You are on page 1of 15

1

PTERIGIUM

I DEFENISI
Pterigium berasal dari bahasa Yunani yaitu Pteron yang artinya
sayap (wing). Pterigium didefinisikan sebagai pertumbuhan jaringan
fibrovaskuler pada konjungtiva dan tumbuh menginfiltrasi permukaan
kornea, umumnya bilateral di sisi nasal, biasanya berbentuk segitiga
dengan kepala/apex menghadap kesentral kornea dan basis menghadap
lipatan semilunar pada cantus.
1,2,3,4

II. EPIDEMIOLOGI
Pterigium tersebar di seluruh dunia, tetapi lebih banyak di daerah
iklim panas dan kering. Prevalensi juga tinggi di daerah berdebu dan
kering. Faktor yang sering mempengaruhi adalah daerah dekat dengan
ekuator yaitu daerah <37
0
lintang utara dan selatan dari ekuator. Prevalensi
tinggi sampai 22 % di daerah dekat ekuator dan <2 % pada daerah di atas
lintang 40
0
.
5
Di Amerika Serikat, kasus pterigium sangat bervariasi tergantung
pada lokasi geografisnya. Di daratan Amerika serikat, Prevalensinya
berkisar kurang dari 2% untuk daerah di atas 40
o
lintang utara sampai 5-15%
untuk daerah garis lintang 28-36
o
. Sebuah hubungan terdapat antara
peningkatan prevalensi dan daerah yang terkena paparan ultraviolet lebih
tinggi di bawah garis lintang. Sehingga dapat disimpulkan penurunan
angka kejadian di lintang atas dan peningkatan relatif angka kejadian di
lintang bawah.Pasien di bawah umur 15 tahun jarang terjadi pterigium.
Prevalensi pterigium meningkat dengan umur, terutama dekade ke 2 dan 3
kehidupan. Insiden tinggi pada umur antara 20-49 tahun. Pterigium
rekuren sering terjadi pada umur muda dibandingkan dengan umur tua.
Laki-laki 4 kali lebih berisiko daripada perempuan dan berhubungan
dengan merokok, pendidikan rendah dan riwayat paparan lingkungan di
luar rumah.
5,6
2

I. ANATOMI KONJUNGTIVA
Konjungtiva merupakan membran mukosa yang transparan dan
tipis yang membungkus permukaan posterior kelopak mata (konjungtiva
palpebralis) dan permukaan anterior sklera (konjungtiva bulbaris).
Konjungtiva bersambungan dengan kulit pada tepi palpebra (suatu
sambungan mukokutan) dan dengan epitel kornea dilimbus.
4

Sesuai dengan namanya, konjungtiva menghubungkan antara bola
mata dan kelopak mata. Dari kelopak mata bagian dalam, konjungtiva
terlipat ke bola mata baik dibagian atas maupun bawah. Refleksi atau
lipatan ini disebut dengan forniks superior dan inferior. Forniks superior
terletak 8-10 mm dari limbus sedangkan forniks inferior terletak 8 mm
dari limbus. Lipatan tersebut membentuk ruang potensial yang disebut
dengan sakkus konjungtiva, yang bermuara melalui fissura palpebra antara
kelopak mata superior dan inferior. Pada bagian medial konjungtiva, tidak
ditemukan forniks, tetapi dapat ditemukan karunkula dan plika semilunaris
yang penting dalam sistem lakrimal. Pada bagian lateral, forniks bersifat
lebih dalam hingga 14 mm dari limbus.
7
Secara anatomi, konjungtiva terdiri atas 3 bagian:
7,8

1. Konjungtiva Palpebra

Mulai pada mucocutaneus junction yang terletak pada
bagian posterior kelopak mata yaitu daerah dimana epidermis
bertransformasi menjadi konjungtiva. Dari titik ini, konjungtiva
melapisi erat permukaan dalam kelopak mata. Konjungtiva
palpebra dapat dibagi lagi menjadi zona marginal, tarsal, dan
orbital. Konjungtiva marginal dimulai pada mucocutaneus
junction hingga konjungtiva proper. Punktum bermuara pada
sisi medial dari zona marginal konjungtiva palpebra sehingga
terbentuk komunikasi antara konjungtiva dengan sistem
lakrimal. Kemudian zona tarsal konjungtiva merupakan bagian
dari konjungtiva palpebralis yang melekat erat pada tarsus.
3

Zona ini bersifat sangat vaskuler dan translusen. Zona terakhir
adalah zona orbital, yang mulai dari ujung perifer tarsus hingga
forniks. Pergerakan bola mata menyebabkan perlipatan
horisontal konjungtiva orbital, terutama jika mata terbuka.
Secara fungsional, konjungtiva palpebra merupakan daerah
dimana reaksi patologis bisa ditemui.
2. Konjungtiva Bulbi
Menutupi sklera dan mudah digerakkan dari sklera
dibawahnya. Konjungtiva bulbi dimulai dari forniks ke limbus,
dan bersifat sangat translusen sehingga sklera dibawahnya
dapat divisualisasikan. Konjungtiva bulbi melekat longgar
dengan sklera melalui jaringan alveolar, yang memungkinkan
mata bergerak ke segala arah. Konjungtiva bulbi juga melekat
pada tendon muskuler rektus yang tertutup oleh kapsula tenon.
Sekitar 3 mm dari limbus, konjungtiva bulbi menyatu dengan
kapsula tenon dan sklera.
3. Konjungtiva Forniks
Merupkan tempat peralihan konjungtiva tarsal dengan
konjungtiva bulbi. Lain halnya dengan konjungtiva palpebra
yang melekat erat pada struktur sekitarnya konjungtiva forniks
ini melekat secara longgar dengan struktur di bawahnya yaitu
fasia muskulus levator palpebra superior serta muskulus rektus.
Karena perlekatannya bersifat longgar, maka konjungtiva
forniks dapat bergerak bebas bersama bola mata ketika otot-
otot tersebut berkontraksi.

4


Gambar 2. Konjugtiva
8

Konjungtiva di vaskularisasi oleh arteri ciliaris anterior dan arteri
palpebralis. Kedua arteri ini beranastomosis dengan bebas dan bersama
banyak vena konjungtiva yang umumnya mengikuti pola arterinya
membentuk jaring-jaring vaskuler konjungtiva yang sangat banyak.
Pembuluh limfe konjungtiva tersusun didalam lapisan superfisial dan
profundus dan bergabung dengan pembuluh lemfe palpebra membentuk
pleksus limfatikus. Konjungtiva menerima persarafan dari percabangan
nervus trigeminus yaitu nervus oftalmikus. Saraf ini memiliki serabut nyeri
yang relatif sedikit.
4
Secara histologis konjungtiva terdiri atas epitel dan stroma. Lapisan
epitel konjungtiva terdir atas 2-5 lapisan sel epitel silindris bertingkat,
superfisial dan basal. Lapisan epitel konjungtiva di dekat limbus, diatas
caruncula, dan di dekat persambungan mukokutan pada tepi kelopak mata
terdiri atas sel-sel epitel skuamous bertingkat. Sel-sel superfisial
mengandung sel-sel goblet bulat dan oval yang mensekresi mukus. Mukus
yang terbentuk mendorong inti sel goblet ke tepi dan diperlukan untuk
dispersi lapisan air mata prakornea secara merata. Sel-sel epitel basal
berwarna lebih pekat dibandingkan sel-sel superfisial dan di dekat limbus
dapat mengandung pigmen. Lapisan stroma di bagi menjadi 2 lapisan yaitu
5

lapisan adenoid dan lapisan fibrosa. Lapisan adenoid mengandung jaringan
limfoid dan di beberapa tempat dapat mengandung struktur semacam
folikel tanpa sentrum germinativum. Lapisan adenoid tidak berkembang
sampai setelah bayi berumur 2-3 bulan. Hal ini menjelaskan konjungtivitis
inklusi pada nenonatus bersifat papilar bukan folikular dan mengapa
kemudian menjadi folikular. Lapisan fibrosa tersusun dari jaringan
penyambung yang melekat pada lempeng tarsus. Hal ini menjelaskan
gambaran reaksi papilar pada radang konjungtiva. Lapisan fibrosa tersusun
longgar pada bola mata. Kelenjar lakrimal aksesorius (kelenjar krause dan
wolfring), yang struktur fungsinya mirip kelenjar lakrimal terletak di
dalam stroma. Sebagian besar kelenjar krause berada di forniks atas,
sisanya di forniks bawah. Kelenjar wolfring terletak di tepi tarsus atas.
7


IV. ETIOLOGI
Hingga saat ini etiologi pasti pterigium masih belum diketahui
secara pasti. Beberapa faktor resiko pterigium antara lain adalah paparan
ultraviolet, mikro trauma kronis pada mata, infeksi mikroba atau virus.
Selain itu beberapa kondisi kekurangan fungsi lakrimal film baik secara
kuantitas maupun kualitas, konjungtivitis kronis dan defisiensi vitamin A
juga berpotensi menimbulkan pterigium. Selain itu ada juga yang
mengatakan bahwa etiologi pterigium merupakan suatu fenomena iritatif
akibat pengeringan dan lingkungan dengan banyak angin karena sering
terdapat pada orang yang sebagian besar hidupnya berada di lingkungan
yang berangin, penuh sinar matahari, berdebu dan berpasir. Beberapa
kasus dilaporkan sekelompok anggota keluarga dengan pterigium dan
berdasarkan penelitian menunjukkan riwayat keluarga dengan pterigium,
kemungkinan diturunkan autosom dominan.
2,3,4,5




6

V. KLASIFIKASI PTERIGIUM
Pterigium dapat dibagi ke dalam beberapa klasifikasi berdasarkan
tipe, stadium, progresifitasnya dan berdasarkan terlihatnya pembuluh
darah episklera , yaitu:

1. Berdasarkan Tipenya pterigium dibagi atas 3 :
- Tipe I : Pterigium kecil, dimana lesi hanya terbatas pada limbus
atau menginvasi kornea pada tepinya saja. Lesi meluas < 2 mm
dari kornea. Stockers line atau deposit besi dapat dijumpai pada
epitel kornea dan kepala pterigium. Lesi sering asimptomatis,
meskipun sering mengalami inflamasi ringan. Pasien yang
memakai lensa kontak dapat mengalami keluhan lebih cepat.
- Tipe II : di sebut juga pterigium tipe primer advanced atau
ptrerigium rekuren tanpa keterlibatan zona optik. Pada tubuh
pterigium sering nampak kapiler-kapiler yang membesar. Lesi
menutupi kornea sampai 4 mm, dapat primer atau rekuren
setelah operasi, berpengaruh dengan tear film dan menimbulkan
astigmat.
- Tipe III: Pterigium primer atau rekuren dengan keterlibatan zona
optik. Merupakan bentuk pterigium yang paling berat.
Keterlibatan zona optik membedakan tipe ini dengan yang lain.
Lesi mengenai kornea > 4 mm dan mengganggu aksis visual.
Lesi yang luas khususnya pada kasus rekuren dapat
berhubungan dengan fibrosis subkonjungtiva yang meluas ke
forniks dan biasanya menyebabkan gangguan pergerakan bola
mata serta kebutaan

2. Berdasarkan stadium pterigium dibagi ke dalam 4 stadium yaitu:
Stadium I : jika pterigium hanya terbatas pada limbus kornea
Stadium II : jika pterigium sudah melewati limbus dan belum
mencapai pupil, tidak lebih dari 2 mm melewati kornea.
7

Stadium III : jika pterigium sudah melebihi stadium II tetapi tidak
melebihi pinggiran pupil mata dalam keadaan cahaya normal
(diameter pupil sekitar 3-4 mm).
Stadium IV : jika pertumbuhan pterigium sudah melewati pupil
sehingga mengganggu penglihatan.

Gambar 2. Pterigium stadium 1 Gambar 3. Pterigium stadium 2


Gambar 4.Pterigium stadium 3 Gambar 5. Pterigium stadium 4
3. Berdasarkan perjalanan penyakitnya, pterigium dibagi menjadi 2
yaitu:

- Pterigium progresif : tebal dan vaskular dengan beberapa
infiltrat di kornea di depan kepala pterigium (disebut cap
dari pterigium)
- Pterigium regresif : tipis, atrofi, sedikit vaskular. Akhirnya
menjadi bentuk membran, tetapi tidak pernah hilang.
4. Berdasarkan terlihatnya pembuluh darah episklera di pterigium
dan harus diperiksa dengan slit lamp pterigium dibagi 3 yaitu:

- T1 (atrofi) : pembuluh darah episkleral jelas terlihat
- T2 (intermediet) : pembuluh darah episkleral sebagian
terlihat
- T3 (fleshy, opaque) : pembuluh darah tidak jelas.
3,5,9

8


VI. PATOFISIOLOGI
Terjadinya pterigium sangat berhubungan erat dengan paparan
sinar matahari, walaupun dapat pula disebabkan oleh udara yang kering,
inflamasi, dan paparan terhadap angin dan debu atau iritan yang lain. UV-
B merupakan faktor mutagenik bagi tumor supressor gene p53 yang
terdapat pada stem sel basal di limbus. Ekspresi berlebihan sitokin seperti
TGF- dan VEGF (vascular endothelial growth factor) menyebabkan
regulasi kolagenase, migrasi sel, dan angiogenesis.
10
Akibatnya terjadi perubahan degenerasi kolagen dan terlihat
jaringan subepitelial fibrovaskular. Jaringan subkonjungtiva mengalami
degenerasi elastoid (degenerasi basofilik) dan proliferasi jaringan granulasi
fibrovaskular di bawah epitel yaitu substansi propia yang akhirnya
menembus kornea. Kerusakan kornea terdapat pada lapisan membran
Bowman yang disebabkan oleh pertumbuhan jaringan fibrovaskular dan
sering disertai dengan inflamasi ringan. Kerusakan membran Bowman ini
akan mengeluarkan substrat yang diperlukan untuk pertumbuhan pterigium.
Epitel dapat normal, tebal atau tipis dan kadang terjadi displasia.
5,10

Limbal stem cell adalah sumber regenerasi epitel kornea. Pada
keadaan defisiensi limbal stem cell, terjadi konjungtivalisasi pada
permukaan kornea. Gejala dari defisiensi limbal adalah pertumbuhan
konjungtiva ke kornea, vaskularisasi, inflamasi kronis, kerusakan
membran basement dan pertumbuhan jaringan fibrotik. Tanda ini juga
ditemukan pada pterigium dan oleh karena itu banyak penelitian yang
menunjukkan bahwa pterigium merupakan manifestasi dari defisiensi atau
disfungsi localized interpalpebral limbal stem cell. Pterigium ditandai
dengan degenerasi elastotik dari kolagen serta proliferasi fibrovaskuler
yang ditutupi oleh epitel. Pada pemeriksaan histopatologi daerah kolagen
abnormal yang mengalami degenerasi elastolik tersebut ditemukan
basofilia dengan menggunakan pewarnaan hematoxylin dan eosin,
Pemusnahan lapisan Bowman oleh jaringan fibrovascular sangat khas.
9

collum
corpus
apeks
Epitel diatasnya biasanya normal, tetapi mungkin acanthotic,
hiperkeratotik, atau bahkan displastik dan sering menunjukkan area
hiperplasia dari sel goblet
2,5,6
VII. GAMBARAN KLINIK
Gejala klinis pada tahap awal biasanya ringan bahkan sering tanpa
keluhan sama sekali. Beberapa keluhan yang sering dialami pasien seperti
mata sering berair dan tampak merah, merasa seperti ada benda asing,
dapat timbul astigmatisme akibat kornea tertarik, pada pterigium lanjut
stadium 3 dan 4 dapat menutupi pupil dan aksis visual sehingga tajam
penglihatan menurun.
9







Pterigium memiliki tiga bagian :
1. Bagian kepala atau cap, biasanya datar, terdiri atas zona abu-
abu pada kornea yang kebanyakan terdiri atas fibroblast. Area
ini menginvasi dan menghancurkan lapisan Bowman pada
kornea. Garis zat besi (iron line/Stockers line) dapat dilihat
pada bagian anterior kepala. Area ini juga merupakan area
kornea yang kering.
2. Bagain whitish.Terletak langsung setelah cap, merupakan
sebuah lapisan vesikuler tipis yang menginvasi kornea seperti
halnya kepala.
3. Bagian badan atau ekor, merupakan bagian yang mobile (dapat
bergerak), lembut, merupakan area vesikuler pada konjungtiva
bulbi dan merupakan area paling ujung. Badan ini menjadi
10

tanda khas yang paling penting untuk dilakukannya koreksi
pembedahan
10
.
VIII. DIAGNOSIS
Anamnesis
Pada anamnnesis didapatkan adanya keluhan pasien seperti mata
merah, gatal, mata sering berair, ganguan penglihatan. Selain itu perlu juga
ditanyakan adanya riwayat mata merah berulang, riwayat banyak bekerja
di luar ruangan pada daerah dengan pajanan sinar mathari yang tinggi,
serta dapat pula ditanyakan riwayat trauma sebelumnya.
1,9

Pemeriksaaan fisik
Pada inspeksi pterigium terlihat sebagai jaringan fibrovaskular
pada permukaan konjuntiva. Pterigium dapat memberikan gambaran yang
vaskular dan tebal tetapi ada juga pterigium yang avaskuler dan flat.
Perigium paling sering ditemukan pada konjungtiva nasal dan berekstensi
kr kornea nasal, tetapi dapt pula ditemukan pterigium pada daerah
temporal.
6
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan tambahan yang dapat dilakukan pada pterigium
adalah topografi kornea untuk menilai seberapa besar komplikasi berupa
astigmtisme ireguler yang disebabkan oleh pterigium.
6

IX. PENATALAKSANAAN
1. Konservatif
Penanganan pterigium pada tahap awal adalah berupa tindakann
konservatif seperti penyuluhan pada pasien untuk mengurangi iritasi
maupun paparan sinar ultraviolet dengan menggunakan kacamata anti UV
dan pemberian air mata buatan/topical lubricating drops.
6,9

2 . Tindakan operatif
11

Adapun indikasi operasi menurut Ziegler and Guilermo Pico, yaitu:
Menurut Ziegler :
1. Mengganggu visus
2. Mengganggu pergerakan bola mata
3. Berkembang progresif
4. Mendahului suatu operasi intraokuler
5. Kosmetik
Menurut Guilermo Pico :
1. Progresif, resiko rekurensi > luas
2. Mengganggu visus
3. Mengganggu pergerakan bola mata
4. Masalah kosmetik
5. Di depan apeks pterigium terdapat Grey Zone
6. Pada pterigium dan kornea sekitarnya ada nodul pungtat
7. Terjadi kongesti (klinis) secara periodik
Pada prinsipnya, tatalaksana pterigium adalah dengan tindakan
operasi.

Ada berbagai macam teknik operasi yang digunakan dalam
penanganan pterigium di antaranya adalah:
1,3,11

1. Bare sclera : bertujuan untuk menyatukan kembali konjungtiva
dengan permukaan sklera. Kerugian dari teknik ini adalah
tingginya tingkat rekurensi pasca pembedahan yang dapat
mencapai 40-75%.
2. Simple closure : menyatukan langsung sisi konjungtiva yang
terbuka, diman teknik ini dilakukan bila luka pada konjuntiva
relatif kecil.
3. Sliding flap : dibuat insisi berbentuk huruf L disekitar luka bekas
eksisi untuk memungkinkan dilakukannya penempatan flap.
4. Rotational flap : dibuat insisi berbentuk huruf U di sekitar luka
bekas eksisi untuk membentuk seperti lidah pada konjungtiva
yang kemudian diletakkan pada bekas eksisi.
12

5. Conjungtival graft : menggunakan free graft yang biasanya
diambil dari konjungtiva bulbi bagian superior, dieksisi sesuai
dengan ukuran luka kemudian dipindahkan dan dijahit atau
difiksasi dengan bahan perekat jaringan (misalnya Tisseel VH,
Baxter Healthcare, Dearfield, Illionis).








Gambar 3. Teknik Operasi Pterigium
11
X. DIAGNOSIS BANDING
Pterigium harus dapat dibedakan dengan pseudopterigium.
Pseudopterigium terjadi akibat pembentukan jaringan parut pada
konjungtiva yang berbeda dengan pterigium, dimana pada
pseudopterigium terdapat adhesi antara konjungtiva yang sikatrik dengan
kornea dan sklera. Penyebabnya termasuk cedera kornea, cedera kimiawi
dan termal. Pseudopterigium menyebabkan nyeri dan penglihatan ganda.
Penanganan pseudopterigium adalah dengan melisiskan adhesi, eksisi
jaringan konjungtiva yang sikatrik dan menutupi defek sklera dengan graft
konjungtiva yang berasal dari aspek temporal.
8

Selain itu pterigium juga didagnosis banding dengan pinguekulum yang
merupakan lesi kuning keputihan pada konjungtiva bulbi di daerah nasal
atau temporal limbus. Tampak seperti penumpukan lemak bisa karena
iritasi ataupun karena kualitas air mata yang kurang baik. Pada umumnya
tidak diperlukan terapi tetapi pada kasus tertentu dapat diberikan steroid
topikal.
3,5
XI. KOMPLIKASI
13

Komplikasi pterigium meliputi sebagai berikut:
6,12

1. Astigmat
Salah satu komplikasi yang disebabkan oleh pterigium adalah
astigmat karena pterigium dapat menyebabkan perubahan bentuk
kornea akibat adanya mekanisme penarikan oleh pterigium serta
terdapat pendataran daripada meridian horizontal pada kornea yang
berhubungan dengan adanya astigmat. Mekanisme pendataran itu
sendiri belum jelas. Hal ini diduga akibat tear meniscus antara puncak
kornea dan peninggian pterigium. Astigmat yang ditimbulkan oleh
pterigium adalah astigmat with the rule dan iireguler astigmat.
2. Kemerahan
3. Iritasi
4. Bekas luka yang kronis pada konjungtiva dan kornea
5. Keterlibatan yang luas otot ekstraokular dapat membatasi penglihatan
dan menyebabkan diplopia.
Komplikasi pasca eksisi adalah sebagai berikut:
1. Infeksi, reaksi bahan jahitan, diplopia, jaringan parut, parut kornea,
graft konjungtiva longgar, perforasi mata, perdarahan vitreus dan ablasi
retina.
2. Penggunaan mitomycin C post operasi dapat menyebabkan ektasia atau
nekrosis sklera dan kornea
3. Pterigium rekuren
XII. PROGNOSIS
Penglihatan dan kosmetik pasien setelah dieksisi adalah baik.
Kebanyakan pasien dapat beraktivitas lagi setelah 48 jam post operasi.
Pasien dengan pterigium rekuren dapat dilakukan eksisi ulang dan graft
dengan konjungtiva autograft atau transplantasi membran amnion
6


14

DAFTAR PUSTAKA

1. Ardalan Aminlari, MD, Ravi Singh, MD, and David Liang, MD.
Management of Pterygium. Opthalmic Pearls.2010
2. Caldwell, M. Pterygium. [online]. 2011 [cited 2011 August 11]. Available
from : www.eyewiki.aao.org/Pterygium
3. Suharjo. Ilmu kesehatan Mata edisi 1. Yogyakarta. Bagian Ilmu Penyakit
Mata Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada.2007. hal 40-41
4. Voughan & Asbury. Oftalmologi Umum edisi 17. Jakarta : EGC. 2010.
Hal 119.
5. Laszuarni. Prevalensi Pterigium di Kabupaten Langkat. Tesis Dokter
Spesialis Mata. Departemen Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara. 2009.
6. Jerome P Fisher, Pterygium. [online]. 2011 [cited 2011 July 24]
http://emedicine.medscape.com/article/1192527-overview
7. Tasman, W and Jaeger, E.A. Pathology of Conjunctiva. In : Duanes
Ophtalmology. New York : Lippincott William and Wilkins. 2007.
8. Lang, Gerhad K. Conjungtiva. In : Ophtalmology A Pocket Textbook
Atlas. New York : Thieme Stutgart. 2000
9. Anton,dkk. Pterigium. [online] 2010. [ cited 2011 July 10]. Available from:
www.inascrs.org/pterygium/
10. Drakeiron. Pterigium. [online]2009. [cited 2011 August 11]. Avaible from :
http://drakeiron.wordpress.com/info-pterigium.
11. Skuta, Gregory L. Cantor, Louis B. Weiss, Jayne S. Clinical Approach to
Depositions and Degenerations of the Conjungtiva, Cornea, and Sclera. In:
External Disease and Cornea. San Fransisco : American Academy of
Ophtalmology. 2008. P.8-13, 366
12. Maheswari, sejal. Pterydium-inducedcornealrefractive changes.[online]
2007. [cited 2011 August 11]. Aviable from :
http//www.ijo.in/article.asp?issn
15

13. Subramanian,R. Pterygium. [online] 2008. [cited 2011 August 17].
Aviable from : http://www.eophtha.com/eophtha/ejo40.html

You might also like