Professional Documents
Culture Documents
Syiah adalah salah satu dari sekian banyak madzhab teologi dalam Islam,
sebagaimana Muktazilah, Qadariyah, Ahli Sunnah (Sunni) dan lainnya. Meski
demikian, Syiah biasanya diperlakukan “lain” oleh kebanyakan kaum Sunni.
Begitu banyak perbedaan ditonjolkan untuk menunjukkan seolah-olah Syiah
bukan bagian dari Islam atau yang lain.
Karena itu, sungguh sangat tepat pernyataan Joko Susilo beberapa tahun
lalu, bahwa perbedaan Sunnah-Syiah sebenarnya tidak perlu diperbesar. Tidak ada
untungnya.1 Sebaliknya, justru harus giat dicari titik temunya. Harus disadari
bahwa bagaimanapun Syiah bukanlah “orang lain”. Mereka adalah bagian yang
tidak terpisahkan dari masyarakat muslim lainnya. Mereka pernah lama hadir
dalam sejarah Islam dan mengantarkannya kepada masa kejayaan, misalnya pada
masa pemerintahan Buyid, Fatimiyah dan Savafiyah. Bahkan, pada dekade
terakhir ini, mereka telah berhasil menaikkan gengsi umat Islam di mata dunia
internasional dengan tampilnya Imam Khumaini di Iran. Meributkan adanya
perbedaan berarti tidak menyadari bahwa munculnya ketidaksamaan adalah
sesuatu yang wajar. Bahkan keniscayaan. Sebab, manusia tidaklah sama. Dalam
lapangan fiqh, juga dikenal adanya madzhab-madzhab yang saling berbeda. Begitu
pula dalam agama lain. Bahkan lebih parah. Dalam agama Kresten, perbedaan
antara Katholik dan Protestan tidak hanya pada soal-soal furuiyah (cabang) tetapi
telah masuk pada tataran aqidah, kitab suci dan lain-lain.
Dalam Islam, perbedaan antara Sunni dan Syiah tidak separah itu.
Perbedaan keduanya hanya meliputi masalah-masalah furuiyah sebagaimana yang
terjadi dalam lapangan fiqh. Keduanya masih sama-sama menyembah Allah Yang
Esa, sama-sama menyakini kebenaran Rasul Muhammad saw, sama-sama
memegangi kitab suci al-Qur'an, meyakini adanya hari akhir dan lain-lain. Karena
itu, dalam Islam, sebenarnya tidak ada istilah "sekte" sebagaimana yang dikenal
dan digunakan dalam agama Kresten dan Yahudi.2 Apa yang dinamakan
"perpecahan" dalam Islam, sebenarnya, hanya perbedaan dalam segi pandangan
historis tentang derajat kekuatan hukum yang harus dipertahankan, masalah yang
kadang-kadang merupakan huruf atau jiwanya, masalah kata-kata hukumnya atau
jiwanya. Karena itu, pada tahun 1958 dibentuk usaha bersama dalam masalah fiqh
dengan mendirikan lembaga yang diberi nama "Dar al-Taqrib Bain al-Madzahib al-
Islamiyah". Tujuannya, menciptakan saling pengertian di antara para pengikut
madzhab dari kedua golongan (Sunnah dan Syiah); Jakfariyah, Zaidiyah,
Hanafiyah, Malikiyah, Syafiiyah dan Hambaliyah, melalui pendekatan historis,
akademis, analisis dan kepentingan umat Islam pada umumnya. Sebagai ketua
umumnya saat itu adalah Syekh Mahmud Saltut, Rektor Universitas al-Azhar,
1
Jawa Pos, 23 Agustus 1993
2
Marmaduke Pickthall, Perang dan Agama, 58
2
Kairo (orang Sunni), sedang sebagai Sekjen organisasi adalah Syekh al-Qumi,
Guru Besar di Hauzeh, Qom, Iran.3
Soal Ushuluddin.
Menurut Syiah, pokok keimanan dalam Islam (ushuluddin) meliputi lima
hal: (1) Tauhid, kepercayaan kepada ke-Esaan Ilahy, (2) Nubuwat, kenabian, (3)
Ma'ad, kehidupan di akherat, (4) Imamah atau keimaman, percaya adanya Imam-
Imam sebagai pengganti dan penerus nabi, (5) Adil atau keadilan Ilahy.4 Sedang
menurut kaum Sunni, dengan berdasarkan pada beberapa hadits, pokok-pokok
agama meliputi enam macam; Tauhid, Nubuwat, Ma'ad, Malaikat, Kitab suci dan
Taqdir, percaya adanya ketentuan bahwa baik dan buruk berasal dari Tuhan.
Kedua konsep tersebut, walau kelihatan tidak sama, sebenarnya tidak
berbeda. Menurut al-Ghazali, prinsip yang paling pokok dalam Islam sebenarya
hanya tiga macam; Tauhid, Nubuwah dan Ma'ad.5 Selain ketiga masalah tersebut,
hanya menempati posisi furuiyah (cabang), yang berarti sah ada perdebatan dan
perbedaan. Dan kenyataannya, konsep aqidah kaum Syiah tidak sedikitpun
meninggalkan salah satu, apalagi keseluruhan dari tiga prinsip utama tersebut.
Bahkan, uraian-uraiannya tentang ketiga prinsip tersebut sama sebagaimana yang
dipahami kaum Sunni. Itu berarti aqidah Syiah, bagaimanapun, tidak bisa
dianggap sesat, dalam arti telah menyimpang dari ajaran-ajaran Islam yang baku.
Memang, dalam masalah sifat-sifat Ilahy, antara Sunni dan Syiah ada sedikit
perbedaan. Tetapi itu tidak penting. Menurut al-Ghazali, masalah-masalah seperti
sifat-sifat Tuhan, hanya soal penafsiran. Seseorang atau suatu madzhab, bisa
(boleh) menafsirkan masalah-masalah seperti itu menurut kadar kemampuan
akalnya, sejauh tidak sampai menyekutukan-Nya. Rasul sendiri, tidak pernah
menjelaskan apakah sifat Tuhan berjumlah 20 atau 13. Apakah sifat-sifat-Nya
termasuk Dzat-Nya atau tidak, dan lain sebagainya. Yang diajarkan hanya
keyakinan bahwa Allah adalah Esa. Dialah penguasa tunggal alam semesta yang
wajib disembah dan dimintai pertolongan.6
Adapun dalam dua masalah yang lain: soal keadilan Ilahy dan Imamah,
antara Sunni dan Syiah hanya berbeda dalam hal penekanan.7 Dalam konsep
Syiah, sifat adil dianggap sebagai bawaan sifat Ilahy. Artinya, tidak mungkin
Tuhan berbuat sesuatu secara tidak adil, sebab adalah sifat-Nya untuk berbuat
adil. Bagi-Nya berlaku tidak adil berarti memperkosa sifat-Nya sendiri, dan hal itu
adalah mustahil. Akal dapat menilai suatu tindakan sebagai adil dan tidak, dan
penilaian itu tidak sepenuhnya batal oleh keyakinan akan keunggulan kehendak
Allah. Sebab, akal adalah ciptaan Tuhan yang diberikan kepada manusia, sesuai
dengan fitrah-Nya. Sedang dalam pemahaman Sunni, titik tekannya terletak pada
iradah atau kehendak-Nya. Apapun yang dikehendaki Tuhan adalah adil, dan
3
Majalah Yaum al-Quds, No. 33, Syakban 1412 H.
4
Thabathabi, Islam Syiah, 9.
5
Al-Ghazali, al-Munqid Min al-Dlalal, dalam Majmû`ah Rasail, 543.
6
Al-Ghazali, Fashl al-Tafriqah, dalam Majmû`ah Rasail, 238 dan seterusnya.
7
Thabathabi, Islam Syiah, 10.
3
Titik Temu.
Walau secara syariat kaum Sunni mengakui Imamah hanya sebagai kepala
negara, tetapi dalam prakteknya di dunia tasawuf, mereka --secara tidak langsung-
- sebenarnya juga mengakui keberadaan seorang Imam lengkap dengan segala
fungsinya sebagaimana yang dipahami kaum Syiah. Mereka menyakini adanya
"Quthub" dan suasana kewalian. Kewalian, sebagai hasil dari tuntunan ke jalan
kerohanian yang oleh para sufi dianggap sebagai kesempurnaan manusia, tidak
lain adalah suatu keadaan yang menurut kepercayaan Syiah dipunyai sepenuhnya
oleh Imam-Imam, dan melalui pancaran wujudnya bisa dicapai oleh para
pengikutnya yang setia. Begitu pula dengan Quthub (puncak kerohanian) yang
kehadirannya dianggap perlu oleh kaum sufi disepanjang zaman, ada pertalian
erat dengan konsep Syiah tentang keberadaan seorang Imam.10
Sesuai dengan konsep Syiah, Imam --menurut istilah kaum Sunni adalah
"Insan Kamil"; manusia sempurna atau manusia universal-- adalah manifestasi
Nama-Nama Ilahy dan pembimbing kerohanian terhadap kehidupan dan
8
Muthahhari, Keadilan Ilahy, 17-27.
9
Ali Khumaini, Mata Air Kecemerlangan, 86.
10
Thabathabi, Islam Syiah, 127.
4
perbuatan manusia. Dialah yang paling dekat dengan Allah, pelindung agama,
dan menerima perintah dari Allah secara langsung. Imam Ali ibn Abi Thalib ra
pernah berkata kepada muridnya, Kumayd ibn Ziyad:
“Bumi ini tidak pernah kosong dari seorang yang --demi Allah-- membawa
hujjah. Boleh jadi ia menampakkan diri dan dikenal, atau khawatir dan bersembunyi;
agar hujjah Allah dan tanda-tanda-Nya yang jelas tidak pudar. Berapa jumlah mereka
dan di mana? Demi Allah, mereka sangat sedikit tetapi sangat agung kedudukannya
disisi Allah. Melalui mereka Allah memelihara hujjah dan tanda-tanda-Nya, sampai
Allah menyimpan hujjah dan tanda-tanda itu dalam diri orang-orang seperti mereka.
Pengetahuan telah membimbing mereka pada hakekat pemahaman dan mereka telah
mencapai ruh keyakinan...."
Selain menyakini konsep imamah sebagaimana yang dipahami kaum Syiah,
dalam tasawuf, orang Sunni --tanpa sadar-- juga telah mengikuti ajaran-ajaran
Imam Syiah. Para mursyid (guru ruhani) dari tarikat sufi --kecuali Naqsabandi--
kenyataanya menarik mata rantai silsilah keruhanian --yang dalam kehidupan
ruhani seperti silsilah keturunan seseorang-- melalui mursyid-mursyid mereka yang
terdahulu kepada para Imam Syiah, umumnya dari Imam Jakfar al-Shadiq sampai
kepada Imam Ali ibn Abi Thalib. Atau langsung kepada Imam Ali. Imam Ali
disebut sebagai "Sayyid al-Auliya" (pemuka para wali dan sufi). Juga, hasil kasyaf
(vision) dan ilham mereka, kenyataanya banyak memuat kebenaran mengenai ke-
Esaan Ilahy dan martabat kehidupan ruhani yang terdapat dalam ajaran dan
perkatan para imam Syiah.
Karena itu, dengan melihat "cara kerja" dan ajaran kaum sufi, secara
ekstrem bisa dikatakan bahwa mereka yang memasuki dunia tasawuf sebenarnya
telah masuk dan mengikuti (ajaran) Syiah, walau dari syariat mengikuti madzhab
fiqh Sunni. Atau menurut Gus Dur, mereka adalah penganut Syiah kultural.
Penutup
Dari kenyataan tersebut dapat dikatakan bahwa sebenarnya ada hubungan
yang erat antara Syiah dan Sunni, terutama dalam dunia tasawuf. Ada titik temu
yang menghubungkan dan menyatukan di antara kedunya, sehingga mereka
sebenarnya tidak perlu mempertentangkan atau bermusuhan dengan saling
mencari perbedaan melainkan harus saling mendekat dengan saling mencari
kesamaan. Karena itu pula, madzhab Syiah tidak bisa dianggap sebagai madzhab
(gerakan) yang menghancurkan kesatuan Islam, akan tetapi --sebagaimana
madzhab Sunni sendiri-- ia menambah kekayaan bentangan sejarah dan
penyebaran pesan al-Qur'an.
Apalagi kenyataanya, budaya dan kebiasaan (kultur) masyarakat Sunni
banyak yang mengikuti budaya dan kultur Syiah. Dalam dibaiyah misalnya, kitab
yang selalu dibaca dan menjadi ciri khas masyarakat Sunni atau pesantren. Di
dalamnya penuh sanjungan-sanjungan dan "ketergantungan" kita kepada para
Imam Syiah.
5
...........
Kami mempunyai bapak sebaik-baik makhluk
Ali yang diridlai adalah keturunanya
Kepada kedua cucunya kami senasab
Keturunan yang tidak rusak