You are on page 1of 13

Wacana Negara Islam dalam Parlemen Konstituante :

Hubungan Antagonistik Islam dan Negara di Indonesia


Oleh. Akhmad Satori, S.IP., M.SI

Pendahuluan
Sejarah mencatat bangkitnya nasionalisme Indonesia pada abad ke-20,
ditandai dengan mulai bermunculannya gerakan-gerakan masyarakat pribumi,
berjuang menentang kolonialisme Belanda dan menuntut kemerdekaan bangsa.
Tidak diragukan lagi, dalam upaya nasionalistik ini, Islam1 memainkan peran yang
sangat menentukan eksistensi negara, bukan saja merupakan mata rantai yang
mengikat tali persatuan, melainkan ia merupakan simbol kesamaan nasib (ingroup)
menentang penjajah asing dan penindas yang berasal dari agama lain.
Wacana Negara Islam di Indonesia muncul dan berkembang ketika umat
Islam yang taat mengklaim bahwa Islam bukan hanya sistem teologi, tetapi juga jalan
hidup yang meliputi sejumlah standar etik moral dalam kehidupan masyarakat dan
negara. Secara historis, para pemimpin muslim di Indonesia berusaha menjadikan
Islam sebagai dasar negara, pertama kali menjelang persiapan kemerdekaan tahun
1945 dan kedua kalinya di Parlemen Konstituante 1956-1959, namun kedua-duanya
tidak berhasil.
Suatu persoalan yang menarik dan unik padahal kita ketahui mayoritas rakyat
Indonesia menganut agama Islam, tetapi fakta sejarah menunjukan negara tidak
memberikan kesempatan bagi politik Islam untuk berkembang, persoalan inilah yang
kemudian menyebabkan terjadinya rasa saling curiga antara pemikir dan aktivis
politik Islam dan Negara di Indonesia. Pertanyaannya kemudian adalah mengapa
terjadi hubungan yang antagonistik antara Islam dan Negara?
Tulisan ini mencoba menjawab pertanyaan diatas dengan memberikan sebuah
perspektif terhadap perjalanan sejarah mengenai wacana Islam yang berkembang di
Indonesia, dengan fokus perkembangan wacana Islam dalam-masa-masa konstituante.

Dikotomi Politik Indonesia : Islam Vs Nasionalisme


Hubungan politik antara Islam dan Negara pada sebagian besar babakan
sejarahnya merupakan cerita antagonisme dan kecurigaan satu sama lain2. Di

1
Islam merupakan sarana yang paling jelas baik untuk membangun ras persatuan nasional
maupun untuk membedakan masyarakat Indonesia dari kaum penjajah. Lihat George Mc Turnan
Kahin, Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia : Refleksi Pergumulan Lahirnya Republik, (Solo :
UNS Press, 1995) hal. 90.
2
Bachtiar Effendi, Islam dan Negara : Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di
Indonesia, (Jakarta : Penerbit Paramadina, 1998).h.60

1
Indonesia seperti yang di ungkap Bahtiar Effendi3, akar antagonisme hubungan
politik antara Islam dan Negara tidak dapat dilepaskan dari konteks kecenderungan
pemahaman keagamaan yang berbeda, selain itu kondisi politik masa Jepang
membentuk BPUPKI dan siding BPUPKI, terutama ketika membicarakan dasar
Negara, itu juga merupakan embrio lahirnya ketegangan antara golongan Islam dan
nasionalis.4
Hubungan yang tidak harmonis terutama -tetapi tidak seluruhnya- disebabkan
oleh perbedaan pandangan para pendiri republik ini (yang sebagian besar muslim)
mengenai negara Indonesia merdeka yang dicita-citakan. Posisi Islam yang
dikotomis dilihat dari segi pemahaman doktrin Islam dan interpretasinya baik oleh
kalangan Internal (para pemikir dan aktivis Islam) ataupun kalangan elit politik
nasional (out sider), merupakan titik awal akan munculnya ketegangan antara kedua
golongan itu baik dari kalangan pemikir dan aktivis Islam maupun dari elit politik
nasional Salah satu butir terpenting dalam perbedaan pendapat di atas adalah apakah
negara bercorak “Islam “ atau “Nasionalis”?.
Konstruk kenegaraan yang pertama mengharuskan agar Islam, karena
kenyataan bahwa agama itu dianut oleh sebagian besar penduduk, diakui dan diterima
sebagai dasar ideologi negara. Tetapi atas pertimbangan bahwa Indonesia adalah
negara yang secara sosial keagamaan bersifat majemuk, maka konstruk kenegaraan
kedua menghendaki agar Indonesia di dasarkan atas Pancasila sebuah ideologi yang
sudah di dekonfensionalisasi.5 Dalam konteks historis inilah dua kelompok yang
saling bertentangan muncul dalam diskursus politik Indonesia : yaitu, kelompok
Islam dan kelompok nasionalis. 6
Pada awalnya benturan antara kedua kelompok ini berlangsung disekitar
masalah nasionalisme. Dalam upaya menemukan ikatan bersama untuk mencapai
kemerdekaan. Soekarno7 secara luas mendefinisikan nasionalisme sebagai “cinta
kepada tanah air, kesediaan yang tulus untuk membaktikan diri dan mengabdi kepada
tanah air, serta kesediaan untuk mengenyampingkan kepentingan-kepentingan

3
Bachtiar Effendi, Islam dan Negara : Transformasi.....Ibid., h 61.
4
Abdul Aziz Thaba, Islam dan Negara dalam politik Orde Baru (Jakarta : Gema Insani Press,
1996), h. 131-132 dan Mukti Ali, Alam Pikiran Islam di Indonesia (Yogyakarta : Yayasan Nida,
1971), h.13
5
Bachtiar Effendi, Islam dan Negara..Ibid., hal.60
6
Pertimbangan histories yang di kemukakan oleh Bachtiar Effendi, dengan kenyataan bahwa,
parfa pemimpin utama kelompok nasionalis adalah orang-orang Islam, maka ia melihat kedua
kelompok ini dalam kategori-kategori politik (bukan agama). Karena itulah Effendi mengganti istilah
“santri” dan “abangan” dengan Islam dan Nasionalis. Ibid., hal.70.
7
Ir Soekarno adalah seorang nasionalis yang mendapatkan pendidikan barat sekuler,. Ia aktif
dalam kegiatan politik sejak usia muda, pernah aktif sebagai anggota Sarekat Islam dan dikenal
sebagai pendiri PNI (Partai Nasionalis Indonesia) dua partai yang asasnya berbeda, yang satu Islam
dan lainya kebangsaan yang netral agama, lihat Badri Yatim, Soekarno, Islam dan Nasionalisme,
(Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1999)hal. 1.

2
golongan yang sempit.8 Dtempat lain ia menulis bahwa “nasionalisme adalah
keyakinan, kesadaran dikalangan rakyat, bahwa mereka bersatu dalam satu
kelompok, satu bangsa.9
Ketika Mohammad Natsir10 melibatkan diri dalam perdebatan inilah maka
perseteruan religio-ideologis antara kedua kelompok diatas menjadi semakin keras
dan sistematis. Mereka tidak hanya terlibat dalam perdebatan religio-ideologis
mengenai watak nasionalisme Indonesia, melainkan mengembangkannya ke dalam
suatu tema yang lebih lebar, yaitu tentang apa yang dapat disebut sebagai Negara
Indonesia merdeka dan modern yang dicita-citakan. Menurut Natsir, faham
nasionalisme Soekarno bisa menjadi menjadi faham chauvinistic,11 ia
mengkhawatirkan bergulirnya paham nasionalisme Soekarno menjadi sebuah bentuk
ashabiyah baru. Yang pada akhirnya berujung kepada fanatisme. Bagi Natsir faham
nasionalisme harus mempunyai sejenis landasan teologis. Natsir juga percaya, bahwa
nasionalisme Indonesia harus bercorak Islami. Dalam pandangannya, Natsir
berpendapat tanpa Islam, maka nasionalisme Indonesia itu tidak ada, karena Islam
pertama-tama telah menanamkan benih-benih persatuan Indonesia.
Polemik yang terjadi diantara kedua tokoh ini, oleh Deliar Noer digambarkan
sebagai dialog antara cita-cita Islam dan cita-cita barat.12 Dalam hal ini Natsir
mewakili pandangan Islam dan Soekarno mewakili pandangan barat, karena
Soekarno meskipun dengan alasan-alasan yang menurutnya berdasarkan ajaran-ajaran
Islam tetapi sehaluan dengan golongan nasionalis yang menginginkan pemisahan
agama dan negara.
Pengamat lain seperti Bachtiar Effendi berpendapat bahwa polemik yang
terjadi antara Soekarno dan Natsir masih bersifat eksploratif. Sejak semula keduanya
tidak bermaksud untuk merumuskan konsep-konsep yang siap pakai mengenai
hubungan antara agama dan Negara. Namun keduanya juga bermaksud untuk
menemukan titik temu (kalimatun sawa') diantara mereka. Keduanya hanya ingin
menunjukan posisi-posisi ideologis politis masing-msaing. Akibatnya perdebatan-
perdebatan itu hanya menggaris bawahi berbagai perbedaan yang tampaknya tak
terjembatani antara kedua kelompok yang bersebrangan.13

Perjuangan Islam, Sebagai Dasar Ideologi Negara

8
Lihat Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942 (Jakarta : LP3ES, 1986),
hal. 253-257
9
Deliar Noer, Gerakan Modern Islam…. Ibid., hal. 253-257
10
Mohamad Natsir adalah murid dari Ahmad Hasan pendiri organisasi reformis Persis
(Persatuan Islam) dengan latar belakang pendidikan barat yang cukup berarti. Lihat Bachtiar Effendi,
Islam dan Negara..Ibid., hal.72
11
Chauvinistic adalah kesetiaan atau rasa cinta kepada tanah air yang berlebih-lebihan .
12
Deliar Noer, Gerakan Modern Islam…. Ibid.
13
Bachtiar Effendi, Islam dan Negara….Ibid., hal.81

3
Perebutan pengaruh politik antara Islam dan nasionalisme itu pada masa
Jepang semakin ketat, karena Jepang memang lebih mengakomodasi dua kekuatan
tersebut daripada kalangan pemimpin tradisional seperti priyayi, meskipun demikian
Jepang tetap berhati-hati dalam memberikan kebebasan berpolitik kepada umat Islam
Indonesia. Namun lambat laun cita-cita kelompok nasionalis mulai kelihatan
semakin kuat dan cenderung mengalahkan cita-cita dari golongan Islam. Hal ini
dibuktikan dengan pembentukan BPUPKI14.
Pertarungan ideologis antara kelompok Islam dan kelompok nasionalis baru
berlangsung secara penuh dalam pertemuan BPUPKI, yang berlangsung akhir Mei
hingga pertengahan Agustus. Seraya menegaskan kembali alur penalaran teologis
dan sosiologis sebelumnya. Kelompok yang pertama menyatakan bahwa Indonesia
harus menjadi sebuah negara Islam, atau Islam harus menjadi dasar ideolog negara15.
Sedang kelompok kedua, mengusulkan dibentuknya sebuah negara kesatuan nasional,
dimana masalah-masalah agama selain mendasarkan argumen mereka kepada
kenyataan bahwa Islam tidak memiliki pandangan yang tegas dan utuh mengenai
hubungan agama dan negara.
Dalam badan inilah Soekarno kemudian mencetuskan idenya tentang
“Pancasila”16. Dalam ide tersebut pemisahan agama dan negara sudah tampak jelas,
pada beberapa bagian dari idenya tersebut, ia tetap bertahan pada konsepnya tentang
demokrasi dan agama, yang mengatakan bahwa bila bersifat demokratis, berarti
negara dan agama harus dipisahkan dan sebaliknya bila keduannya disatukan
demokrasi akan tersingkir dari kehidupan bernegara.

14
Berdirinya BPUPKI adalah sebuah realisasi Jepang atas kemerdekaan kepada bangsa
Indonesia. BPUPKI sebagai wadah membicarakan kemerdekaan bangsa Indonesia beserta
perlengkapannya seperti dasar negara, kabinet dan parlemen.
15
Alasan teoritis terutama dalam hubungan dengan hukum tata negara Indonesia, untuk
menganggap perlunya pembahasan mengenai konsep negara adalah suatu konsep negara merupakan
suatu pandangan tentang negara, hakikat dan susunannya, mempunyai pengaruh besar terhadap
penafsiran aturan-aturan dasar dalam tata negara, membantu memberi pengertian yang lebih tepat pada
apa yang bisa dan apa yangbisa dan apa yang telah dirumuskan secara tertulis Karena, pandangan
tentang hakikat negara itulah teristimewa tentang hubungan negara dengan warganya, yang digunakan
sebagai titik tolak untuk menentukan segalasesuatu yang imgin diatur (soal hak dan kewajiban
misalnya ketika menyusun konstitusi sebuah negara. Kalau hukum adalah norma, termasuk hukum
tata negara, maka menurut teori itu konsep negara adalah suatu pengertian yang dijadikan pola, dan
dengan pola itu norma tersebut dan juga norma hukum selanjutnya akan disesuaikan.konsep negara
menjadi landasan atau berfungsi sebagai norma dasar dalam system hukum suatu negeri. Dalam
Marsilam Simanjuntak, Pandangan Negara Integralistik, Cet. II, (Jakarta : PT Pustaka Utama Grafiti,
1997.), h.23-24
16
Ide tersebut merupakan perkembangan dari idenya dahulu tentang persatuan tiga aliran
besar yaitu : Nasionalis, Islam dan Marxis, kalau dahulu ia menginginkan suatu bentuk persatuan
federatif dengan ikatan yang sangat longgar, maka kini ia menetapkan asas bersama. Asas Negara yang
di inginkannya tersebut ada lima; (1) Kebangsaan Nasional, (2) Internasionalisme, (3) Mufakat-atau
Demokrasi, (4) Kesejahteraan Sosial, dan (5) Ketuhanan, dalam Yatim, Badri, Soekarno, Islam dan
Nasionalisme, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1999) hal.160

4
Dalam membahas soal nasionalisme dan ketuhanan terjadilah hubungan
antagonistik yang cukup serius antara nasionalis sekuler dengan kalangan pemimpin
Islam. Ketegangan itu dapat di akhiri sementara, setelah kedua pihak menerima
usulan masing-masing keinginan yang bersifat ideologis dan bersyarat.17 Selain itu
secara kualitas anggota golongan Islam di bawah dari golongan-golongan nasionalis
sekuler dan priyayi jawa. BPUPKI beranggotakan 68 Orang terdiri dari 8 Orang
Jepang, 15 Orang golongan Islam, 45 Orang nasionalis sekuler dan priyayi jawa. 8
orang Jepang dapat terabaikan, sebab mereka tidak terlibat dalam pembicaraan,
sementara golongan priyayi berpihak kepada golongan nasionalis sekuler. Ini jelas
bahwa golongan Islam berhadapan dengan golongan nasionalis sekuler yang tidak
berimbang jumlah suaranya untuk membahas soal dasar negara.18
Untuk mengatasi perbedaan ideologis ini, BPUPKI membentuk panitia kecil
yang terdiri dari sembilan orang untuk mempelajari kedudukan Islam. Kelompok
Islam diwakili oleh Abdul Kahar Muzakkir, Wachid Hasyim, Agus Salim dan
Abikusno Tjokrosujoso, sedangkan kelompok Nasionalis diwakili juga oleh empat
orang, yaitu Muh. Hatta, M. Yamin, Soebarjdo dan AA Maramis. Sedangkan seorang
lagi bertindak sebagai ketua dan sekaligus sebagai penengah, yaitu Soekarno.19
Panitia ini mencapai kompromi, yang kelak kita kenal dengan Piagam Jakarta.
Ini merupakan mukaddimah pada konstitusi berdasarkan rumusan yang tampaknya
disetujui semua anggotanya baik yang nasionalis maupun yang Islam. Dalam Piagam
Jakarta ini, dimasukan prinsip-prinsip pancasila walaupun dengan rumusan yang
berubah. Perbedaan penting adalah, pertama, urutan kelima dasar telah berubah,
ketuhanan dalam konsep Soekarno diletakan dalam urutan kelima, kini menjadi yang
pertama. Kedua, dalam Piagam Jakarta ini, selain ketuhanan menjadi sila pertama,
juga ditambahkan tujuh kata berikut menjadi “Ketuhanan dengan kewajiban
melaksanakan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.20
Namun, setelah melewati masa persidangan perubahan dari BPUPKI menjadi
PPKI, akhirnya tujuh kata tersebut dirubah kembali menjadi “Ketuhanan Yang Maha
Esa”21, untuk menengahi dan mencari jalan terbaik, Moh Hatta, berusaha meyakinkan
wakil-wakil yang menyuarakan cita-cita Islam bahwa hanya dengan konsepsi tersebut
yang mempunyai peluang untuk diterima oleh mayoritas rakyat. Kemudian
selanjutnya dalam hal ini Hatta berpendapat bahwa dengan perubahan tersebut,
17
Abdul Azaz Thaba, Islam dan Negara……Ibid, 153
18
Endang. Saifudin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945, Sebuah Konsensus Nasional
Tentang Dasar Negara Republik Indonesia (1945-1949),,( Jakarta : Penerbit Gema Insani Press,
1997).h.68
19
P. Van Dijk, Darul Islam, Grafitipress, Jakarta, dalam Badri Yatim, Soekarno, Islam dan
Nasionalisme, Ibid., hal. 162
20
Badri Yatim, Soekarno, Islam dan Nasionalisme, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1999.),
hal. 162
21
Padahal menurut Alamsyah Ratu Prawiranegara, kalau golongan ini berupaya keras,
mempertahankan tujuh kata tersebut niscaya bung Hatta tidak mempunyai argumentasi kuat untuk
menolaknya. Lihat dalam Abdul Aziz Thaba, Islam dan Negara dalam politik Orde Baru (Jakarta :
Gema Insani Press, 1996) h. 157

5
peraturan dalam rangka syariat Islam yang hanya mengenai orang Islam dapat
dimajukan dalam rancangan UU di DPR, yang setelah diterima DPR mengikat umat
Islam Indonesia.22
Peristiwa diatas menunjukan bahwa secara kuantitas keanggotaan BPUPKI
umat Islam –diwakili dolongan Islam—terkalahkan oleh golongan nasionalis sekuler.
Begitu pula dengan dasar negara Pancasila tanpa menambah tujuh kata yang
menjamin terhadap pelaksanaan syariat ajaran-ajaran Islam. Dalam Piagam Jakarta,
ini merupakan kekalahan politik Islam. Sejak saat itulah kata Ainar Martahan
Sitompul23, hubungan antara agama dan Negara menjadi unik, dalam pengertian
Indonesia bukan agama teokrasi tetapi juga bukan agama sekuler menurut sudut
pandang ideologi.
Kondisi sekitar sidang BPUPKI dilukiskan oleh Dawam Rahardjo24, bahwa
perjalanan politik Islam pada dasawarsa 50-an basis-basis politik Islam sebenarnya
keropos . alasan "kekeroposan" itu kata Dawam antara lain karena konstituen politik
Islam gagal memberikan dukungan yang dioperlukan bagi terwujudnya sebuah tradisi
pemerintahan yang kuat dan artikulasi pemikiran dan aktivisme politik yang lebih
rasional dan integratif.
Pada alasan yang kedua dari Dawam di benarkan oleh Deliar Noer,
menurutnya, mereka-golongan Islam- bukan tandingan Soekarno dan kawan-
kawannya dalam berargumentasi secara filsafat. Realitas ini jelas suatu penurunan
yang berarti.25 Hal ini perlu dikaitkan dengan semangat dibalik kekalahan atau
kelemahan golongan Islam berdebat politis-ideologis di panggung konstitusi
kenegaraan. Ini dapat ditelusuri pada suhu pollitik dan semangat perjuangan
ideologis golongan Islam, yakni Islam dalam masa revolusi yang ditandai dengan
terbentuknya beberapa partai Islam seperti Masyumi26. Dengan demikian golongan
Islam bukan "keropos" tapi "melemah" atau "terkalahkan". Kedua istilah tersebut
diatas melemah dan terkalahkan mengandung perjuangan kilas balik. Artinya di balik
kelemahan atau kekalahan itu mengandung semangat juang untuk mewujudkan cita-
cita dan tujuan Islam menuju lini ideologi kehidupan bernegara sekaligus berbangsa
atas dasar syariat.27
Kekalahan golongan Islam dengan dihapuskanya Piagam Jakartya membuat
mereka bersatu dan inilah salah satu pencerminan komitmen solideritas berbasis nasib
22
Ibid., hal. 165
23
Ibid., 157
24
Saidurrahman, Islam dan Negara di Indonesia (Wacana Pemikiran dan Hubungan
Antagonistik) dalam jurnal (Analytica Islamica, Vol.2 No. 1 2000),h.130
25
Deliar Noer juga mengatakan " boleh dikatakan di dalam semua bidang, kepemimpinan
kalangan Islam tidak berarti di bandingkan dengan kalangan nasionalis yang netral Agama atau yang
tidak suka melihat Islam sebagai kekuatan politik. Bahkan usaha terakhir dalam menyusun konstitusi
republic Indonesia pada Agustus1945, memperlemah kedudukan mereka dengan kalangan
nasionalis.lihat Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Nasional 1945-1965 (Jakarta : Grafiti Press,
1987),h. 30-32
26
Abdul Aziz Thaba...,ibid.,h.158
27
Saidurrahman, Islam dan Negara….ibid., h.130

6
yang sama, yakni basis keagamaan. Komitmen inilah yang melahirkan partai politik
yang dapat menjadi payung organisasi Islam saat itu. Pemikiran demikian
berimplikasi terhadap konflik ideologis tentang dasar negara belum berakhir. Dan
ternyata masalah ini mencuat kembali pada perdebatan konstituante pada hasil pemilu
1955.28 Dalam pandangan Bachtiar, tema-tema politik Islam lebih bergulir pada
tataran Ideologi dan simbol—sesuatu yang mencapai klimaksnya pada perdebatan
dalam konstituante pada paruh kedua dasawarsa 50-an—ketimbang substansi.29

Wacana Islam dalam Masa Konstituante


Selama hampir dari lima tahun setelah proklamasi kemerdekaan, tidak ada
hambatan serius yang menghalangi hubungan politik antara arus utama pemimpin dan
aktivis Islam dengan kelompok nasionalis. Perdebatan-perdebatan diantara mereka
mengenai corak hubungan antara Islam dan negara dihentikan. Mereka paling tidak
untuk sementara, bersedia melupakan perbedaan ideologis diantara mereka. Dan tidak
diragukan lagi pada masa itu para pendiri republik merasa bahwa mereka harus
mengerahkan seluruh tenaga dan kemampuan untuk mempertahankan Republik
Indonesia yang baru berdiri dan mencegah Belanda untuk kembali berkuasa.30
Meskipun tidak ada benturan disana-sini, kedua kelompok diatas- Islam dan
Nasionalis-mampu mengembangkan hubungan politik relatif harmonis diantara
mereka. Kelompok Nasionalis dipimpin oleh Soekarno tetap memegang kemudi
kepemimpinan. Sementara itu menyusul diserahkannya kekuasaan Indonesia pada
Desember 1949, kelompok Islam perlahan mulai memperlihatkan kekuatannya yang
besar dalam diskursus politik nasional. Dengan Masyumi, yang dibentuk pada
November 1945, sebagai wakil politik mereka satu-satunya. Kelompok Islam berhasil
menarik jumlah pengikut yang besar.31
Untuk alasan itu maka Syahrir (pemimpin PSII) memperkirakan bahwa jika
pemilihan umum diselenggarakan, maka Masyumi- yang saat itu merupakan
gabungan dari kalangan muslim modern (muhammadiyah) yang mempunyai basis
anggota di perkotaan dan ortodoks (NU) yang jumlah anggotanya lebih besar
dikalangan pedesaan- akan memperoleh 80% suara.32

28
Abdul Aziz Thaba…Ibid., h.158
29
Bachtiar...ibid.
30
Masa itu Indonesia memasuki masa-masa revolusi (1945-1950), menyusul kekalahan
jepang oleh tentara-tentara sekutu, Belanda bermaksud untuk kembali menduduki kepulauan
nusantara.lihat Bachtiar Effendi, Islam dan Negara..Ibid., hal.92
31
Mengenai asal-usul Masyumi, hingga kini masih ada perbedaan pendapat. Sebagian
kalangan menyatakan bahwa partai ini tidak lain merupakan kelanjutan dari Masyumi yang dibentuk
oleh pemerintah Kolonial Jepang, sebagian lain terlepas dari kesamaan namanya menganggap bahwa
partai ini adalah organisasi baru yang berbeda. Lihat George Mc Turnan Kahin, Nasionalisme dan
Revolusi di Indonesia : Refleksi Pergumulan Lahirnya Republik, (Solo : UNS Press, 1995) hal. 156
31
Lihat Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942 (Jakarta : LP3ES,
1986), hal. 47
32
Lihat Bachtiar Effendi, Islam dan Negara..Ibid., hal.93

7
Sejak itu konfigurasi politik Indonesia terbagi menjadi tiga Ideologi besar
yang dimotori oleh partai-partai politik yang semakin bermunculan pada waktu itu.
Partai-partai tersebut terbagi dapat diklasifikasikan menjadi tiga kekuatan besar,
yaitu; kekuatan politik dengan ideologi Islam, yang diwakili olek Masyumi (berdiri 7
November 1945), PSII (1947), PERTI dan NU (1952), sedangkan ideologi
Nasionalis (sekuler) diwakili oleh PNI dan ideologi Marxis-Sosialis diwakili oleh
Partai Sosialis (1945), PKI (1945), Partai Buruh Indonesia (1945) dan Persindo, serta
partai-partai lainya yang dapat dikategorikan kedalam mainstream ideologis di atas.33
Menjelang pemilu, pertarungan ideologi pun semakin meruncing. Ideologi
politik yang paling besar dan berpengaruh ketika itu adalah Islam,
Nasionalisme, dan Komunisme. Partai Komunis Indonesia (PKI) yang runtuh
setelah Pemberontakan Madiun tahun 1948 bangkit dengan cepat. PKI tampil
lebih korporatif dan memanfaatkan pertarungan antara Islam dan Nasionalis.
Kondisi politik yang penuh pertikaian elite, keadaan ekonomi yang parah,
serta sektor strategis dan modal yang dikuasai asing membuat PKI cepat
meraih massa. Selain itu, ketakutan kemenangan Masyumi pada pemilu 1955 itu juga
membuat PKI mudah mendapat teman dari pihak Nasionalis, setidaknya dari elite
yang khawatir Masyumi akan mendirikan negara Islam.
Pemilihan umum yang akhirnya terlaksana pada tanggal 15 Desember 1955,
dan Presiden Soekarno melantik parlemen konstituante pada tanggal 10 November
1956. Pemilu saat itu menghasilkan 4 Partai Politik besar pemenang, yaitu PNI (22,3
%), Masyumi (20,9 %), NU (18,4 %), PKI (16,4%) dan 22 % suara terbagi diantara
partai-partai lainnya. Ini semuanya 100 % untuk memperebutkan 257 suara.
Secara teoritis hasil pemilu 1955 merupakan frame of reference tentang
kondisi awal konfigurasi percaturan politik Indonesia. Hasil pemilu 1955 membentuk
cabinet koalisi antara PNI, Masyumi, NU dan Perdana Menteri Ali Sastro Amijoyo
dikenal dengan nama Kabinet Ali Sastro Amijoyo ke-2, dan hanya PKI yang tidak
disertakan dalam koalisi karena peretentangan ideologisnya dengan Masyumi dan
NU. Namun kabinet ini hanya bertahan selama setahun (Maret 1956 – Maret 1957).
Jatuihnya cabinet ini mengakibatkan politik Indonesia mengalami masa krisis dan
akhirnya jatuh ke dalam demokrasi terpimpin.34
Dalam masa krisis ini perjuangan partai politik Islam berakhir dari praktis ke
perjuangan ideologis dalam majelis konstituante.35 Dalam majelis ini partai-partai
Islam meraih 230 kursi, sedangkan partai-partai lainnya (Nasionalis, Protestan,
Katolik, Sosialis, Komunis) mendapat 286 kursi. Dengan demikian perimbangan
antara kedua kelompok tersebut, sekali lagi 4 : 5. Karena parpol Islam hanya meraih
230 kursi (45 %), menurut UUDS 50, bahwa penetapan UUD baru harus didukung
dua pertiga konstituante yang hadir, maka tidak mungkin para politisi Islam dapat

33
Deliar Noer, Gerakan…, ibid, h.47.
34
Abdul Aziz Thaba…Ibid.,h. 170
35
Ahmad Syafii Ma'arif, Islam dan Masalah Ketatanegaraan : Studi tentang Percaturan
dalam Konstituante, (Jakarta : LP3ES, 1985), h. 124

8
men-goal-kan ideologi Islam sebagai dasar Negara kecuali ada dukungan partai
politik lainnya. Faktanya, pihak Islam tidak terwakili secara layak, baik dalam badan
penyelidik (25 %) maupun dalam panitia persiapan (12 %), hanya dalam panitia
sembilan yang merumuskan piagam Jakarta kelompok Islam terwakili secara
memadai (44 %).36
Untuk mengikuti perdebatan tentang dasar negara dalam parlemen
konstituante ini, beberapa peristiwa penting dalam masa 1950-1955 harus kita
perhatikan .Pertama, dalam masa-masa itu parlemen konstituante memang
menghadapi masalah-masalah berat dalam melaksanakan tugasnya krena beragamnya
aliran-aliran politik di dalam tubuh majelis itu. kedua, Pertikaian
antar militer, pergolakan daerah melawan pusat, dan ekonomi yang semrawut tetap
membuat masa depan tampak suram. Akhirnya kesepakatan-kesepakatan mengenai
bagaimana merumuskan batang tubuh konstitusi lebih mudah dicapai dibandingkan
dengan usaha untuk mencapai kesepakatan mengenai dasar negara.
Majelis konstituante bersidang dari bulan November 1956 sampai juni 1959,
masalah-masalah yang dibicarakan, dalam majelis ini meliputi masalah –masalah
bentuk Negara, bahasa, bendera, hak-hak asasi manusia, Dasar Negara dan lain-lain
isu konstitusional yang relevan. Selain masalah dasar negara37, di mana seluruh
kekuatan partai Islam bersatu menghadapinya, majelis konstituante tidak menerima
kesulitan yang berarti dalam menyelesaikan tugas-tugas konstitusionalnya, bahkan
sudah mencapai 90 % dari tugas-tugas itu dirampungkan.38
Yang paling alot memang adalah perdebatan tentang msalah dasar Negara,
konstituante dihadapkan pada tiga pilihan yang mewakili tiga kelompok kepentingan,
apakah menjadikan pancasila sebagai dasar negara, ataukah Islam seperti yang di
perjuangkan kelompok Islam, atau mungkin menjadikan ideologi sosial ekonomi
sebagai dasar negara Indonesia, persoalannya menjadi sangat pelik ketika ketiga
kelompok tersebut telah mengeluarkan argumennya dan pendukungnya masing-
masing.39
Di pentas politik praktis dengan segala keuntungan jangka pendeknya yang
mungkin dijanjikan, partai-partai Islam mungkin saja bersatu atau lebih sering
bersaing satu sama lain . politik praktis menawarkan kedudukan dan kekuasaan yang
ada kalanya sangat menggiurkan. Tidak demikian halnya dengan iklim yang meliputi
siding-sidang parlemen konstituante, dalam parlemen ini, suasana panas lebih di

36
Endang. S Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945, Sebuah Konsensus ......, ibid,.h.68
37
Dasar Islam atau Pancasila dengan pelaksanaan syariat yang didukung oleh kelompok
Islam (Masyumi, NU, PSII, Perti dan Partai Tarekat dan dasar Negara pancasila yang diperjuangkan
oleh kelompok Nasionalis (PNI, PKI, PSI dan lain-lain).
38
Ahmad Syafi’i Ma’arif,, Peta Bumi Intelektualisme Islam di Indonesia, (Bandung :
Penerbit Mizan, 1993).hal.172-173
39
. Maarif mengemukakan pada saat itu ada tiga rancangan draft dasar negara ; Islam,
Pancasila dan Sosial-ekonomi, draft ketiga tidak begitu berarti karena hanya didukung oleh partai
gurem, yaitu partai Murba dan Partai Buruh. Ibid., h. 173

9
sebabkan kesungguhan mempertahankan pendirian politik yang diyakininya, lebih-
lebih sewaktu membicarakan masalah dasar Negara. Kekuatan politik Islam dalam
siding-sidang parlemen seakan melupakan persaingan mereka dipentas politik
praktis.40 Oleh karena itu , tanpa adanya usaha kompromi antara para pendukung
dasar Pancasila dan para pendukung dasar Islam, telah dapat diduga sejak awal bahwa
kemungkinan besar Konstituante tidak akan berhasil mengambil keputusan mengenai
dasar negara.
Dalam masa-masa ini usaha-usaha untuk kompromi memang telah
diperlihatkan sejak awal dimulainya perdebatan tentang dasar negara pada
pertengahan tahun 1957, setelah semua pihak diberikan kesempatan seluas-luasnya
mengemukakan argumentasi mengapa mereka mengajukan pancasila atau Islam
sebagai landasan negara.41 Maka konstituante akhirnya membentuk panitia Perumus
dasar Negara yang terdiri atas 18 orang mewakili 1957, panitia ini menyampaikan
rancangan rumusan kompromi mengenai dasar Negara kepada siding paripurna
konstituante, rumusan ini antara lain mengatakan :
"Jalan kompromi (tentang dasar negara) dapat ditempuh dengan mengumpulkan
segala sila (dalam pancasila) yang dapat dipertanggungjawabkan. Dapat
ditetapkan, agama yang dianut oleh jumlah rakyat yang mutlak terbanyak
menjadi agama resmi negara...." 42
Mengenai dasar Negara pertama yang menjadi bahan perdebatan sengit antara
pendukung dasar Islam dan dasar Pancasila. Rumusan kompromi itu mengatakan :
Negara Republik Indonesia berdasarkan atas kehendak menyusun masyarakat
yang sosialistis yang ber-Tuhan Yang Maha Esa dengan pengertian bahwa akan
terjaminlah keadilan sosial yang wajar dan kemakmuran yang merata dengan
dirahmati oleh Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang menurut Islam,
Kristen, Katolik, dan lain-lain agama yang berada di tanah air kita.
Dasar negara selanjutnya ialah : persatuan bangsa yang diwujudkan dengan
sifat-sifat gotong royong, perikemanusiaan, kebangsaan, dan kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. 43
Tokoh-tokoh golongan Islam pada umumnya dapat menerima rumusan
kompromi itu dan menganggapnya sebagai itikad baik bersama menyelesaikan
masalah besar yang dihadapi oleh konstituante. Rumusan kompromi itu memang
belum disahkan oleh sidang paripurna konstituante karena semua pihak bersepakat
untuk menunda dahulu pembicaraan mengenai dasar negara sambil menyelesaikan
materi pasal-pasal dalam batang tubuh konstitusi.

40
Ibid, hal.173
41
Yusril Ihza Mahendra, Dinamika Tata Negara Indonesia : Kompilasi Aktual Masalah
Konstitusi Dewan Perwakilan dan Sistem Kepartaian, (Jakarta : Gema Insani Press, 1996), h.74-76
42
Ibid., h.75
43
Ibid., h.76

10
Ketika konstituante memasuki sidang tahun terakhir tanggal 24 April 1959,
masih tersedia waktu sekitar delapan bulan bagi majelis untuk menyelesaikan
pekerjaannya. Banyak pengamat, termasuk tokoh-tokoh partai merasa optimis dalam
sisa waktu itu Konstituante akan berhasil menyelesaikan tugasnya dengan semakin
banyaktitik-titik temu diantara berbagai pandangan mengenai soal-soal penting dalam
perumusan materi-materi konstitusi. Tetapi suatu inisiatif yang dating dari luar
majelis Konstituante akhirnya membuat majelis terbelah menjadi dea kubu yang
saling berlawanan. Inisiatif dari luar itu datang dari Presiden Soekarno, Dewan
Menteri Pimpinan Perdana Menteri Djuanda, dan Kalangan TNI Angkatan Darat
yang dipimpin oleh Mayjen A.H. Nasution.44
Presiden Soekarno, sejak awal tahun 1957 telah gencar mengkampanyekan
gagasannya untuk menerapkan "Demokrasi Terpimpin" yang dianggapnya
merupakan demokrasi timur yang sesuai dengan jiwa dan kepribadian bangsa.
Presiden Soekarno tampaknya kurang puas dengan perkembangan demokrasi di
Indonesia kala itu, yang dinilainya bercorak liberal dan sering menimbulkan gontok-
gontokan antara partai yang bersaing. Dengan bubarnya kabinet Ali II, maka
Presiden Soekarno menerapkan gagasan Demokrasi Terpimpin itu.45 Beberapa bulan
kemudian Soekarno berhasil melahirkan Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959,
yang menandai berakhirnya era parlemen Konstituante.
Demikianlah akhrnya perdebatan tentang masalah dasar negara itu di
selesaikan diluar Parlemen, yaitu dengan Dekrit Presiden tertanggal 5 Juli 1959
dengan mengukuhkan pancasila sebagai dasar Negara bersama dengan menetapkan
kembali UUD 1945 dan pembubaran Konstituante, tetapi dengan konsiderasi bahwa
piagam Jakarta menjiwai dan merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi
tersebut. 46
Sebagaimana diungkapkan oleh Endang S. Anshori, bahwa pembubaran
konstituante lebih banyak disebabkan karena koalisi antara ABRI dengan Soekarno
yang merasa kepentingan politiknya terancam jika demokrasi parlementer terus
menerus diterapkan. 47

Islam Substansialistik : Format Hubungan Ideal Islam dan Negara


Deskripsi perjalanan historis diatas, secara tegas menunjukan bahwa suhu
politik yang tertampung dalam majelis konstituante tidak dapat mendinginkan
pertarungan cita-cita ideologis antara golongan Islam dengan golongan nasionalis,
yang keduanya memang sudah lama bersitegang. Hal ini menunjukan bahwa sampai
dengan saat itu hubungan Islam dan Negara tidak pernah bersentuhan. Lalu, jenis
Islam manakah yang dapat menjamin terbinanya hubungan yang baik antara Islam
dan Negara bangsa di Indonesia?

44
Ibid., h.77
45
Ibid., h.77
46
Ma'arif..,Ibid, h.174
47
Endang S, Anshori, Piagam Jakarta…dalam Abdul Aziz Thaba, .ibid, h. 173

11
Hasil diskursus politik masa konstituante, seperti dianalisis oleh Bachtiar
Effendi, menunjukan bahwa pemikiran dan praktek politik Islam masa lalu
mengalami kesenjangan yang tidak terjembatani dengan ide-ide politik kalangan
nasionalis. Padahal kalangan nasionalis ini sebagian terdiri dari orang-orang muslim
yang taat, mereka tidak mendukung gagasan politik yang ingin menghubungkan
Islam dengan negara secara formalistik dan legalistik.48
Tuntutan ideologis tentang perjuangan dasar negara Islam pada awal
kemerdekaan bangsa Indonesia hingga –paling tidak dasawarsa 1950-an, memang
logis dan wajar, sebab kondisi politik membuka peluang untuk berkompetisi secara
aktif baik bagi golongan Islam maupun golongan nasionalisme. Dasar utama
landasan perjuangan Islam harus memahami secara formalistik dan legalistik, sebab
Islam adalah agama sekaligus sistem politik. Oleh sebab itu, jika Islam dipaksakan
sebagai agama yang bersifat substansialistik pada masa itu, berarti Islam hanya
bersentuhan dengan nilai-nilai ajarannya saja. Padahal negara yang baru terbentuk
dan masih mencari format dasar negara maka suatu keniscayaan Islam harus
dipikirkan dan di praktekan dalam tataran ideologis dan simbolis.49
Oleh sebab itu, tawaran Bachtiar Effendi tersebut memunculkan pemikiran
baru Islam untuk menciptakan sebuah sintesa Islam dan Negara yang secara
sosiologis garis keagamaan sesuai. Sejauh ini upaya-upaya tersebut dilakukan
dengan cara mengembangkan pemikiran-pemikiran keagamaan dan aktifitas politik
yang dianggap sesuai dengan situasi sosial keagamaan masyarakat Indonesia.50

Penutup
Islam sebagai agama doktrin yang bersifat holistik dalam tingkat pemahaman
telah menimbulkan keragaman interpretasi. Karena itu, ketika Islam berhadapan
dengan negara terutama dalam masalah yang bersifat ideologis, Islam perlu bersifat
transformatif dan akomodatif. Satu sisi Islam bertindak sebagai pemersatu bangsa
dan negara, dan di sisi lain Islam sebagai kekuatan utama penopang negara.
Pengalaman sejarah perjuangan Islam Indonesia -terutama pada masa
konstituante- membuktikan pada kita bahwa Islam seharusnya di tempatkan pada
posisi yang mendukung terhadap keberadaan negara, Islam tidak harus di pahami dan
di paksakan sebagai agama sekaligus sistem politik,
Hubungan antagonistik antara Islam dan negara tampaknya tidak akan
terwujud apabila Islam dan negara dibawah tataran ideologis-simbolistis, formalistik-
legalistik dan diposisikan tidak sesuai dengan wilayah keagamaan dan wilayah
kenegaraan, apalagi mengabaikan hubungan yang akomodatif.
Pandangan mengenai Islam yang legalistik formalistik tampaknya memancing
munculnya ketegangan–ketegangan dalam sebuah masyarakat yang secara sosial
keagamaan dan kultural bersifat heterogen. Pada sisi lain apa yang disebut sebagai

48
Ibid, h 173
49
Bachtiar Effendi, Islam dan Negara dalam Prisma No. 5 Thn.1995, h.6
50
Ibid., h. 7

12
Islam yang substansialistik –yakni mendahulukan keadilan, kesamaan, partisipasi dan
mussyawarah- dapat memberi landasan yang penting bagi pengembangan sintesis
yang sesuai antara Islam dan negara, dalam rangka membentuk kembali hubungan
politik antara keduanya.wallahua’lam

Daftar Pustaka

Anshari , Endang. S, Piagam Jakarta 22 Juni 1945, Sebuah Konsensus Nasional


Tentang Dasar Negara Republik Indonesia (1945-1949), Jakarta :
Penerbit Gema Insani Press, 1997.
Effendi, Bachtiar, Islam dan Negara : Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik
Islam di Indonesia, Jakarta : Penerbit Paramadina, 1998.
Kahin, George Mc Turnan, Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia : Refleksi
PergumulanLahirnya Republik, UNS Press, 1995.
Mahendra, Yusril Ihza, Dinamika Tata Negara Indonesia : Kompilasi Aktual
Masalah Konstitusi Dewan Perwakilan dan Sistem Kepartaian, Jakarta :
Penerbit Gema Insani Press, 1996.
Ma’arif, Ahmad Syafi’I, Islam dan Masalah Keagamaan, Study Tentang Percaturan
dalam Konstituante, Jakarta : LP3ES, 1987.
_______ , Peta Bumi Intelektualisme Islam di Indonesia, Bandung : Penerbit Mizan,
1993.
Noer, Deliar, Partai Islam di Pentas Nasional 1945-1970, Jakarta : Grafiti Press,
1987
________ , Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942 , Jakarta : LP3ES, 1980.
________ , Permikiran Politik di Negeri Barat, Bandung : Mizan, 2001
Simanjuntak, Marsilam, Pandangan Negara Integralistik, Cet. II, Jakarta : PT
Pustaka Utama Grafiti, 1997
Sjadzali, Munawir., Islam dan Tata Negara : Ajaran, sejarah dan Pemikiran, Jakarta
:Universitas Indonesia Press, 1990.
Thaba, Abdul Aziz, Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru (Jakarta :
Gema Insani Press, 1996
Yatim, Badri, Soekarno, Islam dan Nasionalisme, Jakarta : Logos Wacana Ilmu,
1999.

13

You might also like