You are on page 1of 5

Karakteristik Batuan Ultrabasa Di Pulau Halmahera, Provinsi Maluku Utara

Tafaqquh Fiddin
1
, Agus Hendratno
2

1). Mahasiswa Jurusan Teknik Geologi Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada; email:
faquhfiddin@gmail.com
2). Dosen Jurusan Teknik Geologi Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada, Jl. Grafika
No.2 Bulaksumur, Yogyakarta 55281

ABSTRACT


The Ultramafic rock contains mafic mineral more than 90 %. mineral such as olivine, pyroxene or
serpentine which are first formed in Bowen reaction series. Chemical characteristic of ultramafic rock have
SiO
2
of less than 45%, but some ultramafic rock have SiO
2
more than 45% such as hasburgit. Ultramafic rock
research sites is on Halmahera island. Halmahera island has ultramafic rock at a wider area which have
economic minerals. The lithology in Halmahera island are enriched in olivine which in some place had altered
to serpentin, this process know as serpentinization. The rock belong to dunit, hasburgit and serpentinite.
Chemically, these rock are tholeiite series which low in K
2
O and high in MgO. Ultramafic rock in Halmahera
island are formed in mid oceanic ridge basalt (MORB) with N-MORB type. The type has characteristic value of
K
2
O less than 0,01. This type is formed in depleted mantle about 60-80 km above upper mantle, and it has K
2
O
less than 0,1 % The ultramafic rock exposed at the surface due to the collision between Philippine plate and
Eurasian plate

Keywords : Ultramafic, Halmahera, MORB

1. Pendahuluan
Indonesia merupakan negara dengan kekayaan sumberdaya mineral yang cukup besar. Salah satu dari
potensi sumberdaya mineral tersebut adalah nikel dan kromit yang dihasilkan dari batuan ultrabasa. Sebaran
ultrabasa di Indonesia sendiri ditentukan berdasarkan proses tektonik yang membentuknya. Daerah yang diyakini
memiliki ultrabasa adalah Sulawesi, Kalimantan, Papua dan Halmahera. Dalam Sukamto (2001) disebutkan
kelompok mineral industri asal batuan ultramafik seperti peridotit, serpentinit dan asbes terdapat dalam komplek
ofiolit yang tersebar seluas 36.970 km
2
yang tersebar di Indonesia bagian timur.
Pulau Halmahera yang terdapat di Provinsi Maluku Utara merupakan salah satu daerah di Indonesia yang
memiliki persebaran batuan ultrabasa yang cukup luas. Batuan ultrabasa tersebut tersebar di bagian tengah
memanjang ke lengan timur atas. Pada daerah tersebut banyak terdapat perusahaan yang sudah melakukan
eksplorasi maupun sudah beroperasi dan mengeksploitasi sumberdaya mineral hasil dari lapukan batuan
ultrabasa tersebut yang berupa nikel. Potensi yang sangat besar terdapat pada batuan ultrabasa daerah tersebut,
namun sangat jarang penelitian tentang batuan ultrabasa yang dilakukan pada daerah sekitar Halmahera. Hal ini
disebabkan oleh karena lokasinya yang susah di jangkau, sehingga membutuhkan biaya yang cukup besar dalam
melakukan penelitian. Penelitian di daerah tersebut kebanyakan berupa hasil dari eksplorasi sumberdaya yang
dilakukan oleh perusahaan yang berlokasi di pulau tersbut. Penelitian banyak dipublikasikan berupa model
tatanan tektonik pulau Halmahera yang cukup kompleks, karena merupakan pertemuan dari tiga lempeng, yaitu
lempeng Eurasia, lempeng Filipina dan Lempeng Australia (Hall, 1988)
Wilayah penelitian terdapat pada Pulau Halmahera dengan lokasi administratif berada pada Kabupaten
Halmahera Timur dan Halmahera Tengah, Provinsi Maluku Utara (Gambar 1). Daerah tersebut meliputi
Kecamatan Wasile, Subaim dan Buli yang termasuk pada Kabupaten Halmahera Timur dan Kecamatan Lelilef
dan Patani yang termasuk Kabupaten Halmahera Tengah.
Ruang lingkup penelitian berupa studi karakteristik mineralogi dan kimia dari contoh batuan ultrabasa
yang diambil pada daerah penelitian dengan melihat kenampakan megaskopis batuan dan menggunakan analisis
petrografi, XRF dan ICP-MS. Dari hasil analisis ketiga metode tersebut kemudian dilakukan interpretasi
mengenai karakteristik dan asal mula jadi dari batuan ultrabasa tersebut. Maksud dari penelitian ini adalah untuk
mempelajari karakteristik dan jenis batuan ultrabasa di daerah penelitian. Adapun tujuan dari penelitian ini
diantaranya adalah untuk mengetahui karakteristik mineralogi dan geokimia batuan ultrabasa yang terdapat di
daerah penelitian dan mengetahui genesa atau asal mula terbentuknya batuan ultrabasa di daerah penelitian
dilihat dari karakteristik mineralogi dan geokimianya

.
Gambar 1. Peta index lokasi penelitian.


2. Metode Penelitian
Tahapan penelitian dibagi menjadi tiga tahap, yaitu tahap awal, tahap analisis laboratorium dan tahap
akhir. Tahap awal meliputi studi pustaka dan pekerjaan lapangan. Tahap analisis laboratorium meliputi
pembagian sampel petrografi dan geokimia. Tahap akhir meliputi pengolahan data, pembahasan, interpretasi dan
pembuatan laporan.

2.1. Tahap awal.
Pada tahap awal meliputi studi pustaka untuk mencari landasan teori dan kondisi serta gambaran secara
umum daerah penelitian, kemudian Mengumpulkan data-data sekunder yang berkaitan dengan penelitian. Pada
tahap ini dilakukan pengamatan lapangan yang digunakan untuk mengetahui kondisi umum geologi seperti
pengamatan umum litologi dan morfologi. Selain itu dilakukan juga pengambilan sampel batuan, Sampel batuan
terdiri dari 10 batuan ultrabasa yang diambil di 5 lokasi berbeda yang tersebar di Pulau Halmahera.

2.2. Tahap analisis laboratorium
Tahapan analisis laboratorium merupakan tahapan mempersiapkan sampel batuan yang berasal dari
lapangan untuk digunakan dalam pengamatan laboratorium. Preparasi sampel yang dilakukan adalah pembuatan
sayatan tipis untuk pengamatan petrografi batuan dan penghalusan sampel untuk analisis geokimia XRF dan
ICP-MS. Selanjutnya adalah adalah pengamatan petrografi dengan menggunakan mikroskop polarisasi.
Sehingga dapat diketahui deskripsi petrografi dari sampel yang digunakan dalam penelitian. Analisis tersebut
menggunakan 10 batuan utrabasa yang diambil dari lima lokasi yang berada di Pulau Halmehera

2.3. Tahap pengolahan data dan interpretasi
Pengolahan data yang telah disiapkan sebelumnya dilakukan dengan cara mengkompilasi data baik data
primer maupun data sekunder. Pengolahan data petrografi menggunakan klasifikasi dari USGS untuk
mengetahui jenis batuannya yang dibedakan dari mineral mineral yang dikandungnya. Analisis XRF
menggunakan diagram segitiga beberapa oksida utama, seperti MnO, TiO
2
, P
2
O
5
dan K
2
O, sedangkan untuk
hasil dari analisis ICP-MS berupa unsur jejak (trace element) menggunakan diagram yang melibatkan unsur Cr,
Y, Ti, Sr, V, Zr, NB dan Ta. Kemudian dari data - data yang sudah diolah, nantinya akan diketahui tenteng
karakteristik dan ganesa dari batuan ultrabasa tersebut.

3. Hasil dan Pembahasan
Penelitian yang berjudul karakteristik batuan ultrabasa di Pulau Halmahera, profinisi Maluku Utara
secara umum memiliki dua tujuan, yaitu mengetahui karakteristik mineralogi dan geokimia batuan ultrabasa
tersebut dan juga mengetahui proses pembentukan dan lokasi pembentukannya atau petroganesa batuan
ultrabasa.
Karakteristik mineralogi dapat dilihat pada analisis petrografi dengan melihat sayatan tipis batuan
tersebut di bawah mikroskop polarisasi. Secara mikroskipis, batuan tersebut dapat dibagi menjadi 3 kelompok,
yaitu kelompok dunit yang dicirikan dengan komposisinya yang hampir semua berupa olivin, hasburgit yang
dicirikan dengan adanya orto-piroksen pada batuan tersebut (klasifikasi USGS dalam Winter, 2001) dan
serpentinit yang dicirikan dengan mineral serpentin seperti antigorit dan krisotil yang melimpah (Tabel 1).

Tabel 1. Komposisi mineral pada setiap batuan.
Kode
Sampel
Mineral (dalam %) Nama Batuan
olivin orto-piroksen antigorit krisotil magnetit
TF/HB/1 10

55 30 5 Serpentinit
TF/HL/2 70

20 10 Dunit
TF/HS/3 55 15 15 10 5 Hasburgit
TF/HS/4 70

25 5 Dunit
TF/HS/5 65

10 20 5 Dunit
TF/HW/6 70 25

5

Hasburgit
TF/HW/7 75 5

15 5 Dunit
TF/HW/8 10

55 30 5 Serpentinit
TF/HP/9 15

50 25 10 Serpentinit
TF/HP/10 10

65 20 5 Serpentinit

Tipe dunit terdapat pada kecamatan Subaim. Pada batuan ini memiliki komposisi utama olivin dengan
tekstur porfiroafanitik dengan tambahan mineral serpentin seperti krisotil dan antigorit dalam jumlah sedikit.
Mineral serpentin ini merupakan perubaha dari mineral olivin karena proses hidrotermal metasomatisme, dimana
perubahan tersebut merupakan perubahan secara kimiawi. Perubahan ini biasa juga disebut dengan
serpentinisasi.
Kelompok kedua adalah kelompok hasburgit yang berada pada Lelilef dan wasile, dimana batuan ini
juga di dominasi oleh komposisi magnesian olivin yang melimpah, namun terdapat sedikit orto-piroksen dengan
tekstur porfiro afanitik,. Orto-piroksen pada batuan ultrabasa biasa berupa enstantit dengan rumus kimia
MgSiO
3
. Pada batuan ini juga terjadi proses serpentinisasi seperti halnya pada batuan dunit.
Kelompok ketiga adalah serpentinit, kelompok batuan ini ditemukan pada daerah Patani dan Buli.
Batuan ini memiliki kompisisi serpentin yang melimpah seperti antigorit dan krisotil. Pada kelompok ini masih
terdapat mineral olivin meskipun hanya sekitar 10%. Mineral olivin ini adalah mineral asal yang masih belum
terubah akibat pengaruh serpentinisasi.
Pada mineral serpentin, yang lebih dominan adalah mineral antigorit dibandingkan dengan krisotil. Hal
ini dikarenakan oleh perubahan yang terjadi sudah sangat lanjut, sehingga mengenai hampir seluruh batuan,
sehingga perubahan tidak terjadi hanya pada daerah sekitar rekahan, namun juga pada seluruh tubuh batuan.
Perubahan kimiawi tersebut dapat ditulis dengan persamaan di bawah ini, dimana Mg
2
SiO
4
adalah olivin dan
Mg
3
Si
2
O
5
adalah serpentin (Williams dkk, 1982).
2 Mg
2
SiO
4
+3 H
2
O ->Mg
3
Si
2
O
5
(OH)
4
+Mg(OH)
2
Secara kimiawi, ketiga kelompok batuan tersebut memiliki komposisi yang sama, hanya ada sedikit
anomali komposisi kimia pada beberapa batuan. Secara umum, batuan ultrabasa memiliki nilai SiO
2
yang
rendah, dibawah 45%., namun ada beberapa sampel yang memiliki nilai Nilai SiO
2
yang cukup besar bedanya.
Nilai SiO
2
yang tinggi terdapat pada sampel TF/HS/4 dan TF/HW/7 yang masuk dalam kelompok dunit dengan
total SiO
2
49% dan 50,93%
Nilai anomali tersebut merupakan hasil dari perubahan komposisi asli dari batuan tersebu. Dilihat dari
hasil analisis petrografi diketahui bahwa mineral sekunder berupa mineral serpentin pada setiap batuan memiliki
persentase yang besar, rata rata memiliki kandungan diatas 20%. Dilihat dari komposisi kimia, batuan yang
mengandung SiO
2
yang tinggi memiliki komposisi mineral pada kedua batuan tersebut, memiliki komposisi
krisotil yang cukup melimpah (>10%). Mineral krisotil tersebut diatas sudah disebutkan bahwa terbentuk akiba
larutan hidrotermal yang melewati rekahan rekahan pada dunit atau hasburgit tersebut, kemudian berubah
menjadi krisotil. Kemungkinan pada proses tersebut, SiO
2
yang terbawa larutan hidrotermal tersebut tercampur
pada batuan, sehingga menaikkan nilai SiO
2
. Namun hal tersebut bisa juga menjadi normal, karena nilai SiO
2
pada hasburgit dapat mencapai 50% karena keterdapatan piroksen pada batuan tersebut.

Gambar 2. Diagram AFM. (Rollinson, 1993)

Afinitas pada batuan tersebut dapat terlihat dalam diagram AFM (Rollinson, 1993). afinitas ini dapat
memperlihatkan derajat keasaman batuan yang berimplikasi pada interpretasi proses perubahan dari magma
induk menjadi magma yang lebih asam. Dilihat dari kedua diagram tersebut, batuan ultrabasa tersebu termasuk
dalam tholeitik (Gambar 2). Tipe ini sangat umum di jumpai pada seting tektonik berupa zona pemekaran
samudra, dimana nilai SiO
2
dan K
2
O kecil sedangkan kaya akan komposisi ferromagnesian seperti MgO dan
FeO.


Gambar 3. Diagram segitiga FeO, MgO dan Al
2
O
3
(Pearce
dkk, 1977 dalam Rollinson, 1993).

Dari diagram segitiga FeO, MgO dan Al
2
O
3
(Pearce dkk, 1977 dalam Rollinson, 1993) diketahui seting
tektonik batuan tersebut termasuk dalam ocean ridge dan floor (Gambar 3). Lokasi tersebut sama dengan seting
tektonik mid-oceanic ridge basalt. Lokasi pembentukan batuan ini berada pada zona rekahan samudra, dimana
pada seting tektonik dari Pulau Halmahera lempeng yang berperan dalam pembentukan batuan tersebut terdapat
3 lempeng, yaitu lempeng Eurasia, lempeng Australia dan lempeng samudra Filipina.
Dari ketiga lempeng tersebut, kemungkinan yang berperan langsung dalam pembentukan batuan
ultrabasa tersebut adalah lempeng samudra Filipina yang berada di sebelah timur dan lempeng Australia yang
berada di sebelah selatan. Kedua lempeng tersebut merupakan lempeng samudra yang memungkinkan
terbentuknya seting tektonik berupa MORB karena keduanya merupakan lempeng samudra yang tipis. Batuan
tersebut tersingkap karena adanya proses kolusi, dimana dalam Hall (1999) digambarkan bahwa terjadi dua
subduksi atau yang lebih dikenal dengan doble arc system, yaitu subduksi di sebelah timur yang berupa lempeng
samudra maluku masuk kedalam lempeng Filipina dan di sebelah barat lempeng samudra Maluku masuk
kedalam lempeng Eurasia. Tumbukan dari kedua lempeng tersebut menyebabkan batuan ultrabasa yang
terbentuk pada saat pemekaran muncul ke permukaan. Doble arc system tersebut yang menyebabkan perbedaan
fisiografi Halmahera barat yang berisi kompleks ofiolit dan bagian timur yang berisi kompleks gunungapi.
Kelompok batuan serpentinit kemungkinan besar baru terbentuk setelah proses tumbukan kedua
lempeng tersebut, dimana pada proses tersebut terjadi proses perubahan suhu dan tekanan yang menyebabkan
proses hidrotermal metasomatisme yang terjadi pada batuan tersebut, sehingga mineral olivin berubah menjadi
serpentin.
Dilihat dari nilai K
2
O yang memiliki nilai kurang dari 0,1maka dapat disimpulkan bahwa tipe dari
MORB yang membentuk batuan tersebut adalah tipe normal. MORB tipe N atau tipe normal terbentuk pada
kedalaman yang dangkal, yaitu antara 60-80 km dari mantel atas (Wilson, 1989). Nilai K
2
O digunakan untuk
interpretasi ini karena nilai unsur tersebut paling sedikit terdapat pada MORB. Batuan yang memiliki nilai K
2
O
yang cukup banyak merupakan batuan yang sudah mengalami difrensiasi magma yang biasanya bersifat asam
yang memiliki afinitas seri kalk alkali. Nilai unsur ini biasanya banyak terdapat pada seting tektonik yang terjadi
peleburan dari kerak benua yang tebal, biasanya terdapat pada zona subduksi atau zona pemekaran tengah benua.
(Best, 2003)
Proses pembentkannya pertama terjadi pemekaran di tengah samudra, kemudian pada bagian atas
material yang berasal dari mantel bergeser sesuai dengan pergerakan pemekaran. Pada saat tersebut magma yang
terbentuk akibat dekompresi partial melting dengam komposisi magma awal berupa dunit yang kemudian
berubah dengan bertambahnya tekanan adiabatik menjadi hasburgit. Terbentuknya magma tersebut dengan
komposisi isotop yang homogen dan masih sama, well mixed dengan peningkatan tekanan adiabatik dan
kemudian naik keatas. lokasi terbentuknya magma tersebut berada pada depleted mantle. Pada tipe ini, tidak
terjadi pertambahan unsur unsur kimia dari mantel atas yang dekat dengan batas mantel atau moho, dimana
biasanya lokasi ini. Secara umum, seting tetonik di Halmahera juga tidak mendukung terbentuknya MORB tipe
E, dimana pada setting ini, biasanya berdekatan dengan hotspot.


4. Kesimpulan
Batuan ultrabasa pada lokasi penelitian secara mineralogi dapat dibagi menjadi tiga, yaitu kelompok
dunit, kelompok hasburgit dan kelompok serpentinit. Ketiga kelompok tersebut mempunyai karakteristik
yang sama, yaitu telah mengalami proses serpentinisasi dilihat dari kandungan mineral serpentinitnya
yang rata rata diatas 10%. Batuan ultrabasa termasuk dalam seri toleitik yang memiliki nilai K
2
O yang
rendah dan MgO yang tinggi dari kebanyakan batuan ultrabasa lainnya. Nilai unsur jarang yang tinggi
meliputi Co, Ni, Cr, Fe dan Mg yang merupakan unsur unsur yang biasa terdapat pada batuan ultrabasa.
Seting tektonik batuan ultrabasa pada daerah Halmahera terbentuk pada zona rekahan tengah samudra
atau MORB (mid-oceanic ridge basalt). Magma awal berupa magma pembentuk dunit, kemudian
berubah menjadi hasburgit, hal ini dilihat dari derajat keasaan magma dengan afinitas toleitik. Tipe
MORB batuan adalah tipe normal yang ditandai dengan nilai K
2
O yang kurang dari 0,01. Sumber magma
yang membentuk batuan tersebut berasal dari mantel atas bagian atas. Batuan tersebut secara regional
tersingkap ke permukaan akibat kolusi antara lempeng Eurasia dan lempeng Filipina.


Daftar pustaka
Best, M., G., 2003, Igneous and Metamorphic Petrology 2
nd
Edition, Blackwell Publishing Company, Australia
Hall, R., Audley-Charles, M. G., Banner, F. T., Hidayat, S. and Tobing, S. L. 1988, The Basement Rocks Of The
Halmahera Region, East Indonesia: A Late Cretaceous-Early Tertiary Forearc. J. geol. Soc. Lond. 145,
65-84.
Rollinson, H., R., 1993, Using Geochemical Data: Evaluation, Presentation, Interpretation, Longman Group,
Singapura.
Sukamto, Rob, 2000, Pengetahuan Geologi Indonesia : Tantangan dan Pemanfaatan, Pusat Penelitian dan
Pengembangan Geologi, Bandung
Williams, H., Turner, F., J ., Gilbert., C.,M., 1982, Petrography, An introduction to the Study of Rocks in Thin
Section 2
nd
Edition, W. H. Freeman and Company, New York
Wilson, Mrajorie, 1989, Igneous Petrogenesis: A Global Tectonic Approach, Unwin Hyman, London
Winter, J ohn, Dunann, 2001, An Indtroduction To Igneous And Metamorphic Petrology, Parentice-Hall, New
J ersey

You might also like