu, Indonesia juga tidak
berbatasan langsung dengan Uni Soviet atau Cina sehingga tidak ada ancaman langsung
terhadap kemerdekaan Indonesia. Hanya gerakan Komunis domestik yang merupakan faktor
politik di Indonesia, tetapi dalam hal ini posisi Indonesia tidak berbeda dari negara-negara
demokrasi lainnya. Akibatnya, tidak ada kebutuhan mendesak bagi Indonesia untuk membuat
pilihan antara dua blok besar tersebut.

Faktor internasional lainnya adalah Indonesia harus menghadapi situasi yang berbeda setelah
Perang Dunia II berakhir, yaitu terjadinya Perang Dingin (perang ideologi) antara Amerika
Serikat dan Uni Soviet. Sebagai negara yang baru merdeka setelah mengalami kolonialisme,
Indonesia tidak memihak blok manapun, baik blok barat maupun blok timur dan bersikap netral
selama masa Perang Dingin tersebut. Sikap Indonesia yang tidak memihak ini menimbulkan
kecurigaan AS dan Uni Soviet sehingga Indonesia dianggap sebagai musuh baru. Negara-
negara Barat juga menganggap bahwa tidak ada posisi tengah bagi negara-negara yang lebih
lemah, dan bahwa mereka harus memilih antara satu blok atau yang lain. Akan tetapi, Hatta
menjelaskan bahwa untuk apa kita berjuang untuk kemerdekaan jika kita tetap harus memilih
antara barat atau timur. Indonesia seharusnya tidak menjadi pihak yang pasif di dunia
internasional tetapi harus aktif dalam mejaga perdamaian dunia dan berhak untuk menentukan
sudut pandangnya sendiri atau bersikap independen.

2. Presiden yang mengikuti konsep Lingkaran Konsentris adalah Soeharto, Habibie, Gus Dur,
Megawati, dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Lingkaran konsentris pada era Soeharto menjadikan ASEAN sebagai prioritas utama.
Kepentingan nasional Indonesia pada saat itu adalah untuk memobilisasi sumber daya
internasional dalam membantu rehabilitasi dan pembangunan ekonomi Indonesia dan untuk
memastikan terciptanya lingkungan regional yang aman sehingga Indonesia dapat lebih
berkonsentrasi pada agenda-agenda domestik. Oleh karena itu, Indonesia mendorong
terbentuknya ASEAN untuk meningkatkan kerjasama,
perdamaian, dan stabilitas kawasan Asia Tenggara.
Indonesia juga menerapkan kebijakan luar negeri yang low-
profile, dimana selain fokus pada ASEAN, Indonesia juga
bekerjasama dengan negara-negara maju (Barat) dalam
upaya untuk melakukan pembangunan ekonomi nasional,
baik melalui investasi asing maupun menjadi mitra
dagang. Kebijakan Soeharto tidak menghambat
pencapaian kepentingan Indonesia pada masa itu, justru
kebijakan tersebut semakin meningkatkan pembangunan
ekonomi Indonesia. Akan tetapi, kebijakannya tersebut
menimbulkan kritik karena kedekatan Indonesia dengan negara-negara Barat dianggap telah
ASEAN
Lingkaran konsentris kebijakan luar
negeri Indonesia
melanggar prinsip bebas aktif. Hal ini menimbulkan persepsi bahwa Indonesia telah
meninggalkan identitas tidak terikat dengan blok manapun. Oleh karena itu, Indonesia
berupaya keras untuk terlibat aktif dengan negara-negara berkembang lainnya, yang
sebelumnya terabaikan karena kedekatan Indonesia dengan negara-negara Barat. Hal ini
dilakukan untuk menghilangkan persepsi teresbut dan terutama untuk mencari pasar baru bagi
produk ekspor Indonesia. Akan tetapi, karena Soeharto terlalu fokus kepada pemenuhan
kebutuhan sumber daya dan pembangunan ekonomi nasional, masalah sosial dan hak asasi
manusia di Indonesia menjadi terabaikan.

Sedangkan pada era Habibie, prioritas politik luar negeri Indonesia adalah untuk memulihkan
citra Indonesia di mata internasional serta penyelesaian masalah hak asasi manusia di Timor
Timur. Lingkaran konsentris tetap ada, tetapi pelaksanaannya tidak begitu terlihat karena
hanya melanjutkan dari Orde Baru.

Pada masa pemerintahan Gus Dur, ASEAN tidak menjadi fokus utama, tetapi ia menekankan
pada ecumenical foreign policy yaitu menjadi dekat dengan banyak negara sebanyak
mungkin dengan kecenderungan yang kuat terhadap globalisasi. Ia juga berupaya untuk
menciptakan keseimbangan antara negara maju dan berkembang melalui kebijakan "looking
towards Asia dengan meningkatkan hubungan antara Indonesia, India, Cina, Jepang, dan
Singapura tanpa memutuskan hubungan dengan negara-negara Barat yang sudah terjalin.
Akan tetapi, kebijakan ini gagal dan Gus Dur dianggap mengabaikan kepentingan nasional
Indonesia saat itu. Akan tetapi, hubungan Indonesia dengan banyak negara ini menjadi
perubahan besar dalam keadaan sosial-budaya Indonesia, dimana warga keturunan terutama
Tiongkok serta kepercayaan atau agama minoritas mulai dihargai.

Pada masa pemerintahan Megawati, Indonesia kembali menekankan pentingnya ASEAN.
Saat itu juga tercipta ASEAN Security Community yang mendorong terbentuknya ASEAN
Comunity. Selain itu, hubungan dengan negara-negara Barat juga tetap dianggap penting
bagi Indonesia, terutama karena kepentingan ekonomi dengan negara Barat dinilai dapat
membantu perkembangan ekonomi Indonesia. Meskipun tetap menjalin hubungan yang erat
dengan negara-negara Barat, IMF dan World Bank, Indonesia tetap menganggap bahwa
hubungan dengan kawasan sangat penting, terutama ASEAN. Kebijakan Megawati tidak
menghambat pencapaian kepentingan pada masa itu, karena Indonesia memiliki kepentingan
untuk menjaga keamanan kawasan dan juga kepentingan ekonomi dalam proses reformasi
yang masih dijalankan Indonesia untuk mencapai demokrasi.

Pada masa pemerintahan SBY, kebijakan luar negeri Indonesia menekankan pada prinsip A
million friends and zero enemies dimana tidak ada negara yang
menganggap Indonesia sebagai musuh dan tidak ada negara
yang dianggap musuh oleh Indonesia sehingga Indonesia
dapat menjalankan politik luar negerinya dengan bebas ke
segala arah. Indonesia juga menjadikan ASEAN sebagai
fokus utama dalam lingkaran konsentris, serta menjalin
kerjasama yang erat dengan negara-negara tetangga di
kawasan Asia Pasifik dan melakukan pragmatisme
ekonomi dalam menjalin hubungan dengan negara-negara
strategis lainnya. Selain itu, Indonesia melanjutkan lingkaran
konsentrisnya ke ASEAN+3, APEC, dan East Asia Summit.
Dalam lingkaran ini, masalah keamanan menjadi dasar bagi
terbentuknya hubungan dengan negara-negara tetangga. Sedangkan bagi negara-negara di
ASEAN
lingkaran luar, penekanan Indonesia adalah lebih pada mengamankan dan melindungi
kepentingan ekonomi. Indonesia juga mengemban konsep keseimbangan dinamis (dynamic
equilibrium) yaitu dengan mengundang semua kekuatan-kekuatan besar yang relevan ke
dalam East Asia Summit, di mana tidak ada satu kekuatan yang mendominasi.

3. Banyak faktor yang mempengaruhi perilaku kebijakan luar negeri Indonesia, terutama selama
masa transisi menuju demokrasi. Kebijakan luar negeri Indonesia selama demokratisasi
terutama dibentuk oleh dua faktor yaitu faktor dalam negeri dan internasional. Faktor dalam
negeri yang dimaksud berupa legitimasi politik pemerintah demokratis yang membentuk
sifat perilaku negara. Sedangkan faktor internasional adalah tekanan internasional yang
menentukan pola perilaku negara. Dalam hal ini, terdapat empat jenis perilaku negara yang
ditentukan oleh interaksi antara tekanan internasional dan legitimasi politik: (1) negara akan
"kompromi dalam perbuatan" ketika tekanan internasional tinggi dan legitimasi politik
rendah, (2) negara akan "kompromi dalam kata-kata" ketika legitimasi politik dan tekanan
internasionalnya rendah, (3) negara akan melakukan penyeimbangan eksternal ketika
legitimasi politik dan tekanan internasionalnya tinggi, (4) negara akan melakukan
penyeimbangan internal ketika legitimasi politik tinggi dan tekanan internasional rendah.
Untuk menjelaskan hal ini, saya mengacu pada pemerintahan Abdurrahman Wahid dan
Megawati Soekarnoputri. Transisi kepresidenan pada era Gus Dur maupun Megawati
merupakan jenis pergantian (replacement) atau transisi revolusioner dimana rezim lama
digulingkan oleh kekuatan demokrasi. Oleh karena itu, keduanya memiliki legitimasi politik
yang lebih tinggi dibandingkan dengan Habibie yang melakukan transformasi dari rezim
sebelumnya.

Selama masa pemerintahannya, Abdurrahman Wahid/Gus Dur (Oktober 1999-Juli 2001)
memiliki legitimasi politk yang tinggi karena ia merupakan pemimpin oposisi pada era
Soeharto dan dianggap membawa harapan baru bagi demokrasi Indonesia. Gus Dur juga
dipilih melalui voting oleh MPR sebagai penyeimbang antara para nasionalis pendukung
Megawati dan partai-partai Islam konservatif yang anti-Megawati, meskipun partainya yaitu
Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) hanya memperoleh 11% kursi di DPR. Ia kemudian
mengangkat Megawati sebagai wakil presiden dan membagi kekuasaan dengan partai utama
lainnya di DPR melalui kabinet persatuan nasional. Meskipun koalisi multipartai ini pada
dasarnya bermasalah dan lemah dalam hal persatuan dan kekuatan kabinet, legitimasi politik
Gus Dur di dalam negeri tetap tinggi. Kebijakan luar negeri aktif Gus Dur adalah untuk
membangun kembali citra baik Indonesia di mata masyarakat internasional. Akan tetapi,
tekanan internasional yang dihadapi Gus Dur juga tinggi, dimana terdapat tekanan dari
Barat, terutama Amerika Serikat yang mendorong pemerintah Indonesia untuk fokus pada
reformasi ekonomi dan investigasi HAM atas kekerasan di Timor Timur. Kemudian Gus Dur
mengumumkan kebijakannya yaitu "looking towards Asia" untuk mengimbangi Barat. Tujuan
utama dari kebijakan ini adalah untuk meningkatkan hubungan antara Indonesia, India, Cina,
Jepang, dan Singapura untuk melawan pengaruh Barat dan mengurangi ketergantungan pada
Barat. Kebijakan ini dipandang sebagai penyeimbangan eksternal dimana Indonesia
berusaha menyeimbangi tekanan dari Barat melalui kerjasama dengan negara-negara Asia
lainnya, terutama setelah intervensi Timor Leste dan krisis ekonomi pada saat itu. Pada
akhirnya kebijakan ini gagal karena kurangnya tanggapan dari negara-negara Asia utama
lainnya. Hal ini terjadi karena di bawah sistem internasional yang unipolar di era pasca Perang
Dingin, tidak ada negara yang bersedia bersama dengan Indonesia untuk menantang Amerika
Serikat.

Kemudian, Megawati Soekarnoputri (Juli 2001-Oktober 2004) menggantikan Gus Dur setelah
ia dipecat oleh Parlemen karena dianggap gagal dalam memimpin reformasi ekonomi dan
tidak kompeten dalam menangani keamanan dalam negeri yang memburuk. Pada masa
pemerintahannya, Megawati memiliki legitimasi politik yang tinggi, dimana partainya
merupakan partai terbesar di Parlemen dan juga mendapatkan dukungan dari militer sehingga
ia menghadapi kendala yang lebih sedikit daripada Gus Dur. Namun, kebijakan luar negeri
Megawati dianggap kurang tegas dibandingkan dengan strategi penyeimbangan eksternal Gus
Dur yang high-profile. Ia menekankan pada kebijakan low-profile neighbor-first dengan
mengutamakan negara-negara ASEAN dalam lingkaran konsentrisnya. Kebijakan ini
merupakan strategi penyeimbangan internal dimana Indonesia berusaha memperkuat
konsolidasi internal dan menghidupkan kembali ASEAN untuk melawan tekanan internasional.
Hal ini ditunjukkan dengan sikapnya yang lunak dalam melawan terorisme, bertentangan
dengan kebijakannya yang keras terhadap gerakan separatis di Aceh. Ada beberapa alasan
atas kebijakan keras Megawati terhadap Aceh, di antaranya pengaruh militer pada pembuatan
kebijakan, ideologi nasionalis Megawati, serta kekhawatiran mendalam atas separatisme
regional. Akan tetapi, salah satu alasan utama tindakan militer Indonesia di Aceh adalah
tekanan AS yang lebih lemah pada Indonesia. Hal ini terjadi karena AS mengubah
kebijakannya terhadap Indonesia setelah tragedi 11 September dan menjadikan Indonesia
sebagai mitra penting untuk memerangi terorisme global. Meskipun AS menolak permintaan
Indonesia untuk menempatkan GAM dalam daftar organisasi teroris internasional atau untuk
menghubungkan kampanye melawan separatisme dengan perang global melawan terorisme,
AS tidak serius mengkritik tindakan militer Indonesia di Aceh. Oleh karena itu, Megawati lebih
memprioritaskan kestabilan dalam negeri dan menurunkan kepentingan kebijakan luar
negerinya untuk mencegah terjadinya disintegrasi dan memulihkan kondisi perekonomian
Indonesia. Kesimpulannya, legitimasi politik dan tekanan internasional yang dihadapi oleh
suatu negara akan menentukan perilaku dan kebijakan dalam negeri maupun luar negerinya.

4. Pada masa pemerintahan Soekarno (1945-1965), pelaksanaan kebijakan luar negeri
Indonesia lebih condong kepada Uni Soviet, Cina, maupun Vietnam daripada terhadap AS
dan sekutu Baratnya. Hal ini ditunjukkan dengan sikap Soekarno yang menentang basis militer
Barat di Asia Tenggara, menolak bantuan keuangan dari Barat, dan pengunduran diri
Indonesia dari PBB. Latar belakang pemikiran Soekarno pada waktu itu adalah Indonesia
harus menolak kembalinya imperialisme dan kolonialisme. Negara-negara Barat dan PBB
dalam pemikiran Soekarno merupakan representasi dari imperialisme dan kolonialisme. Akan
tetapi, Indonesia tidak sepenuhnya memihak ke Timur dan anti terhadap Barat, karena
Indonesia juga menerima bantuan dari AS dalam menyelesaikan masalah Irian. Hal ini
ditunjukkan dengan AS yang memaksa Belanda segera keluar dari Irian, dan menyatakan
dalam forum PBB bahwa peralihan kekuasaan di Irian, dari Belanda ke Indonesia adalah
sesuatu yang bisa diterima. Sedangkan hubungan dengan negara-negara di Asia Tenggara
pada saat itu, ditandai dengan sikap konfrontasi terhadap Malaysia atas pembentukan
Federasi Malaysia. Soekarno menganggap hal ini merupakan tujuan Inggris untuk
membentuk kekuatan neo kolonialisme di Asia Tenggara sehingga hal ini merupakan
ancaman bagi Indonesia sebagai negara yang baru terbebas dari kolonialisme Belanda.
Federasi Malaysia juga dianggap sebagai ancaman karena dianggap akan mendominasi politik
dan ekonomi Asia Tenggara. Oleh karena itu, Indonesia berusaha untuk menggagalkan
terwujudnya Federasi Malaysia meskipun upaya tersebut tidak berhasil. Partisipasi aktif
Indonesia dalam pemenuhan kebutuhan kawasan dan internasional pada masa Soekarno ini
cenderung reaktif dimana ia melihat situasi yang ada dalam menerapkan suatu kebijakan.
Dalam hal ini, saya setuju dengan kebijakan yang diambil oleh Soekarno pada masa itu dalam
menentang kembali terciptanya kolonialisme dan imperialisme. Hal ini dilakukan untuk
menjaga keamanan dan kestabilan politik Indonesia setelah kemerdekaan. Akan tetapi, dalam
hal kepentingan ekonomi, kondisi Indonesia pada saat itu tidak mengalami perkembangan.
Padahal sebagai negara yang baru merdeka Indonesia banyak membutuhkan bantuan
ekonomi dari negara lain. Sikap Soekarno yang menolak bantuan keuangan dari Barat tentu
berakibat pada kondisi keuangan Indonesia kurang stabil.

Pada era kepemimpinan SBY (2004-sekarang), Indonesia berpartisipasi aktif melalui
keikutsertaannya dalam berbagai organisasi internasional. Indonesia juga melakukan
kerjasama bilateral maupun multilateral dengan negara-negara dalam lingkaran konsentrisnya.
ASEAN merupakan fokus utama Indonesia, terutama karena kebijakan luar negeri SBY
menekankan pada peran kepemimpinan Indonesia di ASEAN dan juga menjadi penggagas
terbentuknya ASEAN Community pada 2015. Di samping itu ada ASEAN+3, AS dan Uni
Eropa yang menjadi mitra utama ekonomi Indonesia. Indonesia juga aktif dalam keanggotaan
Non-Aligned Movement (NAM), Organization of the Islamic Conference (OIC), G-77, dan G-15.
Dalam forum-forum tersebut, Indonesia menerapkan diplomasi multijalurnya untuk
menjembatani kesenjangan antara negara-negara berkembang dengan negara-negara maju.
Selain itu, pada tingkat global, Indonesia melalui PBB menekankan multilateralisme dalam
menyelesaikan masalah perdamaian dan keamanan dunia. Dalam pemenuhan kebutuhan
masyarakat kawasan dan internasional pada era SBY ini, Indonesia bisa dikatakan sangat
aktif. Saya setuju dengan partisipasi dan peran aktif Indonesia ini karena kebijakan-kebijakan
yang dibuat oleh pemerintahan SBY telah membuat Indonesia semakin dkenal dan
diperhitungkan dalam dunia internasional. Citra Indonesia di mata ASEAN dan negara-negara
lainnya juga positif dimana mereka menganggap Indonesia sebagai mitra yang strategis.

You might also like